BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Yogyakarta terus berkembang menjadi salah satu daerah tujuan wisata
andalan di Indonesia. Selama sembilan tahun terakhir penurunan jumlah kunjungan wisatawan hanya terjadi pada tahun 2006 dan 2010 akibat bencana alam meletusnya Gunungapi Merapi dan gempa bumi yang berpusat di Kabupaten Bantul. Menurut Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta (2014: 62) dalam kurun waktu sembilan tahun terakhir tersebut rata-rata jumlah kunjungan wisatawan meningkat sebesar 7,83% setiap tahunnya. Jumlah kunjungan wisatawan mancanegara ke Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) meningkat sebesar 20% dan wisatawan nusantara meningkat sebesar 7,40%. Berikut ini merupakan jumlah kunjungan wisatawan DIY yang diukur dengan pendekatan jumlah tamu yang menginap di hotel-hotel dalam wilayah DIY Tabel 1.1 Jumlah Kunjungan Wisatawan DIY Tahun 2005-2013 Tahun Wisatawan Domestik Wisatawan Mancanegara 2005 2.263.630 79.360 2006 2.070.690 68.860 2007 2.127.630 76.200 2008 2.516.200 110.710 2009 2.981.830 123.370 2010 2.850.990 140.650 2011 3.057.580 148.760 2012 3.397.900 148.500 2013 3.603.370 207.280 (Sumber: Statistik Daerah Istimewa Yogyakarta, 2014: 61)
1
2
Banyaknya jumlah kunjungan wisatawan DIY merupakan salah satu wujud dari program yang dilakukan pemerintah dalam mencapai visi Rencana Pembangunan Jangka Panjang Daerah (RPJPD) untuk menjadikan Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) sebagai pusat pendidikan, budaya, dan daerah tujuan wisata terkemuka di Asia Tenggara dalam lingkungan masyarakat yang maju, mandiri, dan sejahtera. Menurut Damanik (2014: 119) tingginya jumlah kunjungan wisata turut dipengaruhi oleh beragamnya jenis wisata yang dapat ditemui karena dengan hal tersebut wisatawan dapat menikmati atau berkunjung ke satu destinasi dengan memperoleh beragam pengalaman. Menurut Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2009 tentang Kepariwisataan, daya tarik wisata dapat dibagi menjadi tiga yaitu daya tarik wisata alam, daya tarik wisata buatan atau binaan manusia, dan daya tarik wisata budaya. Secara geografis bentang alam Yogyakarta terbentuk dari gunung berapi di sisi utara dan pantai di sisi selatan. Di antara gunung berapi dan pantai tersebut muncul pula fenomena alam lain sebagai daya tarik wisata alam yang dikelola menjadi destinasi wisata seperti objek wisata Goa Pindul. Berkembangnya pariwisata di Yogyakarta
juga
mendorong
pemangku
kepentingan
terkait
untuk
mengembangkan objek wisata buatan bagi keluarga dengan berbagai jenis permainan seperti Sindu Kusuma Edupark (SKE). Selain daya tarik wisata alam dan daya tarik wisata buatan, wisata budaya di Yogyakarta juga tidak kalah beragam. Kebudayaan adalah keseluruhan sistem gagasan, tindakan dan hasil karya manusia dalam kehidupan masyarakat yang dijadikan milik diri dengan belajar (Koentjaraningrat, 2009: 144). Tindakan hasil
3
karya budaya berwujud bangunan di Yogyakarta dapat ditemui dalam bentuk candi sebagai tempat pemujaan pada masa kerajaan Hindu-Budha. Bangunan hasil budaya tersebut merupakan bangunan cagar budaya yang wajib dijaga kelestariannya. Menurut Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2010 tentang Cagar Budaya, bangunan cagar budaya dapat dimanfaatkan dengan memperhatikan kepentingan sosial, pendidikan, pengembangan ilmu pengetahuan, agama, kebudayaan, dan atau pariwisata. Pemanfaatan banguanan cagar budaya di Yogyakarta dalam pariwisata antara lain digunakan sebagai destinasi wisata museum. Menurut Peraturan Pemerintah Nomor 19 Tahun 1995 tentang Pemeliharaan dan Pemanfaatan Benda Cagar Budaya di Museum, museum adalah lembaga, tempat penyimpanan, perawatan, pengamanan, dan pemanfaatan benda-benda bukti materiil hasil budaya manusia serta alam dan lingkungannya guna menunjang upaya perlindungan dan pelestarian kekayaan budaya bangsa. Data AMI (Asosiasi Museum Indonesia) yang tercatat pada 20 Januari 2015, terdapat sebanyak 402 museum yang ada di Indonesia, dan 48 diantaranya berada di Yogyakarta1 dan beberapa dari museum tersebut telah tergabung dalam asosiasi Barahmus DIY.
