BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang 1.1.1. Konvergensi dan Arti Pentingnya Studi ini dimaksudkan untuk mengetahui konvergensi penerimaan dan pengeluaran APBD provinsi di Indonesia dalam rentang waktu tahun 2000-2012. Konvergensi merupakan kondisi yang menggambarkan semakin kecilnya kesenjangan atau disparitas suatu variabel antar wilayah dalam periode tertentu. Dalam konteks perekonomian, Schmitt dan Starke (2011:3) menyatakan bahwa konvergensi membuat kondisi antar daerah dalam variabel tertentu akan semakin mirip. Semakin kecilnya kesenjangan tersebut dapat dilihat dari dua pendekatan, yaitu kesenjangan dalam hal pertumbuhan ekonomi serta kesenjangan dalam pendapatan perkapita (Barro dan Sala-i-Martin, 1992:224; Islam, 2003:313). Barro dan Sala-I-Martin (1992) serta Marques dan Soukiazis (1998:1) menyatakan bahwa konvergen mengandung arti terdapat hubungan negatif antara tingkat pendapatan mula-mula (initial income) dengan pertumbuhan ekonomi selama periode tertentu, sedangkan tingkat pendapatan yang dimaksud adalah pendapatan per kapita. Menurut Pritchett (1996:42) dan Islam (2003:309) konvergensi semakin menjadi pusat perhatian karena beberapa faktor sebagai berikut: (1) adanya sejumlah negara miskin yang semakin terpuruk sementara ada negara yang mengalami pertumbuhan ekonomi yang tinggi, (2) berkembangnya literatur model pertumbuhan ekonomi setelah model pertumbuhan Solow, (3) masih banyak masyarakat yang salah pengertian tentang makna kata “conditional” dalam istilah conditional convergence. Conditional mengandung arti intisari atau pengerucutan dari berbagai perbedaan aktual tingkat pertumbuhan yang berdampak pada variabel lain terutama
1
investasi fisik dan sumberdaya manusia, (4) perbedaan konsep dan metodologi dalam berbagai penelitian tentang konvergensi. Cakupan studi tentang konvergensi saat ini tidak hanya dikaitkan dengan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan perkapita, namun juga tentang konvergensi pasar tenaga kerja (Estrada et al., 2012), atau konvergensi dalam desentralisasi fiskal (Skidmore et al., 2003; Coughlin et al., 2006; Sarue et al., 2007; Skidmore dan Deller, 2008). Berkaitan dengan desentralisasi fiskal, faktor utama yang menjadi pusat perhatian adalah kewenangan suatu daerah dalam hal pengelolaan pendapatan dan belanja. Belanja pemerintah pada dasarnya merefleksikan tahap-tahap pembangunan ekonomi dan dalam proses pembangunan, yang terdapat kecenderungan semakin besar (Skidmore et al., 2003:1). Menurut Sarue et al. (2007:4) belanja pemerintah antara lain bersumber dari pajak, sehingga konvergensi pajak diharapkan dapat mendorong konvergensi belanja pemerintah, meski menurut Afxentiou dan Serletis (1996:42) ada kemungkinan belanja pemerintah tidak mengikuti hukum Wagner atau Wagner’s Law. Coughlin et al. (2006:3) berpendapat bahwa teori pertumbuhan Solow membawa implikasi tingkat pertumbuhan pajak dan pengeluaran pemerintah adalah setara (equal to) terhadap tingkat pertumbuhan pendapatan, sehingga dimungkinkan terjadinya konvergensi dalam kebijakan desentralisasi fiskal.
1.1.2. Konvergensi dan Kebijakan Fiskal Dalam teori pilihan publik menurut Bish dan Ostrom (1979), March dan Olsen (1989) serta McCabe dan Vinzant (1999) sebagaimana yang dinyatakan dalam Skidmore dan Deller (2008:41), model ekonomi publik dibangun dengan asumsi bahwa kebijakan fiskal pemerintah merupakan fungsi preferensi dari agen ekonomi. Kebijakan fiskal akan menyesuaikan terhadap perubahan preferensi dari agen ekonomi, sehingga perubahan dalam kebijakan fiskal pemerintah tergantung pada agen ekonomi tersebut dalam hal perubahan permintaan layanan pemerintahan. Eksistensi konvergensi dalam pengeluaran publik menurut 2
Sarue et al. (2007:3) dapat dipergunakan sebagai indikator distribusi kesejahteraan sedangkan konvergensi pada penerimaan pajak merupakan indiaktor distribusi pembiayaan pengeluaran publik, namun tidak ada alasan teoritis yang kuat antara pengeluaran publik dan penerimaan pajak. Solow (1956) dalam Skidmore dan Deller (2008:42) menyatakan, jika pajak memiliki proporsi yang konstan terhadap output dan output sendiri konvergen, maka pengeluaran publik dan pajak akan konvergen. Barang dan jasa yang dihasilkan oleh pemerintah daerah jarang dapat dikonsumsi dengan cepat, dan dapat diinterpretasikan sebagai input bagi aktivitas sektor swasta (Deller dan Skidmore, 2005:1). Beberapa aktivitas pemerintah dianggap sebagai investasi. Belanja pemerintah merupakan elemen endogenus dalam proses pertumbuhan. Kenaikan pendapatan akan mendorong kenaikan layanan publik dan hal ini cenderung menaikkan belanja pemerintah. Bagi pemerintah daerah yang masuk dalam kategori tinggi dalam hal belanja pemerintah, mereka memiliki keterbatasan dalam membelanjakan anggaran sementara bagi pemerintah daerah yang yang masuk dalam kategori rendah, ingin meningkatkan belanja publik dalam proprosi yang lebih besar, sehingga terdapat konvergensi dalam belanja pemerintah (Skidmore dan Deller, 2008:42).
