BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Masalah Sebagai agama yang sempurna, Islam mengajarkan cara ibadahnya dengan berbagai cara, ada ibadah yang berdampak secara personal atau individual, seperti shalat dan puasa. Namun ada juga yang berdampak secara sosial, seperti halnya wakaf, zakat, dan shadaqah. Ketiga ibadah ini, memiliki implikasi social yang sangat signifikan. Utamanya dalam wakaf, ibadah jenis ini selain memiliki dampak terhadap individu yang melakukannya, juga berampak pada masyarakat yang menerimanya, selain itu kepekaan terhadap lingkungan social juga lebih bertambah. 1
2
Sebagai salah satu ibadah yang tidak hanya menguntungkan secara personal namun juga secara social adalah wakaf, wakaf dinilai sebagai salah satu bentuk ibadah yang sempurna. Hal ini dikarenakan dalam wakaf ada unsur keikhlasan yang harus tetap dijaga, karena wakaf merupakan penahanan terhadap harta benda wakif (orang yang berwakaf) dan menyedekahkan manfaatnya untuk kebaikan.1 Dengan kata lain, wakaf merupakan pemberian secara cuma-cuma demi kemaslahatan bersama. Wakaf adalah salah satu cara Islam untuk memajukan ekonomi pemeluknya. Sebagai salah satu ajaran Islam yang potensial untuk dikembangkan, wakaf di negaranegara yang berkembang dan sudah maju perwakafannya, dapat menjadi salah satu pilar ekonomi jika dikelola secara produktif.2 Wakaf merupakan salah satu ajaran Islam yang sangat dianjurkan sejak dulu. Hal ini ditandai dengan adanya ayat Alqur‟an yang menyatakan anjurannya, seperti dalam Surat Ali „Imran ayat 923: 4
َعلِيم
اَّللَ بِِو َّ لَ ْن تَنَالُوا الِْ َِّب َح ََّّت تُْن ِف ُقوا ِِمَّا ُُِتبُّو َن َوَما تُْن ِف ُقوا ِم ْن َش ْي ٍء فَِإ َّن
“Kamu tidak akan memperoleh kebajikan, sebelm kamu menginfakkan sebagian harta yang kamu cintai. Dan apapun yang kamu infakkan, tentang hal itu sungguh, Allah Maha Mengetahui”. 5
1
Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf dan Pemberdayaan Umat, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), h. 4. Dikutip dari Departemen Agama RI, Wakaf Uang Tunai dalam Perspektif Islam, h. 15 2 Suhrawardi K. Lubis, dkk, Wakaf…, h. 22. 3 M. Athoillah, Hukum Wakaf, (Bandung: Yrama Widya, 2014), h. 7. 4 QS. Ali „Imran (3): 92 5 Mushaf Firdausi, Terjemah Kementrian Agama Republik Indonesia.
3
Dalam istilah fiqh, wakaf diartikan dengan berbagai pengertian; diantaranya adalah “pemilikan dan pemeliharaan harta benda tertentu untuk kemanfaatan dan manfaatnya dapat diambil tanpa mengonsumsi harta benda itu sendiri”.6 Sedangkan menurut Undang-Undang nomor 41 tahun 2004, yang disebut dengan wakaf adalah perbuatan hukum wakif untuk memisahkan dan atau menyerahkan sebagian harta benda miliknya untuk dimanfaatkan selamanya atau untuk jangka waktu tertentu sesuai dengan kepentingannya guna keperluan ibadah dan atau kesejahteraan umum menurut syariah.7 Di Indonesia sendiri, praktik perwakafan telah ada sejak Islam menjadi kekuatan sosial politik dengan berdirinya kerajaan-kerajaan Islam pada akhir abad ke 12 Masehi,8 atau dapat diasumsikan bahwa wakaf telah mulai dipraktikkan sejak adanya kerajaan-kerajaan Islam yang berkuasa. Wakaf di Indonesia telah berkembang pesat hingga saat ini, tidak dipungkiri banyaknya lembaga-lembaga pendidikan, rumah ibadah, dan ragam fasilitas umum lainnya dibangun diatas tanah wakaf atau berdasarkan hasil wakaf. Akan tetapi, pengelolaan wakaf di Indonesia rata-rata masih bersifat konsumtif, belum bersifat produktif, yang jika dikelola dengan benar secara
6
Farid Wadjdy dan Mursyid, Wakaf dan Kesejahteraan Umat, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2007), h. 29-30. 7 Pasal 1 ayat 1 Undang-Undang Nomor 41 tahun 2004 tentang Wakaf. 8 M. Athoillah, Hukum Wakaf, h. 56.
