BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peristiwa bencana alam gempa bumi dan tsunami 5 pada tanggal 26 Desember 2004 6 telah menimbulkan derita kemanusiaan dan menyebabkan ratusan ribu orang meninggal dunia, kehilangan tempat tinggal dan harta benda serta lumpuhnya sektor ekonomi, infrastruktur hingga menimbulkan keresahan masyarakat terhadap status dan kepemilikan hak atas tanah. Dampak peristiwa tsunami di Provinsi Aceh (dulu
5
Dalam terminologi Aceh, istilah atau kata tsunami tidak dikenal. Namun demikian, dalam masyarakat Aceh, terutama di kalangan orang tua dan juga kalangan yang belajar di dayah (pesantren, mengenalinya dengan istilah lain, “ie beuna” melalui cerita-cerita lisan. Ie berarti air dan beuna berarti benar. Ie beuna dimaksudkan sebagai air yang menunjukkan kebenaran ayat-ayat Tuhan dalam menghapus segenap kebatilan. Selain istilah ie beuna, ada pula yang menyebutnya dengan smong atau seumong. Lihat Abdullah Sanny, Lokakarya Nasional Menjaring Aspirasi Masyarakat dalam Rangka Menyusun Program Rekonstruksi dan Rehabilitasi Aceh Pasca Tsunami, Banda Aceh: 1 Februari 2005, dalam Hasanuddin Yusuf, Sejarah Aceh dan Tsunami, (Yogyakarta: Ar-Ruzz, 2005), hal. 166. Menurut orang tua-tua, ie beuna itu dapat berasal dari laut dan juga disertai semburan air dari permukaan tanah. Lihat Sanusi M. Syarif, Gampong dan Mukim di Aceh: Menuju Rekonstruksi Pasca Tsunami, Cetakan Kedua, (Banda Aceh: Pustaka Rumpun Bambu, 2010), hal. 102. 6 Gempa bumi tanggal 26 Desember 2004 di Asia Tenggara, yang terbesar dalam kurun waktu 40 tahun terakhir dan terbesar kelima sejak tahun 1900, tercatat 9,1 pada skala Richter. Gempa tersebut beserta gelombang tsunami yang terjadi setelahnya menyebabkan bencana yang menewaskan lebih dari 220.000 orang. Patahan seluas 1.000 kilometer persegi yang muncul akibat pergerakan sejumlah lempengan di bawah permukaan bumi dan energi raksasa yang ditimbulkan oleh bongkahan tanah raksasa yang berpindah tempat, berpadu dengan energi raksasa yang terjadi di samudra membentuk gelombang tsunami. Gelombang tsunami itu menghantam negara-negara Asia Tenggara seperti Indonesia, Sri Lanka, India, Malaysia, Thailand, Bangladesh, Myanmar, Maladewa dan Seychelles, dan bahkan pesisir pantai Afrika seperti Somalia, yang terletak sejauh kurang lebih 5.000 kilometer. Istilah “tsunami”, yang dalam bahasa Jepang berarti gelombang pelabuhan, menjadi bagian dari bahasa dunia pasca tsunami raksasa Meiji pada tanggal 15 Juni 1896 yang melanda Jepang dan menyebabkan 21.000 orang kehilangan nyawa (http://ichsansantoso.blogspot.com/2009/09/artikel-tsunamiaceh_273.html, diakses pada tanggal 6 Maret 2013, pukul 4.03 WIB).
Universitas Sumatera Utara
disebut Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (NAD)), 7 telah menimbulkan permasalahan pertanahan, antara lain: 8 1. musnah dan kerusakan obyek/bidang-bidang tanah, termasuk hilang/ rusaknya tanda batas tanah dan titik dasar teknik; 2. subyek hak hilang, meninggal, mengungsi, tidak diketahui alamat serta tidak memiliki ahli waris; 3. rusak/hancurnya gedung kantor beserta dokumen pertanahan, seperti alas hak dan sertipikat hak atas tanah pada masyarakat, hak tanggungan pada Bank, buku tanah/dokumen pada Kantor Pertanahan; 4. petugas, aparatur dan pihak-pihak terkait hilang, meninggal dunia, tidak berada di tempat/tidak diketahui alamat, aparat desa/kecamatan, tokoh masyarakat, tokoh pemuda serta saksi/pihak yang berbatasan). Tsunami telah mengakibatkan terjadinya proses pemisahan secara fisik (penguasaan) antara bidang tanah dengan pemiliknya. Juga telah terjadi proses kemusnahan (hilang dan rusak) berbagai bukti (dokumen dan bukti fisik) hubungan pemilikan antara satu bidang tanah dengan orang tertentu. Hal tersebut sangat berpotensi menimbulkan permasalahan di masa yang akan datang. Bidang tanah adalah satu-satunya harta (asset) yang tertinggal. Tanah yang tertinggal juga dalam keadaan rusak secara fisik dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan, bahkan sebagian bidang tanah musnah. Kerusakan fisik tanah dan kehilangan dokumen penguasaan/pemilikan cenderung untuk dapat dinyatakan 7
Penggunaan kata Aceh bukan Nanggroe Aceh Darussalam, oleh penulis berdasarkan Peraturan Gubernur Aceh Nomor 46 Tahun 2009 tentang Penggunaan Sebutan Nama Aceh dan Gelar Pejabat Pemerintahan dalam Tata Naskah Dinas di Lingkungan Pemerintah Aceh tertanggal 7 April 2009. Ditegaskan dalam Pergub No. 46 Tahun 2009 tersebut bahwa sebutan Daerah Otonom, Pemerintahan Daerah, Kepala Daerah/Wakil Kepala Daerah, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Nomenklatur dan Papan Nama Satuan Kerja Pemerintah Aceh (SKPA), Titelatur Penandatangan, Stempel Jabatan dan Stempel Instansi dalam Tata Naskah Dinas di lingkungan Pemerintah Aceh, diubah dan diseragamkan dari sebutan/nomenklatur “Nanggroe Aceh Darussalam” (“NAD”) menjadi sebutan/nomenklatur “Aceh”. 8 Kepala Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Pemaparan, disampaikan pada Rapat Kerja Nasional Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia Tahun 2009, hal. 5.
Universitas Sumatera Utara
telah “lumpuh” nya penguasaan/pemilikan tanah warga di wilayah bencana. Sulit membayangkan upaya pembangunan kembali wilayah yang terkena bencana dalam prespektif pertanahan tanpa terlebih dahulu melaksanakan pemulihan hak keperdataan atas tanah milik warga. Berdasarkan data Badan Pertanahan Nasional (selanjutnya disebut BPN) yang disampaikan pada rapat dengar pendapat Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia (DPR RI) tanggal 7 Maret 2005, kerusakan yang diakibatkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh meliputi areal ± 28.483,7 Ha atau 1,27% dari luas Provinsi Aceh sebesar 2.252.053,9 Ha, yaitu: Kota Banda Aceh, Kota Lhokseumawe, Kabupaten Aceh Besar, Kabupaten Aceh Barat, Kabupaten Aceh Jaya, Kabupaten Nagan Raya, Kabupaten Pidie, Kabupaten Bireuen, Kabupaten Aceh Utara. Gempa dan gelombang tsunami yang terjadi di Provinsi Aceh juga menimbulkan dampak sebagai berikut: 9 1.
Dampak Kelembagaan a. Sumber Daya Manusia Pegawai Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh yang meninggal dunia sebanyak 35 orang, dan dari pegawai yang selamat, terdapat beberapa pegawai yang mengalami trauma berat akibat kehilangan suami/istri/anak dan keluarga lainnya serta harta benda. b. Sarana dan prasarana kerja Kerusakan dan kehilangan sarana dan prasarana kerja di BPN Provinsi Aceh meliputi gedung kantor, perlengkapan/peralatan kantor, sarana mobilitas dan dokumen pertanahan. Kerusakan dan kehilangan dokumen pertanahan terparah adalah pada Kanwil BPN Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar.
9
Badan Pertanahan Nasional, Penjelasan Pemerintah Berkenaan dengan Agenda Rapat yang Disampaikan Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional pada Rapat Dengar Pendapat Komisi II DPR RI dengan Badan Pertanahan Nasional, tanggal 7 Maret 2005, hal. 2-7.
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
Dampak Fisik Kerusakan bidang-bidang tanah sebagai dampak dari bencana/peristiwa gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh dapat dikategorikan menjadi 3 (tiga) tingkatan, yaitu: a. Rusak berat Tanahnya musnah, tenggelam atau turun. b. Rusak sedang Tanahnya ada tetapi batas tanah dan fondasi bangunan tidak tampak sama sekali tetapi dapat diidentifikasi. c. Rusak ringan Katagori rusak ringan yang dimaksudkan adalah daerahnya hanya terkena lidah air, serta tidak terdapat kerusakan dan sama sekali aman/tidak terkena dampak bencana. Dampak terhadap Koordinat Titik Kerangka Dasar Gempa tektonik secara teoritis menimbulkan pergeseran pada kulit bumi (topografi) yang berakibat pada terjadinya pergeseran koordinat titik kerangka dasar. Dari hasil pengamatan melalui pengukuran beberapa titik Kerangka Dasar Kadastar Nasional (KDKN) diduga telah terjadi pergeseran koordinat yang cukup signifikan, oleh karenanya untuk pelaksanaan rekonstruksi batas tanah diperlukan: a. Pengukuran KDKN Orde II dan Orde III dengan menggunakan GPS tipe Geodetik. b. Pembuatan Peta Dasar Pendaftaran (baru) pasca tsunami dengan menampilkan bidang-bidang tanah. Dampak terhadap Pengelolaan dan Pelayanan Pertanahan Dampak kelembagaan, dampak fisik dan dampak lain yang ditimbulkan oleh gempa dan tsunami di Provinsi Aceh telah berakibat pada terhentinya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan pada Kantor-kantor Pertanahan yang terkena musibah yaitu meliputi Kantor Wilayah Badan Pertnahan Nasional Provinsi Aceh, Kantor Pertanahan Kota Banda Aceh dan Kantor Pertanahan Kabupaten Aceh Besar. Kerusakan gedung kantor dan tidak adanya perlengkapan serta peralatan kantor, sarana mobilitas, dan dokumen pertanahan, serta pegawai yang trauma karena kehilangan rumah, suami/istri, dan anak serta sanak keluarga lain, dan harta benda telah berakibat pada tidak berjalannya penyelenggaraan pengelolaan dan pelayanan pertanahan di Provinsi Aceh. Berdasarkan analisis, permasalahan pertanahan berkaitan dengan keberadaan
obyek dan keberdaan subyek serta dokumen pertanahan dapat dinventarisir sebagai berikut:
Universitas Sumatera Utara
1. Obyek hak Terdapat tanah musnah 10. Terhadap fisik tanah yang masih ada, batas-batas tanah mengalami kerusakan atau hilang antara lain batas-batas tanah dalam bentuk permanen, bangunan, batas-batas alam seperti pohon-pohon besar serta tempat-tempat pemakaman umum dan keluarga. Di beberapa lokasi sisa-sisa batas-batas tanah yang masih ada telah diratakan dengan buldoser sehingga batas fisik tanah yang masih tersisa menjadi semakin tidak jelas dan bahkan hilang. 2. Subyek Hak 11 Pemilik tanah atau ahli waris yang sah banyak yang meninggal dunia, hilang, tidak diketahui keberadaannya serta berdomisili di tempat pengungsian dan diantaranya mengungsi di luar Provinsi Aceh. Beberapa ahli waris masih di bawah umur dan belum ada kesepakatan diantara ahli waris. 3. Dokumen Pertanahan Kondisi dokumen pertanahan yang berada pada Kantor Pertanahan dan masyarakat banyak yang hilang dan dalam kondisi rusak/hancur. Dokumen 10
Tanah Musnah adalah tanah yang sudah berubah dari bentuk asalnya karena peristiwa alam dan tidak dapat diidentifikasi lagi sehingga tidak dapat difungsikan, digunakan, dan dimanfaatkan sebagaimana mestinya. Lihat Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2007 Nomor 168 (selanjutnya disebut UU No. 48 Tahun 2007). 11 Subyek hak menurut Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 9 Tahun 1999 tentang Tata Cara Pemberian dan Pembatalan Hak Atas Tanah Negara dan Hak Pengelolaan adalah perorangan atau badan hukum yang pendiriannya sah sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang memohon sesuatu hak atas tanah. R. Rahardjo, Himpunan Istilah Pertanahan dan yang Terkait, (Jakarta: Djambatan, 2008), hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
pertanahan meliputi alas hak dan sertipikat 12 yang berada pada masyarakat sedangkan yang berada pada Kantor Pertanahan dalam bentuk buku tanah, 13 tanda bukti hak atas tanah dan surat-surat yang berkaitan dengan tanah atau bukti kepemilikan lainnya atas tanah yang menjadi dasar dan persyaratan dalam proses penerbitan sertipikat hak atas tanah. Masyarakat yang terkena tsunami baik yang selamat dari bencana maupun ahli waris sangat mengharapkan untuk memperoleh perlindungan hukum hak-hak atas tanah yang mereka miliki/kuasai sebelum terjadinya tsunami. Keinginan mereka untuk kembali menata kehidupan di lokasi semula juga sangat tinggi. Desakan agar jaminan perlindungan hukum terhadap hak atas tanah warga korban tsunami juga disampaikan oleh Anggota Komisi A, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (DPRD) Kota Banda Aceh yang mendesak Pemerintah Kota Banda Aceh 12
Dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1960 Nomor 104 (selanjutnya disebut UUPA) tidak pernah disebut sertipikat tanah, namun seperti yang dijumpai dalam Pasal 19 ayat (2) huruf c ada disebutkannya “surat tanda bukti hak”. Dalam pengertian sehari-hari surat tanda bukti hak ini sudah sering ditafsirkan sebagai sertipikat tanah. Menurut Mhd. Yamin Lubis dan Abd Rahim Lubis, bahwa pengertian yang sama bahwa surat tanda bukti hak adalah sertipikat (lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hlm. 203. Senada dengan Herman Hermit, sertipikat merupakan surat tanda bukti hak atas tanah atau satuan rumah susun. Suatu pengakuan dan penegasan dari negara terhadap penguasaan tanah atau satuan rumah susun secara perorangan atau bersama atau badan hukum yang namanya ditulis di dalamnya dan sekaligus menjelaskan lokasi, gambar, ukuran dan batas-batas bidang tanah atau satuan rumah susun tersebut (lihat Herman Hermit, Cara Memperoleh Sertipikat Tanah: Tanah Hak Milik, Tanah Negara, Tanah Pemda dan Balik Nama, Teori dan Praktek Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2009), hal. 31). 13 Buku tanah merupakan dokumen yang menegaskan data keabsahan penguasaan/ kepemilikan hak si pemegang sertipikat dan data keabsahan obyektif bidang tanah yang dikuasai/ dimiliki si pemegang sertipikat (Herman Hermit, Ibid, hal. 35). Menurut definisi formalnya, “buku tanah adalah dokumen dalam bentuk daftar yang memuat data yuridis dan data fisik suatu obyek pendaftaran tanah yang sudah ada haknya” (Pasal 1 angka 19 Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696). Buku tanah terdiri dari empat halaman ukuran kwarto (21 cm X 28 cm), namun bisa ditambah apabila halaman terakhir sudah penuh diisi.
