BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Setiap orang tidak pernah terlepas dari komunikasi dengan orang lain. Komunikasi yang dilakukan dapat berisi pembicaraan yang serius ataupun tidak serius. Pembicaraan yang tidak serius biasanya diwujudkan melalui candaan atau humor belaka. Komunikasi dalam bentuk humor cenderung dapat membuat seseorang akan tertawa seolah-olah beban di hati dan pikirannya akan terasa berkurang ataupun hilang sekejap. Menurut beberapa ahli, humor timbul karena dalam diri kita ada pertentangan antara rasa ingin “main-main‟ dan “keseriusan‟ serta “kegembiraan yang meledak-ledak” dan “kesedihan yang berlebihan‟. Setiap orang yang berhumor, dari kedua belah pihak atau lebih harus membutuhkan kecerdasan masing-masing. Sebab, bila salah satu pihak tidak memahami maksud humor yang disampaikan, maka humor tersebut akan terasa tidak lucu atau bahkan bisa menyinggung lawan tuturnya. Oleh karena itu, humor yang diselipkan harus proporsional, artinya apabila ingin berhumor haruslah melihat situasi dan keadaan terlebih dahulu apakah tepat atau tidak untuk berhumor. Wacana humor yang menjadi bahan kajian tesis ini cenderung merupakan wacana hiburan karena penciptaannya ditujukan untuk menghibur pembaca di samping sebagai wahana kritik sosial terhadap segala bentuk ketimpangan yang terjadi di tengah masyarakat sebab humor merupakan salah satu sarana yang
1
2
efektif di saat saluran kritik lainnya tidak dapat menjalankan fungsinya. Humor memiliki peranan yang sangat penting, yakni sebagai sarana hiburan dan pendidikan dalam rangka peningkatan kualitas hidup manusia; sebagai penglipur lara karena dapat menyalurkan ketegangan batin yang dapat dikendurkan melalui tawa; dapat memelihara keseimbangan jiwa dan kesatuan sosial dalam menghadapi keadaan yang tidak disangka-sangka. Penelitian mengenai humor hampir semuanya berpijak pada konsep ketidaksejajaran (incongruity), pertentangan (conflict), dan pembebasan (relief) (Wijana, 2004: 12). Apabila dilihat dari kacamata linguistik, pertentangan dan ketidaksejajaran dalam humor terjadi karena dilanggarnya norma-norma pragmatik bahasa baik secara tekstual maupun interpersonal. Secara tekstual, pelanggaran dilakukan dengan penyimpangan prinsip kerja sama (cooperative principle) dan secara interpersonal dilakukan dengan penyimpangan prinsip kesopanan (politeness principle), serta parameter pragmatik (Wijana, 2004: 6). Jika pada tuturan wajar, penutur dan petutur sama-sama menyadari bahwa ada kaidah-kaidah yang harus dipatuhi untuk mengatur tindakannya, penggunaan aspek-aspek kebahasaannya, interpretasi terhadap tindakan dan ucapan lawan tuturnya, maka lain halnya dengan humor. Di dalam humor, kaidah-kaidah tersebut dikesampingkan. Hal ini diungkapkan seperti dalam contoh wacana humor berikut ini. (1) KOMITMEN KAPOLRI BARU Kapolri : Saya tidak akan menjadi „setor-man‟ atau „setir-man‟. Saya tetap sutarman!! Atau jadi „superman‟?! Mice : Eeeenggh...saya..ssayaa..turun disini aja deh, Pak... (Mice Cartoon, 30092013)
3
(2) SALAD DAN SALAT Seorang wanita yang berada di salah satu restoran cepat saji bingung mencari lokasi salah satu menu yang ditawarkan di restoran tersebut. Wanita : Mas...Kalau tempat Salad sebelah mana ya? Pria : Wah...ga tau mba‟ saya Kristen. (Mice Cartoon, 2012) (3) MOBIL TENAGA SURYA Leonhar : Oooh...Jadi ini maksud lu?! „Mobil Tenaga Surya‟!! Mice : ..yaa! Terus! Dorong terus bang Surya!! Terus...Teruuss!! (Mice Cartoon, 15112012) (4) GSM Leonhar Mice Leonhar Mice
: Ce, bapak lu kerja dimana? : Bapak gua ketua GSM... : Ketua operator telepon GSM? : Bukan, Gerakan Sate Madura.. (Mice Cartoon, 21082012)
Dalam wacana (1) pemanfaatan aspek kebahasaan yang digunakan yakni permutasi bunyi. Gejala salah ucap (slip of tongue) baik yang disengaja maupun tidak disengaja seringkali memiliki efek humor bagi para pendengarnya. Permutasi bunyi /e/-/i/ dan /o/-/i/ pada kata setorman dan setirman yang bermula dari sutarman merupakan salah satu upaya Mice menciptakan humor dengan teknik permutasi. Hal tersebut secara kebetulan erat dengan konteks humor tersebut yang mengacu pada polemik pengangkatan Kepala Bareskim Komjen Sutarman menjadi Kapolri. Dalam wacana (2) terlihat bahwa elemen-elemen bahasa yang hanya memiliki perbedaan makna atau konsep secara ortografis pun berpotensi dijadikan sumber kelucuan. Kata salad yang dimaksud pada tokoh wanita adalah jenis makanan yang terdiri dari campuran sayur-sayuran dan bahan-bahan makanan siap santap, bukan seperti persepsi tokoh laki-laki yang menganggap salad adalah
4
