BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Pembelajaran merupakan suatu proses yang sangat kompleks yang melibatkan unsur-unsur manusia, material, fasilitas, perlengkapan dan unsur prosedur. Salah satu upaya peningkatan kualitas pendidikan adalah mengubah paradigma dari pengajaran
yang berpusat pada guru (teacher centered) ke
pembelajaran yang berpusat pada siswa (student centered). Dewasa ini, pendidikan cenderung menjadi sarana stratifikasi sosial dan sistem pembelajaran yang hanya mentransfer kepada peserta didik apa yang disebut sebagai dead knowledge, yaitu pengetahuan yang terlalu bersifat hafalan (teks bookish), sehingga bagaikan sudah diceraikan dari akar sumbernya dan aplikasinya, dengan perkataan lain pelajaran sains yang dipelajari di sekolah menjadi “kering” dan tidak bermakna bagi siswa (Suastra, 2005). Perubahan paradigma ini menuntut guru agar lebih kreatif dalam mengembangkan pembelajaran, sehingga memungkinkan siswa dapat berprestasi melalui kegiatan-kegiatan nyata yang menyenangkan dan mampu mengembangkan potensi siswa secara optimal. Namun praktiknya, hal-hal sebagaimana tersebut di atas sering terlupakan, pembelajaran cenderung dilakukan untuk mempersiapkan siswa menghadapi ujian sehingga pembelajaran
terkesan monoton
mengerjakan soal-soal latihan.
dan lebih difokuskan
dalam
Akibat pembelajaran yang terkesan monoton,
siswa merasa jenuh dan kurang berminat dalam mengikuti pembelajaran.
1
2
Pemahaman konsep siswa dianggap kurang bermakna dan cenderung mudah dilupakan. Hal ini terjadi karena siswa mengikuti pembelajaran tidak diikuti dengan perhatian, minat dan motivasi untuk belajar. Pembelajaran seperti ini hampir terjadi di setiap mata pelajaran di sekolah dasar, termasuk di dalamnya dalam pembelajaran IPA. Dalam mengembangkan pembelajaran banyak hal-hal yang harus diperhatikan
oleh
guru
diantaranya
pendekatan
pembelajaran,
model
pembelajaran, karakteristik siswa, lingkungan sebagai sumber pembelajaran hingga kebudayaan tradisional masyarakat. Dengan mempertimbangkan hal-hal tersebut di atas diharapkan proses pembelajaran melahirkan siswa intelektual dan menghargai budaya-budaya lokal. Maddock (dalam Wahidin, 2006) menemukan bahwa, Pendidikan IPA di Papua Nugini telah melahirkan rasa terasing pada diri siswa di sekolahnya. Guru seolah-olah telah “memisahkan” mereka dengan kebudayaan tradisonal masyarakatnya. Tegasnya semakin tinggi pendidikan formal seseorang, semakin besar efek keterasingan dari budaya lokalnya. Dalam kondisi seperti ini, sekolah hanya berguna memenuhi keperluan batin yaitu kepuasan intelektual yang bersangkutan. Sedangkan apabila ditinjau dari aspek produktivitas dan optimalisasi potensi daerah kurang menguntungkan. Selanjutnya Suastra (2005) menemukan bahwa ada dua pengaruh budaya lokal yang dimiliki siswa di desa penglipuran (Bali) terhadap pembelajaran sains di sekolah. pertama: Pengaruh positif akan muncul jika materi pembelajaran sains di sekolah yang sedang dipelajari sesuai dengan pengetahuan (budaya) sehari-hari. Pada keadaan ini proses pembelajaran mendukung cara pandang siswa terhadap alam sekitarnya
3
(inkulturasi), maka pembelajaran menjadi meningkatkan pemahaman siswa atau belajar siswa menjadi lebih bermakna.
