BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Novel sejarah merupakan genre sastra yang memanfaatkan peristiwa sejarah sebagai latar belakang penceritaannya. Pembaca menemukan kembali peristiwa masa lalu yang diceritakan kembali lewat gaya bercerita ala sastra yang ringan, indah, dan mudah dipahami. Tak jarang, pembaca mampu menyinergikan emosi dan pikirannya ke dalam alur cerita yang terbangun dalam novel. Hal ini berbeda dengan buku sejarah yang membosankan ketika dibaca, karena bahasanya yang standar dan gaya bercerita yang monoton. Karena kedekatannya dengan proses berimajinasi pengarang, maka pembaca harus melek sejarah agar tidak tertipu dengan cerita fiktif yang digambarkan. Kita akan menemui adanya tumpang-tindih antara cerita fiksi yang dihasilkan dari imajinasi pengarang dengan cerita nyata yang sungguh-sungguh terjadi. Hal tersebut tidak hanya berlaku bagi tema penceritaannya saja, tapi juga pada karakter yang dimainkan dalam novel tersebut. Meski begitu, pengarang novel sejarah biasanya mampu menguasai cerita sejarah agar dapat menghindari penceritaan yang tidak masuk akal atau tuduhan menciptakan kebohongan publik. Beberapa contoh novel sejarah yang fenomenal antara lain: Burung-burung Manyar karya Y.B. Mangunwijaya; trilogi Ronggeng Dukuh Paruk karya Ahmad Tohari; pentalogi Gadjah Mada karya Langit Kresna Hariadi; novel Para Priyayi karya Umar Kayam; serta tetralogi Bumi Manusia karya Pramoedya Ananta Toer. 1
Novel jenis ini semakin berkembang di Indonesia, seiring dengan meningkatnya animo masyarakat. Hal itu karena ada teori dari beberapa sastrawan di dunia yang menyepakati bahwa novel tidak hanya sebagai karya seni, tetapi juga sebuah bentuk ekspresi realitas sosial di masyarakat, dalam hal ini peristiwa sejarah. Sehingga novel sejarah sering digunakan sebagai rujukan sampingan dari buku sejarah konvensional, dalam upaya memahami suatu peristiwa sejarah tertentu. Sehubungan dengan itu, penelitian ini menganalisis salah satu novel sejarah Kiamat Dukun Santet (selanjutnya ditulis KDS). Novel KDS ditulis oleh Langit Kresna Hariadi (selanjutnya ditulis LKH)—mantan wartawan nasional—dan diterbitkan pada tahun 2005. Novel KDS mengisahkan tentang sesepuh sebuah desa yang difitnah melakukan praktek perdukunan santet. Latar belakang yang diambil pengarang pada tahun 1998 dengan mengambil lokasi di Banyuwangi, Jawa Timur. Menurut catatan sejarah bangsa Indonesia, pada tahun itu, tepatnya setelah kejatuhan Presiden Soeharto oleh aliansi mahasiswa dan masyarakat, di hampir sebagian besar wilayah Indonesia, terjadi pergolakan dalam masyarakat yang tidak menentu. Berbagai isu miring dan fitnah berkembang pada masa itu, termasuk mengenai praktek dukun santet. Di Banyuwangi sendiri, terjadi peristiwa pembantaian massal terhadap orang-orang yang diduga berprofesi sebagai dukun santet. Kebetulan saja, Banyuwangi terkenal dengan maraknya praktek perdukunan dan sebagian besar masyarakatnya percaya akan kesaktian ilmu dukun tersebut. Dalam kasus pembantaian massal ini, para dukun dianggap sebagai penanggung jawab utama atas serentetan musibah dan kematian yang dialami oleh orang-orang di sekitarnya, melalui ilmu santetnya. Akibatnya daerah Banyuwangi menjadi sangat mencekam dengan banyaknya pembunuhan terhadap dukun-dukun 2
santet secara keji, perburuan dukun di berbagai sudut wilayah, bahkan orang-orang yang tidak berprofesi sebagai dukun santet pun terkena imbas fitnah tersebut. Secara eksplisit, peneliti menemukan dua konsep yang diangkat dalam penceritaan novel KDS ini, yaitu mengenai budaya mistisisme yang masih dianut oleh masyarakat dan tindakan kekerasan secara kolektif yang dilakukan oleh mereka. Dua konsep tersebut sebenarnya adalah penggambaran realitas sosial di masyarakat, dan berdasarkan fakta, hal itu memang pernah terjadi dalam sejarah bangsa Indonesia. Merujuk dari teori bahwa novel sejarah mampu menggambarkan realitas sosial (dalam hal ini, sejarah) di masyarakat, maka novel KDS ini dengan pengambilan latar belakangnya dinilai tepat dijadikan contoh untuk menganalisis keterkaitan antara novel sejarah dan kemampuannya dalam merepresentasikan sebuah realita yang pernah terjadi dalam suatu masyarakat tertentu.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan di atas maka penelitian ini memfokuskan permasalahannya sebagai berikut: 1. Bagaimanakah konsep mistisisme dan kekerasan kolektif didefinisikan dalam novel KDS? 2. Bagaimanakah
novel
sejarah,
terutama
novel
KDS,
mampu
merepresentasikan realitas sosial dalam catatan sejarah suatu bangsa melalui teks-teks di dalamnya?