salat (ibadah yang dilakukan oleh pemeluk agama Islam). Dalam wacana (2) juga terdapat pelanggaran maksim relevansi, di mana tokoh laki-laki tidak relevan menjawab pertanyaan dari tokoh wanita dengan jawaban “Wah...ga tau mba‟ saya Kristen”. Sama halnya juga dalam wacana (3) percakapan antara Mice dan Leonhar yang sedang mengendarai mobil yang dianggap “Mobil Tenaga Surya”. Bila Mice sebagai peserta percakapan yang kooperatif, maka tidak selayaknyalah ia mempersamakan mobil tenaga surya dengan tenaga manusia yaitu bang (sapaan untuk abang, kakak laki-laki) yang bernama Surya. Surya dalam konteks percakapan tersebut seharusnya adalah matahari bukan Surya yang bermakna nama orang. Wacana (3) sebagai wacana humor agaknya tidak relevannya kontribusi tuturan Mice terhadap pertanyaan yang disampaikan oleh Leonhar sulit dicari implikasionalnya. Dalam wacana (4) memanfaatkan aspek-aspek kebahasaan yang berupa homofoni abreviasi. Abreviasi Gerakan Sate Madura dalam wacana tersebut memiliki homofoni dengan abreviasi GSM, sebuah istilah dalam dunia telekomunikasi yang mempunyai kepanjangan dalam bahasa Inggris Global System for Mobile Communications. Wacana humor selain ditujukan untuk menghibur pembaca juga sebagai wahana kritik sosial terhadap segala ketimpangan yang terjadi dalam kehidupan masyarakat. Biasanya wahana kritik sosial ini diwujudkan melalui kartun, salah satunya yaitu pada kartun Mice Cartoon. Kartun Mice Cartoon adalah sebuah seri strip komik yang terbit setiap hari Minggu di harian Kompas. Cerita kartun Mice Cartoon ini banyak mengambil latar keadaan kota-kota besar seperti Jakarta yang
5
metropolitan. Selain itu, banyak melakukan kritikan sosial kepada penduduk di daerah Jakarta khususnya serta penduduk Indonesia pada umumnya yang dibalut dengan gaya hiperbolik untuk mengungkapkan fenomena realitas kehidupan yang terjadi. Namun demikian, kritikan tersebut dibuat lucu dan menghibur sehingga terkesan tidak terlalu tajam dan tidak menyinggung pihak lain. Pengungkapan kritikan semacam itu akan terasa lebih lucu dan mengena apabila disertai dengan melihat gambar yang ada yakni dengan melihat tindakan dan tuturan dalam buku serial komik Mice Cartoon tersebut. Jadi, pengutaraan yang disampaikan untuk menuju hal yang dimaksudkannya dapat lebih jelas dipahami. Pada ilustrasinya, Mice melihat unsur manusia dalam setiap aspek kehidupan dan menggunakan akalnya untuk mengungkap dan membuat setiap orang sadar akan sisi realitas yang terjadi. Artinya, kisah Mice diambil dari realitas yang ada di masyarakat. Pengungkapan peristiwa-peristiwa yang dialami Mice layaknya seperti bercermin. Apa yang mereka lakukan, maksudnya mengkritik ataupun menyindir tetapi tidak menggurui. Hal ini dapat dilihat pada salah satu cerita berikut. (5) KONTEKS: SEORANG PENGEMIS MEMAKAI TRIK PENIPUAN AGAR MENDAPATKAN BELAS KASIHAN DARI ORANG-ORANG SEKITAR. Trik Penipu Satu kaki dilipat kemudian memakai celana panjang dengan kaki terlipat. Jadilah efek kaki buntung yang memukau. Pengemis tertawa senang ”he…hee…he hee..” Lalu ber‟akting‟ di lampu merah… Pengemis : Kasihan, oom…orang cacat nih… Mice lantas memberikan Balsem anti pegal otot.. Mice : Nih!! pasti kaki lu pegel kan? (Mice Cartoon, 14022012)
6
Dalam benak pengemis, dengan melakukan trik ucapan ”Kasihan, oom…orang cacat nih…”, pasti orang yang melihatnya akan merasa kasihan dan akan memberikannya uang sebab mereka melihat kondisi fisik pengemis tersebut yang cacat yaitu kaki buntung sebelah. Namun persepsi semacam itu ternyata disanggah oleh tindakan dan tuturan Mice yang menyimpang dari maksim relevan yakni memberikan Balsem anti pegal otot sambil mengucapkan “nih!! pasti kaki lu pegel kan?”. Tuturan Mice yang seperti itu mengandung wujud implikatif sindiran terhadap apa yang diucapkan pengemis itu. Melalui tuturan Mice tersebut, akhirnya pengemis tersebut memahami pernyataan implikatif yang diucapkan oleh Mice bahwa Mice telah mengetahui trik penipuan yang dilakukan olehnya dan sengaja memberikannya Balsem anti pegal otot agar kaki yang purapura buntung lekas diberi balsem agar tidak pegal. Cerita pada peristiwa di atas merupakan cerminan realitas sosial yang bisa saja terjadi di kota-kota besar. Dengan adanya tindakan dan tuturan Mice yang melanggar maksim relevan tersebut, Mice telah mengetahui apa yang terjadi pada pengemis tersebut. Banyak pengemis di jalanan yang melakukan trik penipuan agar mendapat belas kasihan dari orang-orang sekitar. Wacana humor termasuk di dalamnya wacana kartun dikreasikan atau terbentuk dari penyimpangan prinsip kerja sama, sehingga secara sengaja ataupun tidak sengaja peserta percakapan melakukan proses komunikasi yang nonbonafid. Artinya, peserta percakapan melanggar kaidah-kaidah yang seharusnya dilakukan atau dipatuhi saat berkomunikasi pada umumnya.
