BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Salah satu keutamaan manusia dibanding makhluk lainnya adalah pengangkatan dirinya sebagai khalîfah fi al-ard (pengelola bumi), yang diserahi tugas untuk mengelola kehidupan di planet bumi ini. Dalam rangka menyukseskan tugas luhur tersebut manusia dibolehkan bahkan dianjurkan menikah antara lain agar keberlangsungan generasi manusia tetap terjamin sampai di hari kiamat nanti. Perkawinan dalam Islam merupakan suatu akad. Hal ini terlihat dari adanya unsur ijâb (penyerahan) dan qabûl (penerimaan). Berbeda dengan ibadah yang lain, perkawinan adalah amanah sesuai dengan sabda Nabi: akhaz-tumûhunna bi amânatillâh (kalian menerima istri berdasarkan amanah Allah). Sebagai suatu akad, perkawinan semestinya melibatkan dua pihak yang sekufu’sehingga mencapai suatu kata sepakat. Jadi tidaklah salah apabila definisi perkawinan adalah sebuah akad yang mengikat dua pihak yang sekufu’, yaitu lakilaki dan perempuan yang masing-masing telah memenuhi persyaratan berdasarkan hukum yang berlaku atas dasar kerelaan dan kesukaan untuk hidup bersama dalam satu keluarga.1 Perkawinan merupakan sebuah ibadah seorang manusia kepada Allah SWT. Ketika perkawinan tidak dilandasi niat ibadah, biasanya yang muncul adalah 1
Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 14.
1
keretakan rumah tangga dengan bermunculannya segala masalah. Ketika kita meniatkan ibadah kepada Allah lewat perkawinan, maka Dia pun menjadikan rumah tangga kita sebagai surga. Disitulah akan terwujud sebuah ketrentaman. 2 Jangan mengorientasikan perkawinan hanya karena alasan biologis, hanya karena harta benda dan kekuasaan. Karena harta, kekuasaan, kecantikan, dan ketampanan tidak berumur panjang dan sering menjebak pada persoalan. Allah menawarkan solusi tentang kebahagiaan perkawinan lewat konsep ibadah. Bahwa perkawinan akan menjadi surga ketika kita memformatnya sebagai sebuah pengabdian yang tulus kepada Allah. Perkawinan adalah suatu ibadah sunnah dan merupakan ladang untuk berbuat amal kebajikan, dengan cara membahagiakan istri dan suami yang kemudian memperoleh keturunan anak-anak yang shalih dan shalihah. Salah satu bentuk perkawinan yang sering diperbincangkan dalam masyarakat adalah poligami 3 . Poligami yang dimaksud dalam pembahasan ini merupakan ikatan perkawinan dimana suami mengawini lebih dari satu istri dalam waktu yang sama, atau biasa disebut dengan istilah poligini. Selain poligami, dikenal juga poliandri. Jika dalam poligami suami yang memiliki beberapa istri, dalam poliandri sebaliknya, justru istri yang mempunyai beberapa suami dalam waktu yang sama. Akan tetapi, dibandingkan dengan poligami, bentuk poliandri tidak banyak
2
Agus Mustofa, Poligami Yuuk!? (Surabaya: Padma Press, ttp), 162. Poligami disini adalah poligini, maksudnya laki-laki yang mempunyai istri lebih dari seorang perempuan. 3
2
dipraktekkan. Praktek poliandri hanya dijumpai pada beberapa suku Tuda dan sukusuku di Tibet.4 Ada yang berpendapat, poligami adalah pintu darurat yang tidak akan dipergunakan setiap waktu. Jika keadaannya darurat dan memaksa, maka seseorang jangan memilih selingkuh sebagai jalan keluar. Jadikanlah poligami sebagai pintu darurat untuk mengatasi keadaan. Tak ada satu ayat pun dalam al-Qur’an dan alHadis yang melarang poligami. al-Qur’an mengatur diperbolehkannya poligami dalam surat al-Nisâ’: 3, 5
ْن:ِ <َ ع َ :َ> َو ُرB َ CُD َوEَFGْ Hَ ِء:َJFKL اN َ Hِ ْOPُ Lَ ب َ :َR:َHْاST ُ Pِ Uْ :َ< EَH:َVWَ Lْ اE< اSُXJ ِ Yْ Zُ \ [ ْ َاOVُ ]ْ ^ ِ َْوِان اSُLْS_ُ Zَ \ [ َاEَU ْ َادa َ Lِ ْ ذOPُ Uُ :َcdْ ْ َاeَPCَHَ :َHْ ًة َاوhَ i ِ َاS<َ اSُLhِ _ْ Zَ \ [ ْ َاOVُ ]ْ ^ ِ ( ٣ : ء:JFL)ا Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) anak (perempuan) yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah memungkinkan untuk tidak menyimpang dari jalan lurus.6(Q.S. alNisâ’:3). Dengan demikian, izin untuk dilihat dalam konteks ini. Pembatasan ini adalah sebuah pengurangan yang drastis dalam jumlah istri yang dapat dilakukan. Ayat ini adalah satu-satunya ayat yang mungkin dipakai untuk membenarkan poligami dalam Islam. Akan tetapi perlu diingat, ini adalah pembenaran kontekstual, 4
Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 44. Sholihin Hidayat dan Muhammad Masrullah, “Poligami Pintu Darurat,” Al Ikhtibar, Edisi IX Tahun II Januari (2007) 6 Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Karya Toha Putra, 1998), 142. 5
3
bukan pembenaran normatif, karena itu pemberlakuannya harus dilihat dalam waktu tertentu, bukan untuk selamanya.7 Dalam pangkal ayat ini terdapat lanjutan tentang memelihara anak yatim dan kebolehan dari Allah untuk beristri lebih dari satu, yaitu sampai dengan empat. Untuk mengetahui duduk persoalannya di bawah ini diterangkan riwayat Aisy’ah istri Rasulullah, tentang sebab turunnya ayat ini, karena menjawab pertanyaan ‘Urwah Ibn Zubayr, anak Asma kakak Aisyah, yang sering bertanya tentang masalah agama yang musykil. Urwah bertanya bagaimana asal mula orang dibolehkan beristri lebih dari satu bahkan sampai empat, dengan alasan memelihara anak yatim. Aisyah menjawab: Wahai kemenakanku! Ayat ini mengenai anak perempuan yatim yang dalam penjagaan walinya, dan telah bercampur harta anak itu dengan harta walinya. Si wali tertarik dengan harta dan kecantikan anak itu, lalu ia bermaksud menikahinya dengan tidak membayar mahar secara adil, sebagaimana pembayaran mahar dengan perempuan lain. Oleh karena niat yang tidak jujur ini, maka dia dilarang menikah dengan anak yatim itu, kecuali ia membayar mahar secara adil dan layak seperti kepada perempuan lain. Daripada melangsungkan niat yang tidak jujur itu, dia dianjurkan lebih baik menikah dengan perempuan lain, walaupun sampai dengan empat.8 Masalah adil ini, dalam ayat lain (Q.S. al-Nisâ’:129) dikatakan bahwa:
ْ ُروxَ Vَ <َ y ِ Wْ cَ Lْ اz [ ْا ُآSCُWْ cِ Zَ z َ <َ ْOVُ | ْ }َ i َ ْSLَ ِء َو:َJFKL اN َ Wْ >َ ْاSLُhِ _ْ Zَ ْْاَانS_ُ Wْ X ِ َVJ ْ Zَ ْNLََو (١٢٩ : ء:JFL )ا:ًcWْ i ِ ْ ًرا [رS]ُ َ ن َ :َ آ َ نا [ :ِ <َ ْاSYُ V[Zَ ْا َوST ُ Cِ~ ْ Zُ ْ ِ َوِانYَ C[_َ cُ Lْ :َآ:َه Artinya: “Kamu sekali-kali tidak dapat berbuat adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan memelihara
7 8
Nurjannah Ismail, Perempuan Dalam Pasungan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 36. Ath-Thabari, Jami’ al-Bayan, III:574.
4
diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.9(Q.S. al-Nisâ’:129). Dengan demikian, menurut Asghar jelaslah bahwa al-Qur’an tidak menganjurkan poligami. Poligami diperbolehkan dalam kondisi tertentu selama persyaratan untuk berbuat adil terpenuhi. Ayat tersebut lebih menekankan pada keadilan, perlakuan adil terhadap anak yatim dan adil terhadap istri. Tampaknya inilah yang sering dilupakan oleh mereka yang mendukung poligami. Dia juga berkesimpulan bahwa monogami merupakan bentuk perkawinan yang lebih disukai oleh Al-Qur’an. Dengan monogami tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram dapat terpenuhi. Sementara dalam poligami hal itu tidak dapat terpenuhi karena seorang suami akan membagi cinta dan kasih sayangnya lebih dari satu keluarga.10 Di Indonesia poligami diperbolehkan untuk seorang laki-laki beragama Islam yang menikahi lebih dari satu atau empat wanita dengan persyaratan laki-laki tersebut harus mampu berbuat adil kepada wanita-wanita yang dinikahi. 11 Dengan dasar pemikiran bahwa poligami berbeda dengan hukum pernikahan lebih dari satu wanita yang diperbolehkan dalam Islam, dimana poligami hanya didasarkan pada perkawinan antara seorang pria dengan lebih dari satu wanita, namun hukum pernikahan lebih dari satu sampai empat wanita yang ada pada Islam hanya akan terjadi bila pernikahan ini sah hukumnya beserta syarat-syarat dan rukun-rukunnya.
9
Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Karya Toha Putra, 1998) Ismail, Perempuan Dalam Pasungan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 219. 11 Lihat KHI Pasal 55 ayat (1). 10
5
Dalam masalah poligami, seorang suami harus izin kepada istri sebelumnya untuk melakukan poligami. Masalah izin istri ini, tidak mempunyai kekuatan hukum dengan terbitnya Kompilasi Hukum Islam Indonesia melalui Inpres Nomor 1 tahun 1991, yang mengatakan bahwa: “Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan izin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat 2 dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan tentang pemberian izin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.”12 Perempuan perlu diberdayakan agar mereka memahami hak-haknya dengan baik dan sekaligus mampu melaksanakan kewajibannya dengan sempurna. Semakin berdaya seorang perempuan akan semakin tinggi kemampuannya untuk memilih mana jalan terbaik dalam hidupnya. Arah kehidupannya akan ditentukan sendiri berdasarkan pilihannya sesuai dengan keyakinan agamanya, bukan dipilihkan orang tuanya dan lingkungan tempat dia berada. Perempuan hendaknya diajarkan bahwa dirinya adalah manusia seutuhnya sama dengan laki-laki. Sebagai manusia, perempuan harus mandiri dan bertanggungjawab. Problem psikologis dalam bentuk konflik internal keluarga, baik sesama istri, antara istri dan anak tiri atau di antara anak-anak yang berlainan ibu. Ada rasa persaingan yang tidak sehat di antara istri. Permusuhan di antara istri diistilahkan oleh Faruk dengan women womeni lupus. Istilah itu disimpulkan dari pengalamannya sendiri. Ia melihat dan mengalami secara langsung bagaimana permusuhan antara ibu 12
Lihat Inpres Nomor 1 Tahun 1991.
6
kandung dan para ibu tirinya (istri-istri bapaknya). Pengalamannya menunjukkan betapa kuat konflik yang terjadi di antara para istri, dan perempuan yang kuat akan mengalahkan perempuan yang lemah. Padahal pertarungan di antara mereka sesungguhnya hanyalah untuk memperebutkan perhatian lebih banyak dari suami. Yang menarik bahwa berbagai aktivitas yang dilakukan para istri sama sekali tidak menunjukkan fungsinya sebagai subjek dari perempuan itu sendiri, melainkan berjuang untuk menjadi objek bagi laki-laki.13 Perkawinan poligami juga membawa dampak buruk bagi perkembangan jiwa anak, terutama bagi anak perempuan. Perkawinan poligami menimbulkan beban psikologis yang berat bagi anak-anak. Biasanya anak-anak yang ayahnya berpoligami mencari pelarian lain, seperti hal-hal yang bersifat negatif. Hal ini disebabkan karena mereka kurang mendapatkan perhatian dari orangtua, terutama ayahnya yang harus membagi waktu untuk istri lain, atau kurang adanya komunikasi lagi dengan anaknya. Akibat dari tekanan psikologis bagi anak tersebut adalah melemahnya kondisi fisik sehingga mereka mudah terserang berbagai penyakit. Seluruh paparan mengenai konflik, baik antara istri dengan istri, antara istri dengan anak tiri maupun antara anak dengan anak yang terjadi dalam perkawinan poligami membawa kepada kesimpulan bahwa perkawinan poligami sangat jauh dari prinsip perkawinan yang diidealkan Islam,14 yaitu penuh mawaddah wa rahmah, syarat dengan tuturan dan sikap yang
13 14
Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 141. Ibid., 144.
