BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah 'I know it is; and I know there is truth and sense in what you say; but you need not fear me, for I not only should think it wrong to marry a man that was deficient in sense or in principle, but I should never be tempted to do it; for I could not like him, if he were ever so handsome and ever so charming in other respects; I should hate him—despise him—pity him— anything but love him. My affections not only ought to be founded on approbation, but they will and must be so: for without approving I cannot love. It is needless to say I ought to be able to respect and honour the man I marry as well as love him, for I cannot love him without. So set your mind at rest (Bronte: P.127-128).'
The Tenant of Wildfell Hall menceritakan bentuk usaha seorang perempuan untuk keluar dari sistem sosial yang dianggap normal dalam masyarakat Inggris. Sistem tersebut sangat merugikan kaum perempuan. Di dalam novel TToWH ini, karakter utama perempuan, Helen, berusaha keluar dari sistem tersebut untuk mendapatkan kesataraan antara hak perempuan dan laki-laki. The Tenant of Wildfell Hall adalah novel kedua dan terakhir dari karya penulis Inggris, Anne Brontë. Novel ini diterbitkan pada tahun 1848 di bawah nama samaran Acton Bell. Mungkin yang paling mengejutkan dari novel Bronte ini adalah novel ini memiliki kesuksesan
1
fenomenal instan tapi setelah kematian Anne, novel ini dicegah untuk di re-publikasi. Novel ini juga telah dianggap sebagai novel klasik Sastra Inggris. Novel ini dibagi menjadi tiga volume. Pada bagian satu dari novel ini menceritakan tentang seorang janda, Helen Graham dan anaknya,Arthur, yang baru tinggal di Wildfell Hall, disebuah rumah tua. Di Wildfell Hall, Helen berkenalan dengan Gilbert Markham, seorang petani muda yang cukup berada disana. Keduanya pun saling suka satu sama lain. Pada satu saat, Gilbert dilanda rasa cemburu karena dia mempercayai rumor yang berkembang bahwa Helen berpacaran dengan temannya Lawrence. Rumor ini sengaja diciptakan oleh Eliza sahabat Gilbert. Oleh sebab itu, satu kesempatan ketika Gilbert ketemu Lawrence diperjalanan, Gilbert memukul Lawrence dengan gagang cambuk, yang menyebabkan dia jatuh dari kudanya dan terluka. Dengan kejadian ini, Helen menolak untuk menikahi Gilbert, tetapi Helen memberi Gilbert buku hariannya dengan tujuan Gilbert tahu siapa Helen sebenarnya. Pada bagian kedua dari novel ini merupakan cerita yang ada di buku harian Helen. Buku harian tersebut menceritakan pernikahannya dengan Arthur Huntingdon. Arthur adalah laki-laki tampan, cerdas, egois, dan manja. Sebelum Helen yang dibesarkan paman dan bibinya menikah dengan Arthur, Helen sempat dijodohkan paman dan bibinya dengan seorang lelaki tua kaya yang patut jadi ayahnya. Helen menolak dan berusaha menyakinkan paman dan bibinya bahwa setiap orang mempunyai hak yang sama dalam memilih pasangan hidupnya. Helen berpendapat
2
bahwa dia harus mencintai dan menghormati seseorang yang akan menjadi suaminya bukan dijodohkan karena ketampanan dan kekayaan saja. Akhirnya dia menikah dengan seorang laki-laki pilihannya, Arthur. Dia berpikir dengan menikahi pria pilihannya sendiri akan membuat dia bahagia, tetapi kehidupan tidak semulus yang dia pikirkan. Arthur selalu menyakitinya dan dia selalu diperlakukan buruk. Helen ibarat bagai burung didalam sangkar yang tak mampu berbuat apa-apa. Arthur selalu mabuk-mabukan, berpesta pora dan selalu berpergian. Helen merasa kedudukan dia sebagai seorang istri tidak pernah dihargai dan juga pendapatnya tidak pernah didengar. Oleh karena itulah, dia mencoba untuk memperbaiki keadaan tersebut. Dia ingin diperlakukan selayaknya seorang istri atau manusia yang bisa memberikan pendapat pada suami. Seorang suami seharusnya peduli dengan perasaan istrinya, bukan mementingkan dirinya sendiri dengan mabukmabukan dan bersenang-senang dengan teman-temannya. Disamping itu, Arthur juga sangat sewenang-wenang sebagai suami dan Arthur juga punya hubungan khusus dengan perempuan lain, Lady Lowborough. Helen menyadari bahwa kalau dia berusaha untuk keluar dari sistem sosial yang sudah normal dalam masyarakat. Maka hal ini, akan sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat. Aturan yang sangat berpegang teguh pada ajaran agama. Ajaran yang mengajarkan seorang istri harus tunduk pada suaminya. Baik agama Protestant dan agama Katolik menempatkan perempuan pada posisi lebih rendah daripada kedudukan laki-laki. Menurut ajaran-ajaran Marthin Luther dan John Calvin, walaupun pria dan
3
perempuan bisa berhubungan langsung dengan Tuhan, perempuan tidak layak berpergian, perempuan harus tinggal dirumah dan mengatur rumah tangganya. Kitab Injil mengutip ucapan Santo Paulus: "and the head of every woman is man. Let your women be silent in the churches, for it is not permitted unto them to speak". Kitab injil juga mengutip ucapan Santo Petrus: "Ye wives, be in subjection to your own husbands," (para istri hendaknya tunduk kepada suaminya) (Djajanegara S, 2000: 2). Arthur juga dianggap memberikan contoh yang kurang baik bagi anaknya sehingga hal ini yang ingin Helen perbaiki. Menurutnya, tidak selamanya suami selalu benar dan istri harus menurut pada suami. Sebagai suami istri, mereka seharusnya saling bahu membahu dalam mengarungi rumah tangga dan membesarkan anak-anak. Akhirnya karena tidak tahan dengan kondisi semua ini, Helen kabur dari rumah dengan melakukan sesuatu yang tidak pantas dilakukan istri pada masa itu. Dengan kaburnya Helen tanpa seizin suaminya, berarti Helen telah melakukan hal yang sangat bertentangan dengan aturan yang ada dalam masyarakat inggris waktu itu. Aturan yang tidak membolehkan seorang istri kabur tanpa seizin suaminya. Aturan yang juga tidak membolehkan seorang istri membanting pintu kamar didepan suaminya. Hal ini membuat gempar masyarakat Inggris pada waktu itu. Menurut mereka, Helen sudah melanggar aturan dan norma yang ada dalam masyarakat pada masa Victoria. Di bagian ketiga diceritakan Arthur sakit parah dan Helen terpaksa kembali kerumah suaminya dan akhirnya Arthur meninggal dan Helen menikah dengan Gilbert.
4
Dari novel ini, terlihat adanya kompetesi kekuasaan terhadap perebutan sesuatu yang dianggap normal. Disisi yang satu, menganggap bahwa sistem sosial yang telah dikonstruksi oleh norma-norma agama yang sudah ada dan juga nilai-nilai tradisional yang dicetuskan Ratu Victoria. Norma dan nilai-nilai yang mengharuskan perempuan tunduk, patuh, bersikap pasif, pasrah dan rajin mengurus keluarga dan rumah tangga atau memelihara domestisitas benar (Djajanegara S, 2000: 5). Disisi yang lain dari novel ini, semua itu merupakan ideologi gender yang bias yang dipandang sangat merugikan kaum perempuan pada era Victoria. Oleh karena itu, dia berusaha melawan dan keluar dari sistem sosial yang dianggap normal tersebut. Atau dengan kata lain karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall berusaha mende-normalisasikan sistem kekuasaan yang ada dalam masyarakat terutama
sistem
patriarki.