7
Dalam berkomunikasi dengan orang lain, seseorang diharapkan dapat memberikan respon atau jawaban yang secukupnya ataupun seinformatif mungkin. Namun, hal itu tidak berlaku dalam wacana humor. Penyimpangan terhadap pelanggaran prinsip kerja sama, misalnya dalam maksim kuantitas justru dilakukan untuk menimbulkan kelucuan. Hal ini dapat dilihat pada salah satu cerita berikut: (6) KONTEKS: SEORANG PEREMPUAN AKAN MEMBELI SEBUAH HP. NAMUN SEBAGAI PENJUAL, MICE JUSTRU MELEMAHKAN KUALITAS HP TERSEBUT. Dagang Hape Seorang perempuan sedang melihat-lihat HP yang akan dibelinya. Mice : Yang ini 7 juta…ngapain beli yang mahal sih, mbak? Leonhar : Paling-paling cuma buat nelpon ama sms-an? Kemudian cewek itu mencoba HP tersebut untuk memotret dirinya. Mice : Buat motret? seberapa bagus sih..kamera handphone? Leonhar : Beli kamera digital aja…1,5 juta udah dapet yang 5 megapixel. Si cewek pun tidak mempedulikan tuturan Mice. Lalu ia pun mencoba membuka program internet. Mice : Buat internet? Apa enaknya internetan di handphone? Lagian mahal!! Mendingan ke warnet aja, mbak... Sejam cuma 3 ribu!!...Puas! Mendengar tuturan-tuturan Mice yang bertubi-tubi seperti itu, membuat cewek tersebut menjadi kesal dan ia pun berkata dalam hati “Bawel!! Beli di tempat lain, ah!” lalu pergi meninggalkan Mice. Mengetahui pegawainya berbicara seperti itu, tentu saja pemilik toko menjadi marah. Pemilik Toko : Lama kelamaan saya bisa bangkrut! Kalian berdua saya pecat!!! Apa yang dikatakan oleh tokoh Mice dan Leonhar kepada seorang pembeli termasuk melanggar maksim kuantitas karena tuturannya berlebihan, tidak informatif, dan tidak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh pembeli tersebut. Bila dikaitkan dengan latar belakang kehidupan Mice, jelas saja tuturan tersebut
8
mengimplikasikan adanya rasa iri dan ketidaksenangan ia terhadap sesuatu yang berbau kemewahan. Mice yang termarjinalkan secara struktural dan terjebak kemiskinan kota besar seperti di daerah Jakarta harus melihat seseorang ingin membeli HP seharga tujuh juta rupiah sedangkan bagi dia sendiri, untuk makan saja sulit dan harus bekerja sekeras mungkin. Begitu kontras sekali antara kehidupan seorang pembeli tersebut dengan kehidupan Mice. Maka dari itu, tuturan-tuturannya yang seperti itu sengaja dikeluarkan agar pembeli tidak jadi membeli HP tersebut. Adanya penyimpangan maksim kuantitas yang seharusnya tidak dilakukan penjual kepada pembeli hingga akhirnya Mice dipecat itulah letak kelucuan pada wacana di atas. Semakin hari wacana humor semakin beragam jenisnya. Wacana humor seperti pada contoh di atas merupakan humor yang berjenis strip komik yang berbeda dengan lainnya. Kisah-kisah dalam Mice Cartoon layak untuk dijadikan bahan bacaan bagi yang ingin sekadar mencari hiburan atau sebagai pemecah ketegangan suasana, sehingga ketika kita (pembaca) membacanya dapat menyadari bahwa ternyata hal tersebut sama dengan apa yang kita alami juga karena di dalam menggambarkan sisi realisme kehidupan, Mice berpihak pada rakyat jelata. Akan tetapi dalam menampilkan kehidupan sosial pun, terkadang tindakan dan tuturan mereka tidak pada semestinya dan tidak sewajarnya. Maka dari itu, ada ketertarikan sendiri khususnya bagi peneliti dalam menyelami kisahkisah dalam buku kumpulan komik serial Mice Cartoon dilihat dari sudut pandang pragmatik khususnya prinsip kerja sama, prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik.
9
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang penelitian di atas, masalah yang akan disajikan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut. a. Aspek-aspek pragmatik apa sajakah yang disimpangkan dalam wacana humor buku kumpulan komik serial Mice Cartoon? b. Aspek-aspek kebahasaan apa sajakah yang dimanfaatkan dalam wacana humor buku kumpulan komik serial Mice Cartoon? c. Bagaimanakah fungsi wacana humor dalam buku kumpulan komik serial Mice Cartoon?
1.3 Tujuan Penelitian Berdasarkan permasalahan yang dideskripsikan di atas, penelitian ini bertujuan sebagai berikut. a. Mendeskripsikan penyimpangan aspek-aspek pragmatik yang ditampilkan dalam wacana humor buku kumpulan komik serial Mice Cartoon. b. Mendeskripsikan aspek-aspek kebahasaan yang dimanfaatkan dalam wacana humor buku kumpulan komik serial Mice Cartoon. c. Mendeskripsikan fungsi wacana humor dalam buku kumpulan komik serial Mice Cartoon.
1.4 Manfaat Penelitian Berkaitan dengan tujuan penelitian di atas, penelitian wacana humor dalam buku kumpulan serial komik Mice Cartoon dengan latar kehidupan sehari-hari
10
masyarakat Indonesia ini ditulis dengan harapan untuk memperoleh dua manfaat, yaitu manfaat teoretis dan manfaat praktis.
