BAB I PENDAHULUAN A. Latar Belakang Semakin
konvergennya
perkembangan
Teknologi
Informasi
dan
Telekomunikasi dewasa ini, telah mengakibatkan semakin beragamnya pula aneka jasa-jasa fasilitas telekomunikasi yang ada, serta semakin canggihnya produkproduk teknologi informasi yang mampu mengintergrasikan semua media informasi. Ditengah globalisasi komunikasi yang semakin terpadu (global communication network) dengan semakin populernya Internet seakan telah membuat dunia semakin menciut (shringking the world) dan semakin memudarkan batas-batas Negara berikut kedaulatan dan tatanan masyarakat. Ironisnya, dinamika masyarakat Indonesia yang masih baru tumbuh dan berkembang sebagai masyarakat industry dan masyarakat Informasi, seolah masih tamapk premature untuk mengiring perkembangan teknologi tersebut. 2 Pola dinamika masyarakat Indonesia seakan masih bergerak tak beraturan ditengah keinginan untuk mereformasi semua bidang kehidupannya ketimbang suatu pemikiran yang handal untuk merumuskan suatu kebijakan ataupun pengaturan yang tepat untuk ini. Meskipun masyarakat telah banyak menggunakan produk-produk teknologi informasi dan jasa telekomunikasi dalam kehidupannya, namun bangsa Indonesia secara garis besar masih meraba-raba dalam mencari suatu kebijakan public dalam membangun suatu infrastruktur yang
2
Andi Yogyakarta, Apa Dan Bagaimana E-Commerce, Wahana Komputer, Semarang,2002 , hal. 1.
Universitas Sumatera Utara
handal (National Information Infrastructure) dalam menghadapi infrastruktur informasi global (Global Information Infrastructure). Komputer sebagai alat bantu manusia dengan didukung perkembangan teknologi informasi telah membantu akses ke dalam jaringan-jaringan public (Publik network) dalam melakukan pemindahan data dan informasi. Dengan kemampuan komputer dan akses yang semakin berkembang maka transaksi apapun dapat dilakukan di dalam jaringan komunikasi tersebut. Jaringan public mempunyai keunggulan dibandingkan dengan jaringan privat dengan adanya efisiensi biaya dan waktu. Sesuai dengan sifat jaringan public yang mudah untuk diakses oleh setiap orang hal ini sebgai kelemahan bagi jaringan itu. Kemajuan teknologi informasi sekarang dan kemungkinanya di masa yang akan datang tidak lepas dari dorongan yang dilakukan oleh perkembangan teknologi komunikasi dan teknologi komputer , sedangkan teknologi komputer dan telekominikasi didorong oleh teknologi mikroelektronika, material dan perangkat lunak. Perpaduan teknologi komunikasi dan computer melahirkan internet yang menjadi tulang punggung teknologi informasi. Perkembangan internet di picu oleh peluncuran pesawat Sputnik milik Uni Soviet yang ditanggapi oleh Amerika Serikat dengan membuat proyek pelincuran pesawat luar angkasa dan pengembangan internet pada tahun 1960-an. 3 Internet pada masa berkembangnya hanya digunakan untuk kepentingan perang oleh angkatan militer Negara Amerika Serikat, namun stelah perang internet tidak lagi dugunakan untuk kepentingan militer, tetapi beralih fungsi 3
Samaun Samadikun, Pengaruh Perpaduan Teknologi Komputer, Telekomunikasi dan Informasi, Kompas, 28 juni 2000, hal. 52.
Universitas Sumatera Utara
menjadi sebuah media yang mampu membawa perubahan dalam kehidupan manusia. Internet tidak lagi hanya digunakan oleh kalangan militer, pemerintah dan ilmuwan, tetapi juga digunakan oleh pelaku bisnis, plitikus, sastrawan, budayawan, musikus bahkan para penjahat dan teroris. Internet mulai digunakan sebagai alat propaganda politik, transaksi bisnis atau perdagangan, sarana pendidikan, kesehatan, manufaktur, perancangan, pemerintahan, pornografi dan kejahatan lain. 4 Pada tahun 1995, internet baru dapat digunakan untuk public. Beberapa tahun kemudian, Tim Berners-Lee mengembangkan aplikasi World Wide Web (www) yang memudahkan orang untuk mengakses informasi di internet. Setelah dibukannya internet untuk keperluan public semakin banyak muncul aplikasi-aplikasi bisnis di internet. 5 Cyberspace merupakan tempat kita berada ketika kita mengarungi dunia informasi global interaktif yang bernama internet.6 Isitilah ini pertama kali digunakan oleh William Gibson dalam novel fiksi ilmiahnya yang berjudul Neuromancer. Cyberspace menampilkan realitas, tetapi bukan realitas yang nyata sebgaimana bias kita lihat, melainkan realitas virtual (virtual reality), dunia maya, dunia yang tanpa batas. Inilah sebenarnya yang dimaksud dengan borderless world, karena memang dalam cyberspace tidak mengenal batas Negara, hilangnya batas dimensi ruang, waktu dan tempat sehingga penghuni-penghuninya bias berhubungan dengan siapa saja dan dimana saja. Pada kenyataannya cyberspace 4
Agus Raharjo, Cybercrime, Pemahaman dan Upaya Pencegahan Kejahatan Berteknologi, PT. Citra Aditya Bakti, Bandung,2002 , hal. 3-4. 5
http/www.budi.insan.co.id/Budi Rahardjo, Pernak Pernik Peraturan dan Pengaturan Cyberspace di Indonesia, 2003hal. 2. 6
Armehdi Mahzar dalam kata pengantar buku Jeff Zaleski, Spiritualitas Cyberspace, Bagaimana Teknologi Komputer Mempengaruhi Kehidupan Keberagaman Manusia, Mizan, Bandung,1999, hal. 9.
