1
BAB I PENDAHULUAN
I.1. Latar Belakang Pegunungan Selatan merupakan suatu daerah di bagian selatan Pulau Jawa yang berbatasan langsung dengan zona subduksi antara Lempeng Eurasia di sebelah utara dan Lempeng India-Australia di bagian selatan. Daerah ini sangat menarik untuk dijadikan objek penelitian geologi. Berbagai fenomena geologi bisa ditemukan di daerah ini. Perbukitan karst Gunung Sewu, perbukitan struktur Baturagung, Gunung Api Tersier Nglanggeran, Sungai Bengawan Solo purba dan zona Sesar Opak merupakan kenampakan yang paling fenomenal di daerah ini. Penelitian daerah Pegunungan Selatan sudah banyak dilakukan sejak dulu oleh para peneliti. Penelitian-penelitian tersebut ditinjau dari berbagai aspek geologi seperti litologi, stratigrafi, struktur geologi, geomorfologi, paleontologi dan sebagainya. Dari berbagai penelitian tersebut, penelitian yang secara khusus dilakukan di sepanjang Kali (Sungai) Petir (dalam peta geologi regional lembar Surakarta – Giritontro disebut Kali Nongko) belum dilakukan. Dari berbagai penelitian sebelumnya hanya diketahui bahwa daerah Kali Petir merupakan sebuah sesar tanpa diketahui karakteristik sesar tersebut (Gambar 1.1).
2
Gambar 1.1. Peta geologi regional skala 1:100.000 untuk daerah sekitar Kali Petir (S. Nongko) menunjukkan keterdapatan struktur geologi berupa sesar dengan arah relatif timur laut – barat daya yang belum diketahui arah pergerakannya (Surono dkk., 1992 dan Rahardjo dkk., 1996) .
Penelitian di sepanjang Kali Petir dan sekitarnya sangat penting untuk dilakukan. Karakteristik sesar yang akan ditemukan di Kali Petir, seperti arah pergerakan, umur sesar, berbagai kenampakan akibat sesar dan arah gaya utama pembentuk sesar tersebut dapat membantu memahami evolusi tektonik di salah satu bagian Pegunungan Selatan. Dengan bertambahnya pemahaman terhadap evolusi tektonik Pegunungan Selatan, pemahaman geologi regional Pegunungan Selatan akan semakin meningkat. Oleh karena itu, penulis melakukan penelitian mengenai karakteristik sesar di daerah Kali Petir dan sekitarnya.
I.2. Rumusan Masalah Rumusan masalah dalam penelitian ini adalah: 1.
Bagaimanakah arah pergerakan, umur dan kenampakan akibat sesar (karakteristik) dari Sesar Kali Petir?
2.
Dari manakah arah gaya pembentuk Sesar Kali Petir?
3
I.3. Maksud dan Tujuan Penelitian Maksud penelitian ini adalah melakukan pemetaan geologi daerah Kali Petir dan sekitarnya dengan skala 1:25.000 dan melakukan analisis terhadap kenampakan struktur geologi di daerah tersebut. Tujuan penelitian adalah untuk mengetahui karakteristik Sesar Kali Petir yang meliputi arah pergerakan, umur dan kenampakan akibat sesar serta arah gaya yang membentuk Sesar Kali Petir.
I.4. Manfaat Penelitian Manfaat dari penelitian ini adalah bisa berkontribusi terhadap pemahaman kondisi geologi, terutama geologi struktur, di daerah Pegunungan Selatan. Pemahaman tersebut didapat dari pengetahuan mengenai karakteristik Sesar Kali Petir beserta arah gaya pembentuknya.