1.2. Pertanyaan Studi 1. Bagaimana konvergensi pendapatan perkapita provinsi di Indonesia selama kurun waktu 2000-2012 berdasarkan model konvergensi sigma? 2. Bagaimana konvergensi pendapatan dan belanja pemerintah provinsi di Indonesia selama 2000-2012 berdasarkan model konvergensi beta? 3. Bagaimanakah efek spasial pendapatan dan belanja pemerintah provinsi di Indonesia dalam model konvergensi beta?
1.3. Tujuan Studi 3
1. Menganalisis konvergensi pendapatan perkapita antar provinsi di Indonesia dalam kurun waktu 2000-2012 dalam model konvergensi sigma. 2. Menganalisis konvergensi pendapatan dan belanja pemerintah provinsi di Indonesia selama 2000-2012 berdasarkan model konvergensi beta dengan pendekatan conditional convergence dan unconditional convergence. 3. Menganalisis sejauh mana efek spasial berperan dalam konvergensi pendapatan dan belanja pemerintah provinsi di Indonesia.
1.4. Lingkup dan Batasan Studi 1. Unit analisis dalam studi ini adalah 30 provinsi di Indonesia selama kurun waktu 2000-2012. 2. Variabel penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah dihitung perkapita dan dinyatakan dalam bentuk logaritma, serta didasarkan pada pertimbangan kelengkapan dan kemudahan perolehan data. Variabel yang dipergunakan adalah angka realisasi yang tercantum dalam APBD masing-masing provinsi. 3. Variabel penerimaan pemerintah daerah yang dipergunakan dalam model adalah total pendapatan, pajak, PAD, dan dana perimbangan. 4. Variabel pengeluaran pemerintah daerah yang dipergunakan dalam studi ini terdiri dari belanja pegawai, belanja barang, dan total belanja. 1.5. Sistematika Penulisan Studi Studi ini disusun berdasarkan lima bab atau pokok bahasan yang terdiri dari pendahuluan, landasan teori dan tinjauan literatur, metodologi penelitian, hasil dan pembahasan, serta simpulan dan implikasi kebijakan. Pada bagian pendahuluan, dalam studi diuraikan latar belakang studi, pertanyaan studi, tujuan studi, serta lingkup dan batasan studi. Selanjutnya pada bagian kedua diuraikan tentang landasan teori dan tinjauan literatur yang menguraikan teori konvergensi, hubungan konvergensi dengan kebijakan fiskal, penitngnya isu spasial 4
dalam analisis konvergensi, serta berbagai studi konvergensi terdahulu di berbagai negara dan isu konvergensi. Pada bagian metodologi penelitian, dalam studi diuraikan jenis dan sumber data yang dipergunakan, spesifikasi model dan metode analisis yang dipergunakan, termasuk di dalamnya penentuan jenis bobot matriks spasial serta metode pengujian dependensi spasial antar provinsi. Selanjutnya di bagian empat diuraikan hasil dan pembahasan studi yang dimulai dari perkembangan penerimaan dan pengeluaran APBD provinsi, pengujian dependensi spasial dengan menggunakan Moran’s I, serta hasil estimasi konvergensi sigma dan konvergensi beta melalui dua model dan beberapa metode estimasi. Akhirnya, di bagian akhir studi ini diuraikan tentang simpulan hasil estimasi dan analisis, implikasi kebijakan, serta keterbatasan hasil studi.
