BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Relasi antara profesi Public Relations (Humas)1 dengan wartawan kerap digambarkan sebagai relasi profesi yang kurang harmonis. Ketidakharmonisan ini bisa dilihat dari berbagai komentar yang terlontar dari kedua belah pihak seperti yang pernah peneliti dengar dan jadikan catatan selama bertugas di Bagian Humas UGM. Di satu sisi, Public Relations kerap mengeluhkan seperti “mengapa pers selalu senang dengan berita yang sensasional”, “wartawan sering memlintir pernyataan saya”, atau “kata PR, saya tidak pernah mengatakan hal itu”. Di sisi lain, pers kerap berkilah dengan ungkapan “institusi itu tidak pernah mengatakan yang benar”, “kami sulit mendapatkan informasi” atau “kami tidak bisa mendapatkan nara sumber yang tepat. Bahkan sering pula muncul keluhan “kami dihalang-halangi untuk bertemu dengan pimpinan lembaga”, juga “kami sering mendapatkan celaan dan omelan dari praktisi PR”. Membangun hubungan baik dengan media bagi kebanyakan praktisi PR kerap diejawantahkan dengan munculnya pemberitaan positif tentang institusi yang dikelola oleh PR. Tak hanya itu, besarnya halaman pemberitaan juga dipandang menjadi keberhasilan PR. Hubungan baik juga diidentikkan dengan timbal balik yang diberikan oleh media dengan memberikan letak strategis pada kolom utama pemberitaan terkait institusi yang bersangkutan dalam sebuah media massa juga 1
Dalam tesis ini, penulis secara bergantian akan menyebut Public Relations dengan Humas atau sebaliknya.
1
selalu menjadi target sasaran PR. Intinya, Departemen Humas meyakini bahwa menjalin relasi yang baik dengan media bertujuan untuk mendapatkan publikasi atau pemberitaan yang positif dan strategis. Berbagai cara dan strategi sering dilakukan oleh Departemen Humas untuk menjalin hubungan dengan media massa, mulai dari mengumpulkan wartawan, kemudian mewadahinya dalam sebuah forum wartawan hingga merancang berbagai program. Universitas Gadjah Mada (UGM) dianggap sebagai pioner dalam melakukan media relations. Forum yang diberi nama FORTAKGAMA (Forum Wartawan Gadjah Mada) dirintis oleh mantan Rektor UGM, almarhum Prof. Koesnadi Hardjosoemantri sejak tahun 1986.2 Langkah ini akhirnya juga diikuti oleh Perguruan Tinggi lainnya. Universitas Negeri Yogyakarta membentuk komunitas wartawan UNY dengan sebutan Forum Media. Porsi alokasi anggaran yang disiapkan dalam Rancangan Anggaran Tahunan (ART) lembaga/institusi untuk media relations juga diperbesar. Dari ketiga Perguruan Tinggi Negeri yang diteliti beberapa diantaranya memiliki alokasi khusus untuk program media relations, meskipun penamaan pos anggarannya berbeda di masing-masing Perguruan Tinggi. Ada pula yang menyusun program dengan menyelenggarakan gathering maupun press tour untuk membina hubungan baik. Universitas Gadjah Mada melakukan ramah tamah sebagai forum silaturahmi dengan wartawan setiap tahun pada masa menjelang hari raya seperti acara “Buka
2
Tujuan dibentuknya FORTAKGAMA (Forum Wartawan Kampus Universitas Gadjah Mada) pada tanggal 19 Oktober 1986 untuk memungkinkan interaksi positif antara wartawan yang meliput kegiatan UGM dengan sivitas akademik UGM, Memorandum Akhir Jabatan Rektor Masa Bakti Tahun 1986-1990, Rektor/Ketua Senat Masa Bakti Tahun 1986-1990.
2
Puasa Bersama”. Gathering Buka Puasa Bersama di UGM biasanya diselenggarakan dalam dua tahap. Tahap pertama, gathering antara pemimpin perusahaan media atau pemimpin redaksi dengan pimpinan universitas. Tahap kedua, gathering antara awak media/wartawan bersama semua staf humas. UGM menyediakan berbagai fasilitas bagi wartawan seperti press room yang dilengkapi dengan komputer dan akses internet. Demikian pula kudapan yang sengaja disiapkan agar para wartawan merasa nyaman. Sedangkan UNY dan UIN Sunan Kalijaga, press room dibuat menyatu dengan ruang tamu kantor humas. Semua bertujuan untuk mendukung kerja wartawan dan membuat wartawan semakin betah. Adapula karena orientasi Departemen Humas pada pemberitaan, maka setiap harinya Departemen Humas akan menjejali para wartawan dengan informasi agenda kegiatan yang berlangsung di Perguruan Tinggi yang bersangkutan setiap harinya. Bisa juga dengan rajin mengumpulkan kontak wartawan media massa atau aktif menyelenggarakan press conference terkait hasil penelitian, prestasi mahasiswa maupun dosen, atau isu-isu lainnya yang sedang berkembang, maupun gencar mengirimkan press release ke kontak semua media. Bahkan, beberapa universitas dengan anggaran lebih selalu menyiapkan biaya transportasi bagi media yang melakukan peliputan di institusinya. Humas UGM setiap hari menginformasikan agenda kegiatan yang berlangsung di UGM melalui sms gateway (sms broadcast) atau melalui blackberry messenger (BBM). Agenda kegiatan yang diinfokan oleh Humas UGM ini juga sekaligus sebagai bahan peliputan yang nantinya akan diramu
3
menjadi press relase yang siap saji menjadi berita (press claar). Release siap saji inilah yang setiap harinya dikirimkan ke media massa melalui email ke semua anggota Fortakgama. Lain halnya dengan UNY dan UIN yang menginformasikan agenda institusinya hanya jika informasi atau kegiatan yang diselenggarakan memang perlu diliput dan memiliki nilai berita. Biaya sebagai bentuk keramahtamahan kepada media massa ini sudah menjadi anggaran rutin yang harus dialokasikan di Rancangan Anggaran Tahunan (RAT) Departemen Humas. Ketua Aliansi Jurnalistik Indonesia Perwakilan Yogyakarta dalam wawancara informal dengan peneliti mengatakan bahwa pemandangan pemberian pesangon pada saat peliputan sudah menjadi budaya yang dilakukan oleh Departemen Humas Perguruan Tinggi di DIY. Realita tersebut wujudnya bisa beraneka ragam di lapangan, mulai dari pemberian uang transportasi saat liputan, fasilitas akomodasi, tiket perjalanan, juga traktiran makan, dan banyak ragam lainnya. Cara pemberiannya pun sangat bervarasi, seperti amplop, rekening, undian berhadiah, piknik bersama, gathering, THR dan sebagainya. Semuanya itu menjadi budaya yang harus diprogramkan untuk tetap menjaga hubungan baik dengan media massa. Selain dari sisi program, sikap dan cara Praktisi Humas dalam melakukan interaksi dan memperlakukan wartawan pun akan menentukan hubungan tersebut. Wawancara informal peneliti dengan beberapa wartawan Fortakgama, wartawan sering mengeluhkan sikap Praktisi Humas yang terlalu kaku kepada media saat peliputan dengan melarang media untuk mewawacari pimpinannya, atau melarang media untuk memotret pada saat kegiatan tertentu, atau bersikap tidak adil dengan