3
C. Tujuan Penelitian Adapun tujuan dari penelitian ini adalah: 1. Untuk mengetahui definisi konsep mistisisme dan kekerasan kolektif menurut gambaran dalam novel KDS 2. Untuk mengetahui sejauh mana sebuah novel sejarah, dalam hal ini novel KDS, mampu merepresentasikan realitas sosial dalam sejarah suatu bangsa melalui teks-teksnya
D. Landasan Teori 1. Novel Sebagai Media Komunikasi Massa Saat ini, novel tidak hanya diteliti sebagai karya sastra, tetapi dipandang sebagai media komunikasi massa yang modern (Hoed, 1989: 6). Novel layaknya jembatan penghubung antara pengarang dengan pembaca, sebagaimana fungsi media dalam menyampaikan pesan atau pemikiran tertentu. Sebagai media massa cetak, novel digemari masyarakat karena tampil secara personal, isi pesannya spesifik dan mendalam. Pesan dalam novel menyajikan gambaran realitas sosial saat ini ataupun saat lampau. Sementara, kegiatan komunikasi sendiri tidak dapat dipisahkan dengan proses pembentukan makna (Lindlof, 1995: 13). Dalam kajian budaya, segala artefak yang dapat dimaknai disebut sebagai teks (Lindlof, 1995: 5). Novel merupakan salah satu bentuk teks dan bersifat polisemi, dimana membuka peluang kepada setiap pembacanya untuk memaknai sebuah teks tersebut secara berbeda (McQuail, 1997: 19). Oleh sebab itu, tak heran apabila novel memiliki kelebihan dalam pembentukan makna oleh 4
pembacanya karena sifatnya yang sangat multitafsir. Sehingga antar satu pembaca dengan pembaca lain dalam akan memiliki perbedaan persepsi. Hal tersebut dikarenakan proses komunikasi yang terjadi dalam novel berlangsung satu arah dan tidak terdapat arus balik dari audience/pembaca alias monolog. Sebuah konsekuensi dari situasi komunikasi seperti ini adalah pengarang sebagai komunikator diharapkan untuk melakukan perencanaan dan persiapan sedemikian rupa sehingga pesan yang disampaikan dalam novelnya dapat diterima baik oleh pembacanya pada satu kali penerbitan. Atas dasar pertimbangan bahwa novel mempunyai makna dan pesan di dalamnya, maka ia dapat digolongkan sebagai sebuah media massa cetak yang dapat memberikan kehidupan dan informasi bagi pembacanya. Novel banyak digunakan untuk keperluan studi, hobi, atau media hiburan dengan penyajian mendalam dan persuasif yang jarang ditemukan pada media lain.