7
sopan dan santun, dilimpahi dengan keharmonisan, kedamaian, dan kebahagiaan yang dirasakan oleh seluruh anggota keluarga. Menurut Amîna Wadûd bahwa monogami merupakan bentuk perkawinan yang disukai al-Qur’an. Dengan monogami, tujuan perkawinan untuk membentuk keluarga yang penuh cinta kasih dan tenteram dapat terpenuhi. Sementara itu, dalam poligami hal itu tidak mungkin tercapai ketentraman dan kasih sayang secara utuh, karena suami akan membagi cintanya kepada lebih dari satu keluarga. Sementara dalam membagi cinta, seorang laki-laki tidak bisa berlaku adil.15 Dalam Tafsîr al-Manâr, secara eksplisit Muhammad Abduh dan Rasyid Rida tidak setuju terhadap praktek poligami yang ada dalam masyarakat. Poligami meskipun secara normatif diperbolehkan (dalam kondisi tertentu), namun mengingat persyaratan yang sulit untuk diwujudkan, maka poligami sebetulnya tidak dikehendaki oleh al-Qur’an. Bentuk perkawinan monogamilah sebenarnya yang menjadi tujuan perkawinan, karena perkawinan monogami akan tercipta suasana tenteram dan kasih sayang dalam keluarga.16 Dilihat dari segi kuantitatif, menurut Shahrûr bahwa praktik poligami itu dikaitkan dengan persyaratan istri kedua, ketiga, dan keempat, haruslah perempuanperempuan janda yang mempunyai anak yatim. Sebab pada dasarnya poligami itu bertujuan untuk mengatasi problem kemanusiaan, yaitu dengan menolong para janda
15 16
Ismail, Perempuan Dalam Pasungan (Yogyakarta: LKiS, 2003), 220. Ibid., 330.
8
dan anak-anak yatim, bukan sebagai satu bentuk sistem pernikahan karena menuruti hawa nafsu.17 Salah satu alasan poligami adalah karena istri mandul atau berpenyakit kronis yang sulit disembuhkan. Manusia diciptakan Tuhan dalam kondisi fisik yang berbeda-beda, ada yang kuat lagi sehat, ada yang sakit-sakitan, ada yang lengkap dan sempurna, ada pula yang cacat. Poligami dalam Islam diperbolehkan mengingat perbedaan-perbedaan fisik manusia ini. Masyarakat muslim di berbagai belahan dunia, umumnya membenarkan poligami dengan alasan berkenaan dengan hak laki-laki mendapatkan keturunan dan mereka menyebut alasan tersebut alami. Untuk mengcounter alasan ini cukup diajukan sejumlah pertanyaan. Apakah benar istri yang mandul? Sebab, pernyataan bahwa istri mandul biasanya hanya datang dari pihak suami, tanpa melakukan pemeriksaan medis secara sempurna. Pertanyaan berikutnya, bagaimana kalau suami yang berpenyakitan, mandul, atau cacat? Jika kondisi ini menimpa suami apakah sudah dipikirkan jalan keluarnya?18 Agama pada hakekatnya diturunkan untuk lebih memanusiakan manusia, sehingga berbeda dengan satwa dan makhluk lainnya. Salah satu ajaran agama adalah mendidik manusia agar mampu menjaga organ-organ reproduksinya dan tidak mengumbar hawa nafsunya dengan cara perkawinan. Menyakiti perasaan istri sangat bertentangan dengan prinsip perkawinan Islam wa âsyirûhunna bi al-ma’rûf (perlakukan istrimu secara santun), demikian juga sebaliknya dilarang menyakiti
17 18
Ibid., 226 Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004), 58.
9
perasaan suami. Poligami pada hakekatnya adalah pembatasan dalam beristri, karenanya jauh lebih menjaga perasaan istri. Islam menuntut manusia agar menjauhi selingkuh sekaligus menghindari poligami. Sebagaimana tertera di atas, ada suatu masalah dengan pasangan suamiistri yang suaminya ingin menikah lagi dengan seorang wanita padahal istrinya telah melaksanakan kewajibannya sebagai istri. Istrinya tidak cacat dan juga mempunyai keturunan, tetapi istrinya pernah operasi dan tidak boleh hamil lagi. Namun, suaminya ingin mempunyai anak lagi sehingga melakukan poligami.19 Dari masalah tersebut ada ketidak sesuaian antara teori dengan praktek karena alasan untuk melakukan poligami kurang tepat. Karena pada prinsipnya suatu perkawinan seorang laki-laki hanya boleh mempunyai seorang istri , maka poligami diperbolehkan apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan dan pengadilan telah memberi ijin dengan syarat: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Sejumlah persyaratan tersebut, mengacu kepada tujuan pokok perkawinan, yaitu membentuk keluarga sakînah, mawaddah, wa rahmah. Jika ketiga hal tersebut di atas menimpa satu keluarga, sudah tentu tidak terdapat keharmonisan dalam rumah tangga. Misalnya, istri tidak dapat menjalankan kewajibannya. Meskipun kebutuhan seksual, hanyalah sebagian dari tujuan perkawinan, namun itu dapat mendatangkan 19
Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt.
10
pengaruh besar manakala tidak terpenuhi. Pada alasan ketiga tidak setiap pasangan suami-istri, yang istrinya tidak dapat melahirkan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara mengangkat anak asuh. Namun jika ingin berpoligami adalah wajar, karena keluarga tanpa ada anak tidaklah lengkap.20 Dalam kasus yang akan dibahas adalah mengenai suami yang mempunyai istri dan seorang anak, ketika suaminya ingin mempunyai anak lagi si istri tidak boleh hamil lagi menurut anjuran dari dokter karena istri pernah melakukan operasi saat melahirkan anak yang pertamanya. Sehingga untuk menjaga kesehatan istri, dokter memberikan saran kepada pasangan suami istri tersebut supaya istrinya jangan hamil lagi. Oleh sebab itu, suami mengambil jalan keluar dengan cara berpoligami. Dari uraian di atas penulis terdorong untuk mengadakan pembahasan tentang POLIGAMI
YANG BERDASARKAN ADVICE
DOKTER. (Studi
Kasus Terhadap Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt.)
B. Penegasan Istilah Untuk mengetahui dan memahami konsep yang dimaksud oleh penulis, maka penulis memberikan penegasan istilah sebagaimana berikut: 1. Poligami: a. Poligini adalah seorang suami yang beristri lebih dari satu. b. Poliandri adalah seorang istri yang mempunyai suami lebih dari satu.
20
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 171.
11
Yang dimaksud poligami di sini adalah poligini yaitu seorang suami yang mempunyai istri lebih dari satu. 21 2. Advice bersal dari bahasa Inggris yaitu nasihat atau anjuran.22 3. Pengadilan Agama adalah majelis yang mengadili perkara gugatan maupun permohonan dalam bidang perdata, khusus bagi orang-orang yang beragama Islam.23
C. Identifikasi Masalah Dari latar belakang tersebut di atas dapat diidentifikasikan beberapa masalah yang muncul diantaranya: 1. Pengertian, prosedur, dan hikmah poligami berdasarkan hukum Islam. 2. Dasar hukum diperbolehkan poligami. 3. Ketentuan-ketentuan dan persyaratan diperbolehkan poligami. 4. Prosedur pengajuan poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 5. Poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 6. Upaya pembuktian hakim terhadap hasil putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan.
21
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), 129. Wojowasito, Kamus Bahasa Inggris (Bandung: Hasta, 1991), 3. 23 Yan Pramadya Puspa, Kamus Hukum (Semarang: Aneka Ilmu, 1977), 66. 22
12
D. Batasan Masalah Dari beberapa masalah yang muncul dalam identifikasi masalah di atas, perlu kiranya diadakan pembatasan masalah yaitu: 1. Prosedur poligami. 2. Dasar hukum dalam putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 3. Upaya pembuktian hakim terhadap hasil putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan.
E. Rumusan Masalah 1. Bagaimana prosedur poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan? 2. Bagaimana
dasar
hukum
dalam
putusan
hakim
Nomor
409/Pdt.G/2006/PA.Mgt tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan? 3. Bagaimana
upaya
pembuktian
hakim
dalam
putusan
Nomor
409/Pdt.G/2006/PA.Mgt tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan?
F. Tujuan Penelitian Adapun tujuan penelitian dalam pembahasan skripsi ini adalah sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui prosedur poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan.
13
2. Untuk mengetahui dasar hukum dalam memutuskan perkara poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 3. Untuk mengetahui upaya pembuktian hakim dalam putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan.
G. Kegunaan Penelitian 1. Kegunaan teoritis adalah untuk menambah pengetahuan dan wawasan dalam bidang hukum perdata terutama Hukum Perdata Islam di Indonesia. 2. Kegunaan praktis adalah membantu memecahkan masalah serta memberikan alternatif bagi masyarakat (khususnya orang-orang Islam) dalam mengajukan perkara poligami. 3. Kegunaan akademis adalah penelitian ini dilakukan dalam rangka memenuhi salah satu syarat dalam memperoleh gelar sarjana dalam bidang hukum Islam.
H. Metode Penelitian 1. Jenis Penelitian Jenis penelitian yang digunakan dalam penulisan skripsi ini adalah hasil penelitian lapangan (field research) dengan pendekatan kualitatif. Dalam skripsi ini penulis memaparkan hasil penelitian lapangan dengan argumentasi penalaran keilmuan yang menjelaskan hasil kajian pustaka (library research ) dan hasil olah pikir penulis mengenai poligami berdasarkan advice dokter.
14
2. Lokasi Penelitian Penulis mengadakan penelitian ini di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan yang beralamat di Jalan Basuki Rahmat No. 10 Magetan. 3. Data a. Data tentang prosedur poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. b. Data tentang dasar hukum dalam memutuskan perkara poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. c. Data tentang putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 4. Sumber Data a. Sumber data primer 1) Informan : Hakim dan Panitera yang menangani perkara poligami berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 2) Dokumen : dokumen mengenai putusan tentang Poligami Berdasarkan Advice Dokter Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt. 3) Responden : para pihak yang beperkara dalam putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt b. Sumber Data Sekunder 1) Bagir Al-Habsyi, Muhammad. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2003. 2) Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003.
15
3) Hidayat, Solihin, dkk. Poligami Pintu Darurat. Al-Ikhtibar. Pasuruan: Edisi IX, Tahun II, 2007. 4) Ismail, Nurjannah. Perempuan Dalam Pasungan. Yogyakarta: LKiS, 2003. 5) Manan, Abdul. Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan. Jakarta: Kencana, 2007. 6) Manan, Abdul. Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama. Jakarta: Kencana, 2005. 7) Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. 8) Mustofa, Agus. Poligami Yuuk!?. Surabaya: Padma Press, ttp. 9) Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. 10) Tengker, Freddy. Hak Pasien. Bandung: Mandar Maju, 2007. 5. Teknik Pengumpulan Data a. Data Lapangan 1) Wawancara Wawancara adalah mengumpulkan informasi dengan mengajukan sejumlah pertanyaan secara lisan, untuk mencapai tujuan tertentu.24 Hal ini dilakukan untuk memperoleh data tentang: a) Prosedur poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. 24
Burhan Ashshofa, Metode Penelitian Hukum, (Jakarta: Rineka Cipta, 2004), 95.
16
b) Dasar hukum tentang Poligami berdasarkan Advice Dokter (Putusan No: 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) c) Upaya pembuktian hakim terhadap hasil putusan tentang Poligami berdasarkan Advice Dokter (Putusan No: 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) 2) Dokumenter Dokumenter adalah mengumpulkan data-data yang berupa surat dan dokumen salinan. 25 Hal ini dilakukan unuk memperoleh data tentang: a) Prosedur poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. b) Dasar hukum tentang Poligami berdasarkan Advice Dokter (Putusan No: 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) b. Data Pustaka Membaca buku referensi yang berhubungan dengan masalah yang dibahas. 6. Teknik Pengolahan Data a. Editing yaitu pemeriksaan kembali semua data yang diperoleh terutama dari segi perlengkapan, keterbatasan, kejelasan makna, kesesuaian dan keselarasan satu dengan yang lainnya serta relevansinya. b. Organizing yaitu mengumpulkan data yang diperoleh dalam kerangka yang sudah direncanakan.
25
Depdikbud, Kamus Besar Bahasa Indonesia (Jakarta: Balai Pustaka, 1989), 211.
17
c. Penemuan hasil yaitu menganalisa lanjutan terhadap pengorganisasian data dengan menggunakan kaidah dan teori-teori, sehingga dapat diperoleh suatu kesimpulan tertentu sebagai jawaban dari pertanyaanpertanyaan yang terdapat dalam rumusan masalah. 7. Teknik Analisa Data a. Metode Induktif yaitu mengemukakan beberapa kenyataan yang bersifat khusus kemudian ditarik suatu kesimpulan yang bersifat umum. b. Metode Deduktif yaitu menarik suatu kesimpulan dari yang bersifat umum kepada yang khusus.
I. Sistematika Pembahasan Untuk mempermudah pembahasan, maka penulis membagi skripsi ini dengan sistematika sebagai berikut: BAB I Pendahuluan, bab ini merupakan pola dasar dari keseluruhan isi skripsi yang terdiri dari latar belakang masalah, penegasan istilah, identifikasi masalah, batasan masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, kegunaan penelitian, metode penelitian, dan sistematika pembahasan. BAB II Poligami Berdasarkan Hukum Islam. Dalam bab ini membahas tentang pengertian poligami, prosedur, dan dasar hukum poligami berdasarkan Hukum Islam. BAB III Poligami Berdasarkan Advice Dokter Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. Bab ini merupakan landasan teori yang di dalamnya
18
terkandung prosedur poligami, dasar hukum, upaya pembuktian hakim terhadap hasil putusan tentang poligami, di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. BAB IV Analisa Terhadap Putusan Hakim Tentang Poligami Berdasarkan Advice Dokter Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. Dalam bab ini membahas tentang analisa Terhadap Putusan Tentang Poligami Berdasarkan Advice Dokter Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan. Selanjutnya menjelaskan mengenai analisa prosedur poligami, analisa dasar hukum poligami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dan upaya pembuktian hakim terhadap hasil putusan tentang poligami berdasarkan advice dokter. BAB V Penutup, yang memuat tentang kesimpulan sebagai jawaban dari pokok-pokok permasalahan dan saran.