4
produktif, wakaf tersebut dapat menjadi solusi dari segala permasalahan ekonomi yang ada di Indonesia.9 Kemajuan perwakafan di Indonesia ditandai dengan diresmikannya UndangUndang nomor 41 tahun 2004 sebagai regulasi yang mengatur tentang perwakafan di Indonesia serta peraturan yang secara teknis mengatur tentang pelaksanaan wakaf yaitu Peraturan Pemerintah Nomor 42 Tahun 2006. Kemudian dilanjutkan dengan dibentuknya Badan Wakaf Indonesia (BWI) sebagai lembaga yang berdiri secara independen dan secara khusus mengurus tentang perwakafan yang ada di Indonesia. Badan Wakaf Indonesia ini berkedudukan di ibu kota negara, akan tetapi dapat pula membentuk perwakilan di provinsi atau kota sesuai dengan kebutuhan daerah tersebut terhadap kehadiran BWI itu sendiri.10 Keberadaan BWI ini, secara langsung merupakan bentuk perhatian pemerintah terhadap perwakafan yang ada di Indonesia agar dapat lebih maju dan turut menopang ekonomi masyarakat Indonesia pada umumnya. Banyaknya lembagalembaga pendidikan maupun sosial yang berdiri atas dana wakaf, agaknya menjadi fenomena tersendiri dalam perwakafan di Indonesia. Perkembangan wakaf di Indonesia sendiri memang belumlah merata dan terkelola dengan baik seperti yang ada di negara-negara yang memang menjadikan
9
Muhyar Fanani, Dinamika Pengelolaan Wakaf Uang di Indonesia, (Semarang: Walisongo Press, 2010), h. 28. 10 Rachmadi Usman, Hukum Perwakafan di Indonesia, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), h. 132.
5
wakaf sebagai tumpuan ekonominya, seperti Mesir11. Sekalipun, praktik perwakafan sudah dimulai sejak jauh-jauh hari sebelum dikeluarkannya Undang-Undang Wakaf. Sebagaimana yang terjadi di lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan. Lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan pada mulanya adalah sebuah yayasan yang berdiri secara kokoh pada tanah wakaf dari tokoh daerah setempat bernama Imam Sadeli.12 Bermula dari tanah seluas empat ribu lima ratus delapan puluh meter persegi yang sudah berdiri bangunan musholla keluarga, Sadeli mewakafkan tanah dan musholla yang sedianya akan diperluas menjadi masjid untuk warga sekitar pada tahun 1980. Mengingat luasnya tanah yang ada, Sadeli berinisiatif untuk memperluas bangunan mushollanya untuk dijadikan sebagai masjid yang dapat menampung banyak jama‟ah, bukan hanya untuk pribadi keluarganya saja. Untuk memperluas bangunan musholla tersebut menjadi sebuah masjid, tentunya diperlukan dana lebih. Oleh karena itulah, Sadeli sebagai wakif sekaligus nadzir pada saat itu, berinisiatif untuk membangun sebuah lembaga pendidikan anak-anak. Dan hasil yang diperoleh dari lembaga pendidikan tersebut, sebagian dipergunakan untuk membangun mushollanya menjadi sebuah masjid, dan sebagian lainnya untuk biaya operasional lembaga pendidikan tersebut.13 Pada tahun 1985, Sadeli menunjuk Muhammadiyah sebagai nadzir untuk mengurusi tanah wakafnya sekaligus juga mengelola lembaga pendidikan anak-anak 11