5
BAB II LANDASAN TEORI DAN TINJAUAN LITERATUR
2.1. Teori Konvergensi Menurut Sarue et al. (2007:2) serta Paas et al. (2007:6) teori konvergensi merupakan pengembangan lebih lanjut dari teori pertumbuhan Harrod-Domar dan Solow yang mengacu pada teori pertumbuhan neoklasik. Lebih lanjut dikatakan bahwa dasar pemikiran konvergensi adalah mobilitas faktor produksi dan cadangan modal sehingga dalam model pertumbuhan neoklasik faktor tenaga kerja, modal, teknologi, mobilitas faktor produksi, pendidikan, dan pengeluaran publik atau belanja pemerintah digunakan sebagai faktor penentu perbedaan pendapatan antar daerah. Selanjutnya Sarue et al. (2007:3) dan Barrietos (2007:6) menyatakan bahwa konvergenitas dalam teori pertumbuhan neoklasik adalah bahwa pembangunan di daerah yang lebih miskin semakin mengurangi perbedaan atau kesenjangan pendapatan dengan di daerah yang lebih kaya. Lall dan Yilmaz (2000:1) menyatakan bahwa kesenjangan muncul karena perbedaan rasio kapital-tenaga di wilayah, dan hal tersebut akan semakin berkurang. Perdagangan dan aliran faktor produksi akan menyamakan harga faktor produksi antar wilayah. Teori konvergensi yang didasarkan pada teori pertumbuhan neoklsaik diturunkan melalui fungsi produksi Cobb-Douglas dengan skala hasil konstan (contant return to scale). Dengan mengikuti Barro dan Sala-i-Martin (1992) serta Onder et al. (2007), hal tersebut dapat dijelaskan sebagai berikut: Yt = K αt (A tL t )1−α ,
0<α<1
(2.1)
Y merupakan output, K adalah modal, dan L adalah tenaga kerja, A adalah tingkat teknologi. Model Solow, tingkat tabungan, pertumbuhan penduduk, dan kemajuan teknologi dianggap
6
eksogen. Apabila g dan n menunjukkan tingkat pertumbuhan A dan L, serta bagian dari output yaitu s bersifat konstan dan ditabung, maka: •
•
k(t) = s y(t) − (n + g + δ)k(t) ,δ=tingkat
depresiasi
(2.2)
Dengan menggunakan steady state nilai k pada persamaan di atas, maka steady state pendapatan perkapita adalah: α α Y(t) Ln s Ln (n + g + δ) Ln = Ln A(0) + gt + 1-α 1-α L(t)
(2.3)
Apabila y* menunjukkan tingkat pendapatan steady state, maka: dln y t = λ(ln y * − ln y t ) dt
(2.4)
Dengan demikian, model konvergensi yang akan diperoleh berdasarkan teori pertumbuhan neoklasik adalah: Ln yt =e-λτ lnyt-1 + (1-e-λτ)ln y*
(2.5)
Pada persamaan (2.5) di atas τ adalah periode waktu sedangkan λ adalah tingkat konvergensi.
Barrientos
(2007:5)
menyatakan
terminologi
konvergensi
ekonomi
dipergunakan saat dua atau lebih perekonomian menuju tingkat yang hampir sama dalam pembangunan dan kemakmuran. Di sisi lain studi tentang konvergensi menjadi perdebatan antara model pertumbuhan neoklasik, model pertumbuhan endogenus, dan model pertumbuhan dinamika distribusi (distribution dynamics model). Menurut Barrientos (2007:1) dalam model pertumbuhan neoklasik konvergensi ekonomi terjadi antara wilayah yang memiliki kemiripan perekonomian sementara menurut model pertumbuhan endogenus konvergensi tidak akan pernah terjadi. Model dinamika distribusi menyatakan bahwa konvergensi tergantung pada bagaimana perekonomian berinteraksi sepanjang waktu. Tidak terjadinya konvergensi dalam model pertumbuhan endogenus menurut Paas et al. (2007:7) karena model pertumbuhan neoklasik dengan model pertumbuhan endogenus memiliki pandangan yang bertolak belakang dalam hal tenaga kerja 7
dan teknologi. Dalam pertumbuhan neoklasik, teknologi menjadi bagian dari model sedangkan dalam model pertumbuhan endogenus teknologi merupakan faktor di luar model. Bila faktor tenaga kerja dimasukkan dalam model, tidak ada alasan untuk mengasumsikan terjadinya decreasing return to capital, oleh karena itu tidak akan terjadi konvergensi antar wilayah, kecuali preferensi, tingkat tabungan, dan teknologi diantara wilayah tersebut memiliki kemiripan. Lebih lanjut Paas et al. (2007:7) menyatakan bahwa studi konvergensi sebagian besar difokuskan hanya pada konsep faktor produksi, sementara dampaknya terhadap aspek ekonomi mikro tidak dibahas. Implikasi teori kelembagaan ekonomi juga tidak dipertimbangkan padahal kelembagaan ekonomi mendorong pertumbuhan melalui sistemsistem kemasyarakatan (systems of society). Selama ini studi konvergensi sebagian besar difokuskan hanya pada konsep faktor produksi, sementara dampaknya terhadap aspek ekonomi mikro tidak dibahas. Implikasi teori kelembagaan ekonomi juga tidak dipertimbangkan padahal kelembagaan ekonomi mendorong pertumbuhan melalui sistemsistem kemasyarakatan (systems of society). Afxentious dan Serletis (1996:35) menyatakan selain aspek kelembagaan, faktor infrastruktur juga merupakan faktor yang penting untuk diperhatikan. Implikasi konvergensi menurut Barrientos (2007:17) memiliki keterkaitan dengan integrasi ekonomi. Teori integrasi ekonomi mempelajari penciptaan pasar bersama sebagai proses menuju pertumbuhan ekonomi secara bersama-sama, namun proses integrasi dapat menghalangi proses konvergensi karena proses integrasi memiliki dampak yang berbeda-beda dalam sektor ekonomi dan wilayah tertentu. Heirman (2001) dalam Barrientos (2007:17) menyatakan bahwa konvergensi ekonomi merupakan tahap akhir dari proses integrasi, namun menurut Paas et al. (2007:7) justru dalam teori integrasi ekonomi tidak akan dijumpai konvergensi.
