BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Perjanjian sering disebut kontrak. Istilah kontrak berasal dari bahasa Inggris contract yang sebenarnya sudah lama dikenal dalam bahasa Indonesia yaitu kontrak. Misalnya dalam hukum nasional dikenal kebebasan berkontrak bukan kebebasan perjanjian. 9 Dalam sistem hukum nasional, istilah kontrak atau perjanjian memiliki pengertian yang sama seperti halnya di Belanda tidak dibedakan antara contract dan overeenkomst. 10 Para pihak dalam membuat kontrak berdasarkan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata. Pasal ini menyatakan “semua perjanjian yang dibuat secara sah berlaku sebagai undang-undang bagi mereka yang membuatnya”. Perjanjian dan persetujuan para pihak didasarkan kepada salah satu asas dalam perjanjian sebagaimana disimpulkan dalam Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata tentang asas kebebasan berkontrak dan juga kata kerja overeenkomst itu sendiri yaitu overeenkomen yang artinya sepakat atau setuju. 11 Dengan asas kebebasan berkontrak setiap orang diakui memiliki kebebasan untuk membuat kontrak dengan siapapun juga, menentukan isi kontrak, menentukan bentuk kontrak, memilih hukum yang
9
Anita Kamilah, Bangun Guna Serah (Build Operate and Transfer/BOT) Membangun Tanpa Harus Memiliki Tanah (Perspektif Hukum Agraria, Hukum Perjanjian dan Hukum Publik), (Bandung: CV Keni Media, 2013), hal 64-65. 10 Johannes Ibrahim, Kartu Kredit: Dilematis Antara Kontrak dan Kejahatan, (Bandung: PT Refika Aditama, 2004), hal 31. 11 Anita Kamilah, Op.cit, hal 63.
Universitas Sumatera Utara
berlaku bagi kontrak yang bersangkutan. 12 Dengan demikian, suatu kesepakatan berupa perjanjian atau kontrak pada hakekatnya adalah mengikat, bahkan sesuai dengan Pasal 1338 ayat (1) KUH Perdata, kesepakatan ini memiliki kekuatan mengikat sebagai undang-undang bagi para pihak yang membuatnya. 13 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata) tidak secara spesifik mengatur tentang perjanjian baku sehingga boleh dikatakan perjanjian baku termasuk dalam perjanjian tidak bernama. 14 Di mana menurut Mariam Darus Badrulzaman, istilah “semua” dalam Pasal 1338 ayat (1) menunjukkan bahwa perjanjian yang dimaksud tidak hanya semata-mata perjanjian bernama, tetapi juga meliputi perjanjian yang tidak bernama. 15 Menurut Agus Yudha Hernoko, “hukum kontrak tumbuh dan berkembang sejalan
dengan
dinamika,
kompleksitas,
serta
problematika
yang
ada
di
masyarakat”. 16 Meminjam istilah yang dikemukakan oleh Henry Maine, sejarah manusia modern berangkat dari “status” kepada “kontrak”. 17 Dengan perkembangan kompleksitas aktivitas bisnis yang didukung dengan jangkauan wilayah pasar, pelayanan yang sudah semakin borderless serta dukungan 12
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2004), hal 29. 13 Huala Adolf, Dasar-Dasar Hukum Kontrak Internasional, (Bandung: PT Refika Aditama, 2007), hal 16. 14 R.M. Panggabean, “Keabsahan Perjanjian dengan Klausul Baku”, Jurnal Hukum, Vol 17 No. 4 (2010), hal 652. 15 Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan Dengan Penjelasan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 107. 16 Agus Yudha Hernoko, “Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Bisnis: Upaya Mewujudkan Hubungan Bisnis dalam Perspektif Kontrak yang Berkeadilan”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010), hal 5. 17 Rosa Agustina, “Kontrak Elektronik (E-Contract) dalam Sistem Hukum Indonesia”, Gloria Juris Vol 8 No 1 (2008), hal 5.
Universitas Sumatera Utara
teknologi yang begitu canggih membuat dunia bisnis tidak saja pelaku usaha akan tetapi pembeli maupun pengguna jasa cenderung semakin menghindari bentuk-bentuk atau proses-proses berbisnis yang tidak efisien dan bertele-tele. Selain itu juga tidak mungkin bila ada ratusan ribu atau jutaan pembeli maupun pengguna jasa yang telah menandatangani perjanjian baku harus terlebih dahulu memulai proses precontractual melalui negosiasi yang rumit dan berulang-ulang ataupun penentuan klausul perjanjian oleh perusahaan dengan pembeli maupun pengguna jasa dalam setiap perjanjian sebelum perjanjian ditandatangani. Tentu ini tidak efisien tidak saja bagi produsen namun juga bagi konsumen. 18 Dengan alasan keseragaman dan efisiensi perusahaan telah merumuskan seluruh atau sebagian besar klausul perjanjian secara sepihak. Pihak konsumen tidak memiliki kesempatan untuk menegosiasikan isi perjanjian. Konsumen hanya memiliki pilihan take it or leave it. 19 Menurut Munir Fuady, “mengingat begitu banyaknya praktek kontrak baku saat ini, maka yang terjadi dewasa ini sebenarnya adalah gerakan sebaliknya yakni gerakan dari kontrak ke status”. 20 Di mana berubah dari kontrak ke status dengan ditetapkannya kontrak yang disiapkan secara sepihak oleh pihak swasta. Karena Sluijter berpendapat bahwa pihak yang membuat perjanjian baku sudah bertindak sebagai pembentuk undang-undang swasta. 21 Dalam masyarakat yang kapitalis sudah 18
Ricardo Simanjuntak, Hukum Kontrak: Teknik Perancangan Kontrak Bisnis, (Jakarta: Kontan Publishing, 2011), hal 207-209. 19 R.M. Panggabean, Op.cit, hal 652. 20 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2007), hal 77. 21 M. Sadar, Moh. Taufik Makarao, & Habloel Mawadi, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Akademia, 2012), hal 34.
Universitas Sumatera Utara
lumrah jika pengusaha besar mengendalikan perekonomian masyarakat dengan menjual produk atau jasa yang dihasilkan berdasarkan model-model perjanjian yang mengandung syarat-syarat yang menguntungkan pihaknya. 22 Karena itu, menurut Max Weber: 23 “Kapitalisme sebagai sebab terjadinya perubahan tipe hukum dari tradisional menjadi modern menuntut suatu tatanan normatif dengan tingkat yang dapat diperhitungkan (calculability) secara akurat sehingga hanya sistem-sistem hukum modern yang rasional dan bersifat logis yang mampu memberikan tingkat perhitungan yang dibutuhkan. Legalisme memberikan suasana yang stabil dan dapat diperhitungkan”. Di mana banyak transaksi bisnis yang terjadi bukan melalui proses negosiasi yang seimbang di antara para pihak, tetapi perjanjian itu terjadi dengan cara pihak yang satu telah menyiapkan syarat-syarat baku pada suatu formulir perjanjian yang sudah dicetak dan kemudian disodorkan kepada pihak lainnya untuk disetujui dengan hampir tidak memberikan kebebasan sama sekali kepada pihak lainnya untuk melakukan negosiasi atas syarat-syarat yang disodorkan. 24 Sistem hukum perjanjian Indonesia yang bersumber pada KUH Perdata memang pada prinsipnya setiap orang bebas mengadakan dan menentukan isi perjanjian, sepanjang diantara para pihak telah terjadi kesepakatan sesuai dengan Pasal 1320 dan 1338 ayat (1) KUH Perdata. Namun, kebebasan ini dibatasi oleh 22
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, (Bandung: C.V. Mandar Maju, 2011), hal 135. 23 Sunarmi, Prinsip Keseimbangan dalam Hukum Kepailitan di Indonesia. Edisi 2, (Jakarta:PT Sofmedia, 2010), hal 249. 24 Elis Herlina, “Kajian Hukum Terhadap Perjanjian Baku pada Kontrak Berlangganan Sambungan Telekomunikasi Internet dan Kaitannya dengan Pengalihan Tanggung Jawab Berdasarkan Undang-Undang Perlindungan Konsumen” ,http://ejournal.kopertis4.or.id/upload.php?id=266&name=KAJIAN%20HUKUM%20TERHADAP%20PERJ ANJIAN%85%85.pdf, hal 3, diakses 13 Februari 2013.
