BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Salah satu fungsi museum adalah sebagai sarana pendidikan. Fungsi ini secara jelas tertuang dalam definisi museum versi International Council of Museum (ICOM) maupun American Association of Museums (AAM). Dalam definisi ICOM disebutkan : “A museum ….... and exhibits …… for the purposes of education”. Sementara itu, AAM menyatakan “A museum ….... for essentially educational and aesthetic purposes that cares ............”. Para ahli juga setuju bahwa museum harus memiliki muatan pendidikan. Edson dan Dean (1999: 194) menyatakan bahwa setiap museum mempunyai tanggung jawab dalam pelayanan bidang pendidikan kepada masyarakat. Hal tersebut berarti bahwa perlu adanya komitmen yang jelas dimana pendidikan harus dianggap sebagai tujuan utama dari kebijakan museum. Idealnya, setiap tindakan museum harus bertujuan untuk melayani pengunjung terutama aspek pendidikannya. Karya tulis ini dimaksudkan untuk membahas aspek pendidikan dalam penyelenggaraan museum di Indonesia. Sebagaimana dinyatakan oleh Asiarto (2007: 8), pengunjung museum-museum di Indonesia lebih didominasi oleh kelompok pelaku studi. Salah satu kelompok pelaku studi yang banyak mengunjungi museum-museum di Indonesia ialah siswa Sekolah Dasar (SD). Mereka umumnya mempunyai agenda tetap untuk berkunjung ke museum. Oleh karena itu, kelompok tersebut patut mendapat perhatian khusus dari museum. Selama mengunjungi museum, para siswa umumnya saling berbicara satu sama 1
lain sebagai respon atas apa yang mereka lihat atau dengar. Hal ini menjadi bukti bahwa interaksi sosial terjadi dalam proses pembelajaran pengunjung siswa SD. Siswa lebih suka berbagi tentang apa yang mereka pelajari bersama orang lain khususnya teman sebaya daripada mendengarkan penjelasan guru (Falk & Dierking, 2000: 103). Mereka berinteraksi sebagai cara untuk mengumpulkan informasi, memastikan pemahaman, dan membangun pengetahuan bersama. Oleh karena itu, sudah sewajarnya museum sebagai sarana pendidikan dapat mengakomodir pengalaman-pengalaman sosial tersebut dalam pembelajaran pengunjung siswa SD. Caranya antara lain dapat dilakukan dengan menyediakan fasilitas belajar, menyusun program edukasi tertentu, serta menerapkan model pembelajaran kelompok yang menekankan pada prinsip kolaborasi dan kerjasama. Pada kenyataannya, dalam melayani pembelajaran pengunjung siswa SD, sebagian besar museum di Indonesia belum memiliki program edukasi khusus. Jikapun ada, kebanyakan dari program-program edukasi tersebut masih berupa kegiatan yang sifatnya individual. Kegiatan pembelajaran yang ditawarkan belum secara khusus dirancang sebagai media interaksi antar siswa, siswa dengan guru, maupun siswa dengan orang tua. Museum Sonobudoyo dan Museum Nasional yang sama-sama memiliki jumlah pengunjung kelompok pelaku studi paling banyak misalnya, ternyata belum memiliki program edukasi seperti itu. Di Museum Sonobudoyo, belum ada program edukasi yang khusus ditawarkan bagi kelompok pelajar. Museum Nasional pernah merancang program edukasi sekaligus hiburan untuk pengunjung siswa sekolah. Bagi siswa SD, ada berbagai pilihan program edukasi yang ditawarkan seperti membatik pada kain yang telah
2
diberi pola dan melukis di atas media payung kertas. Namun kegiatan-kegiatan tersebut cenderung masih bersifat individual. Belum ada kegiatan lainnya yang dirancang
secara
khusus
untuk
mengakomodir
interaksi
sosial
dalam
pembelajaran pengunjung siswa sekolah. Selain kedua museum yang disebutkan di atas, museum yang juga berfokus pada pelayanan edukasi ialah Museum Pusat Tentara Nasional Indonesia Angkatan Udara (TNI-AU) Dirgantara Mandala atau disingkat Museum Dirgantara Mandala. Hal tersebut dinyatakan dalam salah satu misinya yaitu „mengembangkan kualitas pengelolaan dan pelayanan informasi agar menjadi sumber edukasi, penelitian,...................‟ Museum Dirgantara Mandala termasuk salah satu tujuan wisata museum yang terkenal di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Hal ini dibuktikan salah satunya dari jumlah pengunjung Museum Dirgantara Mandala yang mencapai 191.441 orang pada tahun 2013 1. Pengunjung museum yang berlokasi di Wonocatur, Bantul, DIY ini didominasi oleh kelompok pelaku studi, terutama siswa SD. Berdasarkan data jumlah pengunjung Museum Dirgantara Mandala selama tujuh tahun terakhir (2009-2015), jumlah pengunjung siswa SD pada tahun 2009, 2011, 2013, dan 2015 menempati urutan tertinggi dari keseluruhan jumlah pengunjung kelompok pelajar lainnya. Sebagian besar dari mereka datang dalam rombongan sekolah meskipun ada pula yang datang bersama keluarga. Rombongan pengunjung siswa SD umumnya datang ke Museum Dirgantara Mandala dalam rangka study tour yang diselenggarakan oleh pihak sekolah.
