BAB I PENDAHULUAN 1.1 Alasan Pemilihan Judul Pemberdayaan Anggota Lansia Potensial Dalam Program Budidaya Tanaman Sayur di Kelompok Tani RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta merupakan judul yang dipilih penulis. Judul tersebut dipilih dengan berbagai pertimbangan yang mendasari alasan pemilihan judul sebagai berikut : 1.1.1 Aktualitas Peningkatan populasi lansia menjadi isu sentral di berbagai negara, termasuk Indonesia. Perubahan struktur penduduk Indonesia dari struktur muda ke struktur tua menjadi permasalahan tersendiri bagi pemerintah. Di tahun 2025 mendatang, Indonesia
diprediksi akan mengalami ledakan lansia. Hal tersebut ditunjukkan
dengan data Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, populasi lansia pada tahun 2000 populasi lansia di Indonesia hanya sebesar 7,74%, dan diperkirakan mencapai 28.68% di tahun 2045 (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Dari tahun ke tahun kelompok usia lanjut jumlahnya semakin menunjukkan adanya peningkatan. Meningkatnya usia harapan hidup di Indonesia yang merupakan cerminan dari meningkatnya derajat kesehatan warganya, namun disatu sisi jika tidak dikelola dengan baik akan menimbulkan berbagai masalah sosial yang akan menghambat laju pembangunan. Ada berbagai masalah sosial yang muncul dengan tingginya jumlah lansia di suatu wilayah, misalnya masalah jaminan sosial bagi lansia, pelayanan kesehatan, serta masalah lansia terlantar. Seseorang yang memasuki usia lanjut akan mengalami
1
banyak penurunan baik kondisi fisik, mental, sosial, dan ekonominya. Dalam masyarakat, lansia selalu identik sebagai seseorang yang tidak berdaya dan menjadi beban bagi orang lain. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tingginya jumlah lansia adalah dengan pemberdayaan. Selama ini upaya yang banyak dilakukan dalam mengatasi permasalahan lansia adalah dengan berbagai program pelayanan sosial, yang sifatnya hanya memberi atau charity sehingga tidak memandirikan lansia. Upaya mengatasi permasalahan lansia dengan pelayanan sosial dirasa kurang mampu mengatasi semakin meningkatnya jumlah lansia. Perlu dilakukan upaya lain untuk mengatasi permasalahan tersebut. Salah satu upaya untuk mengatasi masalah tingginya jumlah lansia adalah dengan pemberdayaan. Seiring
semakin
meningkatnya
jumlah
lansia
dengan
segala
permasalahannya, sehingga penelitian ini menuntut peneliti masih aktual dengan kondisi Indonesia. Peneliti ingin melihat tentang pemberdayaan anggota lansia dalam program budidaya tanaman sayuran di kelompok tani RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta. 1.1.2 Orisinalitas Penelitian dengan tema lansia juga telah banyak dilakukan. Pada tahun 2014 Novita Sari melakukan penelitian tentang lansia dengan judul Efektivitas Pelayanan Sosial Lansia Berbasis Komunitas di Kawasan Perumahan Nasional Condong Catur, Kecamatan Depok, Sleman, Yogyakarta. Hasil dari penelitian tersebut adalah pelayanan sosial yang dilakukan oleh kelompok-kelompok di RW 22 telah
2
memberikan manfaat bagi kehidupan lansia. Pada tahun 2013 penelitian tentang lansia yang dilakukan oleh Agnes Paramita Sari dengan judul Persepsi Lansia Potensial Tentang Program Pemberdayaan Karang Werda Kabupaten Jember. Hasil dari penelitian tersebut adalah presepsi lansia yang berada di Karang Werda Kabupaten Jember kegiatan pemberdayaan tersebut memberikan banyak manfaat bagi lansia. Penelitian selanjutnya dilakukan oleh Iqamah Dyah Mumpuni yang berjudul Mengais Rezeki Di Usia Senja Pada Orang Jawa. Hasil penelitian tersebut adalah alasan lansia masih bekerja adalah ingin tetap mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari-hari. Dari hasil penelitian tentang lansia yang dilakukan sebelumnya berbeda dengan tema dan fokus yang diangkat oleh peneliti. Tema yang peneliti angkat mengenai Pemberdayaan Anggota Lansia Dalam Program Budidaya Tanaman Sayur di Kelompok Tani di RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta dirasa belum pernah dilakukan sebelumnya oleh penelitian manapun. 1.1.3 Relevansi judul dengan departemen. Dalam melakukan sebuah penelitian, sebuah judul harus relevan dengan bidang ilmu penulis yaitu Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan salah satu departemen yang ada di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Departemen ini dulunya bernama Sosiatri. Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan merupakan cabang dari ilmu sosial yang secara umum membahas tentang berbagai masalah sosial yang terjadi di masyarakat. Selain itu juga mempelajari berbagai aspek kehidupan sosial
3
dalam masyarakat yang begitu kompleks dengan berbagai permasalahan serta bagaimana mencegah masalah sosial itu tejadi dan mendapatkan solusi dari berbagai masalah sosial yang ada. Ada tiga konsentrasi di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan yaitu kebijakan sosial, Corporate Social Responsibility, serta pemberdayaan masyarakat. Salah satu konsentrasi dari Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan
adalah
pemberdayaan
masyarakat.
