BAB I PENDAHULUAN A. LATAR BELAKANG MASALAH Melihat dari kesejarahan lahirnya bangsa ini, maka tidak terlepas dari perkembangan militer itu sendri bahkan sebelum pecahnya Revolusi 1945 militer sudah ada dan selalu bermetamarposa dalam perubahanya yang di sesuaikan dengan perkembangan politik. Pada masa penjajahan belanda kita mengenal KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau kita kenal angkatan bersenjata kerajaan belanda yang para personelnya merupakan orang-orang pribumi. Pada era jepang mereka membentuk PETA (Pembela Tanah Air) dan ketiga mereka atau kelompok yang berasal dari laskar-laskar yang bergabung langsung dengan tentara regular. Dengan memiliki pemahaman bahwa militerlah yang paling berjasa dalam melakukan perjuangan kemardekaan 1945, yang mengangap bahwa mereka terlahir bukan dari sistem
politik maupun pemerintahan yang pada saat itu
berkuasa, melainkan terlahir dari hirup pikuk situasi revolusi. Yang membuat mereka merasa bertanggung jawab dan lebih-lebih merekalah yang paling berjasa dengan kemardekaan, maka mereka lebih tunduk secara langsung kepada bangsa dan Negara dari pada harus patuh terhadap politisi yang sedang berkuasa. Pada era orde lama sendiri yang dipimpin oleh Soekarno, militer sendiri secara internal sudah mulai mengalami pergulatan terhadap perpecahan
~ 1 ~
pandangan. Sampai dengan era demokrasi terpimpin (1959-1965) belum pernah ada usaha pimpinan negara untuk menyatukan tentara, bahkan cenderung memilih fragmentasi dan persaingan dalam tentara, terutama antar matra, demi kelangsungan kekuasaan Presiden Soekarno.1Adanya barisan yang setia pada soekarno dan ada yang tidak setia, yang menjadikan mereka terkotak-kotak dan memiiki perwira yang berbeda-beda kepentinganya, sampai pada puncaknya adalah bagaimana militer melakukan penumpasan pemberontakan G30S. kejadian ini masih menjadi tanda Tanya besar bagi rakyat hingga sekarang siapakah sebenarnya yang ada di balik pertikaian ini apakah PKI ataukah militer sendiri yang ingin merebut kekuasaan. Pasca kejadian G30S militer melakukan penyisiran dan pembersihan orang-orang PKI atau Komunis, baik mereka yang kader maupun simpatisan sampai ke akar-akar dan menjadi pembantaian yang besar-besaran yang dilakukan dalam sejarah Indonesia pasca kemardekaan. Isu komunis dan PKI menjadi central dan kekuatan bagi militer sendiri untuk menumpas kekuatan pesaingnya yang menjadi ancaman bagi militer di parlemen maupun di perpolitikan, sejak dekade 1960-an yang mana di cabutnya SOB yang berarti hilangnya secara langsung legitimasi konstitusi tentara angkatan darat dalam menjalankan aktivitas nonmiliter. Pada masa Demokrasi Terpimpin era Soekarno tentara khususnya Angkatan Darat sudah ada landasan yang sangat kuat bagi tentara untuk terjun di 1
Dwi Pratomo, Yulianto ,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis hubungan sipil-militer di Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005.
~ 2 ~
non militer, yang kemudian ini pada saat era Orde Baru menjadi kekuatan yang sangat besar bagi presiden soeharto dalam mempertahankan kekuasaanya di pemerintahan. Pertama, bidang politik. Dalam bidang politik sendiri ada dua hal: pertama, pembentukan doktrin yang membenarkan keterlibatan tentara dalam urusan non kemiletiran yang kemudian diikuti dengan pelibatan personilpersonilnya dalam lembaga-lembaga politik, serta keterwakilanya dalam posisiposisi puncak pemerintah. Upaya ini dilakukan tentara dengan mengintroduksi konsep dwifungsi yang diyakini sebagai ‘jalan tengah’,_sebagaimana yang dikatakan oleh penggagasnya, Jend. Nasution_,antara doktrin liberal: dimana tentara adalah alat mati politisi sipil dalam tradisi civilian supremacy dan konsep militeristik; dimana militer hadir sebagai sebuah pemerintah(junta militer) sebagaimana dinegara Amerika Latin waktu itu. Dalam konsep ini disebutkan militer Indonesia harus diberi kesempatan berpartisipasi dalam pemerintahan atas dasar individu dan membiarkan keahlian non militernya di manfaatkan guna perkembangan
bangsa.
Pada
pemerintahan
pusat
para
perwira
harus
diperbolehkan berpartisipasi didalam menentukan politik Negara,baik ekonomi, keuangan, lapangan internasional dan lain-lain bidang.2 Dengan adanya doktrin kuat dan penerapanya yang sangat masif serta di tunjang dengan kekuatan militer yang ada di pemerintahan, ini menjadi doktrin bagi tentara dalam mengambil posisi-posisi di politik. Menjadi aplikasi yang sangat riil mendudukan perwira-perwira tentara dalam lembaga-lembaga politik 2 Muhaimin, yahya., Perkembangan Militer dalam Politik di Indonesia 1945-1965,BP FISIPOL UGM,1971. Dalam Dwi Pratomo, Yulianto,.,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis hubungan sipil-militer di Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005.
~ 3 ~
dan jabatatan-jabatan puncak di pemerintahan: Dewan Nasional, kabinet(sudah dilaksanakan sejak sebelum konsep Dwifungsi diperkenalkan)korps diplomatik, Dewan
Perancang
Nasional,
parlemen
dan
jabatan-jabatan
pemerintah
lainya,3serta jabatan-jabatan pada bidang ekonomi-pimpinan perusahaan Negara yang diambil alih dari Belanda melalui kebijakan nasionalisasi.4 Kedua, dalam langkah selanjutnya adalah pengumpulan berbagai potensi fungsional non partisan yang di organisasikan dalam sekretariatan bersama Golongan Karya(Sekber Golkar).5 Namun karena berbagai permasalahan,Sekber Golkar tidak efektif di tahun pertamanya: bukan saja tak memiliki anggaran dasar,tetapi juga tidak di laksanakanya musyawarah nasional. Oleh karena itu kegiatan kekuatan ini dilakukan oleh berbagai komponen Sekber Golkar, yaitu tentara dan tiga ‘organisasi massa’ mereka disponsori; Soksi(Sarekat Organisasi Karyawan Sosialis Indonesia), Kosgoro (Koperasi Simpan Tabung Gotong Royong), dan MKGR(Musyawarah Kekeluargaan Gotong Royong). Disamping itu juga di terbitkan surat kabar Angkatan Bersenjata dan Berita Yudha, pada tahun 1965 untuk mendukung kekuatan anti komunis. Kedua, bidang ekonomi. Sebenarnya aktifitas ekonomi tentara telah ada semenjak awal kelahiranya, di mana setiap kesatuan berupaya mencukupi kebutuhanya karena tidak ada suplai perlengkapan maupun keuangan dari markas besar. Pencarian danapun dilakukan oleh setiap kesatuan dan hasilnya di tukar
3
Lihat Muhaimin dalam Dwi Pratomo Yulianto, Op cit. Hal. 30. Lihat Muhaimin dalam Dwi Pratomo Yulianto, Loc cit. Hal. 30 5 Lihat Pandiangan Adreas dalam Dwi Pratomo Yulianto, Op cit. Hal. 31. 4
~ 4 ~
dengan senjata.6 Hal tersebut tetap saja berlangsung pada masa pasca kemardekaan. Kegiatan tersebut dilakukan oleh kesatuan-kesatuan di berbagai daerah untuk mendanai diri mereka karena anggaran pemerintah tidak cukup. Masih rapuhnya organisasi TNI yang belum mapu mengontrol kesatuan-kesatuan di daerah telah mengakibatkan para panglima mendapatkan kekuasaan politik dan kekuasaan ekonomi secara bersamaan. Kekuasaan tersebut mengalami akumulasi karena lamanya para panglima dan perwira kesatuan di bawahnya menetap di suatu wilayah.7 Kemudian pada saat rezim orde baru bisnis-bisnis militer semakin banyak dan besar, bahkan militer sendiri memiliki yayasan yang dinaungi di bawah militer. Bisnis ini juga di kuasai oleh para perwira bukan hanya untuk kepentingan kesatuan mereka tapi menjadi bisnis bagi para purnawiran. Ketika jatuhnya Presiden Soekarno yang di gantikan oleh Presiden Soeharto akibat gagalnya kudeta 1965 dan berakhirnya juga pertarungan antara tiga kekuatan (Soekarno, Angkatan Darat, PKI), hancurnya PKI membuat kekuatan dan kewibawaan Soekarno semakin merosot dan TNI yang diwakili oleh Angkatan Darat menjadi pemenang dalam pergejolakan perebutan kekuasaan politik. Semakin kuatnya kekuatan militer di perpolitikan Indonesia pasca jatuhnya Soekarno yang mendorong dilakukanya berbagai upaya untuk memperkuat legitimasi posisi tentara di perpolitikan Indonesia. Dan kemudian diambillah berbagai langkah politik strategis:
6
Lihat pandiangan, Adreas, Menggugat Kemandirian Golkar, dalam buku Dwi Pratomo Yulianto,.,Militer dan Kekuasaan;Puncak-puncak krisis hubungan sipil-militer di Indonesia,Narasi,Yogyakarta,2005. Hal 32. 7 Samego,indria.,et.al., Bila ABRI Berbisnis,penerbit Mizan,Jakarta,1998.
~ 5 ~
Pertama, pelembagaan ideologi dwifungsi ABRI. Secara historis keterlibatan tentara dalam urusan non kemiliteran sebenarnya telah dimulai sejak awal kemardekaan. Situasi dan kondisi pada saat itulah yang menyebabkanya dan kecendrungan ini berlanjut terus sampai pada masa-masa sesudahnya. Namun dengan demikian militer hanya memiliki legitimasi historis yang belum terlembagakan secara lebih baku baik dalam bentuk doktrin maupun peraturan perundang-undangan karena hanya berbentuk pernyataan ataupun pidato petinggi tentara tentang perlunya keterlibatan tentara dalam urusan non kemiliteran. Kedua, pengembangan sebuah sistem kontrol internal atas institusi tentara. Pengembangan mekanisme control internal ini terutama di maksudkan untuk mengendalikan prilaku para personel militer oleh markas besar baik secara kelembagaan maupun perorangan. Hal ini dilakukan pada penghujung decade 1960an dengan reorganisasi besar-besaran dengan menempatkan markas besar sebagai pemegang kendali utama kekuatan militer dan mengikat seluruh personel. Reorganisasi sebelumnya sudah dilakukan oleh Nasution pada angkatan darat pada era 1950-an dan 1960-an, hanya saja reorganisasi yang di lakukan oleh orde baru lebih luas: Angkatan Darat, Angkatan Udara, Angkatan Laut dan Kepolisian, yang semuanya di bawah kendali oleh markas besar dan Panglima Angkatan Bersenjata(Pangab) sebagai pemegang kewenangan tunggal atas operasi dan administrasi.8 Dengan demikian kepemimpinan militer semakin solid dan kuat karena mereka mulai tersentralisasikan dalam hal kepemimpinan organisasi, setiap 8
.Op cit Dwi Pratomo Yulianto. Hal. 35-38.
