BAB I PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG Panti asuhan merupakan suatu lembaga yang sangat populer untuk membentuk perkembangan anak-anak yang tidak memiliki keluarga ataupun yang tidak tinggal bersama dengan keluarga. Anak-anak panti asuhan diasuh oleh pengasuh yang menggantikan peran orang tua dalam mengasuh, menjaga dan meberikan bimbingan kepada anak agar anak menjadi manusia dewasa yang berguna dan bertanggung jawab atas dirinya dan terhadap masyarakat di kemudian hari (Santoso, 2005) Panti asuhan merupakan salah satu lembaga perlindungan anak yang berfungsi untuk memberikan perlindungan terhadap hak-hak anak (pedoman perlindungan anak, 1999).
Pada umumnya, panti asuhan di kota-kota besar
mencoba berusaha mengatasi permasalahan-permasalahan sosial yang terjadi pada anak dimana panti asuhan tersebut menampung anak-anak yang mengalami berbagai permasalahan (Muchti, 2000). Menurut Himpunan Peraturan Perundang-undangan tentang perlindungan anak (2002), Undang-Undang Republik Indonesia No.4 Tahun 1979 pasal 2 ayat 1, tampak jelas terlihat bahwa setiap anak berhak untuk mendapat kesejahteraan, perawatan, asuhan, dan bimbingan berdasarkan kasih sayang baik dalam keluarganya maupun di dalam asuhan khusus untuk tumbuh dan berkembang wajar.
12
Universitas Sumatera Utara
Penghuni panti asuhan bukan saja anak-anak, tetapi mulai dari anak-anak hingga dewasa. Penghuni panti asuhan tersebut adalah orang-orang yang mengalami berbagai permasalahan sosial (Muchti, 2000). Sensus penduduk yang dilakukan pemerintah pada tahun 2004 tercatat sebanyak 5,2 juta anak yang mengalami permasalahan sosial dan sebagian besar adalah remaja. Masa remaja merupakan masa transisi atau peralihan dari masa anak menuju masa dewasa. Pada masa ini, individu mengalami berbagai perubahan, baik fisik maupun psikis. Perubahan yang tampak jelas adalah perubahan fisik, dimana tubuh berkembang pesat sehingga mencapai bentuk tubuh orang dewasa yang disertai juga dengan berkembangnya kapasitas reproduktif. Selain itu, remaja juga berubah secara kognitif dan mulai mampu berpikir abstrak seperti orang dewasa. Pada periode ini pula remaja mulai melepaskan diri secara emosional dari orang tua dalam rangka menjalankan peran sosialnya yang baru sebagai orang dewasa (Agustiani, 2006). Selain perubahan yang terjadi dalam diri remaja, terdapat pula perubahan dalam lingkungan, seperti sikap orang tua atau anggota keluarga lain, guru, teman sebaya, maupun masyarakat pada umumnya. Kondisi ini merupakan reaksi terhadap pertumbuhan remaja. Remaja dituntut untuk mampu menampilkan tingkah laku yang dianggap pantas atau sesuai bagi orang-orang seusianya. Adanya perubahan baik di dalam maupun di luar dirinya itu membuat kebutuhan remaja
semakin
meningkat
terutama
kebutuhan
sosial
dan
kebutuhan
psikologisnya. Untuk memenuhi kebutuhan tersebut, remaja memperluas
13
Universitas Sumatera Utara
lingkungan sosialnya di luar lingkungan keluarga, seperti lingkungan teman sebaya dan lingkungan masyarakat lain (Agustiani, 2006). Pada masa remaja berkembang “social cognition”, yaitu kemampuan untuk memahami orang lain. Remaja memahami orang lain sebagai inidividu yang unik, baik menyangkut sifat-sifat pribadi, minat nilai-nilai maupun perasaannya. Pemahamannya ini mendorong remaja untuk berperan dan berhubungan dengan lebih akrab terhadap sekitarnya, baik dalam lingkungan keluarga, sekolah, teman sebaya, maupun masyarakat (Hutagaol, 2008). Menurut Rumini (2004), remaja sebagaimana warga masyarakat pada umumnya juga harus mengadakan penyesuaian diri. Perubahan yang terjadi pada diri remaja, juga menuntut individu untuk melakukan penyesuaian diri. Penyesuaian diri dipengaruhi oleh sifat/pribadi yang dimiliki. Setiap individu secara herediter telah memiliki potensi yang khas namun sepanjang kehidupan terus mengalami perkembangan. Calhoun (1999) juga menuliskan bahwa semua orang yang hidup pasti menghadapi perubahan-perubahan dalam hidup, untuk itu dibutuhkan penyesuaian diri. Menurut Gunarsa (dalam Sobur, 2003), penyesuaian diri merupakan faktor yang penting dalam kehidupan manusia. Remaja akan berusaha untuk menyesuaikan diri untuk dapat diterima oleh kelompoknya. Agar dapat diterima oleh kelompoknya, remaja akan mencontoh gaya bahasa, pakaian dan tingkah laku kelompok dan remaja juga akan membentuk peraturan-peraturan kelompok yang melarang masuk siapa saja yang tidak termasuk kelompoknya (Djiwandono,2002).