1
Berdasarkan data jumlah pengunjung Museum Dirgantara Mandala tahun anggaran 2013
3
Pengunjung siswa SD yang datang bersama keluarga selain bertujuan untuk berekreasi, mereka juga ingin memperoleh informasi pengetahuan dari kunjungan museum. Museum Dirgantara Mandala merupakan museum yang menyimpan serta memamerkan koleksi yang berhubungan dengan sejarah perjuangan TNI-AU. Tema kedirgantaraan dan cerita-cerita kepahlawanan yang disuguhkan dalam bentuk display merupakan daya tarik tersendiri bagi pengunjung. Bagi pengunjung siswa SD, tema kedirgantaraan dan cerita-cerita kepahlawanan dapat dijadikan sebagai tema pembelajaran karena berhubungan dengan ilmu pengetahuan dan teknologi, cita-cita, serta minat mereka. Menjelang masuk SD, anak mulai tertarik pada peristiwa yang betul-betul terjadi atau semestinya harus terjadi sehingga anak lalu menyukai cerita-cerita kepahlawanan (Kartono, 2007: 138). Berdasarkan pengamatan yang sejauh ini dilakukan, pembelajaran pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala cenderung masih bersifat konvensional. Selama mengunjungi Museum Dirgantara Mandala, mereka umumnya hanya dapat mendengarkan penjelasan dari pemandu mengenai sejarah dan koleksi museum. Tidak ada kegiatan yang dapat mereka lakukan. Keadaan ini membuat siswa tampak pasif dalam proses pembelajaran. Saat pemandu museum (guide) sedang menjelaskan, tidak semua siswa berusaha memperhatikan. Berdasarkan hasil pengamatan terhadap 318 orang pengunjung siswa SD yang datang dalam rombongan sekolah, dari enam SD disimpulkan bahwa selama pemandu museum memberikan penjelasan, hanya
sekitar 3% siswa yang
4
sepenuhnya memperhatikan dari awal hingga selesai. Sisanya yang 97% tidak benar-benar memperhatikan. Ada yang memperhatikan sembari bergurau dengan teman atau melihat display lain (bukan display yang sedang dijelaskan oleh pemandu). Akibatnya, tidak semua siswa dapat menyerap informasi dengan baik sehingga proses pembelajaran menjadi kurang efektif. Hal tersebut kemungkinan besar disebabkan oleh beberapa faktor sebagai berikut : 1. Metode pembelajaran konvensional seringkali membuat siswa menjadi jemu/bosan. Hal ini dikarenakan siswa hanya dapat mendengarkan penjelasan dari pemandu museum tanpa ada kegiatan yang dapat mereka lakukan. 2. Jumlah pemandu museum tidak sebanding dengan jumlah pengunjung siswa SD yang dipandu, yaitu 1 pemandu untuk sekitar 40 orang siswa SD (1 : 40). Peran guru kelas dalam pembelajaran siswa di museum sangat minim sehingga sumber belajar hanya tergantung pada pemandu. Oleh karena itu perlu ada komunikasi antara pihak Museum Dirgantara Mandala dengan guru kelas terkait model pembelajaran yang dapat diterapkan maupun penyiapan materi belajar bagi pengunjung siswa SD Museum Dirgantara Mandala. 3. Melalui pembelajaran konvensional seperti di atas, belum seluruh pengunjung siswa SD memperoleh pembelajaran yang bermakna di Museum Dirgantara Mandala. Proses pembelajaran memang sudah terjadi, namun siswa yang sungguh-sungguh
memperoleh
dikategorikan dalam
ilmu
hanyalah
segelintir.
