BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Sejak rokok daun tembakau dipopulerkan pada abad XVI di Eropa, jumlah
perokok terus meningkat secara kuantitasnya, merokok dapat berbahaya bagi kesehatan dan merugikan masyarakat luas. Walaupun Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mengkampanyekan gerakan tidak merokok dengan menetapkan 31 Mei sebagai Hari Tidak Merokok Sedunia, perkembangan manusia yang merokok belum mengalami kemunduran, bahkan cenderung berkembang di negara-negara yang sedang membangun (Sitepoe, 1997 :1-2). Sejarah rokok di Indonesia tidak bisa dilepaskan dengan kebiasaan masyarakat di pulau Jawa. Pada tahun 1700-an sampai dengan 1800-an yang mengkonsumsi Candu (opium) ketika Pemerintah Kolonial Belanda menjadikan candu sebagai komoditas perdagangan yang penting untuk dimonopoli serta menjadi obyek pajak. Opium atau bunga poppy (papaver somniferum) diduga didatangkan dari Turki dan Persia yang dibawa oleh saudagar Arab ke pulau Jawa . Sebagai komoditas yang penting, candu pada awalnya diperebutkan bersama oleh Inggris, Denmark dan Belanda, tetapi kemudian Belandalah yang memenangkan monopoli perdagangan dengan menggunakan para elit China sebagai pelaksananya. Pada tahun 1677 melalui VOC( Vereenigde Ost Indische Companie), Belanda
membuat perjanjian yang disetujui oleh Amangkurat II
1
untuk memasukkan candu ke Mataram dan memonopoli perdagangan candu tersebut, hal ini diikuti dengan perjanjian serupa di Cirebon setahun kemudian. Sejak tahun 1619-1799 VOC bisa memasukkan 56.000 kg opium mentah setiap tahun ke Jawa dan pada 1820 tercatat ada 372 pemegang lisensi untuk menjual opium. Dampak negatif candu meluas termasuk pemakaian uang yang cukup besar untuk belanja candu, bahkan juga di kelas pekerja buruh. Pada tahun 1882, pakar candu Henri Louis Charles Te Mechelen menyatakan bahwa satu dari dua pulah orang Jawa mengisap candu. Penikmat candu tersebar di berbagai kalangan dan meluas di Jawa khususnya Jawa Tengah dan Jawa Timur. Pada papan atas, candu dikonsumsi sebagai gaya hidup, disuguhkan sebagai tanda kehormatan bagi tetamu di rumah para bangsawan Jawa dan China. Kelompok masyarakat lain yang bukan papan atas juga menjadi pecandu, meskipun kebanyakan mengonsumsi candu kualitas rendah. Mereka adalah kaum pengembara musisi, seniman teater rakyat, pedagang keliling dan tukang-tukang upahan di perkebunan yang memakai candu untuk menikmati sensasi khayali, merajut mimpi dan mengurangi pegal-pegal di badan. Dapat disimpulkan bahwa kebiasaan masyarakat yang menghisap candu pada saat itu sama dengan kebiasaan masyarakat Indonesia dalam menghisap rokok pada masa kini ( Scott, 2008). Sejarah rokok di Indonesia dimulai dengan ditemukannya rokok kretek sebagai produk asli bangsa Indonesia tahun 1870 di Kudus, Seorang Haji
Djamhari
yang mengalami
penyakit
Jawa Tengah.
dada, ia mencoba
menyembuhkan penyakitnya dengan minyak cengkeh yang digosokkan di bagian
2
dada dan punggungnya. Cara pengobatan ini membuat kondisinya membaik, dan ia mencoba mengunyah cengkeh sebagai obat dan kondisinya pun semakin membaik daripada menggosokannya di bagian dada dan punggung. Kemudian ia membuat ramuan dengan memakai cengkeh sebagai obat yang dipadukan dengan tembakau dan dibungkus dengan daun jagung (klobot) dan dibakar untuk mengatasi sakit di bagian dadanya. Asap dari ramuan yang dibakar tersebut kemudian dihisap sampai paru-paru yang membuat nafas menjadi lega. Kemudian hal ini dilakukan secara berulang-ulang sehingga membentuk kebiasasaan yang berkembang menjadi tradisi merokok kretek. Istilah kretek ini sendiri muncul dari bunyi kretek-kretek ketika ramuan ini dibakar. Kenikmatan luar biasa ini menyebar kepada teman-teman dan kerabatnya, serta dengan cepat ke seluruh daerah sekitar tempat tinggalnya. Semakin bertambahnya hari, permintaan kepada Haji Dhamari semakin meningkat dan membuatnya memproduksi dalam jumlah yang banyak. Demikianlah ramuan tersebut ditujukkan sebagai obat,namun berkembang menjadi cikal bakal industri rokok kretek di Indonesia.( Jaya, 2013: 17-19). Rokok berkembang menjadi barang industri di Indonesia, pada tahun 2001 di seluruh Indonesia tercatat terdapat 838 perusahaan rokok yang terdiri dari 7 perusahaan rokok besar, 24 perusahaan rokok menengah, 252 perusahaan rokok kecil dan 456 perusahaan rokok rumahan. Pada tahun 2001 industri cukai rokok mampu menyumbang pendapatan negara sebesar Rp 18,26 trilyun dari 227,16 milyar batang yang dihasilkan oleh 838 perusahaan rokok yang ada di Indonesia. Pada tahun 2011 jumlah tersebut melonjak menjadi Rp 68,7 trilyun (Jaya 2013:
3
