14
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perkembangan dunia usaha di Indonesia, terdapat perusahaan-perusahaan swasta yang bergerak dalam berbagai bentuk bidang perdagangan, diantaranya adalah bisnis waralaba. Perkembangan tersebut seiring dengan pendapat S. Tamer Cabusgil yang menyatakan bahwa pada masa lalu bisnis internasional hanya dalam bentuk export-import dan penanaman modal. Kini transaksi menjadi beraneka ragam dan rumit, seperti kontrak pembuatan barang, turnkey project alih teknologi, aliansi strategis internasional, aktivitas finansial, waralaba dan lain-lain.1 Bisnis waralaba yang berkembang di Amerika Serikat sekitar tahun 1800-an dan diperkenalkan unuk pertama kalinya oleh Issac Singer pencipta mesin jahit merek Singer, dapat menyebar ke Indonesia maupun negara-negara lain di dunia seperti Kanada, Cina, Jepang, Mexico, Eropa adalah sebagai konsekuensi dari era globalisasi. Menurut Euginia Liliawati Muljono pengertian waralaba adalah persetujuan hukum atas pemberian hak atau keistimewaan untuk memasarkan suatu produk atau jasa dari pemilik (pemberi waralaba) kepada pihak lain (penerima waralaba) yang diatur dalam suatu aturan tertentu.2
1
Erman Rajagukguk, Masalah-masalah Hukum Bisnis Menyongsong Abad XXI: Reformasi Hukum Di Indonesia dan Peranan Para Manajer, Makalah Pada Kuliah Perdana Program Magister Manajemen Pascasarjana USU, Medan, 4 September 1999, halaman 1. 2 Euginia Liliawati Muljono, Peraturan Perundang-undangan Waralaba (Franchise), (Jakarta: Harvarindo, 1998), halaman iv.
1
Universitas Sumatera Utara
15
Perkembangan usaha waralaba yang demikian pesat ini dapat terjadi karena dengan sistem waralaba pada umumnya kemungkinan berhasil lebih besar dibandingkan jika memulai usaha dengan tenaga sendiri serta nama/merek dagang sendiri yang masih baru. Melalui bisnis waralaba orang dapat langsung berusaha di bidang bisnis tertentu yang merek, paten atau sistem bisnisnya sudah sangat popular di dunia misalnya Kentucky Fried Chicken (KFC). Tahun 2010 merupakan momen yang akan menjadi peluang besar bagi para franchisor di Indonesia. Pasalnya pameran waralaba di penghujung tahun 2009 pada November silam mendapat sambutan yang meriah. Terbukti meningkatnya jumlah pengunjung pameran yang ingin berbisnis dengan sistem waralaba. Perkembangan positif ini tentu semakin membakar optimisme banyak pelaku di industri ini pada tahun 2010. Tidak hanya itu, tren kewirausahaan juga dirasakan mengalami lonjakan. Hal ini tampak makin bertumbuhnya pelatihan entrepreneur bagi para purna karya, entrepreneur pemula maupun mahasiswa. Bahkan diberbagai kampus sudah banyak dibangun entrepreneur center. Ini menunjukan bahwa tren ini akan semakin memberikan angin segar bagi industri waralaba. Terlebih waralaba dijadikan sebagai salah satu bahan dalam pembekalan entrepreneurship. Bagi para calon pengusaha pemula, waralaba menjadi pilihan bisnis yang menarik di tahun 2010. Pasalnya, calon pengusaha pemula tidak memulai bisnis dari nol lagi. Melalui pola waralaba, setidaknya calon pengusaha pemula mengantongi berbagai keunggulan, baik dari sisi brand, sistem, support, sharing experience, promosi nasional dan lainnya. Dengan berbagai keunggulan diatas tentunya, tingkat resiko kegagalan dalam membangun bisnis dapat ditekan. Terlebih ledakan informasi mengenai bisnis waralaba semakin terasa dan mudah diakses dimana-mana, baik lewat majalah, pameran waralaba, internet, TV, blog, surat kabar, radio, media sosial seperti facebook, youtube, twitter, dan lain-lain. Tentu kemudahan akses informasi ini akan berdampak baik bagi pemberi waralaba, pasalnya calon penerima waralaba akan semakin paham berbisnis dengan pola waralaba. Kemudian mereka akan mendapat beragam informasi yang mereka butuhkan dengan mudah dan cepat. Namun yang perlu menjadi catatan pemberi waralaba pada tahun 2010, bahwa penerima waralaba akan lebih terbuka dan kritis mengungkapkan kekecewaan di depan publik. Sebab itu dibutuhkan kepiawaian seorang pemberi waralaba untuk mengelola penerima waralabanya dengan baik sesuai dengan hak dan kewajibannya. Memasuki tahun 2010, ditengarai penetrasi bisnis waralaba di luar Jawa akan semakin cepat. Tentu dengan adanya pameran waralaba di berbagai kota ini akan semakin meningkatkan penetrasi bisnis waralaba ke berbagai daerah di luar pulau Jawa. Tidak hanya itu saja, dengan makin banyaknya
Universitas Sumatera Utara
16
edukasi terhadap bisnis waralaba diyakini tahun 2010 juga akan diwarnai makin menjamurnya merek-merek baru di bisnis ini.3 Adapun waralaba yang diprediksi akan dipilih oleh para calon penerima waralaba antara lain:4 1. Waralaba yang bisa membuat sukses penerima waralaba. Calon penerima waralaba akan lebih pandai dalam memilih bisnis waralaba. Oleh karena itu calon penerima waralaba akan melakukan investigasi terhadap outlet berjalan, apakah menguntungkan atau tidak. Waralaba yang terbukti mampu memberikan keuntungan bagi penerima waralaba akan menjadi bidikan bagi penerima waralaba lain. Waralaba yang ditinggalkan adalah bisnis waralaba yang banyak mengalami penutupan gerai dan mengecewakan penerima waralaba. 2. Waralaba “franchisor operator”. Banyak orang yang ingin memiliki bisnis waralaba tapi tidak memiliki waktu dan mereka tidak mau melepaskan pekerjaannya sebelum bisnisnya berjalan dengan baik. Banyak sekali peminat di kategori ini waralaba yang menggunakan franchisor operator juga akan di bidik oleh calon penerima waralaba. 3. Waralaba baru yang memiliki prospek baik. Munculnya waralaba baru prospektif selalu ditunggu oleh para investor bisnis waralaba, bahkan mereka melihat yang belum jenuh menjadikan daya tarik tersendiri. Tentunya bagi pendatang baru harus membuktikan bahwa bisnisnya sudah proven dan layak waralaba. Tentu
3
Tri Raharjo, Tren Franchise 2010, Majalah Info Franchise http://www.SalamFranchise.com, diakses tanggal 31 Desember 2009, jam 13.00 WIB. 4 Ibid.