2. Novel Sejarah Sebagai Media Representasi Novel sejarah merupakan karya sastra yang dilahirkan dari proses kegelisahan pengarang atas kondisi masyarakat dan terjadi ketegangan dalam dinamika kebudayaannya. Ia tidak hanya mengungkapkan kondisi sosial masyarakat tertentu dan pada masa tertentu pula, tapi juga membawa semangat pada zamannya. Dalam hal ini, Mahayana (2007: 226) mengatakan bahwa pengarang lewat karyanya mencoba mengungkapkan fenomena kehidupan manusia, yakni berbagai peristiwa dalam kehidupan ini. Novel berisi catatan, rekaan, dan ramalan kehidupan manusia, maka ia sedikit banyak mengandung fakta-fakta sosial. Hal ini karena pengarang adalah 5
anggota masyarakat, maka ia tidak terlepas dari latar sosio-budaya yang terwujud melalui tokoh, sistem kemasyarakatan, adat istiadat, pandangan masyarakat, kesenian, dan benda-benda kebudayaan dalam novel tersebut. Meskipun objek novel sejarah adalah realitas kehidupan masa lampau, namun dalam menangkap realitas tersebut pengarang tidak mengambilnya secara acak. Dia memilih dan menyusun bahan-bahan itu dengan berpedoman pada asas dan tujuan tertentu. Karena realitas itu adalah sebuah peristiwa sejarah, maka novel sejarah mencoba menerjemahkan peristiwa itu dalam bahasa imajiner untuk memahami peristiwa sejarah menurut kadar kemampuan pengarangnya. Selain itu, ia dapat menjadi sarana bagi
pengarangnya
untuk
menyampaikan
pikiran,
perasaan,
dan
tanggapannya mengenai peristiwa sejarah dan seperti juga buku sejarah, novel sejarah dapat merupakan penciptaan kembali peristiwa sejarah dengan pengetahuan dan daya imajinasi pengarang. Hal tersebut senada dengan pernyataan Michael Zerraffa (1973: 35), bahwa karya sastra merupakan bentuk analisis estetis dan sintetis sebuah realitas tertentu dan novelis senantiasa melakukan analisis dan sintesis sebelum memulai menulis. Kritikus George Lukacs pernah mensinyalir bahwa novel sejarah harus mampu menghidupkan masa silam (dalam artian, bukan sebatas fantasi); masa silam harus dekat kepada realitas kita, sehingga kita dapat menyelami kenyataan yang sebenarnya terjadi pada masa silam. Ini berarti bahwa dengan membaca novel sejarah, alur-alur cerita yang disodorkan ke wilayah publik setidak-tidaknya ikut serta merekonstruksi peristiwa sejarah yang pernah terjadi di masyarakat dalam kurun waktu yang disebutkan dalam 6
novel sejarah tersebut. Hal ini memperkuat anggapan bahwa novel dapat dipandang sebagai dokumen sosial budaya seperti yang diungkapkan oleh Umar Junus, dimana ada hubungan yang konkret antara unsur karya sastra dengan unsur sosial budaya pada masa tertentu (Junus, 1986: 3-4). Merujuk dari penjelasan di atas, maka jelaslah bahwa novel bisa dikatakan sebagai sebuah media untuk merepresentasikan sesuatu kepada masyarakat
(pembaca,
pada
khususnya).
Dalam hal
ini
yang ia
representasikan adalah realitas kehidupan, mulai dari nilai moral, gaya hidup, pandangan
sosial-politik,
catatan
sejarah
bangsa,
hingga
berbagai
kebudayaan. Pada novel sejarah, maka hal yang ia representasikan adalah penghadiran kembali realitas sejarah atau kehidupan sosial-politik-budaya di masa lampau suatu masyarakat tertentu, dengan sudut pandang dari pengarangnya. Secara tidak langsung, pengarang ikut merekonstruksi peristiwa-peristiwa dalam novelnya agar pembaca dapat memahami segala makna dan pesan yang ingin ia sampaikan, termasuk berperan serta terhadap pembentukan persepsi dan pandangan pembaca/masyarakat mengenai realitas sosial yang ia hadirkan kembali dalam novel sejarah tersebut.
