BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Saat ini kebutuhan akan pendidikan di Indonesia semakin banyak terutama pada pendidikan tingkat dasar. Seiring dengan kebutuhan tersebut maka pekerjaan sebagai seorang guru semakin berat. Terbatasnya jumblah tenaga guru dibandingkan jumlah siswa yang harus diajar menjadi sebuah beban kerja tersendiri. Masalah-masalah diluar pekerjaan juga terus menjadi sebuah tekanan yang yang menghambat kerja seorang guru (Rosari, 2006). Masalah-masalah tersebut diantaranya adalah masalah banyaknya siswa dalam satu kelas, masalah tekanan masyarakat yang kurang menghargai peranan guru, gaji guru yang tidak pantas, dan masih banyak lagi. Masalah yang berkaitan dengan siswa antara lain seperti siswa yang sangat sulit dikuasai dan kesulitan dealam memotivasi siswa sehingga pelajaran yang diberikan tidak efektif (Djiwandoyo, 2002). Berdasarkan wawancara yang dilakukan dengan beberapa guru SD Negeri yang ada di Panimbo khususnya di SD N 1 dan SD N 2 Panimbo, Kecamatan Kedungjati diketahui bahwa guru SD Negeri memiliki multiperan, artinya para Guru yang mengajar di SD tersebut berperan sebagai pengajar, pendidik, sebagai seorang pembimbing, juga sebagai pengurus administrasi sekolah. Selain itu pada guru yang lain ada juga yang stres disebabkan oleh atasan yang kurang memperhatikan bawahannya, kondisi lingkungan menagajar di sekolah dan perilaku anak didik. Guru SD berstatus guru kelas yang harus menguasai hampir
1
seluruh materi mata pelajaran. Sementara guru SLTP, SMU, atau SMK hanya mengajar satu mata pelajaran tertentu karena status para Guru yang mengajar di SD adalah guru bidang studi. Pekerjaan guru (mendidik) yang mulia dan seharusnya menyenangkan, seringkali malah menjadi sumber ketegangan lantaran iklim dan kondisi kerja yang terlalu sarat dengan beban tugas-tugas birokrasi, beban sosial-ekonomi dan tantangan kemajuan karir yang terkait erat dengan jaminan hak-hak kesejahteraan guru. Dalam hal beban birokrasi, guru (SD) harus dihadapkan dengan pekerjaan-pekerjaan rutin administrasi yang bukan tugastugas profesional. Beban sosial antara lain terkait dengan tuntutan masyarakat yang masih memandang bahwa guru (SD) adalah sosok manusia serba tahu dan serba bisa. Tidak sedikit orangtua yang memiliki tuntutan yang melampaui kemampuan guru (SD) agar anak para orang tua menjadi serba bisa sebagaimana yang diharapkan (Mulyana, 2008). Berdasarkan hasil penelitian yangdilakukan oleh ArisMunandar dan Ardhana (1998), stresor yang paling mempengaruhi stres kerja pada guru antara lain tentang pemotongan gaji, promosi yang buruk, penyimpangan perilaku siswa, konflik dengan pihak sekolah, lingkungan sekolah yang bising, dan tidak adanya motivasi, perhatian dan respon atau tanggapan dari murid mengenai materi yang disampaikan. Menurut Firdaus (dalam Novitasari, 2007) stres kerja terjadi pada sebagian besar orang yang banyak memberikan layanan kemanusiaan, termasuk guru yang memberikan layanan kemanusiaan, termasuk guru yang memberikan layanan kepada siswa di sekolah. Bagi seorang guru stres kerja akan memberi pengaruh
2
negatif seperti membolos, telat kerja, mudah tersinggung, dan keinginan untuk pindah. Efek negatif tersebut akan menyebabkan kurangnya kepekaan terhadap perhatian dan perasaan orang lain. Dari berbagai macam beban dan tuntutan yang dialami oleh guru tersebut akan memungkinkan timbulnya stres kerja yang sulit dihindari oleh beberapa guru SD. Tanggung jawab seorang guru yang begitu berat bisa mengakibatkan guru rentan mengalami stres kerja. Menurut Hardjana (1994) pekerjaan yang penuh dengan tanggung jawab atas orang lain cenderung mengakibatkan stres kerja. Pendapat Hardjana tersebut didukung oleh Arismunandar pada surat kabar SeputarIndonesia edisi 16 juni 2008 yang mengungkapkan, sekitar 30,27% guru yang mengajar di Sulawesi Selatan (Sulsel) mengalami stres berat. Sedangkan guru dengan stres kerja taraf sedang mencapai 48,11% dan stres kerja kurang serius mencapai 21,62% (Amriani, 2009). Sejumlah subyek menjadi pemicu stres di kalangan guru seperti pemotongan gaji, pengurusan pangkat, hingga kondisi lingkungan mengajar di sekolah dan perilaku anak didik. Salah satu studi lain yang dilakukan oleh Rosari (2006) di SDN Rangkah I,II,III dan V Surabaya menyebutkan bahwa sebagian besar guru mengalami stres ringan yang ditujukan pada gejala badan (79,17%), emosional (91,67%), dan sosial (58,33%) yang dialami. Kesimpulan yang dapat ditarik adalah sebagian besar guru yang menjadi responden mengalami stres kerja katagori ringan pada tiap gejala yang dirasakan. Pada beberapa faktor yang berhubungan dengan stres kerja menunjukan bahwa sebagian besar responden yang dikatagorikan pada faktor-faktor tersebut mengalami stres kerjakategori ringan.
