BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Era globalisasi memberi pengaruh besar terhadap pesatnya perkembangan berbagai sektor di Indonesia, tidak terkecuali pada sektor pembangunan dan pariwisata. Selain untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi, pembagunan nasional bertujuan untuk mewujudkan suatu masyarakat yang adil dan makmur secara material dan spiritual sesuai dengan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Dapat dikatakan bahwa tujuan pembangunan nasional ini, identik dengan cita-cita nasional1. Untuk dapat merealisasikan dan melakukan pemerataan pembangunan di setiap daerah, maka pemerintah daerah diberikan suatu kewenangan untuk mengatur dan mengurus kepentingan daerah sesuai dengan potensi yang dimiliki daerah, terkecuali urusan pemerintah yang ditentukan oleh undang-undang sebagai urusan pemerintah pusat. Hal tersebut diatur dalam Pasal 18 ayat (5) Undang-Undang Dasar Negara Indonesia Tahun 1945, yang berbunyi: “Pemerintahan daerah menjalankan otonomi seluas-luasnya, kecuali urusan pemerintahan yang oleh undang-undang ditentukan sebagai urusan pemerintah pusat”. Perkembangan sektor pariwisata sangat menjanjikan, karena Indonesia merupakan negara yang memiliki potensi besar di bidang pariwisata, dengan berbagai macam pemandangan alam, keunikan budaya, sejarah, serta berbagai
1
Lembaga Administrasi Negara Republik Indonesia, 1994, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Jilid I, CV Haji Massagung, Jakarta, h. 5.
1
2
macam kesenian yang terdapat di setiap daerah di Indonesia. Untuk mendukung Indonesia sebagai salah satu tujuan pariwisata di dunia, maka diperlukan pengelolaan pariwisata yang sesuai dengan prinsip-prinsip pengelolaan pariwisata yang menekankan pada nilai-nilai kelestarian alam, komunitas dan nilai sosial. Menurut Cox2, prinsip-prinsip itu adalah sebagai berikut: 1. Pembangunan dan pengembangan pariwisata harus berdasarkan pada kearifan lokal yang merefleksikan keunikan peninggalan budaya dan keunikan lingkungan. 2. Pemeliharaan, proteksi dan peningkatan kualitas sumber daya yang menjadi dasar pengembangan pariwisata. 3. Pengembangan atraksi wisata tambahan yang berasal dari kekhasan budaya lokal. 4. Pelayanan kepada wisatawan yang berdasarkan keunikan budaya dan lingkungan lokal. 5. Memberikan dukungan dan legitimasi pada pembangunan dan pengembangan pariwisata jika terbukti memberikan manfaat positif tetapi sebaliknya mengendalikan atau menghentikan aktivitas pariwisata jika melampaui batas lingkungan alam atau lingkungan sosial. Bali merupakan salah satu daerah yang memiliki potensi besar di bidang pariwisata, hal ini dibuktikan dengan banyaknya turis mancanegara yang mengatakan “see Bali before you die” artinya lihat bali sebelum kamu meninggal, karena Bali adalah surganya dunia3. Dikatakan surga dunia, karena Bali merupakan daerah yang memiliki keindahan alam dan keunikan budaya yang sangat menarik minat wisatawan, baik wisatawan lokal maupun mancanegara. Pengembangan pariwisata di Bali diharapkan tidak menimbulkan kejenuhan wisatawan serta mampu bersaing dengan daerah dan negara lain yang memiliki tujuan pariwisata. Untuk itu harus dikembangkan potensi objek dan daya tarik
2 I Gde Pitana dan I Ketut Surya Diarta, 2009, Pengantar Ilmu Pariwisata, ANDI Yogyakarta, Yogyakarta, h. 81. 3 Inu Kencana Syafiie, 2009, Sistem Administrasi Negara Republik Indonesia, Cet. IV,Bumi Aksara, Jakarta, h. 95.