22). Peningkatan pendapatan rokok tidak berhenti sampai disini, ditunjukkan dengan penerimaan negara dari cukai pada tahun 2012 sebesar 84 trilyun dan tahun 2013 sebesar 100 trilyun dengan produksi 343 milyar batang rokok. Peningkatan cukai rokok untuk pendapatan negara menjadikan rokok sebagai salah satu komoditi utama yang dikelola oleh negara Indonesia. Hal ini menjadikan negara Indonesia tidak dapat bertahan tanpa adanya sebab penerimaan negara dari cukai rokok sebesar 95 persen dari total penerimaan cukai (Agung, 2014). Menurut data Gatra terdapat 18 juta orang Indonesia yang kehidupannya secara langsung ataupun tidak langsung tergantung pada produk rokok. Mereka mendapat manfaat ekonomi dari perputaran industri tembakau di Indonesia. Selain itu negara mendapatkan keuntungan dari pajak cukai yang dibayarkan perusahaanperusahaan rokok. Hal ini terlihat seperti masalah yang dilematis yang dapat digambarkan seperti madu dan racun (sisi postif dan negatif). Sisi positifnya, rokok menjadi keuntungan ekonomi yang besar bagi negara berupa pajak dan sisi negatifnya, rokok merusak kesehatan masyarakat Indonesia itu sendiri (Jaya, 2013 : 22-23). Berdasarkan data Penelitian Hasil penelitian terbaru Institute for Health Metrics and Evaluation (IHME) di University of Washington yang berjudul ”Smoking Prevalence and Cigarette Consumption in 187 Countries, 1980-2012” yang diterbitkan pada tanggal 8 Januari 2014 di Journal of the American Medical Association dalam edisi khusus yang didedikasikan untuk membahas masalah tembakau, Indonesia mengalami kenaikan jumlah perokok selama periode 1980
4
hingga 2012. Jumlah pria perokok di Indonesia tercatat sebagai yang kedua tertinggi di dunia sebesar 57 persen, setelah Timor-Leste sebesar 61,1 persen. Jumlah pria perokok di Indonesia telah meningkat sebanyak dua kali lipat sejak 1980. Menurut penelitian tersebut, prevalensi kebiasaan merokok di Indonesia juga memperlihatkan kecenderungan peningkatan hingga 2012, diperkirakan sebanyak 52 juta orang merokok di Indonesia. Indonesia merupakan satu dari 12 negara yang menyumbangkan angka sebanyak 40 persen dari total jumlah perokok dunia. Pada 2012, 57 persen pria Indonesia digolongkan sebagai perokok aktif, dan tercatat sebagai yang kedua tertinggi di dunia. Sementara itu, prevalensi merokok pada wanita di Asia dan Asia Tenggara pada 2012, Indonesia berada di urutan keenam (3,6 persen) di bawah Laos, Filipina, Myanmar, Timor-Leste, Kamboja, tetapi masih di atas Thailand, China, Vietnam, dan Malaysia (Fajri, 2014). Dalam skripsi Yohana Endrawati (2003), yang mengkutip dari koran kompas yang berjudul
“Pembatasan Rokok Menjadi Prioritas Utama”, yang
diterbitkan pada tanggal 2 April 2002 menyatakan bahwa kesadaran masyarakat terhadap adanya bahaya rokok sebenarnya cukup tinggi dan hal ini didukung oleh maraknya program pengurangan rokok di masyarakat. Bahkan, organisasi kesehatan Dunia (WHO) yang dalam situsnya menyatakan bahwa di masa-masa mendatang kanker akan semakin menonjol sebagai salah satu beban penyakit di dunia. Oleh karena itu, WHO menetapkan bahwa pembatasan rokok menjadi prioritas utama. Rokok dipandang paling mendesak untuk dikurangi karena asap rokok mengandung berbagai senyawa beracun & pembatasan rokok berarti
5
menyelamatkan perokok dan lingkungan sekitar dari ancaman kanker. Meskipun demikian, masih banyak perokok aktif di masyarakat, termasuk di dalamnya para mahasiswa. Berdasarkan Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2013, prevalensi perokok menurut pendapatan, yakni pendapatan termiskin sebesar 43, 8 persen, sedangkan pendapatan terkaya sebesar 29,4 persen. Kemudian, prevalensi perokok di Indonesia menurut pendidikan adalah tidak tamat sekolah atau SD sebesar 37,7 persen dan tamat perguruan tinggi 26, 7 persen (Ruli, 2015). Dengan tingginya prevalensi perokok yang tamat dari perguruan tinggi sebesar 26,7 persen menjadi indikator bahwa walaupun sudah memiliki pendidikan yang tinggi tidak menjamin bahwa para kaum intelektual tidak merokok. Hal itu disebabkan karena terjadi hubungan disonan (tidak harmonis) antara tingkat pengetahuan dengan sikap yang diambil perokok yang tamat dari perguruan tinggi, begitu juga mahasiswa yang memiliki kebiasaan merokok. Mayoritas Mahasiswa perokok menganggap merokok adalah lambang kedewasaan, kejantanan, percaya diri dan gengsi. Pada remaja kalangan sosial ekonomi bawah, merokok bisa menghilangkan kebosanan menghindari stres di rumah, dan 80 persen mengatakan merokok sebagai kompensasi terhadap rasa rendah diri. Merokok pertama kali tidak enak, tetapi saat menghisap batang keempat, mereka kemudian dapat jadi perokok aktif dalam jangka panjang (Kompas, 2008). Tingginya perokok usia muda dipengaruhi oleh lingkungan dimana seseorang berinteraksi dan lingkungan sosial yang berkembang memiliki kontrol
6
sosial yang rendah. Interaksi sosial merupakan suatu hubungan sosial yang dinamis, yang menyangkut hubungan antara orang-perorangan, antara kelompokkelompok manusia, maupun antara orang-perorangan dengan kelompok manusia (Soekanto, 1990 :67). Banyak cara yang dapat dilakukan manusia untuk berinteraksi, salah satu interaksi yang dapat dilakukan melalui rokok. Rokok dapat mempermudah interaksi namun juga dapat mempersulit interaksi tersebut. Hal ini dapat dilihat di kehidupan sehari-hari ketika perokok menawarkan rokok sebagai salam perkenalan yang menunjukkan bahwa Ia ingin berteman, namun di satu sisi perokok pada saat ini mulai terasingkan dengan peraturan-peraturan yang muncul yang membatasi perokok. Meningkatnya pengetahuan masyarakat akan bahaya menjadi perokok aktif maupun pasif menciptakan berbagai tanda larangan (banner) merokok di tempat-tempat tertentu yang menjadi ruang publik bagi masyarakat dengan peraturan-peraturan tertentu. Perubahan ini merupakan sebuah fenomena sosial yang mana adanya larangan para perokok dalam mengkonsumsi rokok secara sembarangan. Larangan masyarakat yang eksplisit tentang perokok merupakan konstruksi sosial yang secara tidak langsung membatasi para perokok dengan bebas di ruang publik. Ruang publik dalam hal ini merupakan suatu ruang sosial (ruang non-fisik) yang diproduksi oleh tindakan komunikatif. Ruang publik juga bukan suatu institusi atau organisasi politik,tetapi suatu ruang tempat warganegara terlibat dalam dileberasi diagonal mengenai isu publik. Juga bukan institusi pengambilan keputusan,bukan pula suatu pertemuan publik dengan agenda tertentu. Ruang publik mengaitkan “apa yang ada dalam diri kita (idiom)” dengan
7
apa yang komunal (koinon)”, “ makna pengalaman personal” dengan “makna dunia politik”. Pembicaraan politik sehari-hari dalam ruang publik menjadi hal yang ditransformasikan pada ruang privat dan ruang publik (Hardiman, 2000:270) . Pembatasan para perokok dalam ruang publik didukung masyarakat secara luas, termasuk anggota civitas akademika Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Universitas Gadjah Mada (UGM) merupakan salah satu Universitas terbesar di Indonesia dan berlokasi di Bulaksumur, Yogyakarta . Universitas Gadjah Mada diresmikan oleh Pemerintah Republik Indonesia pada tanggal 19 Desember 1949 dan memiliki 6 Fakultas yaitu Fakultas Kedokteran, Fakultas Hukum, Fakultas Teknik, Fakultas Sastra dan Filsafat, Fakultas pertanian dan Fakultas Kedokteran Hewan. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik UGM pada awalnya adalah Akademi Ilmu Politik yang didirikan untuk menyelenggarakan pendidikan kepada calon birokrat dalam bidang pemerintahan dalam negeri, urusan luar negeri dan penerangan di awal kemerdekaan Indonesia
yang
diintegrasikan dalam „Universteit Gadjah Mada‟ yang pada tahun 1952 masuk dalam Fakulteit Hukum yang berubah nama menjadi Fakulteit Hukum, Ekonomi, Sosial dan Politik. Pada 19 Oktober 1955, Fakultas Ilmu Sosial dan Politik kemudian dibentuk terpisah berubah nama menjadi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, disingkat Fisipol. Fakultas Ilmu Sosial dan Politik memiliki 5 program studi/ jurusan yaitu Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, Jurusan Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Komunikasi, Jurusan Politik dan Pemerintahan,
8
Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dan Jurusan Sosiologi
(Tim
Penyusun Buku Panduan Akademik, 2010, 224-225). Dalam salah satu prinsip filsafat Hegel, yakni bahwa segala sesuatu adalah sintetis dialektis dari momen-momen sebelumnya. Kebebasan yang telah aktual atau konkret tercapai dengan sendirinya, Hegel menyebut momen ini sebagai hukum abstrak. Hukum abstrak adalah tanda dan pengalaman pertama akan kebebasan. Aktualisasi kebebasan pada momen ini terdapat pada kepemilikan benda-benda (Eigentum). Kepemilikan atau hak milik adalah tanda kebebasan yang paling minimal. Orang bebas menjalankan kehendaknya atas benda-benda yang dimilikinya. Hukum di sini disebut abstrak karena ia hanya terbatas pada kehendak langsung yang bersifat personal dari individu, sementara hukum yang konkret adalah hukum yang telah terinstitusionalisasi secara sosial-politis (Hardiman, 2000: 128). Adanya pandangan Hegel terhadap hukum abstrak ini dapat dilihat sebagai individu yang memiliki kebebasan dan kekuasaan terhadap benda yang dimilikinya di ruang publik. Mahasiswa yang memiliki kebebasan melakukan hal apapun di ruang publik yang tanpa disadari melanggar hukum konkret dan dapat menganggu aktivitas akademik. Perbub Kabupaten Sleman no. 42 tahun 2012 tentang Kawasan Tanpa Rokok (KTR) dapat dipandang sebagai hukum
konkret yang telah terinstitusionalisasi secara sosial-politis oleh
pemerintah Kabupaten Sleman dan diterapkan dalam wilayah Fakultas Ilmu Sosial dan Politik. Penelitian ini menunjukkan bahwa Fisipol memiliki beberapa ruang untuk merokok dan beberapa banner tentang larangan merokok. Dalam penelitian ini,
9
mahasiswa perokok Fisipol sangat jarang sekali terlihat melakukan kebiasaannya merokok pada ruang merokok namun seringkali melakukan kebiasaan merokok di tempat yang bukan ruang merokok seperti di kantin, di selasar, di taman dan di sekitar area gedung Fisipol lainnya. Ini menunjukkan bahwa ruang merokok sangat minim digunakan para perokok untuk melakukan kebiasaan merokok dan menimbulkan keraguan terhadap Fisipol sebagai Kawasan Tanpa Rokok itu sendiri. Ini menjadi hal yang dilematis ketika adanya peraturan bupati yang menetapkan Fisipol yang merupakan ruang publik sebagai
Kawasan Tanpa
Rokok (KTR), namun masih terjadi pelanggaran yang dilakukan para civitas akademik Fakultas Ilmu Sosial dan Politik sebagai komunitas yang memiliki pengetahuan yang tinggi. Adanya hubungan yang tidak harmonis antara perilaku merokok para civitas akademik Fisipol dengan Fisipol sebagai Kawasan Tanpa Rokok (KTR) yang juga merupakan ruang publik menjadi menarik perhatian dalam penelitian ini.