3. Mistisisme dan Kekerasan Kolektif: Realitas Sosial dalam Novel Sejarah Realitas sosial adalah fakta atau kenyataan sebenarnya yang ada di dalam masyarakat (KBBI: Kamus Besar Bahasa Indonesia). Ia merupakan hasil bentukan (konstruksi), lalu disepakati dan diterima secara kolektif. Pihak yang mengonstruksikannya tidak lain adalah individu anggota masyarakat tersebut. Asumsi ini didasarkan pada anggapan bahwa individu 7
adalah makhluk yang aktif dan kreatif jika berhubungan dengan realitas sosial. Dalam perkembangan selanjutnya, akan selalu ada proses untuk meneguhkan realitas sosial yang sudah lama diyakini. Tentu saja tujuannya untuk mempertahankan seperangkat sistem, nilai-nilai, kepercayaan, dan perilaku yang menjadi prinsip tertinggi sebuah masyarakat. Realitas sosial tidak hanya didokumentasikan dalam buku-buku pelajaran sekolah saja, tetapi bisa juga dimasukkan ke dalam karya sastra, semisal novel. Meskipun novel identik dengan dunia imajiner dan rekayasa (fiksi) yang bersumber dari ide pengarangnya, tetapi sebagai anggota masyarakat, pengarang biasanya tidak mampu melepaskan dirinya dengan kehidupan sosial di sekitarnya. Dalam hal ini, realitas sosial dapat pula dijadikan sebagai latar belakang ataupun inspirasi pengarang dalam membuat novel. Itulah sebabnya mengapa novel bisa dijadikan sebagai cermin refleksitas dari sebuah kondisi sosial yang terjadi dalam suatu masyarakat. Realita sosial yang diceritakan di dalam novel bisa terjadi di masa lampau atau pada masa kekinian. Jika pengarang sedang mengikuti perkembangan tren sosial yang tengah berlaku di masyarakat, maka ia akan mengambil peristiwa sosial yang sedang berlaku pada masa itu untuk dijadikan sebagai ide penulisan novelnya. Namun apabila peristiwa sosial itu terjadi di masa lampau, maka ia menjadi suatu catatan bersejarah dalam perjalanan kehidupan suatu bangsa/masyarakat. Jika dikaitkan dengan keberadaan novel sejarah, maka ia sejatinya menghadirkan kembali realitarealita sosial yang pernah terjadi di masyarakat pada masa lalu, yang kemudian diingat dimasa kini sebagai catatan sejarah suatu bangsa. 8
Menurut Aminuddin (2004: 66), novel adalah salah satu bentuk prosa fiksi, yaitu sebuah kisahan atau cerita yang diemban oleh pelaku-pelaku tertentu dengan pemeranan, latar, serta tahapan, dan rangkaian cerita tertentu yang bertolak dari hasil imajinasi pengarangnya sehingga menjalin sebuah cerita. Pembuat novel biasa disebut pengarang atau novelis atau sastrawan. Sementara sejarah, menurut KBBI (Kamus Besar Bahasa Indonesia) adalah serangkaian peristiwa atau fenomena dalam suatu masyarakat atau bangsa tertentu yang pernah terjadi atau terjadinya pada masa lampau. Pembuat teks sejarah disebut sebagai sejarawan. Cara kerja sastrawan dan sejarawan sangatlah berbeda. Pekerjaan sastrawan adalah berimajinasi, dalam karyanya ia menceritakan seperti apa dunia yang dibangunnya. Dalam hal ini, ia tidak tergantung dengan faktafakta yang hadir di sekitarnya, dan sangat bebas mengapresiasi atau memperlakukan idenya untuk diceritakan sesuka dia. Idenya bisa dihadirkan seratus persen bersifat rekayasa/fiksi atau setengah rekayasa setengah nyata. Sementara sejarawan selalu terikat dengan fakta. Ia tidak boleh mengadaada. Ia memiliki tanggung jawab moral untuk memaparkan fakta apa adanya. Ia akan merekonstruksi ulang suatu peristiwa sejarah dari fakta-fakta yang ditemukannya, kemudian berusaha untuk lebih objektif meskipun objektifitas itu sendiri sesuatu yang nonsense (Natamarga, Rimbun. 2011). Dalam membuat novel sejarah, pengarang harus mempunyai kemampuan ganda. Pertama, menguasai latar belakang sejarah yang memadai untuk menghindari kesalahan pengambilan detail-detail masalah dan anakronisme. Kedua, menguasai teknik mengarang fiksi/cerita rekaan 9
(Suharno, Drs. 2009). Dengan kemampuan ganda itu, maka pengarang dapat memasukkan fakta ke dalam fiksi maupun sebaliknya, dan menceritakannya dengan sangat menarik, kreatif, dan persuasif agar pembaca dapat melihat tragedi yang digambarkan dalam cerita, serta turut merasakan emosi tokohtokoh yang dihadirkan dalam novel sejarah tersebut. Novel sejarah berjudul Kiamat Dukun Santet (KDS) yang akan diteliti kali ini ternyata baik secara implisit maupun eksplisit mengandung unsur fakta-fakta sosial di dalamnya. Fakta-fakta sosial yang diceritakan secara eksplisit terdapat dalam penyebutan peristiwa sejarah bangsa Indonesia, penyebutan lokasi penceritaan, serta penggunaan bahasa daerah tertentu dalam dialog antar tokohnya. Sementara secara implisit, ada dua konsep yang terlihat sebagai fakta sosial yang pernah terjadi, telah berkembang, dan mungkin masih terjadi hingga saat ini dalam kehidupan bermasyarakat. Kedua konsep itu adalah mistisisme dan kekerasan kolektif. Konsep
pertama,
yaitu
mistisisme.
