1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Manusia seperti halnya mamalia lainnya, secara filogenetis sistem saraf otonomnya telah berkembang, sehingga memiliki kemampuan bersosialisasi (Porges, 2001).
Selanjutnya dijelaskan bahwa, saraf otonom berperan dalam
berkomunikasi (ekspresi wajah, vokalisasi, pendengaran), mobilisasi (fight or flight) dan immobilisasi (behavioral ‘shut down’ dan syncope). Bagian otak yang lebih tinggi berfungsi menghambat sirkuit saraf yang berada di bawahnya, bila bagian atas mengalami gangguan fungsi maka bagian yang lebih rendah aktivitasnya meningkat adalah merupakan prinsip dissolusi (evolution in reverse) yang diacu untuk membagi saraf otonom berdasarkan hirarkhi, bukan ‘pair antagonistis’. Pembagian sistem saraf otonom secara hirarkhi terdiri dari saraf vagus bermielin (saraf sosial), saraf simpatis (mobilisasi/fight or flight) dan saraf vagus tidak bermielin (immobilisasi). Pada keadaan normal, sistem saraf vagus bermielin menekan aktivitas saraf simpatis dan saraf simpatis berperan dalam menghambat bekerjanya sistem saraf vagus yang tidak bermielin. Apabila saraf vagus bermielin mengalami gangguan fungsi, saraf simpatis aktivitasnya meningkat, demikian pula apabila fungsi saraf simpatis terganggu, saraf vagus tidak bermielin meningkat aktivitasnya. Porges (2011) menyatakan, bahwa sistem saraf vagus bermielin berpusat di nucleus ambiguus bersama-sama dengan serabut saraf kranialis lainnya
2
(V,VII,IX dan XI). Saraf vagus bermielin berperan sebagai vagal brake terhadap kerja jantung. dipengaruhi
Sistem kardiovasa merespon lingkungan secara dinamis dan oleh
cit. Newton 2009).
kondisi
psikologis
(Seemen
and
McEwen,
1996,
Newton (2009) menyatakan bahwa, sistem kardiovasa
merupakan subjek pengaturan ”socioemotional”.
Apabila individu berada di
lingkungan yang aman, saraf vagus bermielin bekerja aktif. Dua sub sistem saraf otonom lainnya digunakan individu sebagai mekanisme pertahanan (defence). Saraf simpatis (fight or flight) berperan untuk respon yang mobile dan vagus tidak bermielin untuk respon immobile (Porges 2011). Konsep Claude Bernard (1878) tentang “milieu interieur” yang digunakan Cannon, antara lain menjelaskan peran saraf simpatis dalam pengaturan homeostasis (Cannon, 1929, Recordati, 1984, cit. Recordati, 2002). Ketika individu dalam keadaan bahaya, saraf simpatis digiatkan untuk mempertahankan fluid matrix agar tetap berada dalam keadaan konstan. Kondisi homeostasis (steady state) diperlukan individu untuk menjaga kelangsungan hidupnya. Saraf simpatis pada sistem kardiovasa berfungsi dalam menghadapi perubahan baik yang berasal dari dalam maupun luar individu. Gerakan tubuh, vokalisasi, pernapasan dan pendengaran berpengaruh terhadap organ viseral tubuh (Porges, 2011). Schellong (1933) adalah orang yang pertamakali memperkenalkan uji ortostatik yang sekarang dikenal dengan sebutan Schellong Test yang membagi respon ortostatik menjadi normal, hypotonic dan hypodynamic dysregulation (Jacob, 2002, Hlavacova et al., 2013). Uji Schellong dipergunakan untuk mengkaji mekanisme pengaturan sistem saraf otonom pada sistem sirkulasi (cardiocirculatory system), dengan mencatat perubahan denyut
3
jantung dan tekanan darah yang diakibatkan adanya perubahan ortostatik. Apabila seseorang bangkit berdiri dari posisi berbaring, darah sebagian terkumpul di tubuh bagian bawah karena pengaruh gaya gravitasi. Keadaan ini menyebabkan volume darah yang kembali ke jantung (venous return) berkurang, sehingga tekanan darah turun (Shoemaker et al., 2001). Penurunan tekanan darah secara tiba-tiba ini adalah merupakan salah satu contoh adanya gangguan homeostasis tubuh. Agar tubuh kembali ke kondisi semula, tubuh merespon dengan meningkatkan aktivitas saraf simpatis, dan dalam waktu bersamaan saraf parasimpatis dihambat sehingga tekanan darah naik. Respon ortostatik merupakan jendela untuk melihat integrasi aktivitas saraf otonom yang pusat pengaturnya berada di otak (Cooke et al., 1999). Menurut Hess (1949) bahwa saraf otonom tidak hanya bersifat
vegetatif
dan
otomatis,
melainkan
terintegrasi
dengan
pusat
pengaturannya (Porges, 2009). Lucini et al. (2002) berpendapat bahwa stres ringan dalam kehidupan sehari-hari dapat menyebabkan terjadinya
kenaikan
tekanan darah dan gangguan homeostasis kardiovasa, yang dapat diperlihatkan dengan adanya kenaikan respon vaskular pada orthostatic challenge.