Universitas Sumatera Utara
segera mengganti sertipikat tanah warga korban tsunami. Jika status dan kepemilikan tanah-tanah tidak segera diselesaikan, dikhawatirkan masalah itu menjadi embrio munculnya sengketa di tengah masyarakat. 14 Pemerintah dalam hal ini BPN yang dibentuk berdasarkan Keputusan Presiden Republik Indonesia No. 26 Tahun 1988, bertanggung jawab mengelola dan mengembangkan administrasi pertanahan, baik berdasarkan UUPA maupun peraturan perundang-undangan lainnya. 15 Keputusan Presiden tersebut telah diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 10 Tahun 2006 kemudian diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 85 Tahun 2012 dan terakhir diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 63 Tahun 2013 tentang Badan Pertanahan Nasional Republik Indonesia (BPN RI). Terakhir dalam Kabinet Kerja (Tahun 2014) telah berubah menjadi Kementerian Agraria dan Tata Ruang. Program pemulihan urusan pertanahan menjadi tidak sederhana, dan menjadi hal yang sangat prioritas dilaksanakan karena tujuan kegiatan pertanahan dituntut untuk dapat memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemilik tanah. 16 Sebagai
14
Harian Serambi Indonesia terbitan tanggal 8 Agustus 2005. A.P. Parlindungan, Komentar Atas Undang-Undang Pokok Agraria, (Jakarta: Mandar Maju, 1993), hal. 10. 16 Tujuan kegiatan pertanahan antara lain memberikan jaminan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, hal ini senada dengan tujuan hukum yang dikemukakan oleh E. Utrecht bahwa hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheid) dalam pergaulan manusia, E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957), hal. 254. Sedangkan menurut Jeremy Bentham, bahwa hukum harus menuju ke arah sesuatu yang berguna, suatu anggapan yang mengutamakan utilitiet (utilities theorie). Menurut anggapan Theorie Utilitiet bahwa hukum harus mewujudkan semata-mata apa yang berfaedah (berguna) bagi setiap orang, karena yang berfaedah bagi setiap orang yang satu mungkin merugikan orang lain karena menurut anggapannya tujuan hukum didefinisikan dapat menjamin adanya kebahagiaan bagi sebanyakbanyaknya orang dan “Kepastian hukum” (zekerheid door het recht) bagi individu adalah jalan utama dari hukum, lihat Liza Erwina, Ilmu Hukum, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2012, hal. 33. Hal senada 15
Universitas Sumatera Utara
upaya menjamin perlindungan hukum terhadap pemilik tanah di wilayah bencana tsunami serta dalam rangka proses percepatan pemulihan keadaan pasca bencana, mutlak diperlukan suatu program simultan yang sistematis, komprehensif dan terintegrasi di bidang pertanahan. Kegiatan ini diperlukan juga sebagai wujud komitmen perlindungan Hak Asasi Manusia (HAM) 17 di wilayah bencana. Oleh karena itu, Pemerintah dalam hal ini BPN, menyelenggarakan program pendaftaran tanah terhadap seluruh bidang tanah di seluruh desa/kelurahan di lokasi bencana tsunami tanpa memungut biaya, 18 yang dilakukan melalui kegiatan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh atau Reconstruction of Aceh Land Administration System (RALAS). RALAS dilaksanakan untuk mengembalikan setiap jengkal tanah kepada pemilik yang sebenarnya seperti keadaan sebelum terjadinya bencana alam tsunami tanggal 26 Desember 2004. Upaya itu dilakukan dalam rangka memberikan jaminan kepastian hukum dan perlindungan hak atas tanah.
tentang kepastian hukum terdapat juga dalam Pasal 28D ayat (1) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 45) perubahan ketiga bahwa “setiap orang berhak atas pengakuan, jaminan perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum”. 17 Suatu hak baru berfungsi secara efektif, apabila hak tersebut dapat dipertahankan dan dilindungi. Untuk itu, sebagai negara yang berdasarkan atas hukum (rechsstaat), hak asasi harus merupakan bagian dari hukum nasional dan harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi tersebut. Oleh karena itu, pengimplementasian hak asasi manusia harus memenuhi persyaratan-persyaratan sebagai berikut: 1. Hak asasi manusia harus dijadikan sebagai hukum positif, 2. Harus ada prosedur hukum untuk mempertahankan dan melindungi hak asasi manusia tersebut, 3. Harus ada kemandirian pengadilan sebagai pemegang kekuasaan kehakiman yang bebas dan merdeka. Bahder Johan Nasution, Negara Hukum dan Hak Asasi Manusia, (Bandung: Mandar Maju, 2012), hal. 244-245. 18 Berdasarkan Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007, menyatakan bahwa Permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009.
Universitas Sumatera Utara
Program RALAS melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat sebanyak 600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah di wilayah komunitas yang terkena tsunami dan komunitas yang berdekatan, sebagaimana Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerahdaerah Pasca Tsunami. Pendaftaran tanah sebanyak 600.000 bidang tanah tersebut dilaksanakan secara bertahap mulai tahun 2005 sampai dengan tahun 2009. 19 Berdasarkan data dari Kantor Wilayah BPN Provinsi Aceh dari target 600.000 (enam ratus ribu) bidang tanah yang dilaksanakan melalui kegiatan RALAS, pencapaian pengukurannya sebanyak 321.479 (tiga ratus dua puluh satu ribu empat ratus tujuh puluh sembilan) bidang tanah sedangkan penerbitan sertipikatnya sebanyak 231.316 (dua ratus tiga puluh satu ribu tiga ratus enam belas). 20 Berdasarkan kajian realisasi kegiatan RALAS berkaitan dengan pendaftaran tanah di lokasi tsunami masih jauh dari target yang direncanakan. Program rekonstruksi pemilikan penguasaan tanah yang dilakukan oleh jajaran BPN melalui kegiatan RALAS tersebut mendapat tantangan dalam pelaksanaannya mengingat kompleksnya permasalahan yang muncul sebagai dampak bencana alam gempa dan tsunami di Provinsi Aceh. Permasalahan rekonstruksi pertanahan sebagai upaya dalam rangka perlindungan hukum bidang pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh dihadapkan pada 2 (dua) sisi yang saling berbenturan,
19
Surat Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 114-II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah di Daerah-daerah Pasca Tsunami. 20 Lihat Data Kantor Wilayah Badan Pertanahan Nasional Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam, Permasalahan Pertanahan di Provinsi Aceh, Banda Aceh, 10 Mei 2013.
Universitas Sumatera Utara
di mana di satu sisi tuntutan penanganan dalam kondisi darurat dan di sisi lain harus berhadapan dengan tuntutan reformasi yang mengedepankan penanganan yang demokratis. Oleh karena problema tersebut, pemberdayaan masyarakat dalam pelaksanaan kegiatan pertanahan pada wilayah bencana melalui peningkatan partisipasi masyarakat mutlak diperlukan. Hal ini sesuai dengan rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala BPN tentang bagaimana penanganan pasca bencana di Provinsi Aceh dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara. 21 Partisipasi masyarakat merupakan hal yang mutlak diperlukan dalam pemulihan hak-hak keperdataan di bidang pertanahan di wilayah bencana, hal yang terkait kesiapan BPN seperti ketersediaan peraturan dan kemampuan sumber daya manusia (SDM) sangat menentukan keberhasilan pelaksanaan program besar dan mulia tersebut. Kegiatan rekonstruksi fisik merupakan pekerjaan dengan menggunakan teknologi tinggi yang belum pernah dilaksanakan oleh aparat BPN yang bertugas di Provinsi Aceh. Pelaksanaan kegiatan tersebut agar dapat berjalan dengan optimal, diperlukan sumber daya manusia yang profesional dan berkemampuan teknologi tinggi. Kendala yang dihadapi terhadap sumber daya manusia terutama yang bertugas di Provinsi Aceh sebagaimana telah diuraikan pada awal tulisan ini yaitu kekurangan pegawai sebagai akibat dari korban tsunami baik yang meninggal maupun yang 21
Lihat Rekomendasi Komisi II DPR RI kepada Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor: KD.02/928/DPR RI/2005 tanggal 14 Pebruari 2005 tentang Penanganan Pasca Bencana di Provinsi NAD dan Kabupaten Nias Provinsi Sumatera Utara.
Universitas Sumatera Utara
mengalami trauma dan kurangnya sumber daya manusia yang handal yang mampu menggunakan teknologi tinggi tersebut sedangkan sarana dan prasarana banyak yang hilang/musnah. Rekonstruksi obyek dan subyek hak atas tanah, khususnya berkaitan dengan masalah-masalah yang timbul akibat tidak diketahuinya lagi subyek atau pemilik tanah, dihadapkan pada belum tersedianya pranata hukum yang berkedudukan sebagai hukum positif yang dapat dijadikan dasar penyelesaian pada masa darurat. Berkaitan dengan tidak diketahuinya lagi subyek/pemilik tanah pasca tsunami, maka Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam (MPU NAD) telah menerbitkan Surat Keputusan MPU NAD Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami yang menyebutkan bahwa tanah dan harta benda yang ditinggalkan korban gempa dan tsunami yang tidak meninggalkan ahli waris adalah menjadi milik umat Islam yang diserahkan melalui Baitul Mal. 22 Substansi fatwa tersebut telah mendapat legitimasi dalam Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi
22
Surat Keputusan Ketua Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M tentang Perlindungan Hak Atas Tanah, Hak Nasab Bagi Anak Yatim, Hak Isteri dan Waris Mafqud Akibat Gempa dan Gelombang Tsunami.