8
Teori pertumbuhan neoklasik mencoba untuk memprediksi fakta pertumbuhan ekonomi yang konvergen. Hal ini dapat dilihat bahwa pada beberapa karakteristik yang relevan terhadap pertumbuhan ekonomi, terdapat hubungan negatif antara tingkat pendapatan awal dengan tingkat pertumbuhan pendapatan pada periode tertentu. Menurut Nandy (2003:4) terdapat beberapa asumsi model pertumbuhan neoklasik, yaitu: (1) pasar komoditas bersifat tunggal, (2) terdapat dua faktor produksi, (3) tenaga kerja dan modal dalam kondisi full employment, (4) terdapat substitusi antara modal dan tenaga kerja, (5) mobilitas faktor produksi bersifat bebas. Dalam model pertumbuhan neoklasik tersebut terdapat dua kelemahan utama, yaitu teknologi merupakan faktor eksogen dan kontribusi modal bersifat homogen dalam segala situasi ekonomi. Dalam banyak kasus, model neoklasik memprediksi bahwa semua wilayah modal per unit tenaga kerja konvergen pada tingkat pertumbuhan yang mapan (steady state of growth) yang diukur dengan menggunakan pendapatan perkapita.
2.2. Jenis-jenis Konvergensi Menurut Marques dan Soukiazis (1998), Lall dan Yilmaz (2000), serta Paas et al. (2007), saat ini terdapat dua pendekatan yang dipergunakan untuk melihat konvergensi, yaitu konvergensi sigma (sigma convergence) dan konvergensi beta (beta convergence). Konvergensi sigma menggambarkan semakin berkurangnya kesenjangan pendapatan perkapita sepanjang waktu. Untuk melihat ada tidaknya konvergenitas, dapat dilakukan dengan melihat dispersi melalui koefisien variasi. Semakin kecilnya tingkat kesenjangan perkapita ditunjukkan oleh semakin kecilnya nilai koefisien variasi sepanjang waktu, sehingga nilai koefisien variasi yang semakin kecil menunjukkan adanya konvergensi sigma. Konvergensi beta menggambarkan lebih cepatnya pertumbuhan ekonomi suatu negara atau wilayah yang lebih miskin dibandingkan dengan negara atau wilayah yang lebih kaya. Kondisi ini ditunjukkan oleh nilai negatif beta pada hubungan negatif antara pertumbuhan pendapatan perkapita pada periode tertentu terhadap pendapatan perkapita pada periode awal (initial level of percapita income). 9
Lebih jauh dinyatakan oleh Lall dan Yilmaz (2000:3) serta Paas et al. (2007:10), dalam konvergensi beta terdapat dua jenis konvergen yaitu unconditional convergence atau sering disebut dengan absolute convergence serta conditional convergence. Unconditional convergence merupakan kondisi konvergensi yang menganggap bahwa perekonomian diantara negara atau wilayah memiliki kemiripan seperti misalnya dalam hal stuktur ekonomi, kondisi demografi, tingkat tabungan, dan variabel ekonomi lainnya. Sebaliknya, conditional convergence beranggapan bahwa karateristik struktural antar negara atau wilayah memiliki ketidaksamaan sehingga konvergensi dipengaruhi oleh karakteristik struktural negara atau wilayah tersebut (Lall dan Yilmaz, 2000:3; Islam, 2003:314; Paas et al., 2007:11; Onder et al., 2007:6; Schmitt dan Starke, 2011:6). Hal ini membawa konsekuensi dalam model conditional convergence perlu ditambah dengan berbagai variabel penjelas 1. Isu konvergensi secara jelas baik dari sisi jenis, asumsi, model, maupun estimasi diuraikan oleh Islam (2003). Secara umum, konvergensi beta akan mendorong terciptanya konvergensi sigma, namun tidak berlaku kebalikannya (Nandy, 2003:5). Proses konvergensi sigma kemungkinan akan diganggu oleh guncangan (shock) baru yang menghasilkan kesenjangan tingkat pendapatan yang lebih tinggi. Quah (1993) sebagaimana dikutip oleh Paas et al. (2007:11) menyatakan bahwa hubungan antara tingkat pertumbuhan dengan tingkat pendapatan mulamula (initial income) tidak memberikan jawaban yang jelas mengenai konvergensi seperti munculnya hubungan negatif seandainya perbedaan pendapatan tidak menurun. Untuk itu konvergensi sigma menyinggung penurunan dalam kesenjangan data cross sectional pendapatan perkapita sepanjang waktu. Konvergensi beta memberikan informasi parameter struktural model pertumbuhan. Konvergensi beta disebut oleh Paas et al. (2007:43) sebagai necessary condition, namun bukan sufficient condition untuk konvergensi sigma. 1
Variabel penjelas yang ditambahkan oleh para peneliti berbeda-beda, misalnya Skidmore dan Deller (2008) menggunakan variabel antara lain pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan rumah tangga kelas menengah, serta tingkat pendidikan. Kosfeld dan Lauridsen (2009) antara lain menggunakan tingkat depresiasi modal, pertumbuhan penduduk, proprosi penduduk yang berpendidikan SMTA ke atas, dan Schmitt dan Starke (2011) antara lain menggunakan tingkat penganggguran dan derajat keterbukaan perekonomian.