Universitas Sumatera Utara
menawarkan manusia untuk “hidup” dalam dunia alternative. Sebuah dunia yang dapat mengambil alih dan menggantikan realitas yang ada, yang lebih menyenangkan dari kesenangan yang ada, yang lebih fantastis dari fantasi yang ada, yang lebih mengairahkan dari kegairahan yang ada. Jagat raya cyberspace telah membawa masyarakat dalam berbagai sisi realitas baru yang tidak pernah dibyangkan sebelumnya, yang penuh dengan harapan, kesenangan, kemudahan dan pengembaraan, seperti teleshopping, teleconference, teledildonic, virtual café, virtual architecture, virtual mesum, cybersex, cyberparty, dan cyberorgasm. 7 Proses cybernation yang menimbulkan harapan akan kemudahan, kesenangan dan kesempatan itu ternyata tidak selamanya demikian karena dalam cyberspace juga terdapat sisi gelap yang perlu kita perhatikan. Kecemasan terhadap cybercrime ini telah menjadi perhatian dunia, terbukti dengan dijadikannya masalah cybercrime sebagai salah satu topic bahasan pada Kongres PBB mengenai The Prevention of Crime and The Treatment of Offender ke-8 tahun 1990 di Havana , kuba dan Kongres ke-10 di Wina. Pada Kongres ke-8 PBB memandang perlu dilakukan uasaha-usaha penanggulangan kejahatan yang berkaitan dengan komputer (computer related crime), sedangkan pada Kongres ke-10 di Wina, cybercrime dijadikan sebagai topic bahasan tersendiri dengan judul Crimes Related to Computer Network. Namun pada kenyataanya tidak semua Negara di dunia ini memberikan perhatian yang lebih besar tentang masalah cybercrime dan memiliki peraturannya (kecuali Negara-negara maju dan beberapa Negara berkembang). 8 Hal ini disebabkan oleh tingkat kemajuan dan 7
Agus Raharjo, op,cit, hal. 5.
8
Ibid, hal. 7-8.
Universitas Sumatera Utara
perhatian Negara terhadap kejahatan yang dapat timbul dari teknologi informasi ini sangat amat kurang. Indonesia sebagai Negara berkembang memang terlambat dalam mengikuti perkembangan teknologi informasi. Hal ini tidak lepas dari strategi pengembangan teknologi yang tidak tepat karena mengabaikan riset sains dan teknologi. Akibatnya, transfer teknologi dari Negara industri maju tidak diikuti dengan penguasaan teknologi itu sendiri yang mengantarkan Indonesia kepada Negara yang tidak mempunyai basis teknologi. Dari kacamata dunia, Indonesia dipandang belum memiliki regulasi pengembangan aplikasi informatik generasi baru, terutama yang paling krisis dalam kaitanya dengan perlindungan hak cipta untuk software, data dan intergrated circuit, dan cybercrime. Kelambatan ini membawa dampak ketika terjadi cybercrime maka perangkat hukum yang mengatur cybercrime tidak ada dan penegakan hukumnya pun menjadi bingung karena tidak ada pegangan untuk menindak. Pembentukan peraturan perundangan di era teknologi informasi ini harus dilihat berbagai aspek. Misalnya dalam hal pengembangan dan pemanfaatan rule of law dan internet, jurisdiksi dan konflik hukum, pengakuan hukum terhadap dokuman serta tanda tangan elektronik, perlindungan dan privasi konsumen, cybercrime, pengaturan konten dan cara-cara penyelesaian sengketa domain. 9 Kemajuan teknologi yang ditandai dengan munculnya penemuanpenemuan baru seperti internet, merupakan salah satu penyebab munculnya perubahan social, di samping penyebab lainnya seperti bertambah atau berkurangnya penduduk, pertentangan-pertentangan dalam masyarakat, terjadi 9
Dikdik M. Arief Mansur, dan Elisatris Gultom, Cyber Law Aspek Hukum Teknologi Informasi, PT Refika Aditama, Bandung, 2005, hal. 3.
Universitas Sumatera Utara
pemberontakan atau revolusi di dalam tubuh masyarakat itu sendiri. Hal ini menjadi sudut pandang yang sangat kuat bahwa perkembangan teknologi informasi belum mencapai tingkat kemapanan dan masyarakat sebagai penerima dari perkembangan tersebut juga belum mapan dan siap akan perkembangan teknologi informasi tersebut. 10 Umumnya masyaraakt yang mengalami perubahan akibat kemajuan teknologi, banyak melahirkan masalah-masalah social. Hal itu terjadi karena kondisi masyarakat itu sendiri yang belum siap menerima perubahan atau dapat pula karena nilai-nilai masyarakat yang telah berubah dalam menilai kondisi lama sebagai kondisi yang tidak lagi dapat diterima. 11 Kata “cyber” yang berasal dari kata “cybernetics”, merupakan suatu bidang ilmu yang merupakan perpaduan antara robotic, matematik, elektro, dan psikologi yang dikembangkan oleh Norbert Wiener di tahun 1948. Salah satu aplikasi dari Cybernetis adalah di bidang pengendalian (robot) dari jarak jauh. Dalam hal ini tentunya yang diiginkan adalah sebuah kendali yang betul-betul sempurna . oleh karena itu Budi Rahardjo berpendapat bahwa sedikit mengherankan jika kata "cyberspade” yang berasal dari kata “cyber” tidak dapat dikendalikan. Cyberspace dapat diatur, meskipun pengaturannya membutuhkan pendekatan yang berbeda dengan cara yang digunakan untuk mengatur dunia nyata. 12 Berkaitan dengan pengaturan untuk mengatur dunia maya maka perlu dipikirkan peraturan seperti apkah yang digunkan untuk mengatur dunia maya 10
Didik J. Rachbini, Mitos dan Implikasi Globalisasi, Globalisasi Adalah Mitos, Yayasan Obor, Jakarta, 2001, hal. 2. 11
Ibid, hal. 5.
12
Didik M. Arief Mansur dan Elisatris Gultom, op,cit, hal. 6.