Universitas Sumatera Utara
Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara. Dalam Pasal 8 ayat (1), menyebutkan: “Tanah yang tidak ada lagi pemilik dan ahli warisnya yang beragama Islam menjadi harta agama dan dikelola oleh Baitul Mal”. Baitul Mal sebagai subyek hak atas tanah secara implisit tidak diatur dalam peraturan perundang-undangan dibidang pertanahan, tetapi berdasarkan keistimewaan dan kekhususan Provinsi Aceh dimungkinkan diatur dengan peraturan setempat. Berdasarkan ketentuan Pasal 5 Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria (selanjutnya disebut UUPA) 23 yang memberikan dasar bagi berlakunya hukum adat di bidang pertanahan (agraria), ketentuan-ketentuan mengenai Baitul Mal yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat dipergunakan sebagai sumber hukum guna penyelesaian masalah tersebut di atas. Kendala yang dihadapi bersumber pada ketentuan-ketentuan hukum tanah nasional (hukum positif) yang tidak secara eksplisit menyatakan bahwa Baitul Mal dapat menjadi subyek hak atas tanah. Untuk itu guna memenuhi keperluan bagi upaya memberikan jaminan kepastian hukum, nilai-nilai yang hidup di dalam masyarakat tersebut dapat diadopsi dengan mencantumkannya dalam peraturan perundangundangan. 24
23
Pasal 5 UUPA mengatakan: “Hukum Agraria yang berlaku atas bumi, air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak bertentangan dengan kepentingan Nasional dan Negara, yang berdasarkan atas persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan yang tercantum dalam undang-undang ini, dan dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada hukum agama”. 24 Lihat Pasal 8 UU No. 48 Tahun 2007.
Universitas Sumatera Utara
Rekonstruksi dalam rangka pemulihan, jaminan kepastian serta perlindungan hukum hak atas tanah masyarakat harus segera diwujudkan. “Harus” karena pemulihan, jaminan kepastian hukum serta perlindungan hukum hak atas tanah merupakan syarat mutlak bagi upaya pemulihan kehidupan sosial kemasyarakatan terutama pembangunan kembali Provinsi Aceh pasca bencana. “Harus” terutama karena di sinilah representasi kehadiran negara untuk memberikan jaminan kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/ pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah. Hal ini merupakan amanat dari Pasal 33 ayat (3) Undang-Undang Dasar 1945 (UUD 1945) jo Pasal 19 ayat (1) UUPA. Namun demikian mengingat kenyataan urusan pertanahan yang dalam kondisi normal saja sangat rumit dan tidak mudah diselesaikan apalagi dalam kondisi yang serba tidak normal seperti yang terjadi di Provinsi Aceh pasca bencana. Oleh karena itu, rekonstruksi, kepastian dan perlindungan hukum terhadap penguasaan/pemilikan masyarakat dalam bentuk hak atas tanah di Provinsi Aceh pasca bencana alam harus benar-benar diselenggarakan secara integral dan holistik serta melibatkan seluas mungkin partisipasi masyarakat. 25
25
Kakanwil BPN NAD, “Rekonstruksi Bidang Pertanahan Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Gelombang Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam (sebagai Wujud Perlindungan dan Jaminan Kepastian Hak Atas Tanah)”, makalah, disampaikan dalam seminar yang dilaksanakan tanggal 1 Maret 2005 di Pekanbaru, hal. 2. Partisipasi masyarakat di sini dimaksudkan adalah suatu kondisi di mana seseorang atau sekelompok orang ikut serta dalam suatu kegiatan secara bersama serta mengembangkan langkah-langkah kegiatan. Partisipasi adalah hak dan bukan sebuah alat untuk mencapai tujuan suatu kegiatan pembangunan. Inti pokok dari partisipasi masyarakat adalah keterlibatan seluruh unsur masyarakat dalam proses pengambilan keputusan yang dimulai dari tahap perencanaan, pelaksanaan, hingga monitoring dan evaluasi RALAS.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan fakta-fakta di atas, perlu dilakukan pengkajian lebih mendalam mengapa pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh tidak berjalan sesuai dengan target yang telah direncanakan. B. Perumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas dapat dikemukakan permasalahan dalam penelitian ini, sebagai berikut: 1. bagaimana ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh? 2. bagaimana peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh? 3. bagaimana
partisipasi
masyarakat
dalam
mendukung
pelaksanaan
rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh? C. Tujuan Penelitian Tujuan yang hendak dicapai dalam penelitian ini adalah untuk: 1.
mengkaji ketersediaan aturan hukum yang menjadi dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;
2.
mengkaji peran BPN dalam melaksanakan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh;
3.
menggali partisipasi masyarakat dalam mendukung pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh.
Universitas Sumatera Utara
D. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat baik secara teoretis maupun secara praktis, sebagai berikut: 1.
Secara Teoretis Hasil penelitian ini diharapkan dapat berguna bagi penemuan konsep-konsep perlindungan hukum dan kepastian hukum di bidang pertanahan terhadap masyarakat yang mengalami bencana gempa, tsunami atau keadaan darurat luar biasa. Penelitian ini juga diharapkan dapat menambah khasanah ilmu hukum, khususnya Hukum Pertanahan di Indonesia.
2.
Secara Praktis Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan pertimbangan dan masukan bagi BPN (sekarang Kementerian Agraria dan Tata Ruang), Badan Pembinaan Hukum Nasional (BPHN), DPR, Pemerintah dalam upaya pembentukan pranata hukum pertanahan di Indonesia khususnya dalam rangka penanganan masalah pertanahan akibat bencana alam, seperti gempa dan tsunami.
E. Kerangka Teoretis dan Kerangka Konsepsional 1.
Kerangka Teoretis 26 Kerangka teoretis merupakan “kerangka pemikiran atau butir-butir pendapat,
teori, thesis mengenai sesuatu kasus atau permasalahan (problem), yang menjadi 26
Kerangka teoretis suatu penelitian dimulai dengan mengidentifikasikan dan mengkaji berbagai teori yang relevan serta diakhiri dengan pengajuan hipotesis. Bahwa produk akhir dari proses pengkajian kerangka teoretis ini adalah perumusan hipotesis harus merupakan pangkal dan tujuan dari seluruh analisis. Lihat Jujun S. Suriasumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, (Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1995), hal. 325.
Universitas Sumatera Utara
bahan perbandingan, pegangan teoretis yang mungkin disetujui ataupun tidak disetujui”. 27 Kerangka teoretis 28 adalah penentuan tujuan dan arah penelitian dalam memilih konsep-konsep yang tepat guna pembentukan asumsi-asumsinya. Teori itu bukanlah pengetahuan yang sudah pasti, tetapi harus dianggap sebagai petunjuk, 29 analisis dari hasil penelitian yang dilakukan, sehingga merupakan masukan eksternal bagi penelitian ini. Robert K. Yin mengatakan: “theory means the design of research steps according to some relationship to the literature, policy issues, or other substance source”. 30 Maksudnya pengertian teori adalah suatu langkah dalam kerangka penelitian yang berhubungan dengan literatur, isu kebijakan atau dari sumber substansi yang lain. Teori adalah suatu penjelasan yang berupaya untuk 27
Sedangkan teori itu sendiri adalah penjelasan mengenai gejala yang terdapat dalam dunia fisik, tetapi merupakan suatu abstraksi intelektual di mana pendekatan secara rasional digabungkan dengan pengalaman empiris. Dengan kata lain, teori dalam ilmu pengetahuan merupakan suatu penjelasan rasional yang berkesesuaian dengan obyek yang dijelaskan, dan meskipun suatu penjelasan tampaknya begitu meyakinkan, akan tetapi harus didukung oleh fakta-fakta empiris agar dapat dinyatakan benar (valid atau sahih). M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Bandung: Mandar Maju, 1994), hal. 27 dan 80. Dalam hal ini, teori berguna untuk: (1) Menyimpulkan generalisasi-generalisasi dari fakta-fakta hasil pengamatan; (2) Memberi kerangka orientasi untuk analisis dan pengklasifikasian fakta-fakta yang dikumpulkan; (3) Memberi ramalan terhadap gejala-gejala baru yang akan terjadi; dan (4) Mengisi lowongan-lowongan dalam pengetahuan peneliti tentang gejala-gejala yang telah dan sedang terjadi. Lihat Koentjaraningrat, Metode-metode Penelitian Masyarakat, Edisi Ketiga, (Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 1997), hal. 10. 28 Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 1986), hal. 129. Soerjono Soekanto menyebutkan bahwa di dalam penelitian hukum juga dapat disusun dengan menerangkan metode klasifikasi dan memilih ruang lingkup yang akan diteliti. Bandingkan dengan pendapat Robert K. Yin, Application of Case Study Research, (New Delhi: Sage Publications International and Professional Publisher Newburry Park, 1993), hal. 4, bahwa teori adalah desain langkah-langkah penelitian yang berhubungan dengan kepustakaan, isu kebijakan maupun narasumber penting lainnya. Gorys Keraf mendefinisikan teori sebagai asas-asas umum dan abstrak yang diterima secara ilmiah dan sekurang-kurangnya dapat dipercaya untuk menerangkan fenomena-fenomena yang ada. Lihat Gorys Keraf, Argumentasi dan Narasi, (Jakarta: PT. Gramedia, 2001), hal. 47. 29 Koentjaraningrat, 1997, Op.Cit, hal. 21. 30 Robert K. Yin, 1993, Op.Cit, hal. 4.
Universitas Sumatera Utara
menyederhanakan pemahaman mengenai suatu fenomena atau teori juga merupakan simpulan dari rangkaian berbagai fenomena menjadi sebuah penjelasan yang sifatnya umum. 31 Pembahasan
mengenai
Rekonstruksi
Pertanahan
Pasca
Tsunami
di Provinsi Aceh, teori dasar (grand theory) yang digunakan sebagai pisau analisis adalah Teori Sistem Hukum yang dikemukakan oleh Lawrence M. Friedman. Unsurunsur sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman, yaitu: substance, structure and culture. 32 Substansi hukum meliputi aturan, norma dan pola perilaku manusia yang berada dalam sistem itu. Substansi hukum tidak hanya menyangkut peraturan perundang-undangan yang terdapat dalam kitab-kitab hukum (law in book) tetapi juga ada hukum yang hidup (living law) termaksud di dalamnya “produk” yang dihasilkan oleh orang-orang yang berada dalam sistem itu, misalnya keputusan-keputusan yang mereka keluarkan dan aturan-aturan yang mereka susun. Dalam penelitian ini, substansi hukumnya adalah keberadaan peraturan perundang-undangan yang mengatur tentang pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh sebagai dasar hukum bagi BPN untuk melakukan rekonstruksi pertanahan. Struktur dari sistem hukum menurut Lawrence M. Friedman terdiri dari unsurunsur jumlah dan ukuran pengadilan, yurisdiksi tiap-tiap peradilan dan upaya-upaya
31
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum: Normatif dan Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 134. 32 Lawrence M. Friedman, The Legal System: A Sosial Science Perspective, (New York: Russel Soge Foundation, 1969), hal. 16.
Universitas Sumatera Utara
hukum. Struktur hukum juga menyangkut penataan badan-badan penegak hukum lainnya seperti jaksa, polisi, pengacara dan badan-badan lainnya. Suatu unsur yang sangat penting dalam struktur hukum adalah agency-agency/ organ-organ/pejabatpejabat yang melaksanakan fungsi struktural tersebut diawasi dengan sebuah sistem pengawasan yang memadai. Struktur hukum dalam penelitian ini adalah peran Pemerintah dalam rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh diwakili oleh BPN dan BRR yang bekerja secara struktural, terintegrasi dan holistik untuk mewujudkan perlindungan hukum dan kepastian hukum kepada pemilik tanah. Budaya hukum menyangkut sikap manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Bisa meliputi persoalan-persoalan kepercayaan, nilai, pemikiran, dan harapan manusia terhadap hukum dan sistem hukum. Budaya hukum dapat diartikan sebagai suasana pikiran sosial dan kekuatan sosial yang menentukan bagaimana hukum digunakan, dihindari atau disalahgunakan. Budaya hukum yang dikaji dalam penelitian ini adalah budaya hukum yang hidup (the living law) dalam masyarakat Aceh selama pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami. Budaya hukum menunjukkan tradisi hukum yang digunakan untuk mengatur kehidupan suatu masyarakat hukum. Apabila masyarakat hukum tersebut sederhana, maka kehidupan masyarakatnya terikat ketat oleh solidaritas mekanis, persamaan kepentingan dan kesadaran, sehingga masyarakat lebih menyerupai suatu keluarga besar, maka hukum cenderung berbentuk tidak tertulis. 33 Dengan demikian, budaya hukum masyarakat
33
Lili Rasjidi dan I.B. Wyasa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2003), hal. 156.