Indonesia,
Universitas Sumatera Utara
17
bagi calon penerima waralaba harus ekstra hati-hati dalam memilih waralaba baru ini. 4. Low investment yang sustainable. Waralaba/business opportunity yang relatif rendah nilai investasi masih menjadi bidikan calon penerima waralaba, namun yang perlu di catat jangan memilih produk dengan model musiman. Jangan sampai bisnis hanya bertahan dalam hitungan bulan, pilihlah bisnis yang memiliki tingkat lifecycle produk yang panjang. Keempat aspek diatas akan mempengaruhi perkembangan waralaba di Indonesia pada tahun 2010. Pada saat ini pengembangan usaha melalui sistem waralaba mulai banyak dilakukan oleh perusahaan di Indonesia. Sebagai suatu cara pemasaran dan distribusi, waralaba merupakan suatu alternatif untuk mengembangkan saluran eceran yang berhasil. Dalam suatu hubungan waralaba, pemilik waralaba memberikan lisensi atas merek dagang dan/atau merek jasa beserta metode, cara dan format bisnis, penyajian yang telah dikembangkan oleh pemberi waralaba kepada pihak lain, yaitu calon pemegang waralaba untuk menjual barang atau jasa pemilik waralaba di suatu lokasi tertentu dan untuk jangka waktu tertentu pula. Pemerintah mendukung sistem waralaba karena merupakan salah satu cara untuk meningkatkan perekonomian dan memberikan kesempatan pada masyarakat untuk mengembangkan usaha. Ini berarti kesempatan untuk pemerataan di bidang perekonomian termasuk menciptakan lapangan pekerjaan untuk banyak orang.
Universitas Sumatera Utara
18
Berkembangnya usaha waralaba dan akan masih banyak lagi yang masuk ke Indonesia serta perkembangan waralaba lokal, tergantung pada situasi dan kondisi perekonomian Indonesia yang cukup kondusif untuk terciptanya usaha, maka sistem waralaba merupakan prospek usaha yang cerah di masa mendatang. Sejalan dengan berkembangnya perekonomian Indonesia di tahun 1970-an5 mulai dikenal adanya usaha-usaha yang berasal dari luar negeri tidak hanya berupa lisensi saja, tetapi mencakup juga sistem pemasarannya. Maka pada dekade 1980-an mulai masuk ke Indonesia jenis waralaba yang merupakan paket usaha yang bergerak di bidang makanan siap saji (fast food), binatu (laundry and dry clean), cuci cetak foto, salon, fotokopi, persewaan vcd dan lain-lain. Pada tahun 1990,6 melihat pertumbuhan ekonomi Indonesia yang semakin membaik, politik yang stabil dan keamanan yang terjamin, para investor dari luar negeri mulai melirik Indonesia dan di sini, waralaba asing mulai booming di pasar Indonesia . Pada tahun 1992, di Indonesia terdapat 29 usaha waralaba yang berasal dari luar negeri dan 6 waralaba lokal, dan secara keseluruhan, di Indonesia tersebar sekitar 300 outlet. Pada tahun 1997, jumlah pemberi waralaba meningkat hingga 265 waralaba, di mana terdapat 235 waralaba internasional dan 30 waralaba lokal dan jumlah keseluruhan outlet adalah 2000. Pada tahun 1997, terjadi krisis moneter di Indonesia. Pada saat ini, diikuti oleh krisis ekonomi dan politik di Indonesia pada
5
Frincheesing, http://www.referenceforbusiness.com/encyclopedia/For-Gol/Franchising.html, diakses tanggal 05 Januari 2010, jam 15.00 WIB. 6 Bisnis Franchise, http://www.smfranchise.com/franchise.html, diakses tanggal 05 Januari 2010, jam 08.00 WIB.