Sistem
Patriarki,
istilah
yang
dipakai
untuk
menggambarkan sistem sosial di mana kaum laki-laki sebagai suatu kelompok mengendalikan kekuasaan atas kaum perempuan. Sesuai dengan konsep Foucault tentang kekuasaan, menurutnya: "kuasa itu ada di mana-mana dan muncul dari relasi-relasi antara pelbagai kekuatan, terjadi secara mutlak dan tidak tergantung dari kesadaran manusia. Kekuasaan hanyalah sebuah strategi. Strategi ini berlangsung di mana-mana dan di sana terdapat sistem, aturan, susunan dan regulasi. Kekuasaan ini tidak datang dari luar, melainkan kekuasaan menentukan susunan, aturan dan hubungan-hubungan dari dalam dan memungkinkan semuanya terjadi (Foucault, 2002 : 144).’
5
Pada uraian tersebut telah dijelaskan bahwa novel ini ditulis oleh Anne Bronte pada era Victoria. Pada era Victoria, perbedaan peranan antara perempuan dan lakilaki masih menjadi suatu hal yang sangat menguntungkan kaum laki-laki. Mereka masih beranggapan bahwa perempuan dan laki-laki memiliki tugas yang berbedabeda. Laki-laki menurut ideal zamannya memiliki fisik yang lebih unggul, rasional dan mendominasi kegiatan sosial. Sedangkan perempuan digambarkan sebagai subject yang pasif, emosional, dan spiritual. Pada masa ini, kedudukan perempuan diposisikan pada kelompok yang inferior, tidak hanya dijelaskan secara biologis saja tetapi juga tercatat dalam alkitab. Perempuan pada masa ini juga dituntut untuk memiliki nilai moral yang tinggi serta harus taat beragama. Mereka diharapkan untuk dapat membangun suasana rumah tangga yang religius. Di Era ini juga perempuan di tuntut untuk menjadi perempuan “ideal” yang memenuhi standar yang telah ditetapkan oleh masyarakat pada waktu itu. Perempuan sangat tergantung kepada ayah dan suami mereka. Mereka dituntut untuk bisa menjadi putri yang baik, istri yang patuh, dan menjadi ibu yang harus bisa merawat anak- anaknya. Gambaran perempuan yang seperti ini memperlihatkan bagaimana kuatnya sistem patriarki dalam komunitas sosial. Tidak jarang perempuan di era Victoria menjadi depresi karena tekanan-tekanan dan beban yang diberikan di setiap tahap kehidupan mereka. Apapun yang mereka lakukan harus sesuai yang kaum lelaki inginkan walaupun itu salah ( Abrams, 2001:1-5 & Viernes, 21 de enero de 2011). Situasi ini telah berjalan selama berabad-abad dengan posisi relasi yang timpang antara perempuan dan laki-laki. Artinya jika kaum perempuan sendiri tidak 6
menyadari bahwa posisinya berada dalam ketertindasan memang bisa dipahami karena struktur dan kultur patriarkhi yang ditanamkan sangat kuat, sekalipun hal ini sangat tragis. Disini terjadi kekuasaan khas ideologi gender yang bias, yakni menang dengan cara melenyapkan pihak lain. Keberadaan pihak lain dinisbikan karena dialah yang dianggap benar. Dalam situasi seperti itulah, bisa dipahami bagaimana pola relasi yang timpang telah melahirkan berbagai bentuk ketidakadilan dan kekerasan yang secara intensif terjadi terus menerus, sepanjang hari dalam praktek kehidupan keluarga. Dengan ayah sebagai posisi kepala keluarga maka ideologi gender seolah dikukuhkan. Akibat ideologi gender ini, membuat relasi perempuan dan laki-laki sulit untuk keluar dari stigma masyarakat. Perempuan pada akhirnya berada dalam posisi dengan subordinat dari dominasi laki-laki. Relasi perempuan dan laki-laki tampak sebagai sebuah relasi yang tidak adil, korup, manipulatif dan bersifat vertikal. Novel ini juga dibuat menjelang abad ke-19 dimana feminisme lahir menjadi gerakan yang cukup mendapatkan perhatian. Pada awalnya, gerakan ini memang diperlukan pada masa itu, dimana ada masa-masa pemasungan terhadap kebebasan perempuan. Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamenatalisme agama yang cenderung melakukan opresi terhadap kaum perempuan. Sebagian kaum perempuan masih aktif dalam perjuangan persamaan hak dengan kaum laki-laki atau yang lazim disebut dengan kesetaraan gender. Sebenarnya sebagian besar perempuan yang sedang berjuang itu adalah para perempuan yang sudah “merdeka”. Biasanya
7
mereka itu dari kalangan perempuan karir yang sukses, punya prestasi, punya background dan pendidikan yang tinggi. Mereka tetap giat berjuang atas nama semua perempuan yang masih terpasung atau tidak memiliki hak setara dengan laki-laki atau perempuan yang tertindas. Situasi ini mulai mengalami perubahan ketika datangnya era Liberalisme di Eropa dan terjadinya Revolusi Prancis di abad ke XVIII yang kemudian melanda Amerika Serikat dan keseluruhan dunia (Gamble, 2004) Suasana demikian diperparah dengan adanya fundamentalisme agama yang cenderung melakukan operasi terhadap kaum perempuan. Dari latar belakang demikianlah di Eropa berkembang gerakan untuk menaikan derajat kaum perempuan tetapi gaungnya kurang keras, baru setelah di Amerika Serikat terjadi Revolusi sosial dan politik, perhatian terhadap kaum-kaum perempuan mulai mencuat. Di tahun 1792 Mary Wollstonecraft membuat karya tulis berjudul Vindication of the Right of Women yang isinya dapat meletakkan dasar prinsip-prinsip feminisme dikemudian hari. Pada tahun-tahun 1830-1840, sejalan terhadap pemberantasan praktek perbudakan, hak-hak kaum perempuan mulai diperhatikan, jam kerja dan gaji kaum ini mulai diperbaiki. Mereka juga diberi kesempatan ikut dalam pendidikan dan diberi hak pilih, sesuatu yang selama ini hanya dinikmati oleh kaum laki-laki. Secara umum pada gelombang pertama dan kedua hal-hal berikut ini yang menjadi momentum perjuangannya: Gender Inequality, hak-hak perempuan, hak reproduksi, hak berpolitik, peran gender, identitas gender dan seksualitas. Gerakan feminisme adalah
8
gerakan pembebasan perempuan dari: rasisme, stereotype, seksisme, penindasan perempuan, dan phalogosentrisme. (Gamble, 2004) Maka dari itu Anne Bronte (17 Januari 1820 - 28 Mei 1849) adalah seorang novelis Inggris dan penyair, anggota termuda dari Brontë keluarga sastra. Putri seorang pendeta Irlandia yang miskin di Gereja Inggris, mencoba mengubah pandangan masyarakat Inggris pada waktu itu dengan mencoba menulis sebuah karya berjudul The Tenant of Wildfell Hall, dan dianggap sebagai salah satu novel yang pertama yang membawa ide tentang feminis, muncul pada tahun 1848. (debate.org, 2014) Disamping itu juga novel ini merupakan novel yang sangat fenomenal karena banyak dibicarakan dan membuat gempar seluruh Inggris masa Victoria karena ada bagian yang sangat berani dan sangat melanggar konvensi social, dan hukum Inggris seperti yang penulis baca disebuah artikel yang ditulis Mei Sinclair pada tahun 1913. Dari uraian diatas, membuat penulis untuk lebih dalam lagi menganalisa novel ini, karena novel ini tidak hanya membawa ide feminisme saja tapi dianggap juga novel klasik sastra inggris yang sangat fenomenal.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian di latar belakang masalah diatas, terlihat jelas bahwa pada zaman Victoria terdapat nilai-nilai, norma-norma dan tradisi-tradisi yang sangat kuat yang 9