M. Athoillah, Hukum Wakaf, h. 42. Taufan, Wawancara, (Pasuruan, 2 Januari 2015). 13 Ghozali, Wawancara, (Pasuruan, 19 Januari 2015). 12
6
Al-Kautsar. Pada saat itu, pembangunan lembaga pendidikan Al-Kautsar hanya terbatas pada Taman Kanak-Kanak (TK) saja. Dengan keterbatasan dana yang dimilki oleh sang wakif, maka dipilihlah untuk membangun Taman Kanak-Kanak ini sebagai bangunan pertama pada tanah wakaf tersebut. Hal ini dimaksudkan untuk menjadikan tanah wakaf yang ada agar memperoleh keuntungan yang akan digunakan untuk pengembangan tanah wakaf itu selanjutnya.14 Dengan modal awal senilai 70 Juta Rupiah yang diperoleh sepenuhnya dari dana yang juga diwakafkan oleh Sadeli kepada lembaga Al-Kautsar untuk pembangunan dan pemberian fasilitas nomor satu di Taman Kanak-Kanak tersebut, maka pangsa pasar yang dibidik untuk mengembalikan modal kepada lembaga secara cepat serta untuk pembangunan lain di lembaga Al-Kautsar adalah warga kelas atas Kota Pasuruan. Pemilihan Taman Kanak-Kanak sebagai aset sekaligus investasi lembaga Al-Kautsar merupakan hal yang sangat tepat untuk menjadikannya di masa berikutnya sebagai lembaga wakaf yang sangat produktif dan mampu membiayai dirinya sendiri maupun masyarakat. Apa yang dilakukan oleh lembaga Al-Kautsar ini sesuai dengan apa yang disabdakan oleh Rasulullah dalam hadits yang diriwayatkan oleh Al-Bukhari dan Muslim:15
ِ اب أَصاب أَر ِ صلَّى ً ْ َ َ ِ ََّع ْن ابْ ِن ُع َمَر َرض َى هللاُ َعْن ُه َما أَ َّن عُ َمَر بْ َن اخلَط َ فَأَتَى النَِّب,ضا ِبَْيبَ َر ِ ِ ِ ِ ِ إِِّن أَصبت أَر,ِ يارسو َل هللا:ال ب َم ًال ً ْ ُ َْ ّ ْ ضا ِبَْيبَ َر ََلْ أُص ْ ُ َ َ َ فَ َق,هللاُ َعلَْيو َو َسلَّ َم يَ ْستَأْم ُرهُ فْي َها
14
Ghozali, Wawancara, (Pasuruan, 19 Januari 2015). Maktabah Syameela, Al-Jam‟u Baina Shohihain Al-Bukhâri wal Muslim, juz II, hadits ke 1381, h. 188. 15
7
ِ ٌّ ال َ َت ِِبَا ق َ َ فَ َما تَأْ ُم ُرِّن بِِو ق,ُس ِعْن ِدى ِمْنو َ ْص َّدق ْ تأ َ ت َحبَ ْس َ ْْ إِ ْن ش:ال َ ََصلَ َها َوت ُ قَط أَنْ َف ِ ث ُ ب َوَل تُ ْوَر َ َفَت ُ ص َّد َق ِبَا عُ َم ُر أَنَّوُ َل تُبَاعُ َوَل تُ ْوَى Dari Ibn „Umar r.a. sesunguhnya „Umar bin al-Khattab r.a. mendapatkan tanah di Khaibar, maka ia datang kepada Nabi saw untuk meminta petunjuk tentang tanah itu. Maka ia berkata: “Wahai Rasulullah, aku memperoleh tanah di Khaibar yang aku belum pernah memperoleh harta yang lebih baik bagiku melebihi tanah tersebut, apa perintah engkau kepadaku kepada tanah tersebut?” Nabi SAW bersabda: “Jika kamu mau, tahan pokoknya dan sedekahkan hasilnya” Ibn „Umar berkata: “Kemudian „Umar menyedahkankannya, sesungguhnya tanah itu tidak boleh dijual, dihibahkan, dam diwariskan.”
