BAB I PENDAHULUAN 1.1
Latar Belakang Pesatnya alih fungsi ruang hijau menjadi ruang terbangun, merupakan
sebuah permasalahan penataan ruang yang hampir dihadapi oleh semua Kabupaten Kota di Indonesia. Adanya beragam kepentingan dan perbedaan persepsi terhadap sebuah ruang di kalangan masyarakat, mendorong lahirnya beragam fungsi ruang terbangun. Fungsi ruang yang berbeda seringkali menimbulkan beragam konflik yang mempengaruhi kebijakan penataan ruang di sebuah wilayah. Penataan ruang adalah suatu sistem proses perencanaan tata ruang, pemanfaatan ruang, dan pengendalian pemanfaatan ruang (pasal 1, Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang). Dilihat dari pengertian tersebut, dapat dilihat bahwa pengendalian pemanfaaan ruang merupakan sebuah komponen yang sangat penting untuk mengendalikan dampak negatif pembangunan. Pemanfaatan ruang terbangun seringkali tidak sesuai dengan rencana tata ruang yang telah ditetapkan. Hal tersebut disebabkan oleh tekanan perkembangan pasar terhadap ruang, belum jelasnya mekanisme pengendalian pemanfaatan ruang, dan lemahnya penegakan hukum (Syahid, 2003). Hal ini seringkali menimbulkan dampak negatif terhadap lingkungan dan transportasi. Oleh karena itu diperlukan upaya pengendalian pemanfaatan ruang agar pola perkembangan pembangunan keruangan, sesuai dengan aturan tata ruang yang telah ditetapkan (Susanti, 2004).
1
2
Berdasarkan Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang, disebutkan mengenai pengendalian pemanfaatan ruang. Mengendalikan sebuah ruang di suatu kawasan dapat dilakukan melalui penetapan peraturan zonasi, perizinan, pemberian insentif dan disinsentif, serta pengenaan sanksi. Dalam pelaksanaannya, negara memberikan wewenang kepada pemerintah dan pemerintah daerah untuk menyelenggarakan penataan ruang sesuai dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku. Peraturan zonasi dibuat sebagai pedoman dalam penataan ruang, sedangkan dokumen perijinan merupakan instrument yang dibuat untuk mengendalikan pemanfaatan ruang. Untuk menumbuhkan kesadaran masyarakat dalam rangka pengendalian pembangunan, negara berhak memberikan insentif dalam bentuk keringan pajak dan perbaikan sarana transportasi. Disinsentif diberikan dalam bentuk pengenaan pajak yang tinggi dan pembatasan pembangunan sarana trasnportasi. Peraturan daerah (Perda) Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah, merupakan salah satu kebijakan penataan ruang yang mencakup semua wilayah yang ada di Kabupaten Badung dan merupakan tindak lanjut dari Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang.