10
B.
Rumusan Masalah Berangkat dari uraian di atas, peneliti merumuskan permasalahan utama
menjadi dua pertanyaan besar, yaitu:
Bagaimana perilaku merokok mahasiswa di ruang publik kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik?
Bagaimana pandangan para perokok dan non-perokok terhadap fasilitas ruang merokok di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada?
C.
Tujuan Penelitian Berdasarkan latar belakang dan rumusan masalah yang telah dipaparkan
sebelumnya, maka penelitian ini bertujuan untuk:
Mengetahui perilaku merokok mahasiswa di ruang publik kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik.
Mengetahui pandangan para perokok dan non-perokok terhadap fasilitas ruang merokok di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada.
D.
Manfaat Penelitian Sebagai masukan kepada masyarakat secara umum dan secara khusus
Fakultas Ilmu Sosial dan Politik dalam memandang perokok. Memberikan gambaran mengenai perokok dalam berinteraksi dan bersosialisasi. Merokok bukanlah kegiatan yang dilakukan oleh semua orang, namun perokok juga
11
mendapatkan pengertian akan hak orang lain untuk menghirup udara bersih dan hak perokok tersebut dalam menghisap rokok. Penelitian ini diharapkan memberikan pengertian dan pandangan kepada masyarakat bahwa para perokok juga merupakan mahluk sosial yang berhak dalam berinteraksi di ruang publik dengan siapapun dengan aturan-aturan yang sudah diterapkan. Penelitian ini bermanfaat untuk mengetahui tentang kebiasaan merokok yang seharusnya dilakukan di dalam Kawasan Tanpa Rokok. E.
Tinjauan Pustaka Merokok adalah menghisap rokok dengan/atau dari mulut ke paru-paru
dan menghembuskannya kembali. Kamus besar bahasa Indonesia juga mendefenisikan kata merokok secara sederhana sebagai “menghisap rokok” (Kamus besar bahasa Indonesia, 1988:752). Defenisi merokok menurut Webster‟s New Twentieth Century Dictionary
mendefenisikan kata merokok, dan
menjelaskan bahwa “to smoke is to draw the smoke of or from (tobacco, a pipe, cigar, etc) into mouth, and often lungs, and blow it out again”. Dari beberapa pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa merokok adalah suatu tindakan mengkonsumsi rokok melalui mulut ke paru-paru dan mengeluarkannya kembali (Yohana,2003). Kebiasaan merokok yang sebenarnya telah lama muncul sejak zaman kuno. Pembelajaran mengenai fenomena ini menunjukkan banyak bukti tentang hal tersebut. Dari hasil penelitian Singer dalam skripsi Yohana Endrawati (2003:8) menyatakan bahwa:
12
“The study of phenomenon of tobacco smoking has uncovered considerable archaeological evidence that it has existed for at least ten centuries. The use of tobacco smoking at first had religious significance and served as a signal of both peace and welcome to strangers. It is also believed by many sociologist an psychologists that smoking of tobbacco in modern society has a somewhat similar purpose in that the offer a ciggarerette to others is a gesture that indicates friendliness.” Hasil penelitian tersebut dapat diartikan bahwa aktivitas merokok ini semula mempunyai arti yang sangat signifikan dalam kehidupan masyarakat. Hal ini disebabkan oleh adanya makna yang didapatkan dari aktivitas merokok. Aktivitas merokok menjadi penanda kedamaian, dan aktivitas merokok pada mulanya mempunyai suatu makna sosial. Singer menambahkan bahwa menawarkan rokok kepada orang lain mengindikasikan adanya unsur keramatamahan dan penerimaan terhadap seseorang atau sekelompok orang. Stanford S. Singer merupakan salah satu peneliti yang menemukan alasanalasan dari perokok tentang kebiasaannya. Dia menyatakan bahwa terdapat dua alasan pokok dari individu itu merokok . Yang pertama adalah bahwa tembakau bersifat adiktif, sehingga menyebabkan ketagihan. Yang kedua adalah bahwa perokok “terpaksa” merokok karena adanya tekanan dari peer group (kelompok sebaya), dan adanya propaganda atau ajakan dari berbagai iklan yang mendorong mereka untuk merokok.