1
www.asosiasimuseumindonesia.org/anggota.html. Diakses pada 5 April 2015, pukul 20:59 WIB.
4
Tabel 1.2 Persentase Jumlah Kunjungan Museum DIY dengan Jumlah Kunjungan DTW DIY Tahun 2009-2013
Tahun 2009 2010 2011 2012 2013
Wisatawan Mancanegara DTW DIY
Museum
716.712
232.525
395.084
Wisatawan Domestik %
Jumlah %
DTW DIY
Museum
32,44
1.960.350
8.713.764
146.270
37,02
1.950.858
504.752
184.421
36,54
501.811
175.592
647.494
180.314
% DTW DIY
Museum
22,50
1.470.359
9.430.476
15,59
7.868.087
24,8
2.093.528
8.255.184
25,36
2.079.064
6.674.994
31,2
2.246.533
9.780.623
22,97
34,99
2.951.137
10.226.383
28,9
3.127.328
10.738.194
29,12
27,85
3.246.010
10.882.822
29,8
3.426.354
11.530.316
29,72
(Sumber: Statistik Kepariwisataan DIY, 2013)
Tabel di atas menunjukkan persentase banyaknya jumlah kunjungan wisata ke museum di DIY dengan kunjungan ke objek wisata lainnya. Berikut ini merupakan museum-museum yang jumlah kunjungannya telah tercatat dalam Statistik Kepariwisataan DIY Tahun 2013 tersebut; Museum Keraton Yogyakarta, Museum Kebun Binatang Gembira Loka, Museum Negeri Sonobudoyo Unit I, Museum Panglima Besar Jendral Sudirman, Museum Dewantara Kitri Griya Tamansiswa, Museum Puro Pakualaman, Museum Batik Yogyakarta, Museum Bahari, Museum Sandi Negara, Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala, Museum Seni Lukis Affandi, Museum Monumen Pangeran Diponegoro, Museum Pusat TNI AD Dharma Wiratama, Museum RS Mata dr. Yap, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Museum Fakultas Biologi UGM, Museum Monumen Jogja Kembali, Museum Geoteknologi Mineral UPN Veteran Yogyakarta, Museum Ullen Sentalu, Museum Pendidikan Indonesia UNY, Museum Gunungapi Merapi, dan Museum Negeri Sonobudoyo Unit II. Beragamnya jenis wisata yang ada tidak lantas mengurangi daya saing wisata museum di DIY.
5
Berdasarkan tabel di atas, kunjungan wisatawan ke museum mendapat persentase lebih dari 20% dan selalu meningkat setiap tahunnya dari kunjungan wisatawan ke objek wisata lainnya. Beberapa museum di DIY seperti Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta telah mendapat pengelolaan dengan baik. Pada tahun 2013, Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta mendapatkan penghargaan Citra Pesona Wisata dari Kementrian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif dalam kategori Pengelolaan Daya Tarik Wisata Budaya Berwawasan Lingkungan.2 Meskipun beberapa museum telah mendapat pengelolaan dengan baik dan medapat jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi, masih ada pula beberapa museum dengan kunjungan wisatawan yang masih rendah, seperti Museum Puro Pakualaman, Museum RS Mata dr. Yap, dan Museum Batik Yogyakarta. Berikut ini merupakan empat museum di DIY yang mendapat kunjungan tertinggi dan empat museum di DIY yang mendapat kunjungan wisatawan terendah pada tahun 2013. Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Museum Tertiggi DIY Tahun 2013 No 1. 2. 3. 4.