I.5. Ruang Lingkup Penelitian I.5.1. Ruang Lingkup Wilayah Daerah penelitian berada di sepanjang Kali Petir dan sekitarnya (Gambar 1.2). Lokasi ini berada pada koordinat UTM zona 49 S dengan X= 443500 mT sampai 450500 mT dan Y= 9136500 mS sampai 9133300 mS. Secara geografi, daerah penelitian terletak di 5 Kecamatan dan 3 Kabupaten di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY), yaitu Kecamatan Piyungan, Kabupaten Bantul; Kecamatan Patuk, Kabupaten Gunung Kidul; Kecamatan Gedang Sari, Kabupaten Gunung Kidul; Kecamatan Berbah, Kabupaten Sleman; dan Kecamatan Prambanan Kabupaten Sleman. Sebagian besar daerah penelitian berada di Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY. Dalam peta Geologi Regional skala 1:100.000, daerah penelitian termasuk ke dalam Peta Geologi Regional Lembar
4
Surakarta – Giritontro (Surono dkk., 1992) dan Peta Geologi Regional Lembar Yogyakarta (Rahardjo dkk., 1996).
Gambar 1.2. Peta indeks lokasi penelitian. Daerah ini termasuk dalam peta geologi regional skala 1:100.000 lembar Yogyakarta dan lembar Surakarta – Giritontro.
I.5.2. Ruang Lingkup Pembahasan Pembahasan dalam penelitian ini dibatasi pada kenampakan struktur geologi di Kali Petir dan sekitarnya yang termasuk di dalam daerah penelitian. Pembahasan mengenai litologi, stratigrafi dan geomorfologi daerah penelitian ditujukan untuk mendukung data struktur geologi supaya diketahui karakteristik serta arah gaya pembentuk Sesar Kali Petir.
5
I.6. Keaslian Penelitian dan Peneliti Terdahulu Penelitian dengan judul “Karakteristik Sesar Kali Petir dan Sekitarnya, Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, Daerah Istimewa Yogyakarta” belum pernah dilakukan sebelumnya oleh peneliti manapun. Penelitian ini didasarkan pada observasi lapangan (pemetaan geologi) yang dilakukan oleh peneliti. Adapun peneliti terdahulu yang pernah melakukan penelitian di daerah ini dan sekitarnya adalah: 1. Surono dkk. (1992) dalam deskripsi “Geologi Lembar Surakarta – Giritontro, Jawa” menyebutkan bahwa daerah Lembar Surakarta – Giritontro pada Oligosen Akhir terbentuk suatu cekungan yang tidak mantap. Cekungan sedimen tersebut kemudian terisi material sedimen yang menjadi Formasi Kebo. Selanjutnya diendapkan Formasi Semilir, Formasi Nglanggran dan Formasi Sambipitu. Pada Miosen Tengah terjadi pengangkatan yang membentuk Formasi Oyo dan Formasi Wonosari. Setelah itu terjadi paling tidak dua kali deformasi di daerah ini. Deformasi pertama terjadi pada awal Plistosen membentuk “geser-bongkahan” sehingga membentuk Pegunungan Baturagung dan lipatan serta sesar berarah barat daya – timur laut. Deformasi kedua terjadi pada kala Plistosen Tengah yang mengubah arah aliran Sungai Bengawan Solo. 2. Rahardjo dkk. (1996) dalam deskripsi “Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa” menyebutkan bahwa pengangkatan di Pegunungan Selatan bagian barat terjadi pada kala Miosen Tengah. Pada awal Plistosen, terbentuk morfologi dataran tinggi karena terjadi lagi pengangkatan. Hal itu juga menyebabkan terjadinya pensesaran di daerah pemetaan.