Stres
psikologis menghambat reflek baroreseptor denyut jantung yang menimbulkan terjadinya kenaikan denyut jantung dan tekanan darah (Berntson and Cacioppo, 2002). Pengukuran aktivitas sistem saraf simpatis secara faali merupakan indikator brain arousal yang sensitif (Porges, 2001). Hirsh (2009) menyebutkan bahwa regulasi brainstem merupakan landasan bagi proses self-regulation. Selanjutnya dikatakan bahwa, pengaturan aktivitas jantung penting bagi
4
ketersediaan metabolisme yang diperlukan individu untuk
kesehatan,
pertumbuhan dan restorasi. Volume semenit jantung relatif tetap dalam keadaan tenang dan bertambah pada waktu individu menghadapi situasi bahaya (fight or flight), atau berkurang pada keadaan avoidance behavior. Ketika vagal brake tidak berfungsi, ketergantungan individu terhadap perangsangan saraf simpatis pada kardiovasa meningkat yang berdampak buruk bagi individu (contoh: hipertensi) dan perilaku reaktif (Porges,2001). Saraf otonom berfungsi mengatur lingkungan dalam (viseral) dan merespon perubahan di lingkungan luar individu. Selye (1950) mengidentifikasi respon psikologis menjadi tiga tahapan yang dinamakan General Adaptation Syndrome (Carrol, 2001). Pertama, reaksi alarm atau emergency yang merupakan respon cepat dalam memobilisasi sumber tenaga yang disebut fight or flight. Kedua, tahap resistance adalah fase individu kebal terhadap stresor. Ketiga, exhaustion yaitu fase individu ketika tidak mampu lagi menghadapi stresor. Uji Schellong disajikan dalam bentuk diagram yang menggambarkan status saraf otonom yaitu: zona normal, tipe 1, tipe 2, tipe 2a, dan tipe 3. Zona normal menunjukkan tonus simpatis normal, tipe 1 [hypersympathikotone (hypertone)
reaktion]
menunjukkan
kenaikan
tonus
simpatis,
tipe
2
(hyposympathikotone reaktion) menunjukkan penurunan tonus simpatis, tipe 2a (asympathikotone reaktion) menunjukkan respon tonus simpatis tidak ada dan tipe 3 (vasovagal / vagovasale reaktion, vagovasale synkope) (Thulesius, 1973). Respon sistem kardiovasa terhadap orthostatic challenge berkorelasi dengan aspek-aspek kognitif dan afektif serta dapat dipergunakan untuk
5
memprediksi adanya gangguan fungsi otak, stroke, penyakit jantung koroner dan fall (Perlmuter and Greenberg, 1996, Carapetian et al., 2008, Eigenbrodt et al., 2000, Sparrow et al., 1984, Stress M., 2003).
Hasil uji Schellong yang
digambarkan oleh Thulesius, perlu dikembangkan penggunaannya agar dapat mengakomodasi berbagai hasil kajian yang berkaitan dengan uji ortostatik termasuk penelitian ini.
Pembagian saraf otonom berdasarkan hirarkhi,
pengukuran uji Schellong membuktikan arti penting pengukuran sebagai acuan bagi terpeliharanya kesehatan individu secara holistik.