13
Cornwath dan Miller membedakan kebiasaan merokok sebagai (1) dorongan psikologis : rasanya sebagai rangsangan seksual melalui mulut waktu merokok, sebagai ritual, menunjukkan kejantanan (bangga diri), mengalihkan kecemasan, menunjukkan kedewasaan, serta rangsangan mulut melalui jari-jari pada saat merokok; (2) dorongan fisiologis: adiksi (ketagihan) tubuh terhadap kandungan rokok berupa nikotin atau disebut dengan kecanduan terhadap nikotin (Sitepoe, 1997: 58 ). Suatu teori menerangkan fungsi media massa (iklan) terhadap masyarakat yang sedang berkembang, yang di dalamnya memuat fungsi media massa (iklan) tersebut bagi pembentukan perilaku sosial. Kata perilaku sosial perlu dijelaskan terlebih dahulu, bahwa “perilaku sosial” adalah perilaku pribadi sebagai tanggapan terhadap lingkungan sosial” (Soekanto, 1983:53). Dalam skripsi Yohana Endawati menerangkan bahwa Hedebro juga menyebutkan dua belas fungsi media massa tetapi hanya satu fungsi saja yang menejelaskan dan mengarah pada pembentukan perilaku sosial. Hedebro mengatakan “the mass media can create a climate for change by inducing new values,attitudes,and modes of behaviour favorable to modernization” . Dengan demikian, media massa yang termasuk di dalamnya iklan dapat menciptakan iklim yang membuat suatu perubahan dengan “menampilkan” nilai, sikap dan perilaku yang baru. Seluruh nilai, sikap, dan perilaku tersebut mengarah kepada modernisasi. Jadi perilaku sosial yang baru dapat diperkenalkan dan diwujudkan melalui media massa karena kemampuan media massa dalam menciptakan iklim yang sesuai dengan perubahan ini. Hal di atas dapat diterapkan dalam fenomena mahasiswa perokok,
14
dikarenakan media massa dapat mempengaruhi perilaku pribadi para mahasiswa perokok dengan mengarahkannya, bahwa merokok adalah suatu hal yang menarik. Singer menerangkan bahwa “other related social aspects of tobacco smoking include feelings of oneness(or togetherness) that are reported to exist among groups of people who smoke together”. Jadi, para perokok merasakan adanya kebersamaan yang secara tidak langsung dibangun ketika di dalam satu kelompok ini mereka melakukan aktivitas tersebut. Dari pernyataan di atas dapat dipahami bahwa rokok memuat berbagai simbol atau makna. Simbol dan makna inilah yang kemudian digunakan para perokok untuk mempelancar interaksi atau pergaulan mereka. Dari pernyataan tersebut, tampak bahwa setiap individu memaknai perilaku orang lain dan berusaha untuk memahami serta merespons perilaku mereka. Dengan demikian setiap perilaku mempunyai makna, simbol dan nilai, yang kemudian dipahami bersama,kaitannya hal ini juga terjadi dengan perilaku merokok. F. 1.
KERANGKA TEORI Teori Interaksionisme Simbolik Untuk mempelajari interaksi sosial digunakan pendekan tertentu, yang dikenal dengan nama interactionist perspective. Di antara berbagai pendekatan yang digunakan untuk mempelajari interaksi sosial, dijumpai pendekatan yang dikenal dengan nama interaksionisme simbolik (symbolic interactionism). Pendekatan ini bersumber pada pemikiran George Herbert Mead. Dari kata interaksionisme sudah nampak bahwa sasaran pendekatan
15
ini ialah interaksi sosial; kata simbolik mengacu pada penggunaan simbolsimbol dalam interaksi (Kamanto 2004 :36). Perilaku merokok dapat dianalisa berdasarkan pandangan George Herbert Mead yang dipertajam oleh Herbert Blumer, yakni berdasarkan perspektif symbolic interactionism. Hal ini dikarenakan adanya makna, simbol, dan nilai yang sebenarnya terdapat dalam rokok. Perspektif
symbolic interactionism mendasarkan pada tiga hal.
Yang pertama ialah bahwa manusia bertindak (act) terhadap sesuatu (thing) atas dasar makna (meaning) yang dipunyai sesuatu tersebut baginya (Kamanto, 2004:36). Dalam hal ini, seseorang bertindak atau bersikap terhadap sesuatu berdasarkan makna yang dimiliki sesuatu tersebut. Segala sesuatu atau segala hal mempunyai makna, dan makna tidak pernah dapat secara mutlak ditetapkan. Jadi makna bersifat dinamis atau senantiasa berubah. Dasar perspektif
symbolic interactionism yang kedua adalah
bahwa makna yang dipunyai sesuatu tersebut berasal atau muncul dari interaksi sosial antara seseorang dan sesamanya (Kamanto, 2004:36). Perspektif ini menjelaskan bahwa makna didapatkan dari interaksi sosial. Makna merupakan produk dari interaksi seseorang atau sekelompok orang. Makna
diperoleh
dari
cara
seseorang
atau
sekelompok
orang
mendefenisikannya, dan makna yang diperoleh tersebut dipahami di dalam interaksi mereka.