3
Stres guru dapat didefinisikan sebagai pengalaman seorang guru dari emosi negatif yang tidak menyenangkan seperti kemarahan, yang dihasilkan dari beberapa
aspek
pekerjaan
(Kyriacou
dalam
Kyriacou
dan
Chien,
2004).Selanjutnya Widiana (2005) menjelaskan stres pada guru ditandai dengan munculnya gejala-gejala seperti kurang sabar baik dalam bersosialisasi maupun saat menghadapi siswa dikelas. Menjadi cepat marah, sensitif atau mudah tersinggung. Namun stres kerja tidak selamanya buruk. Walaupun lazimnya stres dibahas dalam konteks negatif, ia juga mempunyai nilai positif. Asumsi yang muncul adalah bahwa tekanan beban kerja berlebih yang berat dan jangka waktu terbatas merupakan tantangan yang positif dalam meningkatkan prestasi kerja guru. Robbins (2006) juga memaparkan bahwa terdapat dua kondisi yang menyebabkan dimana potensi stres bisa berubah menjadi stres yang sebenarnya. Pertama, adanya ketidakpastian mengenai hasil atau keluaran. Kedua, hasil itu harus menjadi sesuatu yang signifikan. Ada beberapa faktor yang mempengaruhi stres yaitu faktor eksternal dan faktor internal. Menurut Atkinson (1991), faktor-faktor yang mempengaruhi stres dibagi menjadi dua, yaitu faktor eksternal adalah faktor yang ada di luar individu, yang terdiri dari lingkungan fisik (kebisingan, polusi, penerangan), lingkungan pekerjaan (pekerjaan yang berulang, waktu kerja yang bergantian), dan lingkungan sosial dan budaya (kompetisi atau persaingan antar pegawai untuk mendapatkan kedudukan di tempat kerja). Kedua faktor interen adalah faktor yang ada dalam individu, yaitu terdiri dari fisik(kesehatan dari individu tersebut),
4
perilaku (kebiasaan kerja yang tidak efisien, seperti menunda pekerjaan atau menumpuk pekerjaan), kognisi (standar yang terlalu tinggi), emosional (pengelolaan emosi). Beberapa faktor diatas, tampak bahwa seorang guru diharapkan atau dituntut mempunyai kemampuan emosi yang baik terhadap kerjanya. Hal ini dikaitkan dengan kecerdasan emosional seseorang. Setiap saat orang berurusan dengan emosi, baik diri sendiri maupun dengan orang lain. Sebagi contoh, jika seorang guru mempunyai kecerdasan emosional yang rendah, maka ia akan cenderung mudah mengalami konflik dengan para pelajar atau siapa saja yang berhubungan dengan dirinya (Hapsari, 2007). Bar-On, Brown, Kircaldy, dan Thom (dalam Platsidou, 2009), membuktikan bahwa bagaimanapun juga kecerdasan emosional menunjukan pada penyesuaian yang lebih baik atau kesuksesan pada pekerjaan. Kecerdasan emosi nampak sebagai faktor penting dalam menentukan turunnya stres kerja dan tingginya kepuasan kerja. Menurut Slaski dan Certwright (2002) individu yang mempunyai kecerdasan emosi yang tinggi dapat secara langsung memahami apa yang diinginkan dan dibutuhkan orang lain; sadar akan kekuatan dan kelemahan mereka; dapat tetap tenang denganstres dan dapat menghormati kemampuan orang lain. Beberapa penulis telah membuat teori bahwa kecerdasan emosional menyumbangkan kapasitas orang untuk bekerja dengan efektif didalam team dan pengaturan stres (Kyriacou dalam Lopes, Grewal, Kadis, Gall, dan Salovey, 2006).