Universitas Sumatera Utara
undang-undang, ketertiban umum, kepatutan dan kesusilaan sesuai dengan Pasal 1338 ayat (3) dan 1339 KUH Perdata. 25 Maka dalam hal terjadi ketidakseimbangan akibat ketidaksetaraan posisi para pihak yang membuat kontrak yang menimbulkan gangguan terhadap muatan isi kontrak diperlukan intervensi negara (pemerintah) untuk menegakkan asas keseimbangan dalam hubungan hukum kontraktual. 26 Terhadap kontrak baku, ada banyak klausula yang memberatkan pihak nasabah salah satunya adalah klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata jika terjadi events of default. 27 Contohnya pada salah satu klausula perjanjian pembiayaan PT Adira Finance diatur bahwa PT Adira Finance dapat memutuskan perjanjian setiap saat bila debitur wanprestasi. Untuk keperluan ini, para pihak setuju untuk mengesampingkan Pasal 1266 KUH Perdata. 28 Di mana pihak konsumen tanpa hak untuk menuntut ganti rugi pada kreditur terkait pemutusan perjanjian oleh kreditur tanpa melalui pengadilan karena debitur tidak melaksanakan pembayaran pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Kontrak yang demikian sering kali diibaratkan berhadapan dua kekuatan yang tidak seimbang, antara pihak yang mempunyai bargaining position kuat (baik karena penguasaan
25
Rachmadi Usman, Penyelesaian Pengaduan Nasabah dan Mediasi Perbankan, Op.cit, hal
139. 26
Muhammad Syaifuddin, Hukum Kontrak: Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan). (Bandung: CV Mandar Maju, 2012), hal 99. 27 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 100-102. 28 Salim H.S., Perkembangan hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Dua, (PT RajaGrafindo Persada, 2008), hal 151.
Universitas Sumatera Utara
modal/dana, teknologi maupun skill) dengan pihak yang lemah bargaining positionnya. 29 Dalam kaitannya dengan pencantuman klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis dengan jaminan, Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pencantuman klausula baku pada setiap dokumen dan/atau perjanjian jika isinya menyatakan bahwa konsumen memberi kuasa kepada pelaku usaha untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai atau hak jaminan terhadap barang yang dibeli secara angsuran. 30 Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang yang dibeli debitur secara angsuran yang melanggar Pasal 18 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen menurut Pasal 62 Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun atau pidana denda paling banyak Rp.2.000.000.000,00 (dua miliar rupiah) kecuali untuk kontrak leasing/beli sewa/sewa guna usaha karena dalam leasing belum ada penyerahan (levering) sedangkan beli dengan cicilan, pemilik benda telah melakukan penyerahan (levering) sehingga pihak yang memperoleh penyerahan benda telah menjadi pemilik yang sah atas benda tersebut. 31
29
Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, (Jakarta: Kencana, 2011), hal 2. 30 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 31 Leasing/sewa guna usaha adalah “kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang baik sceara sewa guna usaha tanpa hak opsi (operating lease) maupun sewa guna usaha dengan hak opsi (financing lease) untuk digunakan Lesse dalam jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran
Universitas Sumatera Utara
Dalam hal ini juga termasuk kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak baku dengan jaminan. Namun ada perbedaan pendapat antara para ahli mengenai pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pertama, ada pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sifatnya memaksa karena adanya kata “harus” untuk permohonan pembatalan kepada hakim. Kedua, ada pendapat yang mengatakan bahwa ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata merupakan ketentuan yang sifatnya melengkapi atau terbuka sesuai dengan asas terbuka dari Buku III KUH Perdata yang mengatur tentang perikatan ini. Menurut Munir Fuady walaupun Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat disimpangi, namun menurut teori ilmu hukum umumnya ketentuan hukum acara termasuk proses pengadilan merupakan hukum memaksa. 32 Sedangkan, menurut Herlien Budiono, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata bukan ketentuan yang bersifat memaksa sehingga dapat disimpangi para pihak. 33 Padahal, Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata mengatur tentang perikatan bersyarat. Perikatan bersyarat yang diatur oleh Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah syarat batal. Menurut Pasal 1266 KUH Perdata: 34
berkala”. Lihat Sri Gambir Melati Hatta, Beli Sewa Sebagai Perjanjian Tak Bernama: Pandangan Masyarakat dan Sikap Mahkamah Agung, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal 25. 32 Munir Fuady, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis): Buku Kedua, Op.cit, hal 115-116. 33 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2011), hal 199-200. 34 Opini Kompasiana, “Mengenal Syarat Batal dalam Perjanjian Pembiayaan Konsumen”, http://hukum.kompasiana.com/2011/12/21/mengenal-syarat-batal-dalam-perjanjian-pembiayaankonsumen-420846.html, diakses 26 Desember 2012.
Universitas Sumatera Utara
“Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan yang timbal balik, jika salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal ini, persetujuan tidak batal demi hukum, tetapi pembatalan harus dimintakan pada pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan di dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”. Inilah yang mau dikesampingkan oleh pihak kreditur karena prosedur pengadilan mulai dari pengadilan negeri kemudian banding ke pengadilan tinggi, kasasi dan peninjauan kembali yang memakan waktu yang lama dan belum sesuai dengan asas peradilan cepat dan murah. Oleh karena itu para pelaku bisnis mencari pilihan lain dengan cara negosiasi, mediasi, konsultasi maupun arbitrase. 35 Selanjutnya Pasal 1267 KUH Perdata mengatur bahwa pihak yang perikatannya tidak dipenuhi dapat memilih apakah ia akan memaksa pihak lain untuk memenuhi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian disertai penggantian biaya kerugian dan bunga. Penempatan kedua pasal tersebut dalam bagian tentang perikatan bersyarat menimbulkan kritik dari Herlien Budiono yang menganggap pembuat undang-undang telah keliru memandang dan mengartikan wanprestasi sebagai telah dipenuhinya salah satu syarat pada perjanjian bersyarat (untuk membatalkan). 36 Tetapi juga ditemukan alasan pembenarnya oleh Subekti yang menganggap penempatan kedua
35
Cicut Sutiarso, Pelaksanaan Putusan Arbitrase dalam Sengketa Bisnis, (Jakarta: Yayasan Pustaka Obor Indonesia, 2011), hal 2-3. 36 Herlien Budiono, Ajaran Umum Hukum Perjanjian dan Penerapannya di Bidang Kenotariatan, Op.cit, hal 196.