3
wisata yang baru, sehingga akan mendorong pembangunan daerah, memeratakan peluang usaha dan lapangan pekerjaan, meningkatkan pendapatan negara, daerah dan pendapatan masyarakat umum khususnya masyarakat lokal4. Sarana tersebut akan meningkatkan pembangunan di bidang pariwisata untuk mendukung potensi pariwisata di Bali, salah satunya adalah melalui pembangunan usaha pariwisata. Adapun jenis-jenis usaha pariwisata menurut Pasal 14 Undang-Undang Republik Indonesia
Nomor
10
Tahun
2009
tentang
Kepariwisataan,
adalah
sebagai berikut: a. Usaha Daya Tarik Wisata; b. Usaha Kawasan Pariwisata; c. Usaha Jasa Transportasi d. Usaha Jasa Perjalanan Wisata e. Usaha Jasa Makanan f. Usaha Penyediaan Akomodasi g. Usaha Penyelenggaraan Kegiatan Hiburan dan Rekreasi; h. Usaha Jasa Penyelenggaraan Pertemuan, Perjalanan Insentif, Konferensi dan Pameran. Usaha penyediaan akomodasi merupakan salah satu usaha yang cukup menjanjikan dan diminati baik oleh masyarakat lokal atau investor asing yang terdiri dari usaha hotel, usaha bumi perkemahan, usaha persinggahan karavan, usaha villa, dan usaha pondok wisata. Kondisi tersebut mengakibatkan pesatnya
4
M. Baiquni, dkk, 2010, Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, Cet. I, Udayana University Press, Denpasar, h. 3.
4
pembangunan sarana akomodasi di Bali, salah satu yang paling diminati oleh wisatawan kini adalah villa. Seiring pesatnya kedatangan wisatawan ke Bali khususnya di Buleleng, hal ini berbanding lurus terhadap perkembangan usaha penyediaan akomodasi. Villa merupakan alternatif penginapan yang lebih dipilih wisatawan terutama wisatawan asing daripada hotel sebagai tempat peristirahatan, karena villa memberikan pelayanan yang lebih personal dan villa juga memberikan keamanan dan tingkat kenyamanan lebih pada wisatawan dari beberapa ancaman kriminal maupun teror. Semakin banyak permintaan villa sebagai salah satu alternatif penginapan yang diinginkan wisatawan, menyebabkan peningkatan pelaku usaha penyediaan akomodasi berlomba-lomba untuk memenuhi permintaan, khususnya di Buleleng. Perkembangan villa ini memberi pengaruh yang cukup besar dalam pembangunan pariwisata di daerah ini. Pembangunan pariwisata berkelanjutan memberikan dampak yang besar, tidak hanya pada lingkungan tetapi juga pada sosial ekonomi masyarakat sekitar. Pembangunan pariwisata secara berkelanjutan ini harus didukung oleh faktor ekologis, sosial dalam masyarakat dan memberi pengaruh pada pertumbuhan ekonomi masyarakat5. Dalam mendirikan sebuah bangunan, tentu harus ada izin yang menyertai proses pembangunan tersebut. Perizinan yang berkaitan dengan pemanfaatan ruang terutama Izin Mendirikan Bangunan (IMB). Izin tersebut terbit atas rekomendasi dari instansi terkait, terutama rekomendasi dari instansi yang
5
Helmi, 2011, Hukum Perizinan Lingkungan Hidup, Cet. I, Sinar Grafika, Jakarta, h. 59.
5
bertanggungjawab di bidang tata kota dalam bentuk, ketetapan rencana kota dan rencana tata letak bangunan, rekomendasi instansi pertanahan, rekomendasi komisi AMDAL, dan rekomendasi managemen lalu lintas. Penerbitan izin mendirikan bangunan, izin penggunaan bangunan, izin kelayakan menggunakan bangunan,
izin
undang-undang
gangguan
dan
rekomendasi
sistem
penanggulangan dan pencegahan kebakaran didasarkan atas penggunaan tanah yang ditetapkan dalam rekomendasi ketetapan rencana kota6. Adanya IMB berfungsi agar Pemerintah Daerah dapat melakukan kontrol dalam rangka pendataan fisik kota sebagai acuan bagi perencanaan, pengawasan dan penertiban pembangunan. Selain itu, bagi pemilik bangunan, IMB memberikan kepastian hukum atas berdirinya bangunan dan memudahkan pemilik bangunan apabila terdapat keperluan, seperti pemindahan hak bangunan kepada orang lain (pewarisan, hibah, jual beli, dsb.) serta untuk mencegah tindakan penertiban apabila tidak memiliki IMB.Selain hal tersebut, villa juga memerlukan surat izin usaha agar dapat beropersi. Namun kenyataan di lapangan sangat jauh berbeda. Buleleng khusunya, pembangunan villa tanpa izin begitu marak. Bupati Buleleng, Putu Agus Suradnyana mengemukakan bahwa “Kita lihat di Gerokgak dan Tejakula, villanya melabrak aturan. Saya minta ditindak tegas berdasarkan aturan dan tidak peduli siapapun pemiliknya, warga lokal atau warga negara asing”7. Namun para pemilik villa memiliki pembelaan tersendiri mengapa mereka enggan mengurus izin 6
Adrian Sutedi, 2011, Hukum Perizinan dalam Sektor Pelayanan Publik, Cet. II, Sinar Grafika, Jakarta, h. 212-213. 7 Bali Post, 2014, “Villa Bodong Dicurigai Marak di Buleleng”, URL :http://balipost.com/read/headline/2014/03/14/6983/villa-bodong-dicurigai-marak-dibuleleng.html, Diakses tanggal 15 Februari 2015.
