BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat dengan PKPU, Sursence van Betaling, Suspension of Payment) merupakan suatu lembaga dalam Hukum Kepailitan
yang memberikan perlindungan terhadap debitur yang
mempunyai kemauan untuk membayar utangnya dan beritikad baik. Melalui pengajuan PKPU, debitur dapat terhindar dari pelaksanaan likuidasi terhadap harta kekayaannya dalam hal debitur berada dalam keadaan insolven.1 PKPU sesungguhnya merupakan bentuk perlindungan terhadap debitur yang masih beritikad baik untuk membayar hutang-hutangnya kepada seluruh krediturnya. PKPU diatur dalam Pasal 222 s/d Pasal 294 UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam Pasal 222 ayat (1) disebutkan bahwa Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ini dapat diajukan oleh: 1. Debitur. Debitur yang mempunyai lebih dari 1 (satu) kreditur yang tidak dapat, atau memperkirakan bahwa ia tidak akan dapat melanjutkan membayar utangutangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat mengajukan permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang atau PKPU, dengan
1
Sutan Remy Syahdeini, Hukum Kepailitan, Memahami Faillissements verordening Juncto Undang-Undang No. 4 Tahun 1998, (Jakarta: PT. Pustaka Utama Grafiti, 2002), hal. 321.
Universitas Sumatera Utara
maksud untuk mengajukan Rencana Perdamaian, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruhnya kepada kreditur.2 2. Kreditur: Kreditur yang memperkirakan bahwa debitur tersebut tidak dapat melanjutkan membayar utangnya yang sudah jatuh tempo dan dapat ditagih, dapat memohon ke Pengadilan Niaga, agar kepada debitur diberi Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, untuk memungkinkan si debitur mengajukan Rencana Perdamaiannya kepada mereka, yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya kepada kreditur-krediturnya.3 3. Pengecualian, terhadap debitur Bank, Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun dan Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik4, maka: a. Dalam hal debiturnya adalah bank, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh kreditur terhadap bank tersebut, atau permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur bank ini sendiri, hanya dapat diajukan oleh Bank Indonesia5
2
Pasal 222 ayat (2) UU No. 37 Tahun 2004. Pasal 222 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 4 Pasal 223 UU No. 37 Tahun 2004. 5 Pasal 2 ayat (3) UU No. 37 Tahun 2004. 3
Universitas Sumatera Utara
b. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Efek, Bursa Efek, Lembaga Kliring dan Penjaminan, Lembaga Penyimpanan dan Penyelesaian, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang debitur ini atau oleh krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui Badan Pengawas Pasar Modal6 c. Dalam hal debiturnya adalah Perusahaan Asuransi, Perusahaan Reasuransi, Dana Pensiun atau Badan Usaha Milik Negara yang bergerak di bidang kepentingan publik, maka permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang oleh debitur ini atau oleh para krediturnya, hanya dapat diajukan oleh atau melalui Menteri Keuangan.7 Pada dasarnya, maksud dari pemberian Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang kepada debitur adalah agar si debitur yang berada dalam keadaan insolven (insolvency), mempunyai kesempatan untuk mengajukan suatu Rencana Perdamaian, baik berupa tawaran untuk pembayaran utang secara keseluruhan ataupun sebagian atas utangnya, Oleh karena itu, Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang merupakan kesempatan bagi si debitur untuk melunasi atau melaksanakan kewajibannya atas utang-utang tersebut, sehingga si debitur tersebut tidak sampai dinyatakan pailit. 8 Dalam melaksanakan PKPU melalui restrukturisasi utang, diperlukan syarat paling utama, yaitu adanya kemauan dan itikad baik dan juga kooperatif, serta bersedia mengikuti syarat-syarat yang ditentukan dalam restrukturisasi, antara lain: 6
Pasal 2 ayat (4) UU No. 37 Tahun 2004. Pasal 2 ayat (5) UU No. 37 Tahun 2004. 8 Jono, Hukum Kepailitan, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 170. 7
Universitas Sumatera Utara
melakukan
penjadwalan
kembali
(rescheduling),
persyaratan
kembali
(reconditioning), dan penataan kembali (restructuring), sehingga diperoleh jalan keluar bagi penyelesaian pembayaran utang macet tersebut tanpa menimbulkan banyak kerugian bagi pihak kreditur dan pihak debitur.9 Dalam
hal
kreditur
tersebut
merupakan
kreditur
separatis,
apabila
restrukturisasi utang telah dilakukan, dan telah disetujui oleh kreditur separatis, tetapi debitur gagal dalam menjalankan kewajiban tersebut atau tidak beritikad baik, maka pihak kreditur dapat melakukan pengambilan jaminan kredit yang diberikan oleh debitur kepada krediturnya, atau si kreditur dapat mengajukan gugatan perdata atau permohonan pailit terhadap utang-utang debiturnya ke Pengadilan.10 Terkait dengan pengajuan permohonan PKPU, terdapat perkembangan yang cukup menarik dalam pengajuan permohonan PKPU. Apabila dalam Faillissement verordening dan dalam UU No. 4 Tahun 1998, permohonan PKPU hanya dapat diajukan oleh debitur maka dalam UU No. 37 Tahun 2004, permohonan PKPU dapat diajukan oleh debitur dan kreditur. Hal ini tentu menjadi kajian yang menarik untuk mengetahui mengapa pihak kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan permohonan PKPU padahal yang mengetahui kondisi kesehatan suatu perusahaan hanyalah debitur itu sendiri.