~ 6 ~
komando masing-masing angkatan sudah tidak bisa lagi mengeluarkan kebijakan, panglima di setiap matra ini kemudian berubah menjadi kepala staf angkatan. Setiap kebijakan di bawah kendali Pangab, yang membuat militer semakin terpusat. Ketiga, dilakukanya kontrol terhadap lembaga dan kekuatan politik yang dimiliki oleh sipil. Kontrol yang di lakukan berbagai macam melihat lembaga tersebut bisa bersifat interfensi kepemimpinan, sampai pada pembubaran dan refresif fisik. Ini merupakan salah satu cara untuk mengendalikan prilaku setiap entitas masyarakat, dengan satu alasan demi kepentingan keamanan dan kestabilan politik yang membuat pembangunan bisa berjalan dengan lancar sesuai yang di harapkan pemerintah. Sturktur TNI yang sampai pada level desa (BABINSA) menjadi pengontrol bagi masyrakat setiap tingkah laku entitas, dengan alasan keamanan setiap kegiatan yang ada di masyarakat harus melaporkan setiap kegiatan. Membuat kontrol TNI terhadap masyarakat sipil semakin kuat dan dalam pelaksananya mereka juga melakukan transformasi ideologi militerisme, selain itu juga nantinya institusi ini di gunakan sebagai alat salah satu partai politik dalam mengontrol masyarakat. Dengan kekuasaan serta kekuatan yang dimiliki oleh tentara mereka juga melakukan pelemahan terhadap partai politik,lembaga termasuk parlemen. Golkar pada masa orde baru bukan partai politik tapi merupakan golongan, instrumen ini juga di jadikan kekuatan yang besar oleh soeharto dalam mempertahankan status quonya. Partai politik awalnya ada 10 buah kemudian dipaksakan untuk “fusi” partai yang mengakibatkan menjadi tiga. Partai Islam semuanya dijadikan satu
~ 7 ~
menjadi Partai Persatuan Pembangunan (PPP), sedangkan partai Nasionalis di fusi dan berubah menjadi Partai Demokrasi Indonesia (PDI), serta dari Golongan (Golkar). Contoh mutakhir dari intervensi militer ke dalam wilayah politik adalah manipulasi proses pemilihan kepemimpinan di tubuh PDI yang berbuntut menjadi apa yang kita kenal dengan pristiwa 27 Juli 1996. Sekalipun mengorbankan banyak jiwa, militer merasa lebih aman jika ketua PDI yang sah bukan tokoh yang berpotensi menjadi kekuatan tandingan. Peristiwa serupa terjadi beberapa tahun sebelumnya dalam proses pemilihan ketua PPP. Berkat kesigapannya militer kembali mampu memanipulasi proses pemilihan agar menghasilkan pemimpin partai yang tidak berpotensi sebagai ancaman terhadap pemerintah.9 Pada tahun 1985 diberlakukan azas tunggal Pancasila terhadap seluruh partai dan mengharuskan semua partai mencabut ideologi yang melekat pada semua lembaga. Dengan disahkanya undang-undang kepartaian (UU No.3/1975 dan diperbaharui dengan UU No.3/1985) yang berakibat fatal bagi partai politik. Di parlemen ABRI/TNI memiliki fraksi tersendiri, yang mana kompisisi yang terdapat di dalam parlemen merupakan orang yang pro terhadap Soeharto dan di dominasi oleh Golkar dan TNI. Dengan adanya Dwifungsi ABRI menjamin perwira aktif untuk masuk kedalam struktur pemerintahan, mereka menjabat sebagai kepala pemerintahan di daerah seperti gubernur dan bupati yang di angkat secara langsung oleh presiden. 9
Terpilihnya Ismail Hasan Metareum diyakini berkat dukungan ABRI. Pasalnya Hasan Matereum tidak memiliki kemampuan memobilisasi masa PPP. Lihat Robert Lowry, hal.204.
~ 8 ~
Parlemen sendiri memiliki fraksi ABRI dan organisasi kemasyarakatan yang sengaja di bentuk oleh ABRI, selain itu juga ABRI memiliki bisnis yang sangat besar. Perwira militer menduduki jabatan strategis dalam setiap perusahaan negara maupun swasta, disisi lain bisnis dan yayasan ABRI mendapat bantuan dana yang melimpah dari pemerintah. Tahun 1997, Indonesia mengalami krisis moneter sehingga menyebabkan krisis ekonomi berkepanjangan dan berkembang menjadi krisis multidimensi di segala bidang kehidupan masyarakat. Hal inilah menjadi pemicu pergolakan dimana-mana, terutama yang berasal dari kaum mahasiswa. Puncaknya 21 mei 1998 menjadi hari keruntuhan bagi presiden Soeharto yang mendatangkan pukulan telak bagi ABRI, yang mana menjadi pilar utama pada masa orde baru kini mengalami krisis legitimasi dari masyarakat. Dengan manuver yang dilakukan kepala staf Angkatan Bersenjata, Jendral Wiranto, dengan keterampilan yang tinggi sepanjang 1998, tidak saja pada masa transisi Habibie, tetapi juga mempersatukan Angkatan Darat yang mengalami keretakan internal. Wiranto telah menunjukan kemauan yang tulus untuk mendengarkan aspisari masyarakat akan perlunya reformasi politik; ia memahami betul barapa besarnya taruhanya bagi ABRI dalam membantu kearah sistem Indonesia yang lebih pluralistis. Reformasi menjadi tahap baru dalam sejarah perpolitikan Indonesia pasca pemerintahan otoriter dan militeristik, besar harapan masyarakat dengan reformasi pembenahan secara ekonomi, hak azasi, sosial serta politik berjalan dengan baik. Di adakanya pemilu tahun 1999 yang sangat cepat karena tahun 1997 sudah terjadi pemilu dan harus berakhir 2002, dengan pemilu 1999 menjadi tonggak
~ 9 ~
pertama sejarah reformasi melakukan pemilu. Secara tidak langsung dengan adanya pemilu 1999 merupakan suatu penolakan terhadap status quo dari orde baru yang seharusnya berakhir 2002. Penarikan diri TNI dari proses perpolitikin menjadi satu langkah awal memulai profesionalisme dalam tubuh TNI, Pada 2000, dalam laporannya kepada Presiden Abdurrahman Wahid, Panglima TNI Laksamana Widodo AS melaporkan tujuh butir kesimpulan Rapim TNI 19-20 April. Dari sinilah tercatat bahwa TNI melepaskan Dwifungsinya, sebagaimana disimak dalam butir pertama, melepaskan dwifungsi yang selama ini memungkinkan TNI menggunakan kekuasaan selama lebih dari tiga puluh tahun dengan segala ekses yang tidak dapat dibenarkan. Pernyataan yang tegas ini, sayangnya, tidak segera dibarengi dengan keluarnya TNI/Polri dari DPR dan MPR. Dalam sidang di Komisi A, Fraksi TNI/ Polri bahkan memilih alternatif penghapusan Fraksi Utusan Golongan di MPR yang sekaligus menutup peluang bagi TNI/ Polri untuk tetap memiliki wakil di MPR. Ketua Fraksi TNI/Polri Slamet Supriyadi bahkan mendapatkan aplaus yang meriahdari Komisi A ketika menyatakan komitmennya bahwa TNI/ Polri tidak akan lagi berpolitik. Penarikan Dwifungsi ABRI serta besarnya desakan dari masyarakat yang menuntut TNI ‘kembali ke barak’ mengharuskan TNI secara internal menarik diri, karena tidak mau tejadinya lagi sejarah kelam dalam TNI pada masa orde baru. Militer bagian dari institusi negara yang menjalanakan keputusan dari presiden yang di kuasai oleh sipil, kedudukan militer di negara modern sekarang ini dibawah supremasi sipil. Militerisasi merupakan proses masuknya militer secara
~ 10 ~
instititusi kedalam sisitem politik higga tampil sebagai kekuatan yang dominan dalam proses pengambilan keputusan dan kebijakan. Di negara yang menggunakan demokratis seperti Indonesia posisi militer atau TNI kembali ke barak sesuai dengan fungsinya, jika keterlibatan TNI dalam sisitem politik ini akan mencedrai sistem demokrasi. Pada zaman orde baru fungsi militer yang ditetapkan sebagai dinamisator pembangunan termasuk penetralisiran dalam perpolitikan, salah satu bagian penguatan peran militer dalam politik. Dalam tindakan militer selalu mengedepankan sistem struktur komando yang tegas serta menuntut kepatuhan kepada pemimpin, kondisi ini sangat berbeda ketika didalam sistem politik demokrasi. Reformasi dan profesionalisme militer sangat menentukan keberhasilan dan kelangsungan demokrasi, dengan lepasnya dari peran non-militer dari bidang ekonomi dan politik, karena jika tidak akan mengikis profesionalisme militer. Reformasi dalam tubuh TNI harus dilakukan baik secar internal maupun eksternal, dan reformasi TNI merupakan tuntutan sistem politik yang harus di sikapi secara sadar oleh institusi maupun individu prajurit untuk melakukan penyesuaian baik stuktural, doktrin, sikap dan pribadi. Prasyarat utama untuk mewujudkan konsolidasi demokrasi itu adalah menghapus seluruh pranata militer yang dikenal sebagai dwifungsi ABRI dan struktur teritorial militer. Secara resmi, alasan untuk menghapus kedua hal itu tertuang dalam TAP MPR Nomor VI tahun 2000 tentang Pemisahan Institusi TNI dan Polri yang menyatakan bahwa:“peran sosial politik dalam Dwi-fungsi ABRI
~ 11 ~
menyebabkan terjadinya penyimpangan peran dan fungsi TNI dan POLRI yang berakibat tidak berkembangnya sendi-sendi demokrasi dalam kehidupan berbangsa, bernegara dan bermasyarakat.” Perlahan profesionalisme militer berjalan dalam perpolitikan, walaupun setengah hati perwira aktif meninggalkan posisi empuknya. Partai politik menjadi satu-satunya alat bagi mereka yang ingin berkuasa, dengan alat partai seorang individu bisa menempatkan dirinya mewakili golongan untuk duduk di parlemen dan menjadi presiden. Banyaknya perwira yang melakukan pensiunan dini karena mereka sudah di posisi jabatan strategis, sedangkan purnawirawan TNI harus melakukan konsolidasi untuk membangun satu kekuatan menguasai perpolitikan dan ikut dalam proses pemilu. Beragam pendapat mengemuka menanggapi kondisi ini diantaranya pendapat dari kalangan politisi dan pendapat dari kalangan kritis. Bagi kalangan politisi seperti yang disampaikan oleh Ketua Dewan Pimpinan Pusat Partai Demokrat Bidang Politik Anas Urbaningrum mengatakan : ”Kehadiran purnawirawan memperluas basis pengalaman organisasi dan kedisiplinan dalam pengembangan partai. Kehadiran mereka juga menambah variasi kekuatan kader dan variasi latar belakang calon anggota legislatif. Kiprah purnawirawan disejumlah partai adalah bagian dari kebebasan warga sipil karena status mereka sudah menjadi warga sipil. Masuknya purnawirawan ke sejumlah partai termasuk
~ 12 ~
mendirikan partai adalah kewajaran karena terjadi juga di semua negara demokratis”.10 Pasca reformasi terjadinya perpecahan dalam diri purnawirawan TNI walaupun dengan adanya oraganisasi tersebut ternyata hanya menjadi wadah tukar pendapat dan kurang berperan. Sebagian purnawirawan yang memiliki ambisi merebut kekuasaan, mereka akan mengkonsolidasikan beberapa purnawirawan untuk membentuk partai politik. Edy Sudrajat misalnya setelah kekalahanya dalam pemilihan ketua Golkar yang dimenangi Akbar Tandjung, Edy Sudrajat keluar dan mendirikan partai politik bersama Tri Sutrisno yang terkenal dengan PKP. Banyak kasus lain dan hampir setiap purnawirawan militer yang dulunya di Golkar keluar dan mendirikan partai politik masing-masing, dan setiap partai politik selalu ada wajah-wajah purnawirawan militer yang begitu kuat memagang kendali.
Melalui sidang MPR Oktober 1999 Keberadaan anggota F-ABRI dihapuskan di DPR dan hanya ada di MPR sebanyak 38 wakil sampai dengan tahun 2004. Berakhirnya keberadaan ABRI di MPR dengan disahkannya UU No.22 tahun 2003 tentang Susunan dan Kedudukan MPR, DPR dan DPRD11 yang menegaskan bahwa yang duduk diparlemen merupakan perwakilan dari setiap partai yang dipilih oleh rakyat melalui mekanisme pemilu. Ini membuat fraksi golongan TNI/Polri yang berada di MPR/DPR secara spontan menarik diri dan kemudian banyaknya purnawirawan yang terjun ke politik praktis dengan 10 11
Kompas, 4 Agustus 2008. Artikel Tjahyo Rawinarno Dominasi Militer Dalam Perpolitikan Indonesia http://New Blue Print.htm tanggal 18 Mei 2008
~ 13 ~
memasuki partai politik, mereka ada yang bergabung dan ada juga yang mendirikan partai sendiri.