Sebaliknya yang kedua: Proses
pembelajaran sains menjadi ”pengganggu” ketika materi pelajaran sains di sekolah tidak selaras dengan latar belakang budaya yang sudah mengakar pada sebelumnya, maka siswa akan terasing dari budayanya sendiri. Lebih lanjut, Jegede & Okebukola (dalam Wahidin, 2006) menyatakan bahwa, memadukan sains asli siswa (sains sosial budaya) dengan pelajaran sains di sekolah ternyata dapat menigkatkan prestasi belajar siswa. Dalam kaitannya dengan hasil penelitian tersebut, maka pembelajaran sains di sekolah dasar (SD) perlu diupayakan adanya keseimbangan/keharmonisan antara pengetahuan sains itu sendiri dengan pemahaman konsep ilmiah, serta nilai-nilai kearifan lokal yang ada dalam sains itu sendiri. Oleh karena itu, lingkungan sosial budaya siswa perlu mendapatkan perhatian serius dalam meningkatkan pendidikan sains di sekolah dasar karena di dalamnya terpendam sains asli yang dapat berguna bagi kehidupannya. Dengan demikian, pembelajaran berbasis budaya lokal yang diberikan kepada siswa sejak sekolah dasar akan betul-betul bermanfaat bagi dirinya, untuk itu pembelajaran sains di sekolah dasar perlu memperhatikan pendekatan atau model pembelajaran yang dapat memberikan pemahaman sains dengan tidak meninggalkan aspek-aspek budaya lokal siswa. Selanjutnya Baker et.al, (dalam Suastra, 2005) menyatakan bahwa jika pembelajaran sains di sekolah tidak memperhatikan budaya anak, maka konsekuensinya siswa akan menolak atau menerima hanya sebagian konsep-
4
konsep sains yang dikembangkan dalam pembelajaran. Untuk menghindari masalah ini, dibutuhkan suatu pendekatan atau model pembelajaran yang dapat meningkatkan intelektual siswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal. Diantara model atau pendekatan pembelajaran yang dapat meningkatkan intelektual siswa yang menjunjung tinggi nilai-nilai budaya lokal adalah pembelajaran berbasis budaya lokal. Pembelajaran berbasis budaya lokal merupakan suatu bentuk pembelajaran yang memadukan sekolah dengan budaya masyarakat. Proses pembelajaran “melibatkan masyarakat setempat” dengan cara membawa dan menyesuaikan budaya masyarakat setempat dengan bahan ajar di sekolah.
Dalam konteks ini tujuan pembelajaran dirumuskan bersama antara
guru, masyarakat (komite sekolah), pengusaha, pejabat pendidikan setempat, dan komponen lainnya. Guru menjabarkan tujuan dan harapan masyarakat, tentu saja porsi yang diambil waktunya sesuai ketentuan kurikulum yang berlaku antara kurikulum nasional (kurnas) dengan muatan lokal. Dalam perspektif antropologi, pembelajaran
di
sekolah
dianggap
sebagai
transmisi
budaya
(cultural
transmission), sehingga proses kegiatan pembelajaran di kelas diibaratkan sebagai proses pemindahan dan peralihan dari guru kepada siswa. Menurut Okebukola (dalam Wahidin, 2006) bahwa latar belakang budaya siswa mempengaruhi efek yang besar dalam proses pendidikan. Latar belakang budaya siswa mempunyai pengaruh yang kuat pada cara belajar siswa. Selanjutnya Ogunniyi, Jegede, Ogawa, Yandila dan Oladede (dalam Wahyudi, 2008) menyatakan bahwa latar belakang budaya yang dibawa oleh guru dan siswa ke dalam kelas sangat menentukan kondisi dan suasana pembelajaran yang
5
bermakna dan berkonteks. Latar belakang budaya siswa tidak hanya membawa pengaruh positif. Artinya bahan ajar yang dipelajari selaras dengan pengetahuan dan budaya siswa sehari-hari, mendukung cara pandang siswa sebelumnya. Proses pembelajaran siswa tersebut disebut proses ”Inkulturasi” sedangkan pembelajaran yang dilakukan dengan cara memarjinalkan pengetahuan budaya siswa sebelumnya disebut ”Asimilasi”. Penelitian-penelitian tentang pengaruh budaya terhadap pembelajaran IPA diikuti oleh pemilihan wacana model pembelajaran yang cocok untuk melaksanakan kurikulum yang dikembangkan. George (dalam Wahidin, 2006) menyarankan kepada guru agar memperhatikan empat hal selama membawakan pembelajaran, yaitu; (1) Memberikan kesempatan kepada siswa untuk mengekspresikan pikiran-pikirannya untuk mengakomodasi konsep-konsep atau keyakinan yang dimiliki yang berakar pada sains tradisional, (2) Menyajikan kepada siswa contoh-contoh keganjilan atau keajaiban (discrepant event) yang sebenarnya hal biasa menurut konsep-konsep sains, (3) Mendorong siswa untuk aktif bertanya, dan (4) Mendorong siswa untuk membuat serangkaian skemaskema tentang konsep yang dikembangkan selama proses pembelajaran. Bertolak dari latar belakang di atas, maka penulis tertarik untuk melaksanakan penelitian tentang pembelajaran berbasis budaya lokal pada materi Bumi dan Alam Semesta, dan menuangkan dalam bentuk tulisan ilmiah dengan judul ” Aplikasi Pembelajaran Sains
Berbasis Budaya Lokal untuk
Meningkatkan Minat dan Pemahaman Konsep Siswa SD”. (Studi eksperimen pada topik bumi dan alam semesta di kelas VI SD Negeri Salero 1 Kota Ternate)
6
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka masalah yang akan diungkap jawabannya dalam penelitian ini adalah: Apakah aplikasi pembelajaran sains berbasis budaya lokal dapat meningkatkan minat dan pemahaman konsep siswa kelas VI sekolah dasar? Rumusan masalah tersebut selanjutnya dijabarkan dalam pertanyaanpertanyaan penelitian berikut: 1) Bagaimana proses pembelajaran sains berbasis budaya lokal? 2) Bagaimana peningkatan minat siswa terhadap materi bumi dan alam semesta setelah pembelajaran sains berbasis budaya lokal diterapkan? 3) Bagaimana perbedaan peningkatan pemahaman konsep bumi dan alam semesta antara siswa yang mendapatkan pembelajaran sains berbasis budaya lokal dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sains secara biasa?