6
sebelum mendirikan villa, hal ini lantaran sudah ditarik iuran atau pungutan liar (pungli) oleh pihak tertentu. Ketua Kantor Pelayanan Terpadu (KPT) I Putu Karuna mengatakan bahwa dari informasi yang masuk, banyak pemilik villa yang enggan untuk mengurus izin.“Kita juga tidak menyalahkan pemilik villa. Sebab, banyaknya iuran yang dipungut oleh pihak tertentu dan jumlahnya lebih dari satu pungutan, sehingga ini membuat mereka malas mengurus izin ke KPT”8. Namun alasan dari pemilik villa sangat tidak masuk akal. Padahal diketahui bahwa pungutan yang dilakukan setelah villa itu berdiri, sedangkan untuk izinnya diperlukan sebelum villa itu berdiri. Hal ini semakin memperlihatkan bahwa pemilik villa memang tidak ingin untuk mengurus izin. Berlakunya Perda Kabupaten Buleleng Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati dan Pondok Wisata di Kabupaten Buleleng, diharapkan dapat menjadi dasar hukum dalam perizinan villa. Namun izin villa dan hotel melati atau pondok wisata berbeda. Perbedaannyaa dapat dilihat pada pengertian masing-masing, dimana hal tersubut tertuang pada Peraturan Menteri Kebudayaan dan Pariwisata Nomor: PM.86/HK.501/MKP/2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi. Pasal 1 angka 6 menyebutkan bahwa “Villa adalah penyediaan akomodasi berupa keseluruhan bangunan tunggal yang dapat dilengkapi dengan fasilitas, kegiatan hiburan serta fasilitas lainnya”. Sementara Pasal 1 angka 7 menyatakan bahwa “Pondok wisata adalah penyediaan akomodasi berupa bangunan rumah tinggal yang dihuni oleh pemiliknya dan
8 Bali Post, 2014, “Diduga Muncul Pungli, Pemilik Villa Enggan Urus Izin”,URL :http://balipost.com/read/headline/2014/03/25/7961/diduga-muncul-pungli-pemilik-villa-engganurus-izin.html, Diakses tanggal 15 Februari 2015.
7
dimanfaatkan sebagian untuk disewakan dengan memberikan kesempatan pada wisatawan untuk berinteraksi dalam kehidupan sehari-hari pemiliknya”. Villa memiliki bentuk seperti hunian pribadi yang terdiri dari beberapa kamar, sehingga sulit untuk membedakan villa dengan hunian pribadi. Selain itu, villa juga bersifat lebih privat dibandingkan dengan hotel atau pondok wisata. Kelonggaran peraturan hukum ini dimanfaatkan oleh sebagian orang untuk merubah hunian pribadinya sebagai villa. Tidak adanya peraturan yang secara khusus mengatur tentang perizinan villa di Kabupaten Buleleng menyebabkan sulitnya melakukan kontrol terhadap pembangunan villa. Sejauh ini, pengaturan tentang perizinan villa hanya berpatokan pada Perda RTRW Kabupaten Buleleng serta Perda Kabupaten Buleleng Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati dan Pondok Wisata di Kabupaten Buleleng. Dibalik semua peraturan dan persoalan yang dihadapi, masyarakat merupakan salah satu kunci pengendalian pembangunan villa. Masyarakat memiliki peran dalam penetapan izin mendirikan bangunan secara umum, dilihat pada Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perizinan. Pada Pasal 14 ayat (5) huruf a, dapat terlihat adanya peran dari masyarakat, yaitu syarat untuk permohonan IMB terdapat syarat administrasi seperti: a) Fotokopi sertifikat; b) Surat perjanjian sewa menyewa; c) Pajak bumi dan bangunan; d) Pernyataan penyanding minimal radius tinggi tower;
8
e) Hasil kesepakatan antara investor dengan warga sekitar (radius tower); f) Jaminan asuransi; g) Dukungan desa adat setempat; h) Dukungan desa dinas setempat; i) Kartu tanda penduduk (KTP) pemohon; j) UKL/UPL; k) Surat rekomendasi dari bupati; l) Surat akta pendirian perusahaan; m) Silsilah keluarga; n) Pernyataan perusahaan kepada warga: o) Surat kuasa; dan p) Surat dukungan dari pengempon pura. Berdasarkan uraian diatas, penulis berkeinginan untuk mengetahui bagaimana kewenangan pemerintah Kabupaten Buleleng untuk mengendalikan pertumbuhan villa bodong, dengan mendeskripskan melalui sebuah karya ilmiah dalam
bentuk
skripsi
dengan
judul
“KEWENANGAN
PEMERINTAH
KABUPATEN BULELENG DALAM MENGENDALIKAN PEMBANGUNAN VILLA”.