mengharuskan perempuan harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan kaum lakilaki. Sehingga hal ini sangat merugikan kaum perempuan. Namun didalam novel karya Anne Bronte, ada karakter utama perempuan yang mencoba untuk keluar atau mendobrak sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu, sehingga penulis tertarik untuk menganalisa novel tersebut dengan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimana bentuk-bentuk de-normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan yang terjadi dalam novel The Tenant of Wildfell Hall? 2. Mengapa pengarang mencoba menjelaskan de-normalisasi kekuasaan lewat novel The Tenant of Wildfell Hall?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dikemukakan, melalui suatu rangkaian kerja dan prosedur analisis yang direncanakan. Penelitian ini memiliki tujuan teoritis untuk mengungkapkan bentuk De-Normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall. Penelitian ini juga memiliki tujuan untuk mengungkapkan mengapa pengarang, Anne Bronte mencoba menjelaskan de-normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa Victoria. Sedangkan tujuan praktis dalam penelitian ini adalah hasil penelitian ini nantinya diharapkan bisa menambah wawasan bagi mahasiswa, pengajar, peneliti dan pembaca tentang feminisme. 10
1.4 Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka, penulis mencoba mencari penelitian yang terdahulu yang menggangkat novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte, dan setelah penulis mencoba mencari penelitian terdahulu, penulis menemukan beberapa penelitian yang menggangkat novel ini sepanjang pengetahuan penulis diantaranya adalah sebagai berikut: Pertama, M.Rizal (2007) telah menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall, thesisnya berjudul Main Female Character Domination to Be Independent in Anne Bronte's The Tenant Of Wildfell Hall. Dalam analisanya menyatakan bahwa novel ini merupakan novel yang sangat penting dan bagus pada zaman Victoria dan yang layak mendapatkan perhatian khusus sebagai sebuah karya fiksi. Dalam analisisnya, M. Rizal menyatakan bahwa novel Anne Bronte ini mengandung ide-ide feminisme yang digambarkan dalam karakter Helen, Helen mewakili karakter perempuan dalam novel ini. Dia ingin menyampaikan pesan bahwa seharusnya ada kebebasan setiap perempuan untuk menentukan seorang laki-laki yang ingin dia nikahi. Dia menyatakan bahwa seharusnya tidak ada ikatan pernikahan (Wedlock) karena setiap orang-perempuan-mempunyai hak untuk memilih seseorang untuk dicintai dan mencintai. Kedua, Rebecca Lynn Lupold, University of Montana Missoula USA (2008) telah menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall dalam thesisnya berjudul Dwelling and The Woman Artist in Anne Bronte's The Tenant of Wildfell Hall. Dalam thesisnya, Lupold menggunakan teori Heidegger tentang konsep Dwelling untuk
11
menganalisa bagaimana lingkungan dan spaces rumah yang nyaman buat Helen untuk mengembangkan karir keartisannya sebagai pelukis di Wildfell Hall dan Grassdale, dan mampu menghidupi dia dan anaknya dari keartisannya. Serta menganalisa hubungannya dengan Albert yang mampu memberikan dwelling yang diinginkan, beda halnya dengan Arthur suaminya Helen. Lupold menganalisa novel ini per volume dari volume 1 sampai volume 3. Ketiga, Miftakhul Maarif (2010) dengan judul thesisnya Woman's struggle against Gender inequality in The Tenant of Wildfell Hall by Anne Bronte. Dalam thesisnya, Miftakhul Maarif menggunakan kritik sastra feminis untuk menganalisa karakter utama khususnya karakter perempuan dalam novel Anne Bronte. Analisanya mengambil pandangan tentang feminisme yang menghadirkan masalah perjuangan perempuan terhadap ketimpangan dan dominasi laki-laki terhadap perempuan. Fokus utamanya pada posisi dan peranan karakter perempuan yang ditempatkan inferior atau di marginalkan oleh kaum laki-laki. Penelitian berikutnya dilakukan oleh peneliti dari University of Findlay, Nicole A. Diederich (2013) dengan judul penelitian The Art of Comparison: Remarriage in Anne Brontë's The Tenant of Wildfell Hall, dipenelitian ini, Diederich mengatakan bahwa novel ini merupakan novel yang membawa ide-ide tentang feminisme dan merupakan sebuah kritik terhadap hubungan kojugal yang sangat merugikan kaum perempuan pada zaman victoria. Perempuan zaman Victoria, ketika mereka diikat oleh sistem perkawinan mereka harus tunduk dan patuh kepada suami
12
mereka dan tugas mereka hanya mengurus rumah tangga, suami dan merawat anakanak mereka tanpa bisa memikirkan untuk mengembangkan kemampuan mereka. Hukum perkawinan di abad ke-19, Inggris membatasi peluang perempuan untuk bercerai, untuk mempertahankan hak asuh anak, dan untuk menjaga semua properti mereka setelah menikah. Demikian halnya yang terjadi pada karakter utama perempuan pada novel karya Anne Bronte. Didalam novel ini, Helen sebagai seorang seniman khususnya pelukis ketika menikah dengan Arthur Huntingdon, semua urusan Helen sebagai seorang seniman dihambat oleh suaminya sendiri. Helen tidak bisa mengembangkan karir keartisan, dia hanya bisa melakukan urusan rumah tangganya sebagai seorang istri yang tunduk pada kemauan suaminya dan merawatnya. Hal ini berbeda dengan ketika Helen berhubungan dengan seorang pemuda di Wildfell Hall, Gilbert Markham. Gilbert sangat menghargai hubungan perkawinan dan menghargai seorang istrinya untuk mengembangkan karir dan kemampuannya sebagai seorang artis, pelukis dan Gilbert berusaha memberikan dukungan untuk Helen untuk mengembangkan kemampuannya dan Gilbert akhirnya menjadi suami kedua Helen ketika Arthur suami pertama Helen meninggal dan seluruh harta jatuh ketangan Helen dan Helen juga membawa anaknya dalam pelarian ke Wildfell Hall. Selanjutnya, penelitian akan novelnya karya Anne Bronte yang kedua ini dilakukan oleh Çağla Narter (2014) berjudul Anne Bronte's "The Tenant of Wildfell Hall": An Opposition To The Patriarchal Society of The 19th Century Britain. Pada jurnal ini Narter mengatakan bahwa novel ini dengan beraninya pengarang
13
melakukan sebuah protes bahwa antara laki-laki dan perempuan mempunyai hak yang sama dan pengarang begitu berani melakukan perlawanan terhadap sistem patriarkhi yang didominasi oleh kaum lelaki. The Tenant adalah sebuah karya seni yang sangat penting yang mengandung benih feminisme, Sastra Era Victorian oleh Anne Bronte yang menginterogasi peran gender, menolak tunduk pada dominasi lakilaki, dan pemodelan kekuatan seorang perempuan muda untuk membebaskan diri dari batas-batas yang menghubungkan kepada suaminya. Pertanyaan tentang peran gender yang bekerja melalui argumen antara Helen dan Gilbert dalam novel. Jadi dari kelima penelitian tersebut diatas, penulis ingin menggangkat tentang bagaimana karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte melakukan De-Normalisasikan sistem sosial yang sudah normal dari sistem patriakhi yang ada dalam masyarakat zaman victoria. Penulis menggunakan konsepnya Michel foucault tentang kekuasaan (normalisasi) yang belum pernah diterapkan dalam novel ini dan penelitian sebelomnya sepanjang pengetahuan penulis.