Pemberdayaan
masyarakat
mempelajari upaya meningkatkan masyarakat yang kurang berdaya menjadi berdaya. Selain itu, di Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan terdapat mata kuliah Masalah Sosial yang mempelajari tentang masalah sosial yang terjadi di masyarakat serta cara mengatasi masalah tersebut. Penelitian dengan judul Pemberdayaan Anggota Lansia Potensial Dalam Program Budidaya Tanaman Sayur di Kelompok Tani RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta dirasa relevan dengan kajian Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan. Hal tersebut dikarenakan salah satu kelompok masyarakat yang rentan terhadap berbagai masalah sosial adalah lansia. Ketika seseorang memasuki usia lansia, maka individu tersebut rentan terhadap berbagai berbagai masalah, baik masalah kesehatan, masalah ekonomi, maupun masalah sosial lain. Adanya berbagai masalah yang dihadapi dengan terus meningkatnya jumlah lansia membutuhkan solusi yang tepat. Salah satu upaya untuk mengatasi berbagai masalah sosial yang dihadapi lansia adalah dengan upaya pemberdayaan. Pemberdayaan dapat dilakukan di berbagai sektor, salah satunya adalah pemberdayaan di sektor pertanian. Sehingga relevansi Pemberdayaan Anggota Lansia Potensial Dalam Program Budidaya 4
Tanaman Sayur di Kelompok Tani RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta sangat sesuai dengan kajian Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan . 1.2 Latar Belakang Masalah penuaan merupakan masalah yang signifikan yang terjadi di berbagai negara di dunia, terutama di negara berkembang. Di negara berkembang, laju pertumbuhan lansia lebih cepat daripada di negara maju. Bahkan setengah dari jumlah lansia di seluruh dunia yaitu sebesar 400 juta jiwa berada di ASIA (Kementrian Kesehatan RI, 2013). Salah satu negara berkembang yang mengalami kenaikan jumlah lansia adalah Indonesia. Saat ini Indonesia mengalami perubahan struktur komposisi penduduk dari penduduk berstruktur muda ke penduduk tua. Hal tersebut mengakibatkan naiknya jumlah lansia. Dari tahun ke tahun jumlah lansia di Indonesia mengalami peningkatan yang signifikan dan diprediksi akan terjadi ledakan lansia. Dari berbagai negara di dunia, pertambahan jumlah penduduk lansia di Indonesia tergolong mengalami peningkatan yang cukup signifikan. Hal tersebut dapat terlihat dari tabel perkiraan pertambahan lansia (Yerly, 2009) : Tabel 1.1 Perkiraan Pertambahan Lansia dari tahun 1990-2025 Negara
Pertambahan Lansia dalam % Indonesia 414 Kenya 347 Brazil 255 India 242 China 220 Jerman 66 Swedia 33 Sumber : Bureau of the Cencus USA 1993 5
Dari tabel tersebut terlihat jumlah lansia di Indonesia dari tahun 1990 sampai tahun 2025 mengalami peningkatan jumlah yang paling besar diantara negara lain yaitu sebesar 414 % dari jumlah lansia, bahkan mengungguli China dan India yang jumlah penduduknya secara keseluruhan lebih besar daripada Indonesia. Meningkatnya jumlah lansia dipengaruhi oleh meningkatnya angka usia harapan hidup sebagai dampak dari meningkatnya derajat kesehatan. Seiring meningkatnya derajat kesehatan dan kesejahteraan penduduk di suatu wilayah, maka akan berpengaruh pada peningkatan usia harapan hidup di wilayah tersebut, begitu juga yang terjadi di Indonesia saat ini. Berdasarkan laporan Perserikatan Bangsa-Bangsa 2011, usia harapan hidup pada tahun 2000-2005 adalah 66,4 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2000 adalah 7,74%), angka ini akan meningkat pada tahun 2045-205 yang diperkirakan usia harapan hidup menjadi 77,6 tahun (dengan persentase populasi lansia tahun 2045 adalah 28,68%). Begitu pula dengan laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan usia harapan hidup. Pada tahun 2000 usia harapan hidup di Indonesia adalah 64,5 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,18%). Angka ini meningkat menjadi 69,43 tahun pada tahun 2010 (dengan persentase populasi lansia adalah 7,56%) dan pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan persentase populasi lansia adalah 7,58%). Secara keseluruhan, dari total penduduk Indonesia pada tahun 2014, lansia mencapai 8,2% diperkirakan meningkat 8,7%(2015) dan 9,7% (2019). Berdasarkan sebaran penduduk lansia menurut provinsi, persentase penduduk lansia diatas 10% terdapat di provinsi D.I. Yogyakarta (14,02%), Jawa Tengah (10,99%), Jawa Timur (10,92%) dan Bali (10,79%). Sementara provinsi yang proporsi penduduk lansianya 6
rendah adalah Provinsi Papua (2,16%), Papua Barat (3,31%), dan Kepulauan Riau (4,83%). Pemerintah mencatat Yogyakarta merupakan kota yang memiliki jumlah penduduk lanjut usia (lansia) tertinggi di Indonesia. Dari total penduduk di kota tersebut, diperkirakan pada tahun 2020 mencapai lansia 14,7 persen (2020), dan meningkat menjadi 19,5 persen (2030). Dinas Sosial DIY (2011, dalam LP3M UMY dan Perwakilan BKKBN DIY, 2014) menyebutkan bahwa proporsi lansia menurut kabupaten/kota di DIY lebih dari 10%; Kulon Progo 14,43%, Gunung Kidul (13,89%), Bantul (11,35%), Sleman (11,25%), dan Kota Yogyakarta (10,84%). Berdasarkan sensus penduduk 2010, diproyeksikan bahwa jumlah lansia DIY mencapai 13,4% pada 2015 dan akan mencapai 19,5% pada 2035 (BPS, 2013). Dengan tingginya jumlah lansia di suatu wilayah, menimbulkan suatu dilema tersendiri. Di satu sisi peningkatan jumlah lansia merupakan cerminan keberhasilan pembangunan. Di sisi lain juga menimbulkan berbagai masalah sosial apabila tidak dikelola dengan baik. Masalah yang dialami oleh lansia umumya adalah masalah penyakit degeneratif. Ada berbagai masalah yang dihadapi seseorang ketika telah memasuki usia lanjut baik masalah yang berasal dari dalam diri mereka sendiri maupun masalah yang datang dari luar diri mereka. Masalah yang berasal dari diri mereka sendiri biasanya adalah masalah kesehatan. Menurut UU No. 13 tahun 1998 yang dimaksud lanjut usia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Seseorang yang telah memasuki usia tersebut dari sisi kesehatan, biasanya rentan mengalami berbagai penyakit baik penyakit fisik maupun mental. Penyakit fisik yang sering dialami seseorang ketika memasuki usia lanjut seperti 7
menurunya indera penglihatan, pendengaran, serta menurunnya berbagai fungsi organ tubuh yang lain yang menyebabkan hubungan dan komunikasi lansia menjadi terbatas. Sedangkan secara mental para lansia mengalami berbagai masalah misalnya kesepian, merasa tidak dibutuhkan di lingkungan masyarakat, serta emosi yang tidak stabil. Dengan menurunnya fungsi tubuh yang dialami lansia juga mengakibatkan menurunnya aktivitas lansia tersebut. Dengan menurunnya aktivitas seseorang tersebut, juga akan berakibat pada menurunnya produktivitas seseorang. Menurunnya fungsi tubuh seseorang ketika memasuki usia lanjut juga berpengaruh pada produktivitas lansia, secara ekonomi para lansia juga mengalami kemunduran ekonomi. Umumnya seseorang yang memasuki usia lanjut, aktivitas ekonomi juga akan berkurang. Para lansia yang dulunya bekerja di sektor formal jika memasuki usia lanjut maka akan pensiun. Sedangkan seseorang yang dulunya bekerja di sektor informal ketika memasuki usia lanjut akan mengalami penurunan pendapatan atau bahkan kehilangan mata pencaharian yang dikarenakan menurunnya kondisi fisik. Akibatnya selama ini stigma lansia di masyarakat adalah sebagai beban bagi keluarga. Lansia banyak dianggap sebagai individu yang tidak berdaya. Tingginya angka lansia di suatu wilayah juga berimbas pada naiknya rasio ketergantungan penduduk tua. Rasio ketergantungan penduduk tua adalah angka yang menunjukkan ketergantungan penduduk tua terhadap penduduk usia produktif. Angka ini menunjukkan beban ekonomi yang harus ditanggung oleh penduduk usia produktif untuk membiayai penduduk yang tidak produktif karena telah memasuki usia tua. Dari tahun ke tahun, angka rasio ketergantungan penduduk tua semakin cenderung mengalami peningkatan. Pada tahun 2005 angka ketergantungan penduduk 8
tua menunjukkan angka 12,12. Pada tahun 2007 meningkat menjadi 13,52. Namun di tahun 2009 mengalami sedikit penurunan menjadi 13,37. Grafik 1.1 Rasio Ketergantungan Penduduk Tua
Dari data tersebut rasio ketergantungan penduduk tua terhadap penduduk usia produktif relatif naik dari tahun 2005, 2007, dan 2009 (Komisi Nasional Lanjut Usia 2010:40). Namun rasio ketergantungan lansia terhadap penduduk usia produktif di pedesaan lebih tinggi daripada lansia yang tinggal di perkotaan. Menurut survei penduduk BPS di Yogyakarta rasio ketergantungan penduduk tua (ODR) pada tahun 2010 adalah sebesar 19,92 yang berarti setiap 100 orang penduduk produktif (15-59 tahun) harus menanggung sekitar 19 sampai 20 lansia. Angka tersebut akan semakin
9
meningkat seiring dengan tingginya angak harapan hidup di Indonesia. Jika angka ketergantungan tinggi, apabila tidak dikelola dengan baik, bisa berdampak pada terhambatnya laju pembangunan di suatu wilayah.
