1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Masalah Salah satu pekerjaan dengan tingkat tekanan yang tinggi adalah auditor internal. Pekerjaan ini memiliki beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang padat, dengan waktu yang terbatas. Auditor internal merasakan tekanan untuk melakukan pekerjaannya dengan baik. Pekerjaan mungkin melibatkan perjalanan bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain (Sears dalam Larson, 2004) yang meningkatkan tingkat tekanan pekerjaan dari auditor internal. Hubungan pekerjaan dengan auditan yang berbeda-beda dan dengan kondisi yang stressful juga mempengaruhi fisik dan mental (Chau dalam Larson, 2004). Kondisi ini dapat meningkatkan tingkat tekanan pekerjaan auditor internal (Wood dan Wilson dalam Larson, 2004). Karakteristik dan tuntutan pekerjaan sebagai seorang auditor internal kemudian membentuk cara pandang seseorang dalam menjalankan pekerjaannya. Selain karakteristik dan tuntutan pekerjaan, cara pandang auditor internal dalam menjalankan pekerjaannya juga dipengaruhi oleh faktor lain, yaitu budaya tradisional. Masyarakat Bali merupakan salah satu contoh masyarakat yang mempertahankan budaya tradisional dalam kehidupannya. Masyarakat Bali mengenal sebuah konsep yang disebut sebagai Catur Purusa Artha. Catur Purusa Artha adalah empat dasar dan tujuan hidup manusia, yang terdiri dari Dharma (kebenaran atau kebaikan), Artha (harta atau materi), Kama (keinginan atau hawa
2
nafsu), dan Moksa (kebahagiaan tertinggi). Budaya lainnya yang mempengaruhi kehidupan masyarakat Bali adalah Tri Hita Karana. Tri Hita Karana diartikan sebagai tiga penyebab kesejahteraan. Masyarakat Bali mempercayai bahwa kesejahteraan dapat dicapai dengan menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), hubungan sesama manusia (Pawongan), dan hubungan manusia dengan lingkungan (Palemahan). Masyarakat Bali membentuk suatu keyakinan bahwa kebudayaan tersebut merupakan blue print yang telah menjadi kompas dalam perjalanan hidup dan menjadi pedoman tingkah laku (Sukarma, 2015). Pengaplikasian budaya Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana dilakukan dalam lingkup yang kecil dan lingkup yang lebih besar. Lingkup yang kecil dapat dilakukan dengan memenuhi kewajiban di dalam keluarga. Sedangkan dalam lingkup yang lebih luas, kedua budaya ini dilakukan dalam kaitan individu sebagai seorang anggota masyarakat. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya dalam konsep Catur Purusa Artha, salah satu tujuan hidup yang diyakini oleh masyarakat Bali adalah memperoleh harta atau materi (Artha). Tidak dapat dipungkiri, harta atau materi adalah hal yang penting. Tanpa harta atau materi seorang individu tidak dapat menyelenggarakan kewajiban-kewajban agama (Dharma), kehidupan rumah tangga (Kama), pendidikan anak, dan kebutuhan lainnya. Dalam beberapa dasawarsa terakhir, pariwisata telah menjadi leading sector atau sektor penggerak yang telah terbukti mampu mendongkrak perekonomian (Pitana, 1999 dalam Putra). Namun, pekerjaan dan potensi yang besar ini dapat menimbulkan dilema
3
bagi para pekerja pada industri parisiwata. Para pekerja mungkin sulit untuk memenuhi tuntutan pekerjaan dan menjunjung tinggi nilai-nilai keseimbangan dan harmonisasi Tri Hita Karana yaitu hubungan antara manusia dengan Tuhan (Parahyangan), kewajiban sosial dan bermasyarakat (Pawongan), dan kewajiban kepada lingkungan (Palemahan) secara bersamaan. Dharma mempunyai kedudukan yang paling penting dalam Catur Purusa Artha. Dharma diartikan sebagai kebenaran dan kebajikan, yang menuntun umat manusia untuk mencapai kebahagiaan dan keselamatan. Pada hakekatnya, Dharma dilakukan terlebih dahulu dan menjadi landasan dalam melakukan segala sesuatu. Karenanya, konsep Dharma sendiri melebur dalam konsep Catur Purusa Artha dan Tri Hita Karana, serta konsep-konsep budaya Bali atau agama Hindu lainnya. Melaksanakan Dharma akan menuntun manusia untuk mencapai kebahagiaan dan kelepasan, lepas dari ikatan duniawi ini dan mencapai Moksa yang merupakan tujuan tertinggi. Dharma telah melekat dan melebur dalam setiap kegiatan budaya Bali. Sedangkan Moksa, bagi sebagian besar masyarakat Bali, dari pengamatan penulis tidak menjadi tujuan hidup yang benar-benar harus dicapai. Pekerjaan dan keluarga adalah dua dari banyak hal terpenting dalam kehidupan seorang individu dewasa (Frone et al., 1992). Dalam konsep Catur Purusa Artha, hubungan suami istri dapat dikategorikan sebagai Kama (aktivitas seksual) yang berfungsi sebagai prokreasi (regenerasi dan penerusan keturunan). Kedua aktivitas seksual berfungsi rekreasi (re=kembali, kreasi=menciptakan) dan peneguhan (kembali) hubungan cinta kasih antara suami dan istri (Paduarsana, 2012). Proses ini terjadi dalam dalam sebuah ikatan rumah tangga atau yang sering