4
memperlakukan salah satu media dengan sangat baik, sedangkan dengan media lain bersikap tidak ramah. Wartawan juga kerap mengeluhkan Praktisi Humas yang menanyakan “akan terbit kapan?” seusai liputan. Atau menanyakan “beritanya pasti keluarkan?” atau “beritanya akan keluar di halaman berapa?” Tentunya masih banyak lagi, sikap, perilaku, atau hal-hal sederhana yang tidak disadari oleh Praktisi Humas yang justru membuat interaksi Praktisi Humas dengan awak media tidak berjalan dengan mulus. Di sisi lain, Praktisi Humas juga dihadapkan pada dilema profesi ketika harus melaporkan keberhasilan kerjanya kepada Pimpinan. Dilema ini muncul seperti ketika Praktisi Humas harus mempertanggungjawabkan hasil publikasi dari proses peliputan media atau press conference. Sering kali yang terjadi, banyak media yang hadir meliput, namun berita yang keluar pada media massa esok harinya hanya sedikit atau bahkan tidak ada sama sekali berita yang keluar di media massa. Sering pula, Praktisi Humas dijengkelkan dengan hasil pemberitaan yang dibuat oleh wartawan yang tidak sesuai dengan pertanyaan yang disampaikan oleh pimpinan sehingga menimbulkan pemberitaan yang bias. Dalam posisi seperti ini tak jarang Praktisi Humas menjadi ajang kemarahan pimpinan. Dilema lain yang muncul adalah ketika fenomena ini menimbulkan dampak kesenjangan peliputan atau kehadiran media massa bagi satu Perguruan Tinggi dengan Perguruan Tinggi lainnnya. Menurut pengamatan peneliti, jika suatu acara diselenggarakan secara bersamaan di Perguruan Tinggi yang berbeda, maka di Perguruan Tinggi yang tidak pernah menyediakan amplop untuk uang transportasi, kehadiran wartawan akan terasa sepi. Persentase kehadiran dari 25
5
media yang diundang, diperkirakan hadir hanya 20%. Namun, fenomena ini juga tidak bisa dipukul rata karena pada sisi lain jika isu yang digulirkan dalam press conference atau peliputan tersebut menarik, kehadiran media massa pun bisa diperhitungkan. Sering pula terjadi, meskipun sudah melakukan berbagai cara, tak jarang kegiatan atau informasi yang disampaikan di media belum tentu dimuat oleh media yang meliput atau menerbitkanya di esok hari. Dilema lainnya adalah ketika Praktisi Humas mendapatkan teror dari pihak lain berupa sms yang menyebutkan bahwa aktivitas media relations yang dilakukan oleh Departemen Humas di Perguruan Tinggi tertentu tidak profesional karena memberikan hadiah. Dan secara sepihak, sms tersebut menyalahkan Praktisi Humas sebagai pihak yang memberikan hadiah tersebut. Belum lagi ketika Praktisi Humas harus menghadapi dua pihak yaitu awak media dan pimpinan organisasi. Di satu sisi, organisasi ingin acaranya berlangsung meriah dihadiri dan diliput media, di satu sisi acara kurang menarik bagi media dan tidak memiliki nilai berita, sehingga untuk menarik minat wartawan, Departemen Humas harus menyediakan uang transportasi atau souvenir pada saat peliputan. Bahkan supaya ini menarik perhatian media dari awal, pada undangan pun ditulis dengan judul “penting” yang bagi kalangan media hal ini sudah menjadi konsesus bersama yang memiliki makna bahwa peliputan tersebut disediakan uang transportasi bagi wartawan. Tekanan batin kerap terjadi ketika Petugas Humas harus menyerahkan amplop satu persatu kepada awak media seperti yang telah disediakan oleh Departemen Humas.
6
Dari berbagai fenomena yang terjadi di atas dapat dilihat bahwa menjalin relasi yang baik dengan media bukanlah hal yang mudah. Peneliti merefleksikan bahwa dilema dalam aktivitas media relations seperti pemberian amplop (entah dalam wujud uang transportasi, rekreasi gratis, maupun voucher tunjangan hari raya dan kontraprestasi lainnya) sering dianggap oleh Praktisi Humas sebagai satu-satunya cara untuk menjalin hubungan baik dengan media. UGM dipandang sebagai Perguruan Tinggi yang cukup matang dalam melakukan media relations. Sehingga Perguruan Tinggi ini kerap dijadikan rujukan bagi universitas lain untuk belajar kehumasan, terutama terkait aktivitas media relations. Demikian pula dengan UNY yang dipandang sudah melakukan aktivitas kehumasan dan media relations dengan baik. Sedangkan UIN Sunan Kalijaga, peneliti memandang bahwa Perguruan Tinggi ini juga memiliki strategi yang unik dalam melakukan aktivitas media relations. Dari berbagai gambaran terkait pola relasi antara Praktisi Humas dengan media seperti yang peneliti deskripsikan di atas, kita dapat melihat bahwa terdapat masalah yang muncul dalam hubungan keduanya yang kerap kali menimbulkan dilema etis. Dilema etis inilah yang nantinya akan mempengaruhi profesionalisme Praktisi Humas maupun awak media dalam menjalankan profesinya. Dan dilema etis ini hanya bisa dipecahkan melalui profesionalisme. Dengan bertindak secara profesional, Praktisi Humas akan mampu menjalankan tugas sesuai dengan standar profesi dan aturan yang berlaku namun juga tetap humanis, kreatif, secara tidak langsung juga telah bersikap menghargai profesi mitranya yaitu awak media.