Universitas Sumatera Utara
19
tahun 1998 yang mengakibatkan jatuhnya industri waralaba di Indonesia. Banyak pemberi waralaba asing yang meninggalkan Indonesia dan hampir sekitar 500 outlet yang tutup oleh karena kondisi yang tidak mendukung ini. Pada saat itu, jumlah waralaba dari luar negeri yang beroperasi di Indonesia menurun dari 230 hingga 170180 waralaba. Tetapi justru pada saat ini, waralaba lokal mulai memadati pasar waralaba Indonesia dari 30 meningkat hingga 85 merek produk yang berkembang. Hingga saat ini, waralaba lokal berkembang hingga 360 merek produk, di mana terdapat 9000 outlet, baik sebagai penerima waralaba ataupun company owned. Menurut Sugiyanto Wibawa,7 konsultan retail marketing, terdapat 2 (dua) faktor yang mendorong para investor dalam berinvestasi di dunia waralaba. Pertama, jumlah mall dan retail space yang meningkat dari 75.900 m² menjadi 1.78 juta m² di tahun 2004 dan 2.82 juta m² di tahun 2006. Agen properti mempromosikan space di mall sebagai salah satu investasi yang menguntungkan. Kedua, tarif/bunga deposito yang perlahan-lahan menurun. Hal ini mendorong para investor untuk melihat kesempatan investasi lainnya yang lebih prospektif dan menguntungkan serta dengan resiko yang lebih kecil. Bentuk waralaba yang ada sekarang ini pada dasarnya merupakan bentuk penyempurnaan dan/atau pengembangan dari bentuk waralaba terdahulu. Menurut
7
Direktori Franchise Nasional dan Intenasional dan Master Franchise, http://www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF8&sourceid=navclient&gfns=1&q=Direktori+Franschise+Nasional+dan+Internasional+dan+Master+F ranchise%2C+http%3A%2F%2Fwww.franchisekey.com.diakses tanggal 07 Pebruari 2010, jam 10.30 WIB.
Universitas Sumatera Utara
20
Stuart D. Brown,8 terdapat dua bentuk waralaba. Waralaba generasi pertama adalah lisensi merek dagang dan perjanjian distribusi, dimana penerima waralaba memperoleh hak untuk mendistribusikan atau menjual produk dari produsen atau pemasok. Hal ini muncul pada abad ke-18. Saat ini, bidang yang menggunakan waralaba jenis pertama itu adalah pompa bensin, dimana pemegang waralaba berkonsentrasi pada satu jalur produk. Waralaba generasi kedua adalah waralaba yang ada pada saat ini, yaitu format bisnis waralaba. Dalam bentuk ini terdapat hubungan berlanjut, yaitu hubungan kontrak antara pemilik waralaba dan pemegang waralaba. Ini merupakan suatu metode baku dalam melakukan bisnis dengan citra (image) yang melekat pada barang dan jasa. Dalam hal ini, penerima waralaba menyediakan paket yang mencakup pengetahuan (know-how) dari usahanya, prosedur operasional, penyediaan produk, manajemen, cara promosi dan jaringan penjualan. Penerima waralaba pada umumnya membayar sejumlah uang kepada pemberi waralaba, yang berupa penyediaan dana untuk menyiapkan outlet beserta desain interior, membeli bahan baku produksi, membeli peralatan yang diperlukan dan membayar royalti. Pemberi waralaba yang sudah mengembangkan produk atau format bisnis yang berhasil dengan mewaralabakan, memperoleh cara untuk melipatgandakan konsep bisnisnya di banyak lokasi geografis tanpa menginvestasikan modal, waktu dan usaha untuk mendirikan outlet milik perusahaannya sendiri. Penerima waralabalah yang mempertaruhkan uangnya. Meskipun pada awalnya pemberi
8
Alan West, Perdagangan Eceran, (Jakarta: PT Pustakaan Binaman Pressindo, 1992), halaman 75.
Universitas Sumatera Utara
21
waralaba menerima biaya awal yang kecil dari penerima waralaba, namun pada akhirnya ia mendapatkan hasil yang cukup dari royalti yang berlanjut ditambah lagi hasil dari pembelian pasokan atau produk yang dilakukan penerima waralaba secara terus menerus. Sebagai pranata sosial dalam kehidupan ekonomi, munculnya waralaba telah menimbulkan permasalahan di bidang hukum. Hal ini sebagai akibat dari adanya hubungan-hubungan dalam sistem waralaba yang dibangun atas dasar hubungan perjanjian, yang dikenal dengan perjanjian waralaba. Oleh karena itu, hubungan yang terjalin tersebut melahirkan hak dan kewajiban bagi para pihak. Setiap pemberi waralaba pada umumnya mempunyai suatu standar perjanjian yang ditawarkan kepada para penerima waralaba untuk dapat disepakati, dimana bentuk perjanjian yang telah dibuat oleh pemberi waralaba ini disusun oleh para ahli hukum sehingga substansinya sebagian besar menguntungkan pemberi waralaba atau setidaknya tidak merugikan serta dapat melindungi pemberi waralaba. Disini diperlukan adanya asas keadilan dan keseimbangan hukum dalam upaya memberikan jaminan perlindungan kepada masing-masing pihak. Negara Amerika Serikat telah mendapat pengaturan tersendiri. Ledakan atau booming perdagangan dengan sistem pemberi waralaba yang terjadi pada dekade 1950-an dan 1960-an9 merupakan faktor penggerak bagi usaha penciptaan peraturan
9
Sejarah FTC Rule, http: //www.aw-drivein.com/About_Us.cfm, www.google.com/search?ie=UTF-8&oe=UTF sourceid=navclient&gfns=1&q=Sejarah+FTC+Rule%2C+http%3A%2F%2Fwww.awdrivein.com%2FAbout_Us.cfm diakses tanggal 10 Januari 2010, jam 10.00 WIB.