Mistisisme
merupakan
kepercayaan terhadap hal-hal yang gaib/tak kasat mata. Ia merupakan bagian dari budaya masyarakat, yang dibentuk dari hasil konstruksi manusia. Dengan penyebutan lokasi penceritaan, yaitu di daerah Banyuwangi, Jawa Timur, Indonesia, maka dapat disimpulkan bahwa pengarang ingin menggambarkan fenomena mistis yang berkembang di daerah tersebut. Dalam mistik budaya Jawa, banyak berkembang kepercayaankepercayaan terhadap roh-roh gaib atau nenek moyang serta keyakinan akan benda-benda yang bertuah dan tempat-tempat yang dikeramatkan. Tetapi dari ke sekian banyak jenis kepercayaan-kepercayaan akan hal gaib yang ada 10
dalam budaya Jawa, ternyata hanya ada 3 (tiga) hal praktik mistis yang diceritakan dalam novel KDS. Mistik-mistik tersebut adalah pengkultusan terhadap sesepuh desa, kepercayaan akan kesaktian dukun santet dan tokoh agama, serta kepercayaan terhadap takhayul. Pengkultusan terhadap sesepuh desa dan menduduki status sosial lebih tinggi karena kemampuan yang lebih dalam bidang agama, ternyata sesuai dengan pendapat dari Frans Magnis-Suseno dalam bukunya “Etika Jawa” (1999: 100), bahwa dalam budaya Jawa dikenal istilah teokratis atau pengultusan terhadap tokoh-tokoh masyarakat (seperti: tokoh agama, politik, atau pujangga), dimana mereka dianggap sebagai titisan dewa atau Tuhan. Sementara kepercayaan terhadap dukun dan tokoh agama dilandasi keyakinan akan hubungan erat mereka dengan hal gaib. Mereka biasanya disebut sebagai “wong pinter” (orang pintar.Ind.red) oleh masyarakat Jawa. Dukun dan tokoh agama dianggap mempunyai kesaktian dan kemampuan untuk berhubungan dengan roh-roh halus dan mengendalikan mereka, demi kepentingan individu manusia yang mempunyai keinginan tertentu. Dalam melaksanakan praktiknya, mereka selalu melakukan ritual dan melafalkan kata-kata tertentu. Jika tokoh agama melafalkan doa/ayat-ayat suci dari kitab agama, maka dukun melafalkan mantra. Menurut Clifford Geertz (1960: 87), dukun adalah seseorang ahli di bidang hal magi/sihir, dalam masyarakat tradisional, yang berfungsi untuk memenuhi semua tujuan/keinginan baik fisik maupun psikis, peramal nasib dan masa depan, mengobati penyakit, serta mampu melakukan praktik magi jika ada yang menghendaki. Namun jika dalam artian dukun santet, maka ia 11
melakukan praktik magi atau ilmu sihir jahat dengan memberikan penyakit gaib (biasa disebut santet) kepada korbannya dengan tujuan untuk menyakiti atau membunuh korbannya. Dengan praktik semacam ini, dukun santet identik dengan perbuatan menyekutukan Tuhan (karena bersekutu dengan jin/setan/iblis), dan ilmunya biasa disebut ilmu hitam. Sementara tokoh agama (menurut novel adalah kiai/ustadz) meski keahliannya hampir selalu disamakan dengan dukun, tetapi karena kedekatannya dengan Tuhan dan praktiknya berdasarkan tuntunan agama, maka ilmunya biasa disebut ilmu putih, serta biasa digunakan untuk menangkal pengaruh santet pada korban. Terakhir,
kepercayaan
terhadap
takhayul
atau
mitos
yang
berkembang dalam masyarakat Jawa biasanya mengenai pemahaman akan benda-benda tertentu (seperti keris, tombak, pedang, atau akik) yang dipercaya
memberikan
khasiat
tertentu
bagi
penggunanya
untuk
kesejahteraan hidup dan pelindung diri (Widyatmanta, 1996: 105-106). Tidak hanya itu, mereka percaya bahwa kehendak Tuhan disuarakan melalui isyarat-isyarat yang terlihat di alam atau peristiwa alam, serta melalui mimpi dan perintah/nasihat raja atau pujangga. Mitos-mitos atau penafsiran tersebut di atas dirangkum dalam sebuah kitab/buku yang sering kita kenal dengan primbon (Widyatmanta, 1996: 111). Setelah mistisisme, maka konsep yang kedua adalah kekerasan kolektif. Secara umum menurut Kadish (1983), kekerasan menunjuk pada semua tingkah laku yang bertentangan dengan undang-undang, baik berupa ancaman maupun tindakan nyata yang mengakibatkan kerusakan terhadap harta benda, fisik, atau mengakibatkan kematian pada seseorang. Walker 12