Universitas Sumatera Utara
pasal ini tidak salah karena pernyataan pembatalan perjanjian bukan batal demi hukum dan permohonan pembatalan perjanjian melalui hakim. 37 Sistem peradilan yang dimiliki oleh setiap negara dipandang sebagai jalan terbaik dalam menyelesaikan sengketa. Sehingga setiap kali muncul konflik maka yang timbul dalam pikiran adalah penyelesaiannya harus melalui pengadilan (litigasi) padahal dalam proses pengadilan terdapat banyak tahap dan segudang aturan main yang harus dipenuhi. Belum lagi apabila kasus tersebut berlarut-larut dan berlanjut ke tingkat yang lebih tinggi. Tentu saja penyelesaiannya memakan waktu yang lama dan biaya yang besar bagi setiap pencari keadilan. 38 Jika dikaitkan dengan pengsesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, maka yang dikesampingkan adalah kewenangan pengadilan dalam menangani perkara perdata di bidang bisnis. Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata ini menurut Gunawan Widjaja adalah salah, hanya berlaku untuk jual beli dan ganti rugi serta biaya harus dituntut. 39 Tidak selamanya pihak yang lemah bargaining position-nya adalah debitur atau konsumen. Adakalanya pihak kreditur juga menjadi pihak yang lemah ketika misalnya pihak kreditur telah mengucurkan pinjaman kepada debitur di mana pihak kreditur
menjadi pihak yang lemah karena bisa saja pihak debitur yang telah
menerima kucuran pinjaman tidak mampu atau tidak mau maupun sengaja menunda membayar pinjaman sehingga hal ini menjadi resiko pihak kreditur. Maka dari sisi 37
R. Subekti, Hukum Perjanjian, (Jakarta: Penerbit Intermasa, 2005), hal 50. Anggreany Arief, “Mediasi Sebagai Alternatif Penyelesaian Perkara Perdata”, AlRisalah,Vol 12 No 2 (2012), hal 306. 39 Gunawan Widjaja, “Hal-Hal Prinsip Dalam Pembuatan Kontrak yang Sering Terlupakan Dan Akibat-Akibatnya”, Jurnal Hukum Bisnis, Vol 29 No. 2 (2010) , hal 54-57. 38
Universitas Sumatera Utara
kreditur, pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berfungsi untuk melindungi kreditur dari resiko-resiko debitur tidak melaksanakan pembayaran pokok, bunga, dan denda keterlambatan sesuai dengan yang disepakati. Apalagi jika perjanjian kredit itu bersifat jangka panjang seperti perjanjian Kredit Pemilikan Rumah (KPR) yang jangka waktunya perjanjian kredit lebih dari 3 tahun. 40 Mengingat rentang waktu hubungan hukum yang terjadi mungkin relatif lama maka kepercayaan tersebut tidak cukup sebatas “janji bahwa dapat dipercaya” secara etika dan moral saja. Kepercayaan perlu diperkuat dengan wujud yang lain yaitu disebut sebagai jaminan. Jaminan menjadi penting dan berharga apabila mencakup mengenai nilai ekonomi yang besar seperti perjanjian kredit dalam memperkuat hubungan bisnis dan hubungan hukum yang terjalin dalam rentang waktu panjang. 41 Perwujudan kepercayaan diperlukan antara para pihak dalam berbagai bentuk. Bentuk kepercayaan dapat berupa barang, benda tertentu, atau orang tertentu. Bentuk-bentuk tersebut akhirnya menjadi lembaga hukum sekaligus sebagai lembaga jaminan dan pengganti kepercayaan yang menjadi dasar hubungan hukum seperti jaminan kebendaan dan jaminan perorangan. 42 Kepercayaan yang hanya bersifat etis dan moral saja, keberadaannya sangat cair, mudah diingkari dan selalu dapat menciptakan adanya cidera janji. Jaminan 40
Brierly Napitupulu, “Studi SKMHT dalam Perjanjian KPR BTN”, http://magisterkenotariatan.blogspot.com/2012/07/studi-skmht-dalam-perjanjian-kpr-btn.html, diakses 14 Februari 2013. 41 Sri Redjeki Hartono, Hukum Ekonomi Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing, 2007), hal 162. 42 Salim H.S., Pengantar Hukum Perdata Tertulis (BW), (Jakarta: Penerbit Sinar Grafika, 2011), hal 112.
Universitas Sumatera Utara
menjadi sangat berarti apabila di kemudian hari debitur benar-benar ingkar janji/cidera janji sehingga kreditur menjadi pasti kedudukannya terhadap debitur karena sudah ada jaminan. 43 Perjanjian bisnis dengan jaminan terdiri dari perjanjian pokok yaitu perjanjian kredit dengan perjanjian ikutan yaitu perjanjian jaminan di mana perjanjian jaminan merupakan perjanjian accessoir yang selalu mengikuti perjanjian pokok, karena merupakan perjanjian yang accessoir tentu juga mempunyai akibat sebagai suatu perjanjian yang bersifat accessoir. 44 Dalam kaitannya dengan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, apabila pihak debitur gagal memenuhi prestasinya maka pihak kreditur dengan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dapat langsung memutuskan perjanjian dengan langsung mengeksekusi jaminan secara parate executie tanpa harus melalui pengadilan di mana klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata diikuti dengan pemberian kuasa pada pihak kreditur untuk mengeksekusi benda jaminan. Dari perspektif kreditur, hal ini jauh lebih efisien karena tidak perlu menempuh prosedur pengadilan yaitu sita jaminan yang prosesnya bisa berlarut-larut baik dari proses permohonan hingga eksekusinya jaminannya. Sehingga cidera janji oleh debitur yang mungkin terjadi dalam konsep hukum mendapat jaminan agar tidak
43
Sri Redjeki Hartono, Op.cit, hal 163. Kiki Riarahma, Fungsi dan Kedudukan Surat Kuasa Membebankan Hak Tanggungan dalam Perjanjian Kredit, (Medan: Tesis, Program Studi Ilmu Hukum Pascasarjana Universitas Sumatera Utara, 2006), hal 17. 44
Universitas Sumatera Utara
merugikan kreditur. 45 Hal ini tentu merugikan debitur dari sisi debitur karena debitur yang gagal melaksanakan prestasinya tidak mempunyai pilihan lain misalnya menegosiasikan utang selain menerima perlakuan pihak kreditur karena sudah disepakati pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian baku. Demikian, penulisan tesis ini ingin melihat bagaimana kekuatan mengikat dari klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.
B. Perumusan Masalah 1.
Bagaimana kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis?
2.
Bagaimana pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis yang dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata?
C. Tujuan Penelitian 1.
Untuk
mengetahui
kekuatan
mengikat
klausula
syarat
batal
yang
mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis.
45
Sri Redjeki Hartono, Op.cit, hal 164.