Jika
siswa
kelompok tinggi (di atas rata-rata kelas), kelompok
menengah (rata-rata), dan kelompok rendah (di bawah rata-rata kelas), maka pembelajaran
dengan metode konvensional hanya
tertuju
pada
siswa
5
kelompok menengah dan kelompok tinggi. Kenyataan menunjukkan bahwa siswa-siswa yang berada pada kelompok rendah umumnya akan merasa kesulitan dalam memahami suatu materi maupun menyelesaikan soal yang dianggap mudah untuk kelompok atau siswa lain dan cenderung akan berusaha menghadapi kesulitannya sendiri tanpa bantuan orang lain. Sebagai konsekuensinya, mereka akan selalu tersisih dari siswa lainnya dan semakin tertinggal dalam aktivitas belajar. Demikian pula prestasi dan motivasi mereka dalam belajar akan kian menurun. Sama halnya dengan pengunjung siswa SD yang datang bersama keluarga. Sejauh ini, belum ada aktivitas apapun yang dapat dilakukan oleh anak bersama orang tua selama kunjungan museum. Selain penyediaan jasa pemandu, upaya lainnya yang telah dilakukan oleh Museum Dirgantara Mandala untuk melayani pembelajaran pengunjung siswa SD ialah penyediaan alat simulator pesawat, pemutaran film bermuatan edukasi atau bertema kedirgantaraan, dan penyediaan sarana informasi berupa buku panduan museum dan website (web) museum. Akan tetapi upayaupaya tersebut akan lebih baik jika dilengkapi dengan penerapan program edukasi kolaboratif. Tujuannya ialah untuk meningkatkan kualitas edukasi pengunjung tingkat SD di Museum Dirgantara Mandala. Prinsip edukasi kolaboratif sudah banyak diterapkan dalam pembelajaran pengunjung kelompok pelajar di museum-museum di Negara Barat, diantaranya di Dallas Museum of Art‟s Stories dan Vasterbotten County Museum. Dallas Museum of Art‟s Stories membuat web pembelajaran online yang khusus diperuntukkan bagi anak untuk dapat belajar bersama orang tua. Pada web
6
tersebut disuguhkan enam cerita tentang karya seni koleksi masterpiece Museum Cerita Seni Dallas. Tiap cerita dirancang khusus untuk anak usia 4-7 tahun yang dapat dibaca dengan lantang oleh orang-orang dewasa yang mereka sayangi (Sayre dan Wetterlund, 2008: 88). Setiap cerita dilengkapi pula dengan beberapa pertanyaan, berbagai permainan, dan puzzle yang bertemakan cerita seni Arturo. Semuanya dirancang untuk mendorong interaksi antara anak dengan orang tua. Selain itu, dengan adanya program belajar online, anak menjadi lebih antusias ketika mengunjungi museum. Mereka dapat melihat secara langsung wujud karya seni seperti yang ada pada web pembelajaran. Berbeda dengan Vasterbotten County Museum di Swedia yang didesain khusus sebagai sarana pembelajaran bagi siswa SD dan SLTP. Museum ini menyediakan buku panduan untuk membantu para guru dalam menyiapkan materi mengajar dan membagi kelompok belajar siswa. Selama kunjungan ke museum, siswa dibagi dalam kelompokkelompok belajar kecil dimana tiap kelompok terdiri dari 2-4 orang siswa. Di pintu masuk museum juga telah disediakan kartu belajar bagi tiap kelompok siswa sebagai panduan langkah-langkah pembelajaran di museum. Kartu belajar berisi penjelasan mengenai ke mana saja mereka harus melangkah dan apa saja yang harus mereka lakukan (Jelinek, 1975: 53). Sebagaimana kedua museum yang disebutkan di atas, Museum Dirgantara Mandala perlu menerapkan prinsip kolaborasi dalam pembelajaran pengunjung siswa SD. Oleh karena itu, sangat penting bagi pihak Museum Dirgantara Mandala untuk merancang program edukasi khusus dan mengupayakan berbagai
7
fasilitas belajar sehubungan dengan pelaksanaan konsep belajar kelompok tersebut.