1.5 Landasan Teori Tidak dapat dipungkiri bahwa penciptaan karya sastra merupakan tiruan dari kenyataan yang ada dalam kehidupan. Hal ini juga ditegaskan oleh Teeuw bahwa sastra tidak lahir dari kekosongan budaya (1990:11) sehingga sastra sebagai fiksi,
14
memungkinkan adanya fakta-fakta di dalamnya. Fakta- fakta social budaya inilah yang kemudian menjadi background seorang pengarang dalam proses kreatifnya. Demikian halnya Kleden (2004:8-9) mengungkapkan bahwa karya sastra tidak dapat mengelak dari kondisi masyarakat dan kebudayaan tempat karya itu dihasilkan, walaupun seorang pengarang telah dengan sengaja mengambil jarak dan melakukan transendensi secara sadar dari jebakan kondisi sosial dan berbagai masalah yang menglingkupi. Oleh karena itulah, dalam telaah sastra, tentunya tidak dapat diabaikan peranan teori sastra, karena teori sastra memiliki sifat-sifat yang terdapat dalam teksteks sastra (Jan van Luxemburg, 1984:2). Sifat-sifat tersebut tentu tidak dapat dilepaskan dari analisis sastra baik secara intrinsik maupun ekstrinsik. Adanya penguasaaun teori sastra akan mengarahkan seorang penelaah sastra untuk lebih sistematik dalam menguraikan teks sastra yang dibacanya. Untuk mengerti, memahami, dan menilai teks sastra memang tidak hanya bergantung pada teori sastra. Persoalan-persoalan yang terdapat diluar teks seperti politik, agama, budaya, psikologi, ekonomi seringkali merupakan dasar bangunan karya sastra yang diciptakan pengarang. Dengan kata lain, dapat disebutkan bahwa teks sastra sebenarnya merupakan karya yang amat kompleks, karena sastra juga merupakan refleksi kehidupan manusia dengan berbagai macam dimensi yang ada. Karena itu, mempelajari teks sastra secara sistematik, penelaah sastra tidak saja dituntut untuk menguasai teori sastra, melainkan juga disiplin ilmu lainnya seperti
15
filsafat, sosiologi, psikologi, agama, politik, dan sebagainya (Fananie Zainuddin, 2002:2-3). Oleh karena itu, dalam landasan teori, penulis menggunakan teori Michel Foucault tentang kekuasaan seperti yang penulis singgung dalam latar belakang. Banyak konsep-konsep dari Foucault yang digunakan dalam dunia sastra. Yang pertama, konsep Foucault digunakan dalam New Historicism (NH). NH adalah satu dari sekian banyak pendekatan dalam ilmu sastra yang muncul dalam dua dekade terakhir abad ke-20. NH ini digunakan pertama kali oleh Stephen Greenbatt dalam mendefiniskan kebudayaan dalam kajian NH, dan juga dalam pengantar edisi Jurnal Genre 1982. ‘Aspek politis dan ideologis yang bermain dalam produk-produk budaya, tidak bias tidak terkait dengan persoalan relasi kuasa dalam tantanan masyarakat. Dalam hal ini, kajian-kajian NH banyak bertumpu pada konsep kekuasaan Michel Foucault (Budianto 2006:7).’ Kedua, Judith Butler dalam bukunya ‘Gender Trouble’, banyak menggunakan konsep relasi kuasa Foucault dalam memaparkan konsep Gendernya. In this paper I will critique JudithButler’s recent views on gender, which I will argue, fail to be a convincing synthesis ofFreudian and Foucauldian views. In The Psychic Life of Power (1997a), Butler writesabout gender not only to deconstruct other modern theories of gender, subjectivity andthe self, but to present her own, arguably modernist, theory of gender based on anamalgam of Freud and Foucault (P.1). Kutipan penulis kutipan dari jurnal Ann Ferguson yang berjudul Butler, Subjectivity, Sex/Gender, and a Postmodern Theory of Gender. Jadi
16
dari dua uraian diatas, sangat beralasan kalau penulis menggunakan konsep Foucault dalam penelitian yang penulis angkat dalam tesis ini. Ulasan tentang kekuasaan seolah-olah tidak pernah absen dari diskusi dan perdebatan manusia sepanjang masa. Foucault adalah tokoh yang terkenal dalam feminisme, namun Foucault tidak pernah membahas tentang perempuan. Hal yang diadopsi oleh feminism dari Foucault adalah ia menjadikan ilmu pengetahuan “dominasi” yang menjadi miliki kelompok-kelompok tertentu dan kemudian “dipaksakan” untuk diterima oleh kelompok-kelompok lain, menjadi ilmu pengetahuan yang ditaklukan. Hal tersebut mendukung bagi perkembangan feminisme dan ini erat kaitan dengan objek formal yang akan penulis teliti, yakni tentang de-normalisasi sistem kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novelnya The Tenant of Wildfell Hall. Jika berbicara mengenai kekuasaan merupakan satu hal menarik yang tidak pernah selesai dibahas. Hal ini telah dimulai sejak zaman Yunani kuno dan terus berlangsung sampai zaman ini. Para filsuf klasik pada umumnya mengaitkan kekuasaan dengan kebaikan, kebajikan, keadilan dan kebebasan. Kuasa adalah konsep Foucault yang paling unik, sekaligus sulit. Foucault tidak pernah memberi definisi yang ketat mengenai apa yang dimaksudnya dengan kekuasaan. Ia hanya menjelaskan bagiamana kuasa bekerja. Baginya kuasa tidaklah represif dan negatif, kuasa lebih merupakan sesuatu yang produktif dan bekerja dengan apa yang
17
disebutnya sebagai regulasi dan normalisasi. Pemikirannya mengenai kuasa, sering kali disebut sebagai kritik paling tajam terhadap Marxisme. Berbeda dengan Marx, Foucault melihat kuasa bukanlah sebagai milik melainkan strategi. Kuasa tidak dapat dialokasikan tetapi terdapat dimana-mana, kuasa tidak selalu bekerja melalu penindasan dan represi, tetapi terutama melalui normalisasi dan regulasi. Terakhir, kuasa tidaklah bersifat destruktif melainkan produktif. Konsep kekuasaan Foucault dipengaruhi oleh Nietzsche. Foucault menilai bahwa filsafat politik tradisional selalu berorientasi pada soal legitimasi. Kekuasaan adalah sesuatu yang dilegitimasikan secara metafisis kepada negara yang memungkinkan untuk negara dapat mewajibkan semua orang untuk mematuhi. Menurut Foucault kekuasaan adalah suatu dimensi dari relasi. Menurut pendapat Foucault, kehendak untuk kebenaran sama dengan kehendak untuk berkuasa. Peradaban Foucault melukiskan bagaimana kegilaan itu didefinisikan dari berbagai kelompok yang mendominan pada masa tertentu. Dalam tulisan ini, penulis mencoba menguraikan konsep kekuasaan Michel Foucault berdasarkan beberapa karya utama yang ia tulis semasa hidupnya. Ada beberapa hal yang akan penulis tulis dalam mengkonsepkan tentang kekuasaan dari pemikiran Michel Foucault: Normalisasi, Konsep Kekuasaan, dan De-normalisasi Kekuasaan. Penulis juga akan menguraikan definisi dari ideologi. Karena di BAB III, penulis akan menguraikan analisa tentang ideologi pengarang.