6
3. Sudarno (2009) melakukan publikasi penelitian dengan judul “Evolusi Tegasan Purba dan Mekanisme Pembentukan Sesar di Pegunungan Selatan Bagian Barat DIY dan Sekitarnya”. Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mekanisme pembentukan sesar-sesar di pegunungan selatan serta evolusi tegasan pembentun sesar. Penelitian ini memberikan kesimpulan bahwa tegasan purba yang diperoleh dari hasil analisis sesar mayor, sesar minor dan lipatan homoklin ternyata dari umur Tersier hingga Kuarter menunjukkan perubahan (evolusi) baik arah maupun jenis tegasannya. Pada akhir Eosen dan Miosen Tengah tegasan purba jenis kompresi bekerja berarah Utara - Selatan. Pada Pliosen Awal tegasan purba masih berjenis kompresi, tetapi arahnya berubah menjadi Utara Barat LautSelatan Tenggara. Pada Plistosen Tengah tegasan berubah jenisnya menjadi tegasan regangan (tensional stress) dengan arah utara timur laut – selatan barat daya dan barat laut – tenggara. Tegasan regangan berarah utara timur laut – selatan barat daya menghasilkan sesar turun di sebelah utara kaki utara gawir Baturagung (Sesar Turun Prambanan – Bayat dan sesar tururn Gunung Kampak). Tegasan regangan berarah barat laut – tenggara mengaktifkan sesar-sesar geser mendatar sekitar Sungai Opak sehingga berubah menjadi sesar turun. Reaktivasi tersebut hasil salah satunya adalah sesar turun Opak yang membentuk Terban Yogyakarta. 4. Husein dan Srijono (2009) melakukan penelitian dengan judul “Tinjauan Geomorfologi Pegunungan Selatan DIY/Jawa Tengah: Telaah Peran Faktor Endogen dan Eksogen dalam Proses Pembentukan Pegunungan”. Dalam penelitian ini disebutkan bahwa secara fisiografi, Pegunungan Selatan dapat
7
dibagi menjadi tiga zona, yaitu (1) bagian utara merupakan lajur-lajur pegunungan dengan relief kuat membentuk bentang alam struktural, (2) bagian tengah merupakan depresi topografi dan (3) bagian selatan dibentuk oleh topografi karst yang ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut serta beberapa pola undak pantai. 5. Prasetyadi dkk. (2011) melakukan publikasi penelitian dengan judul “Pola dan Genesa Struktur Geologi Pegunungan Selatan, Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Jawa Tengah”. Seperti yang tertera dalam judulnya, penelitian ini bertujuan untuk mengetahui pola dan genesa struktur regional di Pegunungan Selatan, DIY. Penelitian ini memberikan beberapa kesimpulan, yaitu bahwa (1) Struktur Geologi di Pegunungan Selatan didominasi oleh sesar berarah timur laut – barat daya (Pola Meratus) dan utara – selatan (Pola Sunda). Bagian kecilnya merupakan arah barat laut - tenggara dan timur - barat. (2) Sebagian besar sesar berarah timur laut – barat daya dan utara - selatan merupakan sesar geser mengiri yang sebagiannya teraktifkan menjadi sesar turun. (3) Sesar kelompok barat laut – tenggara umumnya merupakan sesar naik dan kelompok sesar berarah barat – timur merupakan sesar geser (sebagian dekstral) dan sesar turun. Dan (4) Kelompok sesar timur laut –barat daya merupakan sesar tertua yang dibentuk oleh penunjuman kapur. Kelompok sesar barat laut – tenggara dan sesar utara - selatan diduga terbentuk pada Paleosen Akhir, sedangkan kelompok sesar timur – barat merupakan sesar termuda yang berhubungan dengan pengangkatan daerah penelitian.