Universitas Sumatera Utara
tersebut. Sekalipun perangkat hukum seperti Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) sudah dimiliki Indonesia , nmaun peraturan ini masih belum cukup mampu menjerat pelaku tindak pidana di internet. Apalagi dalam Pasal 1 KUHP disebutkan “tidak ada perbuatan pidana jika sebelumnya tidak dinyatakan dalm suatu ketentuan undang-undang.” Artinya , pasal ini menegaskan kalau pelaku kejahatan internet belum tentu dapat dikenakan sanksi pidana. Selain berbenturan dengan Pasal 1 KUHP, kesulitan untuk menjerat pelaku tindak pidana yang dilakukan di dunia maya berkaitan dengan masalah pembuktian. Hukum positif mengharuskan adanya alat bukti, saksi, petunjuk, keterangan ahli serta terdakawa dalam pembuktian. Sedangkan dalam hal kejahatan terkait dengan informasi sulit dilakukan pembuktiannya. Mengenai hal ini Soedjono Dirdjosisworo menyatakan: 13 “perubahan dan penyesuaian social serta perkembangan teknologi selama setengah abad sejak 1958 (UU NO.73/58) demikian pesatnya, dan kepesatan perkembangan social dan teknologi serta semakin berpengaruhnya globalisasi yang terus di dorong oleh teknologi informasi dan komunikasi sangatlah terasa bahwa Kitab Undang-Undang Hukum Pidana sudah sejak lama tidak mampu secara sempurna mengakomodasi dan mengantisipasi kriminalitas yang meningkat, baik kualitatif maupun kuantitatif dengan jenis, pola dan modus operandi yang tidak terdapat dalam KUHP dan contoh yang paling menonjol adalah Cyber Crime.”
13
Soedjono Dirdjosisworo, Respon Terhadap Kejahatan, Introduksi Hukum Penanggulangan Kejahatan (Introduction To the Law Of Crime Prevention), STHB Press, Bandung, 2002, hal. 104.
Universitas Sumatera Utara
Melihat perlunya diadakan beberapa perubahan terhadap ketentuan dalam KUHP sebagai akibat dari kemajuan Teknologi Informasi, maka lahirlah sebuah Undang-Undang yang mengatur secara spesifik tentang kemajuan Teknologi Informasi tersebut dalam bentuk Undang-Undang NO.11 Tahun 2008. UU baru ini diharapkan mampu mengatur dunia maya yang telah berkembang melewati hukum positif di Negara Indonesia.
B. Perumusan Masalah Adapun beberapa masalah yang berkaitan dengan Tindak pidana di bidang teknologi informasi adalah: 1.
Bagaimana pengaturan tindak pidana Teknologi Informasi?
2.
Bagaimana pertanggungjawaban tindak pidana di bidang teknologi informasi?
C. Tujuan Penulisan. Adapun yang menjadi tujuan dari penulisan skripsi ini adalah: 1.
Untuk mengetahui pengertian dari tindak pidana di bidang teknologi informasi, klasifikasi tindak pidana di bidang teknologi informasi, batasanbatasannya, sanksi pidananya di dalam system perundang undangan di Indonesia,
2.
Untuk mengetahui dan memberi perlindungan hukum bagi korban tindak pidana
di
bidang
teknologi
informasi
dan
untuk
mengetahui
pertanggungjawaban pidana tindak pidana di bidang teknologi informasi.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penulisan 1. Adapun manfaat teoritis dari penulisan ini adalah: 1.a. Dapat memberi informasi, baik kepada kalangan akademisi maupun kalangan masyarakat tentang tindak pidana di bidang teknologi informasi sehubung dengan kompleksnya tindak pidana dan aktivitas dunia maya berdampak semakin canggihnya teknik yang dilakukan pihak-pihak tetentu dalam melakukan tindak pidana di bidang teknologi informasi dan akan pentingnya jaminan hukum bagi pihak-pihak yang dirugikan atas penyalagunaan teknologi informasi dan demi melindungi masyarakat dari praktek yang merugikan ini, 1.b. Dapat memberi informasi kepada masyarakat, lembaga hukum, badan hukum, pemerintah dan aparat penegak hukum tentang eksistensi pasalpasal yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang teknologi informasi yang terdapat di dalam undang-undang. 2. Adapun manfaat Praktis dari penulisan skripsi ini adalah: 1.a. Dapat dijadikan sebgai pedoman dan bahan rujukan bagi rekan mahasiswa, masyarakat, lembaga perbangkan, praktisi hukum dan pemerintah dalam melakukan penelitian yang berkaitan dengan tindak pidana di bidang teknologgi informasi, 1.b. Dapat member masukan bagi pemerintah, aparat penegak hukum, lembaga pasar modal dan masyarakat dalam mensosialisasikan tindak pidana teknologi informasi yang merupakan salah satu kejahatan baru yang mana modusnya seringkali tidak diketahui masyarakat umum.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penulisan Topik diangkat karena ketertarikan penulis terhadap kejahatan di bidang teknologi informasi atau yang sering dikenal dengan kejahatan dunia maya dimana dampak yang ditimbul oleh kejahtan ini cukup besar. Skripsi dengan judul “Tindak Pidana Di Bidang Teknologi Informasi Di Pandang Dari UU No. 11 Tahun 2008 Tentang Informasi Dan Transaksi Elektronik” belum pernah di tulis di Fakultas Hukum Universitas Sumatera Utara, sepanjang yang di telusuri dan diketahui oleh penulis. Hal ini sejalan deengan pemeriksaan
oleh sekretaris
departemen hukum pidana fakultas hukum Universitas Sumatera Utara mengenai judul tidak ada yang sama. Kalaupun ada judul yang sama ataupun menyerupai penulis yakin substansi dan isinya berbeda.
F. Tinjauan Kepustakaan 1. Pengertian Tindak Pidana Istilah “Peristiwa Pidana” atau “Tindak Pidana” adalah sebagai terjemahan dari istilah bahasa belanda “strafbaar feit”. Dalam bahasa Indonesia disamping istilah “peristiwa pidana” untuk terjemahan strafbaar feit atau delict dikenal juga beberapa terjemahan lain Tindak Pidana, Perbuatan Pidana, Perbuatan yang boleh dihukum, dan Perbuatan yang dapat dihukum. 14 Beberapa sarjana telah berusaha untuk memberikan perumusan tentang pengertian dari peristiwa pidana, diantaranya: 14
C.S.T Kansil dan Christine S.T Kansil, Pokok-Pokok Hukum Pidana, Cet ke-1, Pradnya Paramita, Jakarta,2004, hal 37.