10
2.3. Teori Konvergensi dan Kebijakan Desentralisasi Fiskal Skidome et al. (2004:2) serta Skidmore dan Deller (2008:43) menurunkan model konvergensi belanja pemerintah saat ini (Gt) yang merupakan bagian dari output periode sebelumnya (Qt1) sehingga diperoleh persamaan: Gt = atQt-1
(2.6)
Dalam persamaan tersebut parameter at konstan sehingga anggaran pemerintah merefleksikan kejadian dan kondisi masa lalu. Kondisi saat ini menurut Skidmore dan Deller (2008) bukannya tidak relevan dengan belanja pemerintah saat ini juga, namun kondisi masa lalu juga memiliki relevansi. Output perkapita (Q/L) merupakan fungsi dari modal swasta (K) dan input sosial pemerintah (Gt) sedangkan input swasta merupakan bagian yang terpisah dengan input pemerintah. Hal tersebut oleh Skidmore dan Deller (2008:43) dirumuskan sebagai berikut: Qt K G = f( t , t ) = v p (k t )v s (g t ) Lt Lt Lt
(2.7)
Dengan mensubstitusikan (2.7) ke dalam (2.6) serta menggunakan pendekatan constant returns to scale dari fungsi produksi Cobb-Douglas, akan diperoleh persamaan: 2 Gt ≡ atLt-1qt-1 ≈ atALt-1kαt-1gβt-1
(2.8)
Apabila pada persamaan (2) dimasukkan variabel penduduk untuk menemukan variabel perkapita dan selanjutnya dibagi dengan belanja pemerintah perkapita periode sebelumnya, akan diperoleh persamaan: ln (gt/g t-1) = ln Aat-nt + αlnkt-1 + (β-1)ln gt-1
(2.9)
Dalam hal ini nt=ln(Lt/Lt-1), yaitu tingkat pertumbuhan penduduk. Berdasarkan persamaan (2.9), tingkat pertumbuhan belanja pemerintah perkapita tergantung pada nilai input swasta dan publik, pertumbuhan penduduk, dan proporsi output yang disediakan 2
Pendekatan constant returns to scale dipergunakan karena pada persamaan (1) parameter at diasumsikan konstan.
11
pemerintah atau at. Selama β<1 berarti terjadi diminishing returns pemerintah, tingkat belanja pemerintah masa lalu akan menyebabkan belanja pemerintah saat ini tumbuh lebih lambat, sehingga mencapai konvergensi. Dalam konvergensi, rasio belanja pemerintah saat ini terhadap output masa lalu tidak secara sistematis berhubungan dengan belanja pemerintah perkapita. Barro (1990) sebagaimana dikutip oleh Skidmore et al. (2004:4) serta Skidmore dan Deller (2008:44) menyatakan bahwa rasio belanja pemerintah saat ini terhadap output masa lalu seyogyanya tidak naik dengan adanya kenaikan output, namun apabila hal tersebut tidak sepenuhnya terjadi, masih memungkinkan pengujian konvergensi dengan menggunakan variabel kontrol lain yang menyebabkan rasio tersebut berubah sepanjang waktu 3. Besarnya penerimaan anggaran akan mendorong semakin besarnya belanja pemerintah, sehingga penerimaan dapat mendorong terjadinya konvergensi antardaerah (Sarue et al., 2007:4; Skidmore dan Deller, 2008:44). Untuk mengoptimalkan peran pemerintah daerah dalam pembangunan, pemerintah mengeluarkan kebijakan otonomi daerah yang tertuang dalam UU No. 22 Tahun 1999 serta UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pemerintah pusat dan daerah. Melalui kedua UU tersebut diharapkan perencanaan, implementasi, dan evaluasi pembangunan daerah menjadi lebih optimal karena daerah oleh pemerintah pusat dianggap lebih memahami berbagai permasalahan dan kebutuhannya sendiri, sehingga kewenangan daerah dalam mengelola pembangunannya menjadi lebih fokus. Melalui kewenangan yang ada, diharapkan konvergensi antarwilayah akan tercapai dalam arti kesenjangan pendapatan perkapita semakin kecil dan pertumbuhan ekonomi antarwilayah semakin merata. Belanja pemerintah daerah dalam konteks otonomi daerah diharapkan mampu dialokasikan
secara
lebih
optimal.
Belanja
pemerintah
merefleksikan
tahap-tahap
3
Skidmore dan Deller (2008) misalnya, menggunakan variabel kontrol pertumbuhan pendapatan masyarakat, tingkat pendidikan, transfer pemerintah pusat, serta beberapa variabel ekonomi makro daerah lain.
12
pembangunan ekonomi dan dalam proses pembangunan terdapat kecenderungan semakin besarnya belanja pemerintah (Skidmore et al., 2003:1). Kecenderungan besarnya belanja pemerintah ini dapat mendorong terjadinya konvergensi. Beberapa penelitian menggunakan variabel belanja pemerintah untuk melihat konvergensi yang terjadi antarnegara maupun antarwilayah atau daerah seperti Afxentiou dan Serletis (1996), Lall dan Yimaz (2000), Russo (2002), Skidmore et al. (2003), Sarue et al. (2007), Coughlin et al. (2006), Skidmore dan Deller (2008), dan Aritenang (2009) 4.