19
BAB II POLIGAMI BERDASARKAN HUKUM ISLAM A. Pengertian Poligami Poligami telah dikenal jauh sebelum Islam bahkan telah menjadi tradisi yang kuat diberbagai masyarakat dunia, termasuk dalam masyarakat Arab. Poligami sebelum Islam mengambil bentuk yang tak terbatas, seorang suami boleh saja memiliki istri sebanyak mungkin sesuai keinginan nafsunya. Sebagai agama yang sangat mementingkan keadilan, Islam datang membawa perubahanperubahan yang radikal dalam pelaksanaan poligami. Islam membatasi bilangan istri hanya sampai empat orang, itupun hanya boleh dilakukan apabila suami mampu berlaku adil. Jauh sebelum Islam lahir, poligami sudah dilakukan oleh hampir semua bangsa baik Asia, Eropa, Afrika, maupun Amerika. Di Jazirah Arab sendiri, yang terkenal tidak suka melihat anak perempuan yang masih kecil, hingga berusaha membunuhnya mereka berlomba mendapatkan perempuan dewasa dengan berbagai cara, melalui harta dan kekuasaan.26 Dr. August Forel dalam buku Het Sexueele Vraag Stuk, yang dikutip Nadimah Tanjung dalam bukunya Islam dan Perkawinan, mengatakan bahwa poligami telah dijalankan oleh bangsa-bangsa sejak zaman primitif sampai sekarang. Bahkan bangsa Romawi menerapkan peraturan ketat kepada rakyatnya 26
Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 119.
20
untuk tidak beristri lebih dari seorang, kaum raja dan bangsawannya banyak yang memelihara gundik yang tidak terbatas jumlahnya.27 Kenyataan lain menunjukkan bahwa poligami bukan hanya milik dan monopoli Islam. Jadi kata poligami tidak harus selalu dikaitkan dengan Islam karena agama-agama lain juga mengenalnya. Kedatangan Islam sekedar membatasi jumlah wanita yang dapat dinikahi pria dalam berpoligami. Bagi lelaki yang libido seksualnya berlebihan di samping jumlah yang ditentukan, Islam juga memberikan aturan-aturan agar tidak terjadi kesewenang-wenangan laki-laki terhadap wanita. Sebenarnya lahirnya syariat ini bertujuan untuk mengangkat derajat wanita seperti apa yang diharapkan dalam hakikat perkawinan itu sendiri.28 Secara etimologi poligami artinya beristri banyak. 29 Sedangkan secara terminologi poligami adalah seorang laki-laki yang mempunyai lebih dari satu istri, tetapi dibatasi paling banyak empat orang. 30 Allah SWT membolehkan poligami sampai empat orang istri dengan syarat dapat berlaku adil kepada para istrinya. 31 Yang dimaksud adil disini adalah adil dalam urusan nafkah, tempat
27
Ibid.. Ibid,. 120. 29 Ensiklopedi Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2001). 30 Ensiklopedi Hukum Islam (Jakarta: Ichtiar Baru Van Hoeve, 2003). 31 Dan jika kamu takut tidak akan dapat belaku adil terhadap (hak-hak) perempuan yatim (apabila kamu mengawininya), maka kawinilah wanita-wanita (lain) yang kamu senangi, dua, tiga atau empat. Kemudian jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budakbudak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah lebih dekat kepada tidak berbuat aniaya. (Terjemahan Q.S. al-Nisâ’: 3) 28
21
tinggal, pakaian, giliran, dan segala hal yang bersifat lahiriah. Jika tidak dapat berlaku adil maka cukup satu istri saja. Islam memandang poligami lebih banyak membawa resiko (madârat) daripada manfaatnya, karena manusia itu menurut fitrahnya (human nature) mempunyai watak cemburu, iri hati, dan suka mengeluh. Watak-watak tersebut akan mudah timbul dengan kadar tinggi, jika hidup dalam kehidupan keluarga yang poligamis. Dengan demikian poligami bisa menimbulkan konflik dalam keluarga antara suami dengan para istrinya dan anak-anaknya, maupun antara anak-anak masing-masing istri. Oleh karena itu, asas perkawinan dalam hukum Islam adalah monogami, sebab hal itu akan mudah menetralisasi sifat cemburu, iri hati, dan suka mengeluh.32 Pada hakekatnya poligami merupakan diskriminasi terhadap perempuan. Qasim Amin menganalogikan bahwa sosok suami yang memiliki istri banyak seperti halnya seekor ayam jantan yang dikelilingi oleh sekumpulan ayam betina. Yang demikian itu adalah alamiah bagi dunia satwa, tetapi tidak alamiah bagi manusia. Berbeda dengan manusia, binatang tidak mempunyai emosi sehingga poligami pada dunia binatang tidak menimbulkan masalah psikologis. Semakin beradab suatu masyarakat semakin jarang dijumpai poligami.33 Ditinjau dari segi anatomis, manusia dibentuk dari elemen yang sama dan secara umum mempunyai profil yang sama, tetapi apabila dilihat dari segi
32 33
Abd. Rahman Ghazaly, Fiqh Munakahat (Jakarta: Prenada Media, 2003), 131. Siti Musdah Mulia, Islam Menggugat Poligami (Jakarta: Gramedia Pustaka, 2004), 136.
22
kebutuhan biologis terlihat perbedaan. Kebutuhan seorang laki-laki dalam penyaluran hasrat seksualitas tidak sama antara satu dengan yang lainnya.34 Salah satu tujuan kehidupan manusia, dapat dilakukan dengan cara menikah. Tetapi tidak semua pasangan mendapatkan apa yang diidamkannya, walaupun secara praktis mereka melakukan hal-hal yang sama seperti hubungan suami istri. Berbagai cara telah dilakukan untuk mendapatkan keturunan sampai pada akhirnya mengalami jalan buntu. Hal ini dapat menyebabkan suami gelisah dan kurang bergairah dalam hidupnya sehingga putuslah harapan laki-laki untuk mendapatkan keturunan, apalagi secara lambat jasad mereka akan rapuh dimakan usia. Pada saat inilah poligami adalah solusi yang tepat. Dalam perkawinan ada dua unsur yang dominan. Yang satu adalah unsur material dan yang lain adalah unsur spiritual. Unsur material perkawinan adalah aspek seksualitas, yang dalam diri orang muda berada dalam keadaan bergejolak pada puncaknya, yang secara berangsur-angsur mereka menjadi tenang. Aspek spiritual berkaitan dengan perasaan kabaikan budi, kehangatan, dan ketulusan yang menguasai suami-istri dan meningkat bersama waktu. Salah satu perbedaan antara pria dan wanita adalah bahwa wanita memiliki unsur yang disebut terakhir lebih dominan daripada yang pertama. Bagi wanita, perkawinan lebih mengandung aspek spiritual, sedang bagi pria, aspek material lebih penting atau sekurang-kurangnya sama penting dengan aspek spiritual. 35 Maka dari itu,
34 35
Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 118. Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 39.
23
seorang suami lebih memilih jalan poligami untuk menyalurkan hasrat seksualnya daripada berzina. Di samping itu, karena wanita adalah pemelihara anak, baik dalam kandungan maupun dalam susuan, maka ia mempunyai sikap mental yang lebih istimewa dibandingkan dengan suaminya yang tidak memiliki waktu lebih banyak dengan anaknya. Kecintaan wanita kepada anaknya sangat bergantung pada ukuran cinta dan keterpautan suami kepadanya, karena suami adalah ayah dari anaknya. Kebutuhan wanita hanya dapat dipenuhi apabila ia mempunyai seorang suami. Di sisi lain, hukum keluarga merupakan hukum yang strategis bagi ketahanan bangsa, karena ketahanan nasional akan ditentukan oleh ketahanan keluarga. Wewenang pemerintah menaruh perhatian serius pada praktek-praktek perkawinan yang bisa mengancam keluarga harus dilihat sebagai upaya melindungi warga negaranya dari tindakan-tindakan secara potensial mengancam keamanan dan masa depannya. Jadi tidak sepenuhnya benar apabila perkawinan apalagi poligami dianggap sebagai masalah privat yang tidak boleh diintervensi oleh negara. 36 Memang pilihan untuk menikah atau tidak, dengan siapa mau menikah merupakan urusan privasi. Tetapi efek yang ditimbulkan sebagai akibat perbuatan hukum perkawinan adalah masalah publik-sosial. Di sinilah regulasi pemerintah harus masuk untuk melindungi warganya dari akses negatif yang mungkin ditimbulkan. 36
Versi online: index.php/?pilih=lihatannur&id=305
24
Ketentuan ini memiliki asumsi dasar untuk memperketat aturan poligami, meskipun cara berpikirnya masih laki-laki
sentris. Salah satu alasan
diperbolehkan poligami karena istri tidak melahirkan anak/keturunan. Seorang istri yang tidak mempunyai anak belum tentu masalahnya ada pada istri, tetapi bisa juga terdapat pada suami. Masalahnya, mengapa hanya istri yang dipersalahkan? Bagaimana kalau yang tidak bisa menjalankan kewajiban atau yang mendapat cacat adalah suami? Mengapa kalau PNS pria berpoligami liar diancam dengan sanksi yang tidak jelas (tidak ada ketentuan hukuman), tetapi kalau PNS perempuan diancam dengan dipecat. Hal-hal seperti inilah yang perlu direformasi dalam hukum keluarga kita.37 Sebagaimana agama Islam mempersyaratkan adanya kemampuan untuk benar-benar bersikap adil bagi suami yang ingin menikah lebih dari seorang istri, agama juga memberi jalan bagi perempuan untuk menetapkan atau mengambil janji dari calon suami baik secara langsung atau melalui walinya agar selama perkawinan mereka, ia tidak dimadu.38 Dan jika hal itu telah ditetapkan bersama, maka janji dan persyaratan tersebut adalah sah dan berlaku untuk selanjutnya.39 Apabila pada suatu saat janji itu dilanggar, istri berhak menuntut agar 37
Ibid.. Ditegaskan oeh Imam Ahmad bin Hanbal dan dikuatkan oleh Ibn Taimiyyah dan Ibn Qayyim, bahwa berbagai persyaratan yang mengikat sebuah perkawinan adalah lebih kuat dan lebih utama untuk dipatuhi dari pada syarat yang mengikat transaksi perdagangan, sewa-menyewa, yang tentunya juga wajib dipatuhi. Dalil yang digunakan adalah dari sabda Nabi Saw. yang dirawikan oleh Bukhâri dan Muslim, “Di antara berbagai persyaratan yang kamu sekalian paling berkewajiban mematuhinya adalah yang dibuat demi menghalalkan seorang untuk kalian nikahi”. 39 Sesuatu yang dianggap janji atau persyaratan dalam ‘urf (adat kebiasaan umum), sama kekuatannya seperti janji yang diucapkan secara lisan. Atas dasar itu, tidak dipenuhinya suatu persyaratan tersebut, memberikan hak bagi pihak yang dirugikan untuk membatalkan persetujuan yang telah diberikan. 38
25
perkawinannya itu difasakh-kan dengan segala konsekuensi yang harus ditanggung oleh suami. Fasakh tersebut tidak akan gugur kecuali perempuan itu sendiri yang menggugurkannya atau ia rela dan mengijinkan suaminya melanggar janjinya tersebut.40 Islam datang membawa ajaran keadilan, bahkan memerintahkan setiap kita untuk menjadi pengadil yang benar-benar adil. Apabila kita sebagai pemimpin, kita diperintahkan memutuskan hukum secara adil. Namun, nilai keadilan tersebut bukanlah menurut akal, daya cerna otak, atau perasaan kita sebagai manusia. Keadilan Islam adalah keadilan absolut yang berasal dari ketetapan Allah. Adil dalam Islam tidak selalu bermakna sama, setara, sejajar, dan sejenis. Karena itu adalah makna keadilan dalam konsep sosialisme yang pada sisi lain justru berlawanan dengan ajaran Islam.41 Menyamaratakan beberapa hal yang tidak sama bukanlah keadilan, tetapi pelecehan, penyiksaan, dan pemaksaan, yang merupakan bentuk dan tindak kezhaliman itu sendiri.
B. Prosedur Poligami Berdasarkan Hukum Islam Hubungan perkawinan tidak hanya terbatas pada soal material dan fisik saja, artinya tidak hanya terbatas pada urusan kebendaan dan keuangan semata. Dalam hubungan perkawinan yang paling utama dan mendasar adalah aspek spiritual dan emosional, yaitu cinta dan kasih sayang serta perasaan. Fokus 40 41
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 104. Abu Umar Basyir, Poligami Anugerah Yang Terdzalimi (Solo: Rumah Dzikir, ttp), 70.