16
Dasar pemikiran perspektif yang ketiga ialah bahwa makna diperlakukan atau diubah melalui suatu proses penafsiran (interpretative process), yang digunakan orang dalam menghadapi sesuatu yang dijumpainya (Kamanto, 2004:36). Dasar perspektif yang ketiga ini menunujukkan bahwa dalam memahami perilaku, tidak hanya maknanya saja yang harus dipahami, tetapi juga cara bagaimana makna tersebut kemudian diapahami, dan hal ini dapat dilakukan dengan melakukan proses interpretasi terhadap sesuatu tersebut sehingga akhirnya dapat memunculkan makna. Dalam skripsi Yohana Endrawati (2003) menerangkan pendapat Blumer bahwa perspektif ini menekankan individu adalah sebagai pelaku. Dia juga menambahkan bahwa individu dapat pula sebagai penggagas dari segala sesuatu sehingga mereka membuat dan memutuskan berbagai pilihan serta menontrol perilaku mereka sendiri. Blumer melandaskan bahwa makna dari segala sesuatu dipahami lewat interaksi. Dengan demikian, perspektif symbolic interactionism adalah perspektif yang menekankan bahwa interaksi itu dilakukan berdasarkan simbol-simbol yang dimiliki. Perspektif ini mendukung bahwa perilaku merokok dianggap dapat membantu perokok dalam interaksi sosial mereka. Hal ini dikarenakan rokok mempunyai makna seperti penanda keramah-tamahan, penerimaan sosial, dan pergaulan, yang kemudian diinterpretasikan bersama ketika mereka melakukan interaksi. Dengan demikian, kesamaan interpretasi
17
simbol inilah yang kemudian membantu mereka dalam berinteraksi dan bergaul dengan individu atau kelompok lain. 2.
Teori Identitas (Identity Theory) Teori identitas ini dipelopori oleh Henri Tajfel (1970-an) dalam upaya
untuk
menjelaskan
prasangka,
diskriminasi,
etnosentrisme,
stereotip, konflik antar kelompok, konformitas, perilaku-perilaku normatif, polarisasi
kelompok,
perilaku
organisasi,
perilaku
kerumunan,
kepemimpinan, dan lain-lain, yang semuanya berkaitan dengan perilaku antarkelompok ketimbang perilaku individu. Teori identitas sosial digunakan sebagai analisis mengenai proses pembentukan konsep diri dalam konteks keanggotan di dalam kelompok, proses-proses yang berlangsung dalam kelompok, dan hubungan-hubungan yang terjadi antara kelompok. Pendekatan ini secara eksplisit dibentuk oleh keyakinan bahwa perilaku kolektif tidak dapat dipahami dan dijelaskan semata-mata dengan merujuk pada proses-proses yang terjadi di level individu, melainkan lebih ditentukan oleh seperangkat nilai, aturan,atribut, atau pola perilaku yang terbagikan serta terbagikan secara kolektif dalam sebuah kelompok. Perilaku individu tidak lagi ditentukan oleh pilihan bebasnya sebagai agen yang berdiri sendiri, melainkan muncul dari identifikasi diri sebagai bagian dari konsep kelompoknya. Dengan demikian, identitas sosial adalah bagian dari konsep diri individu yang berasal dari pengetahuannya selama berada di dalam kelompok yang mana secara
18
sengaja
menginternalisasikan
nilai-nilai,
turut
berpartisipasi,
serta
mengembangkan rasa peduli dan kebanggaan terhadap kelompoknya (Afif, 2015: 2). Ada tiga asumsi umum mengenai konsep identitas sosial menurut Tajfel yaitu: Pertama, model identitas sosial mengenai proses-proses pengaruh sosial mengenai proses-proses pengaruh sosial di dalam kelompok (a social identity model of the processes of social influence group), yang menjelaskan bahwa individu akan membangun norma-norma kelompok berdasarkan pada keanggotaannya di dalam kelompok serta perilaku-perilaku yang berkembang di dalam kelompok tersebut, yang kemudian ditindaklanjuti dengan internalisasi serta menjadikan normanorma tersebut sebagai bagian dari identitas sosialnya.Kedua,
model
motivasional dalam proses identitas sosial (motivational model of social identity processes), yang menjelaskan bahwa kategorisasi diri terjadi karena adanya dorongan untuk menaikkan citra diri (self enchancement) sebagai bagian dari kelompok tertentu (Afif, 2015:6-7). Ketiga, Evaluasi dari salah satu kelompok adalah berusaha mendeterminasikan dan juga sebagai bahan acuan pada kelompok lain
secara spesifik melalui
perbandingan sosial dalam bentuk nilai atribut atau karakteristik (Afif, 2015:28). Tujuan mengenai identitas ini dapat digunakan untuk menganalisis bagaimana merokok merupakan gaya hidup bagi mahasiswa perokok sebagai identitas sosialnya. Identitas sosial mahasiswa perokok di dalam
19
area Universitas Gadjah Mada
menunjukkan eksistensi mahasiswa
perokok tersebut. Kaitan antara konsep identitas ini juga untuk menganalisis bagaimana para mahasiwa perokok dan non perokok mengidentifikasikan diri mereka dengan identitas mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. G.
METODE PENELITIAN 1.