7
Dalam penelitian ini, peneliti akan melihat profesionalisme para Praktisi Humas dalam mengelola hubungan dengan media, serta menggunakan pendekatan-pendekatan
dari
berbagai
karakteristik
profesionalisme untuk
memecahkan permasalahan dilema etis antara Praktisi Humas dengan media, sehingga keduanya memiliki relasi yang harmonis. B. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, akar permasalahan yang dapat dirumuskan dalam penelitian ini adalah “Bagaimanakah Praktisi dan Departemen Humas di Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta, dan Universitas Negeri Islam Sunan Kalijaga melakukan media relations secara profesional pada kurun waktu Januari 2012 - Juli 2014?” C. Tujuan Penelitian Tujuan dari penelitian ini adalah untuk menganalisis profesionalisme Petugas Humas serta mencari jawaban atas pertanyaan penelitian secara lengkap dan mendalam terkait aktivitas media relations sebagai upaya menjalin relasi yang baik dengan media yang dilakukan oleh Departemen Humas di Universitas Gadjah Mada, Universitas Negeri Yogyakarta dan Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. D. Manfaat Penelitian Dari tujuan penelitian di atas, manfaat yang diharapkan dari hasil penelitian ini adalah: 1.
Memberikan wawasan kepada peneliti untuk mengetahui profesionalisme Praktisi Humas dalam mengelola hubungan dengan media.
8
2.
Memberikan wawasan kepada peneliti model dan strategi media relations yang efektif dan bebas dari dugaan suap sebagai perwujudan dari profesionalisme tersebut.
3.
Dapat menjadi referensi dalam memberikan masukan kepada pimpinan terkait upaya dan strategi menjalin relasi dengan media secara optimal dan bebas suap dalam membangun relasi dengan media.
4.
Memberikan gambaran bagi para Praktisi Humas maupun Departemen Humas terkait praktik-praktik media relations di Perguruan Tinggi terutama di Yogyakarta sehingga mampu menyusun program media relations yang baik dan mampu merancang media sendiri serta menciptakan program media literacy.
E. Subjek Penelitian Subjek penelitian ini berfokus pada Departemen Humas yang diwakili oleh Praktisi Humas di tiga Perguruan Tinggi Negeri yang ada di Yogyakarta. Sampel yang digunakan dalam penelitian ini adalah Bidang Humas Universitas Gadjah Mada, Bagian Humas dan Promosi Universitas Negeri Yogyakarta, dan Sub Bagian Humas Universitas Islam Negeri Sunan Kalijaga. Alasan dan pertimbangan peneliti memilih ketiga Perguruan Tinggi Negeri tersebut karena menurut penilaian peneliti, ketiganya sudah dan tengah melakukan aktivitas media relations yang cukup gencar dan saling berlomba-lamba dalam memperoleh pemberitaan di media massa. Sehingga teknik pengambilan sampel penelitian ini menggunakan purposive sampling yang dipadukan dengan snowball sampling bukan random sampling. Purposive sampling merupakan teknik pengambilan
9
sampel dari sumber data dengan pertimbangan tertentu. Sedangkan snowballing sampling teknik pengambilan data yang mula-mula sedikit, lama-lama menjadi besar. (Sugiyono, 2012:219).
Sampel ditentukan pada saat peneliti mulai
memasuki lapangan dan selama penelitian berlangsung (emergent sampling design). Peneliti memilih orang tertentu yang dipertimbangkan mampu memberikan data yang diperlukan. Selanjutnya berdasarkan data atau informasi yang diperolah dari sampel sebelumnya tersebut, peneliti dapat menetapkan sampel lainnya yang dipertimbangkan akan memberikan data lengkap. Peneliti mengakui dari jumlah sampel tersebut, peneliti tidak bisa melakukan pembenaran secara menyeluruh. Namun, sampel yang peneliti pilih dapat mengungkapkan dan memberikan gambaran terkait profesionalisme dalam praktik media relations yang dilakukan oleh ketiga Perguruan Tinggi negeri tersebut. Selain pimpinan Departemen Humas dan Praktisi Public Relations, untuk memperdalam penelitian ini, peneliti juga melakukan wawancara dengan pelaku media yang peneliti pilih dari media lokal dan media nasional yang direpresentasikan oleh media cetak, elektronik dan online. Selain itu, peneliti juga akan melakukan wawancara dengan pengamat dan pakar komunikasi, pakar Public Relations dan perwakilan dari organisasi profesi baik Organisasi Profesi Public Relations maupun Organisasi Profesi Jurnaslistik seperti Persatuan Wartawan Indonesia dan Aliansi Jurnalistik Indonesia. F. Kerangka Pemikiran 1.
Arti Penting Media Relations dalam Fungsi Humas
10
Siapa yang menguasi media, dialah yang akan menang. Ungkapan ini bisa jadi benar, jika menilik teori hubungan sosial yang dikaitkan dengan berbagai tren aktivitas
kehumasan
di
berbagai
organisasi.
Suprapto
dalam
Elvinaro
mengungkapkan hubungan sosial informal merupakan salah satu variabel yang turut menentukan besarnya pengaruh media. Individu-individu yang memiliki hubungan dengan media massa inilah yang disebut dengan pemuka pendapat (opinion leader) (2010:146). Mereka adalah pihak yang memainkan peran dalam meneruskan dan menafsirkan informasi yang mereka terima dari media massa. Melalui teori ini, peneliti menafsirkan bahwa organisasi yang mampu menjadi opinion leader adalah organisasi yang mampu menarik pengaruh dan mempengaruhi media massa. Inilah yang melatarbelakangi Praktisi Humas di suatu organisasi perlu menjalin komunikasi dengan media massa. Oleh karena itu, peneliti akan mengawali kerangka teori ini dengan mengulas pentingya peran media relations bagi public relations sebelum peneliti memaparkan lebih dalam profesionalisme Praktisi Public Relations dalam konteks ini. Meskipun peran humas sangat luas, namun kerap Departemen Humas di suatu organisasi mengidentikkan dan memfokuskan peran kehumasannya hanya pada publikasi. Bagi organisasi, jika nama institusi mereka disebut-sebut di media massa
karena
prestasi,
hasil
penelitian,
atau
aktivitas
lainnya
yang
diselenggarakan di institusi itu, maka hal itu adalah prestasi bagi petugas atau Departemen Humas. Tak heran, jika pada akhirnya organisasi atau institusi akan bekerja keras menyusun strategi untuk mengelola hubungan yang baik dengan media.