8
6. Irawan (2012) melakukan analisis struktur geologi permukaan di Gawir Pegunungan Selatan sebelah barat laut Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman, DIY dan Kecamatan Gantiwarno, Kabupaten Klaten Propinsi Jawa Tengah. Dari hasil analisis tersebut disebutkan bahwa daerah penelitian memiliki dua fase tektonik. Fase pertama merupakan kompresi berarah utara timur laut – selatan barat daya dan ekstensi berarah barat barat laut dan timur teggara pada akhir Miosen Awal. Gaya tersebut menyebabkan sesar berarah timur laut – barat daya dan utara barat laut – selatan tenggara dengan arah pergerakan mendatar. Fase kedua merupakan kompresi berarah relatif timur laut – barat daya dan ekstensi berarah utara timur laut – barat barat laut dan timur tenggara – selatan barat daya pada Miosen Tengah. Gaya tersebut menyebabkan sesar berarah barat – timur yang bergerak normal dan menggerakkan sesar yang sudah ada sebelumnya. 7. Perdana (2012) melakukan penelitian dengan judul “Analisis Struktur Geologi Pagunungan Selatan Bagian Barat Laut Kecamatan Piyungan, Kecamatan Prambanan dan Kecamatan Patuk, Propinsi Daerah Istimewa Yogyakarta” Dalam penelitian tersebut disebutkan bahwa di daerah penelitian terdapat stuktur geologi yang dikelompokkan menjadi empat set, yaitu pola utara – selatan, timur laut – barat daya, barat – timur, dan barat laut – tenggara. Pola utara – selatan menunjukkan sesar-sesar dekstral, pola timur laut – barat daya menunjukkan sesar sinistral. Kedua pola ini mencerminkan adaya fase kompresi berarah utara timur laut – selatan barat daya yang terjadi pada Miosen Tengah. Pola berarah barat – timur menunjukkan sesar dekstral, pola barat laut – tenggara menunjukkan sesar
9
sinistral. Kedua pola ini mencerminkan adanya fase kompresi yang berarah barat barat laut – timur tenggara yang terjadi sekitar akhir Pliosen. Di antara kedua fase tektonik ini terdapat fase ekstensi yang berarah barat laut – tenggara. 8. Ismail (2014) melaporkan hasil pemetaan geologi dengan judul “Laporan Pemetaan Geologi Mandiri Daerah Wukir Harjo dan Sekitarnya Kecamatan Prambanan, Kabupaten Sleman Daerah Istimewa Yogyakarta”. Dalam laporan tersebut disebutkan bahwa daerah penelitian memiliki 4 satuan batuan, yaitu satuan batupasir kerikilan, satuan batupasir tufan, satuan lempng pasiran dan satuan pasir kerakalan. Struktur geologi yang terdapat di daerah penelitian tersebut terdiri dari sesar geser sinistral Kali Petir, sesar geser dekstral Wukir Harjo, sesar geser sinistral Mintorogo, sesar geser sinistral Sumber Harjo dan sesar geser sinistral Gayam Harjo.
10
BAB II TINJAUAN PUSTAKA
II.1. Geomorfologi Regional Van Bemmelen (1949) membagi fisiografi Pulau Jawa menjadi empat bagian, yaitu Jawa Barat (Cirebon ke arah Barat), Jawa Tengah (antara Cirebon dan Semarang), Jawa Timur (antara Semarang dan Surabaya) dan spur timur Pulau Jawa. Dari pembagian tersebut, bagian Jawa Timur dibagi lagi menjadi 6 zona utama, yaitu: 1. Muriah Massif 2. Hilly District of Rembang 3. Zona Randublatung 4. Punggungan Kendeng (Kendeng Ridge) 5. Zona Solo 6. Pegunungan Selatan bagian Jawa Timur. Husein dan Srijono, (2009) menyatakan bahwa Pegunungan Selatan di Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY) disebut sebagai Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat. Lokasi penelitian termasuk ke dalam daerah ini. Fisiografi Pegunungan Selatan Jawa Timur bagian barat ini dapat dibagi menjadi tiga zona (Husein dan Srijono, 2009), yaitu: 1. Bagian utara merupakan lajur-lajur pegunungan dengan relief kuat 2. Bagian tengah merupakan depresi topografi 3. Bagian selatan merupakan topografi karst yang ekstensif dan dicirikan oleh rangkaian perbukitan kerucut serta beberapa pola undak pantai.