Universitas Sumatera Utara
1. Vos Vos hanya memberikan perumusan yang sangat singkat mengenai tindak/perbuatan pidana. Menurut beliau bahwa straafbar feit ialah kelakuan atau tingkah laku manusia yang oleh peraturan perundang-undangan diberikan pidana. 2. D. Simons Perumusan peristiwa pidana menurut Prof. simons adalah “Een Strafbaargelesetelde, onrechtmatige, met schuld in verband standee handeling van een teorekeningvatbar person”. Adapun maksud dari perumusan tersebut adalah salah dan melawan hukum yang diancampidana dan dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab. Perumusan simons tersebut menunjukkan unsur-unsur peristiwa pidana diantaranya handeling (perbuatan manusia) dimana perbuatan manusia tidak hanya een doen (perbuatan) akan tetapi juga een nalaten atau niet doen (melakukan atau tidak terbuat). 15 Unsur-unsur yang lain adalah perbuatan manusia itu harus melawan hukum
(wederchtelijk),
perbuatan
itu
diancam
dengan
pidana
(strafbaargestelde) oleh undang-undang, harus dilakukan oleh seseorang yang mampu bertanggungjawab (toerekeningsvarbaar), dan pada perbuatan itu harus terdapat kesalahan (schuld) sipelaku. 3. Van Hamel Perumusan perbuatan pidana atau tindak pidana yang dikemukakan Van Hamel sebenarnya sama dengan yang dikemukakan oleh Simons. Van Hamel menguraikan bahwa makna kesalahan (schuld) lebih tegas lagi. Menurutnya 15
Ibid
Universitas Sumatera Utara
kesalahan meliputi juga kesengajaan, kealpaan, serta kelalaian dan kemampuan bertanggungjawab. Van Hamel juga menyatakan bahwa istilah stafbaar feit tidak tepat, tetapi dia mengunakan istilah strafwaardig feit (peristiwa yang bernilai atau patut dipidana). 16 4. Prof. Moeljatno Prof. Moeljatno cenderung lebih suka menggunakan kata “perbuatan pidana” daripada kata “tindak pidana”. Menurut beliau, kata “tindak pidana” dikenal karena banyak digunakan dalam perundang-undangan untuk menyebutnya suatu “perbautan pidana”. 17 Moeljatno berpendapat bahwa perbautan pidana adalah perbuatan yang dilarang oleh aturan hukum, larangan mana disertai ancaman (sanksi) berupa pidana tertentu bagi siapa yang melanggar larangan tersebut. Larangannya ditujukan pada perbuatan (yaitu suatu keadaan atau kejadian yang ditimbulkan oleh kelakuan orang) sedangkan ancaman pidananya ditujukan kepada orang yang menimbulkan keadaan atau kejadian tersebut. Antara larangan dan ancaman pidana terdapat jika bukan orang yang menimbulkan keadaan atau kejadian tersebut dan orang tidak dapat diancam pidana jika tidak keadaan atau kejadian yang ditimbulkan olehnya. 18 Penggunaan kata “orang” sebagai pelaku’ oleh Prof. Moeljatno kemungkinan karena dipengaruhi dengan pendapat bahwa hanya orang-
16
Ibid
17
Moeljatno, Asas-Asas Hukum pidana, cetakan v, PT Rineka cipta, Jakarta, 1993, hal.
18
Ibid, hal, 54.
56.
Universitas Sumatera Utara
peroranglah yang dapat melakukan pidana. Lebih lanjut, Beliau tidak menyamakan pengertian perbuaatn dan strafbaar feit. Berdasarkan pendapat Van hamel dan Simons, Moeljatno menunujukkan perbedaan antara pengertian perbuatan pidana dan strafbaar feit terletak pada ada tidaknya kelakuan, akibat dan kesalahan didalamnya. 19 Van Hamel memberikan pengertian perbuatan pidana dan strafbaar feit sebagai kelakuan orang yang dirumuskan dalam wet, yang bersifat melawan hukum dan patut dipidana dan dilakukan dengan kesalahan. Pendapatnya tentang strafbaar feit terdiri dari kelakuan tanpa akibat, sedangkan Moeljatno menekankan bahwa perbuatan pidana terdiri dari kelakuan dan akibat. Simons memberikan pengertian starfbaar feit paling lengkap dengan menyebutkan sebagai suatu perbuatan yang oleh hukum diancam dengan hukuman, bertentangan dengan hukum, dilakukan oleh orang bersalah dan orang itu dapat bertanggungjawab atas perbuatannya. 20 Moeljatno tidak sependapat dengan Simons yang memasukkan kesalahan dalam pengertian perbuatan pidana. Menurut Moeljatno, kesalahan seharusnya berada di luar perbuatan pidana, yaitu keadaan batin pelaku dan hubungan batin pelaku dengan perbuatannya untuk dapat tidaknya mempertanggungjawabkan perbuatannya.21 5. J.B. Daliyo, S.H. Berbeda dengan sarjana lain J.B. Daliyo membedakan pengertian perbuatan pidana dan peristiwa pidana antara lain; Peristiwa pidana adalah 19
ibid
20
E. Utrecht, Rangkaian Sari Kuliah Hukum Pidana I, Pusaka Tinta Mas, Surabaya, 1994, hal. 256. 21
Moeljatno, loc.cit.