11
Media relations merupakan salah satu strategi yang memiliki porsi paling tinggi yang digunakan oleh PR dalam mengkomunikasikan dan mengembangkan hubungan dengan publiknya yaitu media. Paul Argenti, professor komunikasi manajemen dan korporat di Tuck School of Business, Dartmouth College juga mengganggap pentingya peran media sebagai penyebar informasi kepada para konstituen perusahaan termasuk publik. Argenti menilai, media juga merupakan pihak yang memiliki pengaruh dalam membentuk citra perusahaan. Menurutnya, salah satu bidang terpenting dalam fungsi komunikasi korporasi adalah Departemen Hubungan Media (Argenti, 2010:177). Patricia Parson memprediksi bahwa 40-50% atau lebih berita yang dilaporkan oleh media berasal dari departemen public relations dari sebuah lembaga atau institusi pemerintahan, bisnis maupun organisasi nirlaba (Parson, 2007:90). Di sini mengindikasikan bahwa hubungan antara PR dan Media sebagai influencer public sangatlah singinifkan pengaruhnya, meskipun hubungan ini kerap kali memunculkan dilema etis yang tak terpisahkan diantara keduanya. Dan dilema etis inilah yang nantinya menentukan apakah Petugas Humas atau Departemen Kehumasan tersebut bertindak secara profesional atau tidak. Media sebagai alat atau sarana dalam menyampaikan pesan dari komunikator ke khalayak dipercaya sangat ampuh dalam memberikan pengaruh yang kuat dalam membentuk pola pikir dan opini masyarakat, sehingga segala sesuatu yang dianggap penting oleh media, akan dianggap penting pula oleh masyarakat. Maka tak heran, jika Petugas Humas dituntut untuk memiliki hubungan yang harmonis
12
dengan media karena posisi media tersebut yang bertindak sebagai jembatan bagi PR dalam menyampaikan informasi atau kebijakan institusinya ke publik. Organisasi yang memiliki hubungan baik dengan media pasti akan memiliki pengaruh yang berbeda dengan organisasi yang tidak memiliki hubungan baik dengan media. Perbedaanya terletak pada porsi pemberitaan yang tidak berimbang dan tidak adanya konfirmasi terlebih dahulu oleh pekerja media terhadap beritaberita yang akan dimuat. Media relations menjadi penting bagi Praktisi Humas karena berbagai alasan (Novi, 2009:106) yaitu: 1.
Untuk mendapatkan pengakuan dan dukungan dari publik eksternal sebagai pihak ketiga (third party endorsement) terhadap seluruh kebijakan institusi.
2.
Media sebagai pihak yang turut memonitoring organisasi dengan memantau dan aktif mencari tahu visi, misi, tujuan dan semua aktivitas yang dilakukan oleh institusi.
3.
Media merupakan ujung tombak bagi Praktisi Humas dalam menjalin komunikasi dan hubungan dengan publiknya terutama untuk publik yang sudah melek media seperti saat ini, sehingga tentunya aktivitas public relations sulit dilepaskan dari media. Bland, dkk menjelaskan tujuan sebenarnya dari hubungan pers adalah untuk
menaikan reputasi perusahaan serta produknya dan untuk mempengaruhi serta memberitahukan kepada khalayak sasarannya (2001:52). Bland, dkk bahkan menyebutkan bahwa banyak kalangan bisnis dan kegiatan-kegiatan lain menyukai ide hubungan pers karena dapat memberikan fasilitas publisitas gratis.
13
Karena arti penting dari tujuannya ini, maka perlu bagi Praktisi Humas mengenal berbagai macam praktik-praktik media relations yang kerap dirancang dan dilakukan oleh Departemen Humas untuk menjalin hubungan baik dengan media (Novi Kurnia, 2009:108-109) antara lain: a.
Kontak Personal Kontak media ini memungkinkan Praktisi Humas melakukan hubungan informal dengan para pekerja media yang bertujuan untuk mempercepat proses komunikasi entah melalui telepon, sms, maupun email.
b.
Siaran Pers Yaitu suatu penyampaian informasi yang dianggap penting oleh institusi kepada media untuk diinformasikan kepada masyarakat luas melalui media. Bisanya siaran pers diberikan sesuai dengan jenis medianya. Untuk media cetak, siaran pers akan dibuat secara tertulis. Sedangkan untuk media penyiaran, tulisan berbentuk suara (audio release) untuk pengelola media radio maupun audio visual (video release) untuk pengelola media televisi.
c.
Konferensi Pers Pertemuan dengan wartawan media yang dirancang untuk memperoleh publisitas terkait info penting institusi.
d.
Kunjungan Media (Media Visit) Program yang dilakukan oleh Praktisi Humas untuk mengajak media mengenali secara dekat lokasi, prasarana kerja, fasilitas, cara kerja, dan proses kerja atau produksi yang berlangsung di insitusi yang bersangkutan. Media visit juga bisa dilakukan sebaliknya yaitu pimpinan korporasi yang
14
berkunjung ke perusahaan media untuk melihat proses kerja media dan berinteraksi dengan wartawan dan pengelola media dalam memproduksi dan menyajikan berita. e.
Media Preview Program menyajikan informasi terbaru mengenai institusi dalam bentuk audio visual untuk memberikan gambaran yang lebih hidup kepada media.
f.
Media Tour Program yang dilakukan Praktisi Humas untuk menempatkan pimpinan institusi dalam agenda wawancara dengan berbagai media cetak yang dilakukan di berbagai kota.
g.
Media Gathering Suatu acara yang dirancang secara informal oleh Praktisi Humas untuk menciptakan hubungan baik antara Praktisi Humas dengan wartawan maupun antar wartawan. Media gathering ini dapat berupa jamuan makan bersama.
h.
Press Room Penyediaan
sarana
dan
prasarana
bagi
wartawan
dengan
tujuan
mempermudah awak media memperoleh informasi tentang institusi tersebut dengan cepat. i.
Media Kits Informasi kepada media berupa lembaran foto, siaran pers, biografi, profil institusi maupun informasi lainnya. Biasanya diberikan pada saat acara tertentu seperti peringatan ulang tahun institusi maupun saat konferensi pers.
j.
Clip Sheets (Lembaran Guntingan)
15
Siaran pers disertai ilustrasi yang diproduksi dalam format berita di surat kabar untuk menunjukkan proses berita dan gambar yang akan diproduksi. k.