9
M. Hadi Shubhan, Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan, (Jakarta: Kencana Prenada Media Group, 2006), hal. 162. 10 Rachmadi Usman, Aspek-Aspek hukum Perbankan Di Indonesia, (Jakarta: Gramedia Pustaka utama, 2001), hal. 292 - 293.
Universitas Sumatera Utara
Pemberian kewenangan kepada si kreditur agar dapat memohonkan PKPU bagi debiturnya, membawa arti bahwa utang si debitur itu dapat terbayarkan kepada kreditur dengan cara yang sesuai dengan kondisi dan situasi si debitur saat itu, dan bila si debitur dan krediturnya beritikad baik, maka harapan kedua pihak itu adalah tercapainya Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban debitur dan hak kreditur, yang kemudian dapat disetujui secara bersama dalam rapat perdamaian dan dilakukan pengesahan perdamaian itu oleh Pengadilan Niaga (homologasi).11 Dari sudut pandangan hukum, Undang-Undang Kepailitan ini bertujuan untuk melindungi para kreditur dengan memberikan jalan yang jelas dan pasti untuk menyelesaikan utang yang tidak dapat dibayar oleh debitur, dan Undang-Undang Kepailitan juga bertujuan melindungi debitur dengan memberikan cara baginya untuk menyelesaikan utangnya tanpa membayar sekaligus secara penuh, sehingga usahanya dapat bangkit kembali tanpa beban utang.12 Meskipun ada beberapa alternatif yang ditawarkan untuk penyelesaian utang piutang antara debitur dan kreditur namun yang menjadi masalah adalah tidak adanya niat yang sungguh-sungguh dari para debitur untuk melunasi utang-utangnya.13 Dalam hal ini, hukum harus dapat menjadi alat untuk menciptakan keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur, yang pada akhirnya hukum dapat mendorong
11
Ibid,. hal. 142. Artikel Kepailitan, http:// cafe-ekonomi.blogspot.com/2009/08/artikel-kepailitan.html, diakses pada tanggal 17 Januari 2011. 13 Komisi Hukum Nasional, Pengembangan Hukum Dalam Rangka Pemulihan Ekonomi, (Jakarta: Artikel, tgl. 14 Maret 2002), hal. 14. 12
Universitas Sumatera Utara
pemulihan ekonomi, dengan tujuan untuk menciptakan stabilitas, prediktabilitas dan keadilan dalam hukum negara.14 Diberikannya kesempatan bagi kreditur untuk mengajukan permohonan PKPU dalam UU No. 37 Tahun 2004 sebagai bentuk pemberian keadilan dan kepastian hukum bagi kreditur dan debitur telah dilakukan dalam berbagai perkara kepailitan dan PKPU, termasuk diantaranya adalah putusan No. 05/ PKPU/ PN. Niaga – Medan, yang diajukan oleh kreditur perusahaaan dan debitur perseorangan. Putusan ini menarik untuk dikaji dengan alasan sampai saat ini putusan ini merupakan satu-satunya permohonan PKPU yang diajukan oleh kreditur di Pengadilan Niaga Medan, yang dimana putusan hakim atas perkara tersebut tidak sesuai dengan UU No. 37 Tahun 2004. Atas dasar hal di atas maka penelitan ini penting untuk dilakukan.
B. Permasalahan Sejalan dengan hal-hal tersebut di atas, maka rumusan permasalahan dalam penelitian ini adalah, sebagai berikut: 1. Mengapa kreditur diberikan kewenangan untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (selanjutnya disingkat PKPU) terhadap debitur dalam UU No. 37 Tahun 2004?
14
Sunarmi, Prinsip Keseimbangan Dalam Hukum Kepailitan Di Indonesia Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 14.
Universitas Sumatera Utara
2. Bagaimana mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU? 3. Bagaimana penerapan Hukum Kepailitan dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga - Medan menurut UU No. 37 tahun 2004 Tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang?
C. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk : 1. Mengetahui
latar belakang diberikannya kewenangan kepada kreditur
untuk mengajukan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dalam UU No. 37 Tahun 2004. 2. Untuk mengetahui mekanisme Rencana Perdamaian di dalam PKPU. 3. Untuk menganalisis penerapan Hukum Kepailitan dalam pertimbangan Majelis Hakim Pengadilan Niaga Medan pada Putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN.Niaga - Medan berdasarkan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
D. Manfaat Penelitian Dari sudut penerapannya dalam Ilmu Pengetahuan, penelitian ini diharapkan dapat memberi manfaat dan masukan dalam bidang Hukum Kepailitan di Indonesia pada umumnya, dan khususnya tentang Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang.
Universitas Sumatera Utara
Penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk berbagai kalangan, yakni: 1. Secara Teoritis a. Sebagai bahan kajian bagi para akademisi maupun sebagai bahan pertimbangan bagi penelitian lanjutan, b. Memperkaya khasanah kepustakaan. 2. Secara Praktis a. Sebagai bahan masukkan bagi Pemerintah, khususnya untuk lebih menegaskan indikasi dan standar kepentingan umum dalam peraturan perundang-undangan
terhadap
Permohonan
Penundaan
Kewajiban
Pembayaran Utang yang diajukan oleh para Kreditur, sehingga akan lebih menjamin rasa keadilan dan kepastian hukum. b. Sebagai bahan masukkan bagi masyarakat umum yang mencari keadilan yang hak-haknya telah dirugikan oleh perorangan atau persoon maupun badan hukum, sehingga masyarakat mendapatkan kepastian dan perlindungan hukum terhadap pihak-pihak yang telah merugikan mereka tersebut.