Menjelang pemilu 2004 banyaknya tokoh-tokoh militer yang masuk ke partai untuk mendongkrak suara partai misalnya, misalnya mantan Kepala Staf Sosial Politik ABRI Letjen (Purn) Yunus Yosfiah menjadi Sekjen Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ketua Fraksi TNI/Polri MPR/DPR dan mantan Asisten Sosial Politik Kepala Staf Sosial Politik ABRI Mayjen (Purn) Budi Harsono masuk Partai Golkar menjadi sekretaris jenderal. Mantan anggota Fraksi TNI/Polri dan mantan Kepala Staf Komando Pertahanan Udara Nasional TNI AU Marsekal Muda (Purn) Ronggo Soenarso menjadi Sekjen Partai Persatuan Daerah (PPD) pimpinan Oesman Sapta. Mantan Komandan Pusat Polisi Militer (Puspom) ABRI Mayjen (Purn) Syamsu Djalal masuk Partai Bintang Reformasi menjadi salah satu ketua. Demikian pula mantan perwira tinggi TNI AD Mayjen (Purn) Cholid Ghozali dan mantan Asisten Personalia. Mabes ABRI Mayjen (Purn) Djalal Bachtiar, juga menjadi Ketua Partai Bintang Reformasi (PBR) pimpinan kiai sejuta umat KH Zainuddin MZ. Mantan Panglima Armada Republik Indonesia Kawasan Timur (Armatim) Laksamana Madya (Purn) Sumitro juga menjadi Sekjen Partai Perhimpunan Indonesia Baru (Partai PIB) pimpinan Sjahrir. Mantan Kepala Staf TNI AD (KSAD) Jenderal (Purn) R Hartono bahkan menjadi Ketua Umum Partai Karya Peduli Bangsa (PKPB) yang menyatakan mendukung Orde Baru. Demikian pula mantan Panglima ABRI/Menteri Pertahanan
~ 14 ~
Keamanan Jenderal (Purn) Edi Sudrajat menjadi Ketua Umum Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKP Indonesia).12
Tabel 1.1 Purnawirawan Militer yang masuk partai politik Tahun 1977 1982 1986 1991 1998
Nama Brigjen TNI Purn. H. Hassan Basry Brigjen TNI Purn. Josef Mthius Miloa Brigjen Pol. Purn. K. H. Hasbullah Bakry Mayjen TNI Purn. Soedarmo, bersama 40 purnawirawan Mayjen TNI Purn. Theo Syafei Mayjen TNI Purn. RK Sembiring Meliala Brigjen TNI Purn. Sunarso Djajusman Brigjen TNI Purn.. Djoko Supriadi, bersama 160 purnawirawan Marinir
1999
Mayjen TNI Purn. Soewarno Adiwidjojo Mayjen TNI Purn. R. Suprapto Jenderal TNI Purn. Edi Sudrajat Letjen TNI Purn. GH Mantik Jenderal TNI Purn. Rudini 2002 Letjen TNI Purn. Yunus Yosfiah Letjen TNI Purn. Andi M. Ghalib Mayjen TNI Purn. Amir Syarifuddin Mayjen TNI Purn. Muchlis Anwar Marsda TNI Purn. Gandhi Natasupatma Jenderal TNI Purn. R. Hartono Sumber : Litbang Kompas 2002.
Partai Politik PPP PDI PDI PDI PDI Perjuangan PDI Perjuangan PDI Perjuangan PDI Perjuangan
PAN Partai IPKI PKP Krisna MKGR PPP PPP PPP PPP PPP PKPB
Pemilu 2004 di ikuti 24 partai politik dan yang menjadi calon presiden ada 5 pasang, 3 dari 5 kandidat tersebut merupakan purnawirawan TNI antara lain Wiranto-Salahudin, SBY-Kalla dan Hamzah-Agum Gumelar. Dengan ikut terlibatnya purnawirawan tersebut membuat satu paradigma besar bagi kita, ternyata setelah menguasai pemerintahan kurang lebih 32 tahun pada masa Orce baru militer masih belum puas. Memang ketika menjadi purnawirawan mantan 12
http//google.com/csis/militer dan politik/05/02/04/feature_view.asp.htm
~ 15 ~
TNI ini berubah menjadi sipil dan mempunyai hak yang sama dengan masyarakat sipil dipilih maupun memilih. Pada masa Orde baru militer merupakan kekuatan super dan tonggak keberhasilan Soeharto dalam mempertahankan status quo, bahkan organisasi purnawirawan militer memiliki kekuatan dan legitimasi dalam mengkonsolidasikan kekuatan militer merebut kekuasaan. Secara makro, kata Indra Piliang13, kehadiran politisi mantan TNI dan Polri sebetulnya di negara-negara lain tidak menjadi persoalan. Di Amerika Serikat veteran perang banyak yang langsung masuk ke calon anggota parlemen. "Itu tidak menjadi persoalan, karena mereka sudah menjadi politisi sipil. Cuma kita sedang transisi menjadi supremasi sipil, sehingga sedikit bermasalah". Indra Paliang juga mempermasalahkan walaupun para purnawirawan itu mempunyai organisasi (Pepabri) yang secara tidak langsung tetap menjalin komunikasi dengan Mabes TNI/Polri. Toh nanti mitra kerja Panglima TNI atau Kepala Polri itu dalam bentuk aspirasi bisa disterilkan ketika Panglima TNI atau Kapolri bertemu dengan anggota legislatif. Kekuatan
yang
sangat
terstruktur
dalam
jajaran
purnawirawan
memudahkan konsolidasi, dengan menggunakan sentimen korps dan pangkat ini memudahkan. Banyaknya yang terjun kedunia perpolitikan pasca dinas dari tingkatan pusat sampai daerah dan menjadi kekuatan disetiap masing-masing partai politik dalam mendulang suara partai. Pada akhirnya akan mengarahkan perjolakan perpolitikan pasca Orde Baru khusunya purnawirawan dengan
13
http://TNIAD./310504dikotomi_militer.htm
~ 16 ~
perubahan iklim politik yang demokrasi berbeda dengan militer yang otoriter dan tersentral. B. Perumusan Masalah Dari latar belakang masalah diatas, maka dapat di ambil perumusan masalah,
sebagai
berikut:
Bagaimanakah
Keterlibatan
Purnawirawan
TNI/ABRI, Dalam Partai Politik Indonesia Masa Reformasi ?. C. Tujuan Penelitian 1. Penelitian ini bertujuan untuk memahami sejarah perkembangan militer didalam perpolitikan Indonesia. 2. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui perubahan strategi politik yang di lakukan purnawiran TNI dalam merebut kekuasaan setelah terjadinya reformasi politik yang besar di Indonesia. 3. Pada akhirnya penelitian ini akan menyimpulkan apakah dengan partai politik kemudian menjadi kendaraan politik bagi purnawirawan TNI untuk merebut kekuasaan, dengan mengikuti pemilu tanpa membawa unifrom militer.
~ 17 ~
D. Kerangka Dasar Teori 1. Militer Militer adalah seorang ahli perang atau ahli menggunakan kekerasan. Dalam sejarah, perang adalah satu jalan cepat untuk mencapai kekuasaan yang lebih besar, pokoknya untuk naik dalam status. Perang menjadi kata kunci karena militer dalam masyarakat primitif sampai dalam sebuah negara-bangsa modern merupakan kekuatan perang untuk pertahanan dan keamanan. Perang secara konvensional dimaknai sebagai penggunaan sarana kekerasan secara sistematis dan ekstensif sebagai perangkat kebijakan kelompok sosial terorganisir yang mengklaim mempunyai kontrol yang absah atas wilayah untuk melawan kelompok lain. Disini perang tidak terbatas antara sebuah negara melawan negara lain, tetapi bisa berupa perang yang terjadi didalam negara.14Mereka yang di lengkapi
persenjataan
dan
memiliki
tanggung
jawab
serta
bertugas
mempertahankan kedaulatan suatu negara dari serangan musuh baik dari luar maupun dalam negara. Selain dari itu militer juga disebut sebagai raison d’entre untuk menghadapi dan mengatasi keadaan darurat (emergency organization) yang bercirikan organisasi keras, ketat, hirarkhis sentralistis, berdisiplin keras, dan bergerak atas komando. Yang dimaksud dengan emergency organization adalah sebagai alat/kekuatan pertahanan keamanan untuk menghadapi, mengendalikan dan mengatasi keadaan gawat yang ditimbulkan oleh tindakan kekerasan bersenjata 14
Lihat AAGN Dwipayan Ari,et. Al.,”masyarakat Pascamiliter Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia, IRE, Yogyakarta, 2000. Hal.16.
~ 18 ~
dari pihak-pihak lain yang mengancam negara, kedaulatan, integrasi wilayah, dan nilai-nilai hidup bangsa. Sedangkan habit formation dimaksudkan untuk menanamkan kebiasaan-kebiasaan yang mutlak perlu agar tugas dapat terlaksana dalam keadaan bagaimanapun.15 Militer dalam konsep politik Yunani kuno ditempatkan dalam ranah oicos yang diasosiasikan sebagai suatu yang 'tidak mulia atau kotor' dan tidak memiliki otoritas apa pun. Sementara senat adalah ruang pertarungan gagasan dan otoritas yang menempati ranah polis. Tugas militer tak lain hanya berperang untuk kejayaan bangsa dan persoalan keputusan politik bukanlah urusan militer, melainkan sepenuhnya di tangan senat. Peran militer dalam politik sangat dipengaruhi oleh konflik kepentingan dan ketegangan kelas yang sedang bertarung memperebutkan kekuasaan.16 Militerisasi adalah proses masuknya militer kedalam sistem politik hingga tampil sebagai kekuatan utama dan dominan dalam proses pengambilan kebijakan negara. Derajat militerisasi versi ini bisa diukur dengan menghitung jumlah perwira yang menduduki jabatan-jabatan politik, kemiripan sisitem administrasi dan organisasi sipil dengan militer, atau jumlah intervensi militer dalam peristiwaperistiwa politik.17 Dengan membentuk regulasi yang mendukung kekuatan militerisasi membuat ABRI/TNI bisa menguasai jabatan-jabatan strategis non-
15
Lihat Hasnan Habib ,ABRI dan Demokratisasi Politik, dalam Cholisin,Militer dan Gerakan Prodemokrasi Studi Analisis Tentang Respons Militer Terhadap Gerakan Prodemokrasi di Indonesia,Tiara Wacana,Yogyakarta,2002. 16 http://www.vhrmedia.com artikel,Militer-Dalam-Suprastruktur-Ideologi 17 Eric Hiariej,”Mengeluarkan Militer dari Politik”Unisia No.37/XVIII/I/1998.
~ 19 ~
militer, sehingga kiprah militer dalam ranah sipil semakin kuat dan dianggap sebagai suatu hal yang wajar. Secara umum, ada dua kelompok utama yang memandang campur tangan militer dalam politik. Perlmutter ( 1980 ), Huntington ( 1959 ), dan Welch ( 1970 ) melihat faktor eksternal militer sebagai penyebab munculnya intervensi militer keranah sosial-politik, sedangkan Finer ( 1988 ) dan Nordlinger ( 1994 ) melihat faktor internal militer ( kepentingan militer ) sebagai penyebab terjadinya intervensi militer kedomain sipil.18 Kelompok pertama melihat campur tangan itu lebih disebabkan oleh faktor eksternal ( struktur politik dan Institusional masyarakatnya ), menandakan bahwa keterlibatan itu sebagai akibat rapuhnya struktur politik dan institusi masyarakat. Lembaga militer tidak akan mengambil kekuasaan dari rezim sipil yang berhasil dan memiliki legitimasi. Mereka melakukan intervensi kedalam politik ketika politisi sipil dan partai politik lemah dan terpecah, dan ketika pemerintahan yang tidak utuh dan memanifestasikan kegagalan telah melahirkan kevakuman kekuasaan.19
Dorongan keterlibatan militer Indonesia dalam peran diluar peran aslinya secara sederhana dapat dilihat ditabel berikut :
18 19
A. Malik Haramain, Gus Dur, Militer dan Politik, LKis, Jogyakarta, 2004, halaman 29 Larry Diamond dan Marc F. Plattner, Hubungan Sipil Militer dan Konsolidasi Demokrasi, Raja Grafindo, Jakarta, 2001, Hal pendahuluan.
~ 20 ~
Tabel : 1.2
Faktor Internal ABRI
Eksternal ABRI
Penjelasan • Perwira – perwira Intervensionis terutama didorong oleh motivasi untuk membela atau memajukan kepentingan militer yang berlawanan dengan norma konstitusional • Intervensi militer didorong oleh kepentingan kelas untuk membela nilai-nilai dan aspirasi kelas menengah yang darinya mereka berasal. • Kemahiran profesional di kalangan militer menyebabkan perwira-perwira percaya bahwa mereka lebih mampu dari segi kepemimpinan nasional dibandingkan dengan kepemimpinan sipil. • Intervensi militer dalam politik sebagai sebab ambisi pribadi perwira-perwira yang haus wibawa dan kuasa •
Intervensi militer dalam politik akibat sebagai akibat dari struktur politik masyarakat yang masih rendah dan rentan. Kegagalan sistem politik dari kalangan sipil yang memerintah ( untuk kasus Indonesia terjadi pada masa Demokrasi Parlementer pada tahun 1965 ) atau kelompok sipil dipandang tidak mampu memberikan jaminan tertib politik dan stabilitas politik. Kelompok sipil dianggap tidak mampu dalam melakukan modernisasi ekonomi. Terjadinya disintegrasi nasional.