Untuk itu pemerintah perlu
mengelola permasalahan lansia dengan berbagai kebijakan pro lansia. Selama ini pemerintah telah mengeluarkan berbagai kebijakan yang mengatur tentang lansia. Produk-produk kebijakan yang berhubungan dengan kesejahteraan lansia antara lain UU No. 13 tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia, UU No. 4 tahun 1965, PP No. 43 tahun 2004 tentang pelaksanaan upaya peningkatan kesejahteraan lansia, Keppres No. 52 tahun 2004 tentang Komisi Nasional Lansia, Studi Pelaksanaan UU No. 11 tahun 2009 tentang kesejahteraan sosial. Semua kebijakan tersebut bermaksud untuk meningkatkan kesejahteraan lansia agar lansia lebih sehat, mandiri, aktif dan produktif. Selama ini stigma masyarakat tentang lansia selalu identik dengan stigma negatif. Lansia banyak dipresepsikan sebagai seseorang dengan kondisi yang lemah, sakit-sakitan, dan merepotkan keluarga. Seseorang yang telah memasuki usia lanjut identik dengan kepikunan, renta, dan ketinggalan jaman. Selain itu di masyarakat lansia identik dengan sifat cerewet, terutama lansia perempuan. Tidak heran banyak terjadi kekerasan pada lansia karena ketidaksabaran orang di sekitar lansia dalam merawatnya. Lansia juga identik dengan ketidaberdayaan. Dari segi fisik, banyaknya kemunduran fisik yang dialami lansia membuat lansia banyak mendapatkan presepsi negatif dari masyarakat. Lansia banyak dianggap beban dalam sebuah keluarga. Hal tersebut dikarenakan ketika seseorang telah memasuki usia lanjut, biasanya berkurang produktivitas ekonominya. Seseorang ketika memasuki usia lanjut, yang dulunya 10
bekerja di sektor formal misalnya Pegawai Negeri Sipil akan memasuki masa pensiun. Hal itu tentu saja akan mengurangi pendapatannya. Sedangkan seseorang yang bekeja di sektor informal ketika memasuki usia lanjut, tentu berpengaruh pada produktifitasnya, karena kekuatan tubuh yang sudah tidak sekuat masa muda dulu. Selain berdampak pada berkurangnya produktifitas di bidang ekonomi, lansia juga sering mengalami kemunduran fungsi sosialnya. Misalnya banyak lansia yang sudah tidak banyak mengikuti kegiatan sosial kemasyarakatan di sekitar lingkungannya karena keterbatasan fisik. Kondisi tersebut tentu saja membawa dampak negatif bagi psikologi lansia. Lansia akan merasa kesepian, tidak lagi dibutuhkan yang berimbas pada tidak stabilnya emosi pada lansia seperti mudah marah dan mudah tersinggung. Dengan berbagai masalah yang banyak dialami lansia, perlu dikelola dan diatasi karena jumlahnya terus bertambah dari waktu ke waktu. Namun anggapan dan stigma negatif masyarakat tentang lansia tidak sepenuhnya benar. Masih banyak lansia yang masih potensial dan berdaya. Masih banyak ditemukan lansia yang masih mampu bekerja baik untuk memenuhi kehidupannya sendiri, bahkan ada yang untuk menghidupi anggota keluarga lain yang masih tergolong produktif. Pada kenyataannya masih banyak lansia yang bekerja untuk mencari nafkah, seperti terlihat dari data Survei Angkatan Kerja Nasional (SAKERNAS) tahun 1996, dari 2,6 juta lansia laki-laki yang berusia 60-64 tahun, 81 persen diantaranya berstatus bekerja. Bahkan untuk lansia yang sudah berusia 65 tahun ke atas masih banyak yang bekerja, yaitu sebesar 57 persen dari 3,8 juta lansia usia tersebut. Data SAKERNAS juga memper lihatkan bahwa sekitar 45 persen lansia perempuan usia 60-64 tahun. Dari sisi ekonomi, Tingkat Partisipasi Angkatan Kerja 11
(TPAK) penduduk lanjut usia masih cukup tinggi, meskipun kesenjangan antar jenis kelamin masih cukup tinggi. TPAK lansia laki-laki mencapai 72,26 persen, sedangkan perempuan 37,83 persen pada tahun 2007. Dari hasil penelitian yang dilakukan Komnas Lansia pada tahun 2008, ditemukan bahwa alasan paling umum lansia masih bekerja adalah karena ekonomi yang tidak mencukupi, alasan lain adalah karena ingin tetap aktif dan mandiri. Sedangkan alasan lansia tidak bekerja adalah karena kesehatan yang memburuk. Berdasarkan hasil Sakernas Agustus 2009, hampir separuh (47,44 persen) lansia di Indonesia memiliki kegiatan utama bekerja dan sebesar 0,41 persen termasuk menganggur/mencari kerja, kemudian mengurus rumah tangga 27,88 persen dan kegiatan lainnya sekitar 24,27 persen (Profil Penduduk Lanjut Usia 2009:44). Dari data tingginya angkatan kerja pada lansia dapat disimpulkan bahwa lansia masih menghasilkan dan mampu mencari nafkah meskipun mungkin hasilnya tak sebesar dengan angkatan kerja usia muda. Dari penelitian Iqamah Dyah Mumpuni yang berjudul Mengais Rejeki di Usia Senja Pada Orang Jawa didapatkan hasil bahwa alasan lansia masih banyak bekerja adalah ingin tetap mandiri dalam memenuhi kebutuhan sehari hari, bermakna aktivitas, eksistensi diri, menjalin relasi sosial. Artinya masih banyaknya lansia yang bekerja bukan sematamata karena untuk memenuhi kebutuhan ekonominya, tetapi juga sebagai ajang sosialisasi sehingga tidak tersingkirkan perannya di masyarakat. Menurut Dra. Eva A.J. Sabdono, MBA, dari Yayasan Emong Lansia dalam lokakarya „Penuaan Penduduk dan Pembangunan Dokumentasi, Tantangan dan Langkah Lanjut‟ mengungkapkan bahwa
lansia Indonesia yang miskin dan telantar hanya 15%. Sisanya yang 85%
12
adalah lansia yang justru potensial digerakkan untuk membantu yang 15%. Hal ini membuktikan bahwa lansia sebenarnya memiliki daya serta potensi untuk digali dan dikembangkan, bukan hanya dipandang sebagai beban. Pendapat lain diungkapkan oleh Prof. Dr. Tri Budi W. Rahardjo selaku direktur Center For Ageing Studies Universitas indonesia mengungkapkan bahwa di Yogyakarta pertumbuhan lansia mencapai angka 48.092 jiwa per tahun dan 90% diantaranya masih produktif (Tupotimangsang, 2013). Dari pendapat tersebut dapat disimpulkan meskipun lansia di Yogyakarta jumlahnya tergolong tinggi, namun sebagian besar masih potensial. Banyaknya lansia yang masih potensial, perlu dilakukan upaya untuk menggali potensi dari lansia. Lansia tidak hanya dipandang sebagai beban dan penghambat bagi laju pembangunan bagi suatu negara melainkan harus diberikan peluang untuk ikut serta dalam pembangunan untuk mengatasi berbagai masalah yang timbul terkait banyaknya jumlah lansia. Salah satu cara untuk mengatasi berbagai permasalahan lansia adalah dengan program pemberdayaan. Dengan program pemberdayaan diharapkan dapat mewujudkan lansia yang mandiri dan produktif untuk meningkatkan derajat kesehatan dan kehidupan mereka agar mereka tidak menjadi beban bagi orang lain. Lansia yang selama ini dinggap menjadi beban bagi keluarganya dan rentan terhadap berbagai masalah sosial diberdayakan dan ikut dilibatkan dalam kegiatan sosial ekonomi dimasyarakat agar kelompok lansia tersebut menjadi lansia yang mandiri, aktif, sehat dan produktif.
