BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Salah satu indikator kemajuan suatu negara tercermin pada kemajuan bidang
pendidikan. Peningkatan pendidikan yang bermutu di Indonesia termaktub dalam amanah konstitusi pasal 31 Undang-undang Dasar 1945 (Amandemen IV), ayat (1) yang menyatakan bahwa: “Tiap-tiap warga negara berhak mendapatkan pengajaran”. Implikasinya bahwa sistem pendidikan nasional harus mampu memberi kesempatan belajar yang seluas-luasnya kepada setiap warga negara. Penegasan selanjutnya tercantum pada Undang-undang Nomor 20 tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional pasal 4 ayat (1) yang berbunyi: ”Pendidikan nasional bertujuan membentuk manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak dan berbudi mulia, sehat, berilmu, cakap, serta menjadi warga negara yang demokratis dan bertanggungjawab terhadap kesejahteraan masyarakat dan tanah air”. Kebutuhan penyelenggaraan pendidikan nasional merupakan prioritas negara yang terlihat dari besarnya anggaran pendidikan yaitu sekurang-kurangnya dua puluh persen dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) serta dari Anggaran Pendapatan dan Belanja Daerah (APBD). Hal ini membuktikan adanya keseriusan pemerintah dalam pemerataan pendidikan bagi seluruh warga negara Indonesia. Hanushek (1998) menyebutkan bahwa pendapat mayoritas para ekonom yaitu sumber daya manusia merupakan komponen penting dari tingkat
1
pertumbuhan suatu negara yang berbeda-beda. Penelitian yang dilakukan oleh Klien (2007) menjelaskan tentang peran penting pendidikan dalam meningkatkan perekonomian, yaitu dapat dilakukan dengan dua cara. Pertama, dengan meningkatkan level pendidikan secara keseluruhan dari jumlah penduduk. Upaya yang dapat dilakukan yaitu melalui suatu sistem wajib belajar, sistem pendidikan bagi kelompok masyarakat yang terpinggirkan, serta sistem pendidikan vokasional. Kedua, meningkatkan efisiensi sistem pendidikan itu sendiri. Upaya yang dilakukan oleh pemerintah untuk meningkatkan kecerdasan rakyat tertuang pada pasal 5 ayat (1) dari UU Nomor 20 tahun 2003 berbunyi: “Setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu”, yang selanjutnya dipertegas di dalam pasal 6 ayat (1) yang berbunyi: “Setiap warga negara yang berusia tujuh sampai dengan lima belas tahun wajib mengikuti pendidikan dasar”. Pendidikan dasar yang dimaksud dalam UU ini adalah pendidikan tingkat Sekolah Dasar (SD) dan Sekolah Menengah Pertama (SMP). Peningkatan pendidikan wajib belajar menjadi pendidikan wajib belajar 9 tahun dengan harapan terwujud pemerataan pendidikan dasar yang bermutu serta lebih menjangkau penduduk daerah terpencil. Program pendidikan wajib belajar 9 tahun ini diperkuat dengan Instruksi Presiden Nomor 5 Tahun 2006 tentang Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara; dan pelaksanaanya tertuang dalam Permendiknas No. 35 tahun 2006 tentang Pedoman Pelaksanaan Gerakan Nasional Percepatan Penuntasan Wajib Belajar Pendidikan Dasar Sembilan Tahun dan Pemberantasan Buta Aksara (GNP-PWB/PBA).