Lokasi Penelitian dan Obyek Penelitian Lokasi penelitian ini dilakukan di Fisipol (Fakultas Ilmu Sosial dan
Ilmu Politik) yang terletak di Jalan Sosio Yustisia, Bulaksumur, Yogyakarta. Gedung Fisipol merupakan bagian dari Kawasan Universitas Gadjah Mada. Alasan pemilihan lokasi penelitian ini karena Fakultas Ilmu Sosial dan Politik adalah tempat proses belajar mengajar yang merupakan Kawasan Tanpa Rokok (KTR). Kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik merupakan ruang publik Fisipol yang baru saja mengalami renovasi pada bagian gedung melakukan sedikit perubahan. Perubahan tersebut adalah pihak Fakultas telah menyediakan beberapa ruangan untuk merokok dan beberapa tanda larangan merokok di sekitar area Fisipol. Penelitian ini memfokuskan pada suatu komunitas, yakni mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Mahasiswa ini dikhususkan pada mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik sebagai civitas akademik yang terbagi dalam jurusan-jurusan tertentu, yaitu: Jurusan Manajemen dan Kebijakan Publik, Jurusan
20
Hubungan Internasional, Jurusan Ilmu Komunikasi, Jurusan Politik dan Pemerintahan, Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan dan Jurusan Sosiologi. Jurusan-jurusan tersebut digunakan sebagai indikator untuk mewakili mahasiswa Fisipol secara keseluruhan. Interaksi mereka dapat diamati, dipahami dan dianalisa secara sosiologis. Dengan memfokuskan hanya pada mahasiswa di Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada, diharapkan obyek penelitian tersebut dapat menggambarkan atau mencerminkan sifat-sifat dan karakteristik populasi. Dengan demikian, hal ini dilakukan supaya dapat lebih mudah, lebih praktis, lebih efektif, dan lebih efisien dalam memahami fenomena mahasiswa perokok ini. 2.
Jenis Penelitian dan Teknik Pengumpulan data Dalam penelitian ini menggunakan pendekatan penelitian kualitatif
yang mengutamakan segi kualitas data. Penelitian kualitatif dapat diartikan sebagai penelitian yang menghasilkan data deskriptif mengenai kata-kata lisan maupun tertulis, dan tingkah laku yang dapat diamati dari orangorang yang diteliti (Bagong Suryanto & Sutinah, 2004 :172). Penelitian kualitatif hanya dapat dilakukan terhadap sejumlah kecil subyek penelitian yang berada di wilayah terbatas (Kamanto 2004: 238). Wilayah terbatas di dalam penelitian ini adalah area kampus Fakultas Ilmu Sosial dan Politik Universitas Gadjah Mada. Yang mana dapat melihat bagaimana perilaku kehidupan sehari-hari dari informan.
21
Penelitian
kualitatif
biasanya
dikaitkan
dengan
teknik
mengumpulkan data melalui pengamatan/observasi dan wawancara. Dengan metode pengamatan/ observasi ini peneliti mengamati secara langsung perilaku para subyek penelitiannya. Melalui pengamatan terhadap perilaku seseorang atau sekelompok orang dalam kurun relatif lama,
seorang
peneliti
memperoleh
banyak
kesempatan
untuk
mengumpulkan data yang bersifat mendalam dan rinci. Observasi pun memungkinkan untuk merekam perilaku yang wajar asli, tidak dibuatbuat dan spontan (Kamanto, 2004: 234). Wawancara merupakan salah satu teknik pengumpulan data yang pelaksanaannya dapat dilakukan secara langsung berhadapan dengan yang diwawancarai tetapi dapat juga secara tidak langsung seperti memberikan daftar pertanyaan untuk dijawab pada kesempatan lain. Instrumen dapat berupa pedoman wawancara (interview guide) (Umar Husein 1999:51). 3.
Sumber data Dalam suatu penelitian diperlukan sumber data yang mennjadi
rujukan peneliti agar memperoleh informasi-informasi terkait fenomena yang diteliti. Adapun jenis data yang dianggap sesuai dengan tema penelitian ini yaitu data primer dan data sekunder. a)
Data Primer Data primer merupakan seubah data yang diperoleh langsung dari
informan yang akan diteliti melalui wawancara. Data primer yang
22
didapat dari informan merupakan data yang akan menjadi data utama dalam membuat suatu laporan penelitian dan mendeskripsikan fenomena yang diteliti. Adapun sumber data primer didapat berdasarkan hasil wawancara dengan responden (narasumber) yang dicatat dengan menggunakan catatan lapangan (field note) dan direkam dengan menggunakan alat perekam. Dalam penelitian ini data primer didapat dari hasil wawancara dengan mahasiswa Fakultas Ilmu Sosial dan Politik, yaitu: 1.
5 orang mahasiswa perokok yang mana terdiri dari; Rudi yang merupakan mahasiswa jurusan Sosiologi, Boni yang merupakan mahasiswa jurusan Hubungan Internasional, Ronald yang merupakan mahasiswa Jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Eko yang merupakan mahasiswa dari jurusan Ilmu Komunikasi, dan Dodi yang merupakan mahasiswa dari Jurusan Politik dan Pemerintahan.
2. 5 orang mahasiswa non perokok yang mana terdiri dari; Son yang merupakan mahasiswa dari jurusan Sosiologi, Chyntia yang merupakan mahasiswa dari jurusan Ilmu Komunikasi, Bintar yang merupakan mahasiswa dari jurusan Pembangunan Sosial dan Kesejahteraan, Bobby yang merupakan mahasiswa dari jurusan Manajemen Kebijakan Publik, dan Arif yang merupakan mahasiswa dari jurusan Hubungan Internasional.