5
Goleman (2003) juga mendefinisikan bahwa kecerdasan emosional adalah kemampuan seseorang yang didalamnya terdiri dari berbagai kemampuan untuk dapat memotivasi diri sendiri, bertahan menghadapi frustasi, mengendalikan dorongan hati, tidak melebih-lebihkan kesenangan maupun kesusahan, mampu menjaga agar beban stres tidak melumpuhkan kemampuan untuk berempati kepada orang lain, serta adanya prinsip berusaha sambil berdoa. Di dalam “ciriciri” kecerdasan emosional Goleman (1997) untuk memotivasi diri sendiri dan bertahap menghadapi frustasi; mengendalikan dorongan hati dan tidak melebihlebihkan kesenangan; mengatur suasana hati dan menjaga agar beban stres kerja tidak melumpuhkan kemampuan berfikir; berempati dan berdoa. Sementara itu Gardner dan Stough (dalam Brink, 2009) mengungkapkan bahwa seseorang yang secara efektif dapat mengatur dan mengontrol emosi akan juga dapat merasakan penyebab stres akan tetapi ia akan lebih mempunyai reaksi emosi yang tepat dari pada seseorang yang kurang dapat mengatur dan mengontrol emosi ditempat kerja. Baron (dalam Melianawati, 2001) mengemukakan bahwa kecerdasan emosional merupakan merupakan kemampuan mengatur perasaan dengan baik, mampu memotivasi diri sendiri, berempati ketika menghadapi gejolak emosi diri maupun dari orang lain; individu dengan kecerdasan emosional yang baik akan dapat memcahkan suatu masalah sehingga dapat tetap mencapai prestasi yang maksimal. Menurut penelitian ( Indriyani, 2009 dalam Abdul Syarifudin) menemukan bahwa variabel stres kerja berpengaruh signifikan positif terhadap kinerja perawat
6
wanita. Adapun penelitian yang dilakukan Hendar (2007) menemukan bahwa secara persial yang dilakukan oleh hasil uji t hitung menunjukan variabel stres kerja tidak berpengaruh signifikanterhadap kinerja. Sementara itu penelitian yang dilakukan Rusdi dan Septian
(2008)
menemukan stres kerja berpengaruh positif terhadap stres kinerja karyawan. Berdasarkan penelitian yang dlakukan oleh Anitasari (2009). Dengan judul Hubungan Antara Kecerdasan Emosional dengan Stres Kerja pada Guru SLB di Kota Malang, menemukan adanya hubungan yang negatif dan tidak signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja yang terjadi pada guru-guru SLB di kota malang. Subyek penelitian Anitasari adalah guru-guru SLB. Penelitian oleh Rohkayati (2010) yang berjudul Hubungan kecerdasan emosional dan stres kerja pada pegawai Kecamatan Sidoharjo, Kota Surabaya. Menemukan ada hubungan yang positif dansignifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja yang terjadi di pegawai Kecamatan Sidorejodi Kota Surabaya. Oleh karena itu peneliti tertarik untuk meneliti hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru SD di Kecamatan Kedungjati, dan ada fakta yang membuktikan di salah satu SD di Kecamatan Kedungjati yang sudah terlihat adanya stres kerja dan memiliki kecerdasan emosional yang rendah. Contohnya di SD N 2 Panimbo, disitu ada guru yang selalu bolos kerja karena stres menghadapi anak-anak didiknya yang sangat nakal, beliau memiliki kecerdasan emosional yang rendah, peneliti bisa mengatakan demikian karena terlihat kalau masuk kelas yang ada hanya kembali marah-marah kepada anak
7
didik, dan langsung pulang untuk menghindari murid-muridnya, ia juga tidak bisa memotivasi dirinya sendiri untuk terus bekerja yang baik. Berdasarkan observasi yang dilakukan oleh peneliti di SD N Kecamatan Kedungjati,menemukan banyak sekali guru yang bolos dan tidak mengajar pada saat jam pelajaran. Kebanyakan guru ngobrol dan sibuk sendiri. Berdasarkan hasil wawancara dengan salah seorang guru, menyatakan bahwa sikap para Guru yang sering membolos adalah jarak rumah yang terlalu jauh, medan yang sangat berat, tuntutan kerja yang sangat banyak, para murid yang sangat susah diatur, ada juga yang mengeluh tentang gaji yang sangat tidak sesuai, kepala sekolah yang kurang mengerti bawahannya. Dari situlah peneliti ingin meneliti lebih lanjut penelitian ini, untuk mengetahui keadaan serupa di SD-SD lain, di Kecamatan Kedungjati. Kenapa guru di SD? Karena guru-guru di SD lah yang kebanyakan terlihat mengalami stres kerja. Karena guru SD lebih di tuntut kesabarannya yang lebih tinggi bukan hanya menghadapi anaka-anak, tetapi juga dari admistrasi yang lebih banyak dari guru mapel, beda dengsn guru di SMP, SMA, dan SMK yang cenderung guru mapelseperti yang sudah peneliti bahas di atas.
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian diatas, maka permasalahan yang ingin dikaji adalah “apakah ada hubungan yang signifikan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru SD di Kecamatan Kedungjati”.
8
1.3. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui signifikansi hubungan antara kecerdasan emosional dengan stres kerja pada guru SD di Kecamatan Kedungjati.
1.4. Manfaat Penelitian 1.4.1. Manfaan teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberi masukan, manfaat, usulan, dan menambah wawasan kerja pada bidang bimbingan dan konseling terutama yang berkaitan dengan kecerdasan emosional dan streskerja pada guru SD.
1.4.2. Manfaat praktis Hasil penelitian ini diharapkan mampu menjadi masukan terhadap pihak sekolah khususnya para guru dan anakBK yang nantinya juga akan terjun menjadi seorang guru tentang kecerdasan emosional dan stres kerja, sehingga para guru atau calon guru dapat lebih mengelola stres kerja dan menggunakan kecerdasan emosional dengan baik.
9