11
Bagian utara yang memiliki relief kuat sering disebut dengan jalur Lajur Baturagung. Husein dan Srijono (2009) menyatakan bahwa Lajur Baturagung memiliki pola pelamparan kompleks. Bagian utara memiliki orientasi timur-barat, bagian selatan memiliki orientasi timur timur laut – barat barat daya di sebelah timur dan menjadi berarah timur tenggara – barat barat laut di sebelah barat. Perubahan tersebut terjadi di Sungai Ngalang yang berorientasi utara timur laut – selatan barat daya. Di ujung barat laut Lajur Baturagung, Perbukitan Prambanan (Prambanan Spur) mencuat melampar ke arah barat laut – tenggara yang sekaligus menjadi batas antara dataran rendah Klaten dan dataran rendah Yogyakarta. Van Bemmelen (1949) menafsirkan adanya genesa tektonik dari bentuk lengkung (arcuate) Lajur Baturagung di bagian barat laut tersebut, yaitu akibat adanya dorongan pelengseran Cekungan Wonosari ke arah barat laut selama proses pensesaran listrik. Proses pensesaran bongkah yang bersifat listrik umumnya hanya berlaku efektif pada batuan sedimen, terutama yang bersifat lunak. Kedua cekungan tersebut dibatasi oleh patahan-patahan listrik yang terjadi pada batas batuan beku masif. Sejauh ini, Pegunungan Selatan dianggap sebagai sayap selatan suatu antiklin besar (geantiklin) yang terbentuk pada Plistosen Tengah (Lehmann, 1936 dalam Husein dan Srijono, 2009). Sumbu dan puncak geantiklin yang dianggap berada di Zona Solo, yang kini menjadi tempat munculnya deretan gunung api modern, diperkirakan telah runtuh dan meluncur ke arah utara. Van Bemmelen (1949) mengatakan bahwa sebagian sayap geantiklin yang masih bertahan diperkirakan juga telah runtuh dan mengalami pensesaran bongkah (block
12
faulting). Sebagian dari patahan tersebut berubah menjadi pensesaran listrik karena adanya perlapisan sedimen Neogen yang bersifat lunak. Proses pengangkatan Pegunungan Selatan dapat disederhanakan hanya menjadi dua kali episode utama, yaitu Plistosen Tengah dan Plistosen Akhir. Pengangkatan pertama pada Plistosen Tengah mengangkat bagian utara dan selatan dengan arah memanjang barat laut – tenggara. Pengangkatan kedua pada Plistosen Akhir mengangkat bagian selatan sekaligus menyebabkan pelengseran bagian tengah dengan arah memanjang barat barat laut – timur tenggara. Pengangkatan pada Plistosen Akhir juga bertanggungjawab terhadap terbentuknya Cekungan Wonosari dan cekungan Baturetno.
II.2. Stratigrafi Regional Surono, (2009) mengatakan bahwa litostratigrafi Pegunungan Selatan pada umumnya dibentuk oleh sedimen klastika dan karbonat yang bercampur dengan batuan hasil kegiatan gunung berapi berumur tersier. Stratigrafi regional Pegunungan Selatan tersebut dapat dibagi berdasarkan periodenya menjadi 3 (Surono, 2009), yaitu: 1. Periode pra-vulkanisme, berlangsung sebelum aktivitas vulkanisme berjalan secara intensif. Satuan batuan yang terbentuk pada periode ini adalah batuan malihan yang ditindih secara tidak selaras oleh kelompok Jiwo 2. Periode vulkanisme, berlangsung saat kegiatan vulkanisme berjalan secara intensif. Satuan batuan yang terbentuk pada periode ini adalah kelompok
13
Kebo-Butak yang secara berurutan ditindih selaras oleh Formasi Semilir dan Formasi Nglanggran 3. Periode pasca-vulkanisme (disebut juga periode karbonat), berlangsung setelah kegiatan vulkanisme berakhir dan organisme karbonat tumbuh dengan subur. Satuan batuan yang terbentuk meliputi Formasi Sambipitu, Formasi Oyo, Formasi Wonosari, Formasi Punung, dan formasi Kepek Dari peta geologi regional lembar Surakarta – Giritontro, Jawa (Surono dkk., 1992) daerah penelitian terletak pada formasi Semilir dan Nglanggran. Kedua formasi tersebut termasuk ke dalam stratigrafi periode Vulkanisme (Surono, 2009). Deskripsi lengkap tiap formasi pada periode vulkanisme beserta hubungan tiap formasi adalah sebagai berikut:
II.2.1. Formasi Kebo Butak Surono (2009) mengatakan bahwa bagian paling bawah stratigrafi Pegunungan Selatan yang terbentuk pada periode vulkanisme adalah Formasi Kebo-Butak. Formasi ini menindih secara tidak selaras terhadap Formasi Wungkal dan Gamping yang termasuk pada stratigrafi periode pra-vulkanisme. Bothe (1929, dalam Surono dkk., 1992) menyebut bagian bawah Formasi KebButak sebagai “Kebo Bed” dan bagian atasnya sebagai “Butak Bed”. Lokasi Tipe “Kebo Bed” berada di Gunung Kebo sedangkan “Butak Bed” berada di Gunung Butak. Kedua gunung tersebut terletak di lereng dan kaki utara gawir Baturagung, sebelah selatan Klaten. Sumarso dan Ismoyowati (1975 dalam Surono dkk., 1992) menyatukan keduanya menjadi Formasi Kebo Butak.