1.2. Rumusan Masalah Dari latar belakang tersebut dapat dirumuskan permasalah sebagai berikut : 1. Bagaimana membuat rancangan program pembelajaran kolaboratif untuk pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala? 2. Bagaimanakah menerapkan program pembelajaran kolaboratif untuk pengunjung siswa SD Museum Dirgantara Mandala yang lebih bermanfaat dibandingkan kegiatan pembelajaran yang berlangsung sebelumnya?
1.3. Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan Penelitian Berdasarkan pada perumusan masalah tersebut, penelitian ini bertujuan untuk: meningkatkan kualitas pembelajaran pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara
Mandala
kolaboratif
sebagai
dengan konsep
merekomendasikan yang
memadai
model
untuk
pembelajaran
diterapkan
dalam
pembelajaran mereka di Museum Dirgantara Mandala memberikan kemudahan bagi pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala agar siswa dapat secara aktif terlibat dalam kegiatan belajar di museum tersebut sehingga proses pembelajaran mereka diharapkan dapat berjalan lebih efektif.
8
Hasil luaran penelitian ini berupa beberapa rancangan program pembelajaran kolaboratif yang sekiranya dapat direkomendasikan untuk pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala.
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat berupa : masukan bagi komunitas TNI-AU selaku pihak penyelenggara sekaligus pengelola Museum Dirgantara Mandala dalam melayani pembelajaran pengunjung siswa SD baik yang datang dalam rombongan sekolah maupun bersama keluarga. wacana bagi kalangan pendidikan khususnya dengan minat utama museologi dalam kaitannya dengan penerapan model pembelajaran kolaboratif di museum khususnya bagi pengunjung siswa SD
1.4. Landasan Teori Pembelajaran
kolaboratif
merupakan
metode
pembelajaran
yang
menekankan pada prinsip kolaborasi. Istilah kolaborasi sendiri menurut Woolfolk (2009: 256), dapat didefinisikan sebagai falsafah tentang bagaimana berhubungan dengan orang dengan tetap menghargai perbedaan, berbagi wewenang, dan mendasarkan diri pada pengetahuan yang didistribusikan diantara orang lain. Gerlach (1994: 9) menyatakan bahwa ”Collaborative learning is a process that involves interaction among individuals in a learning situation. It is rooted in a theory of learning that focuses on social interaction as a way to building knowledge”. Senada dengan pendapat Gerlach, menurut Sato (2007) dalam
9
Wiyatmo 2, pembelajaran kolaboratif tidak bertujuan untuk mencapai kesatuan yang didapat melalui kegiatan kelompok, melainkan tiap siswa dalam kelompok didorong untuk menemukan beragam pendapat atau pemikiran. Dari beberapa pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pembelajaran kolaboratif ialah pembelajaran yang menekankan pada pentingnya interaksi sosial antar individu dalam kelompok untuk membangun pemahaman atau pengetahuan setiap anggota kelompok. Dalam model pembelajaran ini, bukan hasil belajar yang diutamakan melainkan interaksi sosial dalam proses pembelajaran. Interaksi sosial yang dimaksud menekankan pada prinsip kerjasama. Kerjasama dapat didefinisikan sebagai cara untuk bekerja bersama orang lain untuk mencapai tujuan bersama (Gillies, 2003 dalam Woolfolk, 2009: 256). Kerjasama menghasilkan prestasi akademik yang lebih tinggi, menciptakan kemampuan melakukan hubungan sosial lebih baik, meningkatkan rasa percaya diri, dan mampu mengembangkan saling percaya di antara sesama individu maupun kelompok (Zamroni, 2000: 44). Dengan berkolaborasi, siswa dapat mencapai sesuatu yang baru, yang tidak mampu ia capai dengan usaha sendiri. Dalam kelompok, setiap siswa bertanggung jawab terhadap pembelajaran siswa lain sehingga keberhasilan seorang siswa dalam bidang akademis dapat membantu siswa lain agar juga menjadi berhasil. Model kolaboratif dapat diterapkan dalam pembelajaran anak sejak dini yakni mulai pada tingkat SD. Menjelang masuk SD, anak telah mengembangkan pengaruh sosial yang kompleks 3. Anak dengan rentang usia 6-13 tahun telah