Universitas Sumatera Utara
2.
Untuk mengetahui pelaksanaan eksekusi terhadap kontrak bisnis dengan klausula syarat batal yang mengesampingkan ketentuan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata.
D. Manfaat Penelitian Secara teoritis, penulisan ini diharapkan dapat menjadi salah satu referensi atau rujukan untuk menambah khazanah pustaka khususnya mengenai keuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Secara praktis, penulisan ini diharapkan bermanfaat untuk kreditur dan debitur khususnya pihak perbankan dan nasabah untuk dapat menyelesaikan masalah utang juga memahami penggunaan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis bisnis dari sisi perundang-undangan di Indonesia.
E. Keaslian Penelitian Sejauh ini, peneliti telah melakukan penelusuaran karya ilmiah baik di perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, perpustakaan Pascasrajana Program Studi Ilmu, perpustakaan utama Universitas Sumatera Utara, dan penelusuran melalui internet, ada beberapa tesis yang membahas tentang pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis khususnya antara lain:
Universitas Sumatera Utara
1.
Budi Utami Raharja, Hak Jaminan Atas Kredit Pemilikan Rumah Studi Kasus PT. Bank Danamon Indonesia Tbk dan PT Bank Sumut Medan, Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2005.
2.
Madda Elyana, Peranan Notaris Dalam Penyelesaian Sengketa Akibat Tuntutan Pembatalan Akta Perjanjian Bangun Bagi (Suatu Penelitian Pada Praktek Notaris Di Kota Banda Aceh), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2010.
3.
Oki Ardiansyah Kurnadi, Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT. Telemedia Network Cakrawala), Medan: Tesis, Program Pascasarjana Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011. Namun, penulisan tesis ini berbeda dengan tesis-tesis yang telah disebutkan
karena pembahasan tesis-tesis tersebut hanya membahas syarat batal yang diatur dalam Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada bagian subbab tesis bukan menjadi pembahasan utama. Sedangkan penulisan tesis ini membahas kekautan mengikat dari klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis sebagai pembahasan utama. Dengan demikian, penelitian ini belum pernah ditulis oleh peneliti sebelumnya sehingga dapat dikatakan penelitian ini asli dan keaslian secara akademis keilmuan dapat dipertangungjawabkan.
Universitas Sumatera Utara
F. Kerangka Teori dan Konsepsi 1.
Kerangka Teori Untuk menganalisis permasalahan-permasalahan dalam penulisan tesis ini digunakan
teori
asas
kebebasan
berkontrak.
Sutan
Remy
Sjahdeini
mengemukakan bahwa asas kebebasan berkontrak muncul bersamaan dengan lahirnya paham ekonomi klasik yang mengagungkan laissez faire atau persaingan bebas. Keduanya saling mendukung dan berakar dari paham hukum alam. Kedua paham ini berpendapat bahwa individu pada umumnya mengetahui kepentingan mereka yang paling baik dan cara mencapainya. Kemampuan tersebut diperoleh karena manusia menggunakan akalnya. Oleh karenanya menurut hukum alam individu-individu harus diberi kebebasan untuk menetapkan langkahnya, dengan sekuat akal dan tenaganya untuk mencapai kesejahteraan yang seoptimal mungkin. Dalam mencapai kesejahteraan, individu harus mempunyai kebebasan untuk bersaing dan negara tidak boleh campur tangan. Seiring dengan berkembangnya laissez faire tersebut, freedom of contract merupakan pula suatu prinsip yang umum dalam mendukung berlangsungnya persaingan bebas. 46
46
Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, (Jakarta: PT Pustaka Utama Grafiti, 2009), hal 8-9.
Universitas Sumatera Utara
Ketika para pihak menentukan hak dan kewajiban serta hal-hal lain yang menjadi substansi perjanjian, maka para pihak memasuki ruang asas kebebasan berkontrak. 47 Maka menurut Hans Kelsen: 48 “Perjanjian adalah tindakan hukum dua pihak di mana norma hukum mewajibkan dan memberikan wewenang kepada para pihak melakukan perjanjian yang dilahirkan oleh kerjasama dari minimal dua orang yang didasarkan prinsip otonomi yang diberikan pada para pihak dimana tidak seorang pun diwajibkan terhadap, atau bahkan tanpa persetujuannya sendiri di mana dari hubungan hukum tersebut dilahirkan norma yang merupakan perjanjian yang diadakan oleh para pihak yang harus menghendaki hal yang sama dan kehendak-kehendak yang sejajar”. Kehendak para pihak inilah menjadi dasar doktrin otonomi kehendak yang menekankan kebebasan individu untuk membuat kontrak tidak bernama (onbenoemde, innominaat contracten). Sepanjang tidak bertentangan dengan ketertiban umum, para pihak bebas membuat kontrak yang mereka inginkan. 49 Jadi saat momentum awal kontrak terjadi yaitu pada detik para pihak mencapai puncak kesepakatannya, asas konsensualisme lahir. 50 Persetujuan secara timbal balik terhadap bentuk dan isi kontrak ditandai dengan adanya pembubuhan tanda tangan atau yang dapat dipersamakan dengan itu yang diberikan menjadi pengakuan kehendak yang sah terhadap isi kontrak. Akibatnya kontrak tersebut mengikat bagi kedua belah pihak dan harus 47
Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum Perdata pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 2 September 2006, hal 11. 48 Hans Kelsen, Teori Umum Tentang Hukum Dan Negara. Terjemahan oleh Raisul Muttaqien. (Bandung: Penerbit Nusa Media, 2011), hal 203-205. 49 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 30. 50 Tan Kamello, “Karakter Hukum Perdata dalam Fungsi Perbankan Melalui Hubungan Antara Bank Dengan Nasabah”, Op.cit, hal 11.