Penataan
Ruang
Wilayah
Kabupaten
Badung
bertujuan
untuk
mewujudkan Kabupaten Badung sebagai Pusat Kegiatan Nasional dan destinasi pariwisata internasional yang berkualitas, berdaya saing dan berjati diri budaya Bali melalui sinergi pengembangan Wilayah Badung Utara, Badung Tengah dan Badung Selatan secara berkelanjutan berbasis kegiatan pertanian, jasa dan kepariwisataan menuju kesejahteraan masyarakat sebagai implementasi dari
3
falsafah Tri Hita Karana (pasal 3, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah). Kebijakan penataan ruang yang dimaksud dalam perda ini adalah, pengembangan
pusat-pusat
pelayanan
kabupaten,
sistem
perkotaan,
pengembangan wilayah Badung Utara dengan fungsi utama konservasi dan pertanian terintegrasi. Badung Tengah dengan fungsi utama pertanian berkelanjutan, ibu kota kabupaten dan pusat pelayanan umum secara regional, serta pengembangan wilayah Badung Selatan dengan fungsi utama kepariwisataan (pasal 4, Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah). Kawasan strategis Badung Selatan yang sangat menunjang sektor pariwisata berupa keberadaan Kawasan Pesisir sebagai daya tarik wisata. Disebutkan dalam pasal 5 ayat 7, bahwa salah satunya strategi pengembangan wilayah dengan fungsi utama kepariwisataan bisa dilakukan dengan mengembangkan kawasan pesisir dan laut secara terpadu sebagai aset utama kepariwisataan yang berkelanjutan. Selain fungsi kepariwisataan, kawasan pesisir juga memiliki arti yang sangat penting bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Yaitu sebagai tempat untuk melaksanakan kegiatan melasti, nganyut (membuang abu jenazah), dan pakelem. Kunjungan wisatawan yang meningkat, mampu memberikan kontribusi positif terhadap perekonomian. Di sisi lain hal ini juga memberikan dampak terhadap kehidupan sosial budaya masyarakat Bali. Kondisi ini bisa dilihat dalam kehidupan keseharian masyarakat, khususnya untuk wilayah pesisir. Dahulu hanya dimanfaatkan nelayan untuk mencari ikan, atau hanya dimanfaatkan untuk
4
upacara yadnya. Seiring dengan meningkatnya kunjungan wisatawan ke wilayah pesisir, banyak bermunculan berbagai fasilitas wisata yang dibangun untuk menunjang kegiatan wisata di Kawasan Pesisir. Nilai kawasan pesisir yang tinggi bagi masyarakat juga bisa dilihat dari tingginya minat berbagai pihak untuk memanfaatkan Kawasan Pesisir. Pemerintah memanfaatkan pesisir untuk pajak, investor berkepentingan untuk tempat usaha, wisatawan memanfaatkan pesisir untuk berlibur, dan kawasan pesisir bagi nelayan dianggap sebagai sumber mata pencaharian. Perbedaan pandangan dari berbagai kepentingan tersebut membuat mereka mencari berbagai ruang yang ada di Kawasan Pesisir yang mereka anggap memiliki posisi yang strategis bagi usaha mereka. Hal ini menyebabkan pembangunan berbagai macam fasilitas wisata untuk
menunjang
kegiatan
wisata
menjadi
semakin
tidak
terkendali.
Penyimpangan terhadap kebijakan pembangunan di kawasan pesisir semakin sering terjadi. Kondisi ini menuntut adanya efektivitas pengendalian pemanfaatan ruang di kawasan pesisir, baik dari segi kebijakan, pengawasan maupun penertiban. Dalam Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Penataan Ruang disebutkan bahwa, pengendalian pemanfaatan ruang bisa dilakukan dengan pembuatan peraturan zonasi, perijinan, pemberian insentif atau disinsentif, dan pemberian sanksi. Namun yang saat ini dimiliki oleh Pemerintah Daerah Kabupaten Badung. baru sebatas implementasi mekanisme perijinan serta pemberian insentif dan disinsentif. Kabupaten Badung belum memiliki peraturan zonasi yang secara detail mengatur peruntukan kawasan. Kondisi inilah yang
5
belakangan ini sering memicu lahirnya konflik pemanfaatan lahan di Kawasan Pesisir. Seperti yang terjadi di Kawasan Pesisir Canggu. Desa Canggu merupakan sebuah desa di Kecamatan Kuta Utara, yang termasuk dalam wilayah pengembangan kepariwisataan. Pada awalnya, kebijakan yang diterapkan di Kawasan Pesisir Canggu hanya sebatas kebijakan yang mengatur kehidupan dan aktivitas nelayan. Hal ini tertuang dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 245 tahun 1996 tentang Penetapan Tempat-Tempat Pemangkalan Jukung di Sepanjang Perairan Pantai di Wilayah Kabupaten Badung. Pada tahun 2003, dikeluarkan lagi kebijakan tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara. Kebijakan tersebut ditetapkan dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 637 Tahun 2003 tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara. Dan yang terakhir adalah Peraturan Daerah Kabupaten Badung Nomor 26 Tahun 2013 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah. Dalam perda ini terdapat beberapa ketentuan yang mengatur pemanfaatan ruang di Kawasan Pesisir Canggu. Seperti Pasal 26, Ayat 5, huruf A yang menyebutkan bahwa Pesisir Canggu merupakan salah satu Kawasan Suci Pantai. Pasal 42 ayat 4 yang menyebutkan Kawasan Pesisir Canggu merupakan daya tarik wisata (DTW) Kabupaten Badung. Dan pasal 32 ayat 8 menyebutkan Kawasan Pesisir Canggu merupakan salah satu Kawasan Cagar Budaya. Penetapan Kawasan Pesisir Canggu sebagai area budaya spiritual dilatarbelakangi oleh adanya Pura Batu Bolong dan Pura Batu Mejan, yang berstatus sebagai Pura Kahyangan Jagat.