1.4.1
Manfaat Teoretis Memberikan pengetahuan mengenai wujud implikatif tuturan yang
dilontarkan oleh Muhammad Mice Misrad atau Mice untuk mengungkap realisme sosial di masyarakat kaitannya dalam kajian pragmatik. Hasil dari penelitian ini diharapkan dapat memberikan pengetahuan tentang analisis aspek-aspek linguistik yang digunakan sebagai alat untuk membentuk wacana humor yang terdapat dalam media massa. 1.4.2
Manfaat Praktis Penelitian ini dapat dijadikan salah satu rujukan penelitian berikutnya yang
sejenis. Selain itu juga untuk memperkaya referensi di Program Studi Linguistik Pascasarjana Fakultas Ilmu Budaya UGM, khususnya bidang pragmatik.
1.5 Tinjauan Pustaka Analisis wacana humor, terutama dalam media tulisan, bukan merupakan hal yang baru. Sri Widati Pradopo, Siti Soendari Maharto, Ratna Indriani Hariyono, dan Faruk H.T. (1987) pernah meneliti humor dalam karya sastra Jawa Modern. Hasil penelitian Pradopo, dkk. menyebutkan bahwa di dalam karya sastra, humor dibedakan menjadi humor sebagai kode budaya, kode bahasa, dan kode sastra. Sebagai kode bahasa, humor diciptakan dari penyimpangan makna,
11
penyimpangan bunyi, dan pembentukan kata baru. Lebih lanjut diuraikan jenis humor dalam karya sastra meliputi pun, ironi, sarkasme, sinisme, satire, wit, dan humor. Wijana (1995) dalam penelitian disertasinya yang berjudul “Wacana Kartun dalam bahasa Indonesia” memaparkan bahwa humor merupakan salah satu wujud aktivitas yang tidak dapat diabaikan dalam kehidupan manusia. Humor tidak saja bermanfaat sebagai wahana hiburan, tetapi berguna pula sebagai sarana pendidikan dan kritik sosial bagi semesta ketimpangan yang akan, sedang, atau telah terjadi di tengah masyarakat penciptanya. Jadi, humor pada hakikatnya merupakan salah satu cara manusia meningkatkan kualitas hidupnya. Dalam kehidupan sehari-hari manifestasi humor bermacam-macam wujudnya. Kartun adalah salah satu di antaranya. Kartun sebagai salah satu media penyampai humor, secara sederhana dibedakan menjadi dua jenis, berdasarkan hadir tidaknya elemen verba di dalamnya, yakni kartun nonverbal dan kartun verbal. Wijana (2003) dalam “Wacana Dagadu, Permainan Bahasa, dan Ilmu Bahasa” membahas pemakaian bahasa dalam wacana Dagadu, kaos khas Yogyakarta. Di dalamnya dibahas fungsi dan peranan plesetan. Lebih lanjut Wijana menguraikan aneka plesetan dalam kaos oblong Dagadu, seperti pemanfaatan permainan kata, permainan kata antarbahasa, malapropisme, silap lidah, slang, wacana indah, serta kreasi dan translasi wacana. Selain itu, Wijana juga membahas permainan bahasa dalam hidup manusia dan dalam ilmu bahasa. Selanjutnya, penelitian tesis yang ditulis oleh Vivin Dwi Agustin (2003) yang berjudul “Analisis Wacana Humor Anak-Anak Ditinjau dari Struktur dan
12
Fungsi Pragmatik”. Penelitian ini dilakukan untuk memperoleh deskripsi humor anak-anak yang meliputi (1) tema humor, (2) komposisi humor, dan (3) fungsi pragmatik humor. Dari hasil penelitiannya dipaparkan bahwa (1) tema wacana humor anak-anak mulai dari dunia pendidikan sampai dengan dunia lingkungan sekitar (alam) tersebut dapat disimpulkan bahwa tema wacana humor anak-anak terdiri dari tema pendidikan, tema sosial (masyarakat), tema berhitung, tema bermain dan tamasya, tema kesehatan, tema makanan, dan tema lingkungan (alam); (2) komposisi wacana humor anak-anak dapat berupa monolog, dialog, dan campuran monolog dan dialog yang terdiri atas 1) bagian pembuka yang berupa paparan di mana berfungsi memberikan deskripsi suatu keadaan, dan 2) bagian inti yaitu dialog yang mengemukakan tanggapan atau aspek dari keadaan tersebut yang memunculkan efek kelucuan; sedangkan 3) bagian penutup tidak ada. Dengan kata lain, dari sudut retorika, humor yang diteliti hanya terdiri dari bagian pembuka dan inti, sedangkan penutup tidak ada. Hal ini mungkin karena penutup itu dianggap tidak penting; karena memang maksud humor itu mendatangkan kejutan; dan (3) fungsi pragmatik wacana humor anak-anak pada umumnya bersifat menghibur, yang bukan berarti fungsi menghibur ini berbicara tentang hal-hal yang tidak atau kurang bermakna. Secara umum, penggunaan bahasa untuk mencapai efek kelucuan pada humor anak-anak digunakan teknik kejutan, yang terdiri dari ironi dan plesetan. Dari beberapa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya dapat diketahui perbedaan dalam sumber data dalam penelitian ini, namun dengan objek penelitian yang sama yaitu wacana humor. Beberapa penelitian di atas sangat
13
membantu penulis dalam menentukan judul penelitian dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian di atas adalah sumber data penelitian yang diambil dari buku komik serial Mice Cartoon. Oleh karena itu, penelitian ini diharapkan dapat membantu pemahaman pembaca mengenai wujud implikatif tuturan yang dilontarkan oleh Muhammad Mice Misrad atau Mice untuk mengungkap realisme sosial di masyarakat kaitannya dalam kajian pragmatik.