13
Melihat bahwa banyaknya lansia yang masih produktif, program pemberdayaan dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif kegiatan yang memberikan manfaat bagi lansia serta sebagai upaya untuk mengatasi berbagai permasalahan dengan besarnya jumlah lansia. Pemberdayaan lansia dapat berupa program-program yang sesuai dengan potensi dan kemampuan lansia di suatu wilayah. Salah satu pemberdayaan yang sasarannya lansia adalah pemberdayaan lansia yang berada di Rejowinangun. Ada berbagai kegiatan yang melibatkan lansia di Kelurahan Rejowinangun diantaranya adanya posyandu lansia, senam lansia, dan perkumpulan lansia. Rejowinangun adalah salah satu kelurahan yang berada di Kotagede Yogyakarta. Kelurahan rejowinangun mempunyai beberapa nama icon untuk masing-masing wilayahnya. Di Rejowinangun ada berbagai macam icon kampung, diantaranya kampung agro, kampung kuliner, kampung kerajinan,dan kampung herbal. Masing-masing RW di kelurahan ini mempunyai kegiatan masyarakat yang berhubungan dengan nama icon di wilayahnya. RW 12 merupakan wilayah dengan icon kampung agro, sehingga warga yang berada di kawasan ini hampir semua mempunyai tanaman di pekarangan rumahnya. Kegiatan lansia di kawasan ini juga berhubungan dengan sektor pertanian. Salah satu kegiatan lansia di RW 12 adalah melalui kegiatan di sektor pertanian yang tergabung dalam Kelompok Tani Shinta Mina dan Retno Makmur. Shinta Mina adalah kelompok tani wanita yang beranggota 30 orang, yang kebanyakan anggotanya adalah lansia. Sedangkan Retno Makmur merupakan kelompok tani yang anggotanya adalah laki-laki. Meskipun di RW 12 terdapat 2 kelompok tani, namun dalam hal kegiatan pertanian mereka selalu bekerjasama. Ada berbagai kegiatan di bidang pertanian yang berhubungan dengan 14
sektor pertanian yang dilakukan oleh anggotanya. Kegiatan di kelompok tersebut antara lain penanaman, perawatan tanaman, penjualan hasil tani, serta pemanfaatan hasil pertanian oleh anggota dan berbagai kegiatan lain yang berhubungan dengan pertanian. 1.3 Rumusan Masalah Dalam kelompok tani di RW 12 Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta banyak kegiatan yang dilakukan yang bertujuan untuk memberdayakan anggotanya. Kebanyakan dari anggota kelompok ini adalah para lansia, sehingga diperlukan kajian tentang pemberdayaan yang dilakukan di kelompok tersebut serta dampak atau kebermanfaatan program tersebut bagi anggota lansia yang mengikuti program tersebut. Dari uraian permasalahan tersebut, rumusan masalah yang diambil yaitu : Bagaimanakah kelompok tani dapat memberdayakan anggota lansia potensial dalam program budidaya tanaman sayur di RW 12 Rejowinangun Kotagede, Yogyakarta ? 1.4 Tujuan Penelitian dan Manfaat Penelitian Dalam sebuah penelitian, tentu terdapat tujuan yang ingin dicapai oleh peneliti secara operasional maupun substansial. Penelitian tentang Pemberdayaan anggota lansia potensial dalam kelompok tani di RW 12 Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta memiliki tujuan sebagai berikut : 1.4.1 Tujuan Penelitian a. Tujuan Operasional
15
Tujuan operasional dalam penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi bagi perkembangan Departemen Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dalam memecahkan masalah sosial, khususnya tentang pemberdayaan lanjut usia. b. Tujuan Substansial Tujuan substansial dari penelitian ini untuk mengetahui
pemberdayaan
dan
kebermanfaatan bagi lansia potensial anggota kelompok tani di RW 12 dalam program budidaya tanaman sayur, Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta 1.4.2 Manfaat Penelitian Dalam sebuah penelitia ada manfaat yang akan didapatkan oleh penulis, pembaca, pemerintah, maupun masyarakat yaitu: a. Bagi penulis Melalui penelitian ini dapat memberikan pengetahuan tentang pemberdayaan dan kebermanfaatan bagi lansia potensial, terutama yang tergabung dalam sebuah kelompok tani. b. Bagi masyarakat Memberikan informasi kepada pembaca tentang pemberdayaan lansia potensial melalui kelompok tani sehingga dapat dijadikan pedoman replikasi ditempat lain. c. Bagi pemerintah Penelitian ini diharapkan dapat memberikan referensi bagi pemerintah dalam menghadapi permasalahan lansia, khususnya di bidang pemberdayaan bagi lansia. d. Bagi pembaca
16
Penelitian ini diharapkan sebagai referensi dan sumbangan pemikiran pada penelitian berikutnya. 1.5 Tinjauan Pustaka Dalam penelitian tentang pemberdayaan anggota lansia potensial dalam program budidaya tanaman sayuran di kelompok tani RW 12 Kelurahan Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta maka terdapat beberapa aspek utama yang diteliti. Dalam sebuah pemberdayaan, tentu terdapat pelaku didalamnya. Salah satu pelaku dalam pemberdayaan adalah lansia. Pemberdayaan yang merupakan sebuah proses, sehingga dalam pemberdayaan, sangat terkait dengan berbagai aktivitas yang bertujuan untuk memberikan daya kepada individu, kelompok, masyarakat yang semula powerless menjadi powerfull. Pemberdayaan yang diberikan kepada lansia tentu tidak sama dengan pemberdayaan pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi fisik lansia yang tidak sama dengan kondisi fisik di kelompok umur yang lebih muda. Untuk itu dalam penelitian ini akan membahas beberapa konsep yaitu konsep pemberdayaan, konsep mengenai lansia, serta kelompok tani. 1.5.1 Lansia 1.5.1.1 Pengertian lansia Memasuki usia tua merupakan fase akhir dari kehidupan manusia. Banyak orang yang merasa khawatir ketika memasuki fase lansia karena akan terjadi banyak perubahan di kehidupannya secara fisik maupun psikis. Seseorang dikatakan lansia apabila telah memiliki sifat atau ciri tertentu. Ada beberapa pengertian mengenai definisi lansia, diantaranya adalah menurut Undang-Undang No13 tahun 1998