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan informasi dan penelusuran studi kepustakaan, khususnya pada lingkungan Perpustakaan Program Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, bahwa penelitian tentang Permohonan PKPU dengan judul “Kewenangan Kreditur Dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang Menurut UU No. 37 Tahun 2004 Tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (Studi
Universitas Sumatera Utara
Terhadap Putusan Pengadilan Niaga No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan) sudah pernah dilakukan, antara lain: 1. Tesis dengan judul “Analisis Mengenai Keadaan Tidak Membayar Utang Yang Telah Jatuh Waktu Dan Dapat Ditagih Menurut Perpu No. 1 Tahun 1998 jo. UU No. 4 Tahun 1998 Dan Dalam Prakteknya Di Peradilan Niaga”, oleh Fahren pada tahun 2003. 2. Tesis dengan judul “Suatu Analisis Pengertian Utang Di Dalam Undang-Undang No. 4 Tahun 1998 Tentang Kepailitan (Studi Kasus Pengadilan Niaga Medan)”, oleh Chairuni Nasution pada tahun 2003. Keduanya memiliki rumusan permasalahan dan kajian yang berbeda. Penelitian lanjutan ini, mengkaji mengenai kewenangan kreditur, khususnya dalam Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, mekanisme Rencana Perdamaian sesuai dengan Hukum Acara Perdata dalam Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dan penerapannya dalam perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga. Penelitian ini juga menjunjung kode etik penulisan karya ilmiah, oleh karena itu, penelitian ini adalah benar keasliannya, baik dilihat dari materi, permasalahan dan kajiannya dapat dipertanggungjawabkan secara ilmiah.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1. Kerangka Teori Sistim hukum Indonesia pada awalnya menganut sistim hukum Eropah Kontinental yang diadopsi dari Belanda. Namun, pada perkembangan selanjutnya pengaruh unsur-unsur hukum dalam sistim hukum Anglo Saxon banyak mewarnai perkembangan hukum di Indonesia khususnya hukum bisnis, yang salah satu diantaranya adalah Hukum Kepailitan di Indonesia. Pada UU No. 4 Tahun 1998 maupun UU No. 37 Tahun 2004 sudah dipengaruhi oleh sistem hukum Anglo Saxon, diantaranya adalah pembentukan Pengadilan Niaga, adanya kurator pemerintah, dan kurator swasta, serta pemberian kewenangan mengajukan permohonan PKPU oleh kreditur dalam UU No. 37 Tahun 2004. Untuk menjawab permasalahan yang dirumuskan dalam penelitian ini, digunakan teori yang dikemukakan oleh Aristoteles dan John Rawls, yakni teori keadilan. Untuk mengetahui apa yang adil dan apa yang tidak adil terlihat, bukan merupakan kebijakan yang besar, lebih-lebih lagi jika keadilan diasosiasikan dengan aturan hukum positif, bagaimana suatu tindakan harus dilakukan dan pendistribusian menegakkan
keadilan,
serta
bagaimana
memajukan
keadilan.
Aristoteles
mendefinisikan keadilan sebagai berikut:15 “Justice is a political virtue, by the rules of it, the state is regulated and these rules the criterion of what is right.” 15
Achmad Ali, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) dan Teori Peradilan (Judicialprudence), Termasuk Interpretasi Undang-Undang (Legisprudence), (Jakarta: PT. Kencana Prenada Media Group, 2009), hal. 223.
Universitas Sumatera Utara
Keadilan diuraikan secara mendasar oleh Aristoteles dalam Buku ke V buku Nicomachean Ethics.16 Untuk mengetahui tentang keadilan dan ketidakadilan harus dibahas tiga hal utama yaitu (1) tindakan apa yang terkait dengan istilah tersebut, (2) apa arti keadilan, dan (3) diantara dua titik ekstrim, apakah keadilan itu terletak.17 Menurut Aristoteles, arti keadilan ada 2 (dua), yakni:18 1. Keadilan Dalam Arti Umum Keadilan sering diartikan sebagai suatu sikap dan karakter. Sikap dan karakter yang membuat orang melakukan perbuatan dan berharap atas keadilan adalah keadilan, sedangkan sikap dan karakter yang membuat orang bertindak dan berharap ketidakadilan adalah ketidakadilan. Secara umum, dikatakan bahwa orang yang tidak adil adalah orang yang tidak patuh terhadap hukum (unlawful, lawless) dan orang yang tidak fair (unfair), maka orang yang adil adalah orang yang patuh terhadap hukum (law-abiding) dan fair. Karena tindakan memenuhi/mematuhi hukum adalah adil, maka semua tindakan pembuatan hukum oleh legislatif sesuai dengan aturan yang ada adalah adil. Tujuan pembuatan hukum adalah untuk mencapai kemajuan kebahagiaan masyarakat. Maka, semua tindakan yang cenderung untuk memproduksi dan mempertahankan kebahagiaan masyarakat adalah adil. Dengan demikian, keadilan
16
Aristoteles, Nicomachean Ethics, translated by W.D. Ross, http://bocc.ubi.pt/ pag/Aristotelesnicomachaen.html, diakses pada tanggal 20 Juni 2011. 17 Ibid., hal. 2. 18 Ibid., hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
bisa disamakan dengan nilai-nilai dasar sosial. Keadilan yang lengkap bukan hanya mencapai kebahagiaan untuk diri sendiri, tetapi juga kebahagian orang lain. 2. Keadilan Dalam Arti Khusus Keadilan dalam arti khusus, terkait dengan beberapa pengertian berikut ini, yaitu: a. Sesuatu yang terwujud dalam pembagian penghargaan atau uang atau hal lainnya, kepada mereka yang memiliki bagian haknya. Keadilan ini adalah persamaan diantara anggota masyarakat dalam suatu tindakan bersama-sama. Persamaan adalah suatu titik yang terletak diantara “yang lebih” dan “yang kurang” (intermediate). Jadi keadilan adalah titik tengah atau suatu persamaan relatif (arithmetical justice). Dasar persamaan antara anggota masyarakat sangat tergantung pada sistem yang hidup dalam masyarakat tersebut. Dalam sistem demokrasi, landasan persamaan untuk memperoleh titik tengah adalah kebebasan manusia yang sederajat sejak kelahirannya. Dalam sistem oligarki, dasar persamaannya adalah tingkat kesejahteraan atau kehormatan saat kelahiran, sedangkan dalam sistem aristokrasi dasar persamaannya adalah keistimewaan (excellent). Dasar yang berbeda tersebut menjadikan keadilan lebih pada makna persamaan sebagai proporsi. Ini adalah satu spesies khusus dari keadilan, yaitu titik tengah (intermediate) dan proporsi.