23
b)
Data Sekunder Data Sekunder adalah data yang diperoleh dari lembaga atau
institusi tertentu dan data yang diperoleh selain dari informan. Data sekunder dalam penelitian ini mengumpulkan data-data penelitian, fotofoto, dan dari buku-buku yang memiliki kaitan dengan penelitian. Data sekunder digunakan untuk melengkapi hasil perolehan data dari data primer, sehingga harapannya penelitian dan pelaporan hasil penelitian dapat lebih menggambarkan kondisi riil yang ada dalam masyarakat yang diteliti. Adapun data sekunder yang di dapat dalam penelitian ini dari informasi yang diberikan bagian Akademik Fakultas Ilmu Sosial Politik, dari web resmi Fakultas Ilmu Sosial dan Politik yang menyediakan informasi tentang fakultas dan buku panduan mahasiswa. c)
Instrumen Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang deksriptif yang
bertujuan untuk menggambarkan suatu fenomena yang diteliti. Oleh sebab itu, diperlukan instrumen penelitian agar data yang diperoleh secara optimal. Adapun instrumen penelitian dalam riset ini adalah sebagai berikut: 1)
Field note atau catatan lapangan Field note atau catatan lapangan merupakan suatu instrumen
penelitian yang digunakan peneliti untuk mencatat segala kejadian dan fenomena serta hasil wawancara yang dilakukan selama observasi maupun mewawancarai informan. Pada aplikasinya di lapangan field
24
note merupakan hal penting yang diperlukan peneliti saat terjun ke lapangan. Field note digunakan peneliti untuk mendukung data yang diperoleh dengan cara merekam suara informan. Data yang ada di field note merupakan data sederhana dan pokok-pokok dari inri percakapan peneliti dan informan. Dengan menggunakan ini, peneliti lebih mudah mengambil data yang telah direkam, karena dapat membantu peneliti untuk menemukan rekaman yang dibutuhkan lebih cepat.
2)
Rekaman wawancara Rekaman wawancara merupakan salah satu instrumen dimana
peneliti merekam suara dan perbincangan antara informan dan peneliti ketika wawancara berlangsung. Rekaman wawancara menggunakan handphone atau recorder voice yang diharapkan dapat mendukung pengumpulan data serta menambah keakuratan data, sebab informasi yang didapatkan tidak terpotong dan murni seperti apa yang disampaikan oleh informan. Saat merekam suara informan bahwa akan dijadikan hasil riset. Pada aplikasinya rekaman wawancara begitu membantu peneliti untuk memperoleh data. Peneliti merekam suara informan dengan izin informan, sehingga data yang di dapat sudah diketahui oleh informan akan digunakan sebagai hasil penelitian. Rekaman wawancara menjadi instrumen penelitian yang sangat membantu, sebab data yang disampaikan informan dapat diambil tanpa mengurangi tingkat keasliannya bahkan dalam setiap kalimat.
25
3)
Pedoman wawancara atau interview guide Interview guide umumnya berisikan daftar pertanyaan yang
sifatnya terbuka dan ingin memperoleh jawaban yang mendalam. Rangkaian pertanyaan yang tersusun dalam interview guide
tidak
dilengkapi dengan pilihan-pilihan jawaban yang sudah ditentukan terlebih dahulu, tetapi jawaban yang dikehendaki justru seluas, serinci dan selengkap mungkin. Pendek kata, interview guide adalah semacam rambu-rambu yang dipergunakan untuk mengarahkan seorang peneliti agar tidak terjebak mencari data di luar permasalah dan tujuan penelitiannya (Bagong dan Sutinah 2004:57). Ketika terjun ke lapangan peneliti tentunya harus membawa interview guide terlebih dahulu, dan hal ini yang selalu dilakukan oleh peneliti. Sebab dengan adanya interview guide, peneliti dapat memberikan pertanyaan kepada informan tanpa mengurangi substansi penelitian dan mencari data yang benar-benar dibutuhkan. Tentunya dalam membuat interview guide peneliti menggunakan dasar acuan terkait rumusan masalah dan tujuan penelitian, sehingga data yang diperoleh dapat menjawab penelitian ini. Kemudian, pertanyaan-pertanyaan yang lebih mendalam dilakukan oleh peneliti apabila diperlukan, sehingga peneliti mendapatkan data yang cukup dan mendalam terkait jawaban penelitian ini. 4.
Teknik Analisis Data Dalam analisis data penelitian kualitatif, perlu dilakukan analisis sejak awal. Dengan demikian data yang didapatkan dari lapangan segera diolah
26
dan diubah menjadi sebuah gambaran terkait suatu fenomena yang terjadi pada obyek penelitian ataupun realitas yang sesungguhhnya. Adapun menurut Miles dan Huberman ada tiga langkah menganalisis data, yaitu: (1) Reduksi data adalah suatu proses menyederhanakan data kasar yang didapatkan ketika terjun ke lapangan. Tujuan dari reduksi data ialah untuk mempermudah penyajian data dan pemaparan informasi mengenai hal yang didapatkan di lapangan. Adapun reduksi data juga befungsi untuk menelaah
data
sehingga
tersusunnya
sebuah
informasi
dan
penyederhanaan data-data penting. (2) Penyajian data merupakan suatu langkah untuk menampilkan data yang telah disederhanakan. Adapun bentuk penyajian data dapat berupa kalimat, tabel, grafik, foto, gambar dan lain-lainnya. Sehingga dapatlah diambil kesimpulan dari data-data yang telah didapatkan. Penyajian data disajikan dala bentuk deskripsi dan ditambah dengan fakta-fakta berupa dokumen terkait fenomena penelitian yang telah diperoleh peneliti. (3) Tahap penarikan kesimpulan merupakan suatu proses dimana peneliti mencari arti,penjelasan,konfigurasi, polapola, alur sebab akibat dan proposisi. Setelah melewati proses-proses sebelumnya,maka pada tahap ini dicarilah sebuah kesimpulan dari segala hal yang menjadi konteks penelitian dan ditambah dengan saran ataupun rekomendasi.
27