Universitas Sumatera Utara
tergantung kepada budaya hukum anggota-anggotanya yang dipengaruhi oleh latar belakang pendidikan, lingkungan, budaya, posisi ataupun kedudukan, bahkan kepentingan-kepentingan. 34 Sebagai middle theory, dalam penelitian ini menggunakan Teori Perlindungan Hukum oleh Salmond yang berasal dari Teori Hukum Alam. Awal mula dari munculnya Teori Perlindungan Hukum ini bersumber dari Teori Hukum Alam atau Aliran Hukum Alam. Aliran ini dipelopori oleh Plato, Aristoteles (murid Plato), dan Zeno (pendiri aliran Stoic). 35 Salmond mengatakan dalam Teori Perlindungan Hukum, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 36 Kepentingan hukum adalah mengurusi hak dan kepentingan manusia, sehingga hukum memiliki otoritas tertinggi untuk menentukan kepentingan manusia yang perlu diatur dan dilindungi. 37 Perlindungan hukum harus melihat tahapan yakni perlindungan hukum lahir dari suatu ketentuan hukum dan segala peraturan hukum yang diberikan oleh masyarakat yang pada dasarnya merupakan kesepakatan masyarakat tersebut untuk
34
Cita Citrawinda Priapantja, Budaya Hukum Indonesia Menghadapi Globalisasi: Perlindungan Rahasia Dagang di Bidang Farmasi, (Jakarta: Chandra Pratama, 1999), hal. 196. 35 Marwan Mas, Pengantar Ilmu Hukum, (Bogor: Ghalia Indonesia, 2004), hal. 116. 36 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53. 37 Ibid, hal. 63.
Universitas Sumatera Utara
mengatur hubungan prilaku antara anggota-anggota masyarakat dan antara perseorangan dengan pemerintah yang dianggap mewakili kepentingan masyarakat. 38 Satjipto
Rahardjo
berpendapat
bahwa
perlindungan
hukum
adalah
memberikan pengayoman terhadap hak asasi manusia (HAM) yang dirugikan orang lain dan perlindungan itu diberikan kepada masyarakat agar dapat menikmati semua hak-hak yang diberikan oleh hukum. 39 Perlindungan hukum menurut Philipus M. Hadjon bagi rakyat sebagai tindakan pemerintah yang bersifat preventif dan represif. 40 Perlindungan hukum yang preventif bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa, yang mengarahkan tindakan pemerintah bersikap hati-hati dalam pengambilan keputusan berdasarkan diskresi, dan perlindungan yang represif bertujuan untuk menyelesaikan terjadinya sengketa, termasuk penanganannya di lembaga peradilan. 41 Philipus M. Hadjon membagi bentuk perlindungan hukum menjadi 2 (dua), 42
yaitu: 1. Perlindungan hukum yang preventif Perlindungan hukum ini memberikan kesempatan kepada rakyat untuk mengajukan keberatan (inspraak) atas 38
Ibid, hal. 53. Ibid, hal. 54. Menurut Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra berpendapat bahwa hukum dapat difungsikan untuk mewujudkan perlindungan yang sifatnya tidak sekedar adaptif dan fleksibel, melainkan juga prediktif dan antisipatif. Lihat Lili Rasjidi dan I.B Wysa Putra, Hukum Sebagai Suatu Sistem, (Bandung: Remaja Rusdakarya, 1993), hal. 118. Sunaryati Hartono mengatakan bahwa hukum dibutuhkan untuk mereka yang lemah dan belum kuat secara sosial, ekonomi dan politik untuk memperoleh keadilan sosial. Lihat Sunaryati Hartono, Politik Hukum Menuju Satu Sistem Hukum Nasional, (Bandung: Alumni, 1991), hal. 55. 40 Philipus M. Hadjon, Perlindungan Hukum bagi Rakyat Indonesia; Sebuah Studi tentang prinsip-prinsipnya, Penanganannya oleh Pengadilan dalam Lingkungan Peradilan Umum, (Surabaya: PT. Bina Ilmu, 1987), hal. 2 . 41 Maria Alfons, “Implementasi Perlindungan Indikasi Geografis Atas Produk-produk Masyarakat Lokal dalam Perspektif Hak Kekayaan Intelektual”, Ringkasan Disertasi Doktor, (Malang: Universitas Brawijaya, 2010), hal. 18. 42 Philipus M. Hadjon, Op.Cit, hal. 2-5. 39
Universitas Sumatera Utara
pendapatnya sebelum suatu keputusan pemerintahan mendapat bentuk yang definitif. Sehingga, perlindungan hukum ini bertujuan untuk mencegah terjadinya sengketa dan sangat besar artinya bagi tindakan pemerintah yang didasarkan pada kebebasan bertindak. Dan dengan adanya perlindungan hukum yang preventif ini mendorong pemerintah untuk berhati-hati dalam mengambil keputusan yang berkaitan dengan asas freies ermessen, dan rakyat dapat mengajukan keberatan atau dimintai pendapatnya mengenai rencana keputusan tersebut. 2. Perlindungan hukum yang represif Perlindungan hukum ini berfungsi untuk menyelesaikan apabila terjadi sengketa. Indonesia dewasa ini terdapat berbagai badan yang secara partial menangani perlindungan hukum bagi rakyat, yang dikelompokkan menjadi 3 (tiga) badan, yaitu: a. Pengadilan dalam lingkup Peradilan Umum Dewasa ini dalam praktek telah ditempuh jalan untuk menyerahkan suatu perkara tertentu kepada Peradilan Umum sebagai perbuatan melawan hukum oleh penguasa. b. Instansi Pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi Penanganan perlindungan hukum bagi rakyat melalui instansi pemerintah yang merupakan lembaga banding administrasi adalah permintaan banding terhadap suatu tindakan pemerintah oleh pihak yang merasa dirugikan oleh tindakan pemerintah tersebut. Instansi pemerintah yang berwenang untuk merubah bahkan dapat membatalkan tindakan pemerintah tersebut. c. Badan-badan khusus Merupakan badan yang terkait dan berwenang untuk menyelesaikan suatu sengketa. Badan-badan khusus tersebut antara lain adalah Kantor Urusan Perumahan, Pengadilan Kepegawaian, Badan Sensor Film, Panitia Urusan Piutang Negara, serta Peradilan Administrasi Negara. Pada hakikatnya terdapat hubungan antara subjek hukum dengan objek hukum yang dilindungi oleh hukum dan menimbulkan kewajiban. Hak dan kewajiban yang timbul dari hubungan hukum tersebut harus dilindungi oleh hukum, sehingga anggota
Universitas Sumatera Utara
masyarakat merasa aman dalam melaksanakan kepentingannya. Hal ini menunjukkan bahwa perlindungan hukum dapat diartikan sebagai suatu pemberian jaminan atau kepastian bahwa seseorang akan mendapatkan apa yang telah menjadi hak dan kewajibannya, sehingga yang bersangkutan merasa aman. 43 Perlindungan hukum dan kepastian hukum yang diberikan Pemerintah (BPN) kepada masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami di Provinsi Aceh yang tanahnya musnah baik yang sudah terdaftar maupun yang belum terdaftar adalah memperoleh tanah pengganti atau ganti kerugian melalui pelaksanaan rekonstruksi pertanahan dengan cara melakukan pendaftaran tanah berbasis masyarakat secara gratis. Pasal 15 UU No. 48 Tahun 2007 mengatakan permohonan penerbitan tanda bukti hak pengganti, konversi hak atas tanah, pengakuan hak atas tanah, atau penetapan hak atas tanah dan pendaftarannya bagi masyarakat di wilayah pasca bencana gempa bumi dan tsunami tidak dikenakan biaya, bea, dan pajak sampai dengan tahun 2009. Sebagai applied theory yang digunakan dalam penelitian ini adalah Teori Kepastian Hukum yang dikemukakan oleh Utrecht. Menurut Utrecht, hukum bertugas menjamin adanya kepastian hukum (recht zekerheit) dalam pergaulan manusia dan hubungan-hubungan dalam pergaulan kemasyarakatan. Hukum menjamin kepastian
43
Patut dicatat bahwa upaya untuk mendapatkan perlindungan hukum tentunya yang diinginkan oleh manusia adalah ketertiban dan keteraturan antara nilai dasar dari hukum yakni adanya kepastian hukum, kegunaan hukum serta keadilan hukum, meskipun pada umumnya dalam praktek ketiga nilai dasar tersebut bersitegang, namun haruslah diusahakan untuk ketiga nilai dasar tersebut bersamaan. Lihat Maria Alfons, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
pada pihak yang satu terhadap pihak yang lain. 44 Van Apeldoorn juga sependapat di mana dengan adanya kepastian hukum berarti ada perlindungan hukum. 45 Hukum Pertanahan Indonesia menginginkan kepastian mengenai siapa pemegang hak milik. Kebutuhan masyarakat akan suatu peraturan kepastian hukum terhadap
tanah,
sehingga
setiap
pemilik
dapat
terjamin
haknya
dalam
mempertahankan hak miliknya dari gangguan luar. 46 Untuk menjamin kepastian hukum terhadap hak atas tanah, Pasal 19 ayat (1) UUPA, mengamanatkan pemerintah untuk diadakan pendaftaran tanah 47 di seluruh wilayah Republik Indonesia menurut ketentuan-ketentuan yang diatur dengan Peraturan Pemerintah. Pasal 19 ayat (2), menyebutkan pendaftaran tanah sebagaimana diatur dalam ayat (1) meliputi: a.
pengukuran, pemetaan dan pembukuan tanah;
b.
pendaftaran hak-hak atas tanah dan peralihan hak-hak tersebut;
c.
pemberian surat-surat tanda bukti hak, yang berlaku sebagai alat pembuktian yang kuat.
44
E. Utrecht, Pengantar dalam Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Buku Ichtiar, 1957). Ibid. 46 Wirjono Prodjodikoro, Hukum Perdata tentang Hak Atas Benda, (Jakarta: PT. Intermasa, 1980), hal. 21. 47 Menurut A.P. Parlindungan, pendaftaran tanah berasal dari kata Cadastre (bahasa Belanda Kadaster) suatu istilah teknis untuk suatu record (rekaman), menunjukkan kepada luas, nilai, dan kepemilikan (atau lain-lain atas hak) terdapat suatu bidang tanah. Kata ini berasal dari bahasa latin “Capistratum” yang berarti suatu register atau capita atau unit yang diperbuat untuk pajak tanah Romawi (Copotatio Terrens). Dalam arti yang jelas, cadastre adalah record pada lahan-lahan, nilai daripada tanah dan pemegang haknya dan untuk kepentingan perpajakan. Dengan demikian, Cadastre merupakan alat yang tepat untuk memberikan uraian dan identifikasi tersebut dan juga sebagai continuous recording (rekaman yang bersinambungan) dari hak atas tanah, lihat A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 1999), hal. 18-19. 45
Universitas Sumatera Utara
Pasal 19 ayat (3), menyebutkan pendaftaran tanah diselenggarakan dengan mengingat keadaan negara dan masyarakat, keperluan lalu lintas sosial ekonomi serta kemungkinan penyelenggaraannya menurut pertimbangan Menteri Agraria. Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat (1) terkait pengaturan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah, telah diterbitkan Peraturan Pemerintah Nomor 10 Tahun 1961 tentang Pendaftaran Tanah. Dalam perkembangan berikutnya Pemerintah telah mengeluarkan kebijakan baru tentang pendaftaran tanah di Indonesia. Kebijakan baru tersebut adalah Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 yang ditetapkan pada tanggal 8 Juli 1997 tentang Pendaftaran Tanah (selanjutnya disebut PP No. 24 Tahun 1997). PP No. 24 Tahun 1997 telah ditindaklanjuti melalui Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional No. 3 Tahun 1997 (selanjutnya disebut Peraruan MNA/Kepala BPN No. 3 Tahun 1997) yang merupakan peraturan pelaksana penyelenggaraan pendaftaran tanah di Indonesia. 48 Lahirnya ketentuan PP No. 24 Tahun 1997 sebagai pengganti PP No. 10 Tahun 1961 telah menyempurnakan pelaksanaan pendaftaran tanah di Indonesia. Menurut A.P. Parlindungan, PP No. 24 Tahun 1997 telah memperkaya ketentuan Pasal 19 UUPA tersebut, karena: 49
48
Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, “Kebijakan Baru di Bidang Pertanahan Dampak dan Aplikasinya dalam Pembangunan Nasional”, Sambutan Kunci/Makalah, Disampaikan dalam Rangka Dies Natalis XXVII KM. Teknik Geodesi-Fakultas Teknik Universitas Gajah Mada, (Yogyakarta: Universitas Gajahmada), 15 November 1997. 49 Muhammad Yamin, “Problematika Mewujudkan Jaminan Kepastian Hukum Atas Tanah dalam Pendaftaran Tanah”, Pidato Pengukuhan Jabatan Guru Besar Tetap dalam Bidang Ilmu Hukum
Universitas Sumatera Utara
1. dengan diterbitkannya sertipikat hak atas tanah, maka kepada pemiliknya diberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum; 2. dengan informasi pertanahan yang tersedia di kantor pertanahan maka pemerintah akan mudah merencanakan pembangunan negara yang menyangkut tanah, bahkan bagi rakyat sendiri lebih mengetahui kondisi peruntukan tanah dan kepemilikannya; 3. dengan administrasi pertanahan yang baik akan terpelihara masa depan pertanahan yang terencana. PP No. 10 Tahun 1961 dan PP No. 24 Tahun 1997 tersebut merupakan bentuk pelaksanaan pendaftaran tanah dalam rangka rechtscadaster (pendaftaran tanah) yang bertujuan memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas tanah dengan alat bukti yang dihasilkan pada akhir proses pendaftaran tanah tersebut berupa buku tanah dan sertipikat tanah yang terdiri dari salinan buku tanah dan surat ukur. 50 Terdaftarnya bagian tanah tersebut, sebenarnya tidak semata-mata akan terwujudnya jaminan keamanan akan kepemilikannya dalam menuju kepastian hukum. Bahkan seseorang pemilik akan mendapatkan kesempurnaan dari haknya, karena hal-hal sebagai berikut: 51 a. b. c. d.