2.4. Isu Spasial dalam Konvergensi Studi tentang konvergensi dapat dilakukan dengan menggunakan data runtut waktu (time series), data cross section, atau data panel. Penggunaan data cross section dalam studi konvergensi menurut Islam (2003:324) mengandung kelemahan karena data cross section merupakan data point yaitu data pada titik waktu tertentu sementara banyak keberagaman di antara wilayah (heterogeneity). Selain itu, dengan data cross section faktor teknologi untuk setiap wilayah dianggap sama. Sementara itu dalam hal data panel, model yang menggambarkan konvergenitas sering mengabaikan kemungkinan adanya pola atau keterkaitan antar ruang (wilayah), sehingga model kurang mampu menggambarkan kondisi spasial (Arbia, 2006:22). Di sisi lain, pengabaian adanya kemungkinan interaksi spasial diantara unit ekonomi dalam model empiris dapat menyebabkan penarikan kesimpulan (inferences) yang salah (Anselin, 1988:8-9). Penggunaan data cross section atau data panel perlu memperhatikan efek spasial agar memberikan gambaran yang lebih realistis (Battisti dan Vaio, 2006:109; Ahmad dan Hall, 2012:2; Vitton, 2010:3; Feldkircher, 2006:102). Apabila terdapat ketergantungan spasial antarwilayah, estimasi dengan model OLS akan memberikan hasil yang bias atau tidak akurat 4
Variabel belanja pemerintah dimasukkan dalam model penelitian tersebut, namun para peneliti menggunakan variabel ekonomi makro daerah yang berbeda-beda, meskipun memiliki tujuan yang sama yaitu untuk melihat faktor-faktor yang berpengaruh terhadap konvergensi.
13
(Paas et al., 2007:16; Battisti dan Vaio, 2006:113; Coughlin et al., 2006:5), sedangkan Onder et al. (2007:12) serta Ahmad dan Hall (2012:12) menyatakan dalam kasus tersebut estimasi dengan OLS masih tetap tidak bias dan konsisten, namun tidak efisien. Rey dan Montouri (1998:149) juga menyatakan bahwa estimasi OLS dengan adanya ketergantungan antarwilayah tetap menghasilkan parameter konvergensi dan intersep yang tidak bias, namun varian parameter (parameter’s variance) akan menjadi bias. Untuk menangkap efek spasial, dalam analisis ditambahkan variabel berupa bobot spasial (spatial weight) yang menggambarkan keterkaitan antarwilayah (Paas et al., 2007:18; Coughlin et al., 2006:5; Madariaga et al., 2005:5; Battisti dan Viao, 2006:114). Menurut Paas et al. (2007:18) bobot spasial yang paling sederhana dan dipergunakan secara luas adalah contiguity matrix dalam bentuk jarak antarwilayah, berupa bilangan biner 0 dan 1 yaitu wilayah yang berdekatan secara geografis (neighbours) diberi bobot 1 sedangkan lainnya diberi bobot nol. Namun, jenis bobot spasial juga tergantung dari lingkup penelitian yang akan dilakukan. Coughlin et al. (2006:11) menggunakan bobot spasial berupa bobot pendapatan, bobot ras, dan bobot umur untuk melihat efek spasial kebijakan fiskal.
2.5. Studi Konvergensi Terdahulu Banyak studi yang dilakukan untuk melihat konvergensi dari berbagai konteks yang berbeda. Studi tentang konvergensi beta pertama kali dilakukan oleh Barro dan Sala-i-Martin (1992) untuk melihat konvergensi 47 dan 48 negara bagian Amerika pada periode 1880-1988 serta periode 1963-1986. Barro dan Sala-i-Martin menggunakan data cross section pada 47 dan 48 negara bagian di Amerika dan menguji konvergensi pendapatan perkapita dengan pendekatan unconditional convergence. Dipergunakannya pendekatan ini menurut Barro dan Sala-iMartin karena karakteristik diantara negara bagian pada variabel pengamatan tidak banyak perbedaan. Hasil studi menunjukkan bahwa terjadi konvergensi meskipun sangat lambat.