6
Dampak penetapan daya tarik wisata di Canggu semakin memudahkan investor untuk membangun fasilitas wisata, maupun membeli lahan di Pesisir Canggu. Di satu sisi, penetapan status kawasan wisata menjadi sebuah permasalahan yang sangat kompleks. Di sisi lain penetapan fungsi cagar budaya bagi pesisir Canggu memerlukan sebuah upaya konservasi terhadap pura kahyangan jagat. Sejauh mana batas-batas area cagar budaya, belum diatur secara tegas. Adanya dua fungsi dalam satu kawasan ini, membuat pemerintah daerah maupun pemerintah desa saling lempar tanggung jawab dalam menentukan kebijakan perkembangan kawasan. Pada akhirnya, kondisi ini membuat investor dengan leluasa membangun fasilitas wisata dan memanfaatkan Kawasan Pesisir Canggu. Upaya pengendalian pemanfaatan lahan baru sebatas implementasi perizinan dalam bentuk dokumen perizinan yang merupakan salah satu syarat yang wajib dimiliki oleh masyarakat, pengusaha/investor yang akan membangun fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu. Fakta di lapangan menunjukkan masih banyak fasilitas wisata yang tidak memiliki dokumen perijinan. Ada juga fasilitas wisata yang memiliki dokumen perijinan, namun tidak sesuai dengan fungsi yang ada di lapangan. Banyaknya penyimpangan terhadap perizinan di Pesisir Canggu seringkali menimbulkan konflik antara masyarakat dan investor maupun antar sesama warga setempat. Terkait permasalahan tersebut diperlukan sebuah kajian yang memuat substansi perizinan di Kabupaten Badung. Adapun tujuan yang diharapkan melalui penelitian ini adalah adanya kejelasan mengenai akar permasalahan pembangunan fasilitas wisata yang selama
7
ini terjadi di Kawasan Pesisir Canggu. Sejak kapan fasilitas wisata yang ada di Kawasan Pesisir Canggu berkembang pesat, permasalahan apa saja yang terjadi setelah pesatnya pembangunan fasilitas wisata, dan faktor apa saja yang menyebabkan munculnya masalah. Bagaimanakah perizinan berkontribusi terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata, dari pertama kali Kawasan Pesisir Canggu direncakan untuk kawasan wisata, sampai fasilitas wisata berkembang pesat seperti sekarang ini. Perizinan yang merupakan salah satu instrument untuk mengendalikan pemanfaatan ruang, faktanya tidak mampu menyelesaikan permasalahan yang terjadi di lapangan. Temuan dari penelitian ini diharapkan nantinya mampu memberikan masukan dalam penyusunan peraturan zonasi terkait penyusunan kebijakan penggunaan lahan (land use) di Kawasan Pesisir Canggu. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan latar belakang penelitian yang telah diuraikan
sebelumnya maka secara spesifik dapat dirumuskan beberapa permasalahan penelitian sebagai berikut: 1.