2
http://eprints.uny.ac.id/12327/1/C_Pend_Fis_Yusman.pdf. Diakses pada 5 Mei. Pukul 13.31 WIB Sugiyanto. “Karakteristik Anak Usia SD”. http://staff.uny.ac.id/sites/default/files/tmp/Karakteristik%20Siswa%20SD.pdf. Diakses pada 27 April 2014. Pukul 11.22 WIB 3
10
memiliki
ketrampilan
sosial,
salah
satunya
adalah
social-help
skill
(Soesilowindradini, 2004: 116-119). Social-help skill berguna untuk membantu orang lain di rumah, di sekolah, dan di tempat bermain seperti membersihkan halaman dan merapikan meja kursi. Keterampilan ini akan menambah perasaan harga diri anak dan menjadikannya sebagai anak yang berguna sehingga anak mulai suka bekerja sama (kolaboratif) dan mampu berbagi. Pada kelas tinggi di SD sudah mulai mengenal dan mampu melakukan tugas dan tanggung jawab dalam kelas atau kelompok (Anitah. W, dkk, 2009: 2.21). Kemampuankemampuan sosial inilah yang ingin ditumbuhkembangkan melalui penerapan model pembelajaran kolaboratif. Pada umumnya karakteristik anak usia SD adalah senang bermain, senang bergerak, senang bekerja dalam kelompok, dan senang merasakan/melakukan sesuatu secara langsung 4. Oleh karena itu, dalam implikasi pembelajarannya seyogyanya dapat dirancang dengan kegiatan yang ada unsur permainan, memungkinkan anak bergerak, serta dapat belajar bergaul dan bekerja sama. Semua itu dapat terwadahi dengan pembelajaran kolaboratif sehingga kepribadian sosial anak berkembang dan anak dapat merasakan pengalaman konkret dalam pembelajaran. Pada dasarnya pembelajaran kolaboratif adalah filosofi pribadi dan bukan hanya sekedar teknik dalam pembelajaran di kelas. Filosofi ini dapat diterapkan untuk kepentingan pembelajaran dimana pun baik di institusi pendidikan formal maupun pendidikan non formal. Hal ini berarti bahwa museum sebagai institusi 4
“Karakteristik Anak Usia SD”, http://mastugino.blogspot.co.id/2013/06/karakteristik-anak-usiasd.html. Diakses pada 21 Juni 2014. Pukul 11.15 WIB
11
pendidikan non formal dapat menerapkan filosofi kolaboratif dalam konteks pembelajaran bagi pengunjung. Sebagaimana dikemukakan oleh Falk dan Dierking dalam bukunya berjudul Learning from Museums (2000: 138) bahwa museum menciptakan lingkungan unik untuk pembelajaran kolaboratif. Sebagaimana dikemukakan di atas, model kolaboratif perlu diterapkan dalam pembelajaran pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala. Dengan cara ini, pembelajaran mereka di museum tidak akan sepenuhnya tergantung pada jasa pemandu. Siswa akan digiring pada aktivitas belajar dalam kelompok kecil. Dengan berkolaborasi, siswa dapat mengkonstruksi pengetahuan bersama. Prinsip ini memungkinkan antar siswa untuk saling bertukar pikiran, mengklarifikasi pemahaman, dan memotivasi dalam belajar. Interaksi dan kerjasama yang terbangun akan memacu siswa lebih aktif dalam proses berpikir dan lebih mempermudah mereka dalam memahami pengetahuan. Demikian pula dengan pengunjung siswa SD yang datang bersama keluarga. Anak dapat berkolaborasi dalam belajar bersama orang tua. Selain guru, orang tua dapat menjadi mentor karena dianggap sebagai orang yang mampu membimbing dan mengarahkan anak dalam belajar. Dengan demikian, proses pembelajaran pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala diharapkan dapat berjalan efektif.