17
tentang kesejahteran lanjut usia yang disebut lansia adalah seseorang yang telah mencapai usia 60 (enam puluh) tahun keatas. Menurut Suamiati lanjut usia adalah ketika seseorang mencapai umur 65 tahun keatas (Bandiyah 2009:20) Sedangkan organisasi kesehatan dunia (WHO), membagi golongan lanjut menjadi beberapa kelompok (Bandiyah 2009:20), yaitu: - Usia pertengahan, ialah kelompok umur 45 sampai 59 tahun - Lanjut usia , yaitu usia antara 60 hingga 74 tahun - Lanjut usia tua yaitu usia antara 75 hingga 90 tahun, dan - Usia sangat tua yaitu usia diatas 90 tahun. Pendapat para ilmuwan sosial (Papalia, Olds, Fieldman 2009:336) membagi lansia menjadi tiga kelompok yaitu: - Lansia muda yaitu orang yang berusia 65 tahun sampai 74 tahun yang biasanya masih aktif, sehat, dan kuat - Lansia tua yaitu orang yang berusia 75 tahun sampai 84 tahun - Lansia tertua yaitu orang yang berusia 85 tahun ke atas yang biasanya sudah renta. Berdasarkan dari berbagai pendapat mengenai definisi usia lanjut, pada penelitian ini menggunakan defini usia lanjut dari Undang-Undang No 13 tahun 1998. Penduduk yang memasuki usia lanjut adalah penduduk yang telah mencapai usia 60 tahun ke atas. 1.5.1.2 Perubahan yang dialami lansia Memasuki
usia
lanjut,
banyak
terjadi
berbagai
perubahan
dalam
kehidupannya. Dari segi fisik, banyak terjadi kemunduran organ tubuh. Kulit yang
18
semula kencang, pada fase ini akan mengalami perubahan, seperti munculnya keriput, terdapat bercak, serta berkurangnya elastisitas kulit. Selain kulit, tanda yang biasanya dialami ketika seseorang memasuki usia lanjut adalah rambut yang mulai memutih, dan sebagian mengalami kerontokan. Selain itu penurunan fungsi tubuh lain seperti menurunnya kemampuan mata, tulang dan persendian yang mulai rapuh, gigi tanggal, serta kondisi tubuh yang mudah lelah juga banyak dialami lansia. Perubahan fungsi organ dalam, fungsi saraf, serta indra lain juga menjadi ciri perubahan seseorang yang memasuki usia lanjut. Perubahan pada lansia juga dialami dari segi psikis. Umumnya lansia mengalami beberapa gangguan psikis seperti kesepian, susah tidur, menyendiri, dan mengalami kesedihan karena ditinggal pasangan atau orang terdekat. Emosi yang tidak stabil juga cenderung banyak dialami lansia, misalnya mudah tersinggung dan depresi. Kemampuan otak yang menurun juga membawa dampak bagi kehidupan lansia. Banyak lansia yang mengalami kepikunan sehingga menghambat kehidupan sehari-harinya. Perubahan sosial dan ekonomi juga dialami seseorang ketika memasuki usia lansia. Perubahan sosial ditandai dengan kecenderungan menyendiri, tidak punya gairah hidup untuk berkumpul dengan teman sebaya, keluarga besar, anak dan cucu. Lansia juga sering merasa tidak dibutuhkan dilingkungan sosialnya, sehingga banyak yang menarik diri dari sosialisasi di masyarakat. Sedangkan perubahan ekonomi yang umum dialami lansia adalah menurunnya produktivitas yang berimbas pada menurunnya pendapatan. Memasuki masa pensiun bagi lansia, juga terkadang membuat lansia menjadi masalah tersendiri. Selain karena pendapatan yang tidak 19
seperti saat masih aktif bekerja, perubahan pola hidup yang semula sibuk menjadi tidak beraktivitas juga menimbulkan kondisi stress pada lansia. 1.5.1.3 Lansia potensial dan lansia tidak potensial Produktivitas seseorang ketika memasuki usia lanjut, umumnya mengalami penurunan. Namun bukan berarti dengan kondisi tersebut semua lansia tidak memiliki kemampuan untuk menghasilkan. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 tentang Kesejahteraan Lanjut Usia, lansia digolongkan menjadi 2 yaitu: 1. Lanjut usia potensial adalah lanjut usia yang masih mampu melakukan pekerjaan dan/atau kegiatan yang dapat menghasilkan barang dan/atau jasa. Lansia potensial juga sering disebut lansia produktif. Lansia pada golongan ini memiliki kesehatan secara fisik, mental, maupun sosial. Dalam UU No. 13 1998 tentang kesejahteraan lansia, upaya peningkatan kesejahteraan sosial di kelompok ini dapat diberikan dengan berbagai cara yaitu pelayanan keagamaan dan mental spiritual, pelayanan kesehatan, pelayanan kesempatan kerja, pelayanan pendidikan dan pelatihan, pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum, pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum, serta bantuan sosial. Lansia yang masih potensial, berarti masih memiliki banyak kelebihan, baik dari segi kemampuan ataupun kesempatan yang bisa digunakan untuk mengembangkan dan meningkan kualitas hidup dirinya. Untuk itu, pada kelompok ini perlu diberdayakan untuk bisa mengatasi berbagai masalah penuaan agar mereka mandiri.