26
persatuan suami-istri dalam perkawinan adalah hati. Cinta dan perasaan seperti urusan kejiwaan lainnya tidak dapat dipecah-pecah dan dibagi-bagi. Tidak mungkin mendistribusikan dan menjatahkannya kepada beberapa orang. Hukum poligami timbul dari suatu pandangan yang progresif dan maju dalam menyelesaikan masalah sosial yang besar. Dengan demikian, para pelakunya harus menerapkannya dengan dasar tingkatan moral yang tinggi, mereka harus memiliki wawasan Islam yang tinggi.42 Tujuan dari perkawinan itu sendiri adalah membentuk keluarga yang bahagia dan kekal berdasarkan ke-Tuhanan yang Maha Esa, atau dalam rumusan KHI yaitu membentuk keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah. Apabila ketiga hal tersebut tidak terpenuhi oleh pasangan suami-istri, maka akan terjadi kehampaan dan kekosongan manis serta romantisnya kehidupan rumah tangga. Misalnya, suami atau istri tidak dapat menjalankan kewajibannya (tidak dapat memberikan keturunan) tentu akan terjadi ketidakharmonisan sebuah rumah tangga. Meskipun kebutuhan seksual hanyalah sebagian dari tujuan perkawinan, tetapi hal itu akan mendatangkan pengaruh besar apabila tidak terpenuhi. Demikian juga apabila istri atau suami menderita cacat badan atau penyakit yang tidak bisa disembuhkan. Tidak semua pasangan suami-istri yang istrinya tidak dapat memberikan keturunan memilih alternatif untuk berpoligami. Mereka kadang menempuh cara dengan mengangkat anak asuh. Tetapi apabila suami
42
Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 123.
27
ingin berpoligami adalah wajar, karena keluarga tanpa adanya anak tidaklah lengkap. Pada Pasal 40 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 menyebutkan “apabila seorang suami bermaksud untuk beristri lebih dari seorang maka ia wajib mengajukan permohonan secara tertulis kepada pengadilan”. Mengenai prosedur atau tata cara poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuan secara pasti. Tetapi di Indonesia dengan Kompilasi Hukum Islam (KHI) telah mengatur hal tersebut dalam pasal 55 sampai dengan pasal 59 yang berbunyi sebagai berikut:43 Pasal 55 1. Beristeri lebih dari satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai dengan empat orang isteri. 2. Syarat utama lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anaknya. 3. Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri lebih dari seorang. Pasal 56 1. Suami yang hendak beristri lebih dari satu orang harus mendapat ijin dari Pengadilan Agama. 2. Pengajuan permohonan ijin dimaksud pada ayat (1) dilakukan menurut tata cara sebagaimana diatur dalam Bab VIII Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975. 3. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa ijin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum. Pasal 57 Pengadilan Agama hanya memberikan ijin kepada seorang suami yang akan beristrilebih dari seorang apabila: 1. Istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. 2. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan. 3. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. 43
Anggota IKAPI, Kompilasi Hukum Islam (Bandung: Fokusmedia, 2005), 21.
28
Pasal 58 1. Selain syarat utama yang disebut pada pasal 55 ayat (2) maka untuk memperoleh ijin Pengadilan Agama harus pula dipenuhi syarat-syarat yang ditentukan pada pasal 5 Undang-Undang No. 1 Tahun 1974 yaitu: a. Adanya persetujuan istri. b. Adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup istriistri dan anak-anak mereka. 2. Dengan tidak mengurangi ketentuan pasal 41 huruf b Peraturan Pemerintah No. 9 tahun 1975, persetujuan istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan, tetapi sekalipun telah ada persetujuan tertulis, persetujuan ini dipertegas dengan persetujuan lisan istri pada sidang Pengadilan Agama. 3. Persetujuan dimaksud pada ayat (1) huruf b tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istri tidak mungkin dimintai persetujuannya dan tidak dapat menjadi pihak dalam perjanjian atau apabila tidak ada kabar dari istri sekurang-kurangnya 2 tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian Hakim. Pasal 59 Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari satu orang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57. Pengadilan Agama menetapkan tentang pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengar dari istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Mengenai teknis pemerikasaan, Peraturan Pemerintah No. 9 Tahun 1975 pasal 42 mengatur: 1) Dalam melakukan pemeriksaan mengenai hal-hal pada pasal 40 dan 41, Pengadilan harus memanggil dan mendengar kesaksian istri yang bersangkutan. 2) Pemeriksaan Pengadilan untuk itu dilakukan oleh Hakim selambat-lambatnya tiga puluh hari setelah diterimanya surat permohonan beserta lampiranlampirannya. Apabila Pengadilan berpendapat bahwa cukup alasan bagi pemohon untuk beristri lebih dari seorang, maka pengadilan memberikan putusannya yang berupa ijin untuk beristri lebih dari seorang (Pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975). Pada
29
dasarnya, pengadilan dapat memberi ijin kepada suami utuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan (Pasal 3 ayat (2) Undang-undang No. 1 Tahun 1974). Dalam hal istri tidak mau memberikan persetujuan dan permohonan ijin untuk beristri lebih dari seorang berdasarkan atas salah satu alasan yang diatur dalam pasal 55 ayat (2) dan 57, Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap penetapan istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi. Apabila keputusan hukum yang mempunyai kekuatan hukum tetap, ijin pengadilan tidak diperoleh, maka menurut ketentuan pasal 44 PP No. 9 Tahun 1975, pegawai pencatat perkawinan dilarang mencatat perkawinan seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang sebelum adanya ijin pengadilan seperti yang dimaksud dalam pasal 43 PP No. 9 Tahun 1975.44 Poligami dengan kondisi moralnya yang tegas dan keras, justru merupakan tambahan beban dan kewajiban bagi para laki-laki. Sensualitas dan pengumbar nafsu birahi hanya sesuai dengan kebebasan total. Sensualitas mengambil bentuk dalam tindakan seorang laki-laki yang menyerahkan dirinya untuk dikuasai hatinya, dan hatinya dikuasai hawa nafsu dan khayalan. Hati dan hawa nafsunya tidak tunduk kepada logika dan tidak mengakui batasan-batasan (etika berpoligami). Jika disiplin, keadilan dan pelaksanaan kewajiban terlibat, sensualitas dan pengumbaran nafsu birahi akan tersingkir. Inilah sebabnya 44
Ahmad Rofiq, Hukum Islam Di Indonesia (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003), 175.
30
poligami dengan kondisi-kondisi Islaminya, tidak dapat dipandang sebagai sumber pengumbaran nafsu. Orang-orang yang menjadikan poligami sebagai sumber gelimang sensualitas telah menyalahgunakan hukum Islam.45 Poligami yang dilakukan sebelum datangnya Islam merupakan poligami yang melecehkan harkat dan martabat kaum wanita. Di mana wanita hanya sebagai objek seksual belaka, atau berpoligami dengan tujuan mengeksploitasi tenaga mereka
untuk
menggarap
perkebunan.
Islam
sangat
menjamin
kesejahteraan lahir dan batin wanita yang dimadu. Oleh karena itu syari’at mempersyaratkan adanya keadilan. Jika tidak maka laki-laki menjadi haram berpoligami, karena dengan ketidakmampuannya menafkahi secara adil lahir mapun batin (berhubungan dengan istri dan tidak menyakiti perasaannya). Dengan begitu istri yang dimadu tidak mendapatkan kesejahteraan melainkan kesengsaraan.46 Akan tetapi jarang dalam Islam, dijumpai seorang laki-laki yang miskin mempraktekkan konsep poligami, kecuali laki-laki nekad yang buta dengan syari’at Islam. Hal ini karena beratnya persyaratan poligami tersebut, dan salah satu tujuan poligami dalam Islam salah satunya adalah kesejahteraan finansialnya. Karena yang dimaksud adil dalam Q.S. al-Nisâ’ ayat 3 adalah keadilan dari segi materi.
45 46
Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 146. Isnaeni Fuad, Berpoligami Dengan Aman (Jombang: Lintas Media, ttp), 85.
31
Keadilan adalah kebajikan manusia yang paling luhur. Menetapkan keadilan sebagai syarat berarti menuntut manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi. Jika kita memperhatikan kenyataan bahwa pada umumnya emosi dan kesukaan seorang suami tidaklah sama maka kita akan mengerti bahwa perlakuan yang sama secara seragam terhadap istri, melaksanakan keadilan dan berpantang dari diskriminasi, adalah tugas yang paling sulit bagi seorang suami.47
C. Dasar Hukum Poligami Poligami adalah ketentuan hukum yang diberikan oleh Allah kepada kaum lelaki. Dengan syariat tersebut, seorang laki-laki boleh menikahi wanita lebih dari satu orang dan tidak melebihi empat orang. Syariat poligami itu bukan berbentuk kewajiban, tetapi lebih merupakan ijin dan pembolehan. Namun setiap muslim berkeyakinan bahwa hukum-hukum syariat yang diturunkan Allah bukan untuk kepentingan Dzat-Nya yang Agung, karena Dia Maha Suci daripada bergantung kepada makhluk. Segala apa yang diturunkan-Nya adalah untuk kemaslahatan hamba-hamba-Nya. Adapun hukum poligami dalam Islam bermula dari mubah, artinya diperbolehkan dengan beberapa syarat. Namun, seperti halnya menikah yang dimulai dengan hukum sunah muakkad, poligami juga bisa berubah-ubah hukumnya sesuai kondisi seorang suami. Bisa dianjurkan, wajib, bisa juga makruh, bahkan haram. Artinya, bukan substansi poligami itu sendiri yang 47
Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Jakarta: Serambi Ilmu Semesta, 2007), 142.
32
berubah menjadi wajib atau haram. Tetapi dilihat dari kondisi dan kapasitas pelakunya dan juga cara yang ditempuhnya untuk melakukan poligami. Apabila caranya haram, hukumnya menjadi haram. Namun para ulama Ahlu as-sunnah bersepakat bahwa poligami disyariatkan dalam Islam.48 Poligami diatur dalam al-Qur’an surat al-Nisâ’: 3,
B َ CُD َوEَFGْ Hَ ِء:َJFKL اN َ Hِ ْOPُ Lَ ب َ :َR:َHْاST ُ Pِ Uْ :َ< EَH:َVWَ Lْ اE< اSُXJ ِ Yْ Zُ \ [ ْ َاOVُ ]ْ ^ ِ َْوِان ْ َادa َ Lِ ْ ذOPُ Uُ :َcdْ ْ َاePَ CَHَ :َHْ ًة َاوhَ i ِ َاS<َ اSُLhِ _ْ Zَ \ [ ْ َاOVُ ]ْ ^ ِ ْن:ِ <َ ع َ :َ>َو ُر ( ٣ : ء:JFLا)اSُLْS_ُ Zَ \ [ َاEَU Artinya: “Dan jika kamu takut tidak akan bisa berbuat adil terhadap (hak-hak) anak (perempuan) yang yatim (bila kamu mengawininya), maka kawinilah perempuan-perempuan (lain) yang kamu senangi: dua, tiga, atau empat. Tetapi jika kamu takut tidak akan dapat berbuat adil, maka (kawinilah) seorang saja, atau budak-budak yang kamu miliki. Yang demikian itu adalah memungkinkan untuk tidak menyimpang dari jalan lurus.49(Q.S.al-Nisâ’:3) Selain ayat tersebut di atas, ada ayat lagi yang menjelaskan bahwa seorang suami yang ingin berpoligami harus bersikap adil, hal ini diatur dalam QS.al-Nisâ’:129 yang berbunyi sebagai berikut:
y ِ Wْ cَ Lْ اz [ ْا ُآSCُWْ cِ Zَ z َ <َ ْOVُ | ْ }َ i َ ْSLَ ِء َو:َJFKL اN َ Wْ >َ ْاSLُhِ _ْ Zَ ْْاَانS_ُ Wْ X ِ Vَ J ْ Zَ ْNLََو (١٢٩ : ء:JFL )ا:ًcWْ i ِ ْرًا [رS]ُ َ ن َ :َ آ َ ن َا ّ :ِ <َ ْاSYُ V[Zَ ْا َوST ُ Cِ~ ْ Zُ ْ ِ َوِانYَ C[_َ cُ Lْ :َآ:َ ُروْ هxَ Vَ <َ Artinya: “Kamu sekali-kali tidak dapat berbuat adil di antara istri-istrimu, walaupun kamu ingin berbuat demikian. Karena itu janganlah kamu terlalu cenderung (kepada yang kamu cintai), sehingga kamu biarkan yang lain terkatung-katung. Dan jika kamu mengadakan perbaikan dan
48 49
Abu Umar Basyir, Poligami Anugerah Yang Terzhalimi (Solo: Rumah Dzikir, ttp), 33. Depag RI, Al-Qur’an dan Terjemahannya (Semarang: Karya Toha Putra, 1998), 142.