Individu yang sehat
selanjutnya akan berpengaruh terhadap individu lainnya, sehingga terbentuklah masyarakat yang sehat pula. Hubungan antara tonus simpatis dan beberapa faktor kepribadian dapat dijelaskan sebagai berikut: individu yang memiliki tonus parasimpatis tinggi, terbuka terhadap pengalaman (open to experience) dan lebih mampu mengatur dirinya (Schweiger, 1998, Porges, et al., 1994; Porges, 1995, cit. Movius and Allen, 2005).
Beberapa faktor kepribadian berkorelasi terhadap reaktivitas
kardiovasa (Flaa et al., 2007). Kepribadian merupakan gambaran bagaimana seseorang merespon lingkungan.
Respon saraf otonom terhadap orthostatic
challenge yang diperlihatkan melalui hasil uji Schellong adalah menggambarkan terintegrasinya saraf otonom dengan pengaturnya yang berada di pusat (otak). Uji kepribadian di antaranya digunakan untuk menempatkan karyawan di tempat yang sesuai dengan kompetensinya, tetapi sayang tidak menyertakan parameter fisiologis (uji Schellong). Penggabungan kedua unsur tersebut (fisiopsikologis) diperlukan karena kedua penanda tersebut di atas dapat menggambarkan
6
bagaimana tubuh merespon lingkungannya. Lingkungan pekerjaan sebagai salah satu faktor yang berpotensi sebagai pemicu stres, dapat menimbulkan gangguan terhadap sistem kardiovasa, yang pada akhirnya dapat mengganggu kinerja pegawai (Ozutku and Altindis, 2011). Kepribadian tipe A dan B memiliki nilai prediktif terhadap kesehatan. Tipe kepribadian A dikatakan memiliki resiko tinggi terhadap penyakit kardiovasa (Schroeder et al., 2000).
Hal ini berbeda dengan pengembangan faktor
kepribadian terbaru yaitu The Big Five Personality (OCEAN) yang digunakan untuk menggantikan penggolongan tipe A dan B, tidak menggambarkan secara jelas bagaimana kaitannya terhadap aspek kesehatan. Kiranya uji Schellong dapat dijadikan sebagai komplemen uji kepribadian, karena disamping dapat menilai status sistem saraf otonom, juga memiliki nilai prediktif terhadap berbagai penyakit. 2008).
Kepribadian memiliki hubungan erat dengan penyakit (Capitanio, Kepribadian tipe A memiliki sifat-sifat: ambisi, agresif, kompetitif,
tergesa-gesa, kekakuan otot, siaga, sensitif, sinis, sikap permusuhan, pemarah, berbicara cepat memiliki resiko tinggi menderita penyakit jantung koroner (Sher, 2005). Kepribadian tipe B berbeda dengan kepribadian tipe A dalam menghadapi stres, mereka cenderung tidak panik juga berbeda dalam hal reaksi tekanan darah dan biokimiawinya (Kaur, 2012).
Jorgensen et al. (1996) melakukan kajian
meta analytic tentang hubungan antara kepribadian dan kenaikan tekanan darah yang menunjukkan adanya hubungan kuat pada kelompok subjek yang memiliki efek negatif dan defensif.
Faktor neurotik berpengaruh terhadap
kardiovasa dengan gejala nyeri dada (Costa, 1987).
penyakit
7
Penggolongan jenis kepribadian A dan B dipandang kurang memadai. Untuk itu agar dapat menampung potensi lain yang ada pada individu, maka ditambahkan beberapa faktor kepribadian yang disebut the big five personality yang
meliputi
Open,
Conscientiousness,
Neuroticism (OCEAN).
Extraversion,
Agreeableness,
Kepribadian dikelompokkan ke dalam lima faktor
(Digman, 1990; John, 1990; McCrae and Costa, 1984, cit. Bakker et.al., 2006). Faktor bipolar big five meliputi: (I) Extraversion versus Introversion, (II) Agreeableness versus Hostility, Conscientiousness, (V)
(IV)
Intellect/Autonomy
(III) Conscientiousness versus Lack of
Emotional or
Stability
Openness
to
versus
Neuroticism
Experience
versus
Lack
dan of
Intellect/Autonomy or Closedness to Experience.