1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut:
9
1. Bagaimana pengaturan tentang lokasi di Kabupaten Buleleng yang dapat menjadi tempat untuk mendirikan villa ? 2. Apa syarat-syarat yang ditetapkan Pemerintah Daerah maupun masyarakat lokaldalam penetapanizin mendirikan villa di Kabupaten Buleleng?
1.3 Ruang Lingkup Masalah Ruang lingkup masalah bertujuan untuk memperoleh pembahasan yang tidak jauh menyipang dari pokok-pokok permasalahan yang telah dirumuskan. Adapun ruang lingkup masalah yang akan diuraikan adalah sebagai berikut: 1. Menguraikan lokasi-lokasi di Kabupaten Buleleng yang yang secara normatif dapat dijadikan tempat untuk mendirikan villa. 2. Menguraikan syarat-syarat yang ditetapkan oleh pemerintah maupun peran serta masyarakat lokal dalam penetapan izin mendirikan villa.
1.4 Tujuan Penelitian Adapun tujuan penyusunan skripsi ini dapat dibagi menjadi dua, yaitu: 1.4.1
Tujuan Umum Tujuan penulisan skripsi ini secara umum adalah untuk mengetahui kewenanagan Pemerintah Kabupaten Buleleng dalam mengendalikan pembangunan villa yang dilihat dari aspek hukum perizinan.
10
1.4.2
Tujuan Khusus Adapun yang menjadi tujuan penulisan skripsi ini secara khusus
yaitu : 1. Menganalisis pengaturan tentang lokasi yang dapat dijadikan tempat untuk mendirikan villa di Kabupaten Buleleng. 2. Menguraikan syarat-syarat yang ditentukan oleh pemerintah dan masyarakat lokal dalam penetapan izin mendirikan villa. 1.5 Manfaat Penelitian 1.5.1
Manfaat Teoritis Manfaat teoritis adalah manfaat penelitian ilmiah bagi pengembangan
keilmuan, masukan untuk pengembangan ilmu hukum dan bacaan bagi pendidikan hukum. Adapun manfaat teoritis dari penelitian ini adalah untuk memberikan masukan yang bermanfaat dalam pengembangan studi hukum, khususnya hukum perizinan. 1.5.2
Manfaat Praktis
Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat praktis kepada beberapa pihak yaitu: 1. Bagi Pemerintah, yaitu memberikan masukan kepada pemerintah agar mempertegas peraturan yang mengatur mengenai izin mendirikan villa. 2. Bagi Masyarakat, yaitu memberikan masukan kepada masyarakat lokal, agar ikut serta mengawasi pembangunan villa di Kabupaten Buleleng.
11
3. Bagi Peneliti, yaitu memberikan analisis dan argumentasi dalam praktekpraktek hukum yang terjadi di masyarakat, serta menjadi referensi dalam pembuatan karya tulis, baik makalah atau penelitian hukum lainnya.