33
memelihara diri (dari kecurangan), maka sesungguhnya Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.50(Q.S.al-Nisâ’:129) Dalam ayat tersebut dijelaskan bahwa berlaku adil sangat ditekankan bagi seseorang yang berpoligami. Menurut Siti Musdah Mulia paradigma unifikasi hukum pada ranah keluarga terlihat secara nyata diterapkan negara melalui KHI. Penyeragaman sistem hukum ini absah saja dilakukan asalkan memenuhi prinsip keadilan gender dan pluralisme beragama. Tetapi seringkali dalam praktek tidak sesuai dengan teori. Banyak produk fiqh yang direkrut dalam KHI justru bersifat diskriminatif terhadap perempuan dan tidak memiliki semangat proteksi terhadap kepentingan anak-anak. Memang pembahasan KHI sudah lama diperbincangkan sejak tahun 1985 dengan terbitnya Surat Keputusan Bersama (SKB) Mahkamah Agung dan Menteri Agama. SKB itu diterbitkan untuk merespon sejumlah persoalan di lembaga peradilan agama ketika itu. Misalnya, kita menjumpai kenyataan bahwa sejumlah kasus di peradilan agama di berbagai wilayah memutuskan perkara yang sama dengan cara yang berbeda-beda. KHI adalah semacam kumpulan perundang-undangan, pasal per-pasal yang dibakukan melalui Instruksi Presiden (Inpres) No. 1 Tahun 1991. Kemudian KHI disosialisasikan sebagai pedoman hukum bagi para hakim di berbagai peradilan agama di seluruh Indonesia.51 KHI muncul karena adanya kebutuhan untuk unifikasi hukum. Sebelum adanya KHI, para hakim agama mempunyai independensi dalam menetapkan 50 51
Ibid., 184. http://islamlib.com/id/index.php?page=articel&id=408
34
keputusan atas kasus-kasus yang mereka temui, berdasarkan ijtihad mereka masing-masing. Biasanya ijtihad itu bersumber dari bacaan mereka atas kitabkitab (khususnya fiqh) yang dapat mereka akses. Dengan begitu, lahirlah produk hukum yang berbeda-beda meskipun kasusnya sama. Dalam hal poligami terdapat adanya inkonsistensi KHI, karena pada dasarnya asas perkawinan Islam adalah monogami. Tetapi ayat lain mengatakan bahwa poligami dibolehkan dengan empat syarat yang dikemukakan dalam pasal yang sama. 52 Apabila memang asasnya monogami maka tidak boleh ada celah untuk berpoligami agar tidak ada keresahan sosial, dan ruang tersebut dibatasi sesempit mungkin. Selama ini ternyata KHI masih memberi kelonggaran akan terjadinya poligami, itulah yang menjadi keresahan bagi kita karena poligami menimbulkan berbagai dampak dalam problem sosial budaya di masyarakat. Perkawinan bukan semata-mata urusan ibadah. Dimensi ibadah akan muncul dalam perkawinan jika itu menjadi instrumen menuju kebaikan bagi kedua belah pihak. Perkawinan akan berubah menjadi maksiat jika tidak mampu menampilkan pesan keadilan dan kesetaraan yang bermartabat di dalam rumah tangga karena keadilan dan kesetaraan adalah prinsip dasar Islam yang menjadi konsiderans syariat yang mengatur pranata ke-Islaman. Maksud dan tujuan lahirnya UU Perkawinan sebagaimana tergambar dari konsiderans UU tersebut adalah menjamin kedudukan perempuan sebagai warga negara di muka hukum
52
Lihat KHI Pasal 55 ayat 1
35
dan pemerintahan. 53 Karena itu di samping Pasal 29 UUD 1945 tentang kebebasan menjalankan ibadah.54 Perkawinan merupakan institusi sosial karena di dalamnya terbangun juga hubungan sosial antar individu yang masing-masing memiliki hak yang sama yang dijamin konstitusi.55 Membaca UUD 1945 secara utuh, sebenarnya terdapat hak lain yang dijamin konstitusi yang wajib dipenuhi negara. UU Perkawinan merupakan perwujudan dari peran dan tanggungjawab negara dalam menata institusi sosial sedemikian rupa sehingga dapat melindungi setiap hak yang melekat pada individu, termasuk keanggotaannya dalam keluarga sebagai entitas institusi sosial. Karena itu, pembatasan poligami bukan semata-mata konstitusional, tetapi juga turut mengawal cita-cita perkawinan yang membahagiakan setiap warga negara. Dalam Islam-pun tujuan dari perkawinan adalah keluarga yang sakinah mawaddah wa rahmah, ketika ada keluarga yang suaminya melakukan poligami berarti tujuan perkawinan tersebut tidak akan terpenuhi.56 Poligami dalam Islam juga diatur oleh Undang-undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama yang terdapat pada pasal 49. Dalam Undangundang tersebut, dapat diketahui persamaan Peradilan Agama dengan Peradilan Islam, antara lain: pertama, Peradilan Agama adalah salah satu pelaksana kekuasaan kehakiman bagi rakyat pencari keadilan yang beragama Islam
53
Lihat Penjelasan UU Perkawinan No.1 Tahun 1974 Butir 4 point (i) Lihat UUD 1945 Pasal 29. 55 http://www.icrp-online.org 56 Ibid.. 54
36
mengenai perkara perdata tertentu. Kedua, Peradilan Agama merupakan pengadilan yang memeriksa, mengadili dan menyelesaikan perkara-perkara antara orang-orang yang beragama Islam dalam bidang perkawinan, kewarisan, hibah, wakaf, dan sedekah berdasarkan hukum Islam. Ketiga, hukum-hukum yang digunakan untuk mengadili dan memutuskan perkara adalah hukum Islam yang dibuat berdasarkan hukum Islam yang dibuat berdasarkan campur tangan negara. Keempat, putusan lembaga Peradilan Agama wajib mencantumkan lafaz “Bismillâhirrahmânirrahim” dan Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha
Esa”.
Kelima,
Peradilan
Agama
dapat
memberikan
keterangan
pertimbangan dan nasihat tentang masalah hukum Islam kepada lembaga negara atau pemerintah apabila diminta. Keenam, hakim yang bekerja di lingkungan lembaga Peradilan Agama harus beragama Islam dan diangkat oleh kepala negara dengan syarat-syarat dan prosedur yang telah ditentukan.57
57
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 2007), 256.
37
BAB III POLIGAMI BERDASARKAN ADVICE DOKTER DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MAGETAN
A. Prosedur Poligami Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Dalam konsep Islam, poligami merupakan perkara yang diperbolehkan dengan beberapa syarat yang telah ditentukan. Ketentuan tersebut di Indonesia telah diatur dalam KHI pasal 57 bagi mereka yang beragama Islam. Tetapi sebagian kalangan masyarakat mencoba melakukan analisa yang pada hakikatnya memiliki
substansi
yang
bagus,
kemudian
poligami
dialihkan
untuk
menyudutkannya sebagai sebuah amalan yang spesifik, hanya boleh dilakukan dengan tujuan yang sangat penting bagi kaum muslimin bukan kepentingan pribadi.58 Apabila ada seseorang mempunyai keyakinan poligami lebih baik dari pada selingkuh, hal itu merupakan alasan yang bersifat pribadi yang pada dasarnya diperbolehkan, karena hukum poligami itu seperti menikah.59 Bila dorongan untuk menyalurkan hasrat seksual demikian tinggi, sementara seorang pria muslim merasa tidak cukup melampiaskannya dengan satu istri. Sedangkan di sisi lain, ia mempunyai kemampuan materi dan bertekad berlaku adil serta berkomitmen 58
Abu Umar Basyir, Poligami Anugerah Yang Terdzalimi (Solo: Rumah Dzikir, ttp), 95. Hukum pernikahan berawal dari mubah, sunnah, kemudian wajib, sama halnya dengan hukum poligami. Poligami itu diperbolehkan, dan disunnahkan ketika menyalurkan hasrat seksual demikian tinggi, sementara seorang pria muslim merasa tidak cukup melampiaskannya dengan satu istri. Sedangkan di sisi lain, ia mempunyai kemampuan materi dan bertekad berlaku adil serta berkomitmen terhadap ajaran syariat Islam, maka poligami bisa saja menjadi pilihannya, bahkan bisa juga dianjurkan. Apabila takut akan berbuat zina, maka poligami hukumnya wajib. 59
38
terhadap ajaran syariat Islam, maka poligami bisa saja menjadi pilihannya, bahkan bisa juga dianjurkan.60 Mengenai prosedur poligami yang resmi diatur oleh Islam memang tidak ada ketentuannya secara pasti, tetapi di Indonesia diatur dalam Kompilasi Hukum Islam, diantaranya suami yang ingin berpoligami harus mendapat
ijin dari
Pengadilan Agama yang pengajuannya telah diatur dengan Peraturan Pemerintah. Perkawinan yang dilakukan dengan istri kedua, ketiga, atau keempat tanpa ijin dari Pengadilan Agama tidak mempunyai kekuatan hukum.61 Agar seseorang dapat melakukan poligami, Pengadilan Agama Kabupaten Magetan memberikan persyaratan prosedur tentang pengajuan poligami yang tidak jauh berbeda dengan aturan dalam KHI Pasal 57, yaitu: 1. istri tidak dapat menjalankan kewajibannya, 2. istri cacat atau mempunyai penyakit yang menular/tidak dapat disembuhkan, 3. istri tidak mempunyai keturunan, 4. suami mampu dalam hal materi.62 Dalam kasus ini, seorang suami ingin melakukan poligami karena ingin mempunyai anak lagi, padahal oleh dokter, istrinya tidak boleh hamil lagi karena
60
Muh. Syarifuddin (Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Magetan), Wawancara Tanggal 10 Maret 2008. 61 H. Sumasno (Hakim Pengadilan Agama Kabupaten Magetan), Wawancara Tanggal 10 Maret 2008. 62 Isro’ Jauhari (Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Magetan), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
39
telah dilakukan operasi kandungan. Dengan keadaan suami yang sangat mampu dari segi materi, pengadilan memberikan ijin suami tersebut untuk berpoligami.63 Seorang dokter dalam memberikan sebuah advice pada pasien lebih mementingkan kesehatan dan keselamatan jiwa pasien karena dalam kode etik kedokteran keselamatan jiwa pasien merupakan sebuah pertimbangan yang diutamakan. 64 Keputusan advice seorang dokter itu dapat dilihat dari hasil penelitian sebuah kasus. Dalam kasus ini, menurut pengadilan istri tersebut kurang memuaskan suami karena pasca operasi kandungan dan dianggap tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Oleh karena itu, pengadilan memberikan ijin kepada suaminya untuk berpoligami yang disertai juga ijin dari istrinya.65 Dalam keadaan darurat, pelayanan medis untuk menolong jiwa seseorang atau mencegah kerusakan pada tubuh seseorang dapat diselenggarakan tanpa terlebih dahulu meminta persetujuan penderita. Dalam kasus seperti ini, hukum persetujuan dianggap telah diberikan berdasarkan sifat emergency keadaan. 66 Secara yuridis, pemberian persetujuan dengan lisan sama efeknya dengan persetujuan tertulis. Namun, untuk keperluan administrasi terutama untuk kepentingan dokumentasi dan untuk mencegah ligitasi, pemberian persetujuan tertulis lebih disukai. Sebuah persetujuan yang telah diberikan, secara hukum
63
Ibid., tanggal 7 Maret 2008. Dr. Ni’mah (Dokter Umum), Wawancara Tanggal 26 Maret 2008. 65 Dokumen, Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt. 66 Freddy Tengker, Hak Pasien (Bandung: Mandar Maju, 2007), 146 64
40
dapat ditarik kembali setiap saat. Hal ini dapat dilakukan secara lisan tetapi lebih aman dibuat dalam bentuk tertulis. 67 Oleh karena itu, demi keselamatan pasien seorang dokter memberikan sarannya kepada suami-istri (dalam putusan No. 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) untuk tidak hamil lagi setelah istrinya operasi kandungan. Dari sebab itulah suami tersebut mengajukan permohonan untuk melakukan poligami kepada Pengadilan Agama. Dengan melakukan poligami, suami tersebut juga telah mendapatkan ijin dari istrinya yang pertama.68 Allah telah menciptakan wanita dengan struktur anatomi tubuh yang berbeda dengan kaum lelaki, dengan kodrat sebagai orang yang mengandung dan melahirkan anak serta kepekaan perasaan yang berbeda dengan kaum pria, serta hak dan kewajiban wanita dengan pria pun juga berbeda. Apabila wanita diberi hak yang sejajar dengan laki-laki dalam segala hal, sama artinya dengan melecehkan kaum wanita dan meruntuhkannya martabatnya. Hanya Allah yang mengetahui tentang hak dan kewajiban wanita karena Dialah yang telah menciptakannya. Maka, untuk tujuan itulah syari’at Islam diturunkan. Berbagai aturan khusus untuk wanita seperti hijâb, jilbab, keharusan mentaati suami selama dalam kebenaran, ditetapkan sesuai dengan kodrat wanita. Termasuk kesiapan untuk dimadu, apabila memang diperlukan. Allah juga menetapkan banyak kewajiban untuk kaum laki-laki seperti mencari nafkah,
67 68
dr. Ni’mah (Dokter Umum), Wawancara Tanggal 26 Maret 2008. H. Sumasno, Wawancara Tanggal 10 Maret 2008.
41
sandang, pangan, dan papan, menjadi pemimpin dalam rumah tangga, bertanggungjawab atas pendidikan dan keselamatan mereka di dunia dan di akhirat, serta berbagai hal yang disesuaikan dengan kodrat mereka. Termasuk kekhususan boleh melakukan poligami bila memang diperlukan.69 Karena sebenarnya poligami itu dilakukan hanya dalam keadaan darurat, bukan tanpa tujuan atau hanya untuk pemuas nafsu belaka.