adanya rasa aman dalam memiliki hak atas tanah (security); mengerti dengan baik apa dan bagaimana yang diharapkan dari pendaftaran tersebut (simplity); adanya jaminan ketelitian dalam sistem yang dilakukan (accuracy); mudah dilaksanakan (expedition);
Agraria pada Fakultas Hukum, diucapkan di hadapan Rapat Terbuka Universitas Sumatera Utara Gelanggang Mahasiswa, Kampus USU, Medan, 2 September 2006, hal. 8-9. 50 Arie S. Hutagalung, Tebaran Pemikiran Seputar Masalah Hukum Tanah, (Jakarta: Lembaga Pemberdayaan Hukum Indonesia, 2005), hal. 81. 51 S. Rowton Simpson, Land & Registration, (Cambridge University, 1976), hal. 260 dalam A.P. Parlindungan, Pendaftaran Tanah di Indonesia, (Bandung: Mandar Maju, 2004), hal. 10 dalam Muhammad Yamin, 2006, Op.Cit, hal. 7.
Universitas Sumatera Utara
e.
dengan biaya yang bisa dijangkau oleh semua orang yang hendak mendaftarkan tanah (cheapness), dan daya jangkau ke depan dapat diwujudkan terutama atas harga tanah itu kelak (suistable). Prinsip-prinsip yang terdapat dalam PP No. 10 Tahun 1961 justru dipertegas
dan diperjelas di dalam PP No. 24 Tahun 1997. Penegasan yang diatur dalam PP No. 24 Tahun 1997 merupakan upaya penyempurnaan terhadap peraturan yang ada sekaligus penyesuaian terhadap perkembangan kebutuhan masyarakat sebagaimana prinsip-prinsipnya telah diamanatkan oleh UUPA. Ketentuan baru pendaftaran tanah dimaksud secara substansial tetap menampung konsepsi-konsepsi hukum adat yang hidup dan berakar dalam masyarakat, sehingga dengan demikian memperkuat kerangka tujuan UUPA yaitu untuk menciptakan unifikasi hukum tanah nasional yang memang didasarkan pada hukum adat. 52 Tugas untuk melakukan pendaftaran tanah di seluruh Indonesia dibebankan kepada Pemerintah yang oleh Pasal 19 ayat (1) UUPA ditentukan bertujuan tunggal yaitu untuk menjamin kepastian hukum. Menurut penjelasan dari UUPA, pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah merupakan kewajiban dari Pemerintah bertujuan menjamin kepastian hukum yang bersifat rechtscadastar artinya untuk kepentingan pendaftaran tanah saja dan hanya mempermasalahkan haknya apa dan siapa pemiliknya, bukan untuk kepentingan lain seperti perpajakan. 53
52
Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Hukum Pendaftaran Tanah, (Bandung: Mandar Maju, 2008), hal. 15. 53 Ibid, hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
PP No. 24 Tahun 1997 merupakan bagian dari usaha pemerintah untuk menyediakan dasar hukum penyelenggaraan pendaftaran tanah yang berkepastian hak sekaligus menampung aspirasi masyarakat di dalam hal kepastian hukum atas tanah. 54 Pendaftaran tanah menurut Pasal 1 butir (1) PP No. 24 Tahun 1997 adalah: “Rangkaian kegiatan yang dilakukan oleh Pemerintah secara terus menerus, berkesinambungan dan teratur, meliputi pengumpulan, pengelolaan, pembukuan, dan penyajian serta pemeliharaan data fisik dan data yuridis dalam bentuk peta dan daftar, mengenai bidang-bidang tanah yang sudah ada hak-haknya dan hak milik atas rumah susun, termasuk pemberian surat tanda bukti haknya bagi bidang-bidang tanah yang sudah ada haknya dan hak milik atas satuan rumah susun serta hak-hak tertentu yang membebaninya”. Pendaftaran
tanah
dilaksanakan
berdasarkan
asas
sederhana,
aman,
terjangkau, mutakhir dan terbuka. Asas sederhana berarti ketentuan-ketentuan pokoknya maupun prosedurnya mudah dipahami oleh pihak-pihak yang berkentingan. Asas aman terkandung maksud bahwa penyelenggaraan pendaftaran tanah diselenggarakan secara teliti dan cermat sehingga hasilnya dapat memberikan jaminan kepastian hukum. Asas terjangkau di sini terkandung makna keterjangkauan dengan memperhatikan kebutuhan dan kemampuan golongan ekonomi lemah. Pelayanan yang diberikan dalam penyelenggaraan pendaftaran tanah harus bisa terjangkau oleh pihak yang memerlukan. Sedangkan asas mutakhir adalah kelengkapan yang memadai dalam pelaksanaannya dan berkesinambungan dalam pemeliharaan datanya. Data yang tersedia menunjukkan keadaan yang mutakhir, untuk itu perlu diikuti kewajiban pendaftaran dan pencatatan perubahan-perubahan yang terjadi di kemudian hari. Pengertian terbuka pada pendaftaran adalah adanya
54
Soni Harsono, 1997, Op.Cit.
Universitas Sumatera Utara
transparansi dalam setiap proses kegiatan pendaftaran tanah, dan masyarakat dapat memperoleh data yang benar dan setiap saat. 55
a.
b.
c.
Pendaftaran tanah mempunyai tujuan sebagai berikut: 56 untuk memberikan kepastian hukum dan perlindungan hukum kepada pemegang hak atas suatu bidang tanah, satuan rumah susun dan hak-hak lain yang terdaftar agar dengan mudah dapat membuktikan dirinya sebagai pemegang hak yang bersangkutan; untuk menyediakan informasi kepada pihak-pihak yang berkepentingan termasuk Pemerintah agar dengan mudah dapat memperoleh data yang diperlukan dalam mengadakan perbuatan hukum mengenai bidang-bidang tanah dan satuan-satuan rumah susun yang sudah terdaftar; untuk terselenggaranya tertib administrasi pertanahan. Tujuan memberikan jaminan kepastian hukum yang selanjutnya diberikan
sertipikat hak atas tanah kepada yang bersangkutan, merupakan tujuan utama dalam pendaftaran tanah sebagaimana ditetapkan oleh Pasal 19 UUPA. Menurut Boedi Harsono, memperoleh sertipikat hak atas tanah, bukan sekedar fasilitas, melainkan merupakan hak pemegang hak atas tanah yang dijamin oleh Undang-Undang. 57 Demikian pentingnya peranan sertipikat, sehingga kekuatan pembuktiannya tidak hanya berlaku ekternal/terhadap pihak luar, tetapi juga mempunyai daya kekuatan internal, yakni memberikan rasa aman bagi para pemegang/pemiliknya serta ahli warisnya agar ahli warisnya di kemudian hari tidak mengalami kesulitan, dalam
55
Ibid bandingkan dengan Pasal 2 PP No. 24 Tahun 1997. Pasal 3 PP No. 24 Tahun 1997. 57 Boedi Harsono, 2007, Op.Cit, hal. 475. Menurut Muhammad Yamin, bahwa sertipikat tanah adalah surat keterangan yang membuktikan hak seseorang atas sebidang tanah, atau dengan kata lain keadaan tersebut menyatakan bahwa ada seseorang yang memiliki bidang-bidang tanah tertentu dan pemilikan itu mempunyai bukti yang kuat berupa surat yang dibuat oleh instansi yang berwenang, lihat Muhammad Yamin Lubis dan Abd. Rahim Lubis, Beberapa Masalah Aktual Hukum Agraria, (Medan: Pustaka Bangsa Press, 2004), hal. 132-133. 56
Universitas Sumatera Utara
arti tidak perlu bersusah payah untuk mengurusnya, hanya harus menjaga keamanannya serta menghindari kerusakannya. 58 Hal penting lain ditekankan dalam PP No. 24 Tahun 1997 adalah dalam rangka memberikan kepastian hukum kepada pemegang hak atas tanah, diberikan penafsiran mengenai makna “alat pembuktian yang kuat” dari sertipikat, yaitu selama belum dibuktikan dan sebaliknya, data fisik dan data yuridis yang dicantumkan dalam sertipikat harus diterima sebagai data yang benar, baik dalam perbuatan hukum sehari-hari maupun dalam sengketa di pengadilan, sepanjang data tersebut sesuai dengan data yang tercantum dalam surat ukur dan hukum tanah yang bersangkutan. 59 Bahkan disebutkan pula bahwa sesuatu pihak yang akan kehilangan haknya untuk menuntut pelaksanaan hak atas suatu bidang tanah yang telah dibukukan dan dikeluarkan sertipikat atas nama pihak lain, jika yang bersangkutan telah memperoleh tanah itu dengan iktikat baik dan menguasainya secara nyata lebih dari 5 (lima) tahun, keterangan atas penjelasan seperti ini merupakan refleksi kepastian hukum yang pasti. 60 Karena tujuan pendaftaran tanah adalah untuk mengumpulkan dan menyajikan informasi mengenai bidang tanah, maka data fisik yaitu keterangan tentang letak, batas dan luas bidang tanah, termasuk mengenai bangunan yang ada di atasnya, dan data yuridis yaitu keterangan mengenai status hukum bidang tanah
58
Beni Bosu, Perkembangan Terbaru Sertipikat (Tanah, Tanggungan, dan Kondominium), (Jakarta: Mediatama Saptakarya, 1997), hal. 5. 59 Ibid. 60 Pasal 32 ayat (1) PP No. 24 Tahun 1997.
Universitas Sumatera Utara
terkait dibukukan, dengan demikian setiap data fisik dan data yuridis mengenai data itu semuanya tercatat dalam dokumen pendaftaran. Pemberian kesempatan kepada masyarakat baik perorangan maupun kelompok untuk berpartisipasi dalam pemberian dan pengumpulan informasi tentang data yuridis tanah. Dalam kaitannya dengan data fisik tanah, masyarakat khususnya pemegang hak atas tanah dan pemilik tanah di sekitarnya diikutsertakan dalam menentukan
batas-batas
pemilikan
tanahnya
secara
musyawarah.