14
Marques dan Soukiazis (1998) melakukan studi konvergensi pada 12 negara anggota Uni Eropa selama periode 1975-1995 dengan unit analisis wilayah dalam negara (region) serta 12 negara Uni Eropa. Studi dilakukan untuk mengetahui konvergensi sigma dan conditional convergence. Konvergensi sigma dilakukan dengan mengamati koefisien variasi pada
periode
pengamatan
sedangkan
conditional
convergence
dilakukan
dengan
menggunakan metode seperti yang dilakukan oleh Barro dan Sala-i-Martin (1992). Hasil studi menunjukkan adanya konvergensi sigma pada periode 1975-1982 dan 1986-1991, namun terjadi divergen pada periode 1983-1985 dan 1991-1995. Studi tentang konvergensi yang berkaitan dengan kebijakan atau desentralisasi fiskal misalnya dilakukan oleh Afxentiou dan Serletis (1996) di beberapa negara-negara Eropa dengan menggunakan data tahun 1961-1991. Penelitian dilakukan dengan menggunakan model konvergensi sigma dan data yang dipergunakan untuk menguji konvergensi adalah belanja pemerintah, pajak, dan subsidi. Hasil penelitian menunjukkan bahwa konvergensi terjadi di Belgia dan Belanda. Skidmore et al. (2003) melakukan penelitian untuk menguji konvergensi di negara maju (OECD) dan negara berkembang. Pengujian dilakukan dengan data panel tahun 19602000 dengan menggunakan interval 5 tahun. Terdapat 3 variabel yang diuji, yaitu belanja pemerintah, investasi pemerintah, dan belanja pemerintah dalam pendidikan. Penelitian menggunakan variabel kontrol pertumbuhan penduduk, pertumbuhan pendapatan nasional, serta derajat keterbukaan negara. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi konvergensi baik di negara OECD maupun negara berkembang. Belanja pemerintah masa lalu juga berpengaruh terhadap belanja pemerintah saat ini. Sarue et al. (2007) melakukan pengujian konvergensi antar provinsi di Turki dengan menggunakan konvergensi beta dan konvergensi sigma. Data yang dipergunakan meliputi data tahun 1990-2005. Penelitian dilkukan terhadap 3 variabel, yaitu belanja pemerintah, penerimaan pajak, serta pendapatan perkapita. Hasil penelitian menunjukkan bahwa untuk 15
model konvergensi sigma tidak terjadi konvergensi sedangkan model konvergensi beta hanya belanja pemerintah yang memiliki konvergensi. Penelitian juga menunjukkan bahwa konvergensi belanja pemerintah dipengaruhi oleh kondisi perekonomian dalam negeri. Skidmore dan Deller (2008) melakukan penelitian untuk menguji konvergensi belanja publik di Wisconsin. Data yang dipergunakan adalah data panel 1990-2000. Pengujian dilakukan dengan menggunakan model konvergensi beta dan konvergensi sigma. Variabel kontrol yang dipergunakan terdiri dari jumlah penduduk yang bersekolah (sebagai proxy dari teknologi yang dimasukkan dalam model), nilai tanah, pertumbuhan penduduk, subsidi pemerintah pusat, koefisien Gini, tingkat kemiskinan, jumlah penduduk yang bekerja sebagai profesional di sektor manufaktur serta sektor publik. Variabel belanja publik yang dipergunakan terdiri dari total belanja publik, jasa perlindungan, pemeliharaan jalan, jasa pengolahan limbah, serta kualitas jasa kehidupan (quality of life service). Hasil penelitian menunjukkan bahwa terjadi konvegensi baik dengan model konvergensi beta maupun konvergensi sigma. Penelitian ini dilakukan untuk memperkuat penelitian sebelumnya, bahwa dalam wilayah yang lebih kecil pun masih memungkinkan terjadi konvergensi. Penelitian tentang konvergensi kebijakan fiskal juga dilakukan oleh Coughlin et al. (2006) dengan menggunakan data panel 48 negara bagian Amerika pada periode 1977-2002 dan menggunakan pendekatan ketergantungan spasial. Studi tentang konvergensi juga dilakukan dengan menggunakan data runtut waktu (time series), misalnya Jayanthakumaran dan Lee (2013) yang menguji konvergensi pendapatan perkapita negara anggota Asean dan SAARC pada periode 1967-2005 untuk negara Asean dan 1973-2005 untuk negara anggota SAARC (Bangladesh, India, Nepal, Pakistan, dan Srilanka). Untuk kasus Indonesia, studi tentang konvegensi dapat dilihat pada Kharisma dan Saleh (2013), Firdaus dan Yusop (2009), serta Aritenang (2009). Kharisma dan Saleh (2013) menganalisis dispersi pendapatan serta menguji konvergensi absolut (absolute convergence) serta conditional convergence di 26 provinsi di Indonesia selama periode 1984-2008. Hasil 16
penelitian dengan menggunakan metode estimasi OLS dan GMM mengindikasikan terjadinya konvergensi absolut dan conditional convergence di antara 26 provinsi selama 1984-2008. Provinsi di Pulau Jawa memiliki kecepatan konvergensi (speed of convergence) yang lebih tinggi dibandingkan provinsi-provinsi di luar Pulau Jawa. Dari sisi dispersi pendapatan, terdapat beberapa faktor yang berpengaruh terhadap dispersi seperti krisis ekonomi, kebijakan desentralisasi fiskal, kasus bom Bali, kenaikan harga minyak pada tahun 2005, serta gempa bumi di Yogyakarta tahun 2010. Penelitian yang dilakukan Kharisma dan Saleh (2013) tidak menggunakan pendekatan spasial, sehingga aspek ketergantungan antarwilayah tidak didiskusikan dalam model. Firdaus dan Yusop (2009) melakukan studi konvergensi di Indonesia pada periode 1983-2003 dengan unit analisis provinsi di Indonesia. Estimasi model menggunakan metode OLS dan GMM dan konvergensi yang diamati adalah conditional convergence dengan menggunakan variabel penjelas rasio investasi terhadap GDP serta pertumbuhan penduduk dan tingkat depresiasi. Aritenang (2009) menggunakan data panel provinsi di Indonesia selama periode 1993-2005 untuk melihat konvergensi pada pendapatan perkapita. Jenis konvergensi yang diteliti adalah unconditional convergence dan conditional convergence dengan menggunakan OLS dan model fixed effect (FE). Penelitian ditujukan untuk melihat pengaruh variabel fiskal terhadap pertumbuhan ekonomi. Penelitian Firdaus dan Yusop (2009) juga tidak menggunakan pendekatan spasial, sehingga aspek ketergantungan antarwilayah diabaikan. Ringkasan beberapa studi tentang konvergensi dapat dilihat pada tabel berikut:
17
Item Panel Cross section Time series Metode Estimasi OLS SAM SEM ECM GMM Spasial Keterangan Unit Analisis Lokasi
Barro, Sala-i- Skidmore, Deller Martin 1 2
Sarue, Sagbas, Cigerci 3
Jenis Data
Rentang Waktu
√
√
√
√
√
√
T Negara bagian USA 1880-1988, 1963-1986
T
T
Daerah Wisconsin
Provinsi Turkey
1990-2000
Coughlin, Garret, Marques, Jayanthaku Schmitt, Murillo Soukiazis maran, Lee Starke 4 5 6 7 √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ √ T Negara bagian Negara USA Uni Eropa
T
Firdaus, Yusop 8 √
T
Kharisma Aritenang dan Saleh 9 10 √ √
√
√
√
√ T
T
√ √
Negara Negara Provinsi Provinsi 26 provinsi Asean OECD Indonesia Indonesia Indonesia 1967-2005, 1990-2005 1977-2002 1975-1995 1973-2005 1980-2005 1983-2003 1993-2005 1984-2008