20
2. Lanjut usia tidak potensial adalah lanjut usia yang tidak berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya bergantung pada bantuan orang lain. Lansia digolongan ini juga disebut lansia yang tidak produktif yaitu lansia yang sehat secara fisik, tetapi tidak sehat dari aspek mental dan sosial; atau sehat secara mental tetapi tidak sehat dari aspek fisik dan sosial; atau lansia yang tidak sehat baik dari aspek fisik, mental maupun sosial. Upaya peningkatan kesejahteraan sosial bagi lanjut usia tidak potensial meliputi; pelayanan keagamaan dan mental spiritual; pelayanan kesehatan; pelayanan untuk mendapatkan kemudahan dalam penggunaan fasilitas, sarana, dan prasarana umum; pemberian kemudahan dalam layanan dan bantuan hukum; perlindungan sosial. Lansia tidak potensial biasanya adalah lansia yang memiliki beberapa penyakit kronis, sehingga mereka terbatas aktivitasnya. Lansia digolongan ini tentu membutuhkan perawatan dari orang lain untuk tetap menjalankan kehidupannya. Pada penelitian ini akan melihat pemberdayaan yang dilakukan pada lansia potensial anggota kelompok tani dalam program budidaya tanaman sayur di RW 12, Rejowinangun, Kotagede, Yogyakarta. 1.5.2 Teori Aktivitas Fase lansia bagi orang yang memasukinya membutuhkan penyesuaian. Hal tersebut dikarenakan kondisi tua berbeda dengan saat masih di usia muda. Dahulu di usia muda seseorang lebih aktif, karena masih memiliki berbagai kegiatan misalnya bekerja. Namun setelah memasuki usia senja banyak aktivitas yang mulai berkurang akibat kekuatan fisik yang menurun. Ada beberapa teori yang menerangkan tentang
21
penuaan pada manusia. Salah satu teori penuaan adalah teori aktivitas. Inti dari teori ini adalah semakin tetap aktifnya seseorang lansia, makin baik pula mereka dalam penuaan. Teori aktivitas ini berkaitan tentang peran sosial lansia. Semakin besar lansia kehilangan peran dalam kehidupan sosialnya, misalnya karena telah memasuki usia pensiun. Orang yang beranjak tua dengan baik akan mempertahankan sebanyak mungkin aktivitas dan berupaya mengganti peran yang hilang
(Neugarten,
Havinghurst, dan Tobin dalam Papalia, Olds, Feldman 2009:408). Lansia yang tergolong sukses adalah lansia yang tetap aktif. Saat memasuki usia lanjut di satu sisi banyak peran yang harus dilepaskan, namun menurut teori ini lansia yang baik adalah lansia yang mengganti peran yang hilang dengan peran baru sehingga kehidupannya memberikan manfaat bagi dirinya sendiri maupun orang lain dengan melakukan berbagai kegiatan. Kegiatan yang dapat menggantikan peran yang hilang saat memasuki usia lanjut misalnya adalah aktif di kegiatan sosial di lingkungan. Selain itu, aktif di kegiatan sosial juga berfungsi untuk menjaga hubungan antara individu dengan sistem sosial agar selalu selaras. Penelitian lain menunujukkan bahwa kehilangan peran yang besar adalah faktor resiko terhadap penurunan kebahagiaan hidup dan kesehatan mental (Greenfield dan Marks, 2004 dalam Papalia, Olds, Feldman 2009:408) . Para lansia akan merasa bahagia jika mereka banyak terlibat dalam berbagai aktivitas, meskipun aktivitas tersebut tidak produktif atau hanya bersifat sukarela. Sebaliknya jika keberlangsungan aktivitas di usia lanjut menurun, akan berpengaruh pada kondisi emosional yaitu menyebabkan penurunan kebahagiaan lansia. Hal tersebut dikarenakan aktivitas juga erat kaitannya dengan kepuasan. Semakin besar 22
keterlibatan mereka dalam berbagai aktivitas, maka akan merasa semakin puas dengan kehidupannya. Selain berpengaruh terhadap kebahagiaan dan kepuasan lansia, aktivitas juga memberi banyak dampak positif bagi lansia karena aktivitas fisik adalah sesuatu yang murah, sangat penting untuk mencegah penyakit, meningkatkan kesehatan, dan perasaan lebih baik, serta meningkatkan hubungan sosial. Selain itu aktivitas juga memberi manfaat pada kesehatan fisik, dan fungsi kognitif, serta penyakit alzheimer. Dalam pemberdayaan, sangat terkait dengan berbagai aktivitas yang bertujuan untuk memberikan daya kepada individu, kelompok, masyarakat yang semula powerless menjadi powerfull. Pemberdayaan yang diberikan kepada lansia tentu tidak sama dengan pemberdayaan pada umumnya. Hal tersebut dikarenakan kondisi fisik lansia yang tidak sama dengan kondisi fisik di kelompok umur yang lebih muda. 1.5.3 Pemberdayaan Pemberdayaan merupakan istilah yang sering ditemui dalam konteks pembangunan masyarakat. Pemberdayaan memiliki beberapa definisi berbeda dari beberapa ahli. Secara etimologis pemberdayaan berasal dari kata dasar daya yang berarti kekuatan atau kemampuan. Pemberdayaan juga dimaknai sebagai proses menuju berdaya, atau proses untuk memperoleh daya/kekuatan/kemampuan, dan atau proses pemberian daya/kekuatan/kemampuan dari pihak yang memiliki daya kepada pihak yang kurang atau belum berdaya (Sulistyani 2004:77). Menurut pendapat tersebut pemberdayaan dimaknai sebagai sebuah proses, artinya dalam sebuah
23
pemberdayaan terdapat tahapan-tahapan menuju berdaya. Pemberdayaan tidak terjadi secara instan, melainkan melewati beberapa tindakan-tindakan yang sistematis dalam upaya mengubah sasaran yang semula kurang berdaya atau tidak berdaya menjadi berdaya. Proses pemberian daya dilakukan dari pihak yang memiliki sumber kekuatan atau kemampuan. Sumber kekuatan tersebut bisa berasal dalam yaitu dari masyarakat itu sendiri maupun dari pihak luar seperti pemerintah, Lembaga Swadaya Masyarakat, atau swasta. Menurut Mulyanto pemberdayaan juga dimaknai sebagai upaya memampukan dan memandirikan masyarakat (Sunartiningsih 2004:21). Dalam kerangka pemikiran tersebut pemberdayaan dimulai dengan upaya mengembangkan potensi dari masyarakat dengan cara memberi dorongan, peluang, kesempatan, dan perlindungan dengan tidak mengatur dan mengendalikan kegiatan masyarakat yang diberdayakan sehingga
masyarakat dapat berdaya dan mengembangkan potensi.
