BAB I PENDAHULUAN 1.1.
Latar Belakang Sebagaimana telah disepakati oleh para pakar mengenai wilayah perkotaan,
bahwa penduduk perkotaan dari waktu ke waktu cenderung meningkat jumlah dan proporsinya. Hal ini berarti bahwa peranan wilayah kota dalam peri kehidupan manusia, khususnya dalam menentukan kualitas hidup homo urbanis menjadi sangat penting, semakin baik kondisi lingkungan hidup di kota, akan mempunyai pengaruh positif terhadap kualitas kehidupan penduduknya dan demikian pula sebaliknya (Yunus, 2008)1. Meningkatnya jumlah penduduk di kota akan selalu diikuti oleh makin meningkatnya kegiatan penduduk. Makin banyaknya penduduk dan kegiatan penduduk di kota, satu sisi akan selalu diikuti oleh makin meningkatnya tuntutan akan ruang membangun permukiman dan membangun prasarana kegiatan di sisi lain, padahal ketersedian ruang di bagian dalam kota sangat terbatas adanya, menurun luasannya dan bahkan di beberapa bagian telah hilang sama sekali. Tidak aneh kiranya apabila kemudian pembangunan permukiman dan prasarana kegiatan baru mengambil tempat di daerah-daerah yang masih kosong baik ruang yang ada di dalam kota maupun di wilayah peri urban (Yunus, 2008)2 Pada wilayah perkotaan keberadaan ruang-ruang kosong sangat besar fungsinya dan manfaatnya, ruang – ruang kosong atau ruang terbuka dapat
1 2
Hadi Sabari Yunus, Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota, 2008 Idem
1
diaplikasikan pada konsep Ruang Terbuka Hijau (RTH) wilayah perkotaan, dimana berdasarkan (william, 1969 dalam Yunus, 2008)3 Ruang Terbuka Hijau mempunyai 6 fungsi, yakni (1) ruang terbuka berfungsi sebagai sesumbar produksi (2) ruang terbuka berfungsi untuk preservasi sumber daya alam dan manusia (3) ruang terbuka berfungsi sebagai penunjang kesehatan, rekreasi, pendidikan dan pembentuk kenampakan morfologi kota (4) ruang terbuka sebagai proteksi keamanan publik (5) ruang terbuka berfungsi sebagai koridor (6) ruang terbuka sebagai cadangan perluasan kota. Berdasarkan peraturan tentang penataan ruang pada Undang Undang No 26 tahun 2007 dijelaskan bahwa Proporsi luasan ruang terbuka hijau kawasan yakni sebesar 30% diantaranya terdiri dari 20% untuk publik dan 10% untuk privat, hal ini merupakan ukuran minimal untuk menjamin keseimbangan ekosistem
baik
keseimbangan
sistem
hidrologi
dan
mikroklimat, maupun sistem ekologis lain yang dapat
keseimbangan meningkatkan
ketersediaan udara bersih yang diperlukan masyarakat, ruang terbuka bagi aktivitas publik serta sekaligus dapat meningkatkan nilai estetika kawasan. Salah satu Ruang Terbuka Hijau yakni pada daerah sempadan sungai, namun kualitas fungsi sungai sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH) di daerah perkotaan saat ini semakin menurun kualitasnya, hal ini disebabkan akan pembangunan dan permukiman di sepanjang sempadan sungai, pembangunan rumah-rumah penduduk dan bangunan lainnya di sempadan sungai yang telah menyebabkan kemerosotan kualitas lingkungan, sungai menjadi kotor dan 3
Hadi Sabari Yunus, Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota, 2008
2