Universitas Sumatera Utara
dilaksanakan dengan itikad baik. 51 Dalam kondisi yang demikian, menurut Max Weber, perkembangan pengaturan hubungan kontraktual dan hukum itu sendiri makin mengarah kepada kebebasan berkontrak, khususnya mengarah kepada suatu sistem yang bebas dari kerangka pengaturan bentuk-bentuk transaksi yang ditentukan hukum yang menjadi perintang dan meningkatnya kebebasan berkontrak. 52 Henry Maine dalam bagian terkenalnya dari Ancient Law menurut Lawrence M. Friedman, mencoba menjelaskan bagaimana hukum berevolusi selama bertahun-tahun pada masyarakat progresif dan menunjukkan pada masyarakat seperti itu hukum bergerak dari status ke kontrak. Maksudnya hubungan hukum dalam masyarakat modern tidak tergantung secara khusus lagi pada kelahiran atau kasta, hubungan itu tergantung pada perjanjian sukarela. 53 Namun berkembangnya doktrin itikad baik, doktrin penyalahgunaan keadaan, makin banyaknya kontrak baku, dan berkembangnya hukum ekonomi mempengaruhi pembatasan kebebasan berkontrak. 54 Menurut Sunaryati Hartono, pada abad ke-20 terjadi perubahan besar yang disebabkan beberapa faktor yaitu malaise, muculnya ajaran hukum fungsional, sehingga lahir paham negara kesejahteraan, dan oleh perkembangan ekonomi
51
Ibid. Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 77. 53 Lawrence M. Friedman, Hukum Amerika: Sebuah Pengantar. Terjemahan oleh Wishnu Basuki. (Jakarta: PT Tatanusa, 2001), hal 195. 54 Agus Yudha Hernoko, Hukum Perjanjian: Asas Proporsionalitas dalam Kontrak Komersial, Op.cit, hal 114. 52
Universitas Sumatera Utara
yang karena ditunjang oleh kemajuan di bidang teknologi menuju produksi masal. Produksi masal menimbulkan perkembangan baru
di bidang hukum
kontrak dengan digunakannya kontrak-kontrak standar (standard contracts). 55 Menurut R W M Dias, kembalinya kontrak ke status pada abad modern ditandai dengan individu yang tidak dapat lagi menegosiasikan klausula-klausulanya sendiri dalam hubungan publik dan khususnya di dalam industri sehingga menurut R W M Dias inilah abad standarisasi kontrak dan penawaran secara kolektif. 56 Friedrich A. Hayek berpendapat sebetulnya ini berarti kembali ke kedaulatan status, kemunduran dari “gerakan masyarakat progresif” yang dalam ungkapan terkenal Henry Maine, “hingga kini telah menjadi gerakan dari status ke kontrak”. 57 Man Suparman Sastrawidjaja berpendapat tujuan semula diadakannya kontrak baku adalah alasan efisiensi dan alasan praktis. 58 Penjelasannya menurut Richard A. Posner adalah penyedia jasa hanya berusaha mengurangi biaya-biaya dari negosiasi dan perancangan kontrak dengan setiap konsumen. 59 Max Weber memperlihatkan kapitalisme modern tidak hanya membutuhkan teknik-teknik produksi, tapi juga membutuhkan sistem hukum yang dapat diprediksi.
55
Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Penerbit Alumni, 1991), hal 120. 56 R W M Dias, Jurisprudence. 5th Edition. (London: Butterworths, 1985), hal 389. 57 Friedrich A. Hayek, Ancaman Kolektivisme. Terjemahan oleh Iones Rakhmat. (Jakarta: Freedom Institute & Friedrich Naumann Stiftung, 2011), hal 97. 58 Djoni S. Gazali & Rachmadi Usman, Hukum Perbankan, (Jakarta: PT Sinar Grafika, 2010), hal 322. 59 Richard A. Posner, Economic Analysis of Law. 4th Edition. (Boston: Little Brown & Company, 1992), hal 114.
Universitas Sumatera Utara
Perusahaan-perusahaan modern kapitalisme modern sangat tergantung kepada prediksi. 60 Di mana pihak yang telah mempersiapkan kontrak tersebut telah menghitung resiko kontrak bisnisnya dengan pencantuman klausula yang menguntungkan dirinya terutama bila debitur lalai, terlambat membayar, dan wanprestasi. Kontrak baku yang dibuat dengan sendirinya pihak yang mempersiapkan akan menuangkan sejumlah klausul yang menguntungkan dirinya. 61 Maka pihak kreditur tinggal menyodorkan isi kontrak tersebut dan debitur tinggal menyetujui “Ya” atau “Tidak”. 62 Di dalam perkembangannya, kebebasan berkontrak hanya dapat mencapai tujuannya bila para pihak mempunyai bargaining position lebih kuat dapat memaksakan kehendaknya untuk menekan pihak lain demi keuntungan dirinya sendiri. Syarat-syarat dalam kontrak semacam itu akhirnya akan melanggar keadilan dan kelayakan. Dalam kenyataannya, tidak selalu para pihak memiliki bargaining position yang seimbang. 63 Mark R Patterson mengemukakan ada halhal yang menjadi perhatian dalam konteks konsumen di mana kontrak-kontrak demikian sering merupakan kontrak sepihak di mana konsumen tidak membaca atau tidak berdaya untuk melakukan negosiasi. Siapapun para pihak baik
60
Bismar Nasution, “Mengkaji Ulang Hukum Sebagai Landasan Pembangunan Ekonomi”, disampaikan pada Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Ilmu Hukum Ekonomi pada Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, Gelanggang Mahasiswa Kampus USU, 17 April 2004, hal 11. 61 Djoni S. Gazali et al, Op.cit, hal 325. 62 Salim H.S., Perkembangan Hukum Kontrak di Luar KUH Perdata: Buku Satu, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2007), hal 174. 63 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
konsumen maupun pelaku usaha, kontrak baku tidak selamanya baik untuk setiap transaksi, maka untuk beberapa pihak tidak dilayani dengan baik oleh kontrak baku. 64 Keadaan tersebut dapat berlaku dalam hubungan bank (kreditur) dan nasabah (debitur). Pada umumnya karena kreditur menjadi pihak yang mempunyai uang dan menjelma dalam bentuk perusahaan besar, maka kreditur diasumsikan memiliki bargaining position yang lebih kuat terhadap debiturnya. Namun dalam keadaan
tertentu
kreditur
dapat
merupakan
pihak
yang
lemah.
Ketidakseimbangan bargaining position ini sering melahirkan perjanjian kredit yang berat sebelah atau timpang, tidak adil, dan melanggar aturan-aturan kepatutan. 65 Karena itu, asas-asas dalam kontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik relevan dalam penelitian tesis ini. Karena penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan pada kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan isi kontrak di mana para pihak bebas menentukan apakah mereka menuruti Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata atau mengesampingkannya. Selain itu asas itikad baik dalam kebebasan dan kesepakatan para pihak lebih ditekankan pada kesepakatan yang tidak berat sebelah (fair) antara para pihak. Namun asas itikad baik yang
64
Mark R Patterson, “Standardization of Standard-Form Contracts: Competition and Contract Implication”, William & Mary Law Review, Vol 52 No. 2 (2010), hal 332. 65 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9.