Interview Query Program wawancara dengan pimpinan institusi yang dirancang oleh Praktisi Humas untuk memberikan informasi berkaitan kepentingan publik maupun kepentingan institusi yang bersangkutan. Meskipun begitu, Argenti justru memiliki pandangan berbeda dalam melihat
pentingnya media relations. Menurut Argenti, media relations gaya lama, yang masih berkutat dan mengandalkan strategi mengirimkan press release (baik rilis berita maupun video) kepada media massa dianggap sudah tidak terlalu efektif. Menurut Argenti, media relations gaya lama ini dinilai tidak begitu valid mengingat banyaknya kuantitas rilis yang diterima oleh para reporter setiap harinya dan batasan waktu yang mereka miliki untuk bekerja, sehingga tidak semua rilis akan lolos seleksi dan dimuat. Dari hasil surve yang dilakukannya kepada para reporter dan pemimpin redaksi media massa di Amerika, Argenti mendapatkan jawaban Martha Groves dari Los Angles Time yang menyatakan bahwa dari sekian banyak materi sumber berita yang masuk ke kantor redaksi, hanya 10% saja yang dimuat oleh perusahaan media setiap harinya, apalagi dengan muculnya jasa media relations yang menyediakan jasa eRelease dengan target lebih dari 30.000 perusahaan media. Dalam hal ini, Argenti menilai bahwa usaha dari Praktisi Humas untuk melihat ukuran sukses hubungan media dalam bentuk “jumlah tinta” kerap menimbulkan permasalahan tersendiri karena meskipun banyak artikel yang ditulis dan dipublikasikan tentang perusahaan,
16
namun sering kali publikasi tersebut tidak memiliki nilai yang mampu membantu perusahaan mencapai tujuan komunikasi. (Argenti: 2010, 181-182), Menurutnya, meskipun sebagian besar ukuran komunikasi selama ini lebih difokuskan pada kuantitas atau efisiensi output komunikasi seperti jumlah liputan yang dihasilkan atau perubahan sikap audiens, namun dalam fungsi komunikasi perlu dikembangkan pendekatan atau cara baru untuk mengukur nilai tambah dalam proses komunikasi dari hasil liputan tadi. Usulan Argenti adalah perlunya metode cerita yang digunakan untuk mendapatkan daya tarik massa dalam setiap rilis yang dibuatnya. Cerita dalam rilis tersebut pun harus selektif. Selain angel cerita yang perlu dikemas, Praktisi Humas juga perlu mencari tahu profil jurnalis yang tepat untuk cerita tersebut. Selanjutnya Praktisi Humas dapat meletakkan cerita menarik tentang perusahaan tersebut ke jaringan perusahaan klien. Menurut Argenti, sebaiknya satu sudut pandang cerita hanya bisa dibagikan untuk satu media saja. Sedangkan media lainnya harus mengambil sudup pandang cerita yang lain. Strategi lain yang disarankan oleh Argenti (2010, 185-186) adalah perlunya melakukan riset untuk mentargetkan media. Melalui riset ini, perusahaan dapat terhindar dari memberikan informasi yang tidak menarik kepada perusahaan media. Riset media di sini adalah riset terhadap karakter reporter/awak media yang meliputi teknik penulisan atau wawancara atau editing yang digunakan oleh awak media tersebut, gaya awak media dalam mengemas informasi, misalnya menggunakan tabel-tabel atau grafik-grafik sebagai bagian dari cerita. Selain itu, Hraktisi humas juga perlu melakukan analisis jenis media untuk setiap panggilan
17
atau permintaan liputan atau wawancara. Pendapatnya, perusahaan dapat memperkuat hubungan dengan media melalui cara Praktisi Humas dalam perusahaan tersebut mengatasi permintaan-permintaan informasi. Praktisi Humas yang menerima panggilan permintaan ini harus mendapatkan informasi sebanyakbanyaknya sebelum menentukan pihak yang dapat memberikan inforamsi, namun juga harus bersikap hati-hati untuk tidak sebaliknya memberikan informasi yang belum menjadi pengetahuan publik. Argenti mensyaratkan bahwa seorang ahli hubungan media harus mampu berkomunikasi dengan jujur mengenai kemungkinan mengatur sebuah wawancara atau memenuhi permintaan lainnya. Dari berbagai uraian alasan dan tujuan perlunya melakukan hubungan dengan media massa, tentunya setiap institusi atau lembaga akan berlomba-lomba dalam menjalankan aktivitas media relations untuk memperolah dukungan dari pihak ketiga yaitu media massa serta untuk meningkatkan citra institusi. Namun, pertanyaannya apakah berbagai aktivitas yang dijalankan oleh Praktisi Humas tersebut untuk memperoleh dukungan media dilakukan secara profesional? Hal ini yang selanjutnya akan peneliti paparan dalam sub bahasan berikutnya yaitu terkait arti penting penting profesionalisme bagi Praktisi Humas sebagai jembatan untuk menuju hubungan media yang baik. 2.
Profesionalisme dalam Media Relations Jika ditelaah dari asal katanya, profesionalisme berasal dari kata profesi yang
dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia berarti bidang pekerjaan yang dilandasi pendidikan keahlian (keterampilan) tertentu. Sedangkan definisi dari profesional adalah: 1). berkaitan dengan profesi; 2). memerlukan kepandaian khusus; 3).