Bagaimanakah perkembangan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu pada periode tahun 1994 sampai tahun 2015?
2.
Permasalahan yang bagaimanakah yang telah terjadi pasca pesatnya pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu?
3.
Bagaimanakah kontribusi perizinan terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu?
8
1.3
Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian ini meliputi tujuan umum dan tujuan khusus
sebagai berikut: 1.3.1 Tujuan umum Tujuan penelitian ini secara umum adalah untuk menganalisa permasalahan pembangunan fasilitas wisata yang selama ini terjadi di Kawasan Pesisir Canggu. Hal tersebut sangat penting untuk diteliti karena akhir-akhir ini sangat banyak muncul permasalahan pembangunan fasilitas wisata yang menimbulkan konflik antar masyarakat, pemerintah dan investor yang dimuat di media cetak. Selanjutnya hasil penelitian ini diharapkan mampu memberikan masukan dalam penyusunan zonasi terkait penyusunan kebijakan penggunaan lahan (land use) di Kawasan Pesisir Canggu. 1.3.2 Tujuan khusus Tujuan penelitian ini secara khusus adalah untuk menjawab permasalahan penelitian yaitu, untuk menganalisis perkembangan pembangunan fasilitas wisata yang ada di Pesisir Canggu. Fasilitas wisata apa saja yang ada di Kawasan Pesisir Canggu, dan bagaimana perkembangannya mulai pertama kali direncanakan pada tahun 1994 sampai dengan tahun 2015 saat ini. Permasalahan-permasalahan apa saja yang terjadi akibat pembangunan fasilitas wisata, dan faktor-faktor apa saja yang menyebabkan terjadinya masalah. Bagaimana perizinan berkontribusi terhadap permasalahan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu. Dengan melakukan penelitian ini, diharapkan nantinya mampu menjelaskan kepada
masyarakat
luas
mengenai
penyebab
terjadinya
permasalahan
9
pembangunan
fasilitas
wisata,
dan
bagaimana
perizinan
yang
berlaku
berkontribusi terhadap munculnya permasalahan pembangunan fasilitas wisata di Kawasan Pesisir Canggu, mulai pertama kali kawasan ini direncanakan untuk kawasan wisata, sampai fasilitas wisata berkembang pesat seperti saat ini. Dengan diketahuinya karakteristik perkembangan kawasan dan karaktersitik permasalahan yang terjadi di lapangan maka hasil penelitian ini juga nantinya diharapkan mampu memberi masukan terhadap penyusunan zonasi kawasan pesisir di Kabupaten Badung dan Kawasan Pesisir Canggu pada khususnya. 1.4
Manfaat Penelitian Adapun manfaat penelitian ini meliputi manfaat praktis dan manfaat
akademis sebagai berikut. 1.4.1 Manfaat praktis Penelitian ini nantinya diharapkan mampu memberi masukan terhadap perencanaan dan perancangan zonasi Kawasan Pesisir Desa Canggu sehingga dampak negatif yang ditimbulkan oleh industri pariwisata bisa diminimalisir. Sedangkan untuk masyarakat Desa Canggu, penelitian ini diharapkan mampu menambah wawasan masyarakat Desa Canggu akan pentingnya eksistensi dan peran serta masyarakat dalam menjaga keberlanjutan Kawasan Pesisir. 1.4.2 Manfaat akademis Adapun manfaat penelitian ini secara akademis adalah untuk menambah pengetahuan mengenai pembangunan fasilitas wisata dan permasalahannya, serta substansi perizinan yang mengatur pembangunannya. Penelitian ini diharapkan mampu menambah referensi keilmuan dan strategi pengendalian ruang Kawasan
10
Pesisir, guna mendukung pembuatan zonasi Kawasan Pesisir Kabupaten Badung, perencanaan dan perancangan wilayah sehingga mampu menyelaraskan Budaya Bali dengan kepentingan pariwisata.