1.5. Keaslian Penelitian Penelitian mengenai
pentingnya menerapkan model pembelajaran
kolaboratif dalam pembelajaran pengunjung siswa SD Museum Dirgantara Mandala sejauh pengetahuan penulis belum pernah dilakukan. Terdapat tulisan12
tulisan yang membahas mengenai Museum Dirgantara Mandala, namun belum ada yang terkait langsung dengan pembelajaran. Beberapa diantaranya adalah sebagai berikut. Ifdhal (2005), dalam skripsinya yang berjudul Analisa dan Perancangan Multimedia Interaktif sebagai Pendukung Promosi Pada Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala Yogyakarta telah membuat analisis dan model perancangan media promosi berbasis multimedia yang ditujukan bagi siapapun yang membutuhkan informasi mengenai Museum Dirgantara Mandala. Sistem informasi berbasis multimedia ini merupakan alternatif baru bentuk penyajian informasi audio-visual tentang Museum Dirgantara Mandala untuk menarik minat para pengunjung guna meningkatkan daya saing khususnya di bidang pariwisata (media promosi). Selain itu sistem informasi tersebut dapat dijadikan sebagai lapangan pekerjaan dan objek penelitian pengembangan pada aspek-aspek pendukung penerapan teknologi khususnya multimedia. Informasi audio-visual dibuat dalam bentuk informasi yang dapat disampaikan dan diterima oleh indera manusia yaitu indera pendengaran dan indera penglihatan. Dari analisa manfaat dan biaya yang telah dibuat, adanya sistem informasi tersebut akan dapat meningkatkan citra dan daya saing Museum Dirgantara Mandala dengan lebih hemat biaya. Dalam laporan akhir D3 berjudul Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata Unggulan Bagi Kalangan Wisatawan Pelajar di DIY, Yulianto (2006) telah meneliti tentang sejauh mana peran Museum Dirgantara Mandala sebagai obyek dan daya tarik wisata unggulan
13
bagi kalangan wisatawan pelajar dari tingkat TK-SLTA di wilayah DIY. Penelitian ini bersifat deskriptif analisis dengan menggunakan metode pendidikan sebagai pendekatannya. Data diperoleh dari observasi, interview dengan staff museum dan pengunjung pelajar TK-SLTA, kuesioner, dan studi pustaka. Analisis yang digunakan ialah SWOT. Dari hasil penelitian tersebut disimpulkan bahwa Museum Dirgantara Mandala sangat sesuai dijadikan tempat wisata dan pendidikan bagi pelajar karena tak hanya menyuguhkan tontonan benda-benda koleksi yang dipamerkan, namun dibalik koleksi tersebut tersimpan suatu ilmu pengetahuan yang sangat berguna bagi mereka. Pengetahuan yang dapat diperoleh tersebut khususnya berhubungan dengan kedirgantaraan, terutama dalam menanamkan nilai-nilai perjuangan bangsa kepada generasi penerus. Dalam tesisnya, Supriyadi (2009) telah melakukan penelitian untuk mengetahui peran keberadaan Museum Pusat TNI AU Dirgantara Mandala dalam peningkatan nasionalisme pelajar SLTA dan implikasinya terhadap ketahanan ideologi. Penelitian ini merupakan penelitian survei dan bersifat deskriptif. Populasi penelitian adalah pelajar SLTA yang berkunjung ke Museum Dirgantara Mandala. Teknik pengambilan sampel menggunakan metode probability sampling sedangkan sampel yang diambil adalah 100 orang pelajar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat hubungan antara kunjungan pelajar ke museum dengan sikap nasionalisme pelajar. Pertama, museum dapat dilihat sebagai tempat pendidikan, untuk mengkomunikasikan nilai-nilai kejuangan dan kepribadian bangsa, serta sebagai objek wisata sejarah yang berperan dalam upaya meningkatkan sikap nasionalisme pelajar. Kedua, sikap nasionalisme berupa rasa
14