McCullough (2003)
menyatakan
prediktor
bahwa
conscientiousness
merupakan
terhadap
religiousness. Kosek (1999), MacDonald (2000) dan Taylor and MacDonald (1999) menemukan hubungan positif antara agreeableness dan conscientiousness terhadap orientasi keberagamaan yang bersifat intrinsik (McCullough, 2003). Sistem saraf simpatis mengatur kardiovasa baik dalam keadaan sehat maupun sakit (Sinski et al., 2006). Efek buruk meningkatnya aktivitas saraf simpatis (fight or flight) yang menahun merupakan faktor resiko terhadap penyakit kardiovasa (Curtis, 2002). kecemasan
mengakibatkan
Seseorang yang mengalami gangguan
aktivitas
saraf
simpatis
menjadi
dominan
(Wenger, 1966). Eysenck (1967) menambahkan bahwa kecemasan menimbulkan reaksi berlebihan sistem saraf simpatis. gangguan panik (Coupland et al., 2003).
Hal serupa terjadi pada
penderita
8
Reaksi saraf otonom merupakan respon integral emosi ketika seseorang mengalami ketakutan dan kecemasan. Korteks prefrontal media berhubungan dengan kognitif, afektif dan saraf otonom (Berntson et al., 1998). Sistem saraf rostral merupakan jaras menurun, mengatur dan mengubah tonus saraf simpatis. Disfungsi psikologis mempengaruhi pengaturan saraf otonom (Berntson, 2006). Sebaliknya serabut saraf afferent viseral juga mempengaruhi emosi individu (Porges, 2011). Carroll (2001) menyebutkan bahwa berdasarkan karakter dan kultur, individu memiliki predisposisi terhadap saraf simpatis atau parasimpatis. Kelompok ras yang berasal dari negara tropis cenderung dominan simpatis. Kelompok masyarakat yang bermigrasi ke daerah pertanian di bagian utara dan suasananya lebih tenang cenderung dominan parasimpatis. Kultur dan budaya di zaman sekarang menuntut seseorang bekerja keras, cepat, hasil lebih banyak dengan alat komunikasi dan transportasi serba cepat: hand phone, email, mobil, pesawat terbang. Berdasarkan pandangan teoritis maupun praktis, sejak sepuluh tahun belakangan ini kajian mengenai pengaruh pekerjaan terhadap stres meningkat (Ozutku and Altindis, 2011). Biaya kesehatan untuk karyawan suatu perusahaan setiap tahunnya cenderung meningkat (Krisnawan, 2010). Perusahaan yang memiliki dana cukup dan peduli terhadap karyawannya, secara rutin menyelenggarakan pelatihan bagi karyawannya yang akan menjalani masa purnabakti.
PLN (Perusahaan Listrik Negara) merupakan salah satu contoh
instansi yang secara berkala menyelenggarakan pelatihan tersebut yang diikuti oleh peserta dari seluruh Indonesia.
Pelatihan tersebut menjadi bekal bagi
9
karyawan bila sudah memasuki masa purna tugas agar lebih siap dalam menjalankan kehidupannya di masyarakat. Diharapkan pada saat purna tugas kesehatan mereka dapat dipertahankan agar dapat lebih menghemat biaya. Kajian awal respon tonus saraf simpatis terhadap kelompok masyarakat Indonesia dengan menggunakan uji Schellong: siswa, pendidik, pegawai pemerintah, menunjukkan persentase respon berlebih tonus simpatis terbesar (Sofro, 2009). Pada penderita hipertensi ortostatik, hipertensi dan kencing manis respon saraf simpatisnya berlebih (Benowitz et al., 1996, Yoshinari et al., 2001, Fessel and Robertson, 2006). Menurut Engler (2007), dengan banyaknya global movement dan percampuran multi rasial, diperkirakan dapat mengakibatkan terjadinya pola distribusi saraf otonom dalam suatu populasi adalah sebagai berikut: normotonic 20%, vagotonic 20%, sympathicotonic 20% dan 40% mixedtype respon saraf vegetatif. Jorda and Williams (1986) menemukan, bahwa pada kelompok subjek dewasa kulit putih persentase respon tonus simpatis normal adalah yang paling besar. Sejak tahun 1980, pemahaman yang mendasar terhadap suatu penyakit yang disebabkan oleh gangguan saraf otonom meningkat (Grubb, 2006). Perhatian pada awalnya ditujukan pada neurogenic syncope (vasovagal), tetapi dalam perjalanan selanjutnya ternyata ditemukan kelompok dengan postural tachycardia, fatigue dan exercise intolerance. Postural Orthostatic Tachycardia Syndrome (POTS), merupakan respon berlebih denyut jantung terhadap uji ortostatik, sehingga denyut jantung pada saat berdiri mencapai 120 kali per menit dan diikuti sekumpulan gejala. POTS seringkali dialami remaja (14 tahun) pada