B. Dasar Hukum Poligami Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Di Indonesia masalah poligami diatur dalam Undang-undang Nomor 1/1974 tentang Perkawinan. Peraturan Pemerintah RI Nomor 9/1975 tentang Aturan Pelaksanaan Undang-undang Nomor 1/1974. Adapun sebagai hukum materiil bagi orang Islam, terdapat ketentuan dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI). Ketentuan yang ada pada Undang-undang Nomor 1/1974 pada prinsipnya selaras dengan ketentuan Hukum Islam. Menurut Undang-undang tersebut, pada prinsipnya sistem yang dianut oleh Hukum Perkawinan RI berasaskan monogami, dalam hal atau alasan tertentu, seorang suami diberi ijin untuk beristri lebih dari seorang. Alasan tersebut tergambar dalam serangkaian persyaratan yang berat. Dapat tidaknya seorang suami beristri lebih dari seorang ditentukan oleh Pengadilan Agama berdasarkan terpenuhi atau tidaknya persyaratannya.70 Meskipun poligami menurut Undang-undang diperbolehkan, beratnya persyaratan yang harus ditempuh mengisyaratkan bahwa pelaksanaan poligami di 69 70
Abu Umar Basyir, Poligami Anugerah Yang Terdzalimi (Solo: Rumah Dzikir, ttp), 71. Rahmat Hakim, Hukum Perkawinan Islam (Bandung: Pustaka Setia, 2000), 121.
42
Pengadilan Agama menganut prinsip menutup pintu terbuka, artinya pintu poligami itu tidak terbuka, kalau memang tidak diperlukan dan hanya dalam hal atau keadaan terbuka pintu dibuka. Maksudnya, poligami hanya diperbolehkan dalam keadaan darurat saja bukan untuk pengumbar nafsu seksualitas laki-laki. Apabila segala kemampuan untuk berpoligami dari sisi psikologi ataupun kemampuan materi sudah terpenuhi, dorongan hasrat seksual juga menuntut ke arah tersebut, maka seorang muslim bisa saja dianjurkan untuk berpoligami agar agamanya lebih selamat. Hal ini bukan sunnah, tetapi hanya boleh.71 Di pengadilan, sebelum memutuskan suatu perkara hakim bertugas mencari dan menemukan hukum yang berkaitan dengan perkara yang akan dipersidangkan. Tugas menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa oleh Majelis Hakim merupakan suatu hal yang paling sulit dilaksanakan. Meskipun para hakim dianggap tahu hukum (ius curia novit), sebenarnya para hakim itu sendiri tidak mengetahui semua hukum, sebab hukum itu ada beberapa macam jenisnya, ada yang tertulis dan ada pula yang tidak tertulis. Tetapi hakim harus mengadili dengan benar terhadap perkara yang diajukan kepadanya, ia tidak boleh menolak suatu perkara dengan alasan tidak tahu hukum atau tidak jelas hukumnya, melainkan wajib mengadilinya. Sebagai penegak hukum seorang
71
Basyir, Poligami Anugerah Yang Terdzalimi (Solo: Rumah Dzikir, ttp), 39.
43
hakim wajib menggali, mengikuti dan memahami nilai-nilai hukum yang hidup dalam masyarakat.72 Dalam menerima sebuah kasus, Pengadilan Agama Kabupaten Magetan meneliti terlebih dahulu apakah kasus yang diajukan itu layak untuk dipersidangkan atau tidak. Poligami yang terjadi dalam putusan ini (Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt), dianggap layak untuk dipersidangkan karena masalah tersebut perlu adanya putusan hukum.73 Poligami termasuk dalam ranah syari’at Islam, sehingga tidak mungkin dikatakan berlawanan dengan konsep keadilan yang diajarkan oleh Islam. Ajaran Islam yang satu tidak akan bertentangan dengan yang lain. Menurut pakar hukum Islam dalam berbagai madhhab, hakim tidak dibenarkan memberi fatwa terhadap kasus-kasus yang sedang diperiksa dalam sidang mahkamah, sebab dikhawatirkan fatwa-fatwa hakim itu berbeda dengan putusan yang ditetapkan. Dalam kasus yang diperiksanya, hakim hendaklah tidak memberi komentar, sehingga tidak terjadi polemik dalam masyarakat. Dari segi hukum, hukum yang lahir dari fatwa selalu bersifat umum, sedangkan hukum yang lahir dari putusan hakim selalu bersifat khusus dan konkrit. Jika masalah itu terjadi, maka akan menimbulkan sangka buruk terhadap hakim, dan citra serta martabat lembaga al-qada menjadi turun di mata masyarakat. Agar hal ini tidak terjadi, maka hakim harus menjaga muru’ahnya agar ia menjadi hakim yang dihormati, 72
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 278. 73 H. Sumasno (Ketua Pengadilan Agama Kabupaten Magetan), Wawancara Tanggal 6 Maret 2008.
44
menjaga kemuliaan akhlaknya dan menjauhkan diri dari segala prasangka yang tidak baik kepadanya.74 Muhammad Salam Madkur menerangkan bahwa apabila hakim mengadili suatu perkara, maka ia harus bersikap tidak memihak, tidak ada perhatiannya kecuali memeriksa perkara itu dengan sungguh-sungguh. Jika keadaan dirinya berubah karena marah, susah, gembira yang berlebihan, sakit atau jenuh lapar dan mengantuk, maka hendaknya ia meninggalkan majelis persidangan itu sampai normal kembali, kemudian baru bisa dilanjutkan persidangan tersebut. Rasulullah SAW. bersabda bahwa tidak boleh mengadili suatu perkara, sedangkan ia (hakim) dalam keadaan marah.75 Konsep kehakiman dalam peradilan Islam sangat mengutamakan asas equality before the law dan asas audi et alteram partem. Kedudukan para pihak adalah sama di hadapan hukum dan dalam memutuskan perkara, hakim harus menghadirkan pihak-pihak yang berperkara di muka persidangan. Seorang hakim dilarang memutus perkara sebelum mendengar semua pihak yang terkait dalam persidangan itu. Untuk memutuskan sebuah perkara, hakim harus mempunyai dasar hukum sebagai landasan dalam memutuskan perkara. Dalam pembahasan ini, dasar hukum yang digunakan adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, Pasal 3 ayat (2) 4 dan 5 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun
74 75
Abdul Manan, Etika Hakim Dalam Penyelenggaraan Peradilan (Jakarta: Kencana, 2007), 35. Ibid..
45
1975 Pasal 6 huruf (f) Jo. KHI pasal 55, 56, 57, serta al-Qur’an surat al-Nisâ’ ayat 3. 76 Kompilasi Hukum Islam bukan undang-undang, tetapi hukum Islam yang memuat hukum materiil peradilan Agama yang keberadaannya telah diakui dalam undang-undang. Untuk menyusun hukum materiil yang akan dijadikan pedoman di peradilan agama perlu diperhatikan kesadaran hukum yang berkembang di masyarakat. Maka dari itu perlu dilakukan penafsiran kembali terhadap dalil-dalil hukum yang memungkinkan penafsiran, tanpa selalu mengikatkan diri terhadap pendapat ulama terdahulu, karena kadang-kadang untuk satu masalah hukum terdapat beberapa pendapat yang berbeda diantara para ulama. Perbedaan pendapat dalam hukum materiil di pengadilan menyebabkan tidak adanya kepastian hukum.77 Keragaman hukum poligami seperti halnya hukum menikah, dan yang jelas poligami memang diperbolehkan dalam Islam dengan syarat-syarat tertentu. Namun hukumnya bisa tidak sama bagi setiap laki-laki muslim,tergantung dengan kondisi dan kebutuhannya terhadap poligami. Hukum poligami itu mubah atau bisa juga dianjurkan, atau menjadi wajib karena mendesaknya kebutuhan poligami bila tidak dilakukan bisa menjerumuskannya ke dalam maksiat, pihak istri harus berupaya tunduk kepada hukum syari’at. Istri harus siap untuk dimadu meskipun perasaan pada dasarnya sebagai seorang wanita, merasa berat untuk melakukannya.
76 77
Dokumen, Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt. Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 431.
46
Letak diperbolehkannya poligami adalah apabila seorang laki-laki mampu berbuat adil.
C. Upaya
Pembuktian
Hakim
Dalam
Memutuskan
Perkara
Poligami
Berdasarkan Advice Dokter Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Di Indonesia, keberlakuan suatu undang-undang dapat dilihat dalam undang-undang yang bersangkutan (UU No.3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, UU No1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan, KHI, PP No.9 Tahun 1975). Adakalanya hukum berlaku secara nasional, disemua daerah dan kepada semua warga negara. Akan tetapi, ada juga hukum yang berlaku bagi mereka yang berkualifikasi tertentu, misalnya warga negara yang beragama Islam. Dalam kaitannya dengan ini, ketentuan-ketentuan dalam hukum Islam ada yang dapat diberlakukan secara umum kepada semua warga negara yaitu nilai-nilai universalnya. Ada pula yang harus diberlakukan kepada golongan tertentu, dalam hal ini umat Islam yaitu aturan-aturan hukum yang khusus berlaku bagi muslim.78 Pada hakekatnya, segala sesuatu yang berhubungan dengan pelaksanaan tugas badan-badan penegak hukum dan keadilan tersebut, baik buruknya tergantung dari manusia yang melaksanakannya. Hukum yang berlaku pada saat ini dan hak-hak serta kewajiban yang mengalir dari situ, tidak datang ke masyarakat kita dalam bentuk siap pakai, melainkan melalui suatu perjalanan yang panjang. Sejarah evolusi manusia 78
Jazuni, Legislasi Hukum Islam di Indonesia (Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005), 356.
47
memperkirakan bahwa setelah meninggalkan abad batu dan abad perunggu, maka umat manusia menginjak abad besi. Diestimasikan pula bahwa dalam bidang perkawinan, maka pertama-tama berlaku promiskuitas, hubungan seksual antara sejumlah laki-laki dengan perempuan tanpa ada aturan yang mengikat. Kemudian muncul perkawinan antara satu perempuan dengan banyak laki-laki (poliandri), disusul oleh perkawinan antara satu laki-laki dengan banyak perempuan (poligami), dan akhirnya monogami. Dan jika ditinjau dari segi ekonomi, maka umat manusia memulai kariernya selaku pemburu dan pengumpul hasil hutan, melalui profesi petani untuk tiba pada abad industri ini.79 Menurut penelitian yang dilakukan oleh para ahli antropologi, golongangolongan yang dikuasai hukum primitif adalah: kaum pemburu tingkat rendah, kaum pemburu tingkat tinggi, kaum gembala sederhana, kaum gembala maju, kaum petani primitif, kaum petani tingkat dua. Sementara orang mengemukakan bahwa manusia primitif dengan sendirinya taat pada hukum, oleh karena itu ia tidak memerlukan tatanan hukum. Aturan-aturan hukum suku-suku bangsa primitif pada hakekatnya merupakan himpunan antara campur aduk seperangkat kebiasaan, adat istiadat dan agama. di dalam masyarakat primitif, hukum merupakan bagian dari religi dan orang tidak mengenal hak milik pribadi serta tidak mempunyai sarana dan prasarana untuk memaksakan hak-hak yang menjadi tuntutannya.
79
Freddy Tengker, Hak Pasien (Bandung: Mandar Maju, 2007), 30.
48
Dalam situasi dan kondisi primitif ini, dokter dan hakim berada di satu tangan dan eksistensi hukum pada gilirannya menandakan adanya persekutuan hidup.80 Seorang hakim dapat menegakkan keadilan yang diperlukan apabila memiliki otonomi absolut untuk memutuskan berdasarkan pemikiran dan pemahaman mereka sendiri. Tidak boleh ada campur tangan dari siapapun, baik dalam pekerjaannya maupun pengaruh apapun dalam pembuatan putusan. 81 Apabila hakim dalam suatu masyarakat berada di bawah pengaruh penguasa atau pemerintah mereka, akan sulit bagi hakim tersebut untuk menegakkan keadilan dalam masyarakat. Sebagai hasil dari pengaruh tersebut, hakim akan memutuskan tidak berdasarkan aturan hukum yang berlaku tetapi berdasarkan aspirasi penguasa yang kadang-kadang menyimpang dari keadaan yang sebenarnya. Hakim dalam mengadili suatu perkara yang diajukan kepadanya harus mengetahui dengan jelas tentang fakta dan peristiwa yang ada dalam perkara tersebut. Maka dari itu, Majelis Hakim sebelum menjatuhkan putusannya terlebih dahulu harus menemukan fakta dan peristiwa yang terungkap dari Penggugat dan Tergugat, serta alat-alat bukti yang diajukan oleh para pihak dalam persidangan. Terhadap hal-hal yang terakhir ini, Majelis Hakim harus mengkonstatir dan mengkualifisir peristiwa dan fakta tersebut sehingga ditemukan peristiwa yang konkrit. Setelah Majelis Hakim menemukan peristiwa dan fakta secara objektif, maka Majelis Hakim berusaha menemukan hukumnya secara tepat dan akurat
80 81
Ibid., 31. H. Sumasno, Wawancara Tanggal 12 Maret 2008.
