BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Selama hampir dua abad penyakit Demam Berdarah (DB) disejajarkan dengan pilek atau diare yaitu sebagai penyesuaian diri seseorang terhadap iklim tropis. Namun sejak timbulnya wabah dengue di Manila pada tahun 1952 sampai 1954 (Quittos dkk 1954) yang disertai renjatan dan perdarahan gastro intestinal yang berakhir dengan kematian penderita, pandangan itu berubah. Penyebab penyakit ini adalah Virus Dengue menempati urutan ke-8 sampai penyebab di negara-negara kawasan Asia Tengah (termasuk Indonesia) dan daerah Pasifik Barat penyakit DHF (Dengue Haemoragic Fever) ini ditularkan melalui gigitan nyamuk Aedes aegypy dan Aedes albopictus. Jumlah penderita menunjukkan kecenderungan naik dari tahun ke tahun. Penyakit Demam Berdarah Dengue (DBD) atau yang biasa disebut Dengue Haemoragic Fever (DHF) terutama menyerang pada anak-anak disertai dengan manifestasi perdarahan dan menimbulkan renjatan yang dapat menyebabkan kematian. Dengue Haemoragic Fever ini di Indonesia ditemukan pertama kalinya pada tahun 1968 di Surabaya, Penyakit ini banyak terjadi di kota-kota yang padat penduduknya akan tetapi dalam tahun-tahun terakhir ini Demam Berdarah terjadi di daerah pedesaan. (Soemarno Soenaryo Poerwo Soedarmo, 1983).
1
2
Hingga kini berbagai pemeriksaan laboratorium telah dikembangkan untuk menegakkan diagnosa DHF dan saat ini telah didapatkan pemeriksaan laboratorium penunjang yang hasilnya dapat diperoleh dalam waktu relatif singkat yaitu pemeriksaan jumlah trombosit, sedangkan isolasi virus memerlukan keahlian dan saran, tetapi hasil baru diperoleh dalam jangka waktu lama. (Sumarno Sunaryo Poerwo Soedarmo, 1983). Fenomena patofisiologi utama yang menentukan berat penyakit dan membedakan DHF dari dengue klasik ialah meningginya permeabilitas dinding pembuluh darah, menurunnya volume plasma, terjadinya hipotensi, trombositopeni dan diatesis hemoragic (Tuchinda,1973). Pada kasus berat, renjatan terjadi secara akut nilai hematokrit meningkat bersamaan dengan menghilangnya plasma melalui endotel dinding pembuluh darah. Hal pertama setelah virus masuk kedalam penderita adalah viremia yang mengakibatkan penderita mengalami demam, sakit kepala, mual, nyeri otot, pegal-pegal seluruh tubuh, ruam atau bintik-bintik merah pada kulit (petekie), dan hal lain yang mungkin terjadi seperti pembesaran kelenjar getah bening, pembesaran hati (hematomegali)dan pembesaran limfa (spenomegali). (Christantie Effendy, 1995). Peningkatan permeabilitas dinding kapiler mengakibatkan berkurangnya volume plasma, terjadi hipotensi, hemokonsentrasi dan hipoproteinemia serta efusi dan renjatan (shock).
3
Hemokonsentrasi (peningkatan hematokrit >20 %) menunjukkan atau mengakibatkan adanya kebocoran (perembesan) sehingga nilai hematokrit menjadi penting untuk patokan pemberian cairan intra vena. Oleh karena itu pada penderita DHF sangat dianjurkan untuk memantau hematokrit darah berkala dan untuk mengetahui berapa persen hemokonsentrasi yang terjadi. Setelah pemberian cairan intra vena baik berupa plasma maupun elektrolit (untuk menjaga keseimbangan volume intra vena), terhadap peningkatan jumlah trombosit menunjukkan kebocoran plasma telah teratasi sehingga pemberian cairan intra vena harus dikurangi kecepatan dan jumlahnya untuk mencegah terjadinya edema paru dan gagal jantung. Sebaliknya jika tidak mendapat cairan yang cukup, penderita akan mengalami kekurangan cairan yang dapat mengakibatkan kondisi yang buruk bahkan bisa mengalami renjatan. Dalam hal ini cairan intra vena(plasma maupun elektrolit) termasuk diantaranya adalah pemberian darah lengkap bertujuan selain mencegah terjadinya
trombositopeni
dan
pendarahan
juga
diharapkan
dapat
meningkatkan jumlah trombosit pada penderita DHF. Banyaknya penderita DHF yang rawat inap di RS. PKU Muhammadiyah Cepu menimbulkan keinginan penulis untuk mengetahui lebih jauh lagi apa sebenarnya penyakit DHF, terutama jika ditinjau dari pemeriksaan laboratorium, apakah tranfusi darah lengkap berpengaruh terhadap jumlah trombosit..
4
Pemeriksaan trombosit adalah pemeriksaan yang rutin dilakukan dilaboratorium RS PKU Muhammadiyah Cepu dimana trombosit seseorang dapat bervariasi antara orang satu dengan yang lain. Misalnya pada penyakit demam berdarah atau DHF. Kenaikan atau penurunan trombosit dapat menunjang diagnosa klinik.(DHF).
B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas muncul permasalahan “Bagaimana Pengaruh transfusi darah lengkap terhadap jumlah trombosit pada penderita DHF yang rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Cepu?”.
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui pengaruh tranfusi darah lengkap terhadap jumlah trombosit pada penderita DHF yang rawat inap di RS PKU Muhammadiyah Cepu. 2. Untuk mengetahui Jumlah Trombosit sebelum dan sesudah di Tranfusi Darah Lengkap. 3. Untuk mengetahui hubungan Tranfusi Darah Lengkap terhadap Jumlah Trombosit pada penderita DHF Muhammadiyah Cepu.
yang rawat inap di RS PKU
5
D. Manfaat Penelitian 1. Untuk menambah pengetahuan dan wawasan bagi penulis tentang pengaruh tranfusi darah lengkap terhadap jumlah trombosit pada penderita penyakit DHF. 2. Untuk Menginformasikan pada responden tentang hubungan jumlah trombosit dengan transfusi darah lengkap pada penderita DHF. 3. Dapat melakukan pemilihan tindak lanjut yang tepat khususnya bagi dokter.