10
saat mereka sedang mengalami pertumbuhan cepat dan mencapai puncaknya pada usia 16 tahun. Grubb (2006) menyatakan, bahwa semakin muda usia, maka prognosisnya semakin baik. Penelitian yang bertema hubungan antara agama dan kesehatan menitik beratkan pada isu tentang identitas kelompok dan agama tertentu dalam berperilaku meningkatkan derajat kesehatan (Dull and Skokan, 1995). Yucel (2010) menyebutkan Al-Qur’an merupakan penuntun bagi penganut agama Islam (muslim) guna memperoleh kesehatan spiritual, psikologis dan fisik. menyebut
Allah
berpengaruh
terhadap
pengendalian
denyut
Dzikir jantung
(Abdullah, 2009). Fenomena tersebut dikenal dengan fenomena top down yaitu otak yang merupakan organ penting tubuh (otak dan jantung) menentukan kerja jantung. Bacaan Al-Qur’an yang benar (vokalisasi) yang didukung makhraj dan tajwid, pendengaran dan pernafasan berpengaruh langsung terhadap saraf vagus bermielin yang selanjutnya juga akan mempengaruhi aktivitas otak (bottom up). Hubungan antara perifer dan pusat dan sebaliknya merupakan hubungan bidirectional (Porges 2006).
Dengan demikian membaca Al-Qur’an dengan
bacaan tartil menunjukkan dua fenomena yang berjalan terus menerus (bottom up dan top down) yang berdampak terhadap regulasi saraf otonom. Sistem saraf otonom berperan dalam pengaturan motorik bicara. Perkembangan
secara
evolusioner
menunjukkan
adanya
migrasi
yang
menyebabkan perbedaan yang jelas pusat-pusat di batang otak yang mengatur serabut saraf vagus tidak bermielin dan yang bermielin.
Porges (2011)
menyebutkan bahwa saraf vagus tidak bermielin berpusat di dorso motor nucleus
11
(DMX), sedangkan serabut saraf vagus bermielin bermigrasi ke bagian ventral yaitu di nucleus ambiguus bersama dengan serabut kranial lainnya (V,VII dan XI). Saraf vagus keluar dari batang otak menginervasi jantung, paru, organ pencernakan dan organ bicara seperti: larynx, pharynx dan palatum mole (Doruk et al., 2008). Membaca Al-Qur’an (vokalisasi) secara tartil dengan tajwid benar memaksa pembacanya mendengar dan mengatur pernafasan dengan baik, pernafasan berefek terhadap aktivitas sistem saraf otonom. Pelatihan pernafasan ”Pranayama”, dengan mengendalikan nafas secara sadar: tarik nafas, tahan nafas dan mengeluarkan nafas, dilakukan selama tiga bulan memperbaiki fungsi saraf otonom (Jerath et al., 2006).
Selanjutnya dikatakan bahwa aktivitas saraf
parasimpatis meningkat dengan pola pernafasan lambat. Pernafasan lambat yang dikendalikan, mengubah fungsi saraf otonom melalui serabut saraf vagus aferen yang menuju ke central cholinergic system mempengaruhi sistem limbik, talamus, korteks serebri (termasuk korteks prefrontal), forebrain reward systems dan hipotalamus, sehingga menginduksi emosi, kognisi dan kesadaran (Brown, et al., 2005 and Gerbarg, 2007 cit. Vedamurtachar 2009). Al-Qur’an diturunkan sebagai sumber petunjuk bagi umat manusia, mendorong seseorang mengembangkan kemampuan berpikir (kognitif), melatih kehalusan rasa (emosi) dan berperilaku (behavior) baik (Natsir, 1989). Al-Qur’an menyebutkan bahwa dengan membaca Al-Qur’an dapat memberikan ketenangan bagi pembacanya (Shihab, 1996). Neuroception merupakan proses sarafi yang menggambarkan kemampuan manusia membedakan suasana aman, bahaya atau
12
life threatening (Porges, 2009).