•
• •
Sumber : DPW-LIPI20 Claude E. Welch mencatat delapan faktor yang memancing militer cenderung melakukan intervensi. Faktor-faktor itu adalah (1) merosotnya prestise partai politik utama, (2) perpecahan dikalangan politisi-politisi terkemuka, (3) usaha untuk mencegah serangan dari luar, (4) pengaruh buruk dari kudeta di 20
Peneliti PPW LIPI, Tentara Mendamba Mitra, Mizan, Bandung , 1999 hlm 40
~ 21 ~
negara tetangga, (5) pertentangan dalam negeri khususnya masalah etnis dan sosial, (6) malaise ekonomi, (7) korupsi dan inefisiensi pemerintahan sipil dan (meningkatnya kesadaran di kalangan elite militer akan kekuasaan militer akan kekuasaan mereka dan kemampuan untuk mempengaruhi atau menggantikan para pemimpin politik sipil.21 Militer Asia telah menampilkan berbagai peran di era modern, meskipun banyak yang diorganisasikan atau dimodernisasikan oleh penguasa kolonial, beberapa diantaranya, seperti militer Indonesia, kemudian berbalik melawan kekuasaan kolonial pada masa perang kemerdekaan. Tindakan ini membuat militer memperoleh legitimasi rakyat yang begitu besar, dan kemudian dikombinasikan dengan variabel institusional dan beberapa faktor lain yang mendukung militer di dalam masyarakat luas akan keterlibatan militer di dalam politik. Walaupun banyak pihak mengatakan ada hegemoni sejarah yang dilakukan oleh pemerintahan orde baru melalui berbagai media massa, seperti film kolosal untuk menggambarkan sisi kepahlawanan militer dalam merebut dan mempertahankan kemerdekaan, dan sangat kontra dengan para politisi sipil yang cenderung ragu-ragu, oportunis, kooporatif terhadap penjajah.22 Militer Indonesia atau TNI/ABRI lahir dari sejarah yang panjang, hasil gabungan dari komponen KNIL, PETA dan laskar-laskar bersenjata. Setiap komponen yang ada dalam tentara memiliki karakter serta konsep masing-masing dalam pembentukanya sampai fungsinya, pola perjuanganya berbeda-beda dalam 21 22
Op. cit, lihat A. Malik Arrahman… hal 24-25 Budi Susanto SJ dan A. Made Tony Supriatma, ABRI: Siasat Kebudayaan, 1945 - 1995. Kanisius, Jogyakarta, 1995
~ 22 ~
mempertahankan kemardekaa. Berawal dari masa penjajahan Belanda, kemudian mendirikan KNIL (Koninklijke Nederlands Indische Leger) atau kita kenal angkatan bersenjata kerajaan belanda yang para personelnya merupakan orangorang pribumi. KNIL sengaja di bentuk oleh kerajaan belanda untuk menjaga perusahaan Kerajaan Belanda serta menangkis dan mempertahankan dari amukan massa yang senantiasa memberontak terhadap pemerintah pada saat itu. Tentara bentukan selanjutnya adalah Pembela Tanah Air (PETA) merupakan sebuah organisasi bersenjata yang dibentuk oleh pemerintahan pendudukan Jepang menjelang berakhirnya Perang Dunia II. Tidak jauh dengan KNIL yang menjadi serdadu diambil dari pemuda setempat yang dilatih dan diberi perlengkapan perang seperti tentara Jepang lainya. Gemblengan yang dilakukan kepada PETA lebih bersifat semangat dari pada taktis, yang kemudian ini membentuk watak terhadap tentara terutama pada perwiranya ketika pengambilan sikap politik. Pasca Perang Dunia II Belanda sendiri mengalami kebingungan mencari jalan bagaimana caranya bisa kembali ke tanah jajahanya, kondisi dalam negeri sendiri (Indonesia) mengalamai revolusi kemardekaan setelah beberapa hari Jepang menyatakan menyerah kepada Amerika dan sekutu. Kemardekaan yang di Proklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945 dan sang proklamator yang terkenal dengan Dwitunggal Soekarno dan Hatta, membawa suasana revolusioner kesetiap penjuru daerah. Secara politis dengan terjadinya pergeseran pimpinan politis dari pemerintahan militer jepang kepada pemerintahan pertama yang dipegang oleh
~ 23 ~
Putra Indonesia, Sebagai Presiden pertama Soekarno dan Wakil Presiden M. Hatta. Terjadinya gejolak revolusi di setiap daerah sehingga mengarahkan kepada revolusi sosial di setiap daerah, misalnya terkenal dengan “Pristiwa Tiga Daerah”. Proses perebutan jabatan politik daerah yang dipelopori oleh kaum terpandang di masing-masing daerah, perebutan yang mengarahkan tindakan anarkis. Merebut dengan paksaan jabatan Bupati sampai ke Desa, karena selama penjajahan Belanda sampai Jepang mereka menjadi pemeras dan menyiksa bagi warganya sendiri. Dengan semangat kemardekaan pemberontakanpun terjadi, dan pejabat lama yang bandel langsung dibunuh dan di asingkan. Pada masa awal-awal kemardekaan terjadinya perdebatan yang sengit antara kelompok tua dan kelompok muda, perselisihan pandangan dalam mempertahankan kemardekaan. Kelompok tua yang ingin mempertahankan kemardekaan dengan cara perundingan terhadap pihak musuh, pandangan ini diwakili oleh Hatta yang menggambarkan kondisi politik internasional pasca Perang Dunia II, yang mana Indonesia masih dibawah kedaulatan Belanda dalam pandangan internasional, terutama sekutu yang notabanenya Belanda kawannya dalam menaklukan Jepang. Kelompok muda diwakili A.H Nasution yang ingin mempertahankan kemardekaan denga cara perjuangan kekerasan atau militer ( kemudian
bermetamarfosa
menjadi
militer
kelaknya).
Perbedaan
yang
dipengaruhi oleh latar belakang kaum muda yang sebelum kemardekaan telah mendapatkan pelatihan militer dari Belanda dan Jepang, usia muda yang emosional ditambah wawasan politik internasional yang kurang.
~ 24 ~
Di masyarakat sendiri berdiri satu kekuatan tentara yang didirikan secara kolektif dan otonom di daerah masing-masing, badan perjuangan ini atau laskar membiayai perjuangan dengan bantuan dari masyarakat sekitar baik senjata, logistik dan sebagainya. Laskar sendiri merupakan hasil dari individu-individu yang pernah dididik oleh Belanda maupun Jepang tentang perang, pasca kemardekaan kemudian membentuk barisan sendiri-sendiri dan bersifat lokal dalam mempertahankan kemardekaan. Kedepanya laskar menjadi persoalan yang tersendiri dalam pembentukan tentara. Pemerintah akhirnya hanya membentuk sebuah Badan Penolong Keluarga Korban Perang (BPKKP) yang salah satu bagiannya bernama Badan Keamanan Rakyat (BKR), pada tanggal 22 Agustus 1945.23 BPKKP itu sendiri dari tiga bagian, yakni: Komite Nasional Indonesia (KNI), Partai Nasional Indonesia (PNI), Badan Keamanan Rakyat (BKR). Pengumuman pembentukan BKR sendiri dikeluarkan oleh PPKI. PPKI sendiri kemudian berubah menjadi Komite Nasional Indonesia Pusat (KNIP) sebagai sebuah badan pembentukan pemerintah dan kemudian berubah fungsi menjadi badan legislatif24. BKR yang menjadi wadah dalam mempertahankan kemardekaan ternyata tidak efektif dalam melakukan koordinasi di setiap daerah, pembentukan ini seolah hanya ingin menyenangkan hati para pemuda yang berapi-api. Akibat dari kurangnya kontrol dan koordinasi antara pusat-daerah dan daerah-pusat, laskar dan gerakan disetiap daerah yang dipimpin oleh pemuda melakukan perjuang 23 24
Lihat Dwi Pratomo Yulianto, Op. Cit. Hal 73. Lihat Said dalam Dwi Pratomo Yulianto, Loc Cit. Hal 73.
~ 25 ~
melawan Inggris dan Belanda dengan cara seporadis yang mengakibatkan banyaknya korban dari pihak pemuda. Tidak mengindahkan kordinasi dan instruksi dari pusat seringkali kesatuan bersenjata melakukan tindakan-tindakan dengan sendirinya. Apalagi diperparah dengan aksi provokasi yang dilakukan oleh pihak-pihak sekutu, yang berujung pada pertempuran. Contohnya di Surabaya sendiri yang menjadi kekuatan bagi pemuda yang dipimpin oleh Pesindo melakukan perlwanan terhadap Belanda, yang dikenal dengan tragedi penyobekan bendera Belanda menjadi Merah Putih di hotel Orange. Akibat sikap perlawanan yang dilakukan oleh pemuda di Surabaya mengharuskan Presiden Soekarno turun ke Surabaya untuk memberikan instruksi kepada pejuang daerah agar peperangan dihentikan, sikap ini ditanggapi oleh pemuda dengan dingin dan mengatakan kalau pemerintahan bersifat kompromi terhadap musuh. Melihat perkembangan disetiap daerah yang tanpa kordinasi melakukan perlawanan terhadap sekutu maupun terhadap pejabat daerah yang dianggap antek-antek sekutu membuat resah bagi pemerintahan pusat. Keadaan yang kacau inilah akhirnya menyadarkan pemerintahan pusat pentingnya untuk membentuk satu Organisasi tentara yang sentralistik dan terkoordinasi dalam menjalankan tugas serta fungsinya. Pada tanggal 5 Oktober 1945 barulah pemerintah mendekritkan secara resmi adanya Tentara Keamanan Rakyat (TKR). Pemerintah kemudian memanggil Urip Sumohardjo untuk diserahi tugas mengorganisasi tentara nasional. Diserukanya agar para pemuda, bekas prajurit PETA, Heiho, Kaigun Heiho, Barisan Pelopor, dan lainya untuk memasuki TKR. Pada tanggal 20
~ 26 ~
Oktober 1945 oleh Kementerian Keamanan Rakyat diumumkan susunan pimpinannya:
Pertama,
Menteri
Keamanan
Rakyat
interim:
Moh.
Suljohadikusumo. Kedua, Pimpinan Tetinggi TKR: Supriyadi. Ketiga, Kepala Staf Umum: Urip Sumohardjo (kemudian diangkat menjadi Letnan Jendral).25 Perubahan sistem politik dari presidensiil ke parlementerian mengandung konflik ketika Sutan Sjahrir yang interprestasinya dari Partai Sosialis, diangkat menjadi pimpinan pemerintahan yaitu Perdana Menteri dalam sistem ini. Pada masa ini Sjahrir ingin menempatkan tentara dibawah supremasi sipil. Sjahrir juga enggan menerima hasil dari rapat tentara di Yogyakarta November 1945 yang memutuskan
Soedirman
sebagai
Panglima
Perang
dan
Sri
Sultan
Hamingkubuwono IX sebagai mentri pertahanan. Justru Sjahrir mengangkat Amir Syarifuddin sebagai Mentri Pertahanan karena berasal dari Partai Sosialis dan Menteri Penerangan dikabinet Soekarno. Tapi akhirnya Lima minggu kemudian Sjahrir mengakui bahwa Soedirman sebagai Panglima Besar Angkatan Perang. Selang beberapa waktu setelah pengangkatan sebagai Menteri Pertahanan, Amir kemudian merubah dari TKR menjadi Tentara Republik Indonesia (TRI) pada 24 Januari 1946. Dalam deklarasi yang di tandatangani oleh Presiden Soekarno dan Menteri Pertahan Amir Syarifuddin berisikan: Pertama, Nama Tentara Keselamatan Rakyat, dahulu Tentara Keamanan Rakyat, diubah menjadi Tentara Republik Indonesia. Kedua, Tentara Republik Indonesia adalah satu satunya organisasi militer Negara Republik Indonesia. Ketiga, Tentara Keselamatan Rakyat, yang mulai hari pengumuman maklumat ini disebut Tentara 25
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 76
~ 27 ~
Republik Indonesia, akan diperbaiki susunanya atas dasar dan bentuk ketentaraan yang sempurna. Keempat, Untuk melaksanakan pekerjaaan tersebut dalam pasal 3, maka pemerintah akan mengangkat sebuah panitia yang terdiri dari para ahli militer dan ahli lainya yang dianggap perlu.26 Untuk melaksanakan keputusan diatas maka dibentuklah kepanitiaan yang dinamakan ‘Panitia Besar Reorganisasi’. Tujuan panitia Reorganisasi ini menertibkan atas banyaknya kesatuan-kesatuan yang ada, dan pembenahan struktur staf dan komando-komando operasional dalam rangka meningkatkan koordinasi agar terciptanya sentralisasi tentara. Kerja kepanitian Reorganisasi mengahasilkan rekomendasi-rekomendasi dan pemerintahpun menjalankan rekomendasi tersebut. Mei 1946 Soedirman kemudian dilantik menjadi Penglima Besar dengan pangkat Jendral penuh, sementara Urip tetap menjabat sebagai Kepala Staf dengan pangkat Letnan Jendral. Panitia tersebut juga menciutkan jumlah devisi dan jumlah resimenya juga dikurangi. Resimen-resimen kemudian dikelompokan kedalam brigadebrigade. Tiap devisi dan brigade diberi nomor dan nama yang berkaitan dengan sejarah prakolonial serta mitologi Indonesia (misalnya Brawijaya, Diponegoro, Siliwangi dan sebagainya) dan para panglima serta kepala stafnya dipilih oleh sidang perwira senior.27
26 27
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 87. Sundhaussen, Ulf., Politik Militer Indonesia 1945-1966: Menuju Dwifungsi ABRI, ter. Hasan Basari, LP3ES, Jakarta, 1988.