Setelah meraka dapat mengembangkan potensinya, tujuan dari pemberdayaan adalah masyarakat atau sasaran dapat mandiri. Masyarakat dapat mandiri dalam memenuhi kebutuhan ekonomi, fisik maupun kebutuhan sosialnya. Istilah pemberdayaan seringkali dikaitkan dengan aspek ekonomi yaitu peningkatan ekonomi individu yang merupakan salah satu prasyarat pemberdayaan. Namun pemberdayaan bukan hanya sekedar terkait dengan aspek ekonomi, tetapi pemberdayaan merupakan tindakan usaha di segala aspek sosial, budaya, politik, psikologi baik secara individu maupun kolektif. Contoh dari berdaya secara psikogi adalah masyarakat memiliki rasa percaya diri, sedangkan berdaya secara politik adalah menyampaikan pendapat dalam rangka menyalurkan aspirasi. Ikut serta dalam kegiatan sosial yang ada di masyarakat adalah contoh dari berdaya secara sosial. Jadi pemberdayaan bukan hanya diukur dari 24
peningkatan taraf ekonomi saja misalnya peningkatan pendapatan setelah adanya pemberdayaan melainkan juga dari berbagai aspek lain. Berkaitan dengan upaya pemberdayaan, Menurut Winarni terdapat tiga inti dari pemberdayaan, yaitu pengembangan (enabling), memperkuat potensi atau daya (empowering), terciptanya kemandirian (Sulistiyani 2004:79). Pengembangan (enabling) dalam konteks ini merupakan pengembangan kapasitas masyarakat dengan cara menciptakan suasana agar masyarakat bisa mengembangkan potensinya. Prinsipnya bahwa semua individu yang ada di masyarakat pasti memiliki daya, tidak ada masyarakat yang sama sekali tidak memiliki daya karena jika manusia tidak memiliki daya maka akan punah. Jadi setiap manusia pasti mempunyai potensi yang dapat digali dan dikembangkan. Pemberdayaan merupakan upaya untuk menggali dan membangun daya yang ada dalam setiap masyarakat tersebut dengan cara menumbuhkan motivasi, mendorong, serta menyadarkan potensi yang ada dalam diri masyarakat serta mengembangkannya. Setelah proses pengembangan, langkah selanjutnya adalah memperkuat potensi atau daya (empowering). Upaya peningkatan potensi dalam pemberdayaan dapat dilakukan dengan berbagai cara. Salah satu caranya adalah dengan membuka berbagai akses atau peluang bagi masyarakat agar semakin berdaya, misalnya dengan melakukan kemitraan dengan pemerintah atau swasta untuk memfasilitasi pemberdayaan sehingga mampu meningkatkan daya masyarakat. Cara lain adalah dengan menyediakan masukan kepada masyarakat untuk pemberdayaan, misalnya menyediakan barang yang bermanfaat untuk program pemberdayaan serta memberi pengetahuan baru dan pelatihan kepada masyarakat agar menambah wawasan masyarakat. Penanaman nilai-nilai luhur kepada 25
masyarakat, misalnya menanamkan nilai gotong-royong, tanggung jawab, kerjasama, hemat juga perlu dilakukan dalam upaya penguataan daya. Selain itu peningkatan partisipasi masyarakat dalam proses pengambilan keputusan juga perlu ditingkatkan dalam proses pemberdayaan. Inti pemberdayaan yang terakhir adalah terciptanya kemandirian. Kemandirian merupakan tujuan dari adanya sebuah pemberdayaan. Kemandirian tersebut dapat dilihat dari kemandirian bertindak dan berpikir. Kemandirian masyarakat merupakan suatu kondisi yang dialami oleh masyarakat yang ditandai oleh kemampuan untuk memikirkan, memutuskan serta melakukan sesuatu yang dipandang tepat demi mencapai pemecahan masalah-masalah yang dihadapi dengan mempergunakan daya kemampuan dengan pengerahan sumber daya yang dimiliki oleh lingkungan internal masyarakat tersebut ( Sulistiyani 2004:80). Pendapat tersebut dapat disimpulkan bahwa kemandirian merupakan cerminan masyarakat yang kuat, dapat menentukan langkah yang diambil, serta menentukan keputusan dan mengendalikan atas semua tindakan yang diambil. Hal tersebut dikarenakan pemberdayaan tidak berlangsung selamanya di masyarakat, jika dirasa masyarakat sudah berdaya, maka akan dilepas oleh pendamping yang selanjutnya dibiarkan mandiri. Untuk mewujudkan pemberdayaan yang berhasil di masyarakat, dapat diwujudkan dengan beberapa prinsip pemberdayaan adalah : a. Pemberdayaan adalah proses kolaboratif pemberdayaan merupakan proses yang dilakukan oleh masyarakat dengan pendamping. Oleh karena itu, masyarakat dan pendamping harus saling bekerjasama. Pendamping hanya sebagai fasilitator, bukan sebagai guru. Pendamping dan 26
masayarakat saling belajar, tidak saling menggurui. Pendamping belajar dari masyarakat, begitu juga sebaliknya. b. Proses pemberdayaan menempatkan masyarakat sebagai aktor atau subjek yang kompeten dan mampu menjangkau sumber-sumber serta kesempatan yang ada. Untuk melakukan suatu pemberdayaan, prinsipnya adalah dari, untuk, dan oleh masyarakat. Masyarakat tidak hanya sebagai objek, melainkan aktif sebagai pelaku utama pemberdayaan. Dalam kegiatan pemberdayaan, masyarakat harus dibiarkan mendominasi kegiatan meskipun pada awal program pendamping mungkin banyak mendominasi. Namun setelah dilakukan pendampingan diawal, pada kegiatan selanjutnya peran pendamping harus sedikit demi sedikit dikurangi. Pemberdayaan harus memanfaatkan pengetahuan tradisional dan kemampuan yang ada dari masyarakat untuk memecahkan segala persoalan yang ada. c. Masyarakat harus berpartisipasi dalam pemberdayaan mereka. Partisipasi masyarakat sangat penting dalam penentuan keberhasilan suatu program pemberdayaan. Partisipasi berpengaruh
dalam proses perencanaan, penentuan
kebijakan, maupun dalam pengambilan keputusan. Dalam pemberdayaan masyarakat adalah sebagai aktor utama dalam perubahan, sehingga keterlibatan masyarakat dalam setiap proses akan mempengaruhi hasil yang didapat. Hal paling penting dalam partisipasi adalah masyarakat terlibat langsung sejak dari perencanaan, proses, maupun hasil. Dengan partisipasi masyarakat pemberdayaan akan efektif, karena dapat mengetahui permasalahan yang terjadi di masyarakat serta memilih metode yang tepat dalam memecahkannya. Selain itu dengan partisipasi, masyarakat juga
27
merasa memiliki dari proses pemberdayaan tersebut sehingga program tersebut dapat berkelanjutan yang berimbas pada kemandirian masyarakat. Pemberdayaan merupakan sebuah proses yang melalui beberapa tahapan untuk sampai pada tujuan. Menurut Sulistyani, sebuah pemberdayaan dibagi menjadi beberapa tahap, tahap tersebut adalah : 1. Tahap penyadaran dan pembentukan perilaku sadar dan peduli sehingga merasa membutuhkan peningkatan kapasitas diri 2. Tahap transformasi kemampuan berupa wawasan pengetahuan, kecakapan ketrampilan agar terbuka wawasan dan memberikan ketrampilan dasar sehingga dapat mengambil peran di dalam pembangunan 3. Tahap peningkatan kemampuan intelektual, kecakapan, ketrampilan sehingga terbentuklah
inisiatif
dan
kemampuan
inovatif
untuk
mengantarkan
pada
kemandirian. Dengan
berbagai
penjelasan
tersebut,
dilihat
dari
pendekatannya
pemberdayaan menggunakan pendekatan dari alur bawah ke atas atau lebih dikenal dengan istilah bottom up. Dalam pendekatan ini prinsipnya adalah melibatkan partisipasi masyarakat dalam segala pengambilan keputusan sejak awal hingga hasil. Pemberdayaan yang sasarannya adalah lansia, tentu berbeda dengan pemberdayaan secara umum. Hal tersebut dikarenakan lansia memiliki kondisi fisik berbeda dengan masyarakat dengan umur yang belum memasuki usia tua. Menurut Undang-undang Nomor 13 tahun 1998 pemberdayaan adalah setiap upaya meningkatkan kemampuan fisik, mental spiritual, sosial, pengetahuan, dan keterampilan agar para lanjut usia siap didayagunakan sesuai dengan kemampuan masing-masing. 28
1.5.4 Kelompok Tani Pada dasarnya manusia merupakan makhluk sosial, salah satunya diwujudkan dengan adaanya kelompok sosial dalam kehidupan. Kelompok sosial merupakan wadah yang dapat menjadikan individu yang berada di dalamnya dapat tumbuh dan berkembang sebagaimana mestinya. Dalam kelompok sosial, seorang individu dapat mengekspresikan dirinya serta mengembangkan kemampuannya. Ada beberapa definisi kelompok menurut beberapa ahli, menurut Roland Freedman cs. Kelompok adalah organisasi terdiri atas 2 (dua) atau lebih individu-individu yang tergantung oleh ikatan-ikatan suatu sistem ukuran-ukuran kelakuan yang diterima dan disetujui oleh semua anggotanya. Sedangkan menurut Park dan Burgess kelompok adalah sekumpulan orang yang memiliki kegiatan yang konsisten. Pendapat lain menyebutkan bahwa kelompok adalah agregat sosial dimana anggota-anggota yang saling tergantung, dan setidak-tidaknya memiliki potensi untuk melakukan interaksi satu sama lain (Sears, Freedman & Peplau, 1991:83). Pendapat Sherif menyatakan bahwa kelompok adalah suatu unit sosial yang terdiri dari dua atau lebih individu yang telah mengadakan interaksi sosial yang cukup intensif dan teratur, sehingga diantara individu itu sudah terdapat pembagian tugas, struktur, dan norma-norma tertentu yang khas bagi kelompok itu (Ahmadi, 1999:94).