Selanjutnya dijelaskan bahwa insula otak
memiliki peran penting ketika seseorang: marah, takut, disgust, gembira dan sedih. Menurut Ensiklopedia Mukjizat Al-Qur’an dan Hadist (2009) dikatakan bahwa salah satu di antara kemukjizatan Al-Qur’an adalah antara lain berkaitan dengan psikoterapi. Disregulasi sistem saraf otonom mengganggu kecepatan, irama dan kelancaran berbicara (Doruk, 2008). Kandungan surat Al-Hujurat ayat dua dan tiga mengisyaratkan orang yang beriman agar berbicara dengan merendahkan suaranya.
Bacaan surat Al-Qiyamah ayat 16 menunjukkan agar di dalam
membaca Al-Qur’an tidak tergesa-gesa (Saeed, 2008). Getaran suara melalui pharynx akan dihantarkan menuju ke pusat vagus bermielin dan selanjutnya akan menuju ke otak, sebaliknya otak mempengaruhi organ visceral.
Hal ini
merupakan fenomena bidirectional yaitu hubungan timbal balik antara perifer dan pusat (Porges, 2009).
Prinsip proses penyembuhan menurut Porges ada tiga
macam: 1. Perangsangan ringan lebih efektif bagi sistem saraf, 2. Perlakuan dilaksanakan di tempat tenang, 3. Regulasi brainstem merupakan fondasi bagi self-regulation process (Hirsh, 2009).
Prinsip perbaikan fungsi saraf vagus
bermielin dapat dilakukan dengan cara memberikan perlakuan melalui portal dan hasilnya dapat dinilai dengan adanya pergeseran peran saraf simpatis kembali ke saraf parasimpatis, sehingga individu lebih fleksibel dalam merespon perubahan yang terjadi di luarnya (Porges, 2001). Penduduk muslim terbesar di dunia ada di Indonesia dan pemerintah Indonesia mendukung diselenggarakannya MTQ (Musabaqah Tilawatil Qur’an)
13
di tingkat kecamatan sampai ke tingkat nasional yang dilaksanakan dua tahun sekali agar masyarakat dapat lebih memahami Al-Qur’an. Penduduk muslim Indonesia pada kenyataannya hingga sampai sekarang masih banyak yang belum mampu membaca Al-Qur’an dengan kaidah membaca yang benar, memahami dan mengamalkannya. Salah satu ayat di dalam surat Al-Hujurat menjelaskan bahwa manusia diciptakan bersuku-suku dan berbangsa-bangsa agar saling kenal mengenal dan lebih mengedepankan perdamaian. Memahami faktor kepribadian merupakan cara mengenal orang lain. Dampak buruk faktor kepribadian tertentu dapat terjadi karena respon tubuh terhadap tantangan luar (environmental challange) cenderung berlebihan sehingga melampaui kemampuan fisiologisnya. Membaca Al-Qur’an secara benar dapat mengubah respon fisiologi individu menjadi lebih baik mengingat bahwa Al-Qur’an tidak hanya memiliki kandungan makna yang dalam dan luas, namun juga indah sastra bahasanya. Paradigma sehat yang baru bersifat holistik mencakup empat aspek yaitu : biologis, psikologis, sosial dan spiritual (biopsikososiospiritual). Keempat aspek tersebut semuanya bertumpu pada fungsi saraf otonom yang bekerja secara proporsional.
B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah yang telah dijelaskan di atas, maka dapat dirumuskan masalah penelitian sebagai berikut: 1. Apakah persentase hasil uji Schellong subjek (karyawan PLN) yang berada di zona normal lebih rendah dibanding di luar zona normal? 2. Apakah ada korelasi antara hasil uji Schellong dengan faktor kepribadian?