Apabila
musyawarah itu tidak dapat menghasilkan kesepakatan, maka hal tersebut diserahkan kepada pengadilan untuk memutuskan dan menetapkan batas-batas kepemilikannya, sehingga nilai kepastian hukumnya dapat menjamin. Bentuk partisipasi lain dalam kaitannya dengan data fisik tanah adalah dibukanya kesempatan badan usaha ikut melakukan pengukuran dan pemetaan. Berkenaan dengan pengumpulan data yuridis tanah, masyarakat dapat memberikan kesaksian untuk memperkuat kepemilikan orang lain atas sebidang tanah, terutama jika alat-alat bukti tertulis tidak tersedia. 61 Partisipasi masyarakat dalam pendaftaran tanah adalah terkait dengan kesadaran hukum masyarakat. Kesadaran hukum masyarakat dalam pendaftaran tanah sangat penting sehingga kepatuhan terhadap peraturan perundang-undangan di bidang pertanahan harus dipatuhi dan dilaksanakan. Menurut Zainuddin Ali, salah satu faktor yang mengefektifkan suatu peraturan adalah warga masyarakat, yaitu berupa kesadaran warga masyarakat untuk mematuhi suatu peraturan perundang-undangan, 61
Soni Harsono, Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional, “Masalah Pertanahan Memasuki Era Globalisasi”, Makalah, disampaikan dalam Rangka Memperingati Dies Natalis XXXIX Universitas Janabadra, Yogyakarta, 31 Oktober 1997.
Universitas Sumatera Utara
derajat kepatuhan. Secara sederhana dapat dikatakan, bahwa derajat kepatuhan masyarakat terhadap hukum, merupakan salah satu indikator berfungsinya hukum yang bersangkutan. 62 Suatu kenyataan yang tidak dapat dipungkiri adalah bahwa masyarakat Indonesia bersifat majemuk baik dari segi kehidupan sosial budayanya maupun dari kemajuan-kemajuan yang dicapai oleh masing-masing kelompok masyarakat. Oleh karenanya perbedaan merupakan suatu realita yang harus dihormati. Pemberian perhatian dan penghormatan terhadap perbedaan itu tercermin dalam ketentuan tentang alat-alat bukti awal yang dapat digunakan untuk keperluan pendaftaran hak atas tanah. Kelompok-kelompok masyarakat yang pada masa lalu sudah pernah bersentuhan dengan administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern seperti yang berlangsung dalam masyarakat di Jawa dan daerah swapraja, alat bukti awal yang dapat digunakan sebagai dasar untuk mengkonversi dan mendaftarkan hak atas tanahnya berupa bukti-bukti tertulis yang pernah dikeluarkan seperti grosse akte dari hak-hak Barat, sertipikat model E atau D yang dikenal di Yogyakarta, dan girik atau petuk pajak tanah. Jika alat-alat bukti tersebut tidak ada, maka dapat dipergunakan kesaksian orang lain atau pernyataan yang diberikan oleh pihak yang mendaftarkan. Sedangkan untuk kelompok-kelompok masyarakat yang belum pernah tersentuh administrasi dan hukum pertanahan yang lebih modern dan hanya mengenal ketentuan hukum adat, alat bukti yang dapat digunakan kenyataan tentang 62
Zainuddin Ali, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Sinar Grafika, 2010), hal. 37.
Universitas Sumatera Utara
penguasaan secara fisik atas tanah oleh yang bersangkutan dengan syarat bahwa penguasaan itu telah berlangsung secara turun-menurun dan atas dasar iktikat baik selama 20 (dua puluh) tahun atau lebih, diperkuat dengan kesaksian orang-orang yang dapat dipercaya seperti ketua-ketua adat, dan tidak dipermasalahkan oleh masyarakat hukum adat yang bersangkutan. Ketentuan ini dimaksudkan untuk menyesuaikan dengan keadaan sekarang di mana alat-alat bukti tertulis tersebut banyak yang sudah tidak ada lagi dan keadaan di daerah-daerah yang memang tidak mengenal adanya alat bukti tertulis. 63 PP No. 24 Tahun 1997 juga mengatur secara terinci tentang penerbitan sertipikat pengganti karena sertipikat rusak, hilang, masih menggunakan blangko lama atau yang tidak diserahkan kepada pembeli lelang dalam suatu lelang eksekusi. Berdasarkan Pasal 57 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997, permohonan sertipikat pengganti hanya dapat diajukan oleh pihak yang namanya tercantum sebagai pemegang hak dalam buku tanah yang bersangkutan atau pihak lain yang merupakan penerima hak berdasarkan akta PPAT atau kutipan risalah lelang sebagaimana dimaksud pada Pasal 37 dan Pasal 41, atau akta sebagaimana dimaksud Pasal 43 ayat (1), atau surat sebagaimana dimaksud Pasal 53 atau kuasanya. Dalam hal pemegang
63
Soni Harsono, 1997, Op.Cit. Berkaitan dengan hal-hal tersebut di atas, PP No. 24 Tahun 1997 telah memberikan perhatian dan perlindungan terhadap penguasaan dan pemilikan tanah oleh anggota-anggota suku atau masyarakat hukum adat yang hanya didasarkan pada penguasaan secara fisik. Dengan penegasan inipun, PP No. 24 Tahun 1997 telah mengakomodasi pandangan kelompokkelompok tertentu yang mengkhawatirkan kurang terlindungnya pengusahaan dan pemilikan tanah oleh anggota masyarakat hukum adat yang bersangkutan.
Universitas Sumatera Utara
hak atau penerima hak 64 sudah meninggal dunia, permohonan sertipikat pengganti dapat diajukan oleh ahli warisnya dengan menyerahkan bukti sebagai ahli waris. Demi kepentingan kepastian hukum terhadap sertipikat hilang dan penggantian sertipikat baru, diperlukan pernyataan di bawah sumpah dari yang bersangkutan di hadapan Kepala Kantor Pertanahan atau pejabat yang ditunjuk, selanjutnya diumumkan 1 (satu) kali dalam salah satu surat kabar harian setempat dengan biaya pemohon. Jika dalam jangka 30 (tiga puluh) hari tidak ada yang mengajukan keberatan atau ada yang mengajukan keberatan akan tetapi menurut pertimbangan Kepala Kantor Pertanahan keberatan tersebut tidak beralasan, maka diterbitkan sertipikat baru, dan apabila keberatan tersebut dianggap beralasan, maka Kepala Kantor Pertanahan menolak menerbitkan sertipikat pengganti. 65 Sebagai pelaksanaan amanat Pasal 19 ayat (4) UUPA terkait biaya-biaya dalam pelaksanaan pendaftaran tanah, mengatur sebagai berikut: 66 (1) besarnya dan cara pembayaran biaya-biaya dalam rangka pelaksanaan kegiatan pendaftaran tanah diatur dengan Peraturan Pemerintah tersendiri; (2) atas permohonan yang bersangkutan, Menteri atau Pejabat yang ditunjuk dapat membebaskan pemohon dari sebagian atau seluruh biaya sebagaimana dimaksud pada ayat (1), jika pemohon dapat membuktikan tidak mampu membayar biaya tersebut; (3) untuk pendaftaran peralihan hak karena pewarisan yang diajukan dalam waktu 6 (enam) bulan sejak tanggal meninggalnya pewaris, tidak dipungut biaya pendaftaran; (4) tata cara untuk memperoleh pembebasan atas biaya pendaftaran tanah diatur oleh Menteri. Pendaftaran tanah berdasarkan PP No. 24 Tahun 1997 berbeda pelaksanaan dengan pendaftaran tanah dalam keadaan darurat 67 seperti bencana gempa dan 64
Pasal 57 ayat (2) PP No. 24 Tahun 1997. Pasal 59 PP No. 24 Tahun 1997. 66 Pasal 61 PP No. 24 Tahun 1997. 65
Universitas Sumatera Utara
tsunami tahun 2004 di Provinsi Aceh, akan tetapi mempunyai tujuan yang sama yaitu memberikan kepastian hukum hak atas tanah. Pendaftaran tanah pasca tsunami di Provinsi Aceh dilaksanakan melalui program RALAS yang dikenal dengan istilah pendaftaran tanah berbasis masyarakat mempunyai perbedaan dengan pendaftaran tanah dalam PP No. 24 Tahun 1997 antara lain dalam hal penentuan lokasi pendaftaran tanah, tidak dikenakan biaya apapun dalam keseluruhan program pendaftaran tanah, penentuan batas-batas bidang tanah dan kepemilikan hak atas tanah didasarkan kepada kesepakatan warga, dilaksanakan dalam jangka waktu cepat, pengolahan data dilakukan dengan menggunakan sistem digital, pemetaan dilakukan dengan menggunakan sistem satelit, dilaksanakan dengan prinsip: partisipatif, transparans, akuntabel, dan adanya monitoring secara independen dan pelaksanaan program mencakup seluruh bidang tanah di seluruh gampong yang terkena bencana tsunami. Sesuai dengan Teori Perlindungan Hukum di atas yang dikemukakan oleh Salmond, bahwa hukum bertujuan mengintegrasikan dan mengkoordinasikan berbagai kepentingan (kebutuhan) dalam masyarakat karena dalam suatu lalu lintas kepentingan, perlindungan terhadap kepentingan tertentu hanya dapat dilakukan
67
Darurat adalah adalah keadaan sukar (sulit) yang tidak disangka-sangka (darurat bahaya, kelaparan dan sebagainya) yang memerlukan penanggulangan segera, lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 211. Menurut Telly Sumbu et.al, Darurat adalah 1). Keadaan sukar atau sulit sehingga memerlukan suatu tindakan cepat dan tepat sasaran (misalnya penanggulangan bahaya banjir, kelaparan dan sebagainya); 2). Keadaan terpaksa yang harus dilakukan atau ditangani (karena tidak ada cara lain lagi), lihat Telly Sumbu, et.al, Kamus Umum, Politik & Hukum, (Jakarta: Jala Permata Aksara, 2010), hal. 128-129.
Universitas Sumatera Utara
dengan cara membatasi berbagai kepentingan di lain pihak. 68 Kepentingan atau kebutuhan masyarakat yang terkena dampak tsunami di Provinsi Aceh adalah perlindungan terhadap kepemilikan tanahnya yang diwujudkan dengan pemberian sertipikat hak atas tanah oleh Pemerintah untuk melindungi pemilik atau ahli waris yang sebenarnya dari pihak-pihak yang tidak berhak.
2. Kerangka Konsepsional 69 Kerangka konsepsional 70 penting dirumuskan agar tidak tersesat ke pemahaman lain, di luar maksud penulis. Konsepsional ini merupakan “alat yang dipakai oleh hukum di samping yang lain-lain, seperti asas dan standar”. Oleh karena itu, kebutuhan untuk membentuk konsepsional merupakan salah satu dari hal-hal yang dirasakan penting dalam hukum. Konsepsional adalah suatu konstruksi mental, yaitu sesuatu yang dihasilkan oleh suatu proses yang berjalan dalam pikiran penelitian untuk keperluan analisis. 71 Dalam konsepsional diungkapkan beberapa
68
Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2000), hal. 53. Konsepsional berarti berdasarkan konsepsi, pikiran dan cita-cita. Lihat Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, Kamus Besar Bahasa Indonesia, Edisi Kedua, Cetakan Ketujuh, (Jakarta: Balai Pustaka, 1996), hal. 520. 70 Kerangka konsepsional biasanya sekaligus merumuskan definisi-definisi tertentu yang dapat dijadikan pedoman operasional di dalam pengumpulan, pengolahan, analisa, dan konstruksi data. Lihat Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 137. 71 Satjipto Rahardjo, Ilmu Hukum, (Bandung: PT. Citra Aditya Bhakti, 1996) dan Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2005), hal. 48-49. Dalam bahasa Latin, kata conceptus (di dalam bahasa Belanda: begrip) atau pengertian merupakan hal yang dimengerti. Pengertian bukanlah merupakan “definisi” yang di dalam bahasa Latin adalah definition. Definisi tersebut berarti perumusan (di dalam bahasa Belanda: onschrijving) yang pada hakikatnya merupakan suatu bentuk ungkapan pengertian di samping aneka bentuk lain yang dikenal di dalam epistemologi atau teori ilmu pengetahuan. Konsep berbeda dengan teori, di mana teori biasanya terdiri dari pernyataan yang menjelaskan hubungan kausal antara dua variabel atau 69
Universitas Sumatera Utara
konsepsional atau pengertian yang akan dipergunakan sebagai dasar penelitian hukum. 72 Selanjutnya konsepsional atau pengertian merupakan unsur pokok dari suatu penelitian. Kalau masalah dan kerangka teoritisnya sudah jelas, biasanya sudah diketahui pula fakta mengenai gejala-gejala yang menjadi pokok perhatian, dan suatu konsepsional sebenarnya adalah definisi secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala itu. Maka konsepsional merupakan definisi dari apa yang perlu diamati, konsepsional menentukan antara variabel-variabel yang ingin menentukan adanya hubungan empiris. 73 Menjawab permasalahan dalam penelitian disertasi ini perlu didefinisikan beberapa konsep dasar dalam rangka menyamakan persepsi atau pandangan agar secara operasional dapat dibatasi ruang lingkup dari variabel dan dapat diperoleh hasil penelitian yang sesuai dengan tujuan penelitian yang telah ditentukan. Beberapa definisi secara konsepsional dalam penelitian ini dapat diuraikan sebagai berikut: a. Rekonstruksi pertanahan adalah penataan dan penentuan kembali fisik/obyek dan subyek tanah terhadap tanah pertanian dan perumahan melalui penerbitan sertipikat hak atas tanah.
lebih. Noeng Muhajir, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi III, (Yogyakarta: Roke Sarasni, 1996), hal. 22-23, 58-59. 72 Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 21. Pada hakikatnya, konsepsional merupakan suatu pengarah, atau pedoman yang lebih konkrit dari kerangka teoritis (tinjauan pustaka) yang sering kali masih bersifat abstrak. Namun demikian, suatu kerangka konsepsional belaka kadang-kadang dirasakan masih juga abstrak, sehingga diperlukan definisi-definisi operasional yang akan menjadi pegangan konkrit di dalam proses penelitian, lihat Satjipto Rahardjo, 1996, Op.Cit, hal. 30 dan H. Zainal Asikin, Pengantar Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004), hal. 48. 73 Koentjaraningrat, Op.Cit, hal. 21.