tercemar akibat berbagai aktifitas yang dilakukan masyarakat disekitarnya serta limbah rumah tangga yang dibuang sembarangan semakin membuat kualitas lingkungan menurun. Menurut (Bintarto, 1977)4 bahwa banyak sedikitnya jumlah permukiman serta lokasi penyebarannya dipengaruhi antara lain oleh saingan, hak untuk pribadi, perbedaan keinginan, topografi, transportasi, strukturisasi dan harga tanah. Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang sungai menyebutkan bahwa sempadan sungai merupakan daerah ekologi dan sekaligus hidrologi sungai yang sangat penting. Fungsi utama dari sempadan sungai adalah untuk menjaga kelestarian sungai dari aktivitas yang berkembang di sekitarnya. Dijelaskan juga pada pasal 5 peraturan tersebut bahwa sempadan sungai mempunyai beberapa fungsi penyangga antara ekosistem sungai dan daratan, antara lain (1) karena dekat dengan air, kawasan ini kaya akan keanekaragaman hayati flora dan fauna, keanekaragaman hayati merupakan aset lingkungan yang sangat berharga (2) semak dan rerumputan yang tumbuh di sempadan sungai berfungsi sebagai filter yang sangat efektif terhadap polutan (3) tumbuhan juga dapat menahan erosi karna sistem perakarannya masuk kedalam struktur tanah (4) rimbunnya dedaunan dan sisa tumbuh tumbuhan yang mati menyediakan tempat berlindung dan sumber makanan bagi hewan jenis aquatik, dan (5) dapat meningkatkan keharmonisan antar manusia dan alam. Mengacu pada karakteristik setiap daerah bervariasi satu dengan yang lainnya, dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang sungai 4
Bintarto, Interaksi Desa – Kota dan Permasalahannya. 1977
3
dijelaskan bahwa kebijakan akan perlindungan fungsi sempadan sungai disesuaikan dengan kondisi lingkungan dan wilayah masing masing. Hal ini sejalan dengan pendapat (Yunus, 2008)5 yang menjelaskan bahwa setiap wilayah mempunyai variasi kondisi lingkungan yang berbeda satu dengan yang lainnya dan kondisi lingkungan itu telah menciptakan karakteristik yang berbeda-beda pula. Berkaitan dengan hal tersebut dalam Peraturan Pemerintah No. 38 Tahun 2011 tentang sungai telah mengatur kebijakan akan garis sempadan sungai di tiaptiap daerah ditetapkan oleh Menteri, Gubernur, atau Bupati/Walikota sesuai dengan kondisi lingkungan masing masing wilayah sesuai dengan peraturan perundang undangan yang berlaku sedangkan acuan kebijakan perlindungan daerah sempadan sungai ada pada Pasal 16 ayat (2) yang menjelaskan apabila pada daerah sempadan sungai yang garis sempadannya telah ditetapkan ternyata menunjukkan terdapat bangunan maka bangunan tersebut dinyatakan dalam status quo dan secara bertahap harus ditertibkan untuk mengembalikan fungsi sempadan sungai. Di Kota Pangkalpinang, upaya pengendalian pemanfaatan sempadan sungai telah diatur dalam Peraturan Daerah (Perda) Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pangkalpinang Tahun 2011 – 2030 yang menyebutkan bahwa daerah sempadan sungai merupakan kawasan Lindung, dimana dilarang mendirikan segala bentuk bangunan permanen baik untuk hunian ataupun tempat usaha. 5
Hadi Sabari Yunus, Dinamika Wilayah Peri Urban Determinan Masa Depan Kota, 2008
4
Daerah Aliran Sungai berdasarkan Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Pangkalpinang 2011-2030 yakni Daerah Aliran Sungai (DAS) Baturusa dengan 3 (tiga) Sub Das yakni Sub Das Selindung, Sub Das Rangkui dan Sub Das Pedindang, dan dari 3 (tiga) Sub Das tersebut sungai yang berpotensi mengalami penurunan kualitas tertinggi ada pada Sub Das Pedindang, hal ini karena sungai ini membelah Kota Pangkalpinang dan aliran sungainya melewati pusat kota, dimana tingkat kepadatan penduduk yang tinggi serta tersedianya berbagai fasilitas. Menurut (Yunus, 2008)6 secara spasial proses perkembangan kota dapat diidentifikasi dalam 2 bentuk perkembangan yakni (1) proses perkembangan secara horizontal, (2) proses perkembangan secara vertikal, proses perkembangan secara horizontal yakni proses bertambahnya luasan areal perkotaan