49
terhadap peristiwa yang terjadi tersebut. Jika dasar-dasar hukum yang dikemukakan oleh pihak-pihak yang berperkara kurang lengkap, maka Majelis Hakim dapat menambah dan melengkapi dasar-dasar hukum itu sepanjang tidak merugikan pihak-pihak yang berperkara.82 Dalam usaha menemukan hukum terhadap suatu perkara yang sedang diperiksa dalam persidangan, Majelis Hakim dapat mencarinya dalam: kitab perundang-undangan sebagai hukum yang tertulis, Kepala Adat dan penasihat agama dan 15 Ordonansi Adat bagi hukum yang tidak tertulis, sumber yurisprudensi, dengan catatan bahwa hakim sama sekali tidak boleh terikat dengan putusan-putusan yang terdahulu, ia dapat menyimpang dan berbeda pendapat jika ia yakin terdapat ketidakbenaran atas putusan atau tidak sesuai dengan perkembangan hukum kontemporer. Tetapi hakim dapat berpedoman sepanjang putusan tersebut dapat memenuhi rasa keadilan bagi pihak-pihak yang berperkara, tulisan-tulisan ilmiah para pakar hukum, dan buku-buku ilmu pengetahuan lain yang ada kaitannya dengan perkara yang sedang diperiksa tersebut.83 Hakim menemukan hukum melalui sumber-sumber sebagaimana tersebut di atas. Jika tidak diketemukan dalam sumber tersebut maka ia harus mencarinya dengan mempergunakan metode interpretasi dan konstruksi. Metode interpretasi adalah penafsiran terhadap teks undang-undang, masih tetap berpegang pada bunyi teks tersebut. Sedangkan metode konstruksi adalah hakim mempergunakan 82
H. Sumasno, Wawancara Tanggal 6 Maret 2008. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 279. 83
50
penalaran logisnya untuk mengembangkan lebih lanjut suatu teks undang-undang, di mana hakim tidak lagi terikat dan berpegang pada bunyi teks tersebut, tetapi dengan syarat hakim tidak mengabaikan hukum sebagai suatu sistem.84 Dalam Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama terdapat asas-asas umum, salah satunya asas legalitas. Asas legalitas sekaligus bersamaan dengan penegasan persamaan hak dan derajat setiap orang yang berperkara di depan sidang pengadilan. Baik asas legalitas maupun persamaan hak, keduanya mengandung hak asasi setiap orang. Asas legalitas meliputi hak asasi yang berkenaan dengan hak perlindungan hukum dan asas persamaan hubungan dengan persamaan di hadapan hukum atau asas equality.85 Makna dari asas legalitas pada prinsipnya sama dengan pengertian rule of law. Apabila asas ini dikaitkan dengan negara Republik Indonesia yang merupakan negara hukum, maka sudah sewajarnya pengadilan yang berfungsi dan berwenang menegakkan hukum melalui badan peradilan harus berlandaskan hukum. Artinya, hakim yang berfungsi dan berwenang menggerakkkan peradilan, tidak boleh bertindak di luar hukum.86 Peranan hakim sebagai aparat kekuasaan pasca Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama pada prinsipnya melaksanakan fungsi peradilan sesuai dengan ketentuan yang berlaku.87
84
H. Sumasno, Wawancara tanggal 6 Maret 2008. Gemala Dewi, Hukum Acara Perdata Peradilan Agama di Indonesia (Jakarta: Kencana, 2005), 69. 86 Ibid., 70. 87 H. Sumasno, Wawancara Tanggal 10 Maret 2008. 85
51
Dalam pertimbangan hukum telah dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan yang menjadi dasar dari putusan tersebut. Setelah hal-hal tersebut di atas dipertimbangkan satu persatu secara kronologis, kemudian barulah ditulis dalil-dalil hukum syara’yang menjadi sandaran pertimbangannya. Yang diutamakan adalah dalil dari al-Qur’an dan al-Hadis, setelah itu pendapat para ulama yang terdapat dalam kitab-kitab fiqh. Dalil tersebut disinkronkan dengan yang lain supaya ada hubungan hukum dengan perkara yang disidangkan.88
88
Dokumen, Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt.
52
BAB IV ANALISA PUTUSAN HAKIM TENTANG POLIGAMI BERDASARKAN ADVICE DOKTER DI PENGADILAN AGAMA KABUPATEN MAGETAN
A. Analisa Terhadap Prosedur Poligami Berdasarkan Advice Dokter (Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Pada dasarnya seorang laki-laki hendaklah mencukupkan diri dengan memiliki seorang istri saja, demi menjaga ketenangan kehidupan berkeluarga, dan agar lebih mudah memelihara dan mendidik anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut. Namun, adakalanya timbul situasi atau kondisi darurat, misalnya dalam keadaan istri tidak dapat melahirkan keturunan, tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri, karena cacat badan atau mempunyai penyakit yang sulit disembuhkan. Sedangkan suami masih tetap mencintai istrinya dan tidak mau untuk menceraikannya. Disisi lain, cukup banyak perempuan yang sudah waktunya menikah, dan sudah memenuhi semua persyaratan tentang itu, namun belum juga beruntung memperoleh seorang suami untuk menjadi pendamping hidupnya dan diharapkan ia memperoleh keturunan darinya. Dalam keadaan seperti itu jalan keluar yang mungkin paling sedikit madaratnya walaupun tetap saja tidak terlepas dari pelbagai keberatan adalah
53
seorang suami tersebut mengawini seorang perempuan lain di samping istrinya yang sudah ada.89 Kebanyakan laki-laki yang berpoligami pada masa sekarang berbeda dengan dimasa lalu, yang tidak memiliki tujuan selain mengikuti dorongan hawa nafsu saja, bahkan tidak jarang bersikap aniaya terhadap istri pertamanya, dengan meninggalkannya dan anak-anaknya tanpa memberi mereka perhatian secukupnya. Poligami juga sering menimbulkan rasa iri dan cemburu di antara anak-anak yang berbeda ibu, bahkan menebarkan benih-benih kebencian dan permusuhan di antara mereka yang akhirnya sulit dikendalikan. Karena berbagai alasan seperti itulah demi mencegah hal-hal yang tidak diinginkan dan demi memenuhi tuntunan al-Qur’an secara keseluruhan, Undangundang Perkawinan yang berlaku di Indonesia menetapkan bahwa dalam berpoligami, maka ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan. Untuk memperoleh ijin Pengadilan Agama harus memenuhi syarat, yaitu adanya persetujuan dari istri, adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan hidup para istri dan anak-anaknya.90 Persetujuan istri dapat diberikan secara tertulis atau dengan lisan. Selain telah dilakukan persetujuan tertulis, harus dipertegas lagi ketika hadir di persidangan. Persetujuan tersebut tidak diperlukan bagi seorang suami apabila istrinya tidak memungkinkan dimintai persetujuannya, dan tidak dapat menjadi
89 90
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 90. Isro’ Jauhari (Panitera Pengadilan Agama Kabupaten Magetan), Wawancara tanggal 4 Maret 2008.
54
pihak dalam perjanjian atau tidak ada kabar dari istrinya sekurang-kurangnya dua tahun atau karena sebab lain yang perlu mendapat penilaian hakim.91 Apabila istri tidak memberikan persetujuan kepada suaminya untuk berpoligami, maka Pengadilan Agama dapat menetapkan pemberian ijin setelah memeriksa dan mendengar istri yang bersangkutan di persidangan Pengadilan Agama, dan terhadap masalah ini istri atau suami dapat mengajukan banding atau kasasi.92 Dalam kasus ini, seorang suami melakukan poligami dengan alasan istri tidak memenuhi kewajibannya sebagai istri secara keseluruhan, karena istri dilarang oleh dokter untuk tidak hamil lagi setelah operasi kandungan. Untuk menghindari hal-hal yang tidak diinginkan pada istrinya suami tersebut mengambil keputusan untuk berpoligami. Suami melakukan poligami karena ingin mempunyai anak lagi, hal itu berdasarkan advice dari dokter.93 Dalam situasi seperti itu, diperlukan pengertian, kesadaran, ketabahan, dan kelapangan dada, bagi istri karena ia berada pada posisi darurat. Apabila suami mampu bersikap adil tentunya tidak akan terjadi masalah. Menurut H. Sumasno, SH. M.Hum, sifat adil dari seseorang yang mengajukan poligami adalah dengan adanya kerelaan dari istri yang pertama. Dari situlah bisa dilihat sikap adil seseorang yang ingin melakukan poligami.94 Islam juga menetapkan syarat bahwa
91
H. Sumasno, Wawancara Tanggal 12 Maret 2008. Slamet Abidin, Fiqih Munakahat 1 (Bandung: Pustaka Setia, 1999), 143. 93 Dokumen, Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt. 94 H. Sumasno, Wawancara Tanggal 10 Maret 2008. 92
55
dalam poligami tidak boleh ada diskriminasi dalam keadaan apapun dan bagaimanapun antara para istri tersebut maupun anak-anaknya. Para ahli hukum Islam hampir sepenuhnya sependapat bahwa diskriminasi di antara para istri dalam segi apapun tidak diperkenankan. Keadilan adalah kebajikan manusia yang paling luhur. Menetapkan sebagai syarat berarti menuntut manusia untuk mencapai kekuatan moral yang paling tinggi. Jika kita memperhatikan kenyataan bahwa pada umumnya emosi dan kesukaan seorang suami tidaklah sama maka kita akan mengerti bahwa perlakuan yang sama secara seragam terhadap setiap istri, melaksanakan keadilan dan berpantang dari diskriminasi adalah tugas yang paling sulit bagi suami.95
B. Analisa Terhadap Dasar Hukum Poligami Berdasarkan Advice Dokter (Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt) Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Dalam putusan pengadilan ternyata mempunyai kelemahan yang terletak pada kekurangan fakta dan juga kurangnya penganalisaan serta penilaian terhadap fakta. Penganalisaan mereka terhadap fakta untuk disimpulkan kepada fakta yang benar (diskonstatoir) tidak tajam. Hal ini karena kurang tajamnya penggunaan metode induksinya, proses pikir yang bertolak dari satu atau sejumlah fenomena individual untuk mengambil kesimpulan dalam suatu masalah hukum juga masih sangat kurang. Mereka juga sangat kurang dalam hal menggunakan metode 95
Murtadha Muthahhari, Duduk Perkara Poligami (Jakarta : Serambi Ilmu Sejahtera, 2007), 141
56
generalisasi, analogi induktif, dan kausal. Data yang diproses oleh mereka sangat minim karena mereka kurang memahami tentang konsep fakta dan konsep hukum yang harus mereka pergunakan. Penganalisaan terhadap fakta yang telah dinyatakan terbukti juga tidak tajam bahkan sering tidak dianalisis sebagaimana mestinya. Di samping itu, metode yang dipergunakan untuk menarik kesimpulan dalam menemukan fakta pada umumnya tidak jelas, status pencantuman pendapat para ahli hukum Islam (fuqaha) juga tidak jelas, apakah sebagai sumber hukum atau sebagai sarana untuk menafsir belaka.96 Fakta berbeda dengan hukum, hukum merupakan asas sedangkan fakta merupakan kejadian. Hukum sesuatu yang dihayati, sedangkan fakta suatu yang wujud. Hukum merupakan tentang hak dan kewajiban, sedangkan fakta merupakan kejadian yang sesuai atau bertentangan dengan hukum. Hukum dapat berupa hukum adat kebiasaan, putusan hakim dan ilmu pengetahuan hukum, sedangkan fakta ditemukan dari pembuktian suatu peristiwa dengan mendengarkan keterangan para saksi dan para ahli. Fakta ada yang sederhana dan ada juga yang kompleks, ada yang ditemukan dari keterangan saksi, tetapi ada juga yang harus ditemukan dengan penalaran dari beberapa fakta.97 Dalam al-Qur’an tidak satu ayatpun yang memerintahkan atau menganjurkan poligami. Sebutan tentang hal itu dalam surat An-Nisa’ ayat 3 hanyalah sebagai informasi sampingan dalam kerangka perintah Allah agar 96
Abdul Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 286. 97 Ibid, 287.
57
memperlakukan sanak keluarga terutama anak-anak yatim dan harta mereka dengan perlakuan seadil-adilnya. Para fuqaha mencatat berbagai macam hikmah sosial maupun individual mengapa poligami dibolehkan, dengan mengingat bahwa Islam adalah agama universal yang berlaku di setiap tempat dan zaman.98 Hakim dalam menghubungkan antara teks Undang-undang dengan suatu peristiwa konkrit yang diadilinya, wajib menggunakan pikiran dan nalarnya. Untuk memilih, metode mana yang paling cocok dan paling relevan untuk diterapkan dalam suatu perkara. Hakim harus jeli dan memiliki profesionalisme tinggi dalam menerapkan metode penemuan hukum. Apabila seorang hakim dapat mempergunakan metode hukum yang relevan dan sesuai yang diharapkan dalam kasus yang sedang diperiksanya, maka putusan yang dilahirkan akan mempunyai nilai keadilan dan kemanfaatan bagi pencari keadilan.99 Dasar hukum yang digunakan untuk memutuskan perkara ini adalah Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) 4 dan 5 Jo. Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 Pasal 6 huruf (f) Jo. KHI pasal 55, 56, 57, serta al-Qur’an surat An-Nisa ayat 3. 100 Kompilasi Hukum Islam bukan
98
Muhammad Bagir Al-Habsyi, Fiqih Praktis (Bandung: Mizan, 2002), 94. Manan, Penerapan Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 285.
99
100
Dokumen, Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt.