18
1.5.1 Definisi Konsep Kekuasaan Kalau bicara tentang kekuasaan, banyak sekali orang-orang mendefinisikan kekuasaan itu seperti apa. Berikut ini, penulis mencoba memberikan pengertian tentang kekuasaan menurut beberapa para ahli. Weber (dalam Rafael, 2001:190) mendefinisikan kekuasaan sebagai “kemungkinan bagi seseorang untuk memaksakan orang-orang lain untuk berprilaku sesusai kehendaknya”. Kekuasaan adalah salah satu jenis-jenis intreaksi sosial, namun jelas sekali adanya perbedaan-perbedaan penting diantara tipe-tipe kekuasaan yang dijalankan manusia. Menurut Weber (dalam Rafael, 2001:191) kekuasan akrab dengan istilah coercion, (paksaan). Kerap kali mereka atau seseorang menggunakan tipe kekuasaan yang memiliki pengaruh. Memperoleh pengaruh bisa didapat dari kekayaan, popularitas, daya tarik, pengetahuan, keyakinan, atau karena kualitas tertentu yang dikagumi oleh orangorang disekitar. Konsep ”kekuasaan” merujuk kepada kemampuan seseorang atau kelompok manusia untuk mempengaruhi tingkah-lakunya seseorang atau kelompok lain sedemikian rupa sehingga tingkah laku itu menjadi sesuai dengan keinginan dan tujuan dari orang yang mempunyai kekuasaan itu (Budiardjo, 2000:35). Dengan demikan konsep ‘kekuasaan’ itu sangat luas, karena setiap manusia pada hakikatnya merupakan subyek dan sekaligus sebagai obyek kekuasaan. Dalam
konteks
perilaku
organisasi,
John
R.
Schemerhorn
et.al.
mendefinisikan kekuasaan sebagai “...kemampuan yang mampu membuat orang melakukan apa yang kita ingin atau kemampuan untuk membuat hal menjadi 19
kenyataan menurut cara yang kita inginkan (Schemerhorn,et all, 2002:173).” Kekuasaan biasanya dikaitkan dengan konsep kepemimpinan, di mana kepemimpinan merupakan mekanisme kunci dari kekuasaanguna memungkinkan suatu hal terjadi. Richard L. Daft mengidentifikasi bahwa kekuasaan sebagai kekuatan di dalam organisasi sulit untuk dicerap, tidak bisa dilihat, tetapi efeknya dapat dirasakan. Daft kemudian juga menyatakan kekuasaan sebagai kemampuan potensial seseorang (atau departemen) untuk mempengaruhi orang (atau departemen) lain untuk menjalankan perintah atau melakukan sesuatu yang tidak bisa mereka tolak. Daft menyebut definisi lain dari kekuasaan yang lebih menekankan pemahaman bahwa kekuasaan adalah kemampuan untuk meraih tujuan atau hasil sebagaimana dikehendaki pemegang kekuasaan. Pencapaian hasil yang dikehendaki adalah dasar utama dari definisi kekuasaan. Definisi kekuasaan dari Daft sendiri adalah “... the ability of one person or department in an organization to influence other people to bring about desired outcomes.” Kekuasaan berpotensi untuk mempengaruhi orang lain dalam organisasi dengan sasaran memperoleh hasil yang dikehendaki para pemegang kekuasaan (Daft, 2010:497). Kuasa sebagai sesuatu yang tidak dapat dimiliki berarti ia tidak dapat diperoleh, disimpan, dibagi, ditambah, atau dikurangi. Kuasa bukan milik seorang kepala negara, yang diperolehnya dari rakyat, dan bisa begitu saja ia delegasikan kepada mentri-mentrinya. Sehabis masa jabatannya, habis pula kuasa yang ada padanya. Kuasa dalam pandangan Foucault tidaklah demikian, baginya “kuasa dipraktekan dalam suatu ruang lingkup dimana ada banyak posisi yang secara 20
strategis berakitan satu sama lain dan senantiasa mengalami pergeseran” (Bertens, K: 2001 P.354). Kuasa oleh karenanya menjadi sangat cair, setiap orang berpotensi memilikinya. Tidak hanya orang-orang dalam jabatan struktural, kuasa juga bekerja bahkan pada level terkecil. Oleh karenanya secara sekaligus kuasa tidak dapat dialokasikan di satu tempat, ia tersebar dimana-mana, ia lebih merupakan relasi diantara subjek. Kuasa tidak berbentuk negara ataupun organisasi. Foucault lebih melihat kuasa sebagai efek, seperti halnya angin yang tidak tampak langsung, namun dapat dirasakan akibatnya. Jadi dari beberapa definisi kekuasaan diatas, penulis menilai bahwa kekuasaan yang didefinisikan tersebut lebih bersifat memaksakan suatu kehendak terhadap orang yang dikuasai. Atau dengan kata lain, bagaimana kemauan seseorang dapat di ikuti orang lain serta mempengaruhinya, sehingga penulis menilai definisi kekuasaan seperti itu bersifat sebagai suatu yang negative dan destruktif. Penulis lebih cendrung setuju dengan definisi kekuasaan menurut Foucault bahwa kuasa itu tersebar dimanamana, atau bersifat cair, berarti setiap orang hanya bisa mempraktekannya. Sehingga penulis menyimpulkan bahwa kuasa yang terbesar, ditangan orang-orang yang memiliki modal yang lebih dari semua orang. Modal berupa kekayaan yang lebih banyak dan juga modal pengetahuan yang lebih luas sehingga mereka dapat melakukan apa yang mereka inginkan dalam memenuhi keinganan mereka. Disamping itu juga, Kritik Foucault terhadap kuasa dalam terminologi Marxis, tidak hanya pada bagimana kuasa bekerja. Akan tetapi juga pada penilaian
21
terhadap kuasa. Foucault tidak pernah menganggap kuasa sebagai sesuatu yang negatif dan destruktif, seperti yang selama ini diandaikan oleh para pemikir Marxis. Baginya kuasa bersifat produktif, kuasa selalu merangsang lahirnya pengetahuan baru. Kuasa bekerja lewat regulasi dan normalisasi, lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan. Aturan yang menabukan perempuan untuk berbicara mengenai sex, adalah salah satu bentuk kuasa yang bekerja dalam masyarakat. Efeknya dapat dilihat dari ekslusi terhadap perempuan yang berbicara sex secara gamblang, biasanya mereka akan dicap sebagai bukan perempuan “baikbaik”. Inilah yang dimaksud Foucault dengan normalisasi. Pembicaraan kuasa dalam pengertian Foucault, mau tidak mau akan menyeret pada apa yang disebut Foucault sebagai pengetahuan. Bagi Foucault, hubungan pengetahuan dengan kekuasaan selalu bersitegang, bersilangan, terkadang malah identik. Kuasa dan pengetahuan adalah sesuatu yang tidak dapat dipisahkan. Kuasa menemukan bentuknya dalam pengetahuan. Berbeda dengan analisis Marxis yang masih menyisakan kebenaran dalam pengetahuan, Foucault melangkah lebih jauh dari itu, baginya setiap pengetahuan pasti mengandung kuasa dan setiap kekuasaan produktif menghasilkan pengetahuan. Artinya tidak ada kebenaran, bahkan dalam ilmu pengetahuan yang bersifat ilmiah sekalipun. Biologi, ekonomi, komunikasi, dan banyak disiplin ilmu modern lainnya, tidak lebih dari perwujudan kuasa yang fungsinya membentuk subjek. Klaim ilmiah yang selama ini menjadi pembenaran
22
akan sifat pengetahuan yang netral, bagi Foucault adalah strategi kuasa. “Pengetahuan adalah cara bagaimana kekuasaan memaksakan diri kepada subyek tanpa memberi kesan ia datang dari subyek tertentu” (Haryatmoko, 2003: 225). Foucault kemudian melanjutkan analisanya mengenai kuasa dengan mengatakan bahwasanya sasaran dari kuasa adalah tubuh dan kepatuhan. Apa yang dimaksud Foucault dengan tubuh dan kepatuhan sebagai sasaran kekuasaan dapat dilihat dalam bukunya Discipline and Punish. Dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Kendati demikian, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan.