(Shinta, 1996: 13) menyatakan bahwa kekerasan bisa terjadi secara fisik ataupun psikis. Kekerasan fisik berupa: tamparan, pukulan, dorongan, bahkan penggunaan senjata. Kekerasan psikis berupa: intimidasi, ancaman, direndahkan di depan umum, serta kritik yang intens. Tindakan kekerasan bisa dilakukan perseorangan maupun berkelompok. Kekerasan yang dilakukan oleh segerombolan orang atau geng dan kumpulan orang banyak/crowd, disebut kekerasan kolektif. Perbincangan mengenai aksi kekerasan oleh publik umumnya tertuju pada kekerasan yang bersifat instan dan sensasional, yang biasanya di-blow up oleh media massa, misalnya: perampokan bank, penculikan, pembunuhan, dan sejenisnya. Kekerasan kolektif yang digambarkan dalam novel KDS meliputi tindakan psikis hingga fisik, bahkan berujung kematian dan perusakan materi korban secara anarkis oleh sekelompok orang/massa. Peristiwa tersebut biasanya dipicu oleh rasa benci kolektif, perilaku yang meniru rekannya, bujukan pihak tertentu (karena ajakan pemimpin), adanya aksi pembuka kekerasan, adanya unsur kecurigaan, serta upaya penggalangan atau persatuan massa (Assegaf, Eric Hoffer. 2004: 33). Sedangkan unsur pendorong timbulnya aksi bersama adalah adanya keterikatan dengan kelompok, semisal geng, klub, daerah asal sama, sama-sama menjadi korban pihak tertentu, dan sebagainya (Soerjono, Soekanto, 1986).
13
E. Metode Penelitian 1. Bahasa dalam Karya Sastra Karya sastra adalah salah satu produk budaya yang dihasilkan dari proses berimajinasi pengarangnya. Ia menjadi salah satu media komunikasi karena menggunakan bahasa dalam perwujudannya. Bahasa merupakan sistem tanda yang penting dalam kehidupan manusia; karena dengan bahasa, pihak-pihak yang terkait dalam proses komunikasi dapat menyampaikan maksudnya masing-masing serta menyepakati sesuatu bersama. Peter L. Berger mengatakan bahwa bahasa mampu menyampaikan makna-makna yang tidak hanya merupakan ekspresi-ekspresi yang langsung dari subjektivitas „disini dan sekarang‟, tetapi juga menjadi tempat penyimpanan yang objektif dari akumulasi makna dan pengalaman seseorang atau sekelompok orang, yang kemudian dapat dilestarikan dan diteruskan kepada generasi-generasi berikutnya (Berger, 1990: 53). Ini berarti bahwa bahasa tidak sebatas untuk berkomunikasi pada saat sekarang saja, namun dapat menjadi sebuah sumber untuk mengomunikasikan gagasan-gagasan yang telah lampau untuk dimaknai kembali oleh penggunanya. Bahasa dikatakan sebuah simbol, karena diwujudkan dalam kata-kata yang mempunyai makna tertentu sesuai dengan kebutuhan pemakainya. Simbolisasi merupakan kebutuhan pokok manusia. Manusia itu unik karena memiliki kemampuan memanipulasi simbol-simbol berdasarkan kesadaran. Mead (via Mulyana, 2001: 77) menekankan pentingnya komunikasi, khususnya melalui mekanisme isyarat vokal (bahasa). Isyarat vokallah yang potensial menjadi seperangkat simbol yang membentuk bahasa. 14
Simbol adalah suatu rangsangan yang mengandung makna dan nilai yang dipelajari oleh manusia. Semua obyek simbolik menyarankan suatu rencana tindakan (plan of action), dan bahwa alasan untuk berperilaku dengan suatu cara tertentu terhadap obyek antara lain diisyaratkan oleh obyek tersebut. Simbol dapat mengartikan banyak hal, yaitu: status sosial seseorang dalam lingkungannya, gaya hidup, makna suatu kebudayaan, bahkan religi yang dianut pemakainya (dalam Mulyana, 2001: 77). Karya sastra, khususnya novel, pada akhirnya dapat menjadi sebuah komunikasi yang tidak sekedar simbolik, tetapi juga sarat akan makna, dimana simbol-simbol yang berupa teks tersebut dapat dimaknai oleh penggunanya (pembacanya) untuk diinterpretasikan kembali oleh mereka.