Berdasarkan hadits tersebut, maka jelaslah anjuran Rasulullah SAW untuk mengelola tanah wakaf agar menghasilkan sesuatu yang bisa dimanfaatkan hasilnya untuk kepentingan kemaslahatan umat. Hal ini pula yang terjadi di Lembaga AlKautsar Kota Pasuruan. Berawal dari sebuah Taman Kanak-Kanak, kini lembaga AlKautsar menjadi lembaga besar dengan memiliki lembaga pendidikan mulai tingkat KB (Kelompok Bermain) hingga SD (Sekolah Dasar), selain itu, lembaga Al-Kautsar juga memiliki beberapa unit usaha yang dikelola secara produktif, seperti KBIH dan Umroh (Kelompok Bimbingan Ibadah Haji), serta dua buah ruko yang disewakan. Hal itu tentunya sudah menunjukkan bagaimana lembaga ini dapat mengoptimalkan hasil dari pengelolaan wakafnya. Adanya sebuah lembaga wakaf memang sudah banyak sekali ditemui. Akan tetapi, sebuah lembaga wakaf yang mengelola perwakafannya sebagai wakaf yang dikelola dengan pengelolaan yang baik jarang sekali dapat ditemukan, apalagi jika
8
lembaga wakaf tersebut didirikan secara independen tanpa bantuan pemerintah. Oleh karena itulah, peneliti tertarik untuk mengkaji mengenai wakaf yang ada di kota Pasuruan, khususnya yang ada pada lembaga Al-Kautsar dengan judul “Pengelolaan Wakaf Produktif di Lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan Perspektif UndangUndang nomor 41 tahun 2004”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang telah diuraikan diatas, maka masalah utama dalam penelitian ini adalah: 1. Mengapa lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan mengelola wakaf produktif? 2. Bagaimana pengelolaan wakaf produktif di lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan ditinjau dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 tentang wakaf? C. Tujuan Penelitian Dalam melakukan penelitian ini, agar diperoleh data-data yang benar dan terarah, sesuai dengan hasil yang diharapkan, maka peneliti telah menentukan tujuantujuan yang harus dicapai dalam penelitian ini. Tujuan penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui alasan Lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan mengelola wakaf produktif yang ada di lembaganya.
9
2. Untuk mengetahui pengelolaan wakaf produktif di Lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan tinjauan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004.
D. Manfaat Penelitian 1. Manfaat Teoritik a. Secara teoritik, penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui wakaf yang terjadi di kota Pasuruan, khususnya di Lembaga Al-Kautsar ditinjau dari Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. b. Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk penelitian sejenis di masa yang akan datang.
2. Manfaat Praktis a. Secara praktis penelitian ini bermanfaat untuk membuka dan menambah wawasan terhadap peneliti khususnya, dan kepada pembaca pada umumnya yang terkait dengan wakaf. b. Dapat menjadi sebuah sumbangsih untuk memperkaya khazanah keilmuan khususnya yang terkait dengan wakaf di kota Pasuruan.
E. Definisi Operasional Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 adalah Undang-Undang yang saat ini berlaku di Indonesia yang mengatur tentang perwakafan yang ada di Indonesia.