Universitas Sumatera Utara
ditujukan pada pengadilan membatasi kebebasan para pihak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. 66 Di mana aturan itikad baik yang ditujukan pada pengadilan merupakan pembatasan oleh negara melalui kekuasaan kehakiman sesuai pembagian trias politikanya Montesquieu. 67 Hal ini dilakukan untuk melindungi kepentingan umum dan pihak yang lemah. 68 Namun kekuasaan kehakiman ini yang mau dikesampingkan karena alasan dikesampingkannya pasal-pasal tersebut adalah agar dalam hal terjadinya wanprestasi atau tidak terpenuhinya isi perjanjian oleh salah satu pihak maka pembatalan suatu perjanjian tidak perlu melalui proses permohonan batal ke pengadilan melainkan dapat hanya berdasarkan kesepakatan para pihak itu sendiri (Pasal 1266). Pihak yang tidak dipenuhi perikatannya dapat memaksa pihak yang lain untuk memenuhi isi perjanjian atau menuntut pembatalan perjanjian tersebut ke pengadilan dengan membebankan penggantian biaya, kerugian dan bunga (Pasal 1267). 69 Kaitannya dengan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam perjanjian bisnis khususnya dengan jaminan menurut Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, tujuan dari jaminan memberikan hak verhaal (hak meminta pemenuhan piutangnya) kepada kreditur terhadap benda keseluruhan maupun penjualan benda dari debitur untuk pemenuhan piutangnya
66
Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 7. Ahmad Kamil, Filsafat Kebebasan Hakim, (Jakarta: Kencana, 2012), hal 177. 68 Ridwan Khairandy, Iktikad Baik Dalam Kebebasan Berkontrak, Op.cit, hal 3. 69 Hukumonline, “Pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata”, http://www.hukumonline.com/klinik/detail/lt4d534a209bbf4/pengesampingan-pasal-1266-dan-pasal1267-kuhper-dalam-perjanjian , diakses tanggal 11 Desember 2012. 67
Universitas Sumatera Utara
dengan hak yang selalu mengikuti bendanya (droit de suite) tidak hanya hak tapi kewenangan menjual dan hak eksekusi dengan pelaksanan janji dengan mudah (parate executie) serta grosse yang mempunyai kekuatan eksekutorial sehingga menjamian kuatnya lembaga jaminan. 70 Maka apabila debitur cedera janji, eksekusi terhadap jaminan misalnya hak tanggungan dapat dilakukan tanpa melalui proses litigasi apabila melakukan eksekusi atas jaminan utang debitur karena kekuatan eksekutorial yang ada pada sertifikat jaminan sudah sama dengan putusan pengadilan yang berkekuatan tetap. 71 Maka keadilan yang dicari disini adalah keadilan komutatif di mana menurut Robert Nozick, keadilan hanya dibatasi dalam ruang komutatif pertukaran individu di mana keadilan bagi Nozick terdapat dalam pertukaran yang adil. 72 Sehubungan dengan hal tersebut, Aristoteles mengatakan apa yang adil (just) adalah yang proporsional. 73 Keadilan harus dipahami sebagai fairness di mana prinsip perbedaan objektif yang menjamin terwujudnya proporsionalitas pertukaran hak dan kewajiban para pihak sehingga secara wajar (objektif) diterima adanya perbedaan pertukaran asalkan memenuhi syarat good faith and fairness. Prinsip perbedaan ini tidak menuntut manfaat yang sama (equal 70
Sri Soedewi Masjchoen Sofwan, Hukum Jaminan di Indonesia: Pokok-Pokok Hukum Jaminan dan Jaminan Perorangan, (Jakarta: BPHN, 1980), hal 38-39. 71 Utari Maharani Barus, “BASYARNAS sebagai Lembaga Alternatif Penyelesaian Sengketa Perbankan Syariah di Indonesia”, Spirit Hukum: Didedikasikan untuk Purna Bakti 70 Tahun Prof.Hj. Rehngena Purba, SH, MS Guru Besar Fakultas Hukum USU Hakim Agung Republik Indonesia, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 2012), hal 157-158. 72 Karen Lebacqz, Six Theories Of Justice. Terjemahan oleh Yudi Santoso. (Indianapolis: Augsbung Publishing House, 1986), hal 101. 73 Aristotle, Nicomachean Ethics, Tranlsated by W.D. Ross. (Kitchener: Batoche Books, 1999), hal 76.
Universitas Sumatera Utara
benefits) bagi semua orang, melainkan manfaat yang sifatnya timbal balik (reciprocical benefits). 74 Oleh karena itu kreditur juga sering mencantumkan klausula pernyataan bahwa debitur memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak tanggungan, hak gadai, atau hak jaminan. 75 Menurut Hegel sebagaimana adanya manusia itu, hanya bisa terjadi karena negara. 76 Maka dalam hal ini negara perlu campur tangan untuk melindungi yang lemah. 77 Pengaturan oleh Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen melarang pelaku usaha atau kreditur dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan, mencantumkan klausula baku tentang memberi kuasa pada kreditur untuk pembebanan hak jaminan terhadap debitur. 78 Pencantuman pemberian Kuasa Membebankan Surat Kuasa terhadap barang yang dibeli debitur secara angsuran dapat dipidana menurut Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen kecuali untuk kontrak leasing/sewa guna usaha. Teori asas dalam berkontrak seperti asas kebebasan berkontrak, asas konsensualisme, dan asas itikad baik ini tepat dalam penulisan tesis ini karena dasar penentuan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata didasarkan 74
Muhammad Syaifuddin, Op.cit, hal 43. H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, (Bandung: PT Alumni, 2012), hal 4. 76 Budiono Kusumohamidjojo, Filsafat Hukum: Problematik Ketertiban yang Adil, (Bandung: CV Mandar Maju, 2011), hal 73. 77 Sutan Remy Sjahdeini, Kebebasan Berkontrak dan Perlindungan Yang Seimbang Bagi Para Pihak Dalam Perjanjian Kredit Bank Di Indonesia, Op.cit, hal 9. 78 Pasal 18 ayat (1) Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen. 75
Universitas Sumatera Utara
oleh kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausul pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata adalah perikatan bersyarat di mana syarat batal tersebut, pembatalannya harus dimintakan ke pengadilan. Namun, karena sifat terbuka dari Buku III KUH Perdata, para pihak memiliki kebebasan untuk mengesampingkan aturan ini termasuk Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. Para pihak dalam menentukan klasula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus telah memahami bahwa dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, mereka telah melepaskan hak mereka untuk mengajukan pembatalan perjanjian ke pengadilan. Sehingga penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata tidak dimanfaatkan untuk mengambil keuntungan dari pihak yang lemah oleh pihak yang mempunyai bargaining position yang kuat, di mana tidak selamanya debitur sebagai pihak yang lemah tapi dalam keadaan tertentu kreditur bisa menjadi pihak yang lemah. Maka para pihak dalam penentuan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata harus dilakukan dengan itikad baik dan fair. Terutama dalam eksekusi benda jaminan di mana dengan mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata, eksekusi tidak lagi dimintakan ke pengadilan yang menjadi salah satu bentuk intervensi negara dalam kaitannya dengan prinsip itikad baik, melainkan secara parate executie yaitu dengan kekuatan eksekutorial yang ada pada irah-irah grosse akta di mana eksekusinya dilakukan apabila debitur wanprestasi. Dengan demikian, penentuan
Universitas Sumatera Utara
klausula syarat batal yang mengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis perlu disepakati secara itikad baik dan fair sehingga dalam penentuan dan pelaksanaan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata pada kontrak bisnis ini para pihak terlindungi.
2.
Kerangka Konsepsi Untuk menghindari terjadinya salah pengertian dan pemahaman dalam penelitian ini, konsepsi diperlukan sehingga secara operasional diperoleh hasil penulisan yang sesuai dengan tujuan yang dicapai dalam penulisan ini : a. Kekuatan
mengikat
adalah
kekuatan
mengikat
dari
kontrak
yang
menimbulkan hak dan kewajiban bagi para pihak. b. Klausula syarat batal adalah klausula yang mencantumkan hal-hal yang menyebabkan batalnya sebuah perjanjian dalam kontrak bisnis. c. Kontrak Bisnis adalah suatu perjanjian dalam bentuk tertulis dimana substansi yang disetujui oleh para pihak yang terkait didalamnya bermuatan bisnis. Adapun bisnis adalah tindakan-tindakan yang mempunyai nilai komersial. 79 d. Pengesampingan atau waiver adalah: “The voluntary relinquishment or abandonment, express or implied of a legal right or advantage. The instrument by which a person relinquishes or abandons a legal right or advantages”. 80 79
Hikmahanto Juwana, “Modul Kontrak Bisnis: Modul I”, http://www.sasmitaconsulting.com/Artikel%20Bisnis%20Kontrak%2001.htm, diakses tanggal 5 Februari 2013. 80 Bryan A. Garner ed, Black’s Law Dictionary, 8th Edition, (St Paul. Minn.: West Publishing Co, 2004), hal 1611-1622.