Museum
Wisman
2013 Wisnus
Museum Kebun Binatang 15.475 1.532.042 Gembira Loka Museum Keraton Yogyakarta 132.722 581.664 Museum Monumen Jogja 373.800 Kembali Museum Benteng Vredeburg 5.349 252.973 Yogyakarta (Sumber: Statistik Kepariwisataan DIY, 2013)
2
Jumlah 1.547.517 714.386
373.800 258.322
Hasil wawancara penulis dengan Bapak Asnan Arifin (Sekertaris Umum Barahmus) pada 16 April 2015, pukul 13:00 WIB.
6
Tabel 1.4 Jumlah Kunjungan Museum Terendah DIY Tahun 2013 No . 1. 2. 3. 4.
Museum
Wisman 151 118 166
2013 Wisnus 760 919 1.941
Museum RS Mata dr. Yap Museum Puro Pakualaman Museum Batik Yogyakarta Museum Monumen Pangeran 30 2.068 Diponegoro Sasana Wiratama (Sumber: Statistik Kepariwisataan DIY, 2013)
Jumlah 901 1.037 2.107 2.118
Tabel di atas menunjukkan adanya ketimpangan jumlah kunjungan antar museum. Beberapa museum yang telah dikelola secara maksimal mendapat jumlah kunjungan wisatawan yang tinggi sedangkan beberapa museum lain kunjunganya masih rendah. Salah satu perbandingannya adalah Museum Puro Pakualaman yang mendapat jumah kunjungan 1.037 hanyalah 0,28% bagian kunjungan dari Museum Monumen Jogja Kembali yang mencapai 373.800. Selain kunjungan beberapa museum yang masih minim, Menteri Kebudayaan dan Pariwisata kepada kalangan pers di Jakarta, Kamis 18 Februari 2010 juga mengungkapkan, “Saat ini ada 90 persen museum di Indonesia yang belum layak dikunjungi karena tidak terawat, kotor, dan sebagainya” (Akbar, 2010: 13). Meningkatnya pariwisata di Yogyakarta yang tidak disertai dengan peningkatan wisata museum sangat disayangkan. Pemangku kepentingan terkait sebenarnya mempunyai kewajiban untuk mengembangkan museum-museum tersebut sesuai visi Pembangunan Pariwisata DIY 2012-2025 yaitu terwujudnya Yogyakarta sebagai destinasi wisata berkelas dunia, memiliki keunggulan saing
7
dan
banding,
berwawasan
budaya,
berkelanjutan,
mampu
mendorong
pembangunan daerah dan berbasis kerakyatan sebagai pilar utama perekonomian. Dalam misi Dinas Kebudayaan DIY 2012-2017 juga telah disebutkan bahwa misi ketiga adalah “melestarikan cagar budaya dan mengelola museum secara berkelanjutan”, salah satu cara yang dilakukan dalam mewujudkan misi tersebut adalah dengan melakukan pembinaan dan pengembangan museum. Selain melalui Dinas Kebudayaan DIY, Yogyakarta juga telah memiliki sarana yang khusus menangungi museum, yaitu asosiasi Barahmus (Badan Musyawarah Musea) DIY. Asosiasi perkumpulan museum yang ada di Yogyakarta tersebut menjadi wadah bagi anggota untuk bermusyawarah dalam penyelenggaraan dan pengelolaan museum dengan dijiwai keterbukaan, kebersamaan dan kekeluargaan. Barahmus DIY merupakan asosiasi permuseuman pertama di Indonesia yang berdiri sejak tahun 1974 dan menginspirasi berdirinya asosiasi museum di daerah lain bahkan di Indonesia. Baik secara langsung maupun tidak langsung, Barahmus DIY turut bertanggungjawab atas terjadinya ketimpangan banyaknya jumlah kunjungan wisatawan ke museum yang ada di Yogyakarta dan beberapa museum yang kurang berkembang tersebut. Sebagai mitra pemerintah dalam hal ini Dinas Kebudayaan Propinsi DIY, Barahmus DIY perlu mengoptimalkan perannya dalam membangun dan mengembangkan museum. Barahmus DIY sebagai asosiasi permuseuman diharapkan dapat membantu meningkatkan pengelolaan museum sehingga dapat meningkatkan jumlah kunjungan wisatawan ke museum. Tema mengenai peran Barahmus DIY sebagai asosiasi yang menaungi museum di Yogyakarta dalam pengembangan wisata khususnya wisata
8
museum ini menarik untuk dibahas, mengingat banyaknya museum anggota Barahmus DIY yang beberapa diantaranya telah maju namun beberapa anggota lainnya masih kurang berkembang.