Universitas Sumatera Utara
suatu kejadian yang mengandung unsur-unsur perbuatan yang dilarang oleh undang-undang sehingga siapa yang menimbulkan peristiwa itu dapat dikenai sanksi pidana (hukuman). Sedangkan, Perbuatan pidana adalah perbuatan seseorang atau sekelompok orang yang menimbulkan peristiwa pidana atau perbuatan yang melanggar hukum pidana dan diancam dengan hukuman. Perbuatan pidana dibedakan menjadi beberapa macam, yaitu: 1. Perbuatan pidana (delik) formal ialah suatu perbuatan pidana yang sudah dilakukan dan perbuatan itu benar-benar melanggar ketentuan yang dirumuskan dalam pasal undang-undang yang bersangkutan. 2. Delik Material adalah suatu perbuatan pidana yang dilarang, yaitu akibat yang timbul dari perbuatan itu. 3. Delik Dolus adalah suatu perbuatan pidana yang dilakukan dengan sengaja. 4. Delik Culpa adalah perbuatan pidana yang tidak sengaja, karena kealpannya mengakibatkan matinya seseorang. 5. Delik Aduan adlah suatu perbuatan pidana yang memerlukan pengaduan orang lain. 6. Delik Politik adalah delik atau perbuatan pidana yang ditujukan kepada keamanan Negara baik secara langsung maupun tidak langsung. 22
6. Van Apeldoorn Beliau merumuskan peristiwa pidana sebagai suatu peristiwa yang berdasarkan hukum menimbulkan atau penghapusan hak. 23 22
J.B.Daliyo, Pengantar Hukum Indonesia, PT Prenhallindo, Jakarta, 2001, hal. 92-94.
Universitas Sumatera Utara
7. Prof. Chainur Arrasjid Peristiwa hukum adalah suatu kejadian dalam masyarakat yang dapat menimbulkan akibat hukum atau yang dapat menggerakkan peraturan tertentu sehingga peraturan yang tercantum di dalamnya dapat berlaku konkret. Artinya bahwa tidak setiap peristiwa dalam masyarakat bias menggerakkan hukum dan merupakan suatu peristiwa hukum. Di sini hukum digerakkan untuk bekerja karena hukum memberikan perlindungan terhadap orang lain tersebut. Oleh karena itu hanya peristiwa yang dicantumkan dalam hukum saja yang menggerakkan hukum sehingga disebut peristiwa hukum. 24 8. Pompe Pompe merumuskan bahwa suatu strafbaar feit itu sebenarnya adalah tidak lain daripada suatu tindakan yang menurut sesuatu rumusan undangundang telah dinyatakan sebagai tindakan yang dapat dihukum. 25 9. R. Tresna Tresna menyatakan walaupun sangat sulit untuk merumuskan atau member definisi yang tepat perihal peristiwa pidana, nmaun juga beliau menarik suatu definisi, yang menyatakan bahwa, peristiwa pidana itu adalah suatu perbuatan atau rangkaian perbuatan manusia, yang bertentangan dengan undang-undang atau peraturan perundang-undangan terhadap perbuatan mana diadakan tindakan penghukuman. 26 23
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, Ichtiar, Jakarta,1961, hal. 291.
24
Prof. Chainur Arrasjid, Dasar-Dasar Ilmu Hukum, cetakan III, Sinar Grafika Offet, Jakarta,2004, hal. 134. 25
Adami Chazawi, Pelajaran Hukum Pidana I, PT Raja Grafindo Persada, Jakarta, 2005,
26
Ibid, hal. 73.
hal. 72.
Universitas Sumatera Utara
10. J.E. Jonkers Jongkers menrumuskan peristiwa pidana ialah perbuatan yang melawan hukum (wederrecttlijk) yang berhubungan dengan kesengajaan atau kesalahan yang dilakukan oleh orang yang dapat dipersalahkan. 27 Pendapat Jongkers ini sangat berbeda dengan pendapat H.J. Van Schravendijk, yang merumuskan perbuatan yang boleh dihukum adalah kelakuan orang yang begitu bertentangan dengan keinsyafan hukum sehingga kelakuan itu diancam dengan hukuman, asal dilakukan oleh seorang yang kearena itu dapat dipersalahkan. 11. Prof. Dr. Zainal Abidin Farid Zainal Abidin tidak menyetujui istilah perbuatan pidana strafbaar handeling) karena strafbaar ialah orangnya dan bukan perbuatannya. Beliau menyarankan digunakan istilah perbuatan criminal, yang menunjukkan sifat kriminalnya perbuatan itu. Namun karena didalam perundang-undangan khusus, seperti Hukum Pidana Ekonomi, bukan saja orang diancam pidana, tetapi juga badan hukum, maka menurut beliau istilah deliklah yang lebih baik didalam merumuskan suatu perbuatan atau tindak pidana. Dalam Hukum Pidana Indonesia sebuah perbuatan dikatakan sebagai tindak pidana apabila memiliki unsur kesalahan didalamnya. Hal ini dapat dilihat dari penafsiran pasal-pasal dalam KUHP yang mengatakan bahwa seseorang tidak dapat dipidana tanpa danya kesalahan. Permasalahan ini lebih ditekankan dalam RUU KUHP sebagaimana terlihat dengan dimasukkannya sebuah pasal baru mengenai kesalahan. 27
Ibid, hal. 75.
Universitas Sumatera Utara
Setiap orang dalam kehidupan mempunyai berbagai macam keinginan. Keinginan ini timbul karena rangsangan baik dari dalam maupun dari luar. Akibat ransangan ini timbulnya kehendak/niat yang kemudian direalisasikan dengan tindakan. Jadi dapat disimpulkan bahwa tahapan-tahapan yang harus dilalui seseorang dalam melakuakn tindakan adalah: 28 a. Adanya perangsang, b. Adanya kehendak bebas, c. Adanya tindakan. Dalam tindak pidana kita tidak hanya melihat dari perbuatannya (actus reus) saja tetapi juga harus memperhatikan si pelaku apakah terdapat unsure kesengajaan atau tidak. Apakah perbuatan yang dilakukan itu dikehendaki atau tidak. Jadi unsure mens read an actus reus adalah unsure-unsur pokok dalam tindak pidana. Ke-2 unsur ini harus dapat dibuktikan sesuai dengan asas yang dianut yaitu tidak dapat dipinana seseorang tanpa adanya kesalahan (geen straf zonder schuld/actus non facit reum nisi sir rea). Dalam undang-undang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE), dalam perumusan
ketentuan-ketentuan
pidana
digunakan
kata
“tindak
pidana”
sebagaimana hal tersebut, dalam ketentuan pidana pasal 52 Undang-Undang ITE. Berdasarkan hal tersebut, dalam tulisan ini digunakan kata “tindak pidana” tanpa ada maksud untuk memperdebatkan kembali perbedaan pengertian dengan kata “perbuatan pidana” dan “peristiwa pidana” sebagimana yang dipaparkan diatas.