Universitas Sumatera Utara
Jika diterjemahkan secara bebas, pengesampingan adalah pelepasan atau penanggalan hak atau keuntungan secara langsung atau tidak langsung. Atau suatu instrumen yang mana oleh pribadi melepaskan hak atau keuntungannya. Maka pengesampingan pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata berarti para pihak telah melepaskan haknya untuk meminta pembatalan kontrak bisnis ke pengadilan dengan menyepakati pembatalan kontrak bisnis dapat dilakukan para pihak bila salah satu pihak melakukan wanprestasi berdasarkan kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata. e. Kebebasan berkontrak adalah kebebasan para pihak untuk menentukan isi perjanjian tanpa campur tangan pihak lain ataupun negara. Batas kebebasan berkontrak adalah tidak melanggar hukum dan itikad baik. 81 f. Jaminan adalah menjamin dipenuhinya kewajiban yang dapat dinilai dengan uang yang timbul dari suatu perikatan hukum. 82 g. Kreditur adalah pihak yang mempunyai piutang karena perjanjian atau undang-undang. 83 h. Debitur adalah pihak yang mempunyai utang karena perjanjian atau undang-undang. 84
81
Sri Gambir Melati Hatta, Op.cit, hal 25. Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, (Bandung : PT Alumni, 2006), hal 31. 83 Pasal 1 angka 2 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 82
Universitas Sumatera Utara
i. Utang adalah kewajiban yang dinyatakan atau dapat dinyatakan dalam jumlah uang baik dalam mata uang Indonesia maupun mata uang asing, baik secara langsung maupun yang akan timbul di kemudian hari atau kontinjen, yang timbul karena perjanjian atau undang-undang dan yang wajib dipenuhi oleh Debitur dan bila tidak dipenuhi memberi hak kepada Kreditur untuk mendapat pemenuhannya dari harta kekayaan Debitur. 85 j.
Kontrak baku adalah syarat-syarat konsep tertulis yang telah disusun terlebih dahulu tanpa perundingan mengenai isi untuk dituangkan ke dalam kontrak yang biasanya jumlahnya tidak tertentu mengenai suatu hal tertentu. 86
k.
Perjanjian kredit bank adalah perjanjian yang isinya telah disusun oleh bank secara sepihak dalam bentuk bauk mengenai kredit yang memuat hubungan hukum antara bank dengan nasabah debitur. 87
l.
Perikatan bersyarat ialah perikatan yang pemenuhan prestasinya digantungkan pada syarat tertentu yaitu pada peristiwa yang akan datang dan belum pasti terjadi baik syarat yang menangguhkan bermaksud bila syarat itu dipenuhi
84
Pasal 1 angka 3 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 85 Pasal 1 angka 6 Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. 86 H.P. Panggabean, Praktik Standard Contract (Perjanjian Baku) Dalam Perjanjian Kredit Perbankan, Op.cit, hal 51. 87 Tan Kamello, Hukum Jaminan Fidusia: Suatu Kebutuhan Yang Didambakan, Op.cit, hal 33.
Universitas Sumatera Utara
maka perikatan menjadi berlaku maupun syarat yang memutus (membatalkan) apabila syarat itu dipenuhi perikatan menjadi putus (batal). 88 m. Syarat batal adalah syarat yang apabila dipenuhi, menghentikan perikatan, dan membawa segala sesuatu kembali, pada keadaan semula, seolah-olah tidak pernah ada suatu perikatan. Syarat ini tidak menangguhkan pemenuhan perikatan, hanyalah ia mewajibkan si berpiutang mengembalikan apa yang telah diterimanya, apabila peristiwa yang dimaksudkan terjadi. 89 n.
Parate executie adalah menjalankan sendiri atau mengambil sendiri apa yang menjadi haknya, dalam arti tanpa perantaraan hakim, yang ditujukan atas sesuatu barang jaminan untuk selanjutnya menjual sendiri barang tersebut. 90
o.
Wanprestasi adalah suatu peristiwa atau keadaan, di mana debitur tidak telah memenuhi kewajiban prestasi perikatannya dengan baik, dan debitur punya unsur salah atasnya. 91
88
Purwahid Patrik, Dasar-Dasar Hukum Perikatan, (Bandung: Penerbit Mandar Maju, 1994),
hal 26. 89
Pasal 1265 KUH Perdata, Subekti & R. Tjitrosudibio, Kitab Undang-Undang Hukum Perdata Dengan Tambahan Undang-Undang Pokok Agraria dan Undang-Undang Perkawinan. (Jakarta: PT Pradnya Paramita, 2004), hal 328. 90 R. Subekti, Pelaksanaan Perikatan, Eksekusi Riil dan Uang Paksa Dalam Penemuan Hukum dan pemecahan Masalah Hukum, Proyek Pengembangan Teknis Yustisial, (Jakarta: MARI, 1990), hal 69. 91 J. Satrio, Wanprestasi menurut KUH Perdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, (Bandung: PT Citra Aditya Bakti, 2012), hal 3.
Universitas Sumatera Utara
G. Metode Penelitian Untuk mendalami suatu pengetahuan, maka diperlukan suatu metode termasuk pendalaman terhadap suatu isu hukum maka diperlukan pemakaian metode penelitian hukum. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum merupakan suatu proses ilmiah untuk mencari pemecahan atas isu hukum yang muncul dengan tujuan untuk memberikan preskripsi mengenai apa yang seyogianya atas isu hukum yang muncul tersebut. 92 Penelitian hukum merupakan proses untuk menemukan aturan hukum, prinsipprinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum guna menjawab isu hukum yang dihadapi. 93
1.
Tipe dan Sifat Penelitian Dalam penulisan tesis ini, metode penelitian yang dipakai adalah penelitian
hukum normatif. Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai sebuah bangunan sistem norma. Sistem norma yang dimaksud adalah tentang asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin. 94 Di mana tipe penelitian yang dilakukan adalah yuridis normatif dengan pertimbangan titik tolak analisis terhadap KUH Perdata dan peraturan perundangundangan lain yang berkaitan dengan kekuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Karena tipe 92
Peter Mahmud Marzuki, “Penelitian Hukum”, Yuridika, Vol 16 No. 2 (2001), hal 103. Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, (Jakarta: Kencana, 2010), hal 35. 94 Mukti Fajar ND & Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal 34-35. 93
Universitas Sumatera Utara
penelitian ini adalah yuridis normatif maka metode yang digunakan dalam penelitian kepustakaan (library research) yang menurut Soetandyo Wignjosoebroto adalah metode penelusuran sumber di perpustakaan untuk menemukan data, informasi dan pengetahuan terolah. 95 Karena tipe penelitian ini adalah yuridis normatif maka sifat penelitian ini sifatnya deskriptif analitis yang bertujuan untuk mendeskripsikan secara utuh, sistematis, dan akurat kekuatan mengikat klasula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis berdasarkan kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Analitis berarti menginventarisir asas-asas dan peraturan-peraturan terkait dengan asas-asas berkontrak dalam menentukan klausula pengesampingan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dan selanjutnya menganalisis asas-asas dan peraturanperaturan tersebut.