1.2
Rumusan Masalah Penelitian Berdasarkan latar belakang di atas, rumusan masalah yang akan dibahas
dalam penelitian ini yaitu: 1. Apa saja peran Barahmus DIY dalam mengelola museum di Yogyakarta? 2. Bagaimana strategi yang tepat bagi pengembangan Barahmus DIY untuk mengoptimalkan perannya sebagai pengelola museum di Yogyakarta?
1.3
Tujuan Penelitian Berdasarkan rumusan masalah yang telah ditemukan, penelitian ini
dilakukan dengan tujuan untuk: 1. Mengetahui apa saja peran Barahmus DIY dalam mengelola museum di Yogyakarta. 2. Mengetahui cara yang paling optimal bagi pengembangan Barahmus DIY dalam mengelola museum di Yogyakarta.
1.4
Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat memberikan dua manfaat yang berupa
manfaat teoretis dan manfaat praktis. 1. Manfaat Teoretis
9
Berkaitan dengan bidang akademis, penelitian ini diharapkan dapat memberi pengetahuan mengenai peran lembaga pariwisata khususnya asosiasi Barahmus DIY. Penelitian ini juga diharapkan dapat memberi manfaat mengenai bagaimana penggunaan analisis SWOT untuk merumuskan strategi alternatif dalam melakukan pengembangan pada asosiasi pariwisata Barahmus DIY. 2. Manfaaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat memberi gambaran mengenai kekuatan, kelemahan, peluang, dan ancaman wisata museum yang ada di Yogyakarta. Penelitian ini juga diharapkan dapat bermanfaat bagi pihak Barahmus DIY sebagai bahan evaluasi dan masukan agar dapat mengelola museum dengan lebih baik. Bagi masyarakat pada umumnya, penelitian ini dapat dimanfaatkan sebagai referensi mengenai berbagai destinasi wisata museum yang ada di Yogyakarta.
1.5
Tinjauan Pustaka Tema yang akan dibahas dalam penelitian ini adalah peran dan
pengembangan sebuah lembaga pariwisata yaitu asosiasi Barahmus DIY, sebuah lembaga yang bergerak di bidang wisata museum. Berikut ini merupakan beberapa penelitian terdahulu yang memiliki kemiripan fokus penelitian dengan penelitian ini, yaitu penelitian-penelitian dengan tema mengenai peran sebuah lembaga pariwisata dalam melakukan pengembangan kegiatan wisata. Vincentia Ayu Larasati (2014) dalam penelitian berupa skripsi pada Program Studi Pariwisata, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada yang berjudul, “Analisis Peran Surabaya Tourism Promotion Board dalam Memasarkan
10
Wisata Kota Surabaya”. Analisis dilakukan terhadap peran pemerintah Kota Surabaya dalam memanfaatkan potensi wisata sejarah untuk dikembangkan menjadi sebuah produk wisata. Bidang Promosi Dinas Kebudayaan Pariwisata Kota Surabaya akhirnya mendirikan organisasi STPB (Surabaya Tourism Promotion Board) sebagai badan resmi yang bertugas dalam pengembangan pemasaran wisata Surabaya. STPB dalam hal ini telah melakukan perannya melalui beberapa kegiatan seperti pembuatan logo dan city branding “Sparkling Surabaya”, roadshow, fam trip, trade show, dan pembuatan event tahunan. Wiwik Vitrianingsih (2014) dalam penelitian berupa tesis pada Program Studi Ketahanan Nasional, Sekolah Pascasarjana, Universitas Gadjah Mada yang berjudul, “Peran Dinas Pariwisata dalam Pengembangan Sektor Pariwisata dan Implikasinya terhadap Ketahanan Ekonomi Wilayah”. Kebijakan pemerintah pusat dalam pelaksanaan otonomi daerah membuat pengembangan sektor pariwisata bergantung pada peran pemerintah daerah sebagai pembuat manajemen. Dinas Pariwisata, Kebudayaan, Pemuda dan Olahraga Kabupaten Sragen dalam hal ini mempunyai peran dan wewenang untuk melakukan promosi, kerjasama dengan stakeholder terkait, mengelola dan mengembangkan destinasi pariwisata untuk meningkatkan jumlah kunjungan wisata sehingga dapat meningkatkan pendapatan ekonomi daerah. Namun, hal tersebut masih terkendala kurangnya kualitas dan kuantitas SDM yang baik, lemahnya koordinasi antar stakeholder, terbatasnya anggaran yang dimiliki, dan kurangnya partisipasi masyarakat.