1.6 Landasan Teoritis 1.6.1
Teori Negara Hukum Negara hukum adalah negara yang berdiri diatas hukum yang menjamin
keadilan bagi warga negaranya. Menurut Aristoteles, yang memerintah dalam suatu negara bukanlah manusia, melainkan pikiran yang adil, sedangkan penguasa hanya pemegang hukum dan keseimbangan9. Indonesia adalah negara hukum, tertuang pada Pasal 1 ayat (3) UUD NRI 1945 yang menyebutkan bahwa “Negara Indonesia adalah Negara Hukum”. Untuk merumuskan suatu konsep negara hukum dan merumuskannya sesuai kondisi di Indonesia, terdapat tiga belas pilar-pilar pokok sebagai penyangga satu negara modern, sehingga bisa disebut negara hukum, yakni10: 1. Supremasi Hukum (Supremacy of Law) 2. Persamaan dalam Hukum (Equality before the Law) 3. Asas Legalitas (Due Process of Law) 4. Pembatasan Kekuasaan 5. Organ-Organ Campuran Yang Bersifat Independen
9
Moh. Kusnardi dan Harmaily Ibrahim, 1983, Pengantar Hukum Tata Negara Indonesia, Cet. IV, Pusat Studi Hukum Tata Negara Fakultas Hukum Universitas Indonesia dan CV Sinar Bakti, Jakarta, h. 153. 10 Jimly Asshiddiqie, 2004, “Gagasan Negara Hukum Indonesia”, URL :http://jimly.com/makalah/namafile/57/Konsep_Negara_Hukum_Indonesia.pdf. Diakses tanggal 18 Februari 2015.
12
6. Peradilan Bebas dan Tidak Memihak 7. Peradilan Tata Usaha Negara 8. Peradilan Tata Negara (Constitutional Court) 9. Perlindungan Hak Asasi Manusia 10. Bersifat Demokratis (Democratische Rechtsstaat) 11. Berfungsi sebagai Sarana Mewujudkan Tujuan Bernegara (Welfare Rechtsstaat) 12. Transparansi dan Kontrol Sosial 13. Ber-Ketuhanan Yang Maha Esa. 1.6.2
Teori Kewenangan Setiap penyelenggaraan kenegaraan dan pemerintahan harus memiliki asas
legalias yang bersumber dari kewenangan yang diberikan oleh undang-undang. Dengan demikian, substani asas legalitas adalah wewenang, yaitu kemampuan untuk melakukan tindakan-tindakan hukum tertentu11. Harus dibedakan antara kewenangan (authority) dengan wewenang (competence). Kewenangan adalah kekuasaan formal yang diberikan oleh undang-undang, sedangkan wewenang hanya mengenai suatu bagian dari kewenangan dalam lingkup tindakan hukum publik, lingkup wewenang pemerintahan, tidak hanya meliputi wewenang membuat keputusan pemerintah (bestuur), tetapi meliputi wewenang dalam rangka pelaksanaan tugas, dan memberikan wewenang serta distribusi wewenang utamanya ditetapkan dalam peraturan perundang-undangan. Secara teoritis
11
Ridwan HR, 2011, Hukum Administrasi Negara Edisi Revisi, Rajawali Pers, Jakarta,
h.98.
13
pemerintah memperoleh wewenang melalui tiga cara yang sekaligus melekat sebagai wewenangnya, sebagai berikut: 1. Wewenang Atribusi, adalah wewenang yang diperoleh dari peraturan perundang-undangan. 2. Wewenang Delegasi, adalah wewenang yang diperoleh atas pelimpahan wewenang dari badan/organ pemerintahan yang lain. 3. Wewenang Mandat, adalah pelimpahan wewenang yang pada umumnya dalam hubungan rutin antara atasan dengan bawahan12.
1.6.3
Konsep Otonomi Daerah Menurut Pasal 1 angka 6 Undang-Undang Nomor 23 tahun 2014 Tentang
Pemerintahan Daerah, otonomi daerah adalah hak, wewenang, dan kewajiban daerah otonom untuk mengatur dan mengurus sendiri urusan pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kemudian pada angka 12, disebutkan bahwa Daerah Otonom yang selanjutnya disebut daerah, adalah kesatuan masyarakat hukum yang mempunyai batas-batas
wilayah
yang
berwenang
mengatur
dan
mengurus
urusan
pemerintahan dan kepentingan masyarakat setempat menurut prakarsa sendiri berdasarkan aspirasi masyarakat dalam sistem Negara Kesatuan Republik Indonesia. Terdapat
asas-asas
dalampenyelenggaraan
urusan
pemerintahan,
yaitu13: 12
Sadjijono, 2011, Bab-Bab Pokok Hukum Administrasi, Cet. II, LaksBang PRESSindo, Yogyakarta, h. 66.