2
Melalui data yang dipublikasi melalui media kopertis12.or.id disebutkan bahwa berdasarkan laporan Education for All Global Monitoring Report yang dirilis UNESCO 2012, tingginya angka putus sekolah menyebabkan peringkat indeks pembangunan rendah. Pada tahun 2011 Indonesia berada di peringkat 69 dari 127 negara dalam Education Development Index (EDI). Kategori EDI tinggi jika mencapai angka di atas 0,95 dan angka EDI kategori rendah jika nilainya di bawah 0,8. Indonesia termasuk kategori sedang yaitu dengan angka 0,938. Dari empat tujuan pencapaian EFA (education for all) 2015 yang dikaji UNESCO tiap tahun, terlihat Indonesia mampu meningkatkan akses pendidikan dasar yang tinggi dengan nilai 0,991. Melalui data pendidikan tahun 2010 menyebutkan 1,3 juta anak usia 7-15 tahun terancam putus sekolah. Salah satu faktor-faktor yang menyebabkan masih tingginya angka putus sekolah di Indonesia adalah tingginya biaya pendidikan yang membuat siswa tidak dapat melanjutkan pendidikan dasar (indonesiaberkibar.org). Pelaksanaan pendidikan dasar 9 tahun hendaknya sejalan dengan pengembangan otonomi daerah. Era baru desentralisasi di Indonesia dimulai sejak disahkan Undang-undang No. 32 Tahun 2004 tentang Pemerintah Daerah dan UU No. 33 Tahun 2004 tentang perimbangan keuangan antara pusat dan daerah. Desentralisasi dalam otonomi daerah berarti ada pelimpahan wewenang dari Pemerintah Pusat kepada Pemerintah Daerah untuk menangani beberapa sektor, seperti sistem birokrasi pemerintahan, kesehatan, pendidikan, dan sektor lainnya (Bastian, 2007). Hal ini berdampak pada wewenang pengelolaan dana yang mengalami perubahan signifikan dengan mengharuskan pemerintah melakukan
3
perubahan terhadap sistem keuangan pusat maupun daerah. Sektor pendidikan merupakan investasi jangka panjang dalam pengelolaan dan pembinaan sumber daya manusia agar mampu mengolah sumber daya alam secara optimal untuk kemajuan daerah. Oleh karena itu, warna dan corak pendidikan di daerah tergantung pada komitmen dan kepedulian Bupati/Walikota sebagai Kepala Pemerintah Kabupaten/Kota. Menurut Tilaar (1998;18) Pelaksanaan wajib belajar pendidikan dasar dimulai dari pendidikan sekolah dasar 6 tahun dan kini berlanjut dengan sekolah lanjutan tingkat pertama dalam rangka melaksanakan wajib belajar 9 tahun, akan lebih tuntas apabila pelaksanaanya diserahkan ke daerah. Daerah Istimewa Yogyakarta merupakan provinsi yang termasuk berhasil dalam melakukan pembangunan manusia di wilayahnya. Hal ini ditandai dengan tingginya Indeks Pembangunan Manusia (IPM) yang dikeluarkan oleh United Nation Development Programme (UNDP). IPM merupakan pengukuran yang dipengaruhi oleh tiga faktor, yaitu harapan hidup dan kesehatan, pengetahuan atau pendidikan, standar hidup atau pendapatan per kapita. Untuk tolok ukur pengetahuan atau pendidikan diukur dengan Angka Melek Huruf (AMH) dan Rata-rata Lama Sekolah dapat dimaknai sebagai ukuran kualitas sumber daya manusia. AMH menggambarkan persentase penduduk umur 15 tahun ke atas yang mampu baca tulis. Sementara indikator rata-rata lama sekolah menggambarkan rata-rata jumlah tahun yang dijalani oleh penduduk usia 15 tahun keatas untuk menempuh semua jenis pendidikan formal. Tabel 1.1 berikut ini merupakan IPM menurut komponen dan Kabupaten/Kota di Provinsi D.I Yogyakarta tahun 2010 dan 2011.
