BAB I PENDAHULUAN
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Permukiman kembali masyarakat pesisir di Desa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat merupakan upaya membangun kembali permukiman masyarakat di daerah pesisir yang telah rusak baik sedikit atau seluruhnya akibat pengaruh bencana tsunami. Pembangunan permukiman kembali tersebut dilakukan dengan cara menghidupkan kembali fungsi-fungsi permukiman lama yang telah rusak dengan membangun rumah-rumah masyarakat serta mengubah
atau
membangun
fasilitas-fasilitas
penunjang
lainnya
untuk
kepentingan kehidupan masyarakat. Permukiman adalah sebuah tempat atau kawasan pada suatu wilayah yang terbentuk dari terpusatnya rumah-rumah sebagai suatu tempat bagi penduduk untuk beristirahat dari aktivitas kesehariannya dan adanya interaksi sosial antar penduduk di dalamnya sehingga terbentuk karakteristik dan kepribadian yang khas dari suatu permukiman tersebut. Dalam perkembangannya permukiman tidak terbatas pada satu wilayah saja tetapi juga turut dipengaruhi oleh wilayah sekitarnya.
1
Musibah Gempa dan Tsunami pada Tanggal 26 Desember 2004 dengan kekuatan gempa sebesar 8,9 Skala richter telah memberi dampak yang besar terhadap Kawasan di Asia Tenggara dan sekitarnya yaitu timbulnya korban materi dan non materi. Salah satu negara yang terparah yang terkena dampaknya adalah Indonesia, khususnya yaitu di Provinsi Aceh dan Sumatera Utara yang telah menyebabkan korban hilang dan meninggal sebanyak 100 ribu jiwa lebih. Di Provinsi Aceh, Kabupaten Aceh Barat, tepatnya di Desa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga merupakan salah satu desa yang paling berat terkena dampak musibah Gempa dan Tsunami karena di desa itu terletak dekat dengan tepi pantai. Dulunya daerah tersebut menjadi daerah wisata pantai dan tempat tujuan masyarakat dan para pedagang ikan untuk membeli ikan segar. Sebagai daerah pesisir, Desa Kuala Bubon merupakan desa yang dibangun fasilitas tempat pelelangan ikan terbesar kedua di Kabupaten Aceh Barat. Karena terdapat tempat pelelangan ikan sehingga di sekitarnya banyak terdapat permukiman penduduk khususnya yang berprofesi sebagai nelayan. Sebagian besar permukiman penduduk dibangun disepanjang pantai yang sejajar dengan jalan raya yang menghubungi Kabupaten Aceh Barat ke Ibukota Provinsi Aceh. Hal ini mempengaruhi jumlah banyaknya korban jiwa yang meninggal, hilang dan terpisah dengan anggota keluarganya serta rumah-rumah yang hancur dan rusak. Kerusakan bangunan dan permukiman akibat musibah gempa dan tsunami umumnya disebabkan karena pengaruh dahsyatnya gelombang tsunami yang mengenai ke permukiman penduduk bukan karena gempanya. Secara struktur, efek dari kekuatan gempa yang besar dan di luar perhitungan menyebabkan 2
bangunan menjadi lemah pada struktur gesernya yaitu pada kaki kolom dan balok bangunan, hal ini menyebabkan struktur bangunan tidak stabil dan bisa menjadi runtuh secara tiba-tiba apabila ada gaya luar terhadap bangunan. Sehingga pada saat adanya gelombang tsunami yang menerobos permukiman mengakibatkan semua benda dan bangunan yang dilaluinya menjadi roboh dan ada juga ikut dibawa serta. Untuk daerah yang kondisi bangunannya mengalami kerusakan dapat dibedakan berdasarkan tingkatan kerusakan yang ditimbulkan yaitu (1) daerah dengan kerusakan permukiman rusak total; (2) daerah dengan permukiman yang mengalami kerusakan sedang; dan (3) daerah dengan permukiman yang tidak mengalami kerusakan yang berarti. Pasca terjadinya gempa dan tsunami banyak terdapat korban selamat yang tidak lagi mempunyai rumah mengungsi ke tempat-tempat keluarga, kerabat, teman dan ada juga yang memilih bergabung di tempat barak pengungsian maupun sekitarnya dan bahkan ada juga yang keluar dari Kabupaten Aceh Barat karena trauma mengingat bencana gempa dan tsunami. Untuk menanggulangi pengungsi pada masa tanggap darurat, pemerintah menyediakan fasilitas tempat tinggal sementara yaitu berupa barak pengungsi yang di bangun oleh pemerintah dan juga bantuan dari lembaga asing. Barak pengungsi merupakan tempat penampungan pengungsi secara masal sehingga memudahkan dalam pemberian kebutuhan pokok pada masa tanggap darurat. Disamping itu barak pengungsi juga telah dilengkapi dengan sarana dan prasarana yang sederhana untuk menunjang kehidupan seperti Tempat mandi, WC umum, Mushalla, Aula berkumpul, Drainase lingkungan, serta Jalan lingkungan. Setelah 3