14
Surono dkk (1992) menemukan persebaran Formasi Kebo Butak di kaki utara Pegunungan Baturagung sebelah selatan Klaten. Ketebalan formasi ini mencapai lebih dari 650 meter. Bagian bawah Formasi Kebo Butak tersusun oleh batupasir berlapis baik, batulanau, batulempung, serpih, tuf dan aglomerat. Bagian atas formasi ini berupa perselingan batupasir dan batulempung dengan sisipan tipis tuf asam. Setempat pada bagian tengah formasi ini dijumpai retas lempeng andesit – basalt dan di bagian atasnya terdapat breksi andesit. Dari fosil yang ditemukan, Sumarso dan Ismoyowati (1975 dalam Surono dkk., 1992) menyebutkan bahwa formasi ini berumur Oligosen Akhir – Miosen Awal (N2N5). Lingkungan pengendapan formasi ini umumnya adalah laut terbuka yang dipengaruhi oleh arus turbidit.
II.2.2. Formasi Semilir Surono dkk. (1992) menyatakan bahwa secara umum Formasi Semilir tersusun oleh tuf, breksi batuapung dasitan, batupasir tufan dan serpih. Bagian bawah formasi ini didominasi oleh tuf lapilli dengan sisipan tuf dan lempung tufan, batupasir tufan dan breksi batuapaung. Lapisan pada bagian ini berstruktur sedimen perairan, silang siur bersekala menengah dan berpermukaan erosi. Bagian tengah dijumpai lignit yang berasosiasi dengan batupasir tufan gampingan dan kepingan koral pada breksi gunungapi. Bagian atas formasi ini didominasi oleh tuf dengan sisipan tuf lapili, batupasir tufan dan batupasir kerikilan. Selain itu, pada bagian itu juga ditemukan batulempung dan serpih dengan tebal lapisan sampai 15 cm dan memiliki struktur hasil longsoran bawah laut (Surono dkk., 1992 dan Surono, 2009).
15
Sumarso dan Ismoyowati (1975 dalam Surono dkk., 1992) menyebutkan bahwa formasi ini memiliki sedikit fosil. Dari beberapa fosil yang ditemukan dapat ditarik umur formasi ini yaitu Miosen Awal – Miosen Tengah bagian bawah (N5-N9). Lingkungan pengendapan Formasi Semilir berkisar dari laut dangkal berarus kuat (pada bagian bawah dan tengah formasi) hingga laut dalam yang dipengaruhi arus turbid (bagian atas formasi). Van Bemmelen (1949) mengatakan bahwa Formasi Semilir menindih secara selaras diatas Formasi Kebo Butak, namun terdapat bagian yang tidak selaras di beberapa tempat. Formasi ini menjemari dengan Formasi Nglanggran dan tertindih tidak selaras oleh Formasi Oyo di atasnya. Penamaan Formasi Semilir diajukan oleh Bothe (1929 dalam Surono dkk., 1992) dengan lokasi tipe terletak di Gunung Semilir di sebelah selatan Klaten. Formasi ini menyebar secara lateral dari ujung barat Pegunungan Selatan di daerah Pleret, Imogiri, di bagian tengah pada Gunung Baturagung dan sekitarnya sampai ujung timur pada tinggian Gunung Gajahmungkur.