C.
Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui hal-hal sebagai berikut:
1) Mendeskripsikan proses pembelajaran sains berbasis budaya lokal. 2) Mengetahui peningkatan minat siswa terhadap materi Bumi dan Alam Semesta setelah pembelajaran sains berbasis budaya lokal diterapkan. 3) Mengetahui perbedaan peningkatan pemahaman konsep bumi dan alam semesta antara siswa yang mendapatkan pembelajaran sains berbasis budaya lokal dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sains secara biasa.
7
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut: 1) Dapat menjadi masukan bagi guru sekolah dasar dalam memperoleh wawasan untuk
memperbaiki,
meningkatkan
dan
mengembangkan
kualitas
pembelajaran IPA SD pada konsep Bumi dan Alam Semesta. 2) Dapat meningkatkan minat dan pemahaman konsep sains siswa pada topik bumi dan alam semesta. 3) Sebagai referensi bagi guru dan calon guru dalam merencanakan pembelajaran IPA dengan memperhatikan budaya lokal dan pengetahuan awal siswa. 4) Dapat mendorong guru untuk melaksanakan penelitian sains berbasis budaya lokal sehingga dapat meningkatkan prestasi belajar siswa. 5) Konsep-konsep yang ditemukan dalam penelitian ini dapat digunakan sebagai kegiatan penelitian lanjutan.
E. Definisi Operasional Terdapat beberapa istilah yang digunakan baik dalam judul maupun isi penelitian ini yang perlu diklarifikasi agar diperoleh kesamaan persepsi, istilahistilah tersebut antara lain:
1.
Minat Siswa Pengertian minat dalam konteks penelitian ini adalah perasaan senang
yang mewarnai siswa dan dorongan yang tinggi terhadap pembelajaran bumi dan alam semesta yang diukur melalui angket minat.
8
2.
Pemahaman Konsep Dalam penelitian ini diartikan sebagai kemampuan siswa memahami
konsep bumi dan alam semesta melalui pembelajaran sains berbasis budaya lokal, baik konsep secara teori maupun penerapannya dalam kehidupan sehari-hari yang dapat dilihat dari hasil tes pemahaman konsep atau jawaban siswa melalui pretest dan posttest.
3.
Pembelajaran Berbasis Budaya Lokal Pembelajaran berbasis budaya lokal dalam konteks penelitian ini adalah
suatu bentuk pembelajaran yang mengaitkan materi dan bahan ajar pembelajaran dengan kehidupan siswa sehari-hari.
F.
Asumsi Penelitian Asumsi atau anggapan dasar harus harus didasarkan atas kebenaran yang
telah diyakini oleh peneliti. Oleh karena itu dalam penelitian ini diasumsikan bahwa: 1) Keterkaitan antara materi yang diajarkan di kelas dengan kehidupan seharihari siswa akan meningkatkan minat
siswa dalam belajar (Jegede &
Okebukola dalam Wahidin, 2006). 2) Pembelajaran berbasis budaya lokal membantu siswa dalam memahami konsep karena materi yang diajar dikaitkan dengan kehidupan sehari-hari siswa (Suastra, 2005).
9
G.
Hipotesis Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang dikemukakan di atas, maka hipotesis
dalam penelitian ini adalah: 1) Terdapat peningkatan minat siswa tentang bumi dan alam semesta setelah penerapan pembelajaran sains berbasis budaya lokal. 2) Terdapat perbedaan peningkatan pemahaman konsep bumi dan alam semesta antara siswa yang mendapatkan pembelajaran sains berbasis budaya lokal dengan siswa yang mendapatkan pembelajaran sains secara biasa.