http://
Universitas Sumatera Utara
22
perundang-undangan. Namun sampai pada tahun 1970, di Amerika Serikat secara faktual belum terdapat pengaturan yang secara khusus mengatur masalah waralaba ini. Selama belum terdapat pengaturan khusus tersebut, hukum yang digunakan pada saat itu diadopsi dari ketentuan-ketentuan yang terkandung dalam “Anti Trust Law” dan “The Lanham Trademark Act”. Baru kemudian pada tahun 197110 terdapat suatu peraturan yang secara khusus mengatur mengenai masalah franchise, namun hanya peraturan yang dibentuk oleh negara bagian California. Peraturan tersebut adalah “The California Franchise Registration and Disclosure Act”. Ketentuan hukum yang dibentuk oleh negara bagian California ini selanjutnya diadopsi oleh beberapa negara bagian Amerika Serikat lainnya. Kemudian pada bulan Oktober 1979,11 pemerintah federal mengundangkan suatu ketentuan hukum yang mengatur masalah waralaba yang disebut “The Federal Trade Commision’s Franchise Rule (FTC Rule)”. Ketentuan ini mengatur tentang “Disclosure Requirements and Prohibitions Concerning Franchising and Business Opportinity Ventures”. Indonesia belum terdapat Undang-Undang yang secara khusus mengatur mengenai masalah perdagangan dengan sistem waralaba. Selama ini praktek yang dilakukan didasarkan pada kesepakatan tertulis dalam bentuk kontrak kerjasama. Kontrak kerjasama yang diadakan oleh pemberi waralaba maupun penerima waralaba didasarkan pada asas kebebasan berkontrak seperti tertuang pada Pasal 1338 Kitab Undang-undang Hukum Perdata (KUH Perdata), yang berbunyi : “Semua persetujuan
10 11
Ibid. Ibid.
Universitas Sumatera Utara
23
yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya. Persetujuan-persetujuan itu tidak dapat ditarik kembali selain dengan kesepakatan kedua belah pihak, atau karena alasan-alasan yang oleh undang-undang dinyatakan cukup untuk itu. Persetujuan-persetujuan harus dilaksanakan dengan itikad baik”. Walaupun di Indonesia belum terdapat Undang-Undang yang mengatur tentang waralaba, akan tetapi pemerintah Indonesia telah mengeluarkan Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba yang telah diganti dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba dan Keputusan Menteri
Perindustrian
dan
Perdagangan
Republik
Indonesia
Nomor
259/MPP/Kep/7/1997 tentang Ketentuan dan Tata Cara Pelaksanaan Pendaftaran Usaha Waralaba. B. Perumusan Masalah Untuk menemukan identifikasi masalah dalam penelitian ini maka perlu dipertanyakan apakah yang menjadi masalah dalam penelitian12 yang akan dikaji lebih lanjut untuk menemukan suatu pemecahan masalah yang akan diidentifikasi tersebut. Adapun yang menjadi permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Bagaimana hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. 12
Ronny Kountur, Metode Penelitian Untuk Penulisan Skripsi dan Tesis, (Jakarta: PPM, 2003), halaman 35.
Universitas Sumatera Utara
24
2. Bagaimana hambatan yang dihadapi oleh para pihak dalam pelaksanaan perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. 3. Bagaimana proses penyelesaian sengketa dan masalah atau hambatan para pihak dalam perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. C. Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan permasalahan yang telah dikemukakan, maka tujuan yang ingin dicapai dari penelitian tesis ini adalah: 1. Untuk mengetahui hak dan kewajiban para pihak dalam perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. 2. Untuk mengetahui hambatan yang dihadapi oleh para pihak dalam pelaksanaan perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. 3. Untuk mengetahui proses penyelesaian sengketa dan masalah atau hambatan para pihak dalam perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. D. Manfaat Penelitian Penelitian ini memiliki manfaat teoritis dan praktis. Adapun kedua manfaat tersebut adalah sebagai berikut: 1. Secara Teoritis
Universitas Sumatera Utara
25
Manfaat penelitian ini adalah untuk memberikan sumbangan pemikiran dalam pengembangan ilmu hukum khususnya ilmu pengetahuan hukum yang menyangkut perjanjian waralaba. 2. Secara Praktis Manfaat penelitian ini adalah sebagai informasi kepada masyarakat terutama kalangan dunia usaha, praktisi tentang perjanjian waralaba dan sebagai masukan kepada pemberi waralaba dan kepada penerima waralaba untuk lebih mengetahui dan mendalami hak dan kewajiban masing-masing di dalam perjanjian kerja. E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pemeriksaan yang telah dilakukan di Perpustakaan Universitas Sumatera Utara, diketahui bahwa penelitian tentang “Analisis Yuridis Perjanjian Waralaba Indomaret Antara PT Indomarco Prismatama Dengan CV. E Makmur” belum pernah dilakukan, walaupun ada beberapa topik penelitian tentang perjanjian waralaba namun jelas berbeda. Jadi penelitian ini adalah asli karena sesuai dengan asas-asas keilmuan yaitu jujur, rasional, objektif dan terbuka. Sehingga penelitian ini dapat dipertanggung jawabkan secara ilmiah dan terbuka terhadap masukan serta saran-saran yang membangun sehubungan dengan pendekatan dan perumusan masalah dalam penelitian ini.