memiliki dan menentukan nasib bangsa sendiri, terwujudnya kesatuan teritorial, terciptanya kesatuan sosio-kultural, dan terbentuknya karakter bangsa yang kuat telah berpengaruh terhadap ketahanan ideologi. Kesimpulan dari penelitian ini adalah keberadaan Museum Dirgantara Mandala baik fungsi maupun perannya dapat meningkatkan sikap nasionalisme pelajar SLTA. Hal tersebut akan berimplikasi terhadap semakin meningkatnya ketahanan ideologi. Rahadi (2016), dalam penelitian tesisnya telah mengevaluasi keberadaan replika potongan pesawat Dakota VT-CLA sebagai koleksi masterpiece di Museum Dirgantara Mandala dan membedah alasan-alasan yang disampaikan baik secara implisit maupun eksplisit. Penelitian tersebut menggunakan analisis kualitatif yang meliputi deskripsi koleksi, storyline, dan sejarah berdirinya Museum Dirgantara Mandala. Visi dan misi untuk membangun rasa nasionalisme yang diusung Museum Dirgantara Mandala merupakan bagian yang diamati dari segi penyampaian informasi serta simbol yang digunakan, terutama melalui koleksi masterpiecenya. Untuk menguraikan alasan-alasan serta tujuan dibalik koleksi masterpiece tersebut, Rahadi menggunakan sudut pandang postkolonial. Hasil penelitian menunjukkan bahwa terdapat muatan politis dibalik pemilihan replika potongan pesawat Dakota VT-CLA di Museum Dirgantara Mandala. Storyline yang disampaikan mengarah pada peristiwa tertembaknya pesawat Dakota VT-CLA dan tokoh-tokoh Angkatan Udara (AU) yang menjadi korban pada peristiwa tersebut. Dalam usaha membentuk rasa nasionalisme, ternyata praktek kolonialisme tetap menjadi bagian yang tidak bisa dipisahkan. Praktek kolonialisme tersebut tidak terlihat secara fisik melainkan berupa konstruksi
15
pemikiran. Menurut Rahadi, koleksi masterpiece replika potongan pesawat Dakota VT-CLA adalah bentuk legitimasi dari AU Indonesia yang telah memiliki andil dalam merebut kemerdekaan Indonesia. Melalui narasi yang disertakan pada koleksi masterpiece tersebut, pengunjung diajak untuk memasuki kembali babak lama dalam peran serta perjuangan TNI-AU melawan penjajah dan untuk turut meresapi nilai-nilai perjuangan serta pengorbanan yang telah dilakukan oleh TNIAU dalam merebut kemerdekaan Indonesia.
1.6. Metode Penelitian Metode penelitian adalah cara dalam melaksanakan penelitian sesuai dengan tujuannya (Aqib, 2006: 33). Penelitian dalam karya tulis ini bersifat deskriptif-analitis, yang pada intinya memberikan gambaran tentang suatu fakta atau gejala tertentu melalui cara analisis tertentu (Tanudirjo, 1989: 34). Metode deskriptif memberikan gambaran tentang berbagai catatan data di lapangan, hasil wawancara,
dokumen,
dsb
(Ratna,
2010:
336).
Adapun
penalarannya
menggunakan penalaran induktif, yaitu bergerak dari kajian fakta-fakta atau gejala-gejala khusus untuk kemudian disimpulkan sebagai gejala yang bersifat umum atau generalisasi empiris (Tanudirjo, 1989: 34). Tahap-tahap yang dilakukan dalam penelitian ini meliputi pengumpulan data, analisis data, perancangan, simulasi penerapan, dan kesimpulan. Data yang dikumpulkan terdiri dari data primer dan data sekunder. Data primer berupa catatan data di lapangan dan hasil wawancara. Data sekunder berupa arsip, buku, artikel, jurnal ilmiah, dan data-data dari internet yang sesuai dengan tujuan penelitian. Proses penelitian secara rinci diuraikan pada bagian berikut ini. 16
Tahap Pengumpulan Data 1. Observasi Lapangan Menurut Adlen dan Adler (2009) dalam Ratna (2010: 217), semua penelitian di dunia sosial pada dasarnya menggunakan teknik observasi. Observasi adalah metode pengumpulan data dengan cara mengamati gejala yang diteliti dengan menggunakan panca indera manusia (penglihatan dan pendengaran) yang diperlukan untuk menangkap gejala yang diamati (Adi, 2004: 70). Pada penelitian ini, kegiatan observasi dilakukan untuk mengetahui lebih jauh mengenai upayaupaya apa saja yang sejauh ini dilakukan oleh pihak Museum Dirgantara Mandala dalam melayani pembelajaran pengunjung siswa SD. Upaya-upaya yang dimaksud terkait dengan berbagai fasilitas dan program kegiatan yang ada di Museum Dirgantara Mandala khususnya yang berhubungan dengan pendidikan. Contohnya sajian display di museum, cara pemandu museum dalam melayani pembelajaran pengunjung, serta fasilitas yang ada di museum seperti buku panduan, brosur, miniteater, dan alat simulator pesawat.