11
Apriyanti (2014) dalam penelitian berupa skripsi pada Program Studi Manajemen Dan Kebijakan Publik (Ilmu Administrasi Negara), Fakultas Ilmu Sosisal dan Politik, Universitas Gadjah Mada yang berjudul, “Interaksi dan Analisis Peran Stakeholder Kunci Dalam Pengembangan Desa Wisata Karang Tengah Kabupaten Bantul”. Pengembangan desa wisata yang meraih penghargaan nasional sebagai desa wisata terbaik tahun 2012 dalam keberhasilannya meningkatkan kualitas hidup masyarakat sekitar ini melibatkan tiga pihak stakeholder yaitu pubik, swasta, dan masyarakat lokal. Peran masing-masing dan interaksi antar stakeholder dapat menjadi kunci dalam pengembangan desa wisata ini. Michelle Risna Purwanti Suyanto (2012) dalam penelitian berupa tesis pada Program Studi Magister Teknik Arsitektur, Universitas Gadjah Mada yang berjudul, “Kualitas Peran Dan Kapasitas Keterlibatan Masyarakat Sebagai Faktor Pendukung Keberadaan Masyarakat Dalam Pengembangan Kepariwisataan, Studi Kasus Desa Wisata Kebonagung Kabupaten Bantul DIY”. Desa wisata unggulan di Kabupaten Bantul ini berkembang dengan mendapatkan dukungan dari masyarakat lokal. Dengan mengidentifikasi hal-hal yang dapat mendukung dan menjadi kendala dalam pengelolaan desa wisata didapatkan hasil bahwa masyarakat memang mempunyai keterlibatan langsung pada pengelolaan desa wisata. Keterlibatan masyarakat di sini masih cukup rendah dikarenakan masih rendah pula pemahaman mereka akan kesadaran wisata. Untuk mengantisipasi hal tersebut diperlukan adanya sosialisasi tentang sadar wisata pada masyarakat lokal
12
dan pendampingan secara berkala hingga masyarakat mampu mengelola Desa Wisata Kebonagung secara mandiri. Vincensius Agus Sulistya (2013) dalam penelitian berupa tesis pada Program Studi Pascasarjana Arkeologi, Fakultas Ilmu Budaya, Universitas Gadjah Mada yang berjudul, “Strategi Pengembangan Program Publik Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta”. Museum sebagai lembaga yang melayani masyarakat untuk kepentingan penelitian, pendidikan, dan rekreasi mempunyai kewajiban untuk melaksanakan program publik sebagai sarana untuk melibatkan masyarakat pada museum. Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta selama ini telah melaksanakan beberapa program publik namun, keberhasilannya masih perlu ditingkatkan. Dengan menggunakan analisis SWOT didapatkan strategi baru untuk melaksanakan program publik dengan meningkatkan pemahaman mayarakat terhadap museum sehingga dapat menarik kunjungan wisatawan dan dapat melakukan kunjungan kembali setelahnya. Meskipun terdapat beberapa kesamaan mengenai tema peran dan pengembangan wisata oleh stakeholder terkait. Namun, tidak ditemukan kesamaan lokus penelitian dengan objek penelitian Barahmus DIY. Dapat disimpulkan bahwa penelitian yang berjudul “Optimalisasi Peran Barahmus DIY dalam Pengembangan Museum Sebagai Daya Tarik Wisata di Yogyakarta” belum pernah dilakukan sebelumnya.
1.6
Landasan Teori
13
Penelitian ini membahas mengenai peran Barahmus DIY dalam mengelola museum di Yogyakarta dan pengembangan Barahmus DIY dalam mengelola museum di Yogyakarta, maka landasan teori yang dipakai hanya difokuskan pada pembahasan mengenai wisata budaya khususnya museum. Middleton (dalam Yoeti, 2010: 27-29) mengungkapkan bahwa daya tarik wisata terdiri dari empat bagian, yaitu; 1. Natural Attractions, yaitu daya tarik wisata yang bersifat alamiah dan terdapat secara bebas yang dapat dilihat dan disaksikan setiap waktu; 2. Build Attractions, yaitu bangunan-bangunan dengan arsitektur kuno, jembatan, rumah-rumah ibadah (gereja, masjid, wihara, kuil atau pura), serta gedung-gedung perkantoran bekas penjajahan Belanda; 3. Cultural Attractions, termasuk kelompok ini yaitu peninggalan lama, petilasan, bekas kerajaan, candi, dan museum; 4. Traditional Attractions, yaitu tata cara hidup suatu etnis, masyarakat terasing, adat istiadat, festival kesenian, floklore suatu bangsa.