2. Semiotika Roland Barthes Semiotika adalah studi terhadap sign (tanda). Studi ini bukan hanya yang berhubungan dengan bahasa lisan, tetapi segala sesuatu yang mempunyai peran dalam mewakili sesuatu yang lain. Sign/tanda yang dipelajari dalam bidang ini antara lain: kata, gambar, kesan bunyi, bahasa tubuh, warna, serta obyek lainnya. Singkatnya, semiotika mempelajari tentang bagaimana makna dibuat melalui tanda-tanda. Tanda adalah kesatuan dari penanda (signifier) atau “bentuk”, dengan petanda (signified) atau “konsep/makna”. Dalam novel, tanda-tanda itu dapat dilihat dalam bahasa atau teks, yang digunakan sebagai media dalam menyampaikan pesan. Penandanya adalah aspek material dari bahasa, yaitu kata-kata atau kalimat. Sedangkan petanda adalah aspek mental dari bahasa, 15
berupa ide/makna dari kata-kata atau kalimat tersebut (Sobur, Alex. 2003. 46). Dan, kedua unsur tersebut tidak dapat dipisahkan. Di antara tokoh semiotika yang ada, Roland Barthes adalah salah satunya. Karyanya yang berjudul Mythologies merupakan karyanya yang paling populer. Barthes yang merupakan seorang strukturalis, esai-esainya memiliki sifat struktural secara permukaan maupun kedalamannya. Barthes
memfokuskan
perhatiannya
kepada
gagasan
tentang
signifikasi/pemaknaan dua tahap (two order of signification) dalam memaknai sebuah objek realitas. Barthes menjelaskan signifikasi tahap pertama merupakan hubungan antara signifier dan signified di dalam sebuah tanda terhadap realitas eksternal. Barthes menyebutnya sebagai denotasi, yaitu makna paling nyata dari tanda. Konotasi adalah istilah yang digunakan Barthes untuk menunjukkan signifikasi tahap kedua. Hal ini menggambarkan interaksi yang terjadi ketika tanda bertemu dengan perasaan atau emosi dari pembaca serta nilai-nilai dari kebudayaannya. Konotasi mempunyai makna yang subyektif atau paling tidak intersubyektif (Mythologies. 2004: 161). Proses pemaknaaan denotatif dan konotatif ala Roland Barthes dapat digambarkan lewat bagan di bawah ini:
1. signifier (penanda)
2. signified (petanda) denotasi
3. denotative sign (tanda denotatif) 4. connotative signifier (penanda konotatif)
5. connotative signified (petanda konotatif) konotasi
6. connotative sign (tanda konotatif)
16
Dari bagan di atas terlihat bahwa tanda denotatif (3) terdiri atas penanda (1) dan petanda (2). Sementara, tanda konotatif (6) terdiri atas tanda denotatif (3) yang berubah fungsinya menjadi penanda konotatif (4) dan petanda konotatif (5). Berarti, pada saat bersamaan, tanda denotatif (3) adalah juga penanda konotatif (4). Contoh sederhananya adalah mobil BMW. Dalam pemaknaan denotatif, penandanya adalah kendaraan roda empat, petandanya adalah produk otomotif buatan Jerman. Maka tanda denotatifnya adalah mobil BMW merupakan kendaraan roda empat buatan Jerman. Kemudian ketika masuk ke pemaknaan konotatif, penandanya adalah mobil BMW merupakan kendaraan roda empat buatan Jerman, petandanya Jerman merupakan negara maju dimana produksi otomotifnya pasti berkualitas tinggi dengan patokan harga yang tinggi. Maka tanda konotatifnya adalah mobil BMW merupakan simbol status sosial yang tinggi bagi pemiliknya. Dalam pengertian umum, denotasi biasanya dimengerti sebagai makna harfiah atau makna yang “sesungguhnya”. Proses signifikasi yang secara tradisional disebut dengan denotasi ini, biasanya mengacu pada penggunaan bahasa dengan arti yang sesuai dengan apa yang terucap/tertulis. Akan tetapi dalam semiotika Barthes, denotasi merujuk pada pemaknaan tingkat pertama, sementara konotasi ia tambahkan untuk proses pemaknaan tingkat kedua. Denotasi lebih diasosiasikan dengan ketertutupan makna (melalui sensor atau represi politis). Baginya, makna harfiah merupakan sesuatu yang alamiah, oleh sebab itu konotasi sangat penting keberadaannya untuk mengungkapkan dan memberikan pembenaran bagi nilai-nilai dominan yang berlaku dalam suatu periode tertentu. (Budiman, 2001: 22-28). 17