Universitas Sumatera Utara
b. Perbaikan suatu bagian dalam transaksi Arti khusus lain dari keadilan adalah sebagai perbaikan (rectification). Perbaikan muncul karena adanya hubungan antara orang dengan orang yang dilakukan secara sukarela. Hubungan tersebut adalah sebuah keadilan apabila masing-masing memperoleh bagian sampai titik tengah (intermediate), atau suatu persamaan berdasarkan prinsip timbal balik (reciprocity). Jadi keadilan adalah persamaan, serta ketidakadilan adalah ketidaksamaan. Ketidakadilan terjadi jika satu orang memperoleh lebih dari yang lainnya dalam hubungan yang dibuat secara sederajat. Lain halnya dengan Aristoteles, John Rawls yang hidup pada awal abad 21 lebih menekankan pada keadilan sosial.19 Hal ini terkait dengan munculnya pertentangan antara kepentingan individu dan kepentingan negara pada saat itu. John Rawls melihat kepentingan utama keadilan adalah (1) jaminan stabilitas hidup manusia, dan (2) keseimbangan antara kehidupan pribadi dan kehidupan bersama.20 John Rawls mempercayai bahwa struktur masyarakat ideal yang adil adalah struktur dasar masyarakat yang asli dimana hak-hak dasar, kebebasan, kekuasaan, kewibawaan, kesempatan, pendapatan, dan kesejahteraan terpenuhi; dimana kategori struktur masyarakat ideal ini digunakan untuk menilai apakah institusi-institusi sosial yang ada telah adil, atau tidak melakukan koreksi atas ketidakadilan sosial. 19
Hari Chand, Modern Jurisprudence, (Kuala Lumpur: Internasional Law Book Review, 1994), hal. 278. 20 Ibid., hal. 279.
Universitas Sumatera Utara
Menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan, prinsip utama yang digunakan adalah:21 1.
Kebebasan yang sama sebesar-besarnya, asalkan tetap menguntungkan semua pihak;
2.
Prinsip ketidaksamaan yang digunakan untuk keuntungan bagi yang paling lemah. Prinsip ini merupakan gabungan dari prinsip perbedaan dan persamaan yang
adil atas kesempatan. Secara keseluruhan berarti ada tiga prinsip untuk mencari keadilan, yaitu:22
1.
Kebebasan yang sebesar-besarnya sebagai prioritas,
2.
Perbedaan,
3.
persamaan yang adil atas kesempatan.
Asumsi pertama yang digunakan adalah hasrat alami manusia untuk mencapai kepentingannya terlebih dahulu, baru kemudian kepentingan umum, dimana hasrat ini adalah untuk mencapai kebahagiaan yang juga merupakan ukuran pencapaian keadilan, maka harus ada kebebasan untuk memenuhi kepentingan ini. Namun, realitas masyarakat menunjukkan bahwa kebebasan tidak dapat sepenuhnya terwujud karena adanya perbedaan kondisi dalam masyarakat, sehingga perbedaan ini menjadi dasar untuk memberikan keuntungan bagi mereka yang lemah. Apabila sudah ada persamaan derajat, maka semua harus memperoleh kesempatan yang sama untuk 21 22
Ibid., hal. 138. Achmad Ali, Op. Cit., hal. 279.