28
S.R. Sianturi, Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia dan penerapannya, BPK Gunung Mulia, Jakarta, 1996, hal. 165
Universitas Sumatera Utara
2. Pengertian Teknologi Informasi Teknologi berasal dari kata yunani “technologia” yang berarti pembahasan sistematik tentang seluruh seni dan kerajinan (systematic treatment of the arts and crafts). Perkataan tersebut mempunyai akar kata techne dan logos (perkataan atau pembicaraan). Akar kata techne pada zaman yunani kuno berarti seni (art), kerajinan (craft). Dari hal tersebut maka pada zaman yunani, teknologi diartikan sebagai seni memproduksi alat-alat produksi dan menggunakannya. Kemudian berkembang memjadi penggunaan ilmu pengetahuan sesuai dengan kebutuhan manusia. Bahkan ada yang menyebutnya sebagai keterampilan saja. Teknologi dapat juga diartikan sebagai the know-how of making things. Juga, dapat diartikan sebagai the know-how of doing thing, dalam arti kemampuan untuk mengerjakan sesuatu dengan hasil nilai yang tinggi, baik nilai kegunaan maupun nilia jual. 29 Beberapa sarjana merumuskan pengertian teknologi informasi antara lain sebagai berikut; 1. B.N. Bhattasali Beliau mengatakan bahwa the term technology in the English language stands for the application of science to the industrial arts. 30 Dengan demikian , maka teknologi bukanlah ilmu pengetahuan dan juga bukan produk. Teknologi adalah penetapan atau aplikasi ilmu pengetahuan untuk memproduk atau
29
Agus Raharjo, op, cit, hal. 11.
30
Sunaryati Hartono, Dalam Seminar Aspek-Aspek Hukum Pengalihan Teknologi, Dipublikasikan oleh Badan Pembinaan Hukum Nasional, Binacipta, Bandung, 1981, hal. 189.
Universitas Sumatera Utara
membuat barang dan/atau jasa. Produk tersebut merupakan hasil akhir teknologi, tetapi produk itu sendiri bukanlah teknologi. 31 2. Keith Pavit Keith Pavit mempertegas rumusan teknologi tersebut dengan mengatakan: Technological knowledge consist not only access to scientific papers, formulae, blueprints, and hardware. At consist also-and perhaps mainly of what people know and what people can do. 32 3. James F. Childress Bila dibandingkan dengan definisi dari Keith Pavit, James mendefinisikan teknologi sebagai penerapan sistematis, dari pengetahuan ilmiah dan keterampilan teknis demi pengendalian bahan, energy dan sebagainya untuk tujuan-tujuan praktis. 4. World Intelectual Property Right Organization (WIPO) Pengertian yang lebih luas mengenai teknologi dapat dijumpai dari definisi yang dibuat oleh WIPO yaitu: Technology mean systematic knowledge for the manufacture of a product, the application of a process or the rendering a service, whether that knowledge be reflected in an invention, an industrial design, a utility model or a new plat variety, or in technical information or skill, or in the service and the assistance of an industrial plat or the management of an industrial of an industrial of commercial enterprise or its activities. 33 5. T. Jacob Perkembangan teknologi telah mempengaruhi kehidupan manusia bahkan sampai hal-hal yang bersifat pribadi. Dalam hal perkembangan teknologi 31
Agus Raharjo, op,cit, hal. 12.
32
Ibid
33
WIPO Licencing Guide for Developing Countries, Geneva, 1997, hal. 28.
Universitas Sumatera Utara
Jacob membagi siklus ilmu pengetahuan dan teknologi menjadi 5 (lima) siklus Kondratieff, yaitu yang berulang-ulang setiap 50 (lima puluh) tahuan. Kelima siklus itu adalah: 34 1. Siklus pertama dimulai dengan revolusi teknologi (1760), 2. Siklus kedia ditandai dengan terbentangnya jaringan kereta apai (1848), 3. Siklus ketiga dimulai dengan ban berjalan (1895), 4. Siklus keempat ditandai dengan tenaga atom dan motorisasi masal (1945), 5. Siklus kelima (sekarang) ditandai dengan cirri perkembangan mikroelektronik dan bioteknologi. Dari beberapa definisi teknologi tersebut diatas, ada beberapa segi atau aspek yang perlu diperhatikan, yaitu: 35 a. Teknologi terdiri dari informasi yang mampu mengaplikasikan semua tahapan dari perencanaan, organisasi, dan operasi suatu industry atau perusahaan (komersial) dengan segenap aktivitasnya. b. Teknologi mempunyai kontribusi untuk membuat setiap tahapan yang mencakup perencanan, organisasi dan operasi kegiatan suatu industry atau perusahaan; maka teknologi tidak hanya terdiri dari scientific knowledge, tetapi juga pengetahuan bisnis atau organisasi. c. Teknologi bias berupa teknologi yang berwujud (bertubuh) dan tidak berwujud. 34