Dari prespektif Middleton tersebut diketahui bahwa kegiatan mengunjungi museum dapat dikategorikan sebagai jenis cultural attractions atau daya tarik wisata budaya. Wisata budaya menurut Damardjati (2009: 19) adalah gerak atau kegiatan wisata yang dirangsang oleh adanya objek-objek wisata yang berwujud hasil-hasil seni budaya setempat: adat istiadat, upacara agama, tata hidup masyarakat, peninggalan sejarah, hasil seni, kerajinan-kerajinan rakyat dan sebagainya. Pengertian wisata budaya menurut Damardjati ini sesuai dengan
14
penjelasan mengenai definisi museum. Definisi museum menurut Akbar (2010: 2) adalah museum digunakan sebagai tempat menyimpan koleksi baik alam maupun budaya dan aktivitas yang bertujuan untuk dapat dimanfaatkan seluas-luasnya oleh masyarakat umum. Museum dapat berupa ruangan, anjungan, keraton, istana, benteng, kompleks makam, laboratorium pusat atau unit, atau tempat apapun sepanjang pengelola menyebutnya sebagai museum. Ishaq (1999 dalam Munandar, 2011: 4) menjelaskan bahwa museum adalah lembaga yang bersifat tetap, tidak mencari keuntungan, melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang mengumpulkan, merawat, dan memamerkan untuk tujuan-tujuan penelitian, pendidikan, dan hiburan. ICOM (International Council of Museum) sebagai sebuah lembaga resmi permuseuman tingkat dunia juga turut memberikan pengertian mengenai museum. Menurut ICOM, a museum is a non profit making, permanent institution in the service of society and of its development and open to the public, which acquires, conserves, communicates and exhibits for purposes of study, education and enjoyment, material evidence of man and environment. Definisi museum menurut ICOM tersebut dapat diartikan bahwa museum adalah lembaga non-profit yang bersifat permanen yang melayani masyarakat dan perkembangannya, terbuka untuk umum, yang bertugas untuk mengumpulkan, melestarikan, meneliti, mengkomunikasikan, dan memamerkan warisan sejarah kemanusiaan yang berwujud benda dan tak-benda beserta lingkungannya, untuk tujuan pendidikan, penelitian, dan hiburan (Akbar, 2010: 1-2).
15
1.7
Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengumpulkan data dari observasi,
wawancara,
dan
studi
pustaka
berupa
data
deskriptif
dan
analisis
pengembangannya menggunakan analisis data SWOT.