Universitas Sumatera Utara
26
F. Kerangka Teori dan Konsepsional 1. Kerangka Teori Sehubungan kaitan pembangunan ekonomi, Sunaryati Hartono13 menyebutkan bahwa pembangunan ekonomi tersebut sangat memerlukan sarana dan prasarana hukum agar benar-benar dapat mencapai tujuan sesuai dengan yang direncanakan. Sangat penting untuk menjaga keseimbangan, keserasian dan keselarasan untuk berbagai kepentingan dalam masyarakat dengan selalu menjaga keseimbangan dan keserasian antara berbagai pihak tersebut, maka dinamika kegiatan ekonomi nasional dapat diarahkan kepada keinginan dan kesejahteraan bagi seluruh masyarakat. Untuk mencapai hal-hal tersebut hukum diharapkan harus berubah lebih dahulu melalui pembangunan hukum yang mencakup: (1) membuat sesuatu yang sebelumnya tidak ada menjadi ada, (2) membuat sesuatu yang menjadi lebih baik dan lebih modern, (3) meniadakan sistem yang lama karena tidak diperlukan lagi dan tidak cocok lagi dengan sistem yang baru. Teori yang digunakan dalam penelitian ini adalah teori sistem yang mana dalam gagasan sistem dalam ilmu tersebar luas karena hampir menguasai konteks berfikir ilmuwan dalam segala bidang. Oleh karena itu untuk menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka digunakanlah teori sistem ini, yang mana sistem mempunyai tujuan,14 mempunyai batas yang memisahkan antara hak dan kewajiban,
13
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Suatu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), halaman 30. 14 Tatang M. Amirin, Pokok-pokok Teori Sistem, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1996), halaman 24.
Universitas Sumatera Utara
27
mempunyai batas tetapi bersifat terbuka. Sistem juga saling berhubungan dan saling bergantung baik intern maupun ekstern dan sistem melakukan proses transformasi, memiliki mekanisme kontrol dengan pemanfaatan umpan balik, juga memiliki kemampuan untuk mengatur diri sendiri dan menyesuaikan diri di dalam suatu proses atau kegiatan yang ada. Pengertian waralaba yang disebutkan dalam Pasal 1 angka 1 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba, menyebutkan bahwa waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh orang perseorangan atau badan usaha terhadap sistem bisnis dengan ciri khas usaha dalam rangka memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Berdasarkan rumusan yang diberikan tersebut dapat diuraikan konsep hal-hal sebagai berikut:15 a. Waralaba merupakan suatu perikatan. Rumusan tersebut menyatakan bahwa sebagai suatu perikatan, waralaba tunduk pada ketentuan umum mengenai perikatan yang diatur dalam KUH Perdata. b. Waralaba melibatkan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan hak atas kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas usaha. Adapun yang dimaksud dengan hak atas kekayaan intelektual meliputi antara lain merek, nama dagang, logo, desain, hak cipta, rahasia dagang dan paten, dan yang
15
Gunawan Widjaja, Seri Hukum Bisnis: Waralaba, (Jakarta: Rajawali Press, 2001), halaman
107.
Universitas Sumatera Utara
28
dimaksud dengan penemuan atau ciri khas usaha misalnya sistem manajemen, cara penjualan atau cara distribusi yang merupakan karakteristik khusus dan pemiliknya. Ketentuan ini membawa akibat bahwa sampai pada derajat tertentu, waralaba tidak berbeda dengan lisensi (Hak atas Kekayaan Intelektual), khususnya yang berhubungan dengan waralaba nama dagang dan merek dagang baik untuk produk berupa barang dan atau jasa terentu. Ini berarti secara tidak langsung Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba juga mengakui adanya dua bentuk waralaba, yaitu pertama, waralaba dalam bentuk lisensi merek dagang atau produk; kedua, waralaba sebagai suatu format bisnis. c. Waralaba diberikan dengan suatu imbalan berdasarkan persyaratan dan atau penjualan barang dan atau jasa. Ketentuan ini pada dasarnya menekankan kembali bahwa waralaba tidaklah diberi secara cuma-cuma. Pemberian waralaba senantiasa dikaitkan dengan suatu bentuk imbalan tertentu. Secara umum dikenal adanya dua macam atau dua jenis kompensasi yang dapat diminta oleh pemberi waralaba. Pertama, adalah kompensasi langsung dalam bentuk nilai moneter, seperti
lump sum
payment/franchise fee dapat dibayar lunas atau diangsur dan royalty fee yang besar atau jumlah pembayarannya dikaitkan dengan suatu persentase tertentu yang dihitung dari jumlah produksi dan/atau penjualan barang dan/atau jasa bedasarkan perjanjian waralaba. Kedua, adalah indirect and non matery compensation, yang meliputi keuntungan dan pembayaran dalam bentuk deviden, namun dalam bentuk indirect ini belum diizinkan di Indonesia. Hal ini dapat
Universitas Sumatera Utara
29
dilihat dalam Peraturan Pemerintah Nomor 16 Tahun 1997 tentang Waralaba tidak diatur. Sistem waralaba di Indonesia diterapkan setidaknya menjadi empat jenis yakni: waralaba dengan sistem business format, waralaba bagi keuntungan, waralaba kerjasama investasi dan waralaba merek dagang.16 Penerapan ini sangat dinamis, dimana penggunaannya sangat bergantung terutama pada jenis usaha dan area. Kriteria status usaha dapat berubah menjadi waralaba setidaknya harus memenuhi berbagai persyaratan khusus yakni unik, tidak mudah ditiru, mempunyai keunggulan dibandingkan dengan tipe usaha sejenisnya sehingga konsumen akan selalu mencari produk atau jasa tersebut (repeated order). Mempunyai proven track record atau mempunyai konsep usaha yang telah terbukti berhasil, yang dapat dilihat dari neraca keuangan, citra perusahaan serta produk/jasa yang terjamin. Terwaralaba pun harus pula dituangkan dalam kerangka kerja yang dikenal sebagai Standard Operational Procedure (SOP). SOP dapat dikatakan jiwa dari kehidupan waralaba. Tanpa SOP yang jelas, mudah dimengerti dan diaplikasikan, kesuksesan waralaba akan sulit tercapai. SOP akan memuat secara detail pedoman pengoperasian suatu usaha, mulai dari suplai bahan baku, manajerial, pelatihan sumber daya manusia, keuangan, marketing dan promosi, sampai pada riset pengembangan usaha. Setiap detail akan dibukukan menjadi manual-manual sesuai dengan segmennya masing-masing. Faktor-faktor
16
Yohanes Heidy Purnama, Epidemi Tren Konsep Bisnis http://www.majalahfranchise.com, diakses tanggal 11 Januari 2009, jam 11.00 WIB.