1.6 Landasan Teori Untuk mendukung penelitian ini digunakan beberapa teori yang dianggap relevan dengan kajian di dalamnya. Dalam landasan teori ini dijabarkan beberapa teori yang digunakan sebagai acuan penelitian untuk mengkaji wacana humor dalam serial Mice Cartoon, antara lain wacana, tema, humor, dan kartun. Berikut akan dijelaskan teori-teori yang terkait dengan penelitian. 1.6.1
Wacana Menurut Cook (1997: 156) via Eriyanto (2006: 9) menyebut ada tiga hal
yang sentral dalam pengertian wacana, yaitu teks, konteks, dan wacana. Teks adalah semua bentuk bahasa, bukan hanya kata-kata yang tercetak di lembar kertas, tetapi juga semua jenis ekspresi komunikasi ucapan, musik, gambar, efek suara, dan sebagainya. Konteks adalah semua situasi dan hal yang berada di luar teks dan memengaruhi pemakaian bahasa, seperti pertisipan dalam bahasa, situasi tempat teks tersebut diproduksi, fungsi yang dimaksudkan, dan sebagainya. Jadi, wacana tidak hanya berupa teks dan susunan kata yang membentuk kalimat. Wacana dapat hanya berupa gambar, lambing, dan simbol. Gambar, simbol, dan
14
kata dapat menjadi wacana jika dipahami beserta konteks yang melingkupinya. Dengan demikian, untuk memahami wacana harus diperhatikan juga konteksnya. Setiap wacana memiliki ideologi. Ideologi menurut Sobur (2006: 61) mempunyai dua pengertian yang bertolak belakang. Secara positif, ideologi dipersepsi sebagai suatu pandangan dunia yang menyatakan nilai-nilai kelompok sosial tertentu untuk membela dan memajukan kepentingan-kepentingan mereka. Sedangkan secara negatif, ideologi dilihat sebagai suatu kesadaran palsu, yaitu suatu kebutuhan untuk melakukan penipuan dengan cara memutarbalikkan pemahaman orang mengenai realitas sosial. Sedangkan dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Sugono, 2008: 517) ideologi juga diartikan sebagai cara berpikir seseorang atau suatu golongan. Jadi, ideologi dalam wacana dapat diartikan sebagai usaha penutur/penulis/pembuat wacana untuk membela kepentingannya meskipun harus memutarbalikkan pemahaman orang pada umumnya atau oleh orang yang dibahas dalam wacana. Menurut Brown dan Yule (1996: 46) setiap kalimat selain yang pertama pada penggalan wacana, seluruh tafsirannya secara paksa akan dibatasi oleh teks sebelumnya, tidak hanya frase-frase yang dengan jelas dan khusus mengacu pada teks sebelumnya. Teks tidak hanya ditafsirkan sebagai kata atau frase. Teks seperti telah diungkapkan di atas bisa juga berupa gambar dan simbol. Jadi, koteks bisa juga disebut hubungan atau koordinasi dengan hal lain bisa berupa hubungan antara gambar dan kata-kata. Konteks wacana meliputi meliputi antara lain, latar, situasi dan peristiwa. Secara lebih umum bisa dibagi lagi menjadi konteks politik,
15
konteks sosial budaya (meliputi juga kepercayaan), konteks ekonomi, dan konteks (pelestarian) lingkungan. Istilah wacana dalam tulisan ini digunakan untuk menunjuk satuan kebahasaan yang ditransmisikan secara tertulis yang terdapat dalam strip komik Mice Cartoon. 1.6.2
Tema dan Topik Wacana Tema bersifat abstrak. Ruang lingkupnya lebih luas daripada topik. Tema
merupakan perumusan dan kristalisasi topik-topik yang akan dijadikan landasan pembicaraan atau tujuan yang akan dicapai melalui topik tersebut (Mulyana, 2005:37). Topik dapat diartikan sebagai pokok pembicaraan. Dalam wacana, topik menjadi ukuran kejelasan wacana. Topik yang jelas akan menyebabkan struktur dan isi wacana menjadi jelas. Sebaliknya, topik yang tidak jelas atau bahkan tulisan tanpa topik menyebabkan tulisan menjadi kabur dan sulit dimengerti maksudnya. Topik wacana adalah proposisi yang menjadi bahan utama pembicaraan atau percakapan. Dalam suatu dialog, pembicara dapat berbicara tentang satu topik tertentu atau dua topik yang berbeda sekaligus (Mulyana, 2005:39-40). 1.6.3
Humor Humor adalah sebuah fenomena yang kompleks. Ketika seseorang
mencoba untuk mendefinisikan humor secara tepat mengenai mana yang dapat dianggap sebagai humor dan mana yang tidak, orang tersebut akan mengalami kesulitan. Oleh karena itu, banyak teori tentang humor.
16
Berdasarkan Kamus Besar Bahasa Indonesia Pusat Bahasa (Sugono, 2008: 361) humor merupakan sesuatu yang lucu yang, dapat menggelikan hati, atau yang dapat menimbulkan kejenakaan atau kelucuan. Sense of humor yang dimiliki seseorang bersifat personal dan dipengaruhi oleh faktor-faktor seperti jenis kelamin, usia, asal, budaya, kedewasaan, tingkat pendidikan, konteks, dan lain-lain. Sementara itu, menurut Wijana (2004: 10) humor adalah rangsangan verbal dan visual yang secara spontan dimaksudkan dapat memancing senyum dan tawa pendengar atau orang yang melihatnya. Lebih lanjut Rustono (1998: 20) via Wahyuningsih (2012: 9) menyatakan bahwa humor tidaklah sekedar berupa penyebab munculnya reaksi tertawa atau tersenyum, tetapi juga dapat berupa kemampuan menghibur dan menggelikan melalui ujaran atau tulisan. Ujaran atau tulisan yang berperan sebagai rangsangan munculnya tawa haruslah dikreasikan dengan kriteria-kriteria tertentu. Wijana (1995: 4) juga menyatakan bahwa tersenyum dan tertawa merupakan indikator yang paling jelas bagi terjadinya penikmatan humor meskipun tidak semua aktivitas tersenyum dan atau tertawa merupakan akibat dari penikmatan
humor.