kebutuhan dan penyediaan tempat pengungsi selesai dibangun, pada tahap selanjutnya dilanjutkan dengan pembangunan permukiman perumahan bagi masyarakat terutama yang sudah berkeluarga baik yang telah kehilangan rumah dan juga yang belum mempunyai rumah. Pada masa rehabilitasi dan rekonstruksi kembali, banyak negara ataupun lembaga asing yang ingin membantu untuk membangun kembali perumahanperumahan masyarakat. Proses pembangunan kembali perumahan dikelola oleh lembaga Badan Rekonstruksi dan Rehabilitasi (BRR) NAD bersama dengan Pemerintah Kabupaten Aceh Barat. Lokasi pembangunan rumah bagi masyarakat korban gempa dan tsunami terdapat pada beberapa lokasi diantaranya pada lokasi rumah asal dan pada lokasi relokasi. Untuk masyarakat Desa Kuala Bubon, daerah relokasi permukimannya adalah pada desa lain yang berjarak sekitar 15 km yaitu di Desa Cot Seumeureung Kecamatan Samatiga, komplek perumahan ini dibangun oleh LSM asing lengkap dengan sarana dan prasarana infrastruktur di dalamnya. Namun karena adaptasi sebagian masyarakat tidak cocok dengan daerah pedalaman serta proses pembangunan dan peruntukannya bertahap untuk semua masyarakat dan masa menunggu yang lama, ada sebagian masyarakat yang tidak mau direlokasi dan tetap menuntut pemerintah dan lembaga asing lain yang mau memberikan bantuan pembangunan perumahan di lokasi semula dan sekitarnya. Sehingga permukiman masyarakat pesisir yang berasal dari Desa Kuala Bubon terpisah menjadi dua daerah yang berjauhan yaitu Permukiman di Desa Kuala Bubon dan Permukiman di Desa Cot Seumeureung.
4
Penyebaran pembangunan rumah pasca gempa dan tsunami terjadi dengan berbagai macam lokasi penyebaran, baik itu lokasi pada permukiman awal, lokasi pada daerah sekitar, maupun pada daerah relokasi. Pada daerah relokasi di desa lain, masyarakat pendatang harus bisa beradaptasi dengan lingkungan setempat, seperti lingkungan, suasana aktivitas masyarakat dan mengikuti aturan adat yang berlaku pada daerah tersebut. Namun tidak jarang terjadi konflik kepentingan antara masyarakat pendatang/ pengungsi dengan masyarakat asli disekitarnya. Hal ini diakibatkan karena karakteristik masyarakat pendatang tidak sama dengan karakteristik masyarakat yang sudah ada pada lokasi relokasi, sehingga menjadi masalah bagi hubungan sosial di daerah tersebut. Permukiman pada daerah lokasi asal selain masih berada pada daerah yang rawan tsunami juga dekat dengan mata pencaharian utama mereka yaitu melaut. Sehingga banyak dari masyarakat yang lebih memilih tinggal di tempat semula dengan fasilitas sederhana untuk meneruskan kehidupannya. Secara umum masyarakat di wilayah pesisir sumber mata pencahariannya sebahagian besar di laut. Penduduknya menggantungkan hidup sebagai nelayan yang mencari ikan di laut, letak permukiman mereka tidak jauh dari pantai dan masyarakatnya tidak mau di relokasi ke daerah lain yang jauh dari pantai. Tempat tinggal
suatu
masyarakat
bisa
mencerminkan
Karakteristik
dan
mata
pencahariannya. Sebagai masyarakat yang tinggal di tepi pantai biasanya mempunyai keahlian sebagai nelayan dengan karakteristik keras, demikian pula sebaliknya masyarakat yang tinggal di dataran dan bukit mempunyai keahlian sebagai petani dengan karakteristik ramah. Penduduk yang tinggal di lokasi tepi
5
pantai sebagian besar masyarakat berprofesi sebagai nelayan, pada saat hendak bekerja mereka hanya keluar rumah dan langsung menuju pantai. Sudah sembilan tahun peristiwa gempa dan tsunami sejak Tanggal 26 Desember 2004 dilewati, fenomena yang terlihat di lapangan adalah hidupnya kembali Permukiman Desa Kuala Bubon meskipun berada dekat dengan pantai yang rawan akan bencana gelombang tsunami. Masyarakat di daerah pesisir masih trauma apabila mengenang musibah tersebut karena telah menjadi saksi dari dahsyatnya peristiwa dan dampak yang ditimbulkan dari gempa dan gelombang tsunami, tetapi dengan adanya semangat secara sosial dan tidak berputus asa untuk terus hidup menatap masa depan yang lebih cerah nantinya, semua peristiwa itu bisa tertutupi. Berkaitan dengan permasalahan di atas, maka penulis ingin melakukan penelitian seperti apa sebenarnya konsep bermukim masyarakat pesisir yang terbentuk pasca bencana gempa dan tsunami di Desa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. B. Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang dan masalah yang ada di atas, maka penelitian ini difokuskan pada konsep bermukim masyarakat pesisir yang terbentuk pasca bencana tsunami dihadapkan pada kenyataan masih adanya masyarakat yang tetap mau tinggal di lokasi yang rawan bencana gelombang tsunami dari pada memilih relokasi ke desa lain.