~ 28 ~
Dalam hal ini terjadi perpecahan sendiri antara tentara regular (TRI) dan nonreguler/tentara masyarakat. Kepanitiaan yang bertugas dalam hal ini mengalami kegagalan dalam penerapanya, karena laskar yang ada enggan bergabung dan tunduk terhadap tentara reguler walaupun mereka mau bekerjasama. Akibat dari inilah kemudian pemerintah membentuk ‘Biro Perjuangan’ yang menjadi wadah untuk mengumpulkan laskar-laskar yang ada. Biro perjuangan yang berada dibawah koordinasi kementrian pertahanan yang berada di Jakarta, yang interprestasinya merupakan orang-orang Partai Sosialis. Sedangkan TRI dibawah Markas Besar yang berpusat di Yogyakarta. Jarak jauh juga mengganggu komunikasi yang akhirnya terjadinya dualisme kepemimpinan ketentaraan. Selain masalah ini terjadi juga pertentangan antara mantan KNIL dan PETA dalam TRI, yang memiliki basis berbeda-beda. Mantan perwira KNIL yang banyak duduk di markas besar sedangkan PETA banyak dilapangan, ini terjadi saling mencurigai satu sama lain dalam kerja. Sering apa yang menjadi keputusan dari markas besar yang di tanda tangani oleh Urip diabaykan oleh perwira lapangan, baru ketika mendapatkan instruksi atau mandat dari Jendral Soedirman baru melaksanakan perintah. Banyaknya permasalahan yang belum terselesaikan dalam tubuh TRI yang sangat urgen mengganggu kinerja dalam mempertahankan kemardekaan. Berangkat dari semua masalah yang ada dalam TRI, pada tanggal 3 Juni 1947, dengan sebuah dekrit presiden semua organisasi bersenjata harus melebur kedalam satu organisasi yaitu ‘Tentara Nasional Indonesia’(TNI). Dekrit Presiden tidak lepas dari kerjasama antara kementrian pertahanan dan para perwira mantan
~ 29 ~
KNIL yang ingin menggabungkan tentara reguler dengan laskar. Dalam reorganisasi Mei 1947 Soedirman menyetujui bahwa TNI masyarakat ini ditempatkan sebagai salah satu cabang tentara dalam formasi lama Organisasi kelaskaran tersebut. Dalam reorganisasi tersebut TNI masyarakat secara formal dihapuskan dan kemudian dimasukkan kedalam tubuh TNI dalam sebuah brigade khusus.28 Perkembangan militer tidak lepas dari situasi politik pasca kemardekaan, memang pada masa ini hal yang wajar dalam pemerintahan baru mengkonsep sistem yang baru. Perjanjian renvill sendiri sangat merugikan bagi indonesia, lagilagi belanda diuntungkan dengan sikap kompromi pemerintah. Dan hal ini mendapat respon yang kuat ditataran parlemen yang menumbangkan kabinet Amir, karena banyaknya partai yang mendukung kemudian menarik diri dari koalisi. Dikalangan militer sendiri ini memicu terjadinya pemberontakan disetiap daerah, yang pada akhirnya membentuk Negara Islam Indonesia (NII). Walaupun sebenarnya NII adalah sikap kecewa dan ketidak puasan dari laskar-laskar yang tidak masuk kedalam TNI karena ketatnya reorganisasi. Terjadinya reorganisasi dan rasionalisasi (Re-Ra) versi Hatta tidak lepas dari perjanjian Renvill itu sendiri yang mengharuskan Hatta membangun kabinet baru, yang program kerjanya salah satnya adalah Re-Ra. Re-Ra sendiri dilakukan akibat dari lemahnya pertahanan yang tidak terorganisir dalam menahan agresi militer Belanda I, dan tentara sendiri di persalahkan dalam hal ini. Berangkat dari masalah diatas terjadilah kesepakatan kerjasama antara sayap kiri di KNIP atau 28
Lihat said dalam Dwi Pratomo Yulianto. Op. Cit. Hal, 95.
~ 30 ~
Amir dengan para perwira bekas KNIL, yang menghasilkan sebuah perundangan baru menuntut adanya rasionalisasi. Pada tanggal 27 Desember 1947 menghasilkan perundangan yang memuat beberapa pokok tentang ketentaraan 29: Pertama, bahwa organisasi dan kekuatan TNI harus dibuat kecil dan lebih sederhana agar ia sesuai dengan kedudukan Republik pada waktu itu. Alasan lain hal ini berkaitan dengan makin sempitnya wilayah serta beban sosial-ekonomi Republik: Negara dan masyarakat tak lagi bisa membiayai 350 ribu personil Angkatan Darat, Laut dan Udara, serta 470 ribu personel laskar. Kedua, berkaitan dengan pembentukan Negara Indonesia Serikat: Agar dapat bersaing dengan perwira KNIL yang akan ditransfer ke dalam TNI, maka harus memilih perwiraperwira yang memiliki pengetahuan yang sepadan dengan mereka. Akibat dari rasionalisasi ini banyaknya kesatuan bersenjata akan dibekukan serta personel-personel tentara akan dikeluarkan dengan alasan kecakapan dalam TNI. Jendaral Soedirman sendiri menentang hasil rasionalisasi ini karena beliau mengganggap ditengah pertempuran seperti ini membutuhkan personil tentara yang banyak, dan Soedirman mengingatkan apabila tetap menjalankan rasionalisasi akan menyebabkan perang saudara. Perdebatan ini tidak lebih dari penggusuran kepemimpinan elite tentara antar senior dan junior KNIL, termasuk bekas PETA dan laskar dalam pembagian kekuasaan kepemimpinan tentara. Ini digunakan untuk menyenangkan dan meredam konflik yang semakin tajam di tubuh tentara sendiri.
29
Ibid. Dwi Pratomo Yulianto. Hal 116.
~ 31 ~
Masa demokrasi terpimpin adalah masa terburuk yang dirasakan oleh TNI, dan awal keterlibatan TNI kedalam ranah sipil. TNI mengalamai perpecahan didalam tubuhnya pada tahun 1950-1966, diakibatkanya adanya persaingan antar perwira militer sendiri yang ingin mengusai panggung politik serta campur tangan sipil dalam intern militer. 2. Orientasi Militer Ada tiga jenis organisasi militer yang timbul didalam Negara bangsa modern, masing-masing bertindak sebagai reaksi terhadap jenis kekuasaan sipil yang di lembagakan. Prajurit profesional klasik menonjol di dalam system-sistem politik yang stabil. Prajurit pretorian berkemabang subur dalam lingkungan ketidak stabilan politik. Sedang prajurit revolusioner manunggal dengan suatu orde politik yang stabil sekalipun asal-usulnya datang dari suatu sistem politik yang tidak stabil, yang kebetulan sedang mengalami kemunduran.30 a) Prajurit Profesional Sebelum lebih jauh membahas tentang prajurit profesional, ada tiga hal yang membedakan antara sikap profesi dengan yang lainya yang dianggap jenis pekerjaan antara lain keahlian, tanggung jawab dan kesatuan31. Pertama. Keahlian, orang profesional adalah seorang ahli yang memiliki pengetahuan dan keterampilan khusus dalam suatu bidang yang penting yang merupakan kerja 30
Amos Perlmutter, Militer Dan Politik, terjemahan Sahat Simamora, CV Rajawali, Jakarta 1984. Samuel P. Huntington, “ Prajurit dan Negara: Teori dan Politik Hubungan Militer-Sipil”, Grasindo, Jakarta 2003. Hal. 4-7.
31
~ 32 ~
keras manusia. Keahlianya diperoleh hanya dari pendidikan yang tinggi dan pengalaman. Kedua. Tanggung jawab, orang yang profesional adalah seorang yang ahli dalam praktek profesinya, bekerja dalam sebuah konteks sosial, dan melakukan suatu pelayanan, seperti meningkatkan kesehatan, pendidikan, atau keadilan, yang sifatnya penting bagi fungsi masyarakat. Kliean dari setiap profesi adalah masyarakat, baik secara individu maupun secara bersama-sama. Ketiga. Kesatuan, para anggota dari suatu profesi saling berbagi rasa persatuan dan kesadaran akan keberadaan mereka sebagai sebuah kelompok yang berbeda dari orang awam. Rasa kebersamaan ini bersumber dari kedisiplinan dan pelatihan kemampuan profesional, ikatan kerja bersama, dan saling berbagi suatu tanggung jawab sosial yang unik. Dalam pandangan Huntington melihat prajurit profesional adalah berubahnya korps perwira militer dari bentuk “penakluk” (warrior) menjadi kelompok profesional. Profesionalisme korps perwira ini di tandai oleh perubahan dari “tentara pencari keuntungan materi” menjadi “tentara karena panggilan suci, misalnya mengabdi Negara”.32 Ketiga ciri militer profesional tadi melahirkan apa yang oleh Huntington di sebut the military mind yang menjadi dasar bagi hubungan antara militer dan Negara. Etik militer menekankan sifat permanen, irasional, dan kelemahan manusia, serta supremasi masyarakat terhadap individu. Etik ini juga mementingkan ketertiban, hirarki dan pembagian tugas serta pengakuan akan “Negara kebangsaan” (nation state) sebagai bentuk tertinggi organisasi politik. 32
Op. cit. Amos Perlmutter. Kata pengantar.
~ 33 ~
Negara yang kuat hanya mungkin jika ada kekuatan militer yang kuat, tapi kekuatan militer ini abdi Negara.33 Inti the military mind adalah suatu ideology yang berisi pengakuan militer profesional terhadap supremasi pemerintahan sipil. Bagi perwira militer, tidak ada kemuliaan yang paling tinggi, kecuali kepatuhan kepada negarawan sipil.34 Sekularisasi masyarakat dan rasionalisasi hukum kapitalisme pasar adalah lingkungan yang sesuai bagi organisasi militer profesional maupun untuk struktur Negara birokrasi moderen dengan norma-norma tata tertibnya yang bersifat memaksa, sah, dan rasional. Kapten ekonomi industrilah, yang berani, dan justru bukan prajurit; perwira karier, bukan pemimpin feodal tradisional; pemimpin otoriter yang rasional, bukan kesatria feudal- inilah yang menjadi model-model engkatan bersenjata modern. Mereka bersifat loyal kepada patrimony. System hirarki membedakan militer dari kegiatan ekonomi dimana promosi karir dan wewenang lebih sering di tentukan oleh jasa senioritas.35 Berbeda dengan profesional lainya, perwira militer hanya beroperasi di tengah-tengah kepentingan klienya yang “terpilih”. Ia tunduk kepada Negara, patriamoni, propinsi, partai, gerakan, dan terhadap kekuasaan politik yang pada satu ketika begitu perkasa.