58
undang-undang, tetapi hukum Islam yang memuat hukum materiil peradilan Agama yang keberadaannya telah diakui dalam undang-undang.101 Apabila hakim telah memeriksa suatu perkara yang diajukan kepadanya, ia harus menyusun putusan dengan baik dan benar. Putusan itu harus diucapkan dalam sidang terbuka untuk umum, guna mengakhiri sengketa yang diperiksanya. Putusan hakim tersebut disusun apabila pemeriksaan sudah selesai dan pihakpihak yang bersangkutan tidak lagi menyampaikan sesuatu hal kepada hakim yang memeriksa perkaranya. Putusan adalah hasil atau kesimpulan dari suatu perkara yang telah dipertimbangkan dengan matang yang berbentuk putusan tertulis. Dalam menggunakan penalaran, apabila undang-undang menetapkan halhal tertentu untuk peristiwa tertentu, berarti peraturan itu terbatas pada peristiwa tertentu. Tujuan berargumen dalam membuat sebuah putusan adalah untuk mengisi kekosongan hukum atau ketidaklengkapan undang-undang.
C. Analisa Terhadap Putusan Nomor 409/Pdt.G/2006/PA.Mgt Di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan Para hakim dalam melakukan konstruksi dalam penemuan dan pemecahan masalah hukum, harus mengetahui tiga syarat utama yaitu: 1. konstruksi harus mampu meliputi semua bidang hukum positif yang bersangkutan, 2. dalam pembuatan konstruksi tidak boleh ada pertentangan logis di dalamnya, 3. konstruksi kiranya mengandung faktor keindahan dalam arti tidak dibuat-buat, 101
Ibid.
59
tetapi dengan dilakukan konstruksi persoalan yang belum jelas dalam peraturan itu diharapkan muncul kejelasan. Konstruksi harus dapat memberikan gambaran yang jelas tentang sesuatu hal, oleh karena ituharus cukup sederhana dan tidak menimbulkan masalah baru dan boleh tidak dilaksanakan. Sedangkan tujuan dari konstruksi adalah agar putusan hakim dalam peristiwa konkrit dapat memenuhi tuntutan keadilan dan bermanfaat bagi pencari keadilan.102 Dalam praktek peradilan, penemuan hukum dengan metode konstruksi dapat berupa argumen peranalogian. Konstruksi hukum model ini dipergunakan apabila hakim harus menjatuhkan putusan dalam suatu konflik yang tidak tersedia peraturannya, tetapi peristiwa itu hampir sama dengan yang diatur dalam undangundang. Di sini, hakim bersikap seperti pembentuk undang-undang yang mengetahui adanya kekosongan hukum, akan melengkapi kekosongan itu dengan peraturan-peraturan serupa dengan mencari unsur-unsur. Persamaannya dengan menggunakan penalaran pikiran secara analogi. Jika pemakaian analogi dilaksanakan secara baik, maka akan memecahkan problem yang dihadapi itu dengan menemukan hukum yang baru pula dengan tidak meninggalkan unsurunsur yang ada dalam peraturan yang dijadikan persamaan itu. Dalam pertimbangan hukum juga dimuat pasal-pasal peraturan perundang-undangan
yang
menjadi
dasar
putusan
itu.
Uraian
tentang
pertimbangan hukum dimuat dalam bentuk “mengingat”. Putusan yang telah
102
Abdul Manan, Hukum Acara Perdata Di Lingkungan Peradilan Agama (Jakarta: Kencana, 2005), 282.
60
memperoleh kekuatan hukum yang tetap tidak dapat diganggu gugat lagi. Putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum pasti bersifat mengikat. Dalam peribahasa hukum disebut “res judicata proveritate habitur” artinya putusan yang pasti dengan sendirinya mengikat, apa yang diputus oleh hakim dianggap benar dan pihak-pihak yang berperkara berkewajiban untuk memenuhi isi putusan tersebut. Pada prinsipnya putusan pengadilan itu menyelesaikan perselisihan atau memberikan solusi dari sebuah masalah. Pihak-pihak yang berperkara tersebut harus tunduk dan patuh kepada putusan yang dijatuhkan oleh pengadilan. Mereka tidak boleh melakukan tindakan yang bertentangan dengan putusan tersebut, karena putusan mempunyai kekuatan mengikat. Dalam
masalah
poligami
yang
terdapat
pada
putusan
nomor
409/Pdt.G/2006/PA.Mgt telah disinggung bahwa alasan seorang suami tersebut melakukan poligami karena istrinya tidak dapat melakukan kewajibannya sebagai seorang istri, maka dari itu pengadilan mengabulkan permohonan tersebut. Tetapi ada sedikit kejanggalan apabila dengan alasan tersebut, maka dalam putusan tersebut belum terpenuhi secara konkrit kalau memang istrinya benar-benar tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai seorang istri. Karena pada kenyataannya, istri tersebut tidak cacat dan mempunyai seorang anak, meskipun istri tersebut disarankan untuk tidak hamil lagi setelah operasi kandungan. Dalam pasal 57 Kompilasi Hukum Islam tidak disebutkan berapa jumlah yang ditetapkan untuk mempunyai anak, tetapi hanya ditekankan kalau si istri tidak
mempunyai
keturunan.
Sehingga
dalam
putusan
Nomor
61
409/Pdt.G/2006/PA.Mgt mengarah pada pasal 57 huruf a untuk bahan pertimbangan seorang hakim dalam memutuskan perkara tersebut. Karena keterbatasan seorang istri dalam memberikan keturunan menyebabkan seorang suami kurang mendapatkan kepuasan batin. Dengan alasan itulah pengadilan memberikan ijin untuk melakukan poligami. Putusan hakim yang telah mempunyai kekuatan hukum yang tetap dapat dipergunakan sebagai bukti oleh pihak-pihak yang berperkara, sepanjang mengenai peristiwa yang telah ditetapkan dalam putusan itu. Karena putusan hakim itu membentuk secara konkrit, maka peristiwa yang ditetapkan itu dianggap benar, sehingga memperoleh bukti sempurna yang berlaku baik antara pihak-pihak yang berperkara maupun pihak ketiga. Dalam putusan yang bersifat perdata mewajibkan para hakim untuk mengadili semua tuntutan sebagaimana tersebut dalam surat gugatan. Haikim dilarang menjatuhkan putusan terhadap sesuatu yang tidak dituntut, kecuali apabila hal-hal yang tidak dituntut itu disebutkan dalam peraturan perundang-undangan yang berlaku.
62
BAB V PENUTUP
A. Kesimpulan 1. Prosedur pengajuan polgami di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan hampir sama dengan ketentuan dalam KHI pasal 57 yaitu: a. Istri tidak dapat menjalankan kewajiban sebagai istri, b. Istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan, c. Istri tidak dapat melahirkan keturunan. Adapun yang membedakan dalam putusan tersebut adalah karena seorang suami mampu dari segi materi dan mampu bersikap adil. Hal itu dapat dibuktikan oleh kesediaan seorang istri untuk dimadu dan bersedia menyatakan tidak keberatan di persidangan. 2. Pengadilan Agama Kabupaten Magetan dalam menentukan izin poligami yang berdasarkan advice dokter, dasar hukum yang digunakan adalah UndangUndang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Peradilan Agama, Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 Tentang Perkawinan Pasal 3 ayat (2) 4 dan 5, Kompilasi Hukum Islam Bab IX Beristri Lebih Dari Satu Orang Pasal 55, 56, dan 57, serta al-Qur’an surat al-Nisa ayat 3. 3. Upaya pembuktian hakim dalam memutuskan perkara poligami yang berdasarkan advice dokter di Pengadilan Agama Kabupaten Magetan adalah advice dari dokter kepada istri untuk tidak hamil lagi menyebabkan seorang
63
suami kurang mendapatkan kepuasan batin sedangkan suami ingin mempunyai anak lagi, serta adanya kesediaan istri untuk dimadu. Sehingga dengan alasan itulah Pengadilan Agama Kabupaten Magetan memberikan ijin untuk melakukan poligami.
B. Saran 1. Untuk memperluas pengetahuan di bidang hukum, perlu diadakan penyuluhan terhadap masyarakat tentang perkembangan hukum yang berlaku di Indonesia khususnya hukum perdata Islam. 2. Dalam masalah poligami sebaiknya pengadilan tidak mudah memberikan ijin apabila tidak dalam keadaan terpaksa (darurat), sehingga praktek poligami tidak disalahgunakan oleh orang-orang yang kurang layak berpoligami.
64
DAFTAR PUSTAKA Al-Habsyi, Muhammad Bagir. Fiqih Praktis. Bandung: Mizan, 2002. Arto, Mukti. Praktek Perkara Perdata. Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2005. Ashshofa, Burhan. Metode Penelitian Hukum. Jakarta: Rineka Cipta, 2004. Basyir, Abu Umar. Poligami Anugerah yang Terzhalimi. Solo: Rumah Dzikir, ttp. Depdikbud. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka, 1989. Dewi, Gemala. Hukum Acara Perdata Peradilan Agama Di Indonesia. Jakarta: Kencana, 2005. Ghazaly, Abd. Rahman. Fiqh Munakahat. Jakarta: Prenada Media, 2003. Hakim, Rahmat. Hukum Perkawinan Islam. Bandung: Pustaka Setia, 2000. Harun, Nasrun, dkk. Ensiklopedi Hukum Islam. Jakarta: Ichtiar Baru van Hoeve, 2003, Jilid I. Hidayat, Solihin, dkk. Poligami Pintu Darurat. Al-Ikhtibar. Pasuruan: Edisi IX, Tahun II, 2007. http://islamlib.com/id/index.php?page=article&id=808 http://www.icrp-online.org http://www.detiknews.com/ Ismail, Nurjannah. Perempuan Dalam Pasungan. Yogyakarta: LKiS, 2003. ---------Kompilasi Hukum Islam. Bandung: Fokusmedia, 2005. Jazuni, Legislasi Hukum Islam Di Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2005. Mubarak, Saiful Islam. Fikih Kontroversi. Bandung: Syaamil Cipta Media, 2007.
65
Mahfudh, Sahal. Solusi Problematika Aktual Hukum Islam. Surabaya: Diantama, 2005. Manuaba, Ida Bagus Gde. Ilmu Kebidanan, Penyakit Kandungan, Dan Keluarga Berencana Untuk Pendidikan Bidan. Jakarta: EGC, 1998. Mulia, Siti Musdah. Islam Menggugat Poligami. Jakarta: Gramedia Pustaka Utama, 2004. Mustofa, Agus. Poligami Yuuk!?. Surabaya: Padma Press, ttp. Muthahhari, Murtadha. Duduk Perkara Poligami. Jakarta : Serambi Ilmu Semesta, 2007. Puspa, Yan Pramadya. Kamus Hukum. Semarang: Aneka Ilmu, 1977. Rofiq, Ahmad. Hukum Islam Di Indonesia. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2003. ---------Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 Tentang Perubahan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 Peradilan Agama. Bandung: Mediacentre, 2006. Siregar, Bismar. Hukum Hakim Dan Keadilan Tuhan. Jakarta: Gema Insani Pers, 1995. Tengker, Freddy. Hak Pasien. Bandung: Mandar Maju, 2007. Versi Online: index.php/?pilih=lihatannur&id=305
66
PEDOMAN WAWANCARA 1.
Bagaimana prosedur Bagaimana prosedur dalam menerima permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo?
2. Apakah syarat-syarat dalam mengajukan permohonan pengangkatan anak kepada pengadilan? (di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo), 3. Bagaimana dasar hukum dalam menetapkan permohonan pengangkatan anak di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo? 4. Apakah peradilan umum (Pengadilan Negeri) masih berwenang menetapkan pengangkatan anak untuk warga yang beragama Islam? 5. Dalam UU No.03 Tahun 2006 telah dihapus tentang hak opsi mengenai warisan, apakah dalam hal pengangkatan anak juga ada hak opsi? 6. Apakah permohonan pengangkatan anak perlu adanya penetapan (isbat) seperti perkara perceraian? 7. Apabila permohonan pengangkatan anak sudah ditetapkan pengadilan, apakah perlu dicatatkan did kantor catatan sipil atau lembaga lain mis: notaris? 8. Bagaimana upaya Pengadilan ketika ada perubahan kewenangan dalam hal pengangkatan anak, untuk menjelaskan kepada pemohon apabila ada warga yang mengangkat anak dan mengajukan ke Pengadilan Negeri, padahal dalam perkara perdata bagi orang Islam seharusnya mengajukan ke Pengadilan Agama? 9. Berapa jumlah permohonan pengangkatan anak yang diterima selama tahun 2007? (di Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo).
67
10. Apakah syaratnya mengangkat anak harus merawatnya, membiayai semua keperluan sejak bayi sebelum mengajukan permohonan ke Pengadilan? (Untuk mengetahui bahwa orang yang ingin mengangkat anak memang benar-benar orang baik dan berniat tulus ikhlas). 11. Apabila orang tua kandung tidak diketahui bagaimana upaya Pengadilan Agama supaya anak yang diangkat tidak terputus hubungannya dengan keluarga kandung? 12. Bagaimana kedudukan anak angkat menurut penetapan Pengadilan Negeri dan Pengadilan Agama Kabupaten Ponorogo? 13. Bagaimana pembagian warisan kepada anak angkat apabila anak angkat tersebut masih mempunyaihubungan kekerabatan, misalnya anak itu adalah anak dari kakak atau adik kandung kedua orang tua angkatnya?