dan makin padatnya bangunan di bagian dalam kota sehingga definitif dapat dirumuskan sebagai suatu proses penambahan ruang yang terjadi secara mendatar dengan cara menempati ruang-ruang yang masih kosong baik di daerah pinggiran kota maupun di daerah-daerah bagian dalam kota sedangkan proses perkembangan secara vertikal yakni proses penambahan ruang kota dengan menambahkan jumlah lantai bangunan tertentu sehingga luas lantai bangunan akan semakin luas seiring dengan bertambah banyaknya lantai bangunan tersebut. Berdasarkan proses perkembangan spasial diatas proses perkembangan spasial Kota Pangkalpinang berkaitan dengan bangunan di sekitar sempadan sungai berkaitan dengan proses perkembangan secara horizontal dimana menurut 6
Hadi Sabari Yunus, Dinamika Peri Urban Determinan Masa Depan Kota, 2008
5
(Yunus, 2005)7 ada beberapa faktor yang menyebabkan perkembangan spasial kota yaitu faktor diakibatkan dari kekuatan kekuatan baik yang berasal dari luar kota menuju ke dalam kota atau kekuatan yang berasal dari dalam kota. Gerakan seperti ini disebut dengan gerakan sentripetal, menurut teori kekuatan dinamis (Colby, 1959 dalam Yunus, 2008)8 peneliti menyimpulkan bahwa ada 5 (lima) faktor yang mempengaruhi ketidaksesuaian peruntukan ruang pada kawasan lindung sempadan sungai pada Kota Pangkalpinang berdasarkan gerakan sentripetal yakni (1) tersedianya fasilitas disekitar lokasi sempadan sungai, (2) terjaminnya keamanan (3) tingginya penghasilan di dalam Kota (4) banyaknya kesempatan kerja, dan (5) dekatnya dengan tempat kerja. Faktor-faktor inilah yang dijadikan acuan peneliti untuk mengkaji pengaruh ketidaksesuaian peruntukan ruang di sempadan sungai.
1.2.
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang yang ada maka dapat dirumuskan pokok-pokok
permasalahan berikut ini: a.
Laju pertumbuhan penduduk yang meningkat cepat dibarengi dengan permintaan lahan untuk permukiman yang tinggi sedangkan ketersediaan lahan yang terbatas.
b.
Kawasan sempadan sungai cenderung dijadikan “alternatif lain” sebagai pengembangan permukiman liar (squatter settlements).
7 8
Hadi Sabari Yunus, Manajemen Kota Perspektif Spasial , 2005 Idem
6
c.
Sesuai dengan Perda No 1 Tahun 2012 Kota Pangkalpinang tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pangkalpinang tahun 2011 – 2030, sempadan sungai merupakan kawasan lindung yang diperuntukan sebagai Ruang Terbuka Hijau (RTH)
d.
Di sepanjang sempadan sungai Pedindang berpotensi terjadi ketidaksesuaian peruntukan ruang hal ini dikarenakan sungai ini membelah Kota Pangkalpinang dan aliran sungainya melewati pusat kota.
e.
Ketidaksesuaian peruntukan ruang kawasan lindung disepanjang sempadan sungai disebabkan oleh beberapa faktor yakni (1) tersedianya fasilitas disekitar lokasi sempadan sungai, (2) terjaminnya keamanan (3) tingginya penghasilan di dalam Kota (4) banyaknya kesempatan kerja, dan (5) dekatnya dengan tempat kerja Dari perumusan masalah tersebut maka muncul pertanyaan penelitian
sebagai berikut: a.
Apa saja faktor yang mempengaruhi ketidaksesuaian peruntukan ruang Kawasan Lindung Sempadan Sungai Pedindang?
b.
Dimana saja terjadi ketidaksesuaian peruntukan ruang Kawasan Lindung Sempadan Sungai pada sempadan Sungai Pedindang di Kota Pangkalpinang sesuai dengan Peraturan Daerah Nomor 1 Tahun 2012 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pangkalpinang tahun 2011 – 2030?
c.
Seberapa jauh terjadi penyimpangan atau ketidaksesuaian antara rumusan RTRW dengan kondisi pemanfaatan lahan eksisting ?
7
1.3.