33
Loc cit. Amos Perlmutter. Kata pengantar. Op cit , Huntington. Hal 79. 35 Op cit. Amos Perlmutter, hal. 16. 34
~ 34 ~
b) Prajurit Pretorian Walaupun hanya sedikit para perwira militer memilih lapangan politik sebagai pekerjaanya, namun profesi militer dapat bertindak sebagai suatu landasan politik. Semakin tinggi kedudukan seorang perwira, semakin ia bersifat politisterutama pada situasi-situasi pretorian dan revolusioner, yang melibatkan seluruh organisasi militer dalam aksi politik. Didalam situasi politik yang stabil, hanya sedikit perwira yang bersedia menggantikan profesi mereka dengan politik, akan tetapi dengan peranan kelompok kecil yang berbuat demikian itu sangat vital terhadap setiap penjajakan hubungan sipil-militer dan peranan militer moderen. Pretorianisme militer timbul bersamaan dengan sistem-sistem pengendalian politik subyektif dari Huntington, yakni kegagalan revolusi sosial, politik, atau revolusi modernisasi. Kaum pretorian memang lebih sering timbul di masyarakatmasyarakat yang bersifat agraris atau transisi atau secara ideologis terpecahpecah. Baik secara potensial maupun faktual, tentara selalu bersifat intervensionis; kecendrungan untuk melakukan campur tangan bersifat permanen; dan merasa memiliki kekuatan untuk mewujudkan perubahan konstitusi. Sifat para klien militer bergeser ketika tentara “memutuskan” siapa mewakili bangsa dan tertib politik.36 Kekuatan rezim pretorian tentara justru bukan berasal dari kecakapan professional-penggunaan
kekerasan-melainkan
juga
kecendrungan
untuk
menghubungkan rezim yang membiayai tentara tersebut dengan rezim yang melindungi integritasnya. Tentara pretorian adalah pembela utama otonomi 36
Op cit. Amos Perlmutter, hal. 18-19.
~ 35 ~
korporasi. Mesir misalnya, mengetahui bahwa ia berdiri sendiri tanpa adanya sukungan “Negara” atau “masyarakat” yang dapat membela kemardekaanya atau menentang eksistensinya. Lembaga militer pretorian menyamakan aspirasi korporasi dengan kepentingan nasional.37 c) Prajurit Revolusioner Sebagai alat revolusi, terutama sebelum dan selama “perang revolusioner”, tentara revolusioner menunjukan kecendrungan kuat untuk takluk kebawah pengaruh politik. Ketika revolusi berangsur-angsur melembaga, gerakan partai menjadi kekuasaan tertinggi dalam Negara. Kemudian ia menentang peranan tentara sebagai alternative di dalam politik dan menerima jenis organisasi militer yang dikendalikan oleh para perwira tinggi rasional (profesional). Akan tetapi, ia menolak dalil korporatisme tentara serta intervensi militer dalam politik. Dengan demikian, pada tahap awal revolusi, tentara kehilangan otonominya dan mengubah sebagian ciri profesionalnya demi pertumbuhan partai atau gerakan yang sedang berlaku; tentara tampil sebagai alat mobilisasi partai yang revolusioner. Akan tetapi pada kebanyakan persoalan kecendrungan tentara revolusioner untuk melakukan intervensi politik tidak pernah hilang seluruhnya; angkatan bersenjata tetap mempunyai, setidak-tidaknya, suatu peranan politik yang laten, sekalipun ia menganut orientasi profesional.38 Tipe tentara revolisioner jelas dapat dibedakan dari tipe pretorian dalam sikapnya masing-masing terhadap korporatisme militer dan dalam hubungan 37 38
Op cit. Amos Perlmutter, hal. 20-21. Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 21-22
~ 36 ~
hubngan sipil-militer. Berbeda dengan korporasi yang diharapkan dari para prajurit profesioanl dan praetorian, tipe pretorian lebigh menyukai pola-pola hubungan non-hirarkis yang bersifat bersahabat antara para perwira dan prajurit. Mobilitas ke atas bagi prajurit revolusioner bukanlah hasil dari keahlian militer, melainkan pengabdian kepada revolusi dan mendapatkan dukungan partai. Suatu praktek elementer dari angkatan bersenjata revolusioner adalah pembentukan kader-kader. Para kandidat militer ini merupakan kelompok yang mendapat indoktrinasi politik dan bersifat mengabdi yang harapan-harapanya melambung di luar harapan-harapan lembaga militer profesional. Jadi, pembatasan tegas antara militer dan politik, yang begitu jelas pada angkatan bersenjata profesional pada tertib politik yang dikendalikan secara obyektif, tidak wujud dalam angkatan bersenjata dan Negara yang revolusioner.39 Tentar revolusiner sebenarnya adalah pasukan profesional yang di jejali dengan sejumlah faktor tambahan seperti komitmen, dedikasi dan tujuan. Organisasinya
mengikuti
tipe
profesionalnya.
Apabila
militer
hendak
mempertahankan dan melindungi agresivitas dan integritasnya serta memenuhi harapan-harapan
revolusionernya
untuk
tetap
mampu
berfungsi
secara
profesioanal, ia harus mengikuti azas-azas berikut :40 1. Revolusi hanya dapat dimenangkan dengan cara menaklukan kekuatan politik dengan mendayagunakan kekuatan organisasi militer terlatih baik secar efektif. 39
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 22 Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 347-348
40
~ 37 ~
2. Konsolidasi kekuatan politik dan pelembagaan politik menuntut adanya jenis kontrol subyektif atas hubungan sipil-milter. Hubungan ini dilanjutkan hingga pasca revolusi ketika tentara secar gradual dikaitkan kepada rezim. 3. Tentara
tidak
dibenarkan
untuk
“di-Jacobinasasi”,
atau
“diideologikan”; namun tidak pula dapat diisolir,. Untuk dapat berfungsi efektif dan wajar tentara harus mempunyai komitmen dan dilatih secara prima. 4. Promosi perwira kepada jabatan-jabatan penting harus didasarkan pada obyektivitas keahlian prestasi. 5. Panglima tinggi harus dianggap sebagai sekutu rezim revolusioner dan partner aktif dalam masalah-masalah pertahanan dan politik luar negri. 6. Prosedur, praktek dan tingkah laku profesional harus dilembagakan, sekalipun dengan mengorbankan sesuatu bentuk munculnya giditas pada tahun-tahun kemudian. 7. Berbagai standar rekruitmen, promosi, dan kenaikan pangkat harus tetap bersifat universal. 8. Unit militer berukuran besar tidak boleh merupakan suatu gerakan massa, melainkan suatu mesin yang berdisipilin tinggi. 9. Pergesaran jabatan perwira tinggi dalam tempo cepat dan peralihan hal yang sama secara wajar dikalangan para perwira menengah (mayor hingga kolonel) harus dilembagakan sebagai sebuah kebijaksanaan umum organisasi.
~ 38 ~
10. Dinas militer harus dapat tampil sebagai sumber prestise sosial, pengaruh politik dan kebanggaan profesional bagi para anggotanya. Secara singkat perbedaan tipe-tipe tentara profesional, pretorian dan revolusioner, dapat dilihat dalam table berikut: Tabel: 1.3 Tipe-tipe dan Orientasi Militer41 Ciri-ciri Keahlian
Klien
Profesional Pengetahuan khusus yang didasarkan diatas standar obyektif dari kompetensi professional:tinggi. Negara
Pretorian Pengetahuan professional diperhatikan ketat sekali
Revolusioner Pengetahuan tidak professional diarahkan nilai-nilai dengan kepada social politik.
Salah satu dari yang berikut: bangsa kelompok suku, suku/puak,militer dan Negara. Sifat lembaga Hirarki, kohensif, Hirarki tidak kohensif, (tipe kekuasaan) organik, kolektif, mengubah-ubah subordinasi, otomatik/ kepatuhan, sempit. manipulative sempit. Penerimaan Terbatas hanya Terbatas. universal pada masa. perang Ideology Konservatif Tradisional materialis, anti sosialis, praetorian. Rendah. Permanen/berkelanjutan. Kecendrungan untuk campur tangan
41
Ibid. Amos Perlmutter. Hal. 25
~ 39 ~
Gerakan partai
Sebelum dan sesudah revolusi: egalitarian, sangat mobile, kader manipulative, luas. Universal.
Revolusioner: gerakan partai. Tinggi sebelum dan selama revolusi; rendah sebelum revolusi.
3. Relasi Militer Dan Politik Militer
merupakan
institusi
yang
professional
dan
eksklusif.
Profesionalisme militer yaitu memiliki keahlian dengan cara kekerasan baik secara langsung maupun tidak. Profesionalisme dalam pandangan Huntington harus mencakup keahlian, tanggung jawab dan kesatuan. Menurut Huntington, semakin tinggi profesionalisme perwira militer, semakin berkurang kecendrungan mereka melakukan intervensi diluar non-militer. Sebaliknya, bila kecakapan itu tidak dihargai, maka tidak banyak yang dapat dilakukan oleh perwira militer untuk memperbaiki kemampuan mereka dalam mempertahankan Negara, sementara cita-cita pribadi tidak mempunyai jalan keluar untuk mendapatkan keahlian sebagai satu cara untuk kenaikan pangkat. Perwira seperti ini cenderung melibatkan dirinya dalam politik sebagai satu kegiatan sampingan.42Sedangkan eksklusif, karena hanya mereka satu-satunya yang berhak memikul senjata untuk mempertahankan Negara dari serangan musuh. Kedua aspek tersebut merupakan menjadi kebanggaan militer. Faktor lain menurut Finer yang menimbulkan kecendrungan intervensi akibat proses profesionalisme militer adalah timbulnya sindikalisme militer. Hal ini timbul jika pemerintahan sipil merasa dirinya paling tau tentang ukuran, organisasi, jenis peralatan dan pola rekruitmen militer. Sebab lain adalah keenganan pihak militer untuk selalu menjadi “pemadam kebakaran”, yakni bertindak terhadap oponen domestik dari pemerintahan yang sedang berkuasa. Pada dasarnya, kaum meliter melihat tugasnya sebagai penjaga bangsa terhadap 42
Eric A. Nordlinger, “Militer Dalam Politik”, PT Rineka Cipta, Jakarta, 1994. Hal 73.
~ 40 ~
serangan luar, sedang tugas keamanan domestik dianggapnya tugas polisi. Akibatnya, lama kelamaan kaum militer merasa bosan terhadap pemerintahan yang opresif dan refresif terhadap lawan politiknya, sehingga intervensi politik dilakukannya untuk menyelamatkan persatuan bangsa.43 Jhonson menekankan kegunaan intervensi militer terutama dari segi pembangunan ekonomi dan modernisasi. Dibandingkan lembaga-lembaga lainya di Negara-negara dunia ketiga, kaum militer merupakan elit yang paling moderen, baik dalam orientasi nilai maupun organisasi. Karena perkembangan teknologi kesenjataan yang cepat, maka kaum militer dianggap mengetahui hal-hal baru lebih banyak dari kaum sipil. Sebagai “ the modernizing elite” kaum militer juga melihat jauh kedepan dalam kepentingan korporasinya untuk mendorong modernisasi dinegaranya. Beberapa ilmuwan melihat bahwa sebagian besar perwira militer berasal dari golongan menengah(middle class). Dinegara-negara dunia ketiga, lapisan menengah ini sangat kecil jumlahnya dan selalu merupakan ujung tombak kejalan modernisasi bangsanya. Mereka melihat kekuatan militer sebagai lemabaga integrative yang tidak menimbulkan perpecahan dalam masyarakat, misalnya karena pertentangan idiologis partai politik. Sebagai apa yang oleh Edward Feit disebut “birokrat bersenjata” (armed bureaucrat), kaum militer lebiuh mampu mencapai golongan terbesar masyarakat dari pada kelompok lainya, sehingga lebih mudah memobilisir massa untuk pembangunan ekonomi.44
43
Op cit. Amos Perlmutter. Kata Pengantar. Ibid. Amus Perlmuter. Kata Pengantar
44
~ 41 ~
Ketika sipil mengancam otonomi dan eksklusifitas militer biasanya akan mencetuskan motif-motif intervensi yang kuat. Dengan demikian tindakan pemimpin sipil dan tingkat profesionalisme akan menentukan munculnya kecendrungan intervensi militer atau sebaliknya. Yang berbeda bukanlah nilai yang ditentukan terhadap profesionalisme dan eksklusifitas yang memang cukup besar, tetapi kekerapan dan sejauh mana nilai tersebut ditentang oleh sipil.45 Samuel E. Finner dalam bukunya The Man On Horseback: The Role of Military in Politics, mengemukakan bahwa disamping mempertanyakan mengapa militer masuk kedalam politik, kita seharusnya juga bertanya mengapa mereka mau melakukanya. Tampaknya keuntungan politik dari militer lebih banyak dibandingkan dengan kelompok sipil dan kelompok lainya. Militer memiliki organisasi yang lebih unggul dan mereka memiliki senjata.46 Samuel E. Finner mengindentifikasikan enam model intervensi militer yaitu: 1) melalui saluran konstitusional yang resmi;2) kolusi atau kompetisi dengan otorita sipil;3) intimidasi terhadap otoritas sipil;4) ancaman nonkooperasi dengan, atau kekerasan terhadap otoritas sipil;5) kegagalan untuk mempertahankan otoritas sipil menentang kekerasan;dan 6) penggunaan kekerasan terhadap otoritas sipil.47 Pola hubungan sipil-militer diberbagai Negara berbeda-beda tergantung dari sistem rezim pemerintah yang dianut oleh suatu Negara. Secara umum dalam sistem pemerintahan demokratik liberal, hubungan sipil-militer menganut pola supremasi sipil. Sedangkan pada sistem rezim otoritarian, pola hubungan sipil 45
Ibid. Amus Perlmuter. hal 72. Samuel E. Finner,”The Man On Horseback: The Role of Military in Politics”, dalam Op. chit. Arif Yulianto. Hal. 78. 47 Ibid. hal 79. 46
~ 42 ~
militer bervariasi derajat perbedaanya dengan penekanan peran militer lebih dominan. Menurut Bagus A. Hardito, pola hubungan sipil-militer dapat berupa dominasi sipil atas militer atau sebaliknya maupun kesejajaran antara keduanya dalam mencapai tujuan politik suatu Negara.48 Kemudian Susilo Bambang Yudhoyono dengan mengacu teori dan pandangan klasik tentang pola hubungan sipil-militer, menekankan pada dua kutub yang berbeda, yaitu, kutub pertama:1) supremasi sipil,2) campur tangan militer dalam politik tidak sah; sedangkan kutub kedua:1) tidak ada supremasi sipil,2) campur tangan militer dalam politik demi kepentingan bangsa dibenarkan.49 Elliot A.Cohen mengklasifikasikan pola (patterns) hubungan sipil-militer, ke dalam empat model: 1. The Tradisional Model. Militer dibangun menjadi kelompok professional, secara social terisolasi, memusatkan perhatian pada masalah-masalah teknis, dan hanya berorientasi kepada ancaman dari luar. 2. The “Constabulary” Model. Pada dasarnya tentara berfungsi sebagai kekuatan kepolisian dimana para pemimpinanya lebih bertindak sebagai “managers” dari pada “warriors”, dengan orientasi baik luar maupun dalam Negeri, dan lebih melihat pada pentingnya ketertiban (order) daripada berperang menghadapi musuh. 3. The Military as Reflection of Society. Sebuah system nasional dimana militer memainkan peran yang penting dalam membangun civil society 48 49
Bagus A. Hardito dalam Arif Yuianto. Ibid Hal 39. Susilo Bambang Yudhoyono dalam Arif Yulianto. Ibid Hal 40.