T. Jacob, Ilmu dan Teknologi, PT Tiara Wacana, Yogyakarta,1993 hal. 13.
35
Agus Raharjo, op,cit, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
6. Edmundo O’ Gorman Berbeda dengan pendapat sarjana lainnya Edmundo mengatakan bahwa Kita boleh saja mempunyai pengandaian positif bahwa teknologi selalu diciptakan untuk lebih mensejahterahkan kehidupan kita. Tetapi perkembangan dan penggunaannya di tangan manusia membuktikan bahwa kehadiran dan penggunaan teknologi tidak selalu positif. Oleh karenanya, tidak dapat dikatakan bahwasanya teknologi bertanggung jawab terhadap segala akibat/dampak yang ditimbulkannya, baik positif ataupun negative, sebab teknologi sendiri hanyalah alat, sebuah sarana yang penggunaannya berpulang kepada masing-masing individu yang menggunakannya. “technology of itself is neither good nor evil, and the blame it is like reproaching the iceberg for having sunk the Titanic. Obviously, the sin is not to be found in technology but in the use to which it may be put. (Teknologi pada dirinya sendiri tidak baik maupun tidak jahat, dan menyalahkannya adalah seperti mencela gunung es karena telah menggelamkan titanic. Jelaslah, dosa itu tidak dapat ditemukan pada teknologi, melaikan dalam penggunaan yang dapat dilakukan padanya.)” Dilihat dari definisi para sarjana mengenai teknologi, maka dapat kita lihat yang menjadi pengertian teknologi informasi. Pengertian teknologi informasi sedikit sulit untuk diberikan definisi yang sangat jelas karena teknologi informasi ini meruapakan salah satu bidang baru dalam kejahatan. Namun disini Turban (1996) mendefinisikan teknologi informasi dengan ungkapan: “……in its narrow definition, refers to the technological side of an information system. It includes hardware, databeses, software, networks and other devices”. Sementara mengenai system informasi didefinisikan sebagai: a collection of components that
Universitas Sumatera Utara
collects, processes, stores, analyzes, and disseminates information for a specific putrpose. 36 Dalam perspetif lain, Teknologi informasi menjadi mungkin dalam formatnya saat ini karena difasilitasi oleh komputer yang di dalamnya terdapat dua komponen pokok yaitu perangkat keras (hardware) dan perangkat luank (software). Wujud hardware berupa antara lain namun tidak terbatas pada: personal komputer, komputer mini dan mainframe, notebook, palmtop, printer, modem, danlain sebaginya. Adapun software antara lain terdiri dari kelompok: system operasi, data base, system aplikasi, dan bahasa pemprograman (programming language). 37 Dalam UU No. 11 Tahun 2008 menjelaskan pada pasal 1 ayat 1 mengenai apa yang menjadi definisi teknologi informasi.Teknologi Informasi adalah suatu teknik
untuk
mengumpulkan,
menyiapkan,
menyimpan,
memproses,
mengumumkan ,menganalisis, dan/atau menyebarkan informasi. 38 Oleh karena pengertian Teknologi Informasi telah diuraikan secara jelas maka seharusnyaa penyalahgunaan tehadap bidang ini karena tealah jelas bahwa Teknologi informasi itu bertujuan untuk mengumpulkan dan memproses segala hal mengenai teknologi kedalam sebuah
wadah secara teknik dan terlaksana sesuai wujud
pemproses tersebut.
36
Hinca IP Pandjaitan,dkk, Membangun Cyberlaw Indonesia yang Demokratis, IMLPC, Jakarta, 2005, hal. 86. 37
Ibid
38
Undang-undang No.11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik
Universitas Sumatera Utara
3. Pengertian Pertanggungjawaban Pidana Suatu perbuatan melawan hukum (wederrechtelijk) belumlah cukup untuk menjatuhkan pidana. Di samping perbuatan yang melawan hukum harus ada seorang pembuat yang bertanggungjawab atas perbuatannya , yaitu dasar kesalahan dalam arti tanggungjawab (strafbaarheid van de dader). Seseorang melakukan kesalahan, jika pada waktu melakukan delik, dilihat dari segi masyarakat patut dicela. Dengan demikian seseorang mendapatkan pidana, tergantung pada dua hal: 1. Harus ada perbuatan yang bertentangan dengan hukum, atau dengan kata lain; harus ada unsure melawan hukum, jadi ada unsure objektif. 2. Terhadap pelakunya ada unsure kesalahan dalam bentuk kesengajaan dan atau kealpaan, sehingga perbuatan yang melawan hukum tersebut dapat di pertanggungjwabkan kepadanya, jadi ada unsure subjektif. 39 Adapun
bebarapa
pendapat
para
sarjana
mengenai
pengertian
pertanggungjawaban pidana, adalah: 1. Pompe menurut Pompe unsure-unsur toerekenbaarheid, adalah: a. Kemampuan berpikir (psychis) pada pembuat yang memungkinkan pembuat menguasai pikirannya dan menentukan kehendaknya. b. Dan oleh sebab itu, pembuat dapat mengerti makna dan akibat perbuatannya.
39
Martiman Prodjohamidjojo, Memahami Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia, PT Pradnya Paramita, Jakarta, 1997, hal. 31.
Universitas Sumatera Utara
c. dan oleh sebab itu pula, pembuat menentukan kehendaknya sesuai dengan pendapatnya (tentang makna dan akibatnya). 40 Kemampuan berpikir itu terdapat pada normal, dan oleh sebab itu kemampuan
berpikir
dapat
diduga
pada
pembuat.
Pendeknya,
adanya
toerekeningsvatbaarheid, itu berarti bahwa pembuat cukup mampu menginsyafi arti perbuatannya, dan sesuai dengan keinsyafannya itu dapat menentukan kehendaknya. 2. Satochid Kartanegara Menyatakan bahwa toerekeningsvatbaarheid atau dipertanggungjawabkan adalah mengenai keadaan jiwa seseorang, sedangkan
toerekenbaarheid
(pertanggungjawaban) adalah mengenai perbuatan yang dihubungkan dengan si pelaku atau pembuat. Selanjutnya
Satochid
Kartanegara,
mengatakan
seseorang
dapat
dipertanggungjawabkan, jika: 41 a. Keadaaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat mengerti atau tahu akan nilai dari perbuatannya itu, juga akan mengerti akan akibatnya. b. Keadaan jiwa orang itu adalah sedemikian rupa, sehingga ia dapat menentukan kehendaknya atas perbuatan yang dilakukan. c. Orang itu harus sadar, insyaf, bahwa perbuatan yang dilakukan adalah perbuatan yang dilarang atau tidak dibenarkan dari sudut hukum, masyarakat maupun tat susila. 40
Ibid
41
Satochid Kartanegara, Hukum Pidana 1, 1975, hal. 144.