23
1.5.2 Normalisasi Dalam jurnal research online yang berjudul Retooling the Corporate Brand: A Foucauldian perspective on Normalization and differentiation karya S. R. Leitch (2007: 8) menjelaskan bahwa "Normalization was a central theme within Foucault’s work, much of which focused on the creation of institutions to accommodate those who were deemed abnormal and who therefore should be excluded from society. The insane, the criminal, the sexually deviant and the unhealthy, along with the asylums, prisons, legal systems and sanatoriums created to identify and isolate them from normal citizens, were all the subjects of major works by Foucault. He did not single these systems out because of their prominence within society but because of what he saw as their centrality to the relations of power underpinning society. He stated that: To put it very simply, psychiatric internment, the mental normalisation of individuals, and penal institutions have no doubt a fairly limited importance if one is only looking for their economic significance. On the other hand, they are undoubtedly essential to the general functioning of the wheels of power.'' Dari kutipan diatas, normalisasi merupakan suatu proses penciptaan ide-ide untuk menampung orang-orang yang dianggap tidak normal (abnormal) dalam masyarakat, seperti orang gila, penjahat dan orang yang menyimpang secara seksual dan tidak sehat kedalam sebuah wadah lembaga. Wadah yang merupakan hasil karya Foucault seperti rumah sakit, penjara, sistem hukum dan sanatorium, yang diciptakan untuk mengidentifikasi dan mengisolasi mereka dari warga biasa. Hal ini bukan
24
merupakan sistem kekuasaan tunggal, sistem karena keunggulan mereka dalam masyarakat
sebagai hubungan pondasi kekuasaan dalam masyarakat dan juga
dianggap penting untuk fungsi umum roda kekuasaan. Disamping itu juga S. R. Leitch menjelaskan Foucault melihat normalisasi sebagai proses yang tidak hanya bertugas untuk menandai mayoritas 'kami' dari minoritas 'mereka' tapi keberadaan mereka untuk mendukung hubungan kekuasaan yang ada dalam masyarakat. Melalui karyanya tentang normalisasi, Foucault berpendapat bahwa kekuasaan dan pengetahuan saling konstitutif. Ia menentang pandangan yang mengatakan bahwa pengetahuan adalah kekuasaan, pandangan yang melihat pengetahuan sebagai sumber daya yang langka yang diberikan kekuasaan pada orang-orang yang memilikinya. Sebaliknya, Foucault berpendapat bahwa "pelaksanaan kekuasaan terus-menerus menciptakan pengetahuan dan, sebaliknya, pengetahuan terus-menerus menyebabkan efek pada kekuasaan." Pengetahuan adalah yang menciptakan kekuasaan dan membuat kekuasaan untuk berkreasi seperti yang terlihat pada kutipan dibawah ini: Foucault saw normalization as a process that not only served to mark out the majority of ‘us’ from the minority of ‘them’ but which existed to support the power relations of society. Through his work on normalization, Foucault came to the view that power and knowledge were mutually constitutive. He challenged the accepted view that knowledge was power, a view which saw knowledge as a scarce resource that conferred power on those who possessed it. In contrast, Foucault argued that ‘The exercise of power perpetually creates knowledge and, conversely, knowledge constantly induces effects of power’. Knowledge was, then, both a creator of power and a creation of power. (Leitch. S. R, 2007: 9)
25
Dari kutipan diatas, dijelaskan Normalisasi mengacu pada proses-proses sosial melalui ide-ide dan tindakan yang terlihat sebagai "sesuatu yang normal" dan dijadikan sebagai granted atau 'yang bersifat alami' untuk mengontrol masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Konsep normalisasi ditemukan dalam karya Michel Foucault, terutama Discipline and Punish, dalam konteks disiplin kekuasaan. Foucault menggunakan istilah normalisasi untuk menciptakan sebuah norma yang ideal dari perilaku-misalnya seorang prajurit ideal harus berdiri tegap, memiliki perawakan gagah, berdada lebar, berperut ramping, dan selalu berjalan dengan langkah-langkah yang tegap. Dengan kata lain, Foucault menjelaskan bahwa normalisasi adalah salah satu dari sebuah strategi untuk mengerakkan kontrol sosial secara maksimum dengan kekuatan minimum, yang Foucault sebut dengan "disiplin kekuasaan". Daya Disiplin muncul selama abad ke-19, datang untuk digunakan secara luas di barak militer, rumah sakit, panti-panti, sekolah, pabrik, kantor, dan sebagainya. Oleh karenanya semua itu menjadi aspek penting dari struktur sosial dalam masyarakat modern Didalam bukunya Foucault tentang Sejarah Seksualitas: Seks dan Kekuasaan yang diterjemahkan oleh Rahayu S. Hidayat (1997:4) dijelaskan bahwa represi, sejak zaman klasik, merupakan dasar sesungguhnya yang menghubungkan dengan kekuasaan, pengetahuan, dan seksualitas, namun tidak semudah itu membebaskan diri darinya. Kita harus membayar mahal, dengan melanggar hukum, menanggalkan berbagai hal yang tabu, menggunakan kata-kata, membiarkan seksual tampil kembali
26
dalam kenyataan, dan terutama menyusun kembali ekonomi kekuasaan yang baru sama sekali, karena setiap letusan kebenaran terkait pada kondisi politik...maka konformisme Freud diserang. Psikoanalisis dituduh sebagai alat normalisasi. Jadi dari tiga uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa normalisasi mengandung arti sebuah proses melalui ide-ide atau tindakan yang normal dan abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman bahkan sampai pada kematian yang ditampung dalam suatu wadah lembaga. Kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengetahuan. Disisi lain, normalisasi merupakan hukuman disiplin dan hal ini berlawanan dengan hukuman pengadilan yang mengacu pada sejumlah badan hukum yang harus dihapal. Jadi norma muncul melalui disiplin-disiplin. Normalisasi menjadi perangkat kuasa seperti pemantauan. Kuasa normalisasi menghasilkan keserupaan tetapi normalisasi juga mengindividualisasikan individu dengan menciptakan jarak yang membatasi, menentukan tingkat, menentukan spesialisasi dan mengubah perbedaan menjadi berguna dengan membuat cocok yang satu terhadap yang lain. Dalam bentuk aturan norma berfungsi menampilkan seluruh bayangan perbedaan individual didalam sistem kesamaan formal.(Foucault, 1997:98)
27
1.5.3 De-Normalisasi Kata De- penulis pinjam dari istilah de-institusional (lepas dari kelembagaan) dalam buku karya Foucault disiplin tubuh (1997: 115), sehingga pengertian Denormalisasi berarti lepas dari normalisasi. Kata normalisasi yang telah penulis jelaskan sebelumnya, mengandung pengertian yakni sebuah proses melalui ide-ide atau tindakan yang normal dan abnormal yang berhubungan dengan kekuasaan yang bekerja lewat regulasi dan normalisasi. Lewat normalisasi dan regulasilah masyarakat digerakkan dan adanya sanksi bagi masyarakat yang melanggarnya berupa hukuman. Kekuasaan tersebut juga tidak terlepas dari pengetahuan. Seperti yang telah penulis uraikan diatas bahwa Foucault menjelaskan kuasa dan pengetahuan saling berkaitan erat satu sama lain. Dia meninggalkan anggapan lama yang memandang bahwa pengetahuan hanya berkembang diluar wilayah kekuasaan. Menurut Foucault, antara kekuasaan dan pengetahuan justru terdapat relasi yang saling memperkembangkan. Tidak ada praktek pelaksanaan kuasa yang tidak memunculkan pengetahuan, dan tidak ada pengetahuan yang didalamnya tidak mengandung relasi kuasa. (Foucault, 1997:30) Berdasarkan uraian di atas maka dalam penelitian ini, penulis akan mengacu pada bentuk-bentuk usaha karakter utama perempuan dalam mendobrak sistem kekuasaan yang telah dianggap normal pada masa Victoria. Penulis juga akan menguraikan tujuan pengarang dalam menjelaskan de-normalisasi dari sistem kekuasaan tersebut dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte.