1.7.1
Metode Pengumpulan Data Pengumpulan data yang dilakukan penulis dalam penelitian ini adalah:
1. Observasi Observasi merupakan metode pengumpulan data yang dilakukan dengan cara mengamati langsung sebuah kegiatan. Untuk melakukan observasi, peneliti datang dan mengamati secara langsung apa saja kegiatan yang dilakukan oleh pengurus asosiasi Barahmus DIY dalam mengelola museum. Observasi dilakukan pada bulan April-Mei 2015 di kantor kesekertariatan Barahmus DIY di Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta dan beberapa museum anggotanya sebagai objek yang dikelola oleh Barahmus DIY yaitu Museum Benteng Vredeburg Yogyakarta, Museum Pendidikan Indonesia UNY, Museum Dewantara Kitri Griya Tamansiswa, Museum RS Mata dr. Yap, dan Museum Sandi Negara. 2. Wawancara Data yang diperoleh dalam penelitian ini didapatkan melalui wawancara secara langsung dengan pertanyaan terstruktur yang telah disusun oleh peneliti. Wawancara dilakukan kepada para pengurus dan beberapa praktisi permuseuman anggota Barahmus DIY. Untuk memperoleh data atau informasi yang dapat dipertanggungjawabkan, narasumber yang dipilih dalam penelitian ini adalah
16
Bapak Asroni selaku Sekertaris Barahmus DIY, Bapak Asnan Arifin selaku Sekertaris Umum Barahmus DIY, Bapak Benny Sugito selaku Bendahara Barahmus DIY, dan Bapak RM Donny Surya Megananda selaku Kepala Bidang IT dan Kerjasama Barahmus DIY dan Bapak Budiharja selaku praktisi permuseuman. Data lain dari pengelola museum anggota Barahmus DIY didapatkan melalui wawancara dengan Ibu Dwi Ana Sitoresmi dan Arfina Rosanjani dari Museum RS Mata dr. Yap serta Irwan Haris Wibawa dari Museum Sandi Negara. Proses pengumpulan data melalui wawancara ini telah dilakukan pada bulan April-Mei 2015. 3. Studi Pustaka Metode studi pustaka dilakukan dengan mengumpulkan informasi yang relevan dengan tema penelitian dari buku, jurnal ilmiah, internet, serta laporan penelitian tugas akhir yang berkaitan dengan materi penelitian skripsi. Hasil penelitian berupa tugas akhir berupa skripsi dan tesis yang relevan dengan materi penelitian mengenai peran dan pengembangan lembaga pariwisata digunakan sebagai tinjauan pustaka, sedangkan informasi dari buku dan artikel ilmiah lainnya digunakan untuk mendapatkan informasi gambaran umum Barahmus DIY dan sebagai teori acuan untuk merumuskan dan menganalisis peran maupun pengembangan bagi Barahmus DIY.
1.7.2
Metode Analisis Data Dengan data deskriptif yang didapat melalui observasi, wawancara, dan
studi pustaka, tahapan penelitian selanjutnya adalah melakukan analisis terhadap
17
data tersebut. Seperti yang telah dijelaskan sebelumnya bahwa penelitian ini berusaha menjawab dua rumusan masalah, yaitu berkaitan dengan peran Barahmus DIY dan strategi pengembangannya. Untuk menjawab rumusan masalah tersebut, penelitian ini dilakukan dengan sifat kualitatif. Analisis data dilakukan untuk menemukan strategi alternatif dalam upaya mengoptimalkan peran Barahmus DIY dalam mengelola museum.
1.7.2.1 Pengembangan Barahmus DIY Untuk merumuskan strategi alternatif pegembangan Barahmus DIY dalam upaya mengoptimalkan perannya mengelola museum, analisis data yang akan digunakan dalam penelitian ini adalah metode analisis data SWOT. SWOT adalah metode perencanaan yang digunakan untuk mengetahui faktor internal berupa kekuatan (strengths) dan kelemahan (weaknesses) serta faktor eksternal berupa peluang (opportunities) dan ancaman (threats) dari sebuah produk. Faktor internal dan eksternal tersebut kemudian dianalisis menggunakan metode IFAS (Internal Factor Analysis Summary) dan EFAS (Eksternal Factor Analysis Summary). Analisis IFAS dilakukan dengan cara memberikan bobot pada masing-masing faktor internal dari mulai 0,0 (tidak penting) dan 1,0 (sangat penting) dan hasil penjumlahan dari seluruh bobot faktor internal (jumlah bobot strenghts dan weeknesses) ini adalah 1,00. Setelah bobot, hitung rating dari masing-masing faktor internal dari skala 1-4. Pada faktor kekuatan rating 4 menunjukkan semakin besar kekuatan dan sebaliknya pada bagian kelemahan, rating 4 menunjukkan kelemahan yang kecil.