Penyesuaian diri merupakan
suatu proses dinamis yang bertujuan mengubah perilaku individu agar terjadi
14
Universitas Sumatera Utara
hubungan yang lebih sesuai antara diri individu dengan lingkungannya. Atas pengertian ini, dapat diberikan batasan bahwa kemampuan manusia sanggup untuk membuat hubungan-hubungan yang menyenangkan antara manusia dengan lingkungannya (Mu’tadin, 2002). Remaja yang tinggal di panti asuhan akan mengalami kesulitan dalam proses penyesuaian diri dengan lingkungan di luar panti asuhannya dan cenderung melakukan penyesuaian diri yang salah. Hal tersebut dikarenakan setiap harinya remaja tersebut berinteraksi dengan sesama anak asuh yang sama-sama memiliki permasalahan, dan anak asuh menganggap dirinya berbeda dengan anak-anak yang tidak tinggal di panti asuhan (Lukman, 2000). Menurut Sja’roni (2008), kegagalan remaja dalam menguasai keterampilan sosial akan menyebabkan remaja sulit untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan sekitarnya. Hal itu bisa menyebabkan rasa rendah diri, dikucilkan dari pergaulan, cenderung berperilaku yang kurang normatif. Dalam perkembangan yang lebih ekstrim, hal itu bisa menyebabkan terjadinya gangguan jiwa, kenakalan remaja, tindakan kriminal, sampai tindakan kekerasan. Sedangkan menurut Nu’man (1991), remaja yang mampu menyesuaikan diri dengan orang lain dan lingkungannya mempunyai ciri-ciri antara lain suka bekerjasama dengan orang lain, simpati, mudah akrab, disiplin dan lain-lain. Sebaliknya bagi remaja yang tidak mampu menyesuaikan dirinya dengan orang lain atau lingkungannya mempunyai ciri-ciri; suka menonjolkan diri, menipu, suka bermusuhan, egoistik, merendahkan orang lain, buruk sangka dan sebagainya. Penyesuaian diri yang
15
Universitas Sumatera Utara
salah yang terjadi pada remaja yang sedang duduk dibangku sekolah adalah menyontek, bolos, dan melanggar peraturan sekolah. Menurut peneliti, konsep diri merupakan bagian dari kepribadian. Kepribadian merupakan faktor-faktor yang mempengaruhi proses penyesuaian diri. Remaja yang lebih mampu menyesuaikan diri memiliki konsep diri yang positif, sedangkan remaja yang kurang mampu menyesuaikan memiliki konsep diri yang negatif. Apabila remaja mampu menyesuaikan diri, maka remaja tersebut dapat diterima oleh masyarakat dan lingkungannya (Partosuwido, 1993). Dalam perkembangan kepribadian remaja mempunyai arti yang khusus. Dikatakan demikian karena remaja tidak memiliki tempat yang jelas dalam rangkaian proses perkembangan seseorang (Monks, Knoers, & Haditono, 1999). Oleh karena itu, agar remaja menjadi seseorang yang berhasil dalam kepribadiannya, maka remaja harus banyak belajar untuk dapat memperoleh tempat di masyarakat. Tetapi banyak remaja yang tidak berhasil dalam kepribadiannya. Hal tersebut dapat disebabkan faktor ekonomi, ditinggal orang tua karena meninggal ataupun permasalahan keluarga sehingga remaja mengalami permasalahan-permasalahan sosial (Hurlock, 1999). Oleh sebab itu, panti asuhan mencoba untuk mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi oleh remaja tersebut. Pengalaman-pengalaman yang diperoleh remaja selama tinggal di panti asuhan akan berpengaruh terhadap penilaian mengenai dirinya. Penilaian yang dimiliki oleh remaja akan menentukan bagaimana ia akan bertindak, karena penilaian seseorang mengenai dirinya adalah konsep diri (Calhoun & Acocella,
16
Universitas Sumatera Utara
1990). Akibat sedikitnya perhatian yang diberikan oleh ibu dan bapak pengasuh, maka penilaian remaja terhadap dirinya sendiri cenderung dipengaruhi oleh pergaulan teman seasramanya, yang disebabkan karena seringnya remaja tersebut melakukan kegiatan secara bersama-sama di panti asuhan. Konsep diri terbentuk melalui proses belajar sejak masa pertumbuhan seorang manusia dari kecil hingga dewasa. Lingkungan, pengalaman dan pola asuh orang tua turut memberikan pengaruh yang signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk. Sikap atau respon orang tua dan lingkungan akan menjadi bahan informasi bagi anak untuk menilai siapa dirinya. Konsep diri ini mempunyai sifat yang dinamis, artinya tidak luput dari perubahan. Ada aspek-aspek yang bisa bertahan dalam jangka waktu tertentu, namun ada pula yang mudah sekali berubah sesuai dengan situasi sesaat (Rini, 2002). Coleman (dalam Burns, 1993) mengatakan bahwa konsep diri yang dimiliki individu relatif stabil sepanjang masa keremajaan. Hurlock (1999) mengatakan bahwa konsep diri bertambah stabil pada periode masa remaja. Konsep diri yang stabil sangat penting bagi remaja karena hal tersebut merupakan salah satu bukti keberhasilan pada remaja dalam usaha memperbaiki kepribadiannya. Selain itu, konsep diri menjadi penting bagi masa remaja karena pada masa ini tubuh remaja berubah secara mendadak sehingga dapat mengubah pengetahuan tentang diri dan juga pada masa ini merupakan saat dimana individu harus mengambil keputusan mengenai kepribadiannya dalam rangka mengatasi berbagai pernyataan (Hardy & Hayes, 1988).