10
Dalam penelitian ini, Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 yang digunakan sebagai tinjauan hanya dibatasi pada pasal 1-16, dan pasal 42-46 yang menjelaskan tentang unsur dan syarat wakaf, macam-macam wakaf, serta pengelolaan dan pengembangan harta benda wakaf. F. Sistematika Pembahasan Untuk melengkapi penjelasan dalam pengembangan materi dalam penelitian ini, maka dalam pembahasan laporan penelitian ini mencakup lima bab, yang masingmasing disusun secara sistematis dan masing-masing terdiri dari beberapa sub bab, diantaranya yaitu: Bab I: Pendahuluan. Sebagaimana lazimnya, bab pertama dari sebuah karya tulis dimulai dari Pendahuluan yang terdiri dari Latar Belakang Masalah, Rumusan Masalah, Tujuan Penelitian, Manfaat Penelitian, dan Sistematika Pembahasan mulai dari bab I sampai bab V. Dalam bab pertama ini, akan didapatkan sedikit deskripsi masalah dari penelitian yang dilakukan oleh peneliti. Bab II: Tinjauan Pustaka. Bab ini meliputi Penelitian Terdahulu dan Kajian Teori sebagai salah satu dari perbandingan penelitian ini. Kajian Teori yang digunakan meliputi: a) Konsep Wakaf, didalamnya dijelaskan tentang pengertian wakaf menurut Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004 maupun menurut fiqh, selain itu juga dijelaskan tentang rukun dan syarat wakaf serta pengelolaan dan pengembangan wakaf yang ada dalam Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004, b) Konsep Pengelolaan, dalam konsep pengelolaan ini dijelaskan tentang teori
11
pengelolaan yang digunakan peneliti untuk menganalisa wakaf yang ada di Lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan, strategi pengelolaan wakaf produktif, juga tentang program pengelolaan wakaf. Hal ini dikarenakan semua teori tersebut dijadikan sebagai alat analisis untuk menjelaskan dan memberikan interpretasi bagian data yang telah dikumpulkan oleh penulis. Bab III: Metode Penelitian. Merupakan suatu langkah umum penelitian yang harus diperhatikan oleh peneliti. Hal ini bertujuan agar bisa dijadikan pedoman dalam melakukan kegiatan penelitian, karena peran metode penelitian dalam suatu kegiatan penelitian sangat penting, guna menghasilkan data yang akurat serta pemaparan data yang rinci dan jelas. Dalam bab ini meliputi jenis penelitian, pendekatan penelitian, sumber data, metode pengumpulan data dan juga analisis data. Dalam penelitian ini, metode penelitian yang digunakan adalah penelitian lapangan dengan pengumpulan data berupa wawancara, observasi dan dokumentasi. Bab IV: Hasil Penelitian dan Pembahasan. Hasil penelitian berupa gambaran umum wakaf yang ada di lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan yang meliputi sejarah berdirinya, serta visi misi maupun hal-hal lain yang berkaitan dengan lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan. Selain itu, dalam bab ini juga dijelaskan tentang analisis yang dilakukan oleh peneliti. Analisis data ini membahas lebih lanjut apa yang telah disampaikan pada Bab I dan II dan data-data yang telah diperoleh dilapangan serta interpretasi disesuaikan dengan permasalahan dan hasil kajian teoritis yang telah disebutkan pada Bab I dan II serta hasil dari data
12
yang diperoleh. Analisis dilakukan secara inhern pada topik bahasan, yaitu berkaitan dengan wakaf yang ada di lembaga Al-Kautsar Kota Pasuruan ditinjau dengan Undang-Undang Nomor 41 Tahun 2004. dan disesuaikan dengan perkembangan hasil pengumpulan data yang sejalan dengan permasalahan yang sedang dikaji. Bab V: Penutup. Penutup berisikan kesimpulan dan saran. Di dalam Bab V ini akan diuraikan mengenai kesimpulan sebagai jawaban dari permasalahan yang dikemukakan dalam rumusan masalah dan diakhiri dengan saran-saran bagi penelitian selanjutnya. Pada penelitian ini, terdapat dua kesimpulan yang menjawab tentang objek yang dikelola oleh lembaga Al-Kautsar serta pengelolaan wakaf yang dilakukan oleh lembaga Al-Kautsar.