Universitas Sumatera Utara
memenuhi kepentingannya, walaupun nantinya memunculkan perbedaan, bukan suatu masalah asalkan dicapai berdasarkan kesepakatan dan titik berangkat yang sama.23
Teori Keadilan dari John Rawls menyatakan bahwa cara yang adil untuk mempersatukan berbagai kepentingan yang berbeda adalah melalui keseimbangan kepentingan-kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan itu sendiri. Tegasnya, prinsip-prinsip dimana orang yang rasional akan memilih jika ia belum tahu kedudukannya dalam masyarakat; prinsip keadilan inilah yang kita pilih, karena orang-orang akan selalu bertindak menurut kepentingannya sendiri, maka kita tidak dapat membiarkan seseorang dengan kepentingankepentingannya memutuskan persoalannya atau kasusnya sendiri, jadi satu-satunya cara yang dapat kita putuskan mengenai keadilan itu adalah dengan membayangkan keadaan dimana kita tidak atau belum mempunyai kepentingan-kepentingan. Dalam keadaan ini, tidak ada pilihan lain, kecuali memutuskan dengan jujur.24 John Rawls juga membahas isu tentang kondisi-kondisi untuk memilih asasasas keadilan yang dapat dibuat melalui penggambaran tentang apa yang dinamakannya “original position”25; Menurut Rawls, dengan cara yang sama tentang keadilan, orang yang rasional akan menyeimbangkan kepentingan-kepentingan secara netral, seperti ia akan memotong kue secara netral atau jujur, jika ia mengetahui
23
Ilham, Teori Keadilan John Rawls, Pemahaman Sederhana Buku A Theory of Justice, http://www.bartleby.com/61/83/PO398300.html, diakses tanggal 20 juni 2011. 24 Ibid., hal. 2. 25 Achmad Ali, Op. Cit., hal. 280.
Universitas Sumatera Utara
bagian mana yang akan diterimanya sendiri. Orang yang rasional, dan belum mengetahui bagian mana yang akan diterimanya, tentu akan memotong kue secara sama; Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, tanpa mengetahui bagian mana yang akan diterimanya dari masyarakat, akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil); teori Rawls ini sering disebut justice as fairness (keadilan sebagai kelayakan). Jadi, yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair, itulah yang harus dipedomani.26 Kreditur memohonkan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dengan maksud agar Debiturnya mengajukan suatu Rencana Perdamaian yang dapat mengcover kewajiban Debitur dan hak Kreditur, yang kemudian disetujui bersama dalam suatu rapat perdamaian, dimana langkah hukum ini merupakan jalan yang pasti untuk menyelesaikan permasalahan utang Debitur terhadap Krediturnya. Oleh karena itu, dengan pendekatan teori keadilan ini, diharapkan suatu gambaran (deskripsi) yang utuh tentang berbagai aspek yang dirumuskan dalam permasalahan.27 Dengan demikian, beberapa alasan menggunakan teori keadilan dari Aristoteles dan John Rawls untuk menjawab permasalahan utama berupa kewenangan Kreditur untuk mengajukan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang bagi Debitur dengan studi terhadap putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan:
26 27
Achmad Ali, Op Cit., hal. 280 Ibid., hal. 281.
Universitas Sumatera Utara
Syarat pengajuan Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang yakni adanya 2 Kreditur atau lebih, dan utang sudah jatuh waktu dan dapat ditagih, telah menunjukkan adanya unsur keadilan yang dibangun di dalamnya. Para Kreditur konkuren maupun kreditur lain yang haknya didahulukan, memberikan kesempatan kepada Debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih sesuai dengan situasi dan kondisi Debitur saat itu, dengan syarat utama dalam Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang adalah adanya kemauan, itikad baik dan kooperatif Debitur, dan para Kreditur akan mendapatkan pembayaran utang sesuai dengan proporsi piutangnya (prinsip pari passu prorate parte).28 Dalam hal merestrukturisasi utang, Kreditur ada memberi kesempatan kepada Debitur yang meliputi tawaran pembayaran sebagian atau seluruh utangnya, ini sesuai dengan teori Keadilan menurut John Rawls, dalam menciptakan keadilan seperti yang disebutkan di atas. Unsur-unsur keadilan bekerja secara integral satu dengan yang lainnya agar tujuan dari hukum dapat tercapai, yaitu:
keadilan, kemanfaatan, dan kepastian
hukum. Tercapainya tujuan hukum, akan dapat meningkatkan kepercayaan para pelaku bisnis nasional maupun internasional. Selanjutnya teori Keadilan ini dipergunakan sebagai teori umum, yang diperkuat oleh sejumlah teori-teori yang dipergunakan untuk menjawab hal-hal yang
28
M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 89.
Universitas Sumatera Utara
lebih bersifat aplikasi/terapan. Teori yang dimaksud digali dari teori-teori di bidang disiplin ilmu Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Aristoteles dan John Rawls menegaskan mengenai keadilan, yang sama halnya dengan suatu konsep hukum yang abstrak, maka demikian pula konsep tentang keadilan merupakan konsep abstrak yang bersifat subjektif, sesuai nilai yang dianut oleh masing-masing individu dan masyarakat.
29
Namun, seyogianyalah jika keadilan
bersama-sama dengan kemanfaatan dan kepastian hukum, dijadikan tujuan hukum secara prioritas. John Rawls mengatakan bahwa seseorang yang rasional, akan memilih prinsip-prinsip keadilan yang fair (netral, jujur, dan adil), yang dalam permasalahan tesis ini, pertimbangan Majelis Hakim dalam putusan perkara No. 05/ PKPU/ 2010/ PN. Niaga – Medan, seharusnya mempedomi prinsip keadilan. Penelitian tesis ini akan lebih difokuskan pada aspek keadilan hukum dalam penegakan UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, khususnya mengenai Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Dalam konteks ini ingin disampaikan bahwa terdapat ketidakadilan Majelis Hakim Pengadilan Niaga dalam putusannya. Putusan Penundaan Kewajiban Pembayaarn Utang yang diajukan Kreditur, tidak mencerminkan keadilan bagi para kreditur yang mengharapkan pengembalian piutangnya sesuai dengan keadaan, situasi dan kondisi Debitur saat itu. 29
Achmad Ali, Op. Cit., hal. 223.