Waralaba,
Universitas Sumatera Utara
30
yang menjadi persyaratan suatu waralaba seperti yang tersebut diatas umum disebut dengan istilah franchisibility. Oleh karena standarisasi yang cukup tinggi, memberikan keuntungan bagi masyarakat yang ingin membeli waralaba. Banyak peluang bisnis (Business Opportunity-BO) yang mengklaim diri sebagai waralaba, padahal tidak memenuhi persyaratan untuk layak disebut waralaba. Kondisi ini juga yang dilihat pemerintah dalam memberikan izin bagi pendaftaran waralaba. Pengaturan yang baru dianggap lebih memberatkan. Ada beberapa hal dalam Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 yang substansinya mengandung kontroversi, salah satunya Pasal 3 yang menyebutkan: Waralaba harus memenuhi kriteria sebagai berikut: a. memiliki ciri khas usaha; b. terbukti sudah memberikan keuntungan; c. memiliki standar atas pelayanan dan barang dan/atau jasa yang ditawarkan yang dibuat secara tertulis; d. mudah diajarkan dan diaplikasikan; e. adanya dukungan yang berkesinambungan; dan f. Hak Kekayaan Intelektual yang telah terdaftar. Di satu sisi pemerintah ingin memberdayakan pengusaha kecil dan menengah sebagai pemberi waralaba yang handal dan memiliki daya saing di dalam maupun luar negeri, namun di sisi lain Peraturan Pemerintah yang baru sangat memberatkan penerima waralaba kecil karena secara implisit maupun eksplisit pada Pasal 3 hanya bisa dipenuhi perusahaan menengah dan besar. Usaha kecil hampir tidak memiliki kemampuan untuk memenuhi kriteria tersebut. Kriteria Pasal 3 Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba terlalu memberatkan penerima waralaba kecil.
Universitas Sumatera Utara
31
Risiko bisnis kegagalan waralaba jauh lebih kecil dibandingkan dengan konsep bisnis lain seperti multi level marketing (MLM), distributor, direct sales business (penjualan langsung) dan berbagai konsep bisnis lain. Risiko kegagalan pemberi waralaba adalah 5%-15%, sedangkan pada bisnis biasa berada di angka lebih dari 65%. Para pengusaha yang telah mantap menjalankan bisnisnya mendapat keuntungan dengan mengkonversi usahanya menjadi waralaba. Walaupun mendapat tambahan tuntutan untuk mempertinggi kualitas bisnis mereka, dampak yang di dapat lebih dari sekedar setara dalam hal membangun image dan brand produk atau jasa mereka. Biaya pembelian atau penyewaan tempat usaha secara otomatis bukan lagi menjadi tanggung jawab pemberi waralaba. Sebagai contoh suatu toko roti yang sudah terkenal di daerah Makasar akan memerlukan ratusan juta rupiah, bahkan pada kisaran milyaran jika si pemilik ingin membuka 10 cabang di berbagai kota di Indonesia, sedangkan mungkin hanya butuh dana yang tidak besar jika usaha tersebut telah siap diwaralabakan ke berbagai kota. Dalam hitungan bulan berbagai outletnya telah dibangun dan citra produk makin dikenal masyarakat. Hal yang menarik dari isu waralaba Nasional adalah bahwa pertumbuhan waralaba lokal saat ini jauh lebih tinggi dibandingkan dengan pertumbuhan waralaba asing di Indonesia. Fakta ini disebabkan karena pewaralaba lokal memberikan berbagai kemudahan dalam persyaratan pemberian waralaba mereka. Toleransi yang diberikan cukup luas ditambah promosi dan marketing yang terus menerus dan up to date. Pihak media di Indonesia juga memberikan kontribusi besar dalam
Universitas Sumatera Utara
32
pertumbuhan waralaba lokal, berbagai media bisnis telah banyak mengangkat waralaba sebagai suatu segmen liputan khusus, bahkan sekarang telah terdapat majalah yang hanya khusus mengupas seluk-beluk waralaba secara spesifik. Perjanjian waralaba termasuk dalam suatu perjanjian yang lazimnya dibuat secara tertulis. Suatu perjanjian adalah peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau dimana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal.17 Hukum perjanjian mengandung hal yang lebih sempit, yakni hanya mengatur tentang ikatan hukum yang berasal dari kesepakatan para pihak. Munir Fuady menyebutkan bahwa perjanjian pada umumnya diartikan mencakup hal-hal tertulis maupun tidak tertulis, sedang istilah kontrak dimaksudkan untuk perjanjian tertulis.18 Pasal 1320 KUH Perdata, yang menyebutkan bahwa untuk sahnya suatu perjanjian harus memenuhi empat unsur yaitu sepakat mereka yang mengikat dirinya; kecakapan unruk membuat suatu perikatan; suatu hal terentu; dan suatu sebab yang halal. Syarat pertama dan kedua mengenai subjeknya atau pihak-pihak yang menentukan dalam perjanjian sedangkan syarat ketiga dan keempat disebut sebagai syarat objektif karena mengenai objek dari suatu perjanjian. Jika syarat objektif tidak terpenuhi maka dengan sendirinya perjanjian tersebut batal demi hukum, sehingga dianggap dari awal tidak pernah dilahirkan suatu perjanjian dan tidak pernah ada suatu perikatan. Namun dalam hal syarat subjektif tidak terpenuhi, maka perjanjian tersebut bukan batal demi hukum, tetapi salah satu pihak mempunyai hak untuk 17
Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Intermasa, 2002), halaman 1. Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2001), halaman 2. 18
Universitas Sumatera Utara
33
meminta supaya perjanjian itu dibatalkan. Pihak yang dapat meminta pembatalan adalah pihak yang tidak pernah cakap atau pihak yang memberikan sepakatnya secara tidak bebas. Pada dunia bisnis pola hubungan antara para pelakunya senantiasa berorientasi pada dalil-dalil efisiensi, maka dalam merealisasikan hubungannya pun senantiasa dicari bentuk atau model hubungan yang praktis ataupun mampu memenuhi kebutuhan mereka. Sehubungan dengan itu dibutuhkan kerangka yang mampu membingkai dan mewadahi kebutuhan hukum para pelaku bisnis dalam berinteraksi, yaitu yang dituangkan ke dalam bentuk perjanjian atau kontrak. Pada dasarnya dalam kontrak inilah para pelaku bisnis menuangkan maksud dan tujuan interaksi diantara mereka. Perkembangan model kontrak yang tercipta diantara para pihak demikian beragam. Salah satu model kontrak yang berkembang seiring dengan kebutuhan pelaku bisnis modern adalah model kontrak standar/kontrak baku, melalui kontrak standar ini para pihak tinggal mengisi beberapa hal yang mereka sepakati. Kontrak bisnis yang pada umumnya berbentuk standar, senantiasa dikesankan sebagai kontrak yang berat sebelah dan tidak seimbang. Banyak fakta yang menunjukkan dalam berbagai kontrak standar selalu didominasi dengan optie yang menguntungkan salah satu pihak, yaitu berhadapannya dua kekuatan yang tidak seimbang antara pihak yang kuat dengan pihak yang lemah, dengan posisi pihak yang lemah hanya sekedar menerima segala isi kontrak dengan terpaksa sebab apabila ia
Universitas Sumatera Utara
34
menawar dengan alternatif kemungkinan besar akan menerima konsekuensi kehilangan apa yang dibutuhkan. Waralaba sebagai suatu perjanjian antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba merupakan perikatan antara dua subjek hukum. Pemberi waralaba dapat merupakan badan usaha atau perorangan yang memberikan hak kepada pihak lain untuk memanfaatkan atau menggunakan kekayaan intelektual atau penemuan atau ciri khas yang diberi pemberi waralaba. Perjanjian waralaba dapat dilakukan secara bertahap dengan memperhatikan perkembangan sosial dan ekonomi dan dalam rangka pengembangan usaha kecil dan menengah, sebagaimana tercantum dalam peraturan pemerintah. 2. Konsepsional Pemaknaan konsep terhadap istilah yang digunakan, terutama dalam judul penelitian, bukanlah untuk keperluan mengkomunikasikannya semata-mata kepada pihak lain, sehingga tidak menimbulkan salah tafsir, tetapi juga demi menuntun peneliti sendiri di dalam menangani rangkaian proses penelitian bersangkutan.19 Konsep atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian, kalau masalahnya dan kerangka konsep teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsep sebenarnya adalah defenisi secara singkat dari kelompok fakta atau gejala. Maka
19
Sanapiah Faisal, Format-format Penelitian Sosial, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1999), halaman 107-108.
Universitas Sumatera Utara
35
konsep merupakan defnisi dari apa yang perlu diamati, konsep menentukan antara variabel-variabel yang lain menentukan adanya hubungan empiris.20 Untuk menghindari kesalahpahaman dalam menjawab permasalahan dalam penelitian ini maka diberikanlah pengertian-pengertian dalam rangka menyamakan persepsi yang diuraikan sebagai berikut dibawah ini. Waralaba adalah hak khusus yang dimiliki oleh perorangan atau badan usaha melalui bentuk usaha yang memiliki ciri khas usaha tersendiri dalam kegiatan memasarkan barang dan/atau jasa yang telah terbukti berhasil dan dapat dimanfaatkan dan/atau digunakan oleh pihak lain berdasarkan perjanjian waralaba. Perjanjian waralaba adalah perjanjian yang bergerak dalam bidang usaha atau bisnis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba, si penerima waralaba wajib mematuhi dan mengikuti semua aturan dan ketentuan yang ditentukan oleh si pemberi waralaba dalam menjalankan bidang usaha atau bisnis yang dimiliki oleh si pemberi waralaba melalui suatu perjanjian yang mengikat kedua belah pihak menurut ketentuan undang-undang yang berlaku. Pemberi Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang memberikan hak untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimilikinya kepada penerima waralaba.