Universitas Sumatera Utara
3. Roeslan Saleh Mengatakan bahwa dalam hal kemampuan bertanggungjawab ada du factor, yaitu: akal dan kehendak. Dengan akal atau daya piker, orang dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan dan perbuatan yang tidak diperbolehkan. Dan dengan kehendak atau dengan kemauan, atau keinginan orang dapat menyesuaikan tingkah laku mana ynag diperbolehkan dan mana yang tidak diperbolehkan. Lebih lajut Roeslan menjelaskan bahwa adanya kemampuan bertanggungjawab ditentukan oleh dua faktor. Dengan akal dapat membedakan antara perbuatan yang diperbolehkan atau tidak diperbolehkan, sedangkan faktor kehendak bukan faktor yang menentukan mampu bertanggungjawab, melainkan salah satu faktor dalam menentukan kesalahan, karena faktor kehendak adalah tergantung dalam kelanjutan dari factor akal. Lagi pula bahwa kemampuan bertanggungjawab hanya salah satu faktor dari kesalahan. 42 Dari pendapat para pakar hukum pidana tersebut di atas, dapat ditarik kesimpulan: 43 1. Pertanggungjawaban pidana atau kesalahan dalam arti luas (schuld in riume zin) mempunyai 3 bidang, yaitu; a. Kemampuan bertanggungjawab orang yang melakukan perbuatan (toerekeningsvatbaarheid). b. Hubungan batin (sikap psikis) orang yang melakukan perbuatan dengan perbuatannya: 42
Roeslan Saleh, Perbuatan Pidana dan Pertanggung Jawab Pidana, Dua Pengertian Dasar dalam Hukum Pidana, Centra, Jakarta, 1968. 43
Martiman Prodjohamidjojo, op,cit, hal.35.
Universitas Sumatera Utara
(1) Perbuatan yang ada kesengajaan, atau (2) Perbuatan yang lalai atau kurang hati-hati atau kealpaaan. (culpa, schuld in enge zin). c. Tidak ada alas an menghapuskan pertanggungjawaban pidana pembuat (anasir toerekenbaarheid). 2. Kesalahan dalam arti sempit (schuld in enge zin) mempunyai bentuk, yaitu: a. Kesengajaan (dolus) b. Kealpaan (culpos) Sesuai dengan tujuan dan fungsi hukum dan hukum pidana sebagai sarana perlindungan social (social defences) dalam rangka mencapai tujuan utama yaitu kesejahteraan masyarakat adalah dimana kecenderungan melakukan pelanggaran hukum dalam mencapai tujuan hukum tersebut, maka oleh karena itu suatu pertanggungjawaban pidana kepada setiap pelanggar hukum perlulah dimintai kepada si pelanggar dengan dank arena telah sesuai dengan rumusan hukum pidana Nasional Negara ini. G. Metode Penelitian Sudah merupakan ketentuan dalam penyusunan serta penulisan karya ilmiah atau skripsi diperlukan metode penelitian dalam pengajarannya. Metode penelitian sebagai suatu hal yang mempunyai cara utama yang digunakan untuk mancapai suatu tujuan. Sehubungan dengan ini penulis menggunakan metode penelitian hukum normative yaitu dengan melakukan penelitian kepustakaan yakni penelitian yang dilakukan dengan meneliti bahan-bahan kepustakan, khususnya perundang-undangan dan kepustakan hukum yang berkaitan dengan
Universitas Sumatera Utara
Teknologi Informasi dan kriminalisasi dan penanggulangan tindak pidana Teknologi Informasi. Lazimnya didalam penelitian, dibedakan antara data yang diperoleh langsung dari masyarakat dan dari bahan pustaka. Data pada penelitian ini diperoleh dari bahan pustaka dan dinamakan data sekunder. 44 Data sekunder ini mencakup: 1. Buku-buku yang berkaitan dengan topik ini, 2.
Dokumen-dokumen resmi,
3. Berita-berita hukum di internet, 4. Undang-undang informasi dan transaksi elektronik, 5. Pendapat pakar teknologi informasi/telematika, 6. Hasil penelitian yang berwujud laporan majalah, artikel, dan seminarseminar atau local karya yang berkaitan dengan topik ini. Terhadap data yang diperoleh, akan dianalisa secara kualitatif. Menurut Bogan dan Biklena analisa data kualitatif. 45 adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilah-milahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensitesisnnya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari, dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. H. Sistematika Penulisan Sebagaimana halnya setiap karya tulis dimana antara satu bab dengan yang lainnya memiliki satu kesatuan agar dapat menjelaskan permasalahannya dan 44
Soerjono Soekanto, pengantar penelitian hukum, Uipress, Jakarta, 1986, hal.12.
45
Lexy J.Moleong, Metodelogi Penelitian Kualitatif, PT. Remaja Rosdakarya, Bandung, 2007, hal. 248.
Universitas Sumatera Utara
untuk memperolah sistematika yang teratur maka skripsi ini menggunakan sistematika penulisan sebagai berikut: Bab I
: Pendahuluan Meliputi
latar
belakang,
permasalahan,
identifikasi
permasalahan, tujuan penelitian, manfaat penelitian, keasalian penulisan,
tinjauan
kepustakaan,
metode
penelitian,
dan
sistematika penulisan.
Bab II
: Pengaturan Tindak Pidana Bidang Teknologi Informasi Bab ini berisikan pemahaman tentang sejarah teknologi informasi, pengertian kejahatan teknologi informasi, bentuk kejahatan di bidang teknologi informasi dan tindak pidana di bidang teknologi informasi.
Bab III
:Pertanggungjawaban Pidana Tindak Pidana di Bidang Teknologi Informasi Dalam bab ini penulis membahas mengenai kategorisasi para pelaku tindak pidana teknologi informasi, pengertian pelaku dalam hukum pidana, dan pertanggungjawaban pidana pelaku tindak pidana teknologi informs.
Bab IV
: Penutup Bab ini merupakan bab terakhir dalam pembahasan penulis yang berisikan kesimpulan dari seluruh pembahasan serta saran-saran dari penulis
Universitas Sumatera Utara