14
1. Asas Desentralisasi, adalah penyerahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada daerah otonom untuk mengatur dan mengurus urusan pemerintahan dalam system NKRI. 2. Asas Dekonsentrasi, adalah pelimpahan wewenang pemerintahan oleh pemerintah kepada gubernur, sebagai wakil pemerintah kepada instansi vertikal di wilayah tertentu. 3. Asas Tugas Pembantuan, adalah penugasan dari pemerintah kepada daerah dan/atau desa; dari pemerintah provinsi kepada pemerintah kabupaten/kota dan/atau desa; serta dari pemerintah kabupaten/kotakepada desa untuk melakukan tugas tertentu. Mengenai hubungan antara pemerintah pusat dan daerah perlu diperhatikan bahwa, di daerah terdapat dua jenis pemerintahan yaitu pemerintahan daerah otonom yang diadakan sebagai pelaksanaan asas desentralisasi dan pemerintahan daerah administratif yang diadakan sebagai pelaksanaan asas dekonsentrasi. 1.6.4
Konsep Tata Ruang
Berdasarkan Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataaan Ruang yang selanjutnya disebut UUPR, “ruang adalah wadah yang meliputi ruang darat, ruang laut, dan ruang udara, termasuk ruang di dalam bumi sebagai satu kesatuan wilayah, tempat manusia dan makhluk lain hidup, melakukan kegiatan, dan memelihara kelangsungan hidupnya”. Kemudian pada angka 2, “tata ruang adalah wujud struktur ruang dan pola ruang”. Pasal 1 angka 5 UUPR mengemukakan: “penataan ruang adalah suatu system proses perncanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang”. Tata ruang sebagai wujud penataan ruang merupakan sarana untuk mewujudkan pembangunan berkelanjutan. Pembangunan berkelanjutan
13
Siswanto Sunarno, 2009, Hukum pemerintahan Daerah - di Indonesia, Cet. 3, Sinar Grafika, Jakarta, h. 7.
15
adalah pembangunan yang tidak hanya memecahkan masalah peningkatan kesejahteraan
tetapi
juga
peningkatan
kesejahteraan
masa
depan
dan
keberlangsungan lingkungan hidup. Penataan ruang diselenggarakan berdasarkan asas-asas14: a) Keterpaduan. b) Keserasian, keselarasan, dan keseimbangan. c) Keberlanjutan. d) Keberdayagunaan dan keberhasilgunaan. e) Keterbukaan. f) Kebersamaan dan kemitraan; g) Pelindungan kepentingan umum; h) Kepastian hukum dan keadilan. i) Akuntabilitas. 1.6.5
Konsep Perizinan
Izin adalah suatu persetujuan penguasa berdasarkan peraturan perundangundangan atau peraturan pemerintah untuk melakukan sesuatu yang menyimpang dari larangan peraturan perundang-undangan15. Adapun pengertian perizinan adalah suatu bentuk pelaksanaan fungsi pengaturan dan bersifat pengendalian yang dimiliki oleh pemerintah terhadap kegiatan-kegiatan yang dilakukan masyarakat.
14
A.M. Yunus Wahid, 2014, Pengantar Hukum Tata Ruang, Kencana, Jakarta, h. 16. Ridwan HR, Op.cit, h. 199.