4
Tabel 1.1 Indeks Pembangunan Manusia (IPM) Menurut Komponen dan Kabupaten/kota di Provinsi D.I Yogyakarta Tahun 2010 dan 2011 2010 2011 Rata-rata Rata-rata Peringkat Lama Lama IPM Kabupaten/ AMH AMH Sekolah Sekolah IPM IPM (HDI Kota (Literacy (Literacy (mean (mean HDI (HDI) Rank) Rate) Rate) years of years of schooling) schooling) Kulonprogo 90.69 8.20 74.49 92.00 8.37 75.04 4 Bantul 91.03 8.82 74.53 91.23 8.92 75.05 3 Gunung Kidul 84.66 7.65 70.45 84.94 7.70 70.84 5 Sleman 92.61 10.30 78.20 93.44 10.51 78.79 2 Yogyakarta 98.03 11.48 79.52 98.07 11.52 79.89 1 Provinsi DIY 90.84 9.07 75.77 91.49 9.20 76.32 4 Sumber: DIY, Dalam Angka 2011, 2012,Badan Pusat Statistik Provinsi D.I Yogyakarta
Berdasarkan tabel 1.1 di atas, dapat diketahui bahwa peringkat IPM D.I Yogyakarta secara nasional unggul bila dibandingkan dengan provinsi lainnya. IPM menurut Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta tahun 2011 menunjukkan peningkatan dari tahun 2010, dan untuk kota Yogyakarta menduduki peringkat ke1 nasional dengan nilai 79,89 pada tahun 2011. Kabupaten dengan nilai IPM yang relatif tinggi yaitu kabupaten Sleman dengan nilai 78,79. Sementara itu, tiga kabupaten dengan nilai IPM yang relatif masih rendah adalah Kabupaten Kulonprogo (75,04) pada peringkat 108, Bantul (75,05) pada peringkat 107, dan Kabupaten Gunungkidul (70,84) pada peringkat 285 (data susenas, BPS D.I Yogyakarta). Pengukuran mutu pendidikan jika dilihat dari IPM D.I Yogyakarta secara garis besar menunjukkan bahwa mutu pendidikan di D.I Yogyakarta jauh lebih baik jika dibandingkan dengan mutu pendidikan di provinsi lain. Jika dihubungkan dengan besarnya pendapatan daerah, semakin besar total pendapatan daerah, maka semakin besar pula jumlah anggaran yang dialokasikan pada sektor
5
pendidikan. Hal ini berarti bahwa semakin besar anggaran yang di alokasikan, maka output pendidikan yang diharapkan akan semakin mengarah kearah yang positif. Lie (2005) mengatakan bahwa besarnya anggaran tidak menjamin peningkatan mutu pendidikan di suatu sekolah, namun kekurangan anggaran sangat menghambat peningkatan mutu pendidikan. Peran penting
anggaran
pendidikan bagi peningkatan mutu pendidikan juga diungkapkan oleh Bastian (2007) namun kesepakatan nasional tentang kebijakan pembangunan pendidikan perlu didukung oleh kebersamaan tekad untuk melaksanakannya. Oleh karena itu, langkah pertama yang harus dilakukan adalah dengan mempraktekkan keterbukaan dan mengefisienkan penggunaan anggaran yang tersedia. Tabel 1.2 berikut ini merupakan data rasio anggaran Dinas Pendidikan 2 tahun terakhir, yaitu anggaran tahun 2010 dan 2011 pada masing-masing kabupaten/kota di D.I Yogyakarta. Tabel 1.2 Rasio Anggaran Dinas Pendidikan Kabupaten/Kota di D.I Yogyakarta Tahun 2010 – 2011 Kabupaten/Kota Tahun 2010: Kulon Progo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta DIY Tahun 2011: Kulon Progo Bantul Gunungkidul Sleman Kota Yogyakarta DIY
APBD
Dinas Pendidikan
Persentase
Rp. 633.088.918.846 Rp. 986.866.902.363 Rp. 729.518.588.364 Rp. 1.244.286.348.598 Rp. 918.315.822.335
Rp. 363.893.306.638 Rp. 395.998.972.350 Rp. 429.799.139.296 Rp. 615.982.260.893 Rp. 296.982.681.550
57,48% 40,13% 58,91% 49,50% 32,34%
Rp 658.711.000.000 Rp. 1.180.550.742.432 Rp. 843.349.755.767 Rp.1.311.436.526.988 Rp. 973.800.345.230
Rp. 442.199.735.876 Rp. 457.510.656.610 Rp. 421.674.877.844 Rp. 708.886.601.047 Rp. 409.907.094.485
67,13% 38,75% 50,00% 54,05% 42,09%
6
