1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Selama dua dasa warsa terakhir, angka keberhasilan teknik reproduksi
berbantu fertilisasi in vitro pada beberapa Pusat Klinik Bayi Tabung di Indonesia dilaporkan masih rendah. Ke masa depan, hal ini seyogyanya mendapat perhatian lebih serius terkait dengan pembiayaan, waktu, status sosial dan harapan yang tinggi pasangan infertil untuk memiliki anak dari rahim sendiri. Keberhasilan take home baby TRB-FIV adalah 25,0 - 32,5 % (Soegiharto, dkk., 2010). Ini berarti bahwa sebagian besar mengalami kegagalan pada tahap fertilisasi, implantasi, tumbuh dan kembang intra uterin. Sementara, TRB-FIV merupakan rangkaian proses panjang yang terdiri atas stimulasi ovarium, petik ovum, fertilisasi baik secara konvensional maupun intra cytoplasmic sperm injection (ICSI), transfer embrio dan berakhir pada implantasi (Speroff, dkk., 2010). Kemudian, implantasi stadium blastokis ini berlanjut kepada kehidupan intra uterin seperti organogenesis, tumbuh - kembang, maturasi sampai akhirnya mendapatkan bayi sehat yang merupakan indikator keberhasilan TRB-FIV; pregnancy rate dan take home baby (Speroff, dkk., 2010). Secara prinsip, faktor utama yang mempengaruhi keberhasilan TRB-FIV adalah kualitas embrio selain reseptivitas endometrium, fungsi korpus luteum, status fisik dan psikologis (Humaidan, dk., 2009). Berbagai upaya telah dilakukan untuk meningkatkan angka keberhasilan TRB-FIV melalui studi tentang temuan
1
2
metode klinis yang memadai yaitu pemilihan jenis stimulasi, petik ovum pada fase tertentu dan transfer embrio pada fase blastokist (Goretta, dkk., 2012), pemberian hormonal berkelanjutan (Wilcox, dkk., 2010; Sperrof, dkk., 2010), dan perlakuan khusus; namun hasilnya belum memuaskan. Pada satu dekade terakhir, fokus studi pada kualitas oosit yang merupakan faktor sangat penting dalam fertilisasi TRB-FIV, selain kualitas spermatosit. Kualitas spermatosit sendiri adalah standar karena diperoleh dari teknik standar pula. Sementara, kualitas oosit diduga berhubungan kuat dengan keberadaan polar body primer (PB-I), nukleus oosit (Chamayou, dkk., 2006; Depalo, dkk., 2009), dan inklusi sitoplasma oosit (Ebner, dkk., 2003). Keberadaan ruang perivitelin, granulasi inti, dan kelainan genetikal juga sedikit terkait dengan kualitas oosit (Speroff, dkk., 2010). Peran PB-I dan inklusi sitoplasma oosit terhadap peningkatan angka keberhasilan TRB-FIV masih kontroversi. Depalo, dkk., (2009) menyatakan tidak terdapat korelasi antara PB-I dan inklusi sitoplasma dengan keberhasilan TRBFIV. Scott, dkk., (2010) dan Wilding, dkk., (2012) menyatakan sebaliknya yaitu terdapat korelasi antara PB-I dan ruang perivitelin dengan implantation rate. Selain itu, kedua variabel tersebut membantu para klinisi dalam upaya pembatasan petik ovum yang berlebihan terkait dengan risiko infeksi dan perdarahan akibat prosedur (Wilding, dkk., 2012). Stimulasi ovarium mungkin merupakan bagian paling rumit dan tidak terhindar dari risiko terjadinya komplikasi dari derajat ringan sampai fatal (Baart, dkk., 2007; Sperroff, dkk., 2010). Beberapa pusat pelayanan TRB-FIV
3
menyatakan bahwa lebih baik mendapatkan satu oosit berkualitas dibandingkan kuantitas oosit itu sendiri. Salah satu upaya untuk tujuan tersebut adalah memberdayakan oosit pada siklus alami (Ziebe, dkk., 2004); akan tetapi pada sikus alami jumlah oositnya sangat terbatas (Griesinger, dkk., 2005). Pada siklus alami, kualitas oosit adalah terbaik yang berasal dari satu folikel matur dimana ukuran folikel berbanding lurus dengan kualitas oosit (Hernandez, 2000; Malden, dkk., 2007). Berbeda dengan siklus TRB-FIV, stimulasi ovarium menghasilkan multi folikel dan variasi diameter yang lebar. Jenis stimulasi ovarium pada TRB-FIV baik protokol pendek maupun panjang tidak terbukti mempengaruhi keberadaan PB-I dan inklusi sitoplasma oosit (Gonzalez-Bulnesab, 2003; Griesinger, dkk., 2005). Sementara, pada TRB-FIV didapatkan multiovulasi yang menghasilkan beberapa oosit berhubungan kuat dengan multi folikel dimana variasi besar folikel antral adalah lebar yaitu 5 – 35 milimeter (Anusorn, dkk., 2003; Moraloglu, dkk., 2008). Untuk mendapat oosit baik, beberapa penelitian menganjurkan petik ovum pada diameter folikel >10 milimeter (Ebner, 2008; Petermann, 2009) dan dipetik sebanyak-banyaknya agar dapat dipilah dan dipilih untuk tujuan fertilisasi, preservasi oosit dan atau embrio (Griesinger, 2006). Peneliti lain menyatakan lebih baik petik ovum pada diameter folikel ≥ 20 milimeter dalam jumlah < 10 terkait dengan pertimbangan kualitas oosit dan komplikasi stimulasi (Ludwig, dkk., 2003; Kurzawa, dkk., 2008).