2. Wawancara Wawancara ialah metode pengambilan data dengan berkomunikasi secara langsung atau bertatap muka, baik antara individu dengan individu maupun individu dengan kelompok. Pada penelitian ini wawancara akan dilakukan secara langsung dengan narasumber. Narasumber ialah pemberi informasi yang dibutuhkan oleh peneliti. Dalam penelitian ini para narasumber yang dimaksud ialah Kepala Museum Dirgantara Mandala dan para pemandu Museum Dirgantara Mandala untuk menggali informasi mengenai program-program kegiatan apa saja 17
yang sejauh ini telah diselenggarakan oleh pihak Museum Dirgantara Mandala terutama yang bersifat edukatif serta salah seorang guru SD untuk mengetahui aspek-aspek pembelajaran yang harus diperhatikan dalam merancang materi belajar yang sesuai untuk siswa SD.
3. Studi Pustaka Studi kepustakaan sangat diperlukan dalam penelitian. Singarimbun mengemukakan beberapa manfaat yang diperoleh dari studi kepustakaan diantaranya menggali teori-teori dasar dan konsep yang telah dikemukakan oleh para ahli terdahulu, mengikuti perkembangan penelitian dalam bidang yang akan diteliti, dan menghindarkan duplikasi penelitian (1989: 70-71). Pada penelitian ini pengumpulan data melalui studi pustaka diperoleh dari buku-buku, artikel, jurnaljurnal ilmiah, serta sumber-sumber lainnya yang berhubungan dengan tujuan penelitian yakni segala hal yang berkaitan dengan model pembelajaran kolaboratif termasuk informasi mengenai apa saja program-program edukasi yang ditawarkan oleh museum-museum di Negara Barat terutama untuk pengunjung berkelompok.
Tahap Analisis Data Pada tahap ini, dilakukan analisis dari data-data yang telah dikumpulkan agar selanjutnya dapat digunakan sebagai acuan dan bahan pertimbangan dalam membuat rancangan program pembelajaran kolaboratif bagi pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala.
18
Tahap Perancangan dan Simulasi Penerapan Tahap
berikutnya
ialah
membuat
beberapa
rancangan
program
pembelajaran kolaboratif yang sekiranya dapat direkomendasikan untuk pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala. Selanjutnya ialah mensimulasikan penerapan rancangan program-program edukasi tersebut pada pengunjung SD di Museum Dirgantara Mandala.
Tahap Evaluasi dan Penyimpulan Tahap terakhir ialah melakukan evaluasi terhadap simulasi penerapan rancangan program pembelajaran kolaboratif yang telah dilakukan sebelumnya pada pengunjung SD di Museum Dirgantara Mandala sehingga diperoleh kesimpulan.
19
1.7. Bagan Alir Penelitian
Perlu peningkatan cara pembelajaran pengunjung siswa SD Museum Dirgantara Mandala
Rekomendasi penerapan model kolaboratif dalam pembelajaran pengunjung siswa SD Museum Dirgantara Mandala
Studi literatur
Observasi dan Wawancara
Model pembelajaran kolaboratif Macam fasilitas di Museum Dirgantara Mandala
Cara pembelajaran pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala
Tahap perkembangan anak usia SD Macam fasilitas belajar Program edukasi di museum-museum di Negara Barat untuk pengunjung berkelompok
Analisis
Rancangan program pembelajaran kolaboratif untuk pengunjung siswa SD di Museum Dirgantara Mandala
Simulasi penerapan rancangan program pembelajaran kolaboratif di Museum Dirgantara Mandala
Evaluasi
Kesimpulan
20