Melalui tabel 1.2 di atas terlihat bahwa anggaran pendidikan kabupaten Bantul dan Gunungkidul mengalami penurunan jika dilihat dari proporsi APBD. Artinya, ketika APBD kabupaten meningkat tidak diikuti oleh peningkatan persentase alokasi bidang pendidikan. Berbeda dengan APBD Kota Yogyakarta, Kulonprogo, dan Sleman, pada saat APBD meningkat, diikuti oleh peningkatan persentase alokasi bidang pendidikan. Melalui UUD 1945 dan UU Sistem Pendidikan Nasional menetapkan setiap warga negara Indonesia wajib menyelesaikan pendidikan dasar 9 tahun dan biayanya ditanggung oleh Pemerintah. Kebijakan pelaksanaan program wajib belajar minimal untuk tingkat pendidikan dasar, selain untuk memenuhi tuntutan konstitusi, juga untuk memenuhi komitmen global, Millennium Development Goals (MDGs) yang menargetkan pada tahun 2015 semua negara telah mencapai APK (Angka Partisipasi Kasar) pendidikan dasar 100%. Wajar dikdas 9 tahun adalah prasyarat yang harus dipenuhi agar semua manusia Indonesia bisa menjadi pembelajar sepanjang hayat (Renstra Depdiknas Tahun 2010-2014). Beberapa kajian tentang pendidikan di bidang ekonomi pernah dilakukan. Hanushek (1986) dalam penelitiannya menyebutkan tentang publikasi yang dilakukan oleh The Coleman Report tahun 1966 yang menyatakan “There appears to be no strong or systematic relationship between school expenditures and student performance”. Hal ini akan memicu terjadinya perubahan perhatian kepada efisiensi sekolah. Hanushek (2005) menyebutkan bahwa sumber daya yang dimiliki sekolah seperti ukuran kelas, pengalaman mengajar guru, dan gaji guru, mempunyai pengaruh positif pada kinerja siswa. Analisis pada sumber daya
7
tersebut mengisyaratkan pentingnya tingkat sumber daya yang harus dimiliki. Namun, belum ada bukti yang menunjukkan bahwa kebijakan sumber daya sekolah yang diharapkan memiliki pengaruh yang signifikan pada outcome siswa. Lee dan Barro (2001) menyebutkan bahwa besaran alokasi anggaran pendidikan khususnya pada sekolah berpengaruh terhadap kualitas pendidikan. Berbeda dengan penelitian yang dilakukan oleh Hanushek (1986) dan Patron (2011) yang berkesimpulan bahwa tidak ada hubungan antara pengeluaran pendidikan dengan prestasi siswa. Hanushek (1986) menjelaskan bahwa peningkatan pengeluaran itu sendiri tidak meningkatkan pendidikan. Output pencapaian pendidikan tetap sama, sedangkan belanja untuk pendidikan meningkat secara dramatis, artinya sekolah tidak menggunakan uang dengan bijaksana. Patron (2011) menjelaskan bahwa kualitas pendidikan tidak hanya dipengaruhi oleh besarnya biaya pendidikan, tetapi juga dipengaruhi oleh kebijaksanaan negara tentang bagaimana pengelolaan investasi pendidikan menghasilkan return yang maksimal melalui kebijakan pendidikan yang efektif. Berdasarkan fakta dan fenomena tersebut
di atas, maka pemerintah
(khususnya pemerintah daerah) harus fokus pada kondisi pendidikan dan tidak hanya mengelola alokasi dana pendidikan, namun juga memantau efisiensi bidang pendidikan sebagai mediator dalam pertumbuhan perekonomian masyarakat. Dengan demikian, salah satu strategi yang dapat diterapkan adalah dengan melakukan evaluasi efisiensi terhadap kondisi pendidikan, sehingga indikator yang menjadi pendukung ketidakefisienan (inefficient) tersebut dapat diketahui.
8
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang tersebut di atas, maka pertanyaan penelitian
adalah:
Bagaimanakah efisiensi program pendidikan dasar (Wajib belajar 9
tahun) dan dampaknya terhadap outcome kualitas pendidikan dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta?
1.3
Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah mengevaluasi efisiensi program pendidikan
dasar (Wajib belajar 9 tahun) dan dampaknya terhadap outcome kualitas pendidikan dasar di Daerah Istimewa Yogyakarta.
1.4
Batasan Masalah Dalam penelitian ini, penulis menganggap perlu untuk melakukan
pembatasan masalah. Hal ini bertujuan agar penelitian dapat dilakukan dengan lebih terarah dan jelas sehingga dapat diperoleh hasil yang baik. Pembatasan masalah yang dilakukan oleh penulis adalah sebagai berikut: 1.
Penelitian ini dilakukan pada sekolah-sekolah negeri di lingkungan Daerah Istimewa Yogyakarta, dengan kategori sekolah negeri pada 4 (empat) Kabupaten dan 1 (satu) Kota.
2.
Informasi yang digunakan untuk mengukur efisiensi program pendidikan di D.I Yogyakarta berdasarkan beberapa data, yaitu data yang diperoleh dari sekolah dasar dan sekolah menengah pertama selama dua periode, yaitu tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. Informasi yang dikumpulkan yaitu
9
mengenai besarnya Bantuan Operasional Sekolah (BOS) yang diterima masing-masing sekolah dari BOSDA Provinsi dan Kabupaten/Kota, sedangkan BOS pusat tidak termasuk dalam kelompok ini. Data non keuangan seperti data jumlah jam siswa di sekolah, data jumlah rasio guru dan siswa, persentase tingkat pendidikan guru minimal S1, pengalaman guru mengajar 5 tahun keatas, rata-rata gaji guru, persentase jumlah buku per siswa, serta data rata-rata nilai Ujian Nasional (UN) selama tahun ajaran 2010/2011 dan 2011/2012. 3.
Metode pengolahan data yang digunakan adalah Data Envelopment Analysis (DEA) yang sering digunakan untuk menganalisis efisiensi suatu perusahaan dengan pendekatan non parametrik. Dengan demikian, penulis tidak mengikutsertakan atau membandingkan penelitian ini dengan metoda lain, seperti metoda Stochastic Frontier Approach (SFA) yang merupakan metode dengan pendekatan parametrik.
1.5
Manfaat Penelitian Penelitian ini dilakukan dengan harapan dapat memberikan beberapa
manfaat, yaitu: 1.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi peneliti dan akademisi dalam mengungkapkan
fenomena
dan
mempertajam
kajian
administrasi
pendidikan, khususnya mengenai sistem anggaran pendidikan dasar 9 tahun sebagai penguatan teori-teori untuk mengelola lembaga pendidikan.
10
2.
Hasil penelitian ini diharapkan berguna bagi pihak terkait dengan kebijakan penganggaran pendidikan, khususnya di D.I Yogyakarta yang dilihat dari tingkat efisiensi pada level pendidikan dasar.
3.
Hasil penelitian ini juga diharapkan dapat digunakan oleh pihak-pihak lain sebagai bahan referensi bagi penelitian lebih lanjut.
1.6
Sistematika Penulisan Secara garis besar tesis ini terdiri dari 5 (lima) bab dengan sistematika
penulisan adalah sebagai berikut: 1.
Bab pertama membahas mengenai latar belakang, pertanyaan penelitian, batasan masalah, tujuan penelitian, manfaat penelitian, dan sistematika penulisan.
2.
Bab kedua membahas mengenai teori-teori yang menjadi landasan penulisan pada bab-bab selanjutnya.
3.
Bab ketiga membahas mengenai metoda penelitian yang menjabarkan mengenai sampel, data, sumber data, definisi operasional dan pengukuran variabel, model penelitian, serta metoda pengolahan data.
4.
Bab keempat membahas mengenai hasil pengolahan data dan analisis atas hasil pengolahan data tersebut.
5.
Bab kelima membahas mengenai simpulan, keterbatasan, dan saran untuk penelitian selanjutnya.
11