4
Pada beberapa kasus TRB-FIV, jumlah folikel minimal sehingga membutuhkan pertimbangan apakah dilakukan petik ovum pada keadaan tersebut. Sedangkan, jumlah folikel ≥ 10 pada masing-masing ovarium terbukti menunjukkan bahwa kualitas oosit kurang baik (Berlinguera, dkk., 2007); bahkan mengindikasikan stimulasi berlebihan. Hal ini menjadikan para klinisi menemui kesulitan memilih diameter folikel seberapakah yang sebaiknya dipetik agar diperoleh PB-I positif dan inklusi sitoplasma negatif pada oosit. Secara klinis, besar atau volume folikel diduga berhubungan kuat dengan keberadaan PB-I dan inklusi sitoplasma oositnya. Asumsi bahwa folikel adalah bulat penuh maka diameter folikel mencerminkan volume folikel itu sendiri. Sementara, diameter folikel dapat diukur akurat dengan bantuan ultrasonografi transvaginal (Malden, dkk., 2007; Sperroff, dkk., 2014). Dengan demikian, hubungan antara diameter folikel dengan PB-I positif dan inklusi sitoplasma negatif oositnya masih kontroversi. Berdasarkan uraian diatas maka dilakukan studi untuk mengetahui risiko PB-I dan inklusi sitoplasma oosit pada diameter folikel ≥ 15 mm. Pengukuran diameter folikel dilakukan saat petik ovum pasangan infertil yang mengikuti TRB-FIV. Pada studi pendahuluan oleh peneliti (2013), diperoleh cut of point diameter folikel dengan PB-I positif dan inklusi sitoplasma negatif adalah 15 mm. Selanjutnya, dilakukan uji statistik untuk mengetahui odds ratio diameter folikel ≥ 15 mm dan < 15 mm dengan kedua variabel tersebut.
5
Hasil penelitian ini, diharapkan dapat dipakai sebagai prediktor diameter folikel terhadap kemungkinan mendapatkan oosit dengan PB-I positif dan inklusi sitoplasma negatif dimana hal tersebut berkorelasi dengan kualitas oosit. Dengan demikian, informasi awal tentang kemungkinan kegagalan versus keberhasilan fertilisasi dan perkembangan embrio dapat disampaikan sebelum program ini lanjut ketahap berikutnya. Hal ini sangat penting mengingat akan risiko kegagalan fertilisasi dan perkembangan embrio itu sendiri. Kegagalannya berdampak terhadap sosial-ekonomi, kegiatan spiritual, dan juga ancaman atas kelangsungan rumah tangganya. Selain itu, waktu dan biaya yang telah dikeluarkan bukanlah sedikit dengan penuh pengharapan akan keberhasilannya. Hasil studi ini dapat pula dipakai sebagai dasar kajian/penelitian lanjutan ditingkat biokimia dan molekuler untuk lebih memahami perilaku folikel pada stimulasi ovarium. Jadi, penelitian ini menjadi sangat penting untuk dilaksanakan dalam rangkaian peningkatan keberhasilan program pelayanan TRB-FIV. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas maka didapatkan rumusan
masalah sebagai berikut : 1. Apakah diameter folikel ≥ 15 mm merupakan faktor risiko PB-I positif inti oosit pada program TRB-FIV? 2. Apakah diameter folikel ≥ 15 mm merupakan faktor risiko inklusi sitoplasma negatif oosit pada program TRB-FIV?
6
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1
Tujuan umum Mengetahui korelasi antara diameter folikel ≥ 15 mm dengan PB-I dan
inklusi sitoplasma oosit pada program TRB-FIV. 1.3.2
Tujuan khusus 1. Mengetahui korelasi antara diameter folikel ≥ 15 mm dengan PB-I positif oosit pada program TRB-FIV. 2. Mengetahui korelasi antara diameter folikel ≥ 15 mm dengan inklusi sitoplasma negatif oosit pada program TRB-FIV.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat pelayanan Menemukan parameter klinis diameter folikel yang lebih tepat untuk
prediksi PB-I nukleus oosit dan inkusi sitoplasma pada saat petik ovum. Kedua variabel tersebut menunjukkan kualitas oosit itu sendiri dan prediksi kemungkinan keberhasilannya. Kemudian, dapat dipakai sebagai dasar komunikasi, informasi dan edukasi (KIE) kepada pasangan infertil tentang kemungkinan apakah tahap lanjutan program dapat disetujui terkait dengan risiko kegagalan atau kemungkinan keberhasilannya. 1.4.2
Manfaat keilmuan Membuktikan bahwa diameter folikel ≥ 15 mm saat petik ovum
merupakan indikator yang akurat dalam menilai kualitas oosit melalui penilaian morfologi oosit. Selain itu, dapat dijadikan dasar untuk penelitian lebih lanjut
7
guna mempelajari lebih dalam tentang dinamika ovarium dalam fungsi reproduksi.