BAB 1 PENDAHULUAN
1.1.
Latar Belakang Fenomena kaum perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di
daerah Yogyakarta cukup memprihatinkan dan tidak terlepas dari permasalahan kekerasan terhadap perempuan. Secara empiris jumlah perempuan yang tercatat korban kekerasan dalam rumah tangga menurut Badan Pusat Statistik Yogyakarta yang bersumber pada Dinas Sosial Yogyakarta pada tahun 2011 adalah 934 kasus KDRT se DIY dan 30% diantaranya terjadi di wilayah Kabupaten Sleman. [diakses melalui http://yogyakarta.bps.go.id. Tanggal 25 November 2011]. Hal ini ditunjukkan dalam kehidupan masyarakat, kekerasan yang terjadi dalam rumah tangga dianggap sebagai hal yang biasa dan wajar. Kemudian tindakan tersebut tercermin dalam kasus penganiayaan terhadap istri yang diartikan sebagai bentuk pengajaran dan kekerasan itu akan berlanjut terus menerus tanpa ada seorangpun yang mencegahnya. Kekerasan dalam lingkup rumah tangga atau keluarga banyak dilakukan oleh seorang suami, dengan melakukan kekerasan terhadap istrinya dengan memukul atau menampar istrinya, menendang, dan memaki-maki dengan ucapan yang kotor/kasar. Kultur budaya masyarakat yang mengedepankan laki-laki dapat dipastikan posisi perempuan bersifat subordinasi terhadap laki-laki. Segala bentuk kekerasan yang terjadi bagi perempuan selalu mempunyai legitimasi kultural masyarakat, karena memang posisi perempuan lebih rendah dari laki-laki.
1
Pencegahan kekerasan dilakukan secara terus-menerus dengan diberlakukannya sistem hukum yang diharapkan dapat mengatasi masalah tindak kekerasan terhadap Perempuan (Katjasungkana, 2002:161). Perempuan
yang
menjadi
korban
kekerasan
karena
adanya
ketidakseimbangan relasi antara laki-laki dan perempuan dalam relasi pasangan perkawinan, keluarga, atau hubungan intim. Pasal 1 UU Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan, menyatakan bahwa dasar perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga atau rumah tangga yang bahagia (Saraswati, 2004:26-28). Kenyataannya yang terjadi di tengah masyarakat justru sebaliknya, kekerasan terhadap perempuan masih banyak dilakukan di berbagai daerah maupun di kota-kota besar. Perempuan yang menjadi korban kekerasan dalam rumah tangga cenderung memilih diam untuk mempertahankan nilai-nilai keharmonisan keluarga tersebut. Akibatnya perempuan juga cenderung memilih penyelesaian secara perdata melalui perceraian daripada menuntut pelaku kekerasan. Terjadinya kekerasan dalam keluarga akan menimbulkan dampak yang negatif pada anak bahkan keluarga itu sendiri, seperti istri menuntut untuk bercerai karena tidak tahan akan perilaku suami yang keras dan kasar. Perbedaan pertentangan dan kekecewaan baik dalam segi materi, mental maupun seksual, telah membentuk dinding pemisah antara suami dan istri (Gunarsa, 2007:89).
2
Ketidaksesuaian ini memberi kesempatan bagi terbentuknya hubungan segitiga atau lebih. Hubungan yang tidak wajar lagi antara beberapa individu ini memperbesar dinding pemisah dan merusak keutuhan keluarga. Penderitaan ini akan lebih dirasakan oleh kaum istri, kerena istri merupakan penampung emosi dari suami. Padahal sesuai dengan Kitab Undang-undang Hukum Pidana nomor 23 tahun 2004 tentang penghapusan kekerasan dalam rumah tangga, segala kekerasan dalam bentuk penganiayaan yang terjadi dilingkungan keluarga maupun dalam lingkungan masyarakat merupakan suatu pelanggaran hukum sebagaimana yang telah diatur di dalamnya. Apabila melihat tingkat kekerasan terhadap perempuan dalam rumah tangga yang cukup tinggi, maka diperlukannya pembinaan yang dilakukan oleh pemerintah, melalui LSM yang bergerak dalam bidang tersebut. Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta yang berada di bawah Departemen Sosial, punya tanggung jawab dalam melaksanakan pembinaan terhadap remajaremaja yang diterlantarkan oleh keluarganya dan perempuan Kekerasan Dalam Rumah Tangga (KDRT). Karena keterbatasan dalam dana dan kemampuan sumber daya, maka remaja-remaja dan perempuan gangguan mental psikologis di Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta belum semuanya mendapatkan pembinaan. Oleh karena itu Dinas Sosial masih membutuhkan dukungan dan kerja sama dari berbagai pihak baik individu maupun kelompok untuk memberdayakan perempuan korban KDRT. Karena masalah ini merupakan masalah bersama seluruh lapisan masyarakat. Saat ini organisasi-organisasi sosial yang telah
3
bekerja sama dalam
berpartisipasi menangani masalah anak terlantar seperti
lembaga swadaya masyarakat, maupun panti sosial. Kedepannya kebijaksanaan penanganan diarahkan pada upaya pemberian pelayanan
kesejahteraan
sosial
dengan
melaksanakan
penyantunan
dan
pengentasan kaum bagi remaja-remaja terlantar, memberi pelayanan fisik, mental dan sosial pada anak asuh sehingga memperoleh kesempatan yang luas, tepat dan memadai bagi perkembangan kepribadiannya. Dengan kebijaksanaan ini diharapkan mereka sebagai bagian generasi penerus cita-cita bangsa dan sebagai insan akan turut serta aktif di dalam bidang pembangunan nasional, kebijaksanaan tersebut ditempuh melalui pendekatan dengan sistem panti dan luar panti, seperti yang dilakukan oleh Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta. Dalam penyelesaian permasalahan kekerasan dalam rumah tangga terhadap perempuan Panti Sosial Karya Wanita bekerja sama dengan LSM (NGO) yang memiliki peranan melakukan penanganan dalam membantu menyelesaikan memecahkan suatu masalah kekerasan terhadap perempuan. Lembaga Swadaya Masyarakat (LSM)
yang bergerak di bidang gender adalah “Rifka Annisa”.
Mereka menyerukan, agar kaum lelaki menghentikan kekerasan terhadap kaum perempuan. kekerasan terhadap perempuan, khususnya dalam keluarga. Dan kaum laki-laki diidentikkan sebagai akar permasalah tersebut. Padahal, secara subtantif, kaum laki-laki adalah sosok yang mampu melindungi dan mengayomi kaumperempuan. Pihak LSM “Rifka Annisa” membantu di Panti Sosial Karya Wanita, agar program permberdayaan perempuan berjalan secara efektif, karena tanpa bantuan pihak LSM (swasta), Panti Sosial Karya Wanita (pemerintah)
4
kurang ‘greget’ dalam menjalankan program pemberdayaan di Panti Sosial tersebut. Banyaknya faktor yang mendorong tindakan kekerasan terhadap perempuan, bahkan dari faktor psikologis pun dapat membentuk perilaku kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut dikarenakan adanya perbedaan jenis kelamin. Perbedaan karakteristik antara laki-laki dan perempuan tidak bisa dimengerti antara satu sama lain. Simpson dan Gangestad (dalam Baron, 2005:31),
menggambarkan
sebuah
garis di
posisi
kontinum
mengenai
sociosexuality (sosioseksualitas). Pada satu ujung garis kontinum terdapat orang-orang (umumnya laki-laki) yang mengekspresikan unrestricted sociosexual orientation (orientasi sexual yang tak terbatas) dimana lawan jenis dikejar-kejar hanya sebagai pasangan seksual tanpa adanya kebutuhan akan kedekatan, komitmen, atau ikatan emosional. Pada ujung yang lain dari dimensi ini adalah individu (umumnya wanita) yang mengekspresikan restricted sociosexual orientation (orientasi sosiosexual yang terbatas) di mana hubungan seks diterima hanya jika disertai adanya afeksi dan kelembutan. Kekerasan yang dialami perempuan merupakan kekerasan yang tidak sewajarnya dilakukan oleh seorang suami, dimana seorang istri memiliki hak asasi untuk hidup bahagia. Kekerasan yang dilakukan suami kepada istri banyak bentuknya, yaitu kekerasan fisik, seperti menjambak, memukul, bahkan menendang, dan kekerasan seksualitas, hal ini mengakibatkan bekas luka pada tubuh seorang istri.