1. Barro, Robert J. dan Xavier Sala-i-Martin (1992). “Convergence”. Journal of Political Economy . 100(2): 223-251.
2. Skidmore, Mark dan Steven Deller (2008). “Is Local Government Spending Converging?”. Eastern Economic Journal . Vol. 34: 41-55. 3. Sarue, Naci Tolga, Isa Sagbas, dan Ismail Cigerci (2007). “The Geographical Distribution of Public Expenditures and Tax Revenues
in the Turkish Case: A Convergence Analysis”. Proceedings. Third International Conference on Business, Management, and Economics.
4. Coughlin, Cletus C., Thomas A. Garret, dan Ruben Henandez-Murillo (2006). “Spatial Dependeces in Model of State Fiscal Policy Convergence”.
Federal Reserve Bank of St. Louis. Research Division. St. Louis. 5. Marques, Alfredo dan Elias Soukiazis (1998). “Per Capita Income Convergence Across Countries and Across Region in The European Union:
Some New Evidence”. Paper 2nd International Meeting of European Economy . CEDIN (ISEG). Lisbon.
6. Jayanthakumaran, Kankesu dan Shao-Wei Lee (2013). “Evidence on the Convergence of Percapita Income:
A Comparison of Founder Members of the Association of South Asian Nations and the South Asian Association of Regional Cooperation”. Pacific Economic Review . 18(1): 108-121.
7. Schmitt, Carina dan Peter Starke (2011). “Explaining Convergence of OECD Welfare States: A Conditional Approach”.
Journal of European Social Policy . 21(2): 120-135.
8. Firdaus, Muhammad dan Zulkornain Yusop (2009). “Dynamic Analysis of Regional Convergence in Indonesia”.
International Journal of Economics and Management . Vol. 3. No. 1: 73-86
9. Aritenang, Adiwan F. (2009). “The Impact of Government Budget Shifts to Regional Disparities in Indonesia: Before and After Decentralisation.”
Paper. IDPR Anniversary Symposium . Liverpool. MRPA Paper No. 25243. 10. Kharisma, Bayu dan Samsubar Saleh (2013). “Convergence of Income Among Provinces in Indonesia 1984-2008: A Panel Data Approach”. Journal of Indonesian Economy & Business. Vol. 28. No. 2.
Dari beberapa penelitian tentang konvergensi khususnya di Indonesia, masih jarang yang menggunakan isu dependensi spasial (spatial dependence) dalam analisisnya. Di sisi lain, aspek konvergensi yang dijadikan sebagai kajian studi khususnya di Indonesia adalah konvergensi pendapatan perkapita, masih jarang yang melakukan studi konvergensi penerimaan dan pengeluaran pemerintah daerah. Selain itu dalam berbagai studi konvergensi, bobot yang sering dipergunakan dalam matriks adalah bobot kedekatan hubungan geografis (contiguity) atau bobot jarak (distance), meskipun dalam kasus-kasus tertentu penggunakan
18
bobot-bobot tersebut tidak sepenuhnya tepat karena beberapa variabel penelitian tidak selalu dipengaruhi oleh aspek hubungan kedekatan secara geografis serta jarak 5. Dengan demikian memasukkan unsur spasial dalam penelitian tentang konvergensi di Indonesia menjadi perlu untuk dilakukan. Menurut Anselin (1988), metode estimasi yang tepat apabila dalam analisis yang menggunakan data panel dan memasukkan unsur spasial antara lain Spatial Lag Model (SLM) atau disebut juga dengan Spatial Autoregressive Model (SAM), serta Spatial Error Model (SEM). Kosfeld dan Lauridsen (2009) mengembangkan metode Spatial Error Correction Model (SpECM) untuk menerapkan model ECM dalam studi spasial.
5
Lihat Coughlin et al. (2006) dan Anselin (1999)
19