Universitas Sumatera Utara
b. Rekonstruksi fisik/obyek pertanahan adalah penentuan kembali batas bidangbidang tanah yang telah rusak/hilang. c. Rekonstruksi yuridis pertanahan adalah sebagai upaya Pemerintah dalam rangka menemukan kembali pemilik-pemilik tanah, guna dihubungkan dengan pemilikan tanahnya secara fisik dan administrasi yang terputus sebagai akibat bencana tsunami. d. Perlindungan hukum adalah suatu perlindungan yang diberikan terhadap subyek hukum dalam bentuk perangkat hukum baik yang bersifat preventif maupun yang bersifat represif, baik yang tertulis maupun yang tidak tertulis. Dengan kata lain perlindungan hukum sebagai suatu gambaran dari fungsi hukum, yaitu konsep di mana hukum dapat memberikan suatu keadilan, ketertiban, kepastian, kemanfaatan dan kedamaian. e. Bencana adalah gangguan serius terhadap masyarakat yang menyebabkan kerugian, baik terhadap manusia, material maupun lingkungan yang melebihi kemampuan masyarakat untuk menanganinya dengan sumberdaya sendiri. f. Kondisi darurat adalah suatu situasi yang luar biasa di mana terjadi ancaman yang serius terhadap kehidudpanan manusia sebagai akibat dari bencana. g. Tsunami adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan manusia/masyarakat akibat gelombang air yang sangat besar yang dibangkitkan oleh macam-macam gangguan di dasar samudera.
Universitas Sumatera Utara
h. Ketersediaan hukum adalah kesiapan dari peraturan perundang-undangan terutama dibidang pertanahan untuk digunakan atau dioperasikan dalam rangka menyelesaikan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh. i. Peran Badan Pertanahan Nasional adalah kesiapan Badan Pertanahan Nasional meliputi sumber daya manusia baik dari segi kualitas maupun kuantitas serta sarana dan prasarana yang diperlukan dalam rangka rekonstruksi pertanahan. j. Partisipasi masyarakat adalah suatu proses yang melibatkan masyarakat, yaitu proses komunikasi dua arah yang terus menerus dilakukan untuk meningkatkan kesadaran masyarakat secara penuh dalam rangka mendukung kegiatan rekonstruksi pertanahan yang bertujuan mengembalikan hak atas tanah kepada pemiliknya pasca tsunami di Provinsi Aceh. F. Metode 74 Penelitian 75
74
Secara etimologis metode diartikan sebagai jalan atau cara melakukan atau mengerjakan sesuatu, metode berasal dari bahasa Yunani “Methodos” yang artinya “jalan menuju”, bagi kepentingan ilmu pengetahuan, metode merupakan titik awal menuju proposisi-proposisi akhir dalam bidang pengetahuan tertentu. Bahder Johan Nasution, Metode Penelitian Hukum, (Bandung: CV. Mandar Maju, 2008), hal. 13. Maka penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah yang didasarkan pada metode, sistematika dan pemikiran tertentu yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu dengan jalan menganalisanya, di samping itu juga diadakan pemeriksaan yang mendalam terhadap fakta hukum tersebut, untuk kemudian mengusahakan suatu pemecahan atas permasalahan-permasalahan yang timbul di dalam gejala yang bersangkutan. Soerjono Soekanto, Pengantar Penelitian Hukum, (Jakarta: Universitas Indonesia Press, 2007), hal. 43. 75 Metode penelitian merupakan cara dan prosedur yang sistematis dan terorganisir untuk menyelidiki suatu masalah tertentu dengan maksud mendapatkan informasi untuk digunakan sebagai solusi atas masalah, oleh karena itu metode merupakan keseluruhan langkah ilmiah yang digunakan untuk menemukan solusi atas suatu masalah. Ulber Silalahi, Metode Penelitian Sosial, (Bandung: PT. Refika Aditama, 2009), hal. 13.
Universitas Sumatera Utara
Pemilihan suatu metode yang baik untuk suatu penelitian tergantung kepada sasaran penelitian, bahan yang tersedia, kondisi yang meliputi kegiatan penelitian, dan terutama jenis informasi yang diperlukan. Metode penelitian yang digunakan dalam pengumpulan data merupakan hal yang sangat penting dalam pengumpulan bahan materi penulisan disertasi. Dalam penulisan ini, metode penelitian yang digunakan adalah sebagai berikut:
1. Sifat Penelitian Penelitian ini bersifat preskriptif yang memberikan pemecahan suatu masalah (problem solving) dan tidak sekedar deskriptif (just to describe something as it is). 76 Dengan sifat penelitian preskriptif ini maka dapat dicari solusi aturan hukum pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh, kesiapan BPN dalam melakukan rekonstruksi pertanahan dan partisipasi masyarakat dalam mendukung kegiatan rekonstruksi pertahanan pasca tsunami di Provinsi Aceh. 2. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan adalah penelitian hukum empiris. Penelitian hukum empiris 77 merupakan penelitian terhadap identifikasi hukum (tidak tertulis) dan penelitian terhadap efektivitas hukum.
76
M. Solly Lubis, Filsafat Ilmu dan Penelitian, (Jakarta: PT. Sofmedia, 2012), hal. 107. Soerjono Soekanto, 1986, Op.Cit, hal. 51. Menurut Ronny Hanitijo Soemitro bahwa penelitian hukum empiris adalah suatu penelitian dengan cara melihat faktor-faktor dari segi hukum yang mempengaruhi kenyataan yang terjadi di masyarakat (lapangan) secara langsung untuk menjawab 77
Universitas Sumatera Utara
3. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan adalah Pendekatan Undang-Undang (statute approach). Pendekatan Undang-Undang dilakukan dengan menelaah semua undang-undang dan regulasi yang bersangkut paut dengan isu hukum yang sedang ditangani. Dalam penelitian ini, peneliti mencari ratio legis dan dasar ontologis lahirnya undang-undang seperti Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007. 4. Lokasi Penelitian Mengingat luasnya Provinsi Aceh yang terkena tsunami, maka dipilih 2 (dua) kabupaten/kota sebagai lokasi penelitian yaitu Kota Banda Aceh dan Kabupaten Aceh Besar. Pemilihan kedua lokasi tersebut berkaitan dengan kepadatan penduduk, sebagai ibukota provinsi atau berdekatan dengan ibukota Provinsi dan merupakan lokasi prioritas pelaksanaan kegiatan RALAS terutama di awal kegiatan rekonstruksi pertanahan, juga berdasarkan pertimbangan hal-hal berikut: a. Kota Banda Aceh: 1) Luas 6.136 Ha pada saat sebelum gempa dan tsunami terdiri dari 32,65% penggunaan tanah bangunan dan 67,35% penggunaan tanah non bangunan, sesudah bencana tanah bangunan berubah menjadi 12,58% tanah bangunan rusak sedangkan selebihnya 20,07% terdiri dari 2,87% rusak ringan, 0,39% rusak berat/musnah dan 16,81% bebas tsunami. Penggunaan tanah non bangunan berubah menjadi 35,27% rusak sedangkan selebihnya 32,08% tidak rusak yang dirinci menjadi 7,06% rusak ringan/aman tidak terkena tsunami dan 5,54% rusak berat/musnah. 2) Total kerusakan sebesar 47,85%, terdiri dari: pokok permasalahan, lihat Ronny Hanitijo Soemitro, Metodologi Penelitian Hukum dan Jurimetri, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1990), hal. 24. Lihat juga pendapat Ronny Hanitijo Soemitro dalam bukunya “Metodologi Penelitian Hukum”, (Jakarta: Ghalia Indonesia, 1983), yang mengatakan bahwa hukum empiris adalah penelitian hukum yang memperoleh datanya dari data primer atau data yang diperoleh langsung dari masyarakat.
Universitas Sumatera Utara
i. 12,58% penggunaan tanah bangunan dengan kualifikasi 4,19% rusak berat, 4,69% rusak sedang, dan 3,70% rusak ringan. ii. 35,27% penggunaan tanah non bangunan dengan kualifikasi hampir seluruhnya rusak berat dan sedang. b. Kabupaten Aceh Besar: 1) Luas kabupaten 296.690 Ha yang terkena tsunami seluas 11.566 Ha atau 3,89% dari total luas wilayah, meliputi Baitussalam, Darul Imarah, Leupung, Lhoknga, Lhoong, Mesjid Raya, Pekanbada dan Pulo Aceh. 2) 3,89% luas wilayah yang terkena tsunami hampir seluruhnya dalam kondisi rusak sedang sampai berat. 78 5. Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data dalam penelitian hukum empiris ini menggunakan: a. Penelitian Kepustakaan (Library Research). Penelitian kepustakaan dilakukan untuk mendapatkan data sekunder, yang meliputi: bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tertier. 1) Bahan hukum primer, yaitu: bahan-bahan hukum yang mengikat, yang terdiri dari: a) b)
c) d) e)
78
Undang-Undang Dasar Republik Indonesia Tahun 1945; Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-pokok Agraria Lembaran Negara Tahun 1960 Nomor 104; Undang-Undang 51/Prp Tahun 1960 tentang Larangan Pemakaian Tanah Tanpa Izin yang Berhak atau Kuasanya; Undang-Undang Nomor 20 Tahun 1961 tentang Pencabutan Hak-hak Atas dan Benda-benda yang ada di atasnya; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2005 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi
Badan Pertanahan Nasional, Op. Cit., hal. 5-6.
Universitas Sumatera Utara
f)
g) h)
i)
j)
k)
l) m)
n)
o)
Sumatera Utara menjadi Undang-Undang, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2005 Nomor 111, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4550); Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2006 tentang Pemerintahan Aceh, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2006 Nomor 62, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 4633); Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang; Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 48 Tahun 2007 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti UndangUndang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2005 tentang Badan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2007 tentang Penanganan Permasalahan Hukum dalam Rangka Pelaksanaan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Wilayah dan Kehidupan Masyarakat di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Kepulauan Nias Provinsi Sumatera Utara; Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah, (Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 1997 Nomor 59, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 3696); Keputusan Presiden Nomor 34 Tahun 2003 tentang Kebijakan Nasional di Bidang Pertanahan; Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 2005 tentang Kegiatan Tanggap Darurat dan Perencanaan serta Persiapan Rehabilitasi dan Rekonstruksi Pasca Bencana Alam Gempa Bumi dan Tsunami di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara; Peraturan Menteri Negara Agraria/Kepala Badan Pertanahan Nasional (BPN) No. 3 Tahun 1997 tentang Peraturan Pelaksana Penyelenggaraan Pendaftaran Tanah di Indonesia; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 114II/2005 tentang Manual Pendaftaran Tanah Berbasis Masyarakat pada Lokasi Terkena Bencana Tsunami di Propinsi Nanggroe Aceh Darussalam yang Menjadi Objek
Universitas Sumatera Utara
p)
q)
r)
s)
t)
u)
v)
w)
Kegiatan Pemulihan Hak Atas Tanah dan Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 57-VII2005 tentang Kelompok Masyarakat Sadar Tertib Pertanahan di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 267-X2005 tentang Perpanjangan Pelaksanaan Kegiatan Pendaftaran Tanah Sistematik Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2005; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 28-IX2006 tentang Struktur Organisasi dan Penunjukan Tenaga Pengelola/Pelaksana Kegiatan Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2006; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 12-III2008 tentang Pembentukan Struktur Pengelolaan dan Penunjukan Pengelola/Pelaksana Kegiatan Recontruction of Aceh Land Administration System (RALAS) Tahun Anggaran 2008; Keputusan Kepala Badan Pertanahan Nasional Nomor 13-III2008 tentang Pembentukan Panitia/Tim Ajudikasi dalam Rangka Rekonstruksi Sistem Administrasi Pertanahan Aceh (RALAS) di Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam dan Provinsi Sumatera Utara Tahun 2008; Qanun Provinsi Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10 Tahun 2007 tentang Baitul Mal, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2007 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 10); Qanun Nomor 10 Tahun 2008 tentang Lembaga Adat, (Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Tahun 2008 Nomor 10, Tambahan Lembaran Daerah Nanggroe Aceh Darussalam Nomor 20); Surat Keputusan Majelis Permusyawaratan Ulama Nanggroe Aceh Darussalam (MPU NAD) Nomor 3 Tahun 2005 tanggal 18 Rabiul Awal 1426 H/27 April 2005 M.