Tujuan Penelitian Melihat berbagai permasalahan yang ada, maka penulis melaksanakan
penelitian ini dengan tujuan untuk : a. Mengidentifikasi Ketidaksesuaian penggunaan lahan di kawasan sempadan sungai Pedindang yang berdasarkan Perda No 1 tahun 2012 tentang RTRW Kota Pangkalpinang adalah untuk ruang terbuka hijau atau jalan inspeksi digunakan menjadi kawasan terbangun b. Mengetahui faktor penyebab terjadinya ketidaksesuaian peruntukan ruang Kawasan Lindung Sempadan Sungai di Kota Pangkalpinang yang terdiri dari (1) tersedianya fasilitas disekitar lokasi sempadan sungai, (2) terjaminnya keamanan, (3) tingginya penghasilan di dalam Kota, (4) banyaknya kesempatan kerja, (5) dekatnya dengan tempat kerja c. Melihat seberapa jauh sebaran spasialnya
1.4. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat mengidentifikasi ketidaksesuaian Kawasan Lindung Sempadan di Kota Pangkalpinang serta faktor yang menyebabkannya, sehingga bermanfaat untuk : a.
sebagai masukan bagi pemerintah untuk membuat kebijakan dalam pengendalian Kawasan Lindung Sempadan Sungai di Kota Pangkalpinang
b.
kepentingan Pemerintah Kota Pangkalpinang, sebagai bahan masukan dalam merumuskan kebijakan dan peraturan daerah terkait dengan Rencana Tata Ruang Wilayah Kota Pangkalpinang.
8
1.5.
Keaslian Penelitian Berdasarkan
penelusuran
kepustakaan
yang
peneliti
lakukan
pada
Perpustakaan Geografi UGM. Penelitian mengenai ketidaksesuaian peruntukan ruang kawasan lindung sempadan sungai untuk Kota Pangkalpinang masih belum banyak dilakukan. Penelitian-penelitian yang telah ada memiliki perbedaan dengan penelitian saya yang berjudul Identifikasi Ketidaksesuaian Peruntukan Ruang Kawasan Lindung Sempadan Sungai Pedindang Kota Pangkalpinang, serta hasil yang didapat tentu saja berbeda. Sebagai bahan perbandingan dengan penelitian-penelitian sebelumnya tabel perbandingan penelitian terdapat pada tabel 1 (satu) dibawah ini
9
Tabel 1. Perbandingan Keaslian Penelitian
No
Nama
Judul
Tujuan
Metode
Hasil
1
Mudadtzir M, 2002
Kajian dampak lingkungan penyimpangan peruntukan ruang 19972002 sarana/prasarana fisik menurut RTRK 1997 – 2007 Kota Benteng.
Kajian Dampak lingkungan dari penyimpangan peruntukan ruang
- Survey yang bersifat eksploratif, - Pengumpulan Data : Sampling, - Analisis : Kuantitatif dan Kualitatif dengan wawancara dan angket
2
Ester R.K Simatupan g, 2006
Evaluasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan Periode 1991-2005 (pada wilayah pengembangan dan pembangunan pusat kota)
1.
Metode tumpangsusun dengan metode pengambilan sampel menggunakan proporsional stratified sampling, Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner dan analisis statistik menggunakan SPSS
- Arahan penempatan fisik binaan pada pemanfaatan ruang kota berwawasan lingkungan - Bahwa dampak dari penyimpangan peruntukan ruang tersebut mempengaruhi lingkungan biotik, abiotik dan kultural 1. Peta kesesuaian pemanfaatan ruang aktual terhadap RUTRK Periode 1995-2005 2. Tabel kesesuaian pemanfaatan ruang dan luasannya
3
Nugroho Ardianto, 2011
Kajian perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan nonpertanian di Kota Ponorogo tahun 19962008
Menganalisis distribusi dan pola keruangan dari pemanfaatan ruang yang serasi, tidak serasi dan belum serasi terhadap RUTRK Medan 2. Mengidentifikasi faktor penyebab pemanfaatan ruang yang serasi, belum serasi dan tidak serasi terhadap RUTRK Medan, baik di level rumah tangga dan perusahaan seperti developer dan konsultan 1. Mengetahui bentuk perubahan penggunaan lahan pertanian, arah dan pola penggunaan lahan non-pertanian di Kota Ponorogo periode 1996 – 2008. 2. Mengetahui hubungan antara faktor sosial dan demografi dengan perubahan penggunaan lahan pertanian di Kota Ponorogo. 3. Mengetahui kesesuaian perubahan
Pengamatan data Skunder dengan survei institusional, observasi lapangan
1. Perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non pertanian tahun 1996 sampai dengan 2008 di Kota Ponorogo seluas 491,102 hektar. 2. Faktor yang memiliki hubungan paling dekat dengan perubahan penggunaan lahan di Kota Ponorogo adalah keadaan penduduk, fasilitas pelayanan dan aksesbilitas, dan luas lahan terbangun. 3. Terdapat ketidaksesuaian antara
10
penggunaan lahan pertanian dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota Ponorogo.