28
Penulis dalam ini menggunakan konsep normalisasi dan kekuasaan yang diusung oleh Foucault untuk memperoleh kebebasan dan jauh dari segala bentuk penindasan. Pada uraikan tersebut sudah dijelaskan bahwa dalam berbagai bentuk strateginya kuasa berhasil mendapatkan kepatuhan dari subjek. Seperti yang ditunjukkan Foucault dalam Sejarah Seksualitas, konstelasi kuasa agama dan negara menghendaki kepatuhan seksualitas subjek dalam rangka mengatur populasi dan distribusi kekayaan. Namun, subjek dalam pandangan Foucault bukan robot yang manut pada setiap kuasa yang coba membentuknya. Konsekuensi dari pengertian kuasa yang dibangun Foucault, dimana kuasa tidak bisa dimiliki, artinya cair atau tersebar, melahirkan konsepsi resistensi. Oleh karenanya subjek dalam pemikiran Foucault adalah sesuatu yang aktif, ia bebas untuk memilih wacana atau kuasa mana yang akan digunakannya. Bagi Foucault komponen kritis dari kuasa adalah kebebasan, karena kuasa hanya dapat dikatakan menciptakan efek jika objek yang terkena kuasa memiliki kemampuan untuk melawan. Didalam novel ini, Helen mencoba untuk melawan atau mendobrak sistem kekuasaan yang sangat kuat dan dianggap normal pada masa Victoria. Sistem yang menganggap bahwa perempuan harus tunduk pada kekuasaan laki-laki. Karena Helen seorang pelukis maka secara tidak langsung dia memiliki relasi kuasa untuk melakukan resistensi terhadap kekuasaan yang mendominasi dirinya. Atau dengan kata lain, Helen melakukan DeNormalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal pada masa itu. Helen mempunyai hak untuk diperlakukan selayaknya manusia dan menentukan nasibnya
29
untuk diperlakukan sama dengan laki-laki; dalam menentukan jodohnya, sebagai seorang istri yang ingin diperlakukan selayaknya seorang istri dan seorang ibu yang mempunyai hak yang sama dalam mendidik anaknya. Helen adalah seorang artis dalam hal ini pelukis yang otomatis punya pengetahuan untuk menentukan nasibnya sendiri dan berkuasa pada dirinya sendiri, namun tidak terlepas dari kodratnya sebagai perempuan.
1.5.4 Konsep Dan Pengertian Ideologi 1.5.4.1 Arti Kata Ideologi Kata Ideologi berasal dari bahasa Yunani yakni idea dan logos, yang artinya gagasan atau ide dan ilmu atau pengetahuan. Sehingga secara sederhana dapat diartikan sebagai ilmu dan pengetahuan tentang gagasan atau ide manusia. Perlu diketahui bahwa defenisi ideologi sendiri sangat beragam dan nampaknya agak sulit untuk menentukan satu konsep tunggal. Akar kata ideology dapat dilacak dalam pemikiran tokoh klasik seperti Plato. Walaupun tidak secara implisit berbicara tentang ideologi, pemikiran Plato tentang dunia idea dapat disetarakan dengan konsep ideologi. Dunia idea merupakan sebuah gambaran tentang konsep ideal yang diingikan manusia dalam kehidupannya. Kerangka pemikiran Plato berangkat dari konsep tentang kebenaran sejati, yang masuk bersama pengetahuan melalui jiwa. Sedangkan badan merupakan sesuatu 30
yang bersifat fana, dan hancur bersama hancurnya materi, berbeda dengan idea atau pengetahuan ia bersifat abadi. Selanjutnya, istilah ideologi secara ilmiah, digunakan pertama kali oleh Destutt de Tracy pada akhir abad ke-18, untuk mendefinisikan "sains tentang ide". Destutt de Tracy mengatakan bahwa “ideologi adalah studi terhadap ide–ide atau pemikiran tertentu”. Sementara, Descartes mengatakan “ideologi adalah inti dari semua pemikiran manusia”; inilah yang disebut dengan ideologi dalam pengertian. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir untuk melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia. 1.5.4.2 Pengertian Ideologi Ideologi merupakan cerminan cara berfikir orang atau masyarakat yang sekaligus membentuk orang atau masyarakat itu menuju cita-cita yang mereka inginkan. Ideologi merupakan sesuatu yang dihayati dan diresapi menjadi suatu keyakinan. Ideologi merupakan suatu pilihan yang jelas membawa komitmen (keterikatan) untuk mewujudkannya. Semakin mendalam kesadaran ideologis seseorang, maka akan semakin tinggi pula komitmennya untuk melaksanakannya. Secara etimologis (asal-usul bahasa) ideologi berarti ilmu tentang gagasan-gagasan atau ilmu yang mempelajari asal-usul ide. Ada pula yang menyatakan ideologi sebagai seperangkat gagasan dasar tentang kehidupan dan masyarakat, misalnya pendapat yang bersifat agama ataupun politik.
31
Machiavelli menyebutkan “ideologi adalah sistem perlindungan kekuasaan yang dimiliki oleh penguasa”. Thomas Hobbes, mengatakan “ideologi adalah suatu cara untuk melindungi kekuasaan pemerintah agar dapat bertahan dan mengatur rakyatnya. Francis Bacon mendefisikan ideologi sebagai sintesa pemikiran mendasar dari suatu konsep hidup. Karl Marx mengatakan ideologi merupakan alat untuk mencapai kesetaraan dan kesejahteraan bersama dalam masyarakat. Napoleon bahkan menyebutkan ideologi keseluruhan pemikiran politik dari rival–rivalnya. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan. Ideologi dapat dianggap sebagai visi yang komprehensif, sebagai cara memandang segala sesuatu (bandingkan Weltanschauung), secara umum atau sekelompok ide yang diajukan oleh kelas yang dominan pada seluruh anggota masyarakat. Ideologi adalah kumpulan ide atau gagasan yang dirumuskan melalui proses berpikir untuk melahirkan aturan-aturan dalam kehidupan manusia. Tujuan utama dibalik ideologi adalah menawarkan perubahan melalui proses pemikiran yang normatif. Ideologi adalah sistem pemikiran abstrak (tidak hanya sekadar pembentukan ide) yang diterapkan pada masalah publik, sehingga membuat konsep ideologi dapat dianggap menjadi inti politik. Secara implisit, setiap pemikiran politik mengikuti sebuah ideologi walaupun tidak diletakkan sebagai sistem berpikir yang eksplisit.