6
Dari hasil penelitian ini akan menjawab seperti apakah konsep bermukim masyarakat pesisir yang terbentuk pasca bencana gempa dan tsunami di Desa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. C. Tujuan Penelitian Dengan melihat latar belakang dan konteks permasalahan tersebut di atas, maka tujuan penelitian ini adalah untuk mendeskripsikan dan mengkaji konsep bermukim masyarakat pesisir yang terbentuk pasca bencana gempa dan tsunami di Desa Kuala Bubon Kecamatan Samatiga Kabupaten Aceh Barat. D. Manfaat Penelitian Sehubungan dengan tujuan penelitian ini, maka manfaat dan hasil yang diharapkan dari penelitian adalah sebagai berikut : 1. Sebagai bahan masukan dan perumusan untuk pengambil kebijakan tentang perencanaan dan pengembangan permukiman kawasan pesisir pantai pasca bencana sesuai dengan kultur dan perilaku masyarakat setempat, khususnya Kabupaten Aceh Barat; 2. Sebagai bahan referensi untuk penelitian selanjutnya dan sumbangan bagi ilmu pengetahuan khususnya tentang konsep permukiman kembali; E. Keaslian Penelitian Penelitian dengan topik yang sama, yakni Permukiman Kembali Masyarakat Pesisir yang terbentuk Pasca Bencana Alam Tsunami berdasarkan pengetahuan penulis belum pernah dilakukan dengan lokus yang sama.
7
Walaupun demikian penulis berusaha mempelajari penelitian lainnya yang mempunyai warna tidak jauh berbeda, yang diantaranya adalah penelitian yang dilakukan oleh : 1. Imam Al Gazali (2007), yang meneliti tentang Adaptasi dan Adjusment Masyarakat Pantai Talise terhadap Permukiman Baru (Kasus Permukiman Kembali Rudapaksa di Kota Palu). Hasil penelitian ini adalah untuk mengetahui bagaimana masyarakat pesisir Pantai Talise melakukan adaptasi dan penyesuaian (adjusment) di lingkungan permukiman baru Kelurahan
Layana
Indah
Kota
Palu
serta
faktor-faktor
yang
mempengaruhinya. 2. Saflina (2005), yang meneliti tentang Aspirasi masyarakat pesisir terhadap permukiman nelayan di Kelurahan Lampulo, Kecamatan Kuta Alam Kota Banda Aceh. Hasil penelitian ini ditujukan untuk mengidentifikasi aspirasi masyarakat terhadap rekonstruksi permukiman nelayan pasca bencana alam tsunami yang terjadi di Kelurahan Lampulo, Kecamatan Kuta Alam, Kota Banda Aceh. F. Ruang Lingkup Penelitian Ruang lingkup penelitian ini dibatasi pada permukiman kembali masyarakat pesisir yaitu : bagaimana karakter masyarakat pesisir dan seperti apa konsep bermukim kembali yang terbentuk pasca bencana sehingga mempunyai manfaat jangka panjang dan diterima oleh semua masyarakat, dalam hal ini konsep bermukim masyarakat pesisir Desa Kuala Bubon Kec. Samatiga
8
Kabupaten Aceh Barat pasca bencana tsunami Tanggal 26 Desember 2004. Masyarakat pesisir disini adalah sekelompok orang yang masih bertempat tinggal di Desa Kuala Bubon Kec. Samatiga Kabupaten Aceh Barat yang kembali menetap di desa tersebut pasca bencana tsunami yang lalu. Ruang lingkup wilayah atau kajian wilayah dalam studi ini dibatasi hanya di dalam daerah permukiman di Desa Kuala Bubon, Kecamatan Samatiga, Kabupaten Aceh Barat. Adapun batas-batas Kecamatan Samatiga adalah sebagai berikut : Timur
: Kecamatan Johan Pahlawan
Barat
: Kecamatan Arongan
Utara
: Samudera Hindia
Selatan
: Kecamatan Woyla
Pengambilan studi kasus di Desa Kuala Bubon ini, dikarenakan permukiman kembali yang dibangun pada kondisi permukiman yang rusak berat, letak lokasi yang sangat unik yaitu dekat dengan laut dan muara sungai serta keadaan rumah berupa konstruksi beton yang dibangun di genangan air dan berdekatan dibandingkan dengan desa-desa pesisir yang lain di Kabupaten Aceh Barat.
9