5
Sesuai dengan pengamatan yang ada di Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta. Tindakan-tindakan kekerasan terhadap perempuan sering kali dilakukan, bahkan tindakan kekerasan menimbulkan kerusakan fisik dan tekanantekanan psikologis yang dirasakan oleh istri. Kasus kekerasan terhadap perempuan khususnya di wilayah DIY banyak sekali ditemukan. Tindakan kekerasan terhadap perempuan banyak didorong dan dimotivasi oleh beberapa sebab dan pengaruh yang mendorong kekerasan terhadap perempuan. Hal tersebut menunjukkan bahwa kaum perempuan masih dianggap sebagai budak laki-laki, dimana seorang istri mempunyai hak untuk dapat berperan dalam keluarga itu sendiri maupun di masyarakat. Kekerasan yang terjadi di DIY menunjukkan taraf yang cukup memprihatinkan dan perlu diperhatikan. Panti Sosial Karya Wanita mempunyai fungsi sebagai unit pelaksana teknis dinas dalam memberikan pelayanan pemberdayaan, kesejahteraan dan rehabilitasi sosial bagi para perempuan yang rawan sosial psikologis. Panti Sosial Karya Wanita juga memberikan pelaksanaan konseling bagi warga binaan, karena untuk kembali ke tengah masyarakat mereka membutuhkan kesiapan secara mental maupun psikologis. Program di Panti Sosial Karya Wanita adalah memberdayakan perempuan korban KDRT berupa ketrampilan, Panti Sosial Karya Wanita ini menampung binaan berasal dari wilayah DIY (Kota Yogyakarta, Sleman, Bantul, Gunungkidul, Kulonprogo) terutama yang rawan masalah sosial psikologis korban KDRT. Perempuan binaan yang berada di Panti Sosial Karya Wanita berada pada usia produktif yaitu antara 15-35 tahun. Berdasarkan survey diperoleh data bahwa
6
Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta telah melakukan program pemberdayaan perempuan berupa ketrampilan olah pangan, mejahit, dan salon/ tatarias. Untuk saat ini jumlah peserta pelatihan ketrampilan olah pangan 14 orang, menjahit 22 orang dan salon 14 orang. Korban KDRT ini membutuhkan dukungan baik finansial maupun mental untuk tetap bertahan dan dapat kembali hidup normal di masyarakat. Korban KDRT membawa dampak yang negatif dan buruk di mata keluarga dan masyarakat. Perempuan yang mengalami kekerasan takut untuk melaporkan kejadian tersebut pada pihak yang berwajib, terkadang pihak berwajib pun membiarkan kasus tersebut. Kekerasan yang dialami oleh istri mengakibatkan tekanan-tekanan psikologis, dimana seorang istri juga mempunyai hak untuk hidup layak dalam keluarga. Para korban KDRT yang ada di Panti Sosial Karya Wanita untuk dibina dan diarahkan untuk meningkatkan kondisi mental psikologis dan kepercayaan diri agar mampu meningkatkan semangat hidup serta mampu menyesuaikan dengan norma-norma kehidupan dalam masyarakat agar mampu mewujudkan sebuah kemandirian. Sehubungan dengan kompleknya permasalahan yang dialami perempuan, maka perlu adanya usaha pemberdayaan perempuan sebagai wujud perhatian terhadap mereka. Pemberdayaan disini berupa pengembangan potensi baik yang berupa sumberdaya, kesempatan, pengetahuan maupun berupa ketrampilan untuk meningkatkan kapasitas mereka dalam menentukan masa depan yang terkadang belum disadari bahwa mereka memiliki berbagai potensi.
7
Dengan melihat fenomena kekerasan terhadap perempuan yang telah dijabarkan diatas penulis termotivasi untuk melakukan penelusuran lebih lanjut tentang sejauh mana efektivitas pelaksanaan program pemberdayaan perempuan akibat KDRT di Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta. 1.2.
Rumusan Masalah Dari uraian latar belakang masalah tersebut peneliti dapat mengangkat
permasalahan yang diajukan dalam penelitian ini sebagai berikut : “Bagaimana efektivitas program
pemberdayaan perempuan
korban kekerasan dalam rumah tangga di Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta?” 1.3.
Tujuan Penelitian Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan tugas di dalam program pemberdayaan perempuan korban kekerasan dalam rumah tangga di Panti Sosial Karya Wanita Yogyakarta.
1.4.
Manfaat Penelitian Adapun yang menjadi manfaat penelitian adalah sebagai berikut : 1. Secara akademis dapat memberikan sumbangan positif terhadap khasanah keilmuan di jurusan Administrasi Negara mengenai konsep pemberdayaan perempuan. 2. Secara Teoritis, melatih diri dan mengembangkan pemahaman dan kemampuan berpikir penulis melalui penelitian dan penulisan karya ilmiah tentang efektivitas program pemberdayaan.
8
3. Secara Praktis, sebagai bahan masukan, pertimbangan, dan evaluasi bagi Panti Sosial Karya Wanita (PSKW) Karya Wanita Yogyakarta secara khusus dan bagi pemerintah, maupun pihak-pihak luar secara umum guna meningkatkan pelayanan sosial bagi wanita binaan sosial.
9