Chaire
(1994:89)
via
Wahyuningsih
(2012:10)
mengungkapkan bahwa humor dapat membuat orang tertawa apabila mengandung salah satu atau lebih dari empat unsur, yaitu kejutan, yang mengakibatkan rasa malu, ketidakmasukakalan, dan yang membesar-besarkan masalah. Keempat unsur ini terwujud secara verbal, baik berupa tulisan maupun yang berbentuk lisan.
17
Soedjatmiko (1992: 72) mengemukakan bahwa humor dapat dilihat dengan teori linguistik humor, yaitu semantik humor dan pragmatik humor. Semantik humor memanfaatkan keambiguan dengan mempertentangkan makna pertama dengan makna yang kedua. Kelucuan muncul apabila makna yang kita ambil ternyata salah. Semantik humor memanfaatkan keambiguan pada tataran kata, kalimat, dan wacana. Humor pada tingkat yang lebih panjang, seperti humor kolom, humor sastra kelucuan tercapai karena penyimpangan terhadap maksimmaksim tuturan, keyakinan konvensional, dan pengetahuan yang melatarbelakangi pengalaman humoris penikmat humor. Humor pada tingkat wacana memanfaatkan penyimpangan terhadap prinsip kerja sama dan prinsip kesopanan. Teori humor lahir dari disiplin ilmu psikologi (Endahwarni, 1994: 13). Lebih lanjut diterangkan bahwa sebuah humor (X) mengandung dua unsur yang saling bertentangan yaitu: 1) makna yang diharapkan (M1); 2) makna yang dimaksud (M2). Apabila penerima (pembaca/ penonton) menyadari kekeliruannya itu, maka makna yang paradoksal ini terselesaikan. Kelucuan wacana humor biasanya dibentuk dari hubungan antara M1 dan M2 yang bersifat disjungtif. M1 dan M2 di dalam humor berfungsi sebagai alternatif yang berbeda atau bertentangan satu sama lain (Wijana, 2004: 25). Setelah itu, hubungan yang bersifat alternatif tersebut dilambangkan dengan # dan dirumuskan dengan gambar sebagai berikut. M1
#
=
M2
= X
18
Dari beberapa pengertian teori humor di atas dapat disimpulkan bahwa humor adalah pemanfaatan aspek-aspek bahasa seperti makna dan bunyi untuk melahirkan suatu suasana lucu, baik melalui penyimpangan bunyi atau penyimpangan makna. Secara situasional, kelucuan terbentuk karena tidak adanya kesejajaran antara apa yang diharapkan atau dipraanggapkan dengan apa yang kemudian menjadi kenyataan. 1.6.4
Kartun dan Karikatur Pengertian kartun yang sebenarnya adalah meminjam istilah dari bidang
fine arts. Kata kartun berasal dari bahasa Italia Cartone yang berarti “kertas”. Dalam bidang seni murni, kartun merupakan gambaran kasar atau sketsa awal dalam kanvas besar, atau untuk hiasan dinding pada bangunan arsitektural seperti mozaik, kaca dan sebagainya. Dalam The Encyclopaedia of Cartoons (Horn, 1980:15-24), pengertian ”cartoon” dibagi lagi menjadi empat jenis sesuai dengan kegiatan yang ditandainya, yaitu : Comic Cartoon, Gag Cartoon untuk lelucon sehari- hari, Political Cartoon untuk gambar sindir politik, Animated Cartoon untuk film kartun. Ciri khas kartun adalah humor. Setiap kartun mengandung humor. Humor adalah segala bentuk folklor yang dapat menimbulkan atau menyebabkan pendengarnya atau pembacanya merasa tergelitik perasaan lucunya sehingga terdorong untuk tertawa (Tim Penyusun, 1989:498). Cerita penghibur hati atau humor biasanya mengisahkan kejenakaan atau kelucuan akibat kecerdikan, kebodohan, kemalangan, dan keberuntungan tokoh utama. Kadang-kadang tokoh utama sangat bodoh dan tidak dapat menangkap maksud orang lain sehingga
19
menimbulkan kesalahpahaman. Kelucuan dalam kartun bisa tampak dalam penggunaan gambar yang lucu atau dengan penggunaan kata-kata yang lucu. Misalnya gabungan bunyi dan penggantian bunyi yang bisa mengganti arti suatu kata. Karikatur adalah kartun yang telah dilukis dengan melakukan perubahan pada wajah atau bentuk seseorang. Karikatur lebih menonjolkan karakter seseorang melalui bentuknya. Contohnya seperti mengubah hidung seseorang menjadi besar, mulut dilebarkan, mata melolo, dan sebagainya. Karikatur mempunyai maksud untuk mengkritik secara jenaka lewat sindiran karakter tokoh yang ada sesuai dengan kondidi sebenarnya setelah dibentuk sedemikian rupa. Wijana (2004: 16) membedakan kartun dan karikatur. Kartun dan karikatur sama-sama gambar bermuatan humor atau satire dalam berbagai media massa. Bedanya, dalam karikatur gambarnya merupakan tokoh-tokoh terkenal dan digambarkan dengan pemiuhan (untuk mendapat efek lucu) sedangkan kartun adalah tokoh yang fiktif. 1.6.5
Aspek Kebahasaan Bahasa adalah alat ekspresi manusia secara verbal yang dapat dibedakan
menjadi dua jenis yaitu bentuk dan makna. Bentuk adalah elemen fisik tuturan. Sebagai sebuah tuturan, bentuk dapat diwujudkan dengan bunyi, suku kata, morfem, kata, frasa, klausa, kalimat, paragraf, dan wacana. Bunyi merupakan satuan kebahasaan yang terkecil, sementara wacana yang terbesar (Wijana, 2004: 1).