4
Agung Ferianda, 2014
Identifikasi Ketidaksesuaian Peruntukan Ruang pada Kawasan Lindung Sempadan Sungai di Kota Pangkalpinang
Mengidentifikasi ketidaksesuaian kawasan lindung sempadan sungai Rangkui dan sempadan sungai Pedindang di Kota Pangkalpinang, faktor faktor yang mempengaruhinya serta sebaran spasialnya
- Berhubungan dengan populasi : studi kasus - Berhubungan dengan objek penelitian : survey - Berhubungan dengan Analisis : Kualitatif dengan wawancara dan analisis peta deskriptif
RUTRK dengan penggunaan lahan di Kota Ponorogo. Kawasan yang paling mengalami ketidaksesuaian adalah kawasan yang diperuntukkan sebagai kawasan permukiman yang terjadi di 31 Desa/Kelurahan dengan bentuk penyimpangan penggunaan lahan pertanian dan lahan non-pertanian. - Bahwa ketidaksesuaian peruntukan ruang kawasan lindung sempadan sungai di Kota Pangkalpinang terdapat di kawasan sempadan Sungai Pedindang sedangkan pada kawasan sempadan Sungai Rangkui perlindungan sempadan sungai dengan konsep water front city - Bahwa faktor-faktor yang mempengaruhi ketidaksesuaian peruntukan ruang pada sempadan sungai di Kota Pangkalpinang yakni faktor aksesibilitas, faktor pelayanan umum, faktor karakteristik lahan, faktor karakteristik pemilik lahan, faktor keberadaan peraturan yang mengatur tata ruang dan faktor prakarsa pengembang
Berdasarkan tabel diatas dapat dijelaskan bahwa pada penelitian tentang identifikasi peruntukan ruang pada kawasan lindung sempadan sungai di Kota Pangkalpinang, tujuan peneliti yakni untuk mengidentifikasi ketidaksesuaian peruntukan ruang sempadan sungai Pedindang di Kota Pangkalpinang serta faktor 11
yang
mempengaruhinya
dengan metode
penelitian
studi
kasus
dengan
pertimbangan bahwa ketidaksesuaian peruntukan ruang sempadan sungai di Kota Pangkalpinang terdapat di sungai Pedindang dan anggota popolasi yang di teliti yakni anggota populasi di lokasi ketidaksesuaian tersebut, survei dilaksanakan dengan kuesioner dan analisis dilaksanakan secara kualitatif sehingga penelitian ini diharapkan dapat menghasilkan hal-hal yang berbeda dengan penelitian sebelumnya. Kajian permasalahan yang mungkin timbul dari penelitian ni adalah fungsi lahan yang terkonsentrasi di pusat kota. Hal ini tentunya menyebabkan urbanisasi dan pertumbuhan kota semakin meningkat setiap tahunnya, hal ini mempengaruhi fungsi kawasan lindung sempadan sungai. Penelitian dengan jenis studi kasus ini adalah untuk pertama kalinya dilaksanakan oleh peneliti di daerah penelitian yakni
Kota Pangkalpinang
karena belum
ditemukan
penelitian
serupa
sebelumnya. Hal ini bagi peneliti merupakan suatu kebaharuan studi yang perlu diteliti untuk menemukan jawaban atas permasalahan yang ada. Sedangkan penelitian serupa yang pernah dilaksanakan yakni penelitian yang dilaksanakan oleh (Mudadtzir. M, 2002)9, (Ester R.K Simatupang, 2006)10, dan Nugroho Ardianto, (2011). Penelitian yang dilaksanakan oleh Mudadtzir. M berjudul Kajian Dampak Lingkungan Penyimpangan Peruntukan Ruang Tahun 1997-2002 Menurut RTRK Benteng Tahun 1997-2007 Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan. Tujuannya untuk melihat dampak yang dihasilkan oleh
9
Mudadtzir, Kajian Dampak Lingkungan Penyimpangan Peruntukan Ruang Tahun 1997-2002 Menurut RTRK Benteng Tahun 1997-2007 Kabupaten Selayar, Provinsi Sulawesi Selatan, 2002 10