Universitas Sumatera Utara
Dengan melihat pada yang telah diuraikan di atas, Pengadilan Niaga sebagai lembaga Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang harus adil dalam menyikapi hak dan kewajiban masing-masing pihak Kreditur dan Debitur dalam penyelesaian masalah utang piutang mereka, sehingga tercapai keadilan, kemanfaatan dan kepastian hukum.
2. Kerangka Konsepsi Dalam melakukan penelitian tesis ini, perlu dijelaskan beberapa istilah di bawah ini yang sebagai definisi operasional dari konsep-konsep yang digunakan, yakni: 1. Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang ialah penawaran rencana perdamaian oleh debitur yang merupakan pemberian kesempatan kepada debitur untuk melakukan restrukturisasi utang-utangnya yang meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada kreditur konkuren.30 2. Kepailitan adalah suatu sitaan dan eksekusi atas seluruh kekayaan si debitur untuk kepentingan seluruh krediturnya bersama-sama, yang pada waktu si debitur dinyatakan pailit mempunyai utang dan untuk jumlah piutang yang masingmasing kreditur miliki pada saat itu.31
30 31
Sunarmi, Hukum Kepailitan Edisi 2, (Jakarta : PT. Sofmedia, Cet - 1, 2010), hal. 200. Kartono, Kepailitan dan Pengunduran Pembayaran, (Jakarta: Pradnya Paramita, 1982), hal.
35.
Universitas Sumatera Utara
3. Perdamaian adalah suatu persetujuan dengan mana kedua belah pihak, dengan menyerahkan, menjanjikan, atau menahan sesuatu barang, mengakhiri suatu perkara yang sedang bergantung, atau mencegah timbulnya suatu perkara.32 4. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang, baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontijen, yang timbul karena perjanjian atau Undang-Undang, dan yang wajib dipenuhi oleh debitur, yang bila tidak dipenuhinya maka memberi hak kepada kreditur untuk mendapat pemenuhan dari harta kekayaan debitur.33 5. Utang yang telah jatuh waktu dan dapat ditagih adalah kewajiban untuk membayar utang yang telah jatuh waktu, baik karena telah diperjanjikan, karena percepatan waktu penagihannya sebagaimana diperjanjikan, karena pengenaan sanksi atau denda oleh instansi yang berwenang, maupun karena putusan pengadilan.34 6. Rencana Perdamaian dalam PKPU adalah pemberian kesempatan oleh krediturkreditur kepada debitur untuk merestrukturisasi utang-utangnya, yang dapat meliputi pembayaran seluruh atau sebagian utang kepada krediturnya.35
32
Pasal 1851 KUHPerdata. Bab 1 Ketentuan Umum Pasal 1 angka 6 UU No. 37 Tahun 2004. 34 Setiawan, “Komentar Atas Putusan Pengadilan Niaga No. 13 Tahun 2004 Jo. Mahkamah Agung No. 8 Tahun 2004”, (Jakarta: Atmajaya, 2005), hal. 95. 35 HFA. Vollman, De Faillisementswet, vierde druk, HD, Tjoenk Wlink & Zoon, (Jakarta: N.V. Harlem, 1953), hal. 236; Dalam Sunarmi, Hukum Kepailitan, Edisi 2, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2010), hal. 161. 33
Universitas Sumatera Utara
7. Kreditur adalah orang yang mempunyai piutang karena perjanjian atau UndangUndang yang dapat ditagih di muka Pengadilan.36 8. Debitur adalah orang yang mempunyai utang karena perjanjian atau UndangUndang, yang pelunasannya dapat ditagih di muka Pengadilan.37 9. Kreditur Separatis adalah kreditur yang dapat menjual sendiri benda jaminan seolah-olah tidak ada kepailitan.38 10. Kreditur Preferen atau Kreditur Istimewa adalah kreditur yang mempunyai hak pelunasan dahulu/ istimewa, sesuai dengan Pasal 1133, 1134, 1139, 1149 KUHPerdata.39 11. Kreditur
Konkuren
adalah
kreditur
yang
pelunasan
piutang-piutangnya
dicukupkan dari sisa penjualan atau pelelangan harta pailit setelah diambil bagiannya oleh kreditur separatis dan kreditur preferen atau kreditur istimewa.40 12. Debitur Pailit adalah debitur yang sudah dinyatakan pailit dengan Putusan Pengadilan.41 13. Concursus creditorium adalah keharusan adanya dua atau lebih kreditur.42 14. Insolventie adalah keadaan berhenti membayar dimana debitur tidak membayar utangnya yang disebabkan karena ketidakmampuan debitur untuk melakukan 36
Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 2 UU No. 37 Tahun 2004. Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 3 UU No. 37 Tahun 2004. 38 H. Man S. Sastrawidjaja, Hukum Kepailitan Dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, (Jakarta: PT. Alumni, 2006), hal. 35. 39 Kartini Muljadi, “Kreditur Preferen dan Kreditur Separatis Dalam Kepailitan”, Dalam: Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan Dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum), hal. 174 - 175. 40 H. Man S. Sastrawidjaja, Op.Cit., hal. 35. 41 Bab I Ketentuan Umum Pasal 1 angka 4 UU No. 37 Tahun 2004. 42 Jono, Op. Cit., hal. 5. 37
Universitas Sumatera Utara
pembayaran maupun debitur yang tidak mau melakukan pembayaran atas utangutangnya.43 15. Fakta atau keadaan yang terbukti secara sederhana adalah adanya fakta dua atau lebih kreditur, dan fakta utang yang telah jatuh waktu dan tidak dibayar, sedangkan perbedaan besarnya jumlah utang yang didalilkan oleh Pemohon Pailit atau Pemohon PKPU tidak menghalangi dijatuhkannya Putusan Pernyataan Pailit.44 16. Prinsip debt forgiveness adalah pranata hukum sebagai alat untuk memperingan beban yang harus ditanggung oleh debitur, karena sebagai akibat kesulitan keuangannya, sehingga ia tidak mampu membayar utang-utangnya sesuai dengan agreement semula, bahkan keringanannya itu sampai pada pengampunan atas utang-utangnya, bahkan sampai pada utang-utangnya hapus semua.45 17.