20
Bentuk-bentuk kebahasaan tersebut mempunyai konsep mental dalam pikiran manusia yang disebut makna. Makna adalah konsep abstrak pengalaman manusia yang bersifat konvensional. Secara kebahasaan, bentuk merupakan wujud fisik tuturan, sedangkan makna merupakan wujud nonfisik tuturan. Keduanya merupakan unsur internal bahasa. Menurut Wijana (2004: 10), satuan-satuan kebahasaan dimungkinkan memiliki berbagai makna secara semantik. Kata putih, selain memiliki hubungan dengan kata suci, dapat pula memiliki hubungan makna dengan hitam atau bahkan secara bersama-sama berhubungan dengan kata kuning, biru, coklat, dan sebagainya. Kata putih yang secara literal berarti warna dasar yang serupa dengan warna kapas dalam konteks lain dapat berarti suci, bersih, dan sebagainya. Lebih lanjut, kata-kata dalam sebuah bahasa sering memiliki hubungan bentuk secara kebetulan (aksidental) dengan kata yang lain walaupun masingmasing tidak memperlihatkan hubungan makna. Contoh, kata beruang memiliki dua arti yaitu memiliki uang dan memiliki ruang. Hubungan bentuk dan makna seringkali berwujud dalam sinonim, antonim, polisemi, homonim, hiponim, metonimi, dan sebagainya. Aspek-aspek kebahasaan tersebut merupakan elemen yang penting dalam berbahasa dan dapat digunakan untuk menciptakan berbagai wacana, termasuk di antaranya wacana humor. 1.6.6
Aspek-Aspek Pragmatik Dalam berkomunikasi seseorang harus memperhatikan aspek-aspek
pragmatik berbahasa. Dalam tuturan wajar, peserta tutur diharapkan mematuhi
21
kaidah-kaidah pragmatik sehingga tercipta sebuah komunikasi yang kooperatif. Sebaliknya, dalam wacana humor kaidah-kaidah tersebut sengaja tidak diacuhkan malah disimpangkan. Hal tersebut untuk memberikan efek lucu semata. Terdapat dua jenis penyimpangan implikatur, yaitu penyimpangan implikatur konvensional dan pertuturan (Wijana, 2004: 19-20). Implikatur konvensional lebih banyak berhubungan dengan bentuk-bentuk linguistik, sementara pertuturan berhubungan dengan prinsip-prinsip pertuturan. Grice (1975: 45-47) menyatakan prinsip tersebut dengan nama prinsip kerja sama. Prinsip kerja sama tersebut adalah maksim kuantitas, kualitas, relevansi, dan pelaksanaan. Leech (1993: 55) menambahkan prinsip yang berhubungan dengan hubungan interpersonal yaitu kesopanan. Prinsip kesopanan dijabarkan menjadi maksim kebijaksanaan, kemurahan, penerimaan, kerendah hati, kecocokan, dan kesimpatian. Di samping itu, prinsip kesopanan juga menuntut dilaksanakannya parameter pragmatik lain yaitu parameter jarak sosial (distance rating), status sosial (power), dan kedudukan relatif tindak ucap (rank) (Wijana, ibid).
1.6.7
Konteks Pragmatik Analisis pragmatik sangat bergantung pada konteks. Dengan konteks,
petutur dapat menafsirkan tuturan penutur dalam sebuah situasi tutur. Konteks didefinisikan oleh Leech (1993: 13) sebagai latar belakang pemahaman yang dimiliki oleh penutur dan lawan tutur sehingga lawan tutur dapat membuat interpretasi mengenai apa yang dimaksud oleh penutur pada waktu mebuat tuturan tertentu. Leech (1993) menambahkan dalam definisinya tentang konteks yaitu
22
sebagai suatu pengetahuan latar belakang yang secara bersama dimiliki oleh penutur dan petutur dan konteks ini membantu petutur menafsirkan atau menginterpretasi maksud tuturan penutur. Sementara itu, menurut Yule (1996: 21) konteks berkaitan dengan kemampuan seseorang untuk mengidentifikasi referenreferen yang bergantung pada satu atau lebih pemahaman orang itu terhadap ekspresi yang diacu. Berkaitan dengan penjelasan tersebut, Yule membedakan konteks dan koteks. Konteks ia definisikan sebagai lingkungan fisik di mana sebuah kata dipergunakan, sedangkan koteks adalah bahan linguistik yang membantu memahami sebuah ekspresi atau ungkapan. Sementara itu, menurut Nadar (2009: 6) konteks adalah hal-hal yang gayut dengan lingkungan fisik dan sosial sebuah tuturan ataupun latar belakang pengetahuan yang sama-sama dimiliki oleh penutur dan lawan tutur dan yang membantu lawan tutur menafsirkan makna tuturan. Dari beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa konteks pragmatik digunakan untuk memahami semua faktor yang berperan dalam produksi dan komprehensi tuturan.