4
disebut keluarga. Seorang individu dewasa harus dapat memerankan dua peran, yaitu menjadi karyawan dan bertanggung-jawab atas keluarga (Ozbag dan Ceyhun, 2013). Dua peran ini kemudian memunculkan konflik (Ozbag dan Ceyhun, 2013) yang menyebabkan terjadinya perceraian, dan keterlibatan wanita dalam pekerjaan penuh-waktu (Ruppaner, 2012). Salah satu faktor keterlibatan wanita dalam pekerjaan penuh-waktu adalah untuk memperoleh Artha guna memenuhi kebutuhan keluarga. Keterlibatan wanita dalam pekerjaan penuh-waktu semakin meningkatkan jumlah pekerja yang berusaha menyeimbangkan tuntutan kehidupan keluarga dan tuntutan di tempat kerja (Lynn, 1990). Karyawan yang telah menikah cenderung merasakan jenis dan tingkat tekanan yang berbeda dibandingkan karyawan yang masih lajang (Kessler, 1979; Thoiys, 1987 dalam O’Neill dan Davis, 2010). Pengaplikasian konsep Tri Hita Karana dalam kehidupan masyarakat Bali tertuang pada sebuah ketentuan yang dikenal dengan istilah awig-awig. I Wayan Surpha memberikan pengertian awig-awig sebagai suatu ketentuan yang mengatur tata-krama pergaulan hidup dalam masyarakat untuk mewujudkan tata kehidupan yang ajeg di masyarakat (dalam Bligung, 2012). Definisi lain dari awig-awig menurut Perda Propinsi Bali No. 3 Tahun 2001 tentang Desa Pakraman adalah: “Aturan yang dibuat oleh krama Desa Pakraman atau krama pakraman yang dipakai sebagai pedoman dalam pelaksanaan Tri Hita Karana sesuai dengan Desa Mewacara Dharma Agama di Desa Pakraman/Banjar Pakraman masing-masing.” Awig-awig merupakan keseluruhan hukum yang mengatur tata cara kehidupan bagi warga Desa Adat, baik hak dan kewajiban beserta sanksi dan aturan
5
pelaksanaanya. Masyarakat yang tidak patuh dapat dikenakan sanksi-sanksi adat baik berupa sanksi denda, sanksi fisik, hingga sanksi psikologi dan sanksi yang bersifat spiritual yang sangat dihindari. Kondisi yang diamati, masyarakat Bali cenderung untuk mempertahankan budaya
tradisional
selama
hidupnya.
Aktivitas
guna
memenuhi
dan
mempertahankan budaya tradisional, tidak jarang masyarakat mengorbankan waktu dan sumber daya yang sangat panjang dan besar, bahkan membaginya dengan pekerjaan mereka. Cara pandang profesional (standar profesional) dalam menjalankan pekerjaan ini mereka terkadang harus berbenturan dengan cara pandang di luar pekerjaan (budaya tradisonal) yang mempengaruhi kehidupan mereka. Bagi karyawan dengan jam kerja yang fleksibel dan beban pekerjaan yang ringan, waktu tidak menjadi masalah dalam memenuhi tuntutan keluarga dan hubungan sosial kemasyarakatan. Namun, bagi seorang auditor internal pada industri perhotelan dengan jam kerja yang padat dan pekerjaan yang berat, tuntutan untuk memenuhi kedua kebutuhan tersebut semakin membuat waktu yang dimiliki menjadi lebih sedikit. Hal ini membuat potensi terjadinya benturan antara kedua cara pandang (standar profesional dan budaya tradisional) menjadi lebih besar. Benturan kedua cara pandang ini kemudian dapat mempengaruhi bagaimana seorang individu melaksanakan pekerjaannya dan menyebabkan adanya tekanan bagi internal auditor. Para manajer sumber daya manusia di beberapa organisasi menyatakan bahwa tekanan pekerjaan merupakan halangan terbesar pekerja untuk mencapai kinerja yang efektif (Jehangir et al., 2011). Tingkat tekanan pekerjaan yang tinggi
6
ini dapat menjadi penyebab ketidakpuasan kerja pada auditor internal (Gavin et al. dalam Larson, 2004). Ketidakpuasan kerja dapat berupa peningkatan absensi kehadiran, hilangnya gairah atau semangat kerja, dan perubahan psikologis lainnya. Hal ini akan memberikan dampak negatif pada efesiensi, efektivitas, dan semangat atau daya juang karyawan pada unit audit internal. Karenanya, penting bagi manajer dan direktur audit internal untuk lebih mengerti tekanan pekerjaan dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan olehnya yang dimiliki oleh karyawan. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah dijelaskan, rumusan masalah penelitian ini adalah adanya dualisme cara pandang yang dialami oleh auditor internal. Karakteristik dan tuntutan pekerjaan sebagai seorang auditor internal, dengan dengan beban kerja yang berat, batas waktu pekerjaan yang padat dengan waktu yang terbatas, perjalanan bisnis dan perpindahan lokasi kerja dari satu tempat ke tempat lain, pekerjaan melibatkan auditan yang berbeda-beda dan dengan kondisi yang stressful membentuk sebuah cara pandang bagi auditor internal dalam menjalankan pekerjaannya. Namun disisi lain, sebagai bagian dari masyarakat Bali, para auditor internal memiliki cara pandang lain yang dipengaruhi oleh budaya tradisional, yaitu sebagai sebuah bagian dari keluarga dan masyarakat dengan tuntutan yang berbeda. Dualisme cara pandang ini kemudian berpotensi memberikan tekanan bagi auditor internal dalam menjalankan pekerjaannya dan mempengaruhi kepuasan kerja yang dirasakan. Untuk itu, perlu diadakan sebuah penelitian mengenai pengaruh budaya tradisional terhadap tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali.
7
1.3 Pertanyaan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan permasalahan diatas, penulis merumuskan pertanyaan penelitian sebagai berikut: 1. Bagaimana pengaruh tekanan pekerjaan terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali? 2. Bagaimanakah pengaruh pengendalian diri terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali? 3. Bagaimanakah pengaruh pengendalian eksternal terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali? 4. Apakah pengendalian diri memoderasi hubungan tekanan pekerjaan dengan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali? 5. Apakah pengendalian eksternal memoderasi hubungan tekanan pekerjaan dengan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali? 1.4 Tujuan Penelitian Berdasarkan pertanyaan riset di atas, penelitian ini bertujuan untuk: 1. Mendapatkan bukti empiris pengaruh tekanan pekerjaan terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali. 2. Mendapatkan bukti empiris pengaruh pengendalian diri terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali.
8
3. Mendapatkan bukti empiris pengaruh pengendalian eksternal terhadap kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali. 4. Mendapatkan bukti empiris apakah pengendalian diri memoderasi hubungan tekanan pekerjaan dengan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali. 5. Mendapatkan bukti empiris apakah pengendalian eksternal memoderasi hubungan tekanan pekerjaan dengan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali. 1.5 Kontribusi Penelitian 1.5.1 Kontribusi Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan empiris mengenai pengaruh budaya tradisional terhadap tekanan pekerjaan dan kepuasan kerja auditor internal pada industri perhotelan di Provinsi Bali. 1.5.2 Kontribusi Praktis 1. Bagi Manajer dan Direktur Audit Internal Penelitian ini diharapkan dapat membantu manajer dan direktur audit internal untuk lebih mengerti tekanan pekerjaan dan dampak negatif yang dapat ditimbulkan olehnya yang dimiliki oleh karyawan. Selain itu dapat menjadi bahan pertimbangan dalam menetapkan kebijakan untuk meningkatkan kepuasan kerja karyawan.
9
2. Bagi Masyarakat Penelitian ini dapat memberikan gambaran kecil mengenai efek budaya tradisional terhadap para pekerja dan memberikan kesadaran tentangnya yang dapat memperkuat budaya tradisional Bali. 1.6 Sistematika Penulisan Penelitian ini terdiri dari 5 (lima) bagian dengan rincian sebagai berikut: BAB I
Bab pendahuluan yang menjabarkan latar belakang masalah, rumusan masalah, pertanyaan penelitian, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
BAB II
Tinjauan teoritis dan pengembangan hipotesis menjelaskan alur dan logika penelitian, teori, hipotesis dan tinjauan pustaka yang melandasi penelitian ini.
BAB III
Bab metodologi penelitian, menjelaskan hal yang berkaitan dengan populasi, sampel, metode pengumpulan data, instrumen, dan analisis data.
BAB IV
Bab pembahasan yang menjabarkan tingkat pengembalian kuesioner,
deskripsi
statistik
demografi
responden,
pengujian instrumen penelitian, uji asumsi klasik, hasil analisis regresi dan pengujian hipotesis, serta pembahasan akan dituangkan pada bagian ini.
10
BAB V
Bab penutup akan menjadi bagian terakhir yang membahas kesimpulan dari penelitian, keterbatasan yang ada, dan implikasi dan saran untuk berbagai pihak yang akan memanfaatkan penelitian ini.