~ 43 ~
yang dilaksanakan melalui dinas militer secara luas dengan pendidikan dan indoktrinasi yang positif (conscious). 4. The Guardian Military. Sebuah sintesa, dimana militer berfungsi melindungi orde politik dan sosial namun tidak melibatkan diri dalam politik praktis (day to day intervention in politics).50
4. Partai Politik Dalam teori demokrasi modern, partai politik dipandang sebagai sarana kelembagaan yang utama untuk menjembatani hubungan antara masyarakat dan pemerintah. Menurut pengertian Giovanni Sartori partai politik dapat diartikan sebagai Setiap kelompok politik yang teridentifikasi melalui label yang dimilikinya yang muncul pada saat pemilu, dan mampu menempatkan kandidatkandidatnya melalui pemilu tersebut untuk menduduki jabatan-jabatan publik. Sedangkan menurut R.H. Soltau partai politik merupakan sekelompok warga negara yang sedikit banyak mengorganisir, yang bertindak sebagai suatu kesatuan politik dan yang – dengan memanfaatkan kekuasaanya untuk memilih – bertujuan menguasai pemerintahan dan melaksanakan kebijakan umum mereka. (A group of citizens more or les organized, who act as a political unit and who, by the use of their voting power, aim to control the government and carry out their general policies)51
50 51
Elliot dalam Arif Yulianto. Ibid, Hal 40-41. R.H. Soltau dalam buku Miriam, Budiardjo, Dasar-dasar Ilmu Politik, Gramedia, Jakarta ,1977.
~ 44 ~
Partai-partai dianggap memainkan peranan menyeluruh, sebelum, selama dan sesudah pemilu sendiri. Sangat berbeda sekali dengan kelompok kepentingan atau penekan serta lembaga lainya, partai politik menjangkau suatu lingkup kepentingan manusia secara luas. Partai politik mengidentifikasi, memilah, menentukan, dan mengarahkan pelbagai macam kepentingan dikelola menjadi isu-isu politik dengan jalan menyusun sejumlah alternatif kebijakan dengan didasarkan pada prisnsip-prisnsip umum yang menjadi landasan masing-masing partai, yang nantinya diajukan dan dipilih oleh para pemilih dan pemerintah. Selain itu juga yang sangat membedakan partai politik dengan kelompok lainya adalah partai politik terlibat serta dalam proses pemilihan umum. Secara historis partai-partai terlahir dari beragamnya kepentingan yang saling bertentangan-kepentingan-kepentingan yang baru muncul melawan kepentingan-kepentingan yang merasa terancam oleh kekuatan perubahan. Adanya perbedaan diantara partai politik modern itu bisa dilacak kembali asalusulnya pada adanya pelbagai pertentangan sosial yang dominan di masa pembentukan partai itu. Pertentangan-pertentangan itu dibentuk oleh suatu pola umum disepanjang wilayah yang kini di tempati oleh negara-negar demokratis modern. Berdasarkan kenyataan itu, Lipset dan Rokkan (1967) mengembangkan sebuah teori yang menjelaskan bagaimanakah konflik-konflik kemasyarakatan yang menonjol lantas diubah menjadi sistem kepartaian. Konflik abad 19 antara para tuan tanah dan kepentingan-kepentingan industrial yang baru muncul di picu oleh persoalan tingkat tarif produk-produk pertanian dan isu tentang kebebasan
~ 45 ~
atau kontrol atas usaha-usaha industrial. Partai-partai agrarian, liberal dan konservatif dapat dilacak kembali asal-usulnya pada konflik-konflik ini.52 Untuk mengelompokan partai politik Joseph La Palombara & Weyner mengemukakan Teori Asal Mula Partai Politik, ada tiga teori yang digunakan53; pertama, Teori kelembagaan. Melihat ada hubungan antara parlemen awal dan timbulnya partai politik Muncul dua tipe partai politik dalam teori ini: intraparliamentary party dan extraparliamentary party. Partai politik dibentuk oleh kalangan legislative (dan eksekutif) karena ada kebutuhan para anggota parlemen (yang ditentukan berdasarkan pengangkatan) untuk mengadakan kontak dengan masyarakat dan membina dukungan dari masyarakat. Ini kemudian disebut sebagai Intraparliamentary party, karena muncul dari dalam parlemen. Setelah partai politik terbentuk dan menjalankan fungsi, kemudian muncul partai politik lain yang dibentuk oleh kalangan masyarakat. Partai tipe ini biasanya dibentuk oleh kelompok kecil pimpinan masyarakat yang sadar politik berdasarkan penilaian bahwa partai politik yang dibentuk pemerintah tidak mampu menampung dan memperjuangkan kepentingan mereka. Karena muncul dari luar parlemen, maka partai tipe ini disebut sebagai extraparliamentary party. Cikal bakal partai ini bukan berasal dari anggota parlemen, namun dari orangorang yang tidak senang pada parlemen, bahkan ingin menghapus parlemen. Kedua; Melihat timbulnya partai politik sebagai upaya suatu sistem politik untuk mengatasi krisis yang ditimbulkan dengan perubahan masyarakat secara 52 53
Klingemann,Hans-Dieter (Ed), Partai, Kebijakan dan Demokrasi, Jentera, Yogyakarta, 1999. Lihat Tunjung Sulaksono, “Materi Kuliah Study Partai Politik” UMY
~ 46 ~
luas. Krisis yang dimaksudkan di sini adalah manakala suatu sistem politik mengalami masa transisi karena perubahan masyarakat dari bentuk tradisional yang berstruktur sederhana menjadi masyarakat modern yang berstruktur kompleks. Pada situasi ini terjadi berbagai perubahan, seperti pertambahan penduduk, perluasan pendidikan, mobilitas okupasi, perubahan pola pertanian dan industri, partisipasi media, dan munculnya gerakan-gerakan populis. Perubahanperubahan ini mengakibatkan munculnya tiga macam krisis, yakni legitimasi, integrasi dan partisipasi. Ketiga; Melihat partai politik sebagai produk modernisasi sosial ekonomi Teori ini melihat modernisasi sosial ekonomi, seperti teknologi komunikasi berupa media massa dan transportasi, perluasan dan peningkatan pendidikan, industrialisasi, dan peningkatan kemampuan individu melahirkan suatu kebutuhan akan suatu organisasi politik yang mampu memadukan dan memperjuangkan berbagai aspirasi tersebut. Jadi partai politik merupakan produk logis dari modernisasi sosial ekonomi. Teori ketiga memiliki kesamaan dengan teori kedua, bahwa partai politik berkaitan dengan perubahan yang ditimbulkan modernisasi. Perbedaan kedua teori ini terletak pada proses pembentukannya. Teori kedua mengatakan bahwa perubahan menimbulkan tiga krisis dan partai politik dibentuk untuk mengatasi tiga krisis tersebut. Sedangkan teori ketiga mengatakan bahwa perubahan-perubahan itulah yang melahirkan kebutuhan akan adanya partai politik.
~ 47 ~
5. Demokrasi Demokrasi pada awal pertumbuhanya mencakup beberapa azas dan nilainilai yang diwarisi dari satu generasi ke generasi lainya, munculnya demokrasi merupakan gagasan Yunani Kuno dan gagasan mengenai kebebasan beragama yang dihasilkan oleh kaum reformasi. Demokrasi pertama kali didapatkan dan diterapkan di negara kota (city-state) Yunani Kuno sekitar abad 6 sampai 3 SM, model yang digunakan adalah demokrasi secara langsung yaitu bentuk pemerintahan dimana hak untuk membuat keputusan-keputusan politik dijalankan secara langsung oleh seluruh warga negara yang bertindak berdasarkan prosedur mayoritas54. Makna demokrasi berasal dari bahasa yunani yang terdiri dari demos (rakyat) dan kratos (memerintah) yang termaknai pemerintahan dari rakyat dari rakya, oleh rakyat, dan untuk rakyat. Demokrasi merupakan sistem pemerintahan yang dikuasai oleh rakyat terwakili di parlemen, sejalan dengan itu menurut Abraham Lincolin mantan Presiden Amerika Sarikat mendefinisaikan Demokrasi ialah suatu bentuk pemerintahan dimana kekuasaan politik tertinggi (supreme political authority) dan kedaulatan (sovereignty) ada ditangan rakyat. Rakyat yang memiliki ”sovereignty” berhak untuk memerintah. Karena itu, pemerintahan yang demokratis adalah pemerintahan yang dapat persetujuan rakyat atau pemerintah yang sudah memiliki mandat untuk memerintah dari rakyat (democratic goverment by and with the consent of the people). Dalam sistem pemerintahan modern, pemerintahan rakyat atau yang oleh Linclon disebut sebagai ”goverment 54
Budiardjo, op,cit. Hal 54
~ 48 ~
by people” tersebut terrepresentasi dalam bentuk lembaga perwakilan yang mengatasnamakan rakyat.55 Dalam demokrasi sendiri ada beberapa syarat demokrasi
itu
sendiri
diantaranya
kebebasaan
berorganisasi,
kebebasan
berekspresi, hak memilih pemilu yang bebas dan adil, sumber-sumber informasi alternatif, lembaga-lembaga yang membuta semua keputusan pemerintah tergantung pada suara atau ekspresi kepentingan masyarakat lainya, dan hak pemimpin politik untuk bersaing memperebut pendukung dan suara.56 Demokrasi pada era modern memiliki perbedaan masing-masing disetiap negara dalam sistem pemerintahanya, di Indonesia sendiri dalam melaksanakan demokrasi semenjak pasca kemardekaan mulai dari demokrasi terpimpin sampai demokrasi pancasila pada era Soeharto dan tidak lebih dari otoritarianisme mengalami berbagai macam perubahan. Yang paling penting dari demokrasi adalah adanya keterwakilan dari rakyat dalam pemerintahan yang diwakili oleh legislatif menjadi refresentatif dari rakyat, eksekutif sendiri pemilihan seorang Presiden mulai secara langsung dipilih oleh rakyat. Ciri khas yang fundamental dari setiap demokrasi, sesuai dengan karakteristiknya ialah pandangan bahwa warga negara (rakyat) harus dilibatkan dalam pengambilan keputusan politik, baik secara langsung maupun tidak melalui perwakilan yang mereka pilih. Kedua pendekatan ini dapat dicirikan sebagai berikut. Pertama, demokrasi langsung (direct democration) rakyat ambil bagian 55
Lihat Gregorius , Sahdan, Jalan Transisi Demokrasi Pasca Soeharto, Pondok Edukasi, Yogyakarta, 2004. 56 Lihat Georg Sorensen lebih detail, dalam AAGN Ari Dwipayan,dkk,”masyarakat Pascamiliter Tantangan dan Peluang Demiliterisme di Indonesia, IRE, Yogyakarta, 2000. Hal 112
~ 49 ~
secara pribadi didalam tindakan-tindakan sengaja dan memberikan suara atas masalah. Seluruh ikut serta dan mensahkan semua undang-undang. Kedua, demokrasi perwakilan (inderect democration) rakyat memilih warga lainya untuk membahas dan mensahkan undang-undang.57 Dalam menentukan pilihan rakyat tersebut maka dalam sistem demokrasi sendiri dikenal dengan namanya Pemilihan Umum (Pemilu), menjadi salah satu ruang bagi rakyat untuk berkompetisi secara sehat dalam merebut kekuasaan. Selain itu pemilu menjadi jaminan atas hak-hak individu, kebebasan berpolitik, kesadaran berpolitik dan partisipasi publik untuk memilih wakil-wakil mereka duduk di jabatan parlemen. Ini merupakan salah satu demokrasi prosedural yang mengharuskan adannya pemilihan umum. 6. Transisi Demokrasi Transisi berasala dari bahasa Latin yaitu ”trans” dan ”cendo”. Trans sendiri berarti disebelah, seberang sedangkan cendo melangkah dari satu tempat ke tempat lain dengan kata lain berpindah. Sedangkan apabila kata ”transition” itu dipadukan dengan kata ”democraticy” akan menjadi ”transition to democracy” yang berarti perubahan ke demokrasi atau peralihan ke demokrasi. Yang berubah dan beralih disini adalah suatu masa atau periode sebelum terjadinya transisi. Periode itu adalah periode sebelum beralih ke demokrasi. Nama dari periode itu adalah periode nondemokrasi, entah itu periode kekuasaan monarki absolut, kekaisareran sultanistik, 57
Firdaus, Syam, Pemikiran Politik Barat Sejarah, Filsafat, Ideologi, dan Pengaruhnya Terhadap Dunia Ke-3, Bumi Aksara, Jakarta, 2007.