1.7 Metode Penelitian Jenis penelitian ini merupakan penelitian deskriptif kualitatif. Hal ini didasarkan pada data dalam penelitian ini berupa teks tulis yaitu wacana humor verbal tulis. Peneliti menganalisis wacana humor verbal tulis sesuai dengan konteks humor. Data yang diperoleh kemudian dianalisis aspek-aspek pragmatik yang disimpangkan, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, dan fungsi wacana dalam buku kumpulan serial komik Mice Cartoon.
23
1.7.1 Tahap Pengumpulan Data Dalam tahap pengumpulan data harus dipaparkan secara jelas mengenai sumber data. Sumber data dimaksudkan untuk menjelaskan dari mana data tersebut diperoleh sehubungan dengan penelitian yang akan dilakukan. Data yang diperoleh secara langsung dari sumber utama yakni yang menjadi objek penelitian. Kartun yang digunakan dalam sumber data penelitian ini adalah buku kumpulan humor komik serial Mice Cartoon yang berjudul Obladi Oblada Life Goes On (2012) dan Politik Santun dalam Kartun (2012). Sumber pelengkap atau pendukung lainnya terkait dengan objek penelitian, meliputi buku, surat kabar, artikel, internet, makalah. Penelitian ini dilakukan dengan langkah-langkah berikut ini. 1) Memilih kartun-kartun dalam buku kumpulan serial komik Mice Cartoon yang akan digunakan sebagai data penelitian, yaitu kartun yang memiliki unsur verbal. 2) Mengelompokkan kartun dalam buku kumpulan serial komik Mice Cartoon berdasarkan tema dan topiknya. 3) Memilih kartun yang memiliki unsur kelucuan. Sesuai dengan judul penelitian tesis ini, yaitu “Analisis Wacana Humor dalam Serial Komik Mice Cartoon” maka data yang dipakai dalam penelitian ini hanya kartun yang di dalamnya terdapat unsur humor. Untuk menghindari subjektivitas dalam memilih kartun yang bermuatan humor, peneliti meminta 40 responden yang semuanya berstatus mahasiswa Pascasarjana Program Studi Linguistik FIB UGM untuk menentukan kartun yang mereka anggap lucu. Walaupun sebuah kartun hanya
24
dianggap lucu oleh satu orang mahasiswa, kartun tersebut tetap dipakai sebagai data penelitian. Hal ini disesuaikan dengan metode yang dipakai pada penelitian ini, yaitu metode kualitatif. Pada penelitian dengan metode kualitatif, peneliti mencoba memahami situasi sesuai dengan bagaimana situasi tersebut menampilkan diri. 4) Mendeskripsikan gambar pada kartun. Melalui tahapan ini dapat diketahui unsur gambar yang dapat dijadikan asumsi penyimpangan aspek-aspek pragmatik, pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan, dan fungsi wacana humor yang terdapat dalam kumpulan serial komik Mice Cartoon. Selain mendeskripsikan gambar, unsur verbal yang terdapat di dalam kartun juga ditulis kembali. Dalam penulisan kembali unsur verbal tersebut, baik ejaan maupun cara penulisan disesuaikan dengan yang terdapat pada kartun. 1.7.2
Tahap Analisis Data Setelah data diklasifikasikan kemudian dianalisis dengan menggunakan
metode pragmatis berdasarkan tuturannya. Metode pragmatis digunakan untuk menunjukkan bentuk-bentuk penyimpangan terhadap prinsip kerja sama, penyimpangan prinsip kesopanan, dan parameter pragmatik yang menimbulkan implikatur terhadap tuturan dengan subjenis alat penentunya yaitu mitra wicara yang berhubungan dengan fungsi interpersonal bahasa.
1.7.3 Penyajian Hasil Analisis Data Penyajian hasil analisis data dilakukan dengan metode penyajian informal dan formal. Metode penyajian informal adalah perumusan dengan menggunakan
25
kata-kata biasa, sedangkan metode penyajian formal adalah perumusan dengan tanda dan lambang-lambang (Sudaryanto, 1993: 145).
1.8 Sistematika Penyajian Sistematika penyajian dalam laporan penelitian ini dilakukan dengan membagi pembahasan menjadi lima bab yaitu: Bab 1 Pendahuluan Bab ini merupakan dasar dari adanya penelitian ini. Pendahuluan meliputi latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penyajian. Bab 2 Aspek-Aspek Pragmatik yang Disimpangkan dalam Wacana Humor Kumpulan Komik Serial Mice Cartoon Aspek-aspek pragmatik yang disimpangkan dalam kumpulan komik serial Mice Cartoon akan dideskripsikan dan dijelaskan. Pengertian aspek pragmatik di sini dibatasi pada pelanggaran maksim kerja sama dan kesopanan yang diusulkan oleh Paul Grice dan Leech. Bab 3 Pemanfaatan Aspek-Aspek Kebahasaan Wacana Humor dalam Buku Serial Komik Mice Cartoon Bab ini akan mendeskripsikan pemanfaatan aspek-aspek kebahasaan pembentuk wacana humor pada buku serial komik Mice Cartoon. Aspek-aspek kebahasaan akan dilihat dari satuan gramatikal terkecil. Bab 4 Fungsi Wacana Humor dalam Kumpulan Komik Serial Mice Cartoon Bab ini akan membahas secara lengkap fungsi wacana humor yang
26
terdapat dalam kumpulan komik serial Mice Cartoon. Bab 5 Kesimpulan dan Saran Bab ini akan berisi mengenai kesimpulan dari hasil penelitian dan saran yang dapat disampaikan kepada peneliti lanjutan berkaitan dengan hasil penelitian yang telah dilakukan.