20
Koentjoroningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 1997), halaman 21.
Universitas Sumatera Utara
36
Penerima Waralaba adalah orang perseorangan atau badan usaha yang diberikan hak oleh Pemberi Waralaba untuk memanfaatkan dan/atau menggunakan waralaba yang dimiliki pemberi waralaba. Perjanjian Waralaba adalah perjanjian yang diselenggarakan secara tertulis antara pemberi waralaba dengan penerima waralaba dengan memperhatikan hukum Indonesia. G. Metode Penelitian 1. Sifat dan Jenis Penelitian Sifat penelitian ini adalah deskriptif analitis yaitu penelitian yang menggambarkan semua gejala dan fakta yang terjadi di lapangan serta mengkaitkan dan menganalisa semua gejala dan fakta tersebut dengan permasalahan yang ada dalam penelitian dan kemudian disesuaikan dengan keadaan yang terjadi di lapangan.21 Jenis penelitian ini adalah penelitian yuridis normatif. Bersifat normatif dikarenakan penelitian ini mempelajari data sekuder yang mencakup bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Dilakukan untuk mengidentifikasi konsep dan asas-asas hukum yang digunakan untuk mengatur perjanjian waralaba. Penelitian ini mempelajari data yang diperoleh langsung dari bahan pustaka atau data sekunder yang kemudian dihubungkan dengan keteranganketerangan yang diperoleh secara langsung dari informan-informan tersebut (pihak pertama/ PT.Indomarco Prismatama BM Indomaret Suyanto Warsono, Manager Area 21
Winarno Surakhmad, Dasar dan Teknik Research, (Bandung: Tarsito, 1978), halaman 132.
Universitas Sumatera Utara
37
Indomaret Windi Yatmiko) dan (Pihak kedua / CV.E.Makmur Dirut Edison Makmur). Penelitian ini menggunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach) yang melakukan pengkajian peraturan perundang-undangan dengan tema sentral penelitian. 2. Jenis Data a. Data Sekunder Data sekunder adalah data yang diperoleh dari studi kepustakaan dengan mempelajari beberapa bahan hokum seperti bahan hukum primer, bahan hukum sekunder dan bahan hukum tersier. Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) yaitu sebagai teknik untuk mendapatkan informasi melalui penelusuran peraturan perundang-undangan, bacaan-bacaan buku literatur dan sumber-sumber bacaan lain yang ada relevansinya dengan Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2007 tentang Waralaba pada umumnya dan Peraturan Pemerintah Nomor 44 Tahun 1997 tentang Kemitraan pada khususnya. Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang ada kaitannya dengan bahan hukum primer, seperti hasil-hasil penelitian, hasil karya ilmiah, artikel, opini hukum dari para kalangan ahli hukum dan jurnal-jurnal hukum yang berkaitan dengan topik penelitian. Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder seperti kamus
Universitas Sumatera Utara
38
hukum, ensiklopedia dan lain-lain. Seperti data primer yaitu data yang diperoleh langsung dari perjanjian waralaba Indomaret antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur. 3. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini adalah melalui penelitian kepustakaan (library research) yakni upaya untuk memperoleh data dari penelusuran literatur kepustakaan, peraturan perundang-undangan, majalah/jurnal hukum, koran, artikel online di halaman internet atau sumber lainnya dan melalui penelitian lapangan yakni upaya untuk memperoleh data langsung dari kedua belah pihak antara PT Indomarco Prismatama dengan CV. E Makmur guna melengkapi penelitian ini di dalam pengumpulan data. Alat Pengumpulan Data : a. Studi Dokumen Studi dokumen yakni mengumpulkan data sekunder guna dipelajari kaitannya dengan permasalahan yang diajukan. Data ini diperoleh dengan mempelajari bukubuku, hasil penelitian, dan peraturan perundang-undangan yang berkaitan dengan objek telaahan penelitian ini. b. Wawancara Wawancara
dilakukan
secara
langsung
kepada
narasumber
dengan
menggunakan pedoman wawancara yang telah dipersiapkan sebelumnya, yakni pihak pemberi waralaba (Direktur Utama PT Indomarco Prismatama) dan pihak penerima
Universitas Sumatera Utara
39
waralaba (Direktur CV. E Makmur) agar mendapatkan informasi secara keseluruhan sesuai dengan permasalahan yang diteliti. 4. Analisis Data Analisis data adalah proses mengorganisasikan dan mengurut data ke dalam pola, kategori dan satuan uraian dasar, sehingga dapat ditemukan tema dan dapat dirumuskan hipotesis kerja seperti yang disarankan oleh data.22 Analisis data dilakukan dengan mengumpulkan data, yaitu data yang diperoleh dari hasil penelitian dikelompokkan menurut permasalahan dan selanjutnya dilakukan analisis secara kualitatif. Analisis data secara kualitatif dimaksudkan bahwa analisis tidak tergantung dari jumlah data berdasarkan angka-angka melainkan data yang dianalisis menurut norma-norma hukum tertentu dalam peraturan perundang-undangan. Selanjutnya dari hasil analisis tersebut ditarik kesimpulan dengan menggunakan logika berpikir deduktif.
22
Lexy J. Moeleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, (Bandung: Remaja Rosdakarya, 1994), halaman 103.
Universitas Sumatera Utara