Kepastian hukum adalah landasan hukum yang kukuh, dimana setiap pihak, baik secara langsung maupun tidak langsung, wajib untuk menghormati dan menegakkan substansi hukum yang berlaku dengan tujuan untuk menjamin dan meningkatkan kepercayaan pemodal terhadap industri efek nasional.46
43
Penjelasan Pasal 57 ayat (1) UU No. 37 Tahun 2004. Ricardo Simanjuntak, “Kepailitan Dan Likuidasi (Studi Kasus: BPPN vs PT. Muara Alas Prima)”, Dalam Valerie Selvie Sinaga, Analisa Putusan Kepailitan Dan Pengadilan Niaga, (Jakarta: Fakultas Hukum Universitas Katolik Indonesia, 2005), hal. 315. 45 Emmy Yuassarie, “Pemikiran Hukum Kepailitan Indonesia” Dalam Emmy Yuhassarie, Undang-Undang Kepailitan dan Perkembangannya, (Jakarta: Pusat Pengkajian Hukum, 2005), hal. xix. 46 Bismar Nasution, Hukum Kegiatan Ekonomi, (Bandung: Book Terrace & Library, Edisi Revisi, Cet. 3, 2009), hal. 28. 44
Universitas Sumatera Utara
18.
Homologasi adalah Pengesahan rencana perdamaian oleh Pengadilan.47
G. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan juridis normatif. Dengan demikian, objek penelitian adalah norma hukum yang terwujud dalam kaidah-kaidah hukum yang dibuat dan ditetapkan oleh pemerintah dan sejumlah peraturan perundang-undangan. Sebagai suatu penelitian ilmiah, maka rangkaian kegiatan dalam penelitian ini mengikuti metode-metode penelitian hukum, sebagai berikut: 1. Jenis dan Sifat Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian tesis ini adalah penelitian hukum normatif dengan menggunakan pendekatan peraturan perundang-undangan (statue approach) dalam melakukan pengkajian kewenangan kreditur
dalam
Permohonan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. Pemilihan metode ini untuk menemukan aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum, guna menjawab isu hukum yang dihadapi. Oleh karena itu, pilihan metode penelitian untuk tesis ini adalah penelitian hukum normatif yang berkaitan dengan prinsipprinsip dan norma/pengaturan Hukum Kepailitan di Indonesia serta praktik penerapan Hukum Kepailitan di Pengadilan Indonesia. Menurut Johnny Ibrahim, bahwa penelitian hukum normatif ini adalah untuk menghasilkan ketajaman analisis hukum yang didasarkan pada doktrin dan normanorma yang telah ditetapkan dalam sistem hukum, baik yang telah tersedia sebagai 47
M. Hadi Shubban, Op. Cit., hal. 142.
Universitas Sumatera Utara
bahan hukum maupun yang dicari sebagai bahan kajian guna memecahkan problema hukum faktual yang dihadapi oleh masyarakat, maka tidak ada jalan lain hanya berkenalan dengan ilmu hukum normatif sebagai ilmu hukum praktis normologis dan mengandalkan penelitian hukum normatif.48 Sedangkan dari sudut penerapannya, penelitian ini adalah penelitian terapan (applied research). Tujuan utamanya yakni diharapkan penelitian ini nantinya akan diterapkan dan dimanfaatkan dengan baik oleh praktisi hukum di Indonesia.49 Spesifikasi
penelitian
Tesis
ini
termasuk
deskriptif
analitis,
yaitu
menggambarkan peraturan perundang-undangan yang berlaku, dikaitkan dengan teori hukum dan praktek pelaksanaan hukum positif yang menyangkut permasalahan di atas. Sifat dari penelitian ini adalah Deskriptif Analitis, yang bertujuan untuk membatasi kerangka studi kepada suatu analisis terhadap hukum dan peraturan tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang, dengan mengacu pada hukum dan peraturan perundang-undangan yang berhubungan dengan tujuan penelitian. Pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (Library Research) untuk mendapatkan konsep-konsep, teoriteori, dan informasi-informasi serta pemikiran konseptual dari Peneliti pendahulu, baik yang berupa peraturan perundang-undangan dan karya ilmiah lainnya.
48
Johnny Ibrahim, Teori dan Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Surabaya: Bayu Media Publishing, Cet. Ke - 2, 2006), hal. 73. 49 Alvi Syahrin, Hubungan Berfikir Ilmiah dan Karya Ilmiah, (Medan: program Pascasarjana Ilmu Hukum Universitas Sumatera Utara, 2010), hal. 12 - 13.