12
penyimpangan peruntukan tersebut terhadap lingkungan abiotik, biotik dan kultural dengan metode survei menggunakan wawancara dan angket, penelitian ini merupakan mix method atau gabungan antara metode kuatitatif dan metode kualitatif dimana hasil wawancara dipadukan dengan hasil pengujian terhadap lingkungan abiotik dan biotik sedangkan hasil penelitian berupa arahan penempatan fisik binaan pada pemanfaatan ruang kota berwawasan lingkungan dan diketahui bahwa dampak dari penyimpangan peruntukan ruang tersebut mempengaruhi lingkungan biotik, abiotik dan kultural Penelitian yang dilaksanakan oleh Ester R.K (2006)11 berjudul Evaluasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan Periode 1991-2005 (pada wilayah pengembangan dan pembangunan pusat kota), penelitian ini bertujuan untuk Menganalisis distribusi dan pola keruangan dari pemanfaatan ruang yang serasi, tidak serasi dan belum serasi terhadap RUTRK Medan Mengidentifikasi faktor penyebab pemanfaatan ruang yang serasi, belum serasi dan tidak serasi terhadap RUTRK Medan, baik di level rumah tangga dan perusahaan seperti developer dan konsultan dengan Metode tumpangsusun dengan metode pengambilan sampel menggunakan proporsional stratified sampling, Pengumpulan data melalui wawancara dengan kuesioner dan analisis statistik menggunakan SPSS hasil yang didapatkan yakni Peta kesesuaian pemanfaatan ruang aktual terhadap RUTRK Periode 1995-2005 dan tabel kesesuaian pemanfaatan ruang dan luasannya.
11
Ester R.K, Evaluasi Kesesuaian Pemanfaatan Ruang Aktual Terhadap Rencana Umum Tata Ruang Kota Medan Periode 1991-2005 (pada wilayah pengembangan dan pembangunan pusat kota),
13
Penelitian yang dilaksanakan oleh Nugroho Ardianto, (2011) )12 berjudul kajian perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kota Ponorogo tahun 1996-2008 menggunakan metode pengamatan data sekunder dengan survei institusional dan observasi lapangan, penelitian ini bertujuan (1) mengetahui bentuk perubahan penggunaan lahan pertanian, arah dan pola penggunaan lahan non-pertanian di Kota Ponorogo periode 1996-2008, (2) mengetahui hubungan antara faktor sosial dan demografi dengan perubahan penggunaan lahan pertanian di Kota Ponorogo, dan (3) mengetahui kesesuaian perubahan penggunaan lahan pertanian dengan Rencana Umum Tata Ruang Kota Ponorogo. Hasil dari penelitian Nugroho Ardianto (2011)13
yakni (1) adanya
perubahan penggunaan lahan dari lahan pertanian menjadi lahan non-pertanian tahun 1996 sampai dengan 2008 di Kota Ponorogo seluas 491,102 hektar (2) faktor yang memiliki hubungan paling dekat dengan perubahan penggunaan lahan di Kota Ponorogo adalah keadaan penduduk, fasilitas pelayanan dan aksesibilitas, dan luas lahan terbangun dan (3) terdapat ketidaksesuaian antara RUTRK dengan pengunaan lahan di Kota Ponorogo, kawasan yang paling mengalami ketidaksesuaian adalah kawasan yang diperuntukan sebagai kawasan permukiman yang terjadi di 31 Desa/Kelurahan dengan bentuk penyimpangan penggunaan lahan pertanian dan lahan non-pertanian.
12
Nugroho Ardianto, Kajian perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kota Ponorogo tahun 1996-2008, skripsi, 2011 13 Nugroho Ardianto, Kajian perubahan penggunaan lahan pertanian ke lahan non-pertanian di Kota Ponorogo tahun 1996-2008, skripsi, 2011
14