18
mengharuskan pembayaran untuk melakukannya. Dan profesionalisme sendiri menurut KBBI memiliki arti yaitu mutu, kualitas, dan tindak tanduk yang merupakan ciri suatu profesi atau orang yang profesional. William P. Ehling berpendapat bahwa profesionalisme Public Relations sangat berhubungan erat dan ditentukan oleh proses pendidikan yang dijalani dan didalami oleh Praktisi Public Relations mengindikasikan bahwa profesionalisme merupakan suatu upaya yang harus dilakukan secara terus menerus dan berkelanjutan, di mana pendidikan dan pengetahuan yang diraih akan membentuk keahlian tertentu yang dapat diaplikasikan dalam menyelesaikan setiap tugas dan menjalankan tanggung jawab peran Public Relations terhadap publik. Demikian Ehling menyebutnya yaitu: “The relationship between public relations education and public relations professionalism appears simple and straightforward, at first glance. This relationship, it may be argued, is manifested through education, which should be viewed as a primary means for providing the necessary knowledge and skills needed to fulfill the task and responsibility of any public relations activities”. Rosady Roslan, pakar public relations menilai bahwa keberhasilan seorang Petugas Humas dalam menjalankan aktivitas kehumasannya dapat ditentukan dari empat hal pokok yaitu profesionalisme, etika (kode etik), moral dan aspek-aspek hukum yang menjadi acuan dalam bertindak. Seseorang yang disebut profesional adalah seseorang yang melakukan pekerjaan purna waktu dengan keahlian tinggi dan memiliki otonomi terhadap profesi yang disandangnya dan profesi tersebut merupakan sumber penghasilannya. Profesional berarti memiliki skill atau pengetahuan tinggi yang sifatnya unik yang tidak dimiliki oleh orang lain. Seseorang yang profesional memiliki
19
tanggung jawab terhadap profesi tersebut serta memiliki kode etik yang berfungsi mengatur dan menertibkan, bersikap solider dan otonom serta memiliki jiwa pengabdian terhadap profesi tersebut. (Roslan, 1995:30). Ciri umum profesional menurut Rosady Roslan yaitu: (1). memiliki skill atau pengetahuan tinggi yang tidak dimiliki orang lain yang diperolehnya melalui pendidikan dan pelatihan serta pengalaman selama bertahun-tahun; (2). mempunyai tanggung jawab terhadap profesi yang disandangnya dan menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan norma yang berlaku; (3). menjalankan tugas dan fungsinya sesuai dengan kode etik (code of conduct). Kode etik di sini mengacu pada subyeknya yaitu Praktisi Humas sebagai pelaku yang menyandang profesi. Kode etik juga tertuju sebagai proses dalam pengambilan keputusan dan penentu dari tanggung jawab terhadap hasil kerjanya (prestasi); (4). memiliki solidarita dalam menjalankan profesinya; (5). bersikap otonom yaitu mampu mengelola dan memanajemen suatu organisasi, memiliki program kerja yang jelas dan dapat dipercaya serta berdiri sendiri dan tidak tergantung pada pihak lain dalam menjalankan tugasnya; (6). Dan mempunyai jiwa pengabdian. Cutlip, Center dan Broom menilai bahwa usaha untuk meraih status profesional mungkin oleh beberapa pihak dianggap egois, namun profesionalisme yang baik akan bermanfaat bagi masyarakat secara keseluruhan (Cutlip,dkk, 2006:145). Menurutnya, dibutuhkan kriteria untuk menilai kemajuan praktik Public Relations kontemporer dalam meraih status profesional. Kriteria utama yang disyaratkan oleh Cutlip, Center dan Broom adalah kewajiban praktik etis. Selain itu kriteria lain dari status profesional menurut Cutlip, Center dan Broom
20
antara lain: (1) memiliki pendidikan khusus untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian yang unik berdasarkan teori yang dikembangkan melalui riset; (2) adanya pengakuan oleh komunitas akan layanan yang unik dan penting; serta (3) memiliki otonomi dan tanggung jawab personal terhadap praktik kehumasan; dan (4) diatur kode etik dan standar kerja yang diberlakukan oleh asosiasi profesi. Menurut Cutlip, Center dan Broom, status profesional seorang PR dapat diraih jika praktisi PR memiliki program pendidikan yang spesial, memiliki kerangka
pengetahuan,
mendapatkan
pengakuan
komunitas,
memiliki
akuntanbilitas pribadi dan komitmen untuk mentaati kode etik yang melindungi kepentingan umum serta mampu memberikan tanggung jawab sosial. Hal senada juga disampaikan Praktisi Public Relations terkemuka dari Ball State University (Cutlip, Center & Broom, 2006:145) yang menyatakan: “Public Relations tidak akan meraih status profesional selama individu yang masuk ke bidang ini terjun tanpa melakukan studi yang ketat di bidang ini”. Ini berarti pendidikan menjadi standar dan keharusan untuk meraih profesi ini. Selain itu, praktisi tersebut juga harus melewati berbagai masa percobaan untuk memahami nilai, tujuan, peran dan fungsi dari praktis kehumasan. Cutlip, Center & Broom mengusulkan perlunya pendidikan bagi profesi kehumasan yang diselenggarakan di tingkat akademi. Usulannya yaitu perlunya pendidikan kehumasan di tingkat program sarjana maupun pendidikan berkelanjutan. Penelitian komprehensif pertama kalinya terkait hal ini juga pernah dilakukan oleh Public Relations Society of America (PRSA) di tahun 1956. Hasilnya, dalam satu dekade Perguruan Tinggi yang menawarkan mata kuliah PR semakin bertambah. Commission on Public Relations (Cutlip, Center & Broom,
21
2006:146) juga merekomendasikan agar pendidikan PR bagi sarjana memuat bidang studi yaitu: (1). Teori, Asal Usul, Prinsip dan Praktik Profesional dalam Public Relations; (2). Etika PR dan Hukum; (3). Riset Public Relations, Pengukuran Public Relations dan Evaluasi Kerja; (4). Perencanaan dan Menajemen PR serta (5). Penulisan dan Produksi PR. Bidang studi PR yang direkomendasikan oleh Commssion on Public Relations Education tersebut perlu dilengkapi dan ditunjang dengan magang dan kerja praktik yang berfokus pada implementasi teknik public relations seperti teknik penulisan dan melakukan kampanye. Pada pendidikan tingkat lanjut, profesi ini mensyaratkan penguasaan teori dan keahlian terbaru. Tingkat ini dapat diraih melalui berbagai seminar pengembangan dan workshop profesional di bidang public relations. Melalui penambahan dan perbaharuan keahlian dan pengetahuan serta melaksanakan pelayanan publik, maka bidang PR akan semakin dekat pada status kemapanan profesi. Pendidikan tinggi profesional seperti dikatakan Cutlip, Center dan Broom juga harus didukung oleh sekumpulan teori dan pengetahuan yang diperoleh melalui riset. Sehingga perlu bagi seorang Praktisi Public Relations mengikuti perkembangan riset terbaru untuk memperluas kerangka pengetahuan tersebut. Selain itu, menurut Cutlip, Center dan Broom, status profesional ini juga dikukuhkan untuk mendapakan lisensi dan akreditasi. Lisensi dalam profesi ini diperlukan untuk melindungi baik pihak praktisi itu sendiri maupun masyarakat umum terhadap penyalahgunaan praktik public relations. Lisensi juga memberikan perlindungan legalitas praktik public relations secara hukum.