Universitas Sumatera Utara
Sehubungan dengan Tipe Penelitian yang digunakan, yakni yuridis normatif, maka penelitian ini menggunakan 3 (tiga) pendekatan, yakni: 1. Pendekatan Perundang-undangan (statue approach) Pendekatan Perundang-undangan dilakukan dengan menelaah semua Undang-Undang dan regulasi yang berhubungan dengan isu hukum yang sedang ditangani.50 2. Pendekatan Kasus (case approach) Pendekatan kasus ini dilakukan dengan cara melakukan telaah terhadap putusan Pengadilan atas kasus-kasus hukum yang berkaitan dengan Penundaan Kewajban Pembayaran Utang dan Kepailitan. Yang menjadi kajian pokok di dalam pendekatan kasus adalah ratio decidendi atau reasoning, yaitu pertimbangan Pengadilan untuk sampai pada satu putusan.51 3. Pendekatan Konsep (conceptual approach) Pendekatan konsep digunakan untuk memahami konsep-konsep dari Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan Kepailitan dalam Hukum Kepailitan.
2. Sumber Bahan Hukum Sumber data kepustakaan dalam penelitian Tesis ini diperoleh dari:
50 51
Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Pradnya Paramita, 2006), Hal. 93. Ibid., hal. 94.
Universitas Sumatera Utara
a. Bahan hukum primer, yaitu: Peraturan perundang-undangan yaitu UU No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang dan putusan Hakim dalam Permohonan PKPU No. 05/PKPU/2010/PN. NiagaMedan. b. Bahan hukum sekunder, seperti: hasil-hasil penelitian, laporan-laporan, artikel, majalah dan jurnal ilmiah, hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya yang relevan dengan penelitian ini. c. Bahan hukum tersier atau Bahan Hukum Penunjang, yang mencakup bahan yang dapat memberikan petunjuk-petunjuk dan penjelasan terhadap bahan Hukum Primer dan Sekunder, seperti kamus umum, kamus hukum, serta bahan-bahan primer, sekunder, dan tersier di luar bidang hukum yang relevan dan dapat dipergunakan untuk melengkapi data yang diperlukan dalam penelitian ini.52 Situs Web juga menjadi bahan bagi penulisan Tesis ini sepanjang memuat informasi yang relevan dengan penelitian ini.
3. Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian ini, seluruh bahan dikumpulkan dengan menggunakan tehnik studi kepustakaan (library research), dengan mempelajari berbagai dokumen dari sumber yang dipandang relevan, yaitu
meneliti sumber bacaan yang
berhubungan dengan topik dalam Tesis ini, seperti buku-buku hukum, majalah 52
Bambang Sunggono, Metodologi Penelitian Hukum, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1998), hal. 195, sebagaimana dikutip dari Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: Rajawali Pers, 1990), hal. 41.
Universitas Sumatera Utara
hukum, peraturan perundang-undangan, putusan-putusan Pengadilan yang berkaitan dengan penelitian, pendapat para sarjana, dan bahan-bahan penunjang lainnya. Perpustakaan yang digunakan adalah Perpustakaan Universitas Sumatera Utara dan Perpustakaan cabang Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara. Penelitian ini sepenuhnya mempergunakan data sekunder dengan alat penelitian berupa studi dokumen terutama putusan pengadilan niaga dalam perkaraperkara kepailitan.
4. Analisis Data Analisis data merupakan suatu proses pengorganisasian dan mengurutkan data pada suatu pola kategori dan satuan. Data-data yang diperoleh melalui studi pustaka yang dikumpulkan, diurutkan, dan diorganisasikan dalam satu pola, kategori dan satuan uraian dasar.53 Analisis data dalam penelitian ini adalah dengan mempelajari, menganalisis, dan memperhatikan kualitas serta kedalaman data, sehingga diperoleh data yang dapat menjawab permasalahan dalam penelitian ini. Seluruh data yang sudah diperoleh dan dikumpulkan, selanjutnya akan ditelaah dan dianalisa. Analisis untuk data kualitatif dilakukan dengan pemilihan Pasal-Pasal yang berisi kaedah-kaedah hukum yang mengatur tentang Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang beserta konsekwensi hukumnya, kemudian membuat
53
Lexy Moleong, Metode Penelitian Kualitatif, (Jakarta: Remaja Rosdakarya, Cet. Ke - 10, 1999), hal. 103.
Universitas Sumatera Utara
sistematika dari Pasal-Pasal tersebut, sehingga akan menghasilkan klasifikasi tertentu, sesuai dengan permasalahan yang dibahas dalam penelitian tesis ini. Pada bagian akhir, data yang berupa peraturan perundang-undangan ini diteliti dan dianalisis secara deskriptif kualitatif, yang diselaraskan dengan hasil dari data pendukung, sehingga sampai pada suatu kesimpulan yang akan menjawab seluruh pokok permasalahan dalam penelitian ini. Dilihat dari tujuan analisis, maka ada dua hal yang ingin dicapai dalam analisis kualitatif, yaitu: 1) Menganalisis proses berlangsungnya suatu fenomena hukum dan memperoleh suatu gambaran yang tuntas terhadap proses tersebut; dan 2) Menganalisis makna yang ada di balik informasi, data, dan proses suatu fenomena.54
54
Burhan Bungin, Penelitian Kualitatif: Komunikasi, Ekonomi, Kebijakan Publik, dan Ilmu Sosial lainnya, (Jakarta: PT. Kencana, Edisi I, Cet. 3, 2009), hal. 153.
Universitas Sumatera Utara