Konotasi identik dengan ideologi yang bermain dalam ranah mitos. Dalam mitos juga terdapat tiga pola dimensi penanda, petanda, dan tanda; namun sebagai sebuah sistem yang unik, mitos dibangun oleh rantai pemaknaan sebelumnya. Jadi mitos adalah pemaknaan tataran kedua. Sementara, ideologi oleh Barthes, dimampatkan ke dalam mitos karena di dalamnya hubungan antara penanda konotatif dan petanda konotatif yang termotivasi. Ideologi ada selama kebudayaan ada. Kebudayaan mewujudkan dirinya di dalam teks-teks, berupa penanda-penanda seperti: tokoh, latar, sudut pandang, dan lain-lain (Budiman, 2001: 28). Berikut ini adalah salah satu contoh menganalisis teks dalam novel KDS menurut pemaknaan denotatif dan konotatif Roland Barthes: Nnndddd Signifier/penanda denotatif: Usia Mbah Surip yang sangat tua menyebabkan orang berpikir, Mbah Surip tentulah orang yang sangat bertuah. Manakala ada dari sebagian orang yang tak merasa yakin permohonan yang disampaikan langsung kepada Tuhannya, mereka memandang Mbah Surip sebagai sosok yang tepat untuk mewakili memanjatkan doa itu (halm. 42)
Signified/petanda denotatif: Doa dari Mbah Surip dianggap bertuah/sakti
Denotative sign/tanda denotatif: Pengkultusan terhadap sesepuh desa Connotative signifier/penanda konotatif: Pengkultusan terhadap sesepuh desa
Connotative signified/petanda konotatif: Bentuk dari konsep mistisisme masyarakat Jawa
Connotative sign/tanda konotatif: Mistisisme masyarakat Jawa merupakan realitas sosial. Realitas sosial ini dimasukkan dalam dunia imajinasi berupa novel. Sehingga dapat diartikan bahwa novel mampu merepresentasikan realitas sosial dalam teksnya
18
Pada gambaran di atas, contoh yang diambil adalah salah satu kutipan yang berkaitan dengan konsep mistisisme dalam masyarakat Jawa, yang secara eksplisit diceritakan paling banyak dalam novel KDS. Kutipan yang diambil dari halaman 42 itu mendefinisikan konsep mistisisme dalam bentuk pengkultusan terhadap sesepuh desa. Dalam tahap pertama atau tahap denotasi, dapat dilihat bahwa penandanya adalah kutipan pada halaman 42, dimana petandanya atau maknanya menuturkan tentang sesepuh yang dipercaya oleh warga desanya bahwa ia mempunyai kesaktian tertentu, yaitu doa yang ia panjatkan diyakini bertuah dan jaminan dikabulkan oleh Tuhan. Menurut interpretasi peneliti, maka tanda denotasinya adalah terjadi praktik pengkultusan sesepuh desa oleh masyarakat sekitarnya. Kemudian pada tahap kedua atau tahap konotasi, tanda denotasi secara
langsung
menjadi
penanda
konotatif.
Penandanya
adalah
pengkultusan terhadap sesepuh desa, sedangkan petandanya adalah bentuk konsep mistisisme dalam masyarakat Jawa. Lalu ditarik kesimpulan atau tanda konotatifnya, menurut interpretasi peneliti adalah novel KDS memasukkan unsur fakta/realitas sosial ke dalam penceritaan fiktifnya, berupa konsep mengenai mistisisme dalam mayarakat Jawa. Dengan begitu dapat dikatakan bahwa novel mampu merepresentasikan suatu realitas sosial di dalam teks-teksnya. Realitas sosial yang pengarang pahami itu dikomunikasikannya ke pembaca, agar pembaca dapat memahami pesan yang ingin disampaikan oleh pengarang novel.
19