15
16
1.7 Metode Penelitan 1.7. 1 Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam skripsi ini adalah penelitian hukum normatif. Menurut Peter Mahmud Marzuki, penelitian hukum normatif disebutkan sebagai: … suatu proses untuk menemukan suatu aturan hukum, prinsip-prinsip hukum, maupun doktrin-doktrin hukum untuk menjawab permasalahan hukum yang dihadapi. … Penelitian hukum normatif dilakukan untuk menghasilkan argumentasi, teori atau konsep baru sebagai prepenelitiandalam menyelesaikan masalah yang dihadapi….16 Alasan penggunaan penelitian hukum normatif, karena tidak adanya peraturan yang mengatur secara khusus tentang perizinan villa di Kabupaten Buleleng. 1.7. 2 Jenis Pendekatan Jenis pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah Pendekatan Perundang-Undangan (The Statute Approach )dan Pendekatan Konseptual (Conceptual Approach). Pendekatan perundang-undangan adalah pendekatan dengan menelaah peraturan perundang-undangan dan regulasi yang berkaitan dengan objek yang diteliti17. Pendekatan Konseptual yaitu pendekatan digunakan saat peneliti tidak beranjak dari aturan hukum yang ada. Hal ini dikarenakan belum atau tidak ada aturan hukum untuk masalah yang dihadapi18. 1.7. 3 Bahan Hukum Bahan
hukum
yang
dipergunakan
dalam
penelitian
ini
terdiri dari :
16 Mukti Fajar dan Yulianto Achmad, 2010, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, Pustaka Pelajar, Yogyakarta, h. 34. 17 Peter Mahmud Marzuki, 2008, Penelitian Hukum, Cet. IV, Kencana, Jakarta, h. 97. 18 Ibid, h. 137
17
1. Bahan Hukum Primer, yaitu bahan hukum yang bersifat autoritatif artinya mempunyai otoritas. Bahan hukum primer terdiri dari peraturan perundang-undangan, yaitu: 1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. 2) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 26 Tahun 2007 Tentang Penataan Ruang. 3) Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2009 Tentang Kepariwisataan. 4) Peraturan Daerah Provinsi Bali Nomor 16 Tahun 2009 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Provinsi Bali Tahun 2009 – 2029. 5) Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 11 Tahun 2007 Tentang Retribusi Izin Usaha Hotel Melati dan Pondok Wisata di Kabupaten Buleleng. 6) Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 2 Tahun 2012 Tentang Perizinan. 7) Peraturan Daerah Kabupaten Buleleng Nomor 9 Tahun 2013 Tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kabupaten Buleleng Tahun 2013 – 2033. 8) Peraturan
Menteri
Kebudayaan
dan
Pariwisata
Nomor:
PM.86/HK.501/ MKP/2010 Tentang Tata Cara Pendaftaran Usaha Penyediaan Akomodasi.
18
2. Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang berupa publikasi tentang hukum, yang terdiri dari buku-buku dan dan tulisan-tulisan ilmiah yang terkait dengan objek penelitian ini19. 3. Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk, penunjang ataupun penjelasan terhadap bahan hukum primer dan sekunder, contohnya : kamus, ensiklopedi, indeks kumulatif dan seterusnya20. 4. Data Penunjang Data Penunjang adalah data yang berupa hasil wawancara (interview), yaitu situasi peran antar pribadi bertatap muka (face to face), ketika seseorang yakni pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah
penelitiankepada
seorang
responden21.
Wawancara
akan
dilakukan dengan pihak-pihak yang terkait dengan penelitian ini, seperti, Dinas Kebudayaan dan Pariwisata, dan pihak-pihak lain yang terkait dengan izin mendirikan villa. 1.7. 4 Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Adapun teknik pengumpulan bahan hukum yang dipakai dalam penelitian ini yaitu:
19
Peter Mahmud Marzuki, Op.cit, h. 141. Soerjono Soekanto dan Sri Mamuji, 2006, Penelitian Hukum Normatif, Raja Grafindo Persada, Jakarta, h. 13. 21 Amiruddin dan Zainal Asikin, 2004, Pengantar Metode Penelitian Hukum, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, h.82. 20
19
1. Studi Dokumen Studi dokumen yaitu teknik pengumpulan data dari bahan-bahan bacaan yang dapat diperoleh dari peraturan-peraturan perundang-undangan, yang mempunyai relevansi dengan permasalahan yang disajikan, dan juga dari buku-buku literatur, serta berbagai artikel dan media masa. 2. Wawancara Selain studi dokumen, penulis juga melakukan wawancara dengan narasumber yang menguasai permasalahan yang akan diteliti. Wawancara adalah situasi saling bertatap muka (face to face), dimana seseorang, yaitu pewawancara mengajukan pertanyaan-pertanyaan yang dirancang untuk memperoleh jawaban-jawaban yang relevan dengan masalah penelitian kepada seorang responden. 1.7. 5 Teknik Analisis Bahan hukum/data yang dikumpulkan kemudian diolah dan dianalisis (baik bahan hukum primer, sekunder dan tersier termasuk data penunjang) secara kualitatif, yaitu bahan yang diperoleh dari berbagai sumber dikumpulkan untuk mendapatkan bahan hukum yang relevan untuk menyelesaikan masalah yang diangkat dalam penelitian ini. Setelah melalui proses analisis, bahan hukum tersebut disajikan secara deskriptif analisis, yaitu penyajian secara lengkap aspekaspek hukum dari permasalahan yang diteliti dan dianalisa kebenarannya.