2.
Pendekatan Masalah Sehubungan tipe penelitian yang digunakan adalah yuridis normatif, maka suatu
penelitian normatif tentu harus menggunakan pendekatan perundang-undangan, karena yang akan diteliti adalah berbagai aturan hukum yang menjadi fokus sekaligus tema sentral suatu penelitian. 96 Pendekatan perundang-undangan digunakan untuk meneliti
95
Soetandyo Wignjosoebroto, Hukum: Paradigma, Metode, dan Dinamika Masalahnya, (Jakarta: Elsam & Huma, 2002), hal 141. 96 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hal 302.
Universitas Sumatera Utara
aturan-aturan baik dalam KUH Perdata maupun perundang-undangan lain yang berkaitan terutama tentang klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis. Analisis hukum yang dihasilkan oleh suatu penelitian hukum normatif yang menggunakan pendekatan perundang-undangan akan lebih akurat bila dibantu oleh satu atau lebih pendekatan lain yang cocok, guna memperkaya pertimbangan-pertimbangan hukum yang tepat untuk menghadapi problema hukum hukum yang dihadapi. 97 Karena itu, pendekatan lain yang digunakan untuk mendukung pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan analitis. Menurut Johnny Ibrahim, pendekatan analitis pada dasarnya adalah menganalisis pengertian hukum, asas hukum, kaidah hukum, sistem hukum, dan berbagai konsep yuridis. 98 Dengan demikian dalam penulisan tesis ini, konsep yuridis yang dianalisis adalah konsep yuridis tentang keuatan mengikat klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis
3.
Bahan Hukum a.
Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer merupakan bahan hukum yang bersifat autoritatif atau mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri perundang-undangan. 99 Seperti KUH Perdata telah ditegaskan oleh Mahkamah Agung dalam Surat Edaran Tahun 1963 No. 3 yang menyatakan bahwa KUH Perdata tidak berlaku 97
Ibid, hal 305. Ibid, hal 311. 99 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Op.cit, hal 141. 98
Universitas Sumatera Utara
sebagai kodifikasi tetapi hanya merupakan “buku hukum” (rechtsboek) dan digunakan sebagai “pedoman”. Namun pada Pembukaan Seminar Hukum Nasional ke II di Semarang Tahun 1968, Mahkamah Agung memberikan tanggapan yang memperbaiki Surat Edaran Tahun 1963 No. 3 yang isinya mengakui KUH Perdata tetap sebagai undang-undang. 100 Selain itu juga ada Herziene Inlandsch Reglement (HIR), Reglement op de Burgerlijke Rechtsvordering (Rv), Rechtsreglement voor de Buitengewesten (RBg), Undang-Undang No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen, UndangUndang No. 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan, dan Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang. b.
Bahan hukum sekunder Bahan hukum sekunder yang terutama adalah buku-buku hukum termasuk skripsi, tesis, dan disertasi hukum juga jurnal-jurnal hukum termasuk yang online. Kegunaan bahan hukum sekunder adalah memberikan kepada penulis semacam petunjuk ke arah mana penulis melangkah. Buku-buku dan artikelartikel hukum yang dirujuk adalah yang mempunyai relevansi dengan apa hendak ditulis. 101 Bahan hukum sekunder juga merupakan bahan yang
100
Rosa Agustina, Perbuatan Melawan Hukum, (Jakarta: Program Pascasarjana Fakultas Hukum Universitas Indonesia, 2003), hal 40. 101 Peter Mahmud Marzuki, Penelitian Hukum, Op.cit, hal 155-156.
Universitas Sumatera Utara
memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer seperti hasil-hasil seminar atau pertemuan ilmiah lainnya. 102 c.
Bahan Hukum Tersier Bahan hukum tersier adalah bahan hukum yang memberikan petunjuk atau penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, sepert kamus hukum, encyclopedia dan lain-lain. 103
4.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Pengumpulan data dalam penelitian normatif dilakukan dengan menggunakan studi
pustaka (library research) terhadap bahan-bahan hukum baik bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, maupun bahan hukum tersier berupa perundang-undangan, literatur, jurnal hukum, kamus hukum, encyclopedia, dan lain-lain. Penelesuran bahan-bahan hukum tersebut dilakukan dengan membaca, melihat, mendengarkan, maupun dilakukan dengan penelusuran bahan hukum dengan media internet. 104
5.
Analisa Bahan Hukum Bahan hukum yang dikumpulkan dengan studi kepustakaan dianalisis dengan
metode yuridis normatif secara kualitatif yang dilakukan dengan beberapa langkah. Pertama, menginventarisir dan mengidentifikasi bahan hukum baik bahan hukum primer,
102
Soerjono Soekanto & Sri Mamudji, Penelitian Hukum Normatif: Suatu Tinjauan Singkat, (Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1995), hal 13. 103 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, Op.cit, hal 296. 104 Mukti Fajar ND et al, Op.cit, hlm 160.
Universitas Sumatera Utara
sekunder, dan tersier yang relevan. Kedua, melakukan sistematisasi keseluruhan bahan hukum, asas-asas hukum, teori-teori, konsep-konsep, dan bahan rujukan lainnya dengan cara melakukan seleksi bahan hukum kemudian melakukan klasifikasi menurut penggolongan bahan hukum dan menyusun data hasil penelitian secara sistematis yang dilakukan secara logis dengan menghubungkan dan mengaitkan antara bahan hukum yang satu dengan bahan hukum lainnya. 105 Ketiga, analisis bahan hukum yang telah dikumpulkan dilakukan menurut cara-cara analisis dan penafsiran gramatikal serta sistematis di mana interpretasi dilakukan dengan menafsirkan undang-undang sebagai bagian dari keseluruhan sistem perundang-undangan dengan menghubungkannya dengan undang-undang lain secara logis/sistematis. 106 Keempat, hasil penelitian yang diperoleh akan dianalisis secara kualitatif. Kelima, penarikan kesimpulan dilakukan secara deduktif yaitu pemikiran dimulai dari hal yang umum kepada hal yang khusus. 107 Penelitian ini dimulai dengan memberikan gambaran tentang kebebasan dan kesepakatan para pihak dalam kontrak bisnis menurut KUH Perdata kemudian membahas kebebasan dan kesepakatan para pihak untuk menentukan klausula syarat batal yang mengesampingkan Pasal 1266 dan 1267 KUH Perdata dalam kontrak bisnis yang dipaparkan secara sistematis untuk memberikan gambaran yang jelas atas permasalahan yang ada dan akhirnya dinyatakan dalam bentuk deskriptif.
105
Ibid, hal 181. Hadin Muhjad & Nunuk Nuswardani, Penelitian Hukum Indonesia Kontemporer, (Yogyakarta: Genta Publishing, 2012), hal 163. 107 Syamsul Arifin, Falsafah Hukum, (Medan: Uniba Press, 2011), hal 57. 106
Universitas Sumatera Utara