2) Bahan hukum sekunder, yaitu bahan yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer, seperti: RUU, hasil-hasil penelitian atau doktrin,
Universitas Sumatera Utara
3) Bahan hukum tersier, yaitu bahan yang memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder, seperti: kamus hukum, ensiklopedia, dan lain-lain. 79 b. Penelitian Lapangan (Field Research). 6. Alat Pengumpulan Data Alat pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini, yaitu: studi dokumen, dan wawancara. 80 Wawancara dilakukan terhadap responden. 81 dan narasumber 82. Responden yang diwawancarai sebanyak 30 (tiga puluh orang) terdiri dari Kota Banda Aceh sebanyak 15 (lima belas) orang dan Kabupaten Aceh Besar sebanyak 15 (lima belas) orang. Narasumber yang diwawancarai, sebagai berikut: a. 1 orang Pejabat pada BPN Kantor Wilayah Provinsi Aceh, b. 1 orang mantan Pelaksana Rekonstruksi Administrasi Pertanahan pasca gempa dan tsunami di Provinsi Aceh, c. 1 orang Pejabat Badan Pertanahan Kota Banda Aceh, d. 1 orang Pejabat Badan Pertanahan Kabupaten Aceh Besar, e. 1 orang pejabat pada Baitul Mal Provinsi Aceh, f. 1 orang pejabat pada Majelis Adat Aceh (MAA), g. 1 orang pejabat pada Dinas Syari’at Islam Provinsi Aceh.
79
Amiruddin dan H. Zainal Asikin, Op.Cit, hal. 31-32. Wawancara adalah melakukan tanya jawab secara langsung antara peneliti dengan responden, narasumber atau informan untuk mendapatkan informasi. Wawancara adalah bagian penting dalam suatu penelitian hukum terutama dalam penelitian hukum empiris. Karena tanpa wawancara, peneliti akan kehilangan informasi yang hanya diperoleh dengan jalan bertanya secara langsung kepada responden, narasumber atau informan. Lihat Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal. 161. 81 Responden adalah seseorang atau individu yang akan memberikan respons terhadap pertanyaan yang diajukan peneliti. Responden ini merupakan orang atau individu yang terkait secara langsung dengan data yang dibutuhkan, Ibid, hal. 174. 82 Narasumber adalah seorang yang memberikan pendapat atas objek yang diteliti. Dia bukan bagian dari unit analisis, tetapi ditempatkan sebagai pengamat. Hubungan narasumber dengan objek yang diteliti disebabkan karena kompetensi keilmuan yang dimiliki, hubungan struktural dengan person-person yang diteliti, atau karena ketokohannya dalam populasi yang diteliti, Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Op.Cit, hal. 175. 80
Universitas Sumatera Utara
7. Analisis Data 83 Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah analisis data kualitatif. Bogdan dan Biklen mengatakan bahwa analisis data kualitatif adalah upaya yang dilakukan dengan jalan bekerja dengan data, mengorganisasikan data, memilahmilahnya menjadi satuan yang dapat dikelola, mensintesiskannya, mencari dan menemukan pola, menemukan apa yang penting dan apa yang dipelajari dan memutuskan apa yang dapat diceritakan kepada orang lain. 84 Seidel mengemukakan analisis data kualitatif prosesnya berjalan sebagai berikut: “Mencatat yang menghasilkan catatan lapangan, dengan hal itu diberi kode agar sumber datanya tetap dapat ditelusuri, mengumpulkan, memilah-milah, mengklasifikasikan, mensintesiskan, membuat ikhtisar dan membuat indeksnya. 85 Janice McDrury dalam Collaborative Group Analysis of Data, mengatakan bahwa tahapan analisis data kualitatif adalah: 86 1. membaca/mempelajari data, menandai kata-kata kunci dan gagasan yang ada dalam data; 2. mempelajari kata-kata kunci itu, berupaya menemukan tema-tema yang berasal dari data; 3. menuliskan “model” yang ditemukan; 4. koding yang telah dilakukan. Lexi J. Moleong mengatakan: 87 83
Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil pengolahan data yang dibantu dengan teori-teori yang telah didapatkan sebelumnya. Secara sederhana analisis data ini disebut sebagai kegiatan memberikan telaah, yang dapat berarti menentang, mengkritik, mendukung, menambah atau memberi komentar dan kemudian membuat suatu kesimpulan terhadap hasil penelitian dengan pikiran sendiri dan bantuan teori yang telah dikuasainya, Ibid, hal. 183. 84 Runtung, “Metode Penelusuran Literatur dan Penulisan Hukum”, Bahan Kuliah, (Medan: Program Studi Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, 2011), hal. 13. 85 Ibid. 86 Ibid.
Universitas Sumatera Utara
“Bahwa proses analisis data dimulai dengan menelaah seluruh data yang tersedia dari berbagai sumber, yaitu: dari wawancara, pengamatan yang sudah dituliskan dalam catatan lapangan, dokumen pribadi, dokumen resmi, gambar, foto dan sebagainya. Setelah dibaca, dipelajari dan ditelaah, langkah berikutnya mengadakan reduksi data, yang dilakukan dengan jalan melakukan abstraksi. Abstraksi merupakan usaha membuat rangkuman yang inti, proses dan pernyataan-pernyataan yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya. Langkah selanjutnya adalah menyusunnya dalam satuan-satuan. Satuan-satuan itu kemudian dikatagorisasikan pada langkah berikutnya. Katagori-katagori itu dibuat sambil melakukan koding. Tahap akhir dari analisis data ini ialah mengadakan pemeriksaan keabsahan data. Setelah selesai tahap ini, mulailah tahap penafsiran data dalam mengolah hasil sementara menjadi teori substantif dengan menggunakan beberapa metode tertentu”. Setelah semua proses di atas dilaksanakan, maka dilakukan penarikan kesimpulan dengan metode induktif-deduktif, yaitu metode penarikan kesimpulan yang berasal dari bahan-bahan yang bersifat khusus kepada yang umum. G. Asumsi Asumsi adalah suatu pernyataan yang dianggap benar tanpa perlu menampilkan data untuk membuktikannya. 88 Asumsi Dalam penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Ketersediaan aturan hukum sebagai dasar dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh belum memadai karena Peraturan Pemerintah No. 24 Tahun 1997 tidak ada mengatur pendaftaran tanah dalam keadaan darurat (pasca tsunami). Peraturan yang mengatur rekonstruksi pertanahan pasca tsunami hanya Keputusan Kepala Badan Pertanahan 87
Lexy J. Moleong, Metodologi Penelitian Kualitatif, Edisi Revisi, (Bandung: PT. Remaja Rosdakarya, 2004), hal. 247-248 dalam Runtung, Op.Cit. hal. 13-14. 88 Bambang Sunggono, Metode Penelitian Hukum, Jakarta, Rajagrafindo Persada, 1997, hal.114.
Universitas Sumatera Utara
Nasional No. 114-II/2005. Sedangkan Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2007 yang mengadopsi Keputusan Kepala BPN No. 114-II/2005 terlambat diterbitkan. Hal ini mengkibatkan program rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh tidak berjalan sesuai yang direncanakan dan realisasi target tidak tercapai. 2. Peran BPN dalam pelaksanaan rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh belum maksimal, hal tersebut dikarenakan lemahnya perencanaan sertifikasi program, lemahnya monitoring lapangan, kurangnya dukungan tekhnis di lapangan, terlambat penunjukan dan mobilisasi SDM manajemen RALAS/Tim Ajudikasi dan kurangnya koordinasi di lapangan. Akibatnya, menghambat pelaksanaan rekonstruksi pertanahan di Provinsi Aceh. 3. Partisipasi masyarakat dalam mendukung rekonstruksi pertanahan pasca tsunami di Provinsi Aceh masih kurang, hal ini disebabkan karena kurangnya pemahaman masyarakat terhadap program kegiatan RALAS, kurangnya informasi yang diterima oleh pemilik tanah/ahli waris atau masyarakat di tempat pengungsian, dan tingginya trauma yang dialami masyarakat terutama pemilik tanah/ahli waris pada awal pelaksanaan rekonstruksi pertanahan. Hal ini mengakibatkan program pensertipikatan tanah tidak berjalan sesuai dengan waktu yang telah direncanakan.
H. Sistematika Penulisan
Universitas Sumatera Utara
Sistematika penulisan memberikan gambaran yang lebih jelas mengenai hal yang akan penulis bahas dalam penulisan ini, yaitu menguraikan isi penulisan dalam lima bab, dengan sistematika sebagai berikut: Bab Pertama, merupakan bab pendahuluan yang berisi uraian mengenai latar belakang permasalahan dan bab ini juga dikemukakan beberapa permasalahan, tujuan penelitian dan manfaat penelitian. Dalam bab ini dikemukakan juga kerangka teoretis yang digunakan sebagai pisau analisis dan kerangka konsepsional (definisi operasional) yang membantu menjelaskan beberapa istilah yang terdapat dalam penelitian. Selanjutnya dikemukakan pula metode penelitian yang meliputi; sifat penelitian,
jenis
penelitian,
metode
pendekatan,
lokasi
penelitian,
teknik
pengumpulan data, alat pengumpulan data dan analisis data serta asumsi dan diakhiri dengan sistematika penulisan. Bab kedua, menjelaskan tentang Deskripsi Lokasi Penelitian, Dampak Bencana Tsunami di Provinsi Aceh yang meliputi; Gambaran dan Dampak Bencana serta Upaya Penanggulangan Dampak Bencana. Bab ini juga menguraikan tentang Rekonstruksi Pertanahan yang meliputi; maksud dan Tujuan Ralas, Komponen serta Lokasi Ralas dan Konsolidasi Tanah. Selanjutnya dikemukakan juga Ketersediaan Aturan Hukum Pelaksanaan Rekonstruksi Pertanahan Pasca Tsunami di Provinsi Aceh. Bab ketiga, menjelaskan Struktur Lembaga Pertanahan yang meliputi Dasar Pembentukan Lembaga Pertanahan dan Administrasi Pertanahan. Bab ini juga menguraikan tentang Struktur Lembaga Rekonstruksi Pertanahan yang meliputi
Universitas Sumatera Utara
Dasar Pembentukan RALAS dan Panitia Ajudikasi serta Keterlibatan Pihak-Pihak Lain dalam Kegiatan RALAS. Sebagai sub bab terakhir dari bab ini menguraikan Peranan Badan Pertanahan Nasional dalam Pelaksanaan Rekonstruksi Pertanahan yang meliputi; Melakukan Rekonstruksi Dokumen Pertanahan, Pelaksanaan Pendaftaran Tanah Berbasis Masyarakat dan Penyelesaian Permasalahan dalam Rekonstruksi Pertanahan. Bab keempat, menjelaskan Ruang Lingkup Partisipasi, Mayarakat dan Lembaga Adat Aceh, Budaya Adat Aceh dan
Kearifan Lokal serta Partisipasi
Masyarakat dalam Mendukung Pelaksanaan Rekonstruksi Pertanahan yang meliputi; Peran Lembaga-lembaga Adat Aceh dalam Rekonstruksi Pertanahan dan Pelaksanaan Partisipasi Masyarakat serta Hambatan-hambatan dan Solusi dalam Partisipasi Masyarakat. Bab kelima, merupakan bab kesimpulan dan saran.
Universitas Sumatera Utara