II.2.3. Formasi Nglanggran Surono dkk (1992) menemukan sebagian besar Formasi Nglanggran tersusun oleh breksi gunung api, aglomerat, tuf dan lava andesit-basal. Breksi gunung api dan aglomerat yang mendominasi formasi ini umumnya tidak berlapis. Di bagian tengah formasi pada breksi gunung api ditemukan batugamping koral yang membentuk lensa atau berupa kepingan. Secara setempat, formasi ini disisipi batupasir gunung api epiklastik dan tuf yang berlapis baik. Sebagian besar satuan
16
ini telah melapuk menjadi tanah berwarna coklat kemerahan (Rahardjo dkk., 1996). Formasi Nglanggran diendapkan secara menjemari dengan Formasi Semilir (Surono dkk., 1992). Ke arah timur Formasi Nglanggran berubah menjadi Formasi Wuni. Penyebaran formasi ini memanjang dari Parangtritis di sebelah barat hingga tinggian Gunung Panggung di sebelah timur. Lokasi tipe yang menjadi dasar penamaan oleh Bothe (1929 dalam Surono dkk., 1992) dari formasi ini berada di Gunung Nglanggran sekitar 17 km sebelah selatan Klaten. Formasi ini memiliki umur Miosen Awal – Miosen Tengah bagian bawah atau N5-N9 (Surono dkk., 1992). Penentuan umur tersebut didasarkan pada penemuan foram pada sisipan batulempung oleh Sudarminto (1982 dalam Surono dkk., 1992). Surono dkk (1992) menyimpulkan bahwa secara umum, lingkungan pengendapan Formasi Nglanggran adalah laut yang disertai longsoran bawah laut. Kesimpulan itu dapat dilihat dari adanya struktur sedimen yang dijumpai berupa perlapisan bersusun, cetakan beban (load cast) yang menunjukkan adanya aliran longsor (debris flow). Pada bagian atas formasi ditemukan permukaan erosi yang menunjukkan adanya pengaruh arus kuat pada waktu pengendapan. Selain itu, keterdapatan batugamping koral menunjukkan lingkungan laut.
17
Gambar 2.1. Kolom stratigrafi regional daerah penelitian (Surono, dkk., 1992). Menujukkan formasi-formasi yang berada di pegunungan selatan. Tomk = F. KeboButak; Tms = F.Semilir; Tmng = F.Nglanggran; Tmss = F.Sambipitu; Tmo = F.Oyo; Tmwl = F. Wonosari; Tmpk = F.Kepek.
II.3. Struktur Geologi Regional Pulunggono dan Martodjojo (1994) dan Satyana (2007 dalam Prasetyadi dkk., 2011) menyatakan terdapat empat arah struktur utama Pulau Jawa, yaitu: 1. Timur laut – barat daya disebut Pola Meratus 2. Utara – selatan disebut Pola Sunda 3. Timur – barat disebut Pola Jawa 4. Barat laut – tenggara disebut Pola Sumatra Daerah Pegunungan Selatan termasuk perpotongan dua pola struktur utama, yaitu Pola Meratus (timur laut – barat daya) dan Pola Jawa (timur – barat). Arah struktur utama Pola Meratus umumnya sejajar dengan struktur bawah permukaan Pegunungan Selatan. Arah umum tersebut ditafsirkan dari gaya berat. Periode
18
tektonik yang menghasilkan sesar berpola Meratus tersebut merupakan perioda terkuat yang dialami daerah Pegunungan Selatan (Prasetyadi dkk., 2011). Secara lebih rinci, Sudarno (2009) menyebutkan terdapat empat set sesar di Pegunungan Selatan (gambar 2.2), yaitu: 1. Arah timur laut – barat daya, terbentuk akhir Eosen dan akhir Miosen Tengah, akibat reaktivasi sesar tua pada batuan dasar yang berumur Kapur (Sudarno, 1997 dalam Sudarno, 2009) 2. Arah utara - selatan, terbentuk pada awal Pliosen setelah selesai pengendapan Formasi Kepek (Sudarno, 1999 dalam Sudarno, 2009) 3. Arah barat laut - tenggara, terbentuk pada awal Pliosen setelah selesai pengendapan Formasi Kepek (Sudarno, 1999 dalam Sudarno, 2009) 4. Arah barat - timur, terbentuk pada Plistosen Tengah. Proses tektonik Pegunungan Selatan ditunjukkan oleh beberapa kali ketidakselarasan. Beberapa peneliti telah menentukan umur dari masing-masing ketidakselarasan tersebut. Kompilasi dari berbagai penelitian tersebut dapat dilihat dalam tabel 1.1.