17
Universitas Sumatera Utara
Konsep diri berpengaruh kuat terhadap tingkah laku seseorang. Dengan mengetahui konsep diri seseorang, akan lebih mudah meramalkan dan memahami tingkah laku individu. Perkembangan konsep diri merupakan proses yang terus berlanjut sepanjang kehidupan manusia. Persepsi tentang diri tidak langsung muncul pada saat kelahiran, tetapi mulai berkembang secara bertahap dengan munculnya kemampuan perseptif (Agustiani, 2006). Menurut Lukman (2000), remaja panti asuhan berpotensi untuk memiliki konsep diri yang negatif karena adanya pengaruh negatif yang berasal dari lingkungan asrama, yaitu pergaulan antar sesama anak asuh. Pengaruh dari lingkungan teman seasrama kemungkinan menyebabkan sebagian remaja kurang dapat menempatkan diri dalam pergaulan. Selain itu, anak asuh memiliki konsep diri yang cenderung negatif karena keberadaannya di panti asuhan dapat menjadikan penghambat terbesar dalam perkembangan konsep diri anak asuh dan anak asuh panti asuhan telah mendapat label anak-anak yang perlu dikasihani. Artinya, label yang muncul secara internal dan juga didukung oleh pandangan lingkungan sosialnya menjadikan anak asuh harus tarik ulur dalam menilai dirinya sendiri. Berdasarkan fenomena-fenomena diatas, dapat dilihat bahwa konsep diri berpengaruh terhadap penyesuaian remaja penghuni panti asuhan. Hal tersebut membuat peneliti tertarik untuk meneliti seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap penyesuaian diri remaja penghuni panti asuhan.
18
Universitas Sumatera Utara
B. PERUMUSAN MASALAH Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan di atas, maka rumusan masalah dalam penelitian ini adalah seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap penyesuaian diri pada remaja penghuni panti asuhan?
C. TUJUAN PENELITIAN Adapun tujuan penelitian ini adalah untuk melihat seberapa besar pengaruh konsep diri terhadap penyesuaian diri pada remaja pada remaja penghuni panti asuhan.
D. MANFAAT PENELITIAN 1. Manfaat teoritis Hasil
penelitian
ini
diharapkan
dapat
menjadi
masukan
bagi
pengembangan ilmu psikologi, khususnya psikologi pekembangan, terutama mengenai pengaruh konsep diri terhadap penyesuaian diri pada remaja penghuni panti asuhan.
2. Manfaat praktis a. Memberikan tambahan informasi pada Bapak/ Ibu Pengasuh mengenai pengaruh konsep diri dalam membantu penyesuaian diri remaja, sehingga panti asuhan diharapkan dapat memberikan perhatian yang lebih kepada anak asuhnya, khususnya remaja.
19
Universitas Sumatera Utara
b. Memberikan tambahan informasi pada masyarakat dalam mendukung remaja penghuni panti asuhan agar memiliki penyesuaian diri yang baik dalam kehidupan bermasyarakat dan dapat lebih memperhatikan kesejahteraan remaja penghuni panti asuhan. c. Memberikan tambahan informasi bagi remaja tentang pentingnya konsep diri dalam membantu penyesuaian diri remaja.
E. SISTEMATIKA PENULISAN Sistematika penulisan berisikan intisari dari: Bab I: Pendahuluan Berisi uraian singkat tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian dan sistematika penulisan. Bab II: Landasan Teori Berisi teori-teori yang digunakan sebagai landasan dalam menjelaskan permasalahan penelitian, terdiri dari teori-teori tentang perilaku agresi, emosi dasar negatif dan remaja, serta hipotesa penelitian. Bab III: Metode Penelitian Berisi tentang identifikasi variabel penelitian, definisi operasional variabel penelitian, populasi dan metode pengambilan sampel, metode pengumpulan data, daya beda aitem, validitas dan reliabilitas, prosedur penelitian serta metode analisa data. Bab IV: Analisa Data dan Pembahasan
20
Universitas Sumatera Utara
Berisi tentang gambaran umum subjek penelitian, hasil penelitian dan deskripsi data penelitian. Bab V : Kesimpulan dan Saran Berisi tentang kesimpulan penelitian dan saran praktis sesuai hasil dan masalah penelitian.
21
Universitas Sumatera Utara