~ 50 ~
patrimonial, kedikdatoran pribadi, kediktatoran militer, kediktatoran partai atau model-model lain dari rezim otoritarian.58 Ketika adanaya rezim otoriter dalam pemerintahan dengan kekuatan masyarakat menggulingkan rezim tersebut, terjadinya masa peralihan dan disinilah masa transisi tersebut. Berbeda dengan pendapat Huntington dan J.Linz dalam definisinya mengkategorikan tarnsisi kedalam tiga bentuk: Pertama adalalah transformasi yang mana ketika elite politik mengambil alih kekuasaaan politik dan mengarahkanya ke demokrasi. Kedua adalah Replasementasi yaitu ketika kekuatan oposisi merebut atau mengambil alih kekuasaan politik dari otoriter ke demokrasi dan rezim otoritarian mengalami penggulingan. Ketiga adalah transplasementasi yakni terjadinya demokratisasi dikarenakan oleh adanya beragam aksi secara bersama (bisa negosiasi, demonstrasi, dialog) antara kedua kelompok yaitu oposisi dengan pemerintah. Transisi rezim suatu negara dari non-demokratik ke demokratik terjadi di dalam beberapa negara dengan beberapa sistem kekuasaan59: pertama, monarki absolut (absolute monarchies), aristokrasi feodal (feudal aristocracies), dan kekaisaran negara-negara kontinental. Rezim-rezim yang berkuasa dalam sistem ini mengalami gelombang pertama transisi menuju demokrasi yang terjadi pada tahun 1828 – 1926 (gelombang panjang pertama Amerika, Prancis, Italia dan Argentina sebelum PD I) dan 1922 – 1942 (gelombang pendek pertama: Kekaisaran Romawi, Spanyol, Hopsburg dan Chile). 58 59
Gregorius Sahdan, op.cit., Hal 32 Ibid. Sahdan. Hal 36
~ 51 ~
Kedua, gelombang transisi demokrasi kedua terjadi pada tahun 1943-1962 (gelombang pendek kedua) dan 1950-1975 (gelombang panjang kedua), menghantam negara yang berpola fasis (Fasicist State), negara bekas koloni (colonies) dan rezim kediktatoran militer pribadi. Dan beberapa yang lainya terjadi pada negara yang sedang mempraktekan demokrasi, seperti Jerman Barat yang sedang menjalankan proyek pelmbagaan demokrasi Italia, Jepang, Austria dan Korea. Ketiga, transisi menuju demokrasi yang ketiga, terjadi pada negara-negar dengan pola: satu partai (one-party system), negara yang dikuasai oleh rezim militer (militery system), dan negar yang di perintahkan oleh rezim kediktatoran pribadi. Negara yang dalam kelompok ini Yunani, Turki, Pakistan, Nigeria, Korea Selatan dll. Peralihan otoritarian ke demokrasi membentuk suatu Negara mengalami perjolakan politik yang sangat dahsat, terjadinya huru-hara dimana-mana karena masih mendesak perubahan sistem. Dari asumsi melihat peralihan tersebut ada beberapa alasan mengapa terjadinya transisi demokrasi60: Pertama, sistem otoritarian tidak memiliki konstruksi institusi yang kuat sebagai mekanisme untuk mengatasi krisis. Pukulan krisis ekonomi menjadikan rezim yang bertahta dalam payung otoritarian bersikap panik. Kedua, rezim otoritarian tidak mampu melakukan institusionalisasi krisis sebagaimana dalam sistem demokrasi yang mampu mengelola krisis menjadi kepentingan publik. 60
Ibid. Sahdan. Hal. 30
~ 52 ~
Ketiga, Sifat dan watak otoritarian yang terlalu kaku dan rigit tidak kondusif untuk peradaban masyarakat modern yang banyak dikendalikan oleh teknologi dan ilmu pengetahuan. Keempat, tidak mampu menjawab setiap dinamika yang terjadi dalam masyarakat, terutama terpengaruh formasi sosial untuk berpartisipasi dan sistem otoritarian tidak menghendaki partisipasi itu. Kelima, rezim otoritarian tidak memiliki rasionalisasi legitimasi, tidak mampu mengkonstruk legitimasi baru untuk mengatasi kemerosotan legitimasi.
Keenam, kehilanganya mekanisme
mempertahankan diri dari berbagai gesekan eksternal, terutama ekspansi komunikasi global yang dengar gencar menyuarakan demokratisasi. Ketujuh, difirensiasi penataan politik dalam rezim otoriter sangat tidak jelas dan lebih menonjolkan unifikasi kebijakan yang sentralistis termasuk penguasaan rezim untuk memegang kendali atas seluruh komponen penopang sistem, seperti birokrasi, Angkatan Bersenjata, dan regionalisai aparatus-aparatus pemerintah untuk kepentingan loyalitas kekuasaan. Kedelapan, pada akhirnya kita bisa mengatakan bahwa sistem demokrasi merupakan sistem yang lebih baik dari sistem otoritarian. E. Definisi Konsepsional Konsep atau penjelasan adalah sebuah hal yang sangat urgen dan vital dalam sebuah penelitian. Biasanya jika masalah dan kerangka teori sudah jelas maka fakta atau fenomena mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian atau penelitian akan jelas, sebuah konsep sebenarnya adalah merupakan definisi
~ 53 ~
secara singkat dari kelompok fakta atau fenomena-fenomena yang akan dipaparkan dalam penelitian tersebut. 1. Purnawirawan adalah individu yang sudah pensiunan dari tugas militer dan tidak ada lagi hubungan jenjang hirarki kemiliteran. 2. Militer adalah lembaga atau organisasi yang dipersenjatai untuk bertugas mempertahankan kedaulatan suatu negara dari serangan musuh. 3. Partai politik adalah lembaga yang dibentuk oleh kelompok masyarakat untuk menjembatani kepentingan antara rakyat dengan pemerintah. 4. Demokrasi merupakan Sistem yang menempatkan wakil rakyat duduk di parlemen untuk mengaspirasikan dan mewakili kepentingan rakyat, untuk dijadikan kebijakan publik. 5. Transisi demokrasi adalah proses peralihan dari sistem otoritarian atau non-demokrasi menuju sistem demokratis.
F. Metode penelitian 1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan metode penelitian kualitatif, yang lebih menitik beratkan untuk memahami dan menjelaskan situasi tertentu, bukan hanya mencari sebab akibat yang di teliti. Tujuan penulisan biasanya menjadi alasan dari pelaksanaan penelitian. Penelitian kualitatif pada umumnya dilakukan pada
~ 54 ~
penelitian sosial, dimana data yang dikumpulkan dinyatakan dalam bentuk nilai relatif dan hasilnya bersifat obyektif serta berlaku sasaat dan setempat.61 Maka metodologi yang dipakai adalah metode deskriptif, seperti yang dikemukakan oleh Sumadi Surya Brata (1983), metode diskriftip adalah penelitian yang bermaksud mengadakan deskripsi mengenai situasi dan kejadian populasi atau kelompok tertentu.62 Menurut Hadari Nawawi (1987), metode deskriptif adalah dapat diartikan sebagai prosedur pemecahan masalah yang diselidiki dengan menggambarkan dan melukiskan keadaan subyek atau obyek penelitian seperti individu, lembaga, kelompok dan masyarakat pada saat sekarang berdasarkan fakta-fakta yang tampak atau sebagainya.63 Selanjutnya Winarno Surachmad mengatakan bahwa-ciri-ciri yang terdapat pada penelitian deskriptif ialah:64 Pertama , memusatkan pada pemecahan, masalah-masalah yang ada pada masa sekarang atau masalah-masalah aktual. Kedua, data-data yang dikumpulkan pertama-tama disusun, dijelaskan dan kemudian dianalisa.
61
62 63 64
Prof. Ir. Suklandarrumidi, Metodologi Penelitian: Petunjuk praktis Untuk peneliti Pemula, Gajah Mada University Press, Yogyakarta, 2002. Hal 117 Suryabrata, Sumadi: Metodologi Penelitian, Rajawali Press, Jakarta, 1983. Hal 13 Hadari, Nawawi, Metode Penelitian Bidang Sosial, Gajah Mada University Press, 1987. Hal 63 Suracmad, Winarno, Pengantar Penelitian Ilmiah, Dasar, Metode dan Teknik, Tersito, Bandung, 1982. Hal 132
~ 55 ~
2. Teknik Pengumpulan Data Data dalam penelitian ini mendasarkan pada data sekunder, yaitu data yang mengutip dari sumber lain sehingga tidak bersifat authentik. Karena sudah di peroleh dari tangan ke dua, ketiga, dan seterusnya. Metode yang digunakan dalam penelitian ini menggunakan dokumentasi yaitu menggunakan bahan-bahan referensi yang diperoleh penulis melalui study pustaka di beberapa perpustakaan. Adapun data tersebut memiliki sumber sebagai berikut : Buku-buku mengenai militer dan politik, Jurnal ilmiah, Koran, Majalah dan data dari internet yang semuanya sesuai dengan tujuan penelitian. Data-data yang didapatkan akan dianalisa secara sistematis mendalam, kemudian akan diambil kesimpulan dari data-data tersebut dan dijadikan referensi atau acuan sebagai sebuah fakta pendukung untuk mendukung dan membuktikan kerangka masalah yang diteliti oleh penulis.
3. Unit Analisis Didalam penelitian ini penulis akan menjelaskan unit analisanya adalah: a. Militer Indonesia (TNI) sebagai institusi b. Peran purnawirawan di dalam partai politik dan perpolitikan Indonesia masa reformasi.
~ 56 ~
4. Teknik Analisis Data Teknik yang dipakai adalah teknik kualitatif, yaitu menganalisa data dengan cara analisis dan interpretasi terhadap temuan-temuan agar mendapat jawaban yang ilmiah, logis dan mampu dipertanggung jawabkan. Teknik kualitatif sebagai prosedur penelitian yang menghasilkan data deskriptif berupa kata-kata tertulis atau bisa dari orang-orang dan perilaku yang diamati. Bebarapa langkah yang akan dilakukan dalam menganalisa data: Mereduksi data, yaitu data yang didapatkan oleh penulis melalui studi pustaka dengan memilih dan menseleksi sesuai dengan permasalahan yang di teliti. Menampilkan data, adalah data yang di hasilkan melalui reduksi kemudian di sajikan untuk memperkuat penegasan penelitian. Kesimpulan yang ambil merupakan hasil dari penelitian dengan data sekunder.
~ 57 ~