19
Gambar 2.2. Pola struktur geologi regional daerah Pegunungan Selatan (Sudarno, 2009) Tabel 1.1. Tektonika dan pembentukan sesar di Pegunungan Selatan.
20
Secara regional, tektonika dan pembentukan sesar di pegunungan selatan diungkapkan oleh Rahardjo, dkk (1996), Surono, dkk (1992) dan van Bemmelen (1949). Hasil dari ketiga penelitian tersebut mengunkapkan bahwa pada Miosen Tengah terjadi pengangkatan di Pegunungan Selatan. Pada Plistosen Awal, Rahardjo, dkk (1996) menyebutkan terjadinya pengangkatan dan pensesaran di Pegunungan Selatan. Sementara itu, Surono, dkk (1992) menyatakan bahwa terjadi deformasi membentuk sesar geser-bongkah pada umur yang sama. Surono, dkk (1992) menambahkan bahwa deformasi kedua terjadi pada Plistosen Tengah berupa pengangkatan yang menyebabkan perubahan aliran sungai Bengawan Solo. Pada Plistosen Tengah, van Bemmelen (1949) juga menyatakan bahwa Pegunungan Selatan terangkat ke arah selatan. Sudarno (2007) menyatakan bahwa pada akhir Eosen dan Miosen Tengah tegasan purba jenis kompresi bekerja berarah utara - selatan. Pada Pliosen Awal tegasan purba masih berjenis kompresi, tetapi arahnya berubah menjadi utara barat laut – selatan tenggara. Pada Plistosen Tengah tegasan berubah jenisnya menjadi tegasan regangan (tensional stress) dengan arah utara timur laut – selatan barat daya dan barat laut - tenggara. Prasetyadi dkk (2011) memberikan kesimpulan dalam penelitiannya bahwa sebagian besar sesar berarah timur laut barat daya dan utara - selatan merupakan sesar mengiri yang sebagiannya teraktifkan menjadi sesar turun. Sesar kelompok barat laut - tenggara umumnya merupakan sesar naik dan kelompok sesar berarah barat - timur merupakan sesar geser (umumnya dekstral) dan sebagian berupa sesar turun.
21
Perdana (2012) dan Irawan (2012) melakukan penelitian lebih terperinci pada gawir Pegunungan Selatan bagian barat dan barat laut. kedua peneliti tersebut memberikan kesimpulan yang berbeda. Irawan (2012) menyebutkan bahwa terjadi dua kali aktifitas tektonik di pegunungan selatan. Aktifitas tektonik yang pertama adalah kompresi berarah utara timur laut – selatan barat daya menghasilkan sesar berarah timur laut – barat daya dan utara barat laut – selatan tenggara. Tektonika kedua merupakan kompresi berarah timur laut – barat daya menghasilkan sesar berarah barat - timur yang merupakan hasil reaktivasi. Sementara itu, Perdana (2012) menyatakan bahwa pada Miosen Tengah terjadi kompresi berarah utara timur laut – selatan barat daya uang menyebabkan pola sesar utara - selatan dan timur laut – berat daya. Pada Miosen Akhir sampai Pliosen Tengah terjadi gaya ekstensi berarah barat laut - tenggara. Tektonika yang terakhir bekerja merupakan gaya kompresi berarah barat barat laut – timur tenggara menghasilkan pola sesar bararah barat - timur dan barat laut - tenggara. Kedua penelitian di atas harus diteliti lebih lanjut karena kedua peneliti tersebut menyatakan umur sesar yang sama dengan umur batuan. Padahal pada peta geologi yang dibuat terlihat adanya sesar yang memotong semua satuan batuan. Seharusnya sesar dan arah gaya di daerah penelitian kedua peneliti tersebut memiliki umur yang lebih muda daripada umur batuannya.