Kelompok disini
mempunyai sifat : - Adanya saling tergantung diantara anggota kelompok sehingga membentuk pola tertentu yang mengikat satu sama lain - Tiap-tiap anggota mengakui dan menaati nilai-nilai, norma-norma serta pedomanpedoman tingkah laku yang berlaku di kelompok itu. 29
Dari berbagai pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa kelompok adalah kumpulan dua orang atau lebih yang memiliki tujuan yang sama dan memiliki pola aturan tersendiri dalam interaksinya. Sedangkan makna pertanian menurut Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82 tahun 2013 adalah kegiatan mengelola sumberdaya alam hayati dengan bantuan teknologi, modal, tenaga kerja, dan manajemen untuk menghasilkan komoditas pertanian yang mencakup tanaman pangan, hortikultura, perkebunan, dan/atau peternakan dalam suatu agroekosistem. Dalam Peraturan Menteri Pertanian Nomor 82 tahun 2013 yang disebut dengan kelompok tani adalah kumpulan petani/peternak/pekebun yang dibentuk atas dasar kesamaan kepentingan; kesamaan kondisi lingkungan sosial, ekonomi, dan sumberdaya; kesamaan komoditas; dan keakraban untuk meningkatkan dan mengembangkan usaha anggota. Kelompok tani memiliki ciri sebagai berikut : a. Saling mengenal, akrab dan saling percaya di antara sesama anggota; b. Mempunyai pandangan dan kepentingan serta tujuan yang sama dalam berusaha tani; c. Memiliki kesamaan dalam tradisi dan/atau pemukiman, hamparan usaha, jenis usaha, status ekonomi dan sosial, budaya/kultur, adat istiadat, bahasa serta ekologi. Dalam sebuah kelompok masyarakat tentu mempunyai unsur pengikat agar kelompok dapat berjalan. Adapun unsur pengikat kelompok tani adalah: a. Adanya kawasan usaha tani yang menjadi tanggung jawab bersama di antara para anggotanya; b. Adanya kader tani yang berdedikasi tinggi untuk menggerakkan para petani dengan kepemimpinan yang diterima oleh sesama petani lainnya; 30
c. Adanya kegiatan yang manfaatnya dapat dirasakan oleh sebagian besar anggotanya; d. Adanya dorongan atau motivasi dari tokoh masyarakat setempat untuk menunjang program yang telah ditetapkan. e. Adanya pembagian tugas dan tanggung jawab sesama anggota berdasarkan kesepakatan bersama. Suatu kelompok didirikan pasti memiliki tujuan yang akan dicapai. Dalam mencapai tujuan, kelompok tentu mempunyai fungsi atau peran agar mencapai tujuan tersebut. Adapun fungsi kelompok tani adalah : a. Kelas belajar: kelompok tani merupakan wadah belajar mengajar bagi anggota guna meningkatkan pengetahuan, keterampilan dan sikap agar tumbuh dan berkembang menjadi usaha tani yang mandiri sehingga dapat meningkatkan produktivitas, pendapatan serta kehidupan yang lebih baik. b. Wahana kerjasama: kelompok tani merupakan tempat untuk memperkuat kerjasama baik di antara sesama petani dalam kelompok dan antar kelompok maupun dengan pihak lain. Melalui kerjasama ini diharapkan usaha tani lebih efisien dan lebih mampu menghadapi ancaman, tantangan, hambatan, gangguan serta lebih menguntungkan; c. Unit produksi: usaha tani yang dilaksanakan oleh masing-masing anggota poktan secara keseluruhan harus dipandang sebagai satu kesatuan usaha yang dapat dikembangkan untuk mencapai skala ekonomis usaha, dengan menjaga kuantitas, kualitas maupun kontinuitas.
31
Adapun prinsip-prinsip penumbuhan kelompok tani, didasarkan kepada bebarapa prinsip-prinsip. Pertama adalah prinsip kebebasan, artinya menghargai para individu/petani untuk berkelompok sesuai keinginan dan kepentingannya. Setiap individu memiliki kebebasan untuk menentukan serta memilih kelompok tani yang mereka kehendaki sesuai dengan kepentingannya serta setiap individu dapat menjadi anggota satu atau lebih dari kelompok tani. Prinsip selanjutnya adalah keterbukaan, artinya penyelenggaraan penyuluhan dilakukan secara terbuka antara pelaku utama dan pelaku usaha. Selain itu juga prinsip partisipatif, artinya semua anggota terlibat dan memiliki hak serta kewajiban yang sama dalam mengembangkan serta mengelola poktan (merencanakan, mengorganisasikan, melaksanakan dan melakukan evaluasi). Prinsip selanjutnya adalah prinsip keswadayaan juga penting dalam kelompok tani. Keswadayaan, artinya mengembangkan kemampuan penggalian potensi diri para anggota dalam penyediaan dana dan sarana, serta pendayagunaan sumberdaya guna terwujudnya kemandirian kelompok. Selain itu terdapat prinsip kesetaraan. Kesetaraan, artinya hubungan antara pelaku utama dan pelaku usaha harus merupakan mitra sejajar. Prinsip selanjunya adalah prinsip kemitraan. Kemitraan, artinya penyelenggaraan penyuluhan yang dilaksanakan berdasarkan prinsip saling membutuhkan, saling menghargai, saling menguntungkan, dan saling memperkuat antara pelaku utama dan pelaku usaha yang difasilitasi oleh penyuluh pertanian.
32