18
Tabel 1.5 IFAS Faktor Internal Kekuatan
Bobot
Rating
1. Kekuatan 1 2. Kekuatan 2, dst. Jumlah
1-4 1-4
Faktor Internal Kelemahan
Bobot
Rating
1. Kelemahan 1 2. Kelemahan 2, dst. Jumlah Total
Skor Bobot x Rating
Skor Bobot x Rating
1-4 1-4
1,00 (jumlah bobot kekuatan + jumlah bobot kelemahan)
(Sumber: Rangkuti, 2014: 26) Analisis EFAS dilakukan dengan cara memberikan bobot pada masingmasing faktor eksternal dari mulai 0,0 (tidak penting) dan 1,0 (sangat penting) dan hasil penjumlahan dari seluruh bobot faktor eksternal (opportunities dan threats) ini adalah 1,00. Setelah bobot, hitung rating dari masing-masing faktor eksternal dari skala 1-4. Semakin positif peluang maka rating yang diberikan adalah 4, sedangkan untuk ancaman adalah kebalikkannya, rating 1 menunjukkan semakin besar ancamannya. Tabel 1.6 EFAS Faktor Internal Peluang
Bobot
1. Peluang 1 2. Peluang 2, dst. Jumlah
Skor Bobot x Rating
1-4 1-4
Faktor Internal Ancaman
Bobot
1. Ancaman 1 2. Ancaman 2, dst. Jumlah Total
Rating
Rating 1-4 1-4
1,00 (jumlah bobot peluang + jumlah bobot ancaman)
(Sumber: Rangkuti, 2014: 27)
Skor Bobot x Rating
19
Hasil dari analisis EFAS dan IFAS tersebut kemudian digunakan untuk melakukan perencanaan pengembangan sebuah produk melalui matrik SWOT (Strenghts, Weaknesses, Opportunities, dan Threats). Penggunaan analisis SWOT ini dimaksudkan agar ditemukan cara atau strategi alternatif untuk meningkatkan peran Barahmus DIY dalam pengembangan museum di Yogyakarta. Tabel 1.7 Matrik Analilis SWOT INTERNAL
KEKUATATAN (Strengths) Tentukan 5-10 faktor kekuatan
EKSTERAL
KELEMAHAN (Weaknesses) Tentukan 5-10 faktor kelemahan
Strength-Opportunities
Weakness-Opportunities
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk memanfaatkan peluang
Ciptakan strategi yang meminimalkan kelemahan untuk memanfaatkan peluang
Strength-Threat
Weakness-Threat
Ciptakan strategi yang menggunakan kekuatan untuk mengatasi ancaman
Ciptakan strategi untuk meminimalkan kelemahan untuk menghindari ancaman
PELUANG (Opportunities) Tentukan 5-10 faktor peluang
ANCAMAN (Threast) Tentukan 5-10 faktor ancaman
(Sumber: Rangkuti, 2014: 83) Empat kemungkinan alternatif strategis yang didapatkan dari matriks SWOT adalah Strategi Strenght-Opportunities (S-O) yaitu srategi yang dibuat dengan memanfaatkan seluruh kekuatan untuk merebut dan memanfaatkan peluang sebesar-besarnya. Strategi Strenght-Threat (S-T) adalah strategi dengan menggunakan kekuatan yang dimiliki perusahaan untuk mengatasi ancaman. Strategi Weeknes-Opprtunities (W-O) diterapkan berdasarkan pemanfaatan peluang yang ada dengan cara meminimalkan kelemahan yang ada. Strategi Weknesses-Threat (W-T) didasarkan pada kegiatan yang bersifat defensif dan
20
berusaha meminimalkan kelemahan yang ada serta menghindari ancaman (Rangkuti, 2014: 84).
1.8
Sistematika Penulisan Bab I – Pendahuluan, yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan
masalah, tujuan dan manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, metode penelitian, dan sistematika penulisan laporan penelitian. Bab II – Gambaran Umum Barahmus DIY, yang menerangkan Profil Barahmus DIY meliputi latar belakang berdirinya Barahmus DIY, sejarah berdirinya Barahmus DIY, tujuan asosiasi Barahmus DIY, lambang Barahmus DIY, lokasi Barahmus DIY, anggota Barahmus DIY, struktur organisasi Barahmus DIY, sumber dana Barahmus DIY, dan kegiatan apa saja yang dilakukan oleh Barahmus DIY. Bab III – Pembahasan, membahas peran Barahmus DIY dalam mengelola wisata museum di Yogyakarta. Pengembangan Barahmus DIY yang didapat dari analisis IFAS dan EFAS dan dianalisis menggunakan matriks SWOT untuk merumuskan cara yang optimal bagi Barahmus DIY untuk mengelola museum di Yogyakarta. Bab IV – Penutup, menyampaikan kesimpulan dan saran atas jawaban dari rumusan masalah yang telah dikemukakan pada Bab I yaitu peran Barahmus dan pengembangan wisata museum di Yogyakarta.