32
Karl
Marx
mengartikan
Ideologi
sebagai
pandangan
hidup
yang
dikembangkan berdasarkan kepenti-ngan golongan atau kelas sosial tertentu dalam bidang politik atau sosial ekonomi. Gunawan Setiardjo mengemukakan bahwa ideologi adalah seperangkat ide asasi tentang manusia dan seluruh realitas yang dijadikan pedoman dan cita-cita hidup.
Ramlan Surbakti mengemukakan ada dua pengertian Ideologi yaitu Ideologi secara fungsional dan Ideologi secara struktural. Ideologi secara fungsional diartikan seperangkat gagasan tentang kebaikan bersama atau tentang masyarakat dan negara yang dianggap paling baik. Ideologi secara fungsional ini digolongkan menjadi dua tipe, yaitu Ideologi yang doktriner dan Ideologi yang pragmatis. Ideologi yang doktriner bilamana ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi itu dirumuskan secara sistematis, dan pelaksanaannya diawasi secara ketat oleh aparat partai atau aparat pemerintah. Sebagai contohnya adalah komunisme. Sedangkan Ideologi yang pragmatis, apabila ajaran-ajaran yang terkandung di dalam Ideologi tersebut tidak dirumuskan secara sistematis dan terinci, namun dirumuskan secara umum hanya prinsip-prinsipnya, dan Ideologi itu disosialisasikan secara fungsional melalui kehidupan keluarga, sistem pendidikan, system ekonomi, kehidupan agama dan sistem politik.
Di dalam feminisme, ideologi mengajarkan seseorang untuk menciptakan persamaan hak antara pria dan wanita dengan cara pemerataan dan kesetaraan gender.
33
Secara garis besar dapat disimpulkan bahwa ideologi adalah pemikiran yang mencakup konsepsi mendasar tentang kehidupan dan memiliki metode untuk merasionalisasikan pemikiran tersebut berupa fakta, metode menjaga pemikiran tersebut agar tidak menjadi absurd dari pemikiran-pemikiran yang lain dan metode untuk menyebarkannya.
Dengan demikian secara umum dapat ditarik kesimpulan bahwa Ideologi adalah kumpulan gagasan-gagasan, ide-ide, keyakinan-keyakinan yang menyeluruh dan sistematis, yang menyangkut berbagai bidang kehidupan manusia.
1.6 Metode Penelitian
Metode penelitian yang penulis lakukan adalah dengan cara memanfaatkan studi kepustakaan yaitu berupa pencarian dari sumber-sumber data tertulis. Penelitian ini dibedakan atas dua objek yaitu objek formal dan material. Adapun hal yang pertama yang penulis lakukan adalah menentukan objek material. Objek material berkaitan dengan materi penelitian, wilayah penelitian, dan lapangan penelitian. Penulis mencari novel yang akan di analisis, Kemudian penulis melakukan pembacaan terhadap novel yang dianalisis atau dengan membaca sinopsis dari novel yang akan penulis analisis yaitu novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte dan mencari masalah atau topik apa yang akan diangkat sebagai topik yang akan teliti. Setelah menentukan kajian penelitian, baru setelah itu penulis menentukan 34
objek formal. Objek formal berkaitan dengan sudut pandang yang digunakan dalam usaha penelitian untuk memahami objek material. Objek formalnya yaitu DeNormalisasi sistem kekuasaan pada masa Vicotria yang dianggap normal dalam novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte.
Dalam mendapatkan hasil analisis yang maksimal. Penulis melakukan teknik kajian pustaka untuk mendapatkan data-data yang akan mendukung penulis dalam mengkaji objek yang akan diteliti. Sumber-sumber data diperoleh dari buku-buku, jurnal, majalah, web internet, dan laporan-laporan penelitian seperti disertasi, tesis, dan skripsi serta laporan ilmiah lainnya yang memiliki relavansi dengan penelitian ini. Buku-buku yang terkait dengan penelitian seperti buku terjemahan karyanya Michel Foucault tentang Normalisasi yang ada kaitannya dengan kekuasaan dan pengetahun serta buku-buku yang terkait dengan penelitian dan biograpi pengarang dan segala sesuatu yang erat kaitannya dengan ideologi pengarang dan tujuan pengarang dalam menulis karyanya; kemudian penulis melakukan pemilihan sampel atau data yang akan diteliti dengan mencatat beserta halamannya dikertas data, yakni teks-teks yang diindentifikasi mengandung unsur yang akan dikaji; setelah itu penulis melakukan analisis terhadap data dilakukan melalui strategi pembacaan dengan menggunakan teori kekuasaan Michel Foucault dan di dukung dengan buku-buku feminisme yang mendukung penulis menganalisa novel The Tenant of Wildfell Hall.
35
Dalam melakukan penelitian kualitatif menjadi prosedur analisis dan interpretasi sebagai teknik memahami sampling yang bersifat nonstatistik— matematik untuk mendapatkan temuan atau teori. Hasil temuan diperoleh dari datadata material yang dikumpulkan berupa teks-teks sastra, yang selanjutnya akan disajikan ke dalam bentuk tulisan deskriptif (Stauss dan Corbin, 2003, hal. 4-7). Teks-teks yang berkaitan dengan bentuk bentuk De-Normalisasi sistem kekuasaan yang dianggap normal yang dilakukan karakter perempuan, Helen dalam novel The Tenant of Wildfell Hall dan tujuan pengarang dalam usahanya menjelaskan denormalisasi kekuasaan tersebut lewat novel The Tenant of Wildfell Hall. Teks-teks tersebut terwujud dalam narasi, dialog, dan monolog oleh tokoh atau narrator. Kemudian yang terakhir, penulis mencoba menguraikannya dalam bentuk deskriptif.
1.7 Sistematika Penulisan
Penelitian "De-Normalisasi Kekuasaan pada Novel The Tenant of Wildfell Hall karya Anne Bronte akan disajikan dalam empat bab.
Bab I berisikan latar belakang, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan.
Bab II akan membahas bentuk-bentuk De-Normalisasi kekuasaan yang dilakukan karakter utama perempuan dalam novel The Tenant of Wildfell Hall dari
36
volume satu sampai dengan volume tiga. Mulai dari karakter utama perempuan yang hidup berdua bersama anaknya, ketika Helen tinggal bersama bibi dan pamannya yang kemudian akan di jodohkan serta kehidupannya ketika hidup dalam pelarian dan kembali ke rumah suaminya dan bersama lelaki pilihannya. Penulis juga menguraikan tentang kondisi sosial masyarakat Inggris Era Victoria
Bab III mengemukakan mengenai tujuan pengarang dalam usaha untuk menjelaskan de-normalisasi kekuasaan lewat novel The Tenant of Wildfell Hall. Disini penulis menguraikan pandangan pengarang tentang sistem perjodohan, hubungan konjugal, dan single parent.
Bab IV merupakan kesimpulan, di bab terakhir ini penulis mencoba menarik kesimpulan apa yang didapat dari hasil analisis. Serta penulis juga melampirkan biograpi dari pengarang itu sendiri.
37
Bagan Langkah Kerja Penelitian
Pembacaan Teori Normalisasi
Karya Sastra
Michel Foucault
Kekuasaan
The Tenant of Wildfell Hall by
Pengetahuan
Anne Bronte
De---Normalisasi Sistem Kekuasaan Era Victoria
1. De-Normalisasi Sistem Perjodohan. 2. De-Normalisasi Hubungan Konjugal dari Normalisasi. 3. Existensi Helen dalam Pelarian dan menjadi Single Parent.
38