14
3. Apakah pajanan Surat Al-Hujurat pada subjek (siswa Mualimin) dapat menurunkan tonus saraf simpatis? 4. Apakah pajanan surat Al-Hujurat pada subjek (siswa Mualimin) dapat mengaktifkan kembali saraf vagus bermielin?
C. Keaslian Penelitian Kajian mengenai uji Schellong (orthostatic challenge) yang sudah dilakukan di antaranya adalah sebagai berikut: 1. Hoertnagl et al. (1986), merekomendasikan olahraga ketahanan dan isometrik untuk meningkatkan tonus otot tungkai bawah terhadap kelompok subjek yang mengalami hipotensi ortostatik.
Pada penelitian ini digunakan pajanan
Al-Qur’an dengan membaca surat Al-Hujurat secara tartil untuk menurunkan tonus simpatis bagi subjek yang memiliki tonus simpatis tinggi. 2. Nardo et al. (1999), mengkaji reaktivitas kardiovaskular. Kenaikan tekanan darah sebagai respon ortostatik, terdapat pada subjek berkulit hitam dan dipergunakan sebagai prediktor jantung koroner dalam kurun waktu delapan tahun. Pada penelitian ini subjek yang memiliki reaktivitas kardiovaskular berlebih memperoleh pajanan bacaan surat Al-Hujurat yang dibaca secara tartil. 3. Eigenbrodt et al. (2000), menyebutkan bahwa hipotensi ortostatik dapat digunakan sebagai prediktor stroke iskemik. Pada penelitian ini digunakan subjek tipe 1 [hypersympathikotone (hypertone) reaktion] yang menunjukkan adanya kenaikan tonus simpatis.
15
4. Fessel and Robertson (2006), menyimpulkan bahwa hipertensi ortostatik berkorelasi dengan iskemia serebrovaskular silent dan neuropati diabetika tipe 2. Pada penelitian ini dikaji korelasi ortostatik dengan faktor kepribadian. 5. Gardenghi et al. (2007), membuktikan efektifitas latihan fisik sesudah 4 bulan terhadap kenaikan baroreflex simpatis dan vagal.
Pada penelitian ini
digunakan pajanan dengan bacaan surat Al-Hujurat untuk memperbaiki regulasi ortostatik. 6. Carapetian et al. (2008), menyimpulkan adanya keterkaitan antara pengaturan tekanan darah sistolik dengan semangat belajar yang disebabkan oleh karena gangguan respon saraf simpatis, pelepasan neurotransmiter dan aliran darah serebral yang menurun. Pada penelitian ini menggunakan prinsip portal yaitu bacaan Al-Qur’an yang bekerja bidirectonal untuk mengaktifkan saraf otonom sebagai sistem yang terintegrasi antara perifer dan pusat. Secara keseluruhan penelitian ini mengembangkan Uji Schellong yang dapat digunakan untuk mengkaji kesehatan individu berdasarkan aspek biologis, psikis, sosial dan spiritual.
D. Tujuan Penelitan Berdasarkan latar belakang di atas, maka dapat dirumuskan tujuan penelitian ini yaitu: 1. Tujuan Umum: 1.1. Membuat pemetaan status saraf otonom subjek penelitian. 1.2. Menurunkan aktivitas tonus saraf simpatis.
16
2.
Tujuan Khusus: 2.1. Membuat profil respon tonus saraf simpatis karyawan PLN. 2.2. Mengembangkan penggunaan hasil uji Schellong sebagi komplemen terhadap uji faktor kepribadian. 2.3. Mengelola tonus simpatis melalui pajanan surat Al-Hujurat. 2.4. Mengembangkan penggunaan hasil uji Schellong sebagai acuan paradigma sehat (biopsikososiospiritual)
E. Faedah Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan faedah sebagai berikut: 1. Memberi kontribusi terhadap ilmu pengetahuan, khususnya yang berhubungan dengan paradigma sehat yang meliputi biopsikososiospiritual. 2. Meningkatkan kualitas kesehatan masyarakat dengan mengoptimalkan fungsi saraf otonom. 3. Meningkatkan daya spiritualitas individu untuk mendukung kehidupan bermasyarakat yang lebih harmonis dengan membaca, menghayati dan mengamalkan surat Al-Hujurat.