22
Sedangkan akreditasi diperlukan untuk memperkuat nilai dan pendidikan lanjutan, pengembangan profesi dan karir, serta kemampuan dalam melayani publik. Cutlip, Center dan Broom juga menilai perlunya organisasi profesi untuk menaikkan dan meningkatkan status dan komptensi public relations. Organisasi profesi ini memiliki pengaruh besar melalui publikasi, konferensi, seminar, program penghargaan, dan advokasi untuk praktik public relations. Menurutnya organisasi profesi ini dapat bersifat internasional, nasional, regional dan ada pula organisasi profesi yang dibentuk berdasarkan area praktik. Selain organisasi yang mengatur praktisi PR, persyaratan dasar profesi adalah ketaatan pada seperangkat norma profesional yang disebut dengan kode etik. Cutlip, Center dan Broom memandang bahwa banyak praktisi yang berusaha bertindak dengan kesadaran etis, namun ada pula yang tidak sedikit memandang kode etik hanya sebagai pemoles bahkan kerap dianggap sebagai halangan yang harus dihindari. Usaha untuk memajukan etika di bidang ini tercermin dalam sejumlah kode etik standar profesional untuk praktik PR. Profesi ini menuntut bahwa Praktisi Humas mampu menyelesaikan ujian kelayakan profesi yang disandangnya. Semakin ketat pelatihan yang dijalani dan semakin kompleks pengetahuannya, maka semakin tinggi status profesional Praktisi Humas tersebut. Ini berarti pendidikan menjadi standar dan keharusan untuk meraih profesi ini. Selain itu, praktisi tersebut juga harus melewati berbagai masa percobaan untuk memahami nilai, tujuan, peran dan fungsi dari praktis kehumasan. Keahlian dari pengetahuan dan keterampilan tersebut akan memunculkan uji kelayakan yang diakui dalam bentuk legalitas dan akreditasi
23
yang dapat menjadi pendorong dan berkembangnya status profesional dari para Praktisi Humas dan memunculkan pengakuan baik dari masyarakat sekitar maupun komunitas dan organisasi yang bersinggungan. Secara spesifik, Grunig dan Hunt mendefinisikan karakteristik profesional melalui pengembangan pengetahuan sejak tahun 1950 dan 1960. Grunig dan Hunt (1984) mengutip dan menguraikan 5 karakteristik pokok profesionalisme tersebut yaitu : (1). serangkaian nilai profesional, yang meliputi komitmen untuk melayani daripada keinginan untuk meraih keuntungan pribadi dan memenuhi kebutuhan sendiri (di sini berarti bahwa profesional itu bertindak melakukan yang benar daripada melakukan yang diinginkan); (2). merupakan keanggotaan suatu organisasi profesi; (3). kesetiaan terhadap kode etik (norma) profesi; (4). berhubungan dengan tradisi intelektual yaitu melakukan penelitian untuk pengembangan pengetahuan serta (5). memiliki kemampuan teknis yang diperoleh dalam periode waktu yang lama sebagai penentu pendidikan profesional. Menurut Patricia Parson, Asociate Profesor dan mantan Departemen of Public Relations di Mount Saint Vincent University di Halifax, Nova Scotia, Kanada mendifiniskan profesionalisme sebagai karakteristik orang-orang yang menjadi anggota dari apa yang disebut profesi. Dalam mendefinisikan profesionalisme yang dipinjamnya dari Asosiasi Public Relations yang terdiri dari Institute of Public Relations, The Canadian Public Relations Society dan Public Relations of America dalam sebuah situs Global Alliance for Public Relations and Communications Management yang mengumpulkan pandangan masyarakat tentang profesi Public Relations, Patcria Parson menyatakan bahwa profesi
24
dibedakan atas karakteristik khusus yang meliputi penguasaan keterampilan intelektual tertentu yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan, penerimaan profesi oleh masyarakat (bukan hanya oleh klien atau atasan), obyektivitas dan standar kinerja serta perilaku yang tinggi serta menempatkan etika secara tepat dalam hal batasan atau definisi sebuah profesi. (Parsons, 2004:9-10). Namun David Maister dalam bukunya True Profesionalism: The Courge of Care about Your People, Your Client, and Your Carrer memiliki pendapat lain tentang profesionalisme. Menurutnya, profesionalisme tidak hanya sebatas rasa hormat pada profesinya. Lebih dari itu, profesionalisme berarti melakukan yang benar. (Parsons, 2004:10). Menurutnya, “profesionalisme yang sebenarnya adalah perilaku, bukan berbagai kompetensi”. Artinya bahwa profesionalisme lebih menunjukkan pada kebanggan atas pekerjaan yang dilakukan, komitmen pada kualitas, dedikasi pada kepentingan klien dan keinginan tulus untuk membantu. Patricia Parson menyebutkan bahwa konsep profesionalisme terikat erat dengan etika-etika profesional. Etika profesional ini dapat dilihat dari dua kaca mata pandangan etis yaitu filosofi etika itu sendiri dan etika profesi. Zalhamri Abdullah dari Departemen Komunikasi, Universitas Putra Malaysia dan Thery Theardgold dari Cardiff School of Journalism, Media & Cultural Studies, Cardiff University dalam jurnal yang direlase tentang “Towards the Professionalisation of Public Relations in Malaysia: Perception Management and Strategy Development” mencoba untuk mengkonsepkan ulang tentang standar dan status profesional Praktisi Humas dalam perspektif sosiologi profesi dan strategi manajemen. Profesi menurutnya adalah kerja yang menggambarkan domain
25
keahlian. Kriteria profesionalisme dari kedua perspektif ini dianggap penting untuk dilihat karena penting bagi Praktisi Public Relations untuk mendapatkan pengakuan dari masyarakat luas terkait profesi yang dijalankannya dan standar serta status profesional yang disandangnya, tidak hanya pengakuan di kalangan praktisi saja. Dalam analisis sosiologi profesi, berdasarkan hasil penelitian, keduanya menyebutkan bahwa profesi public relations tidak dapat disamakan dengan profesi tertentu seperti dokter, akuntan, atau hukum, sehingga memunculkan perdebatan. Perdebatan ini muncul terkait dengan pekerjaan humas yang berhubungan dengan reputasi yang sering dianggap menggunakan rekayasa untuk memperolehnya. Selain masalah reputasi, ganjalan lainnya adalah masalah akreditasi bagi kalangan Praktisi Public Relations yang belum terpusat, masih terpisah-pisah dan terkesan terkotak-kotak karena setiap asosiasi profesi memiliki standar dan kode etik yang berbeda-beda, ada kode etik menurut PRSA (Public Relations Society of Amerika) atau Chartered Institute of Public Relations (ICPR) Inggris dan asosisasi profesi lainnya. Selain itu tidak adanya domain yang jelas antara public relations dan manajemen komunikasi, menjadikan profesi ini memiliki ketimpangan dari fokus pekerjaan, ada yang menganggap bahwa public relations hanya berhubungan dengan media saja, di sisi lain ada pula yang memandang bahwa public relations hanya terkait pendekatan persuasif dalam pemasaran. Sehingga status profesional dianggap perlu untuk menguatkan yuridis formal dari profesi ini sebagai profesi dengan keahlian khusus. Persoalan lainnya adalah masih banyaknya orang yang menjadikan public relations sebagai profesi kedua atau sampingan, selain masalah kompetensi yang tidak memadai.
26
Dalam menyoroti karaktersitik profesionalisme dari perspektif sosiologi profesi dan strategi manajemen ini, Zalhamri Abdullah dan Thery Theardgold melihat tiga pihak yang memiliki kaitan erat untuk menentukan status profesional yaitu kalangan akademisi, kalangan Praktisi Humas dan pemimpin perusahaan. Pendapat ketiganya diperlukan untuk menghindari kesenjangan (gap) pendapat terhadap teori yang ada dengan praktik di lapangan dan yang diharapkan oleh klien untuk perolehan status profesional bagi kalangan Praktisi Humas. Dr. Carol Steiner dari School of Management, Royal Melbourne Institute of Technology
University
Professionalism
In
dalam
Public
jurnalnya
Relations
berjudul
“How
Management?”
Important
menggunakan
is dua
pandangan yang ditawarkan oleh Kruckeberg, penulis “The Future of PR Education: Some Recommendations,” dalam Public Relations Review volume 24 dan Australian Journal of Communication (AJC) untuk melihat profesionalisme Public Relations. Kruckeberg menyebutkan bahwa public relations adalah pekerjaan dengan profesi khusus yang memiliki nilai dan keyakinan tersendiri (value and believe) yang tidak bisa dilihat sebagai bagian dari spesialisasi lainnya seperti jurnalistik, bisnis, komunikasi masss, ilmu sosial dan perilaku atau liberal arts. Lebih dari itu, Public Relations harus menjadi spesialisasi tersendiri baik secara akademik maupun praktis. Menurutnya public relations merupakan pekerjaan yang membutuhkan identitas tersendiri dan parameter profesionalisme yang memadai. Sedangkan AJC memandang dalam paradigma sosial dan budaya, public relations secara akademis masih lemah dan inrelevant.
27
Namun, Dr. Carol Steiner beranggapan bahwa kedua pendapat tersebut pun masih lemah. Menurutnya paradigma PR yang heterogen, fleksibel dan hanya berpusat pada komunikasi perlu ditrasfer menjadi pekerjaan yang memiliki paradigma keilmuwan. Ia menyarankan pentingnya membuat paradigma public relations, baik sebagai profesi yang unik atau bagian dari spesialisasi yang lain, Menurutunya, selama ini para akademisi di bidang public relations secara lugas dipengaruhi oleh paradigma yang kuat yaitu Paradigma Technicity, di mana seluruh paradigma keilmuwan (scientific) berbasis pada paradigma tersebut. Ciriciri Paradigm Technicity ini adalah rasional, antrophocentric scientific (memiliki keilmuan yang berpusat pada keyakinan interaksi manusia), melakukan riset dan memiliki spesialisasi. Dari berbagai pendapat para ahli tentang profesionalisme dapat disimpulkan bahwa profesionalisme secara umum dapat diartikan sebagai karakteristik yang memuat kualitas dan sikap yang bersifat unik dan spesifik yang dimiliki oleh seseorang yang menyandang profesi tertentu dan tergabung dalam sebuah organisasi profesi yang dikerjakannya secara purna waktu dengan penuh keahilan. Sedangkan secara khusus profesionalisme humas adalah karakteristik dari kualitas dan sikap yang unik dan spesifik dari seseorang yang menyandang profesi kehumasan dan memiliki keahlian yang diperoleh melalui pendidikan khusus untuk mendapatkan pengetahuan dan keterampilan yang unik berdasarkan teori yang dikembangkan melalui tradisi meneliti (riset) dan pengalaman praktis serta mendapatkan pengakuan atas profesinya sebaga pelayanan yang unik dan penting.
28
Status profesional seorang Praktisi Humas dapat diraih jika Praktisi Humas telah melakukan studi dalam bidang ini yang diperoleh melalui pendidikan dan pelatihan yang tidak singkat untuk mendalami dan mempelajari pengetahuan dan keahlian yang dibutuhkan untuk menjalankan tugasnya. Keahlian tersebut dapat pula diperoleh melalui tradisi penelitian yang dilakukan oleh Praktisi Humas serta pengalaman selama menjalankan profesinya. Dan dalam kerjanya memiliki otonomi dan tanggungjawab dalam bertindak serta mentaati kode etik yang berlaku di profesinya. 3.
Dilema Etis Public Relations dalam Media Relations Menurut Parson, ada dua isu besar yang kerap dihadapi oleh Praktisi Humas
dalam melakukan hubungan dengan media yaitu masalah kejujuran dalam berkomunikasi dengan media dan akses PR ke media (termasuk akses media ke PR). Kedua isu ini berpotensi dapat mempengaruhi, tidak hanya hubungan media dan PR saja, tetapi juga hubungan antara organisasi dan masyarakat yang menggunakan media sebagai saluran informasi. (Parsons, 2004:90). Dalam pandangan Parson, masalah kejujuran menjadi dilema etis bagi Praktisi Humas karena ini terkait dengan anggapan “spin doctors” yang sering dilontarkan oleh para jurnalis kepada para Praktisi Public Relations, dimana pendekatan dalam berkomunikasi dengan media kemudian ke masyarakat sering dilakukan dengan cara-cara yang tidak terhormat. Ketidakjujuran ini dapat diartikan sebagai sikap memberikan informasi yang tidak benar dan valid, atau informasi diberikan secara sepotong-sepotong yang dipahami sebagai “pancingan” atau PR yang seharusnya menjadi sumber berita tetapi justru menjauh dari Pers.
29
Menurut Parsons, sikap di atas merupakan pendekatan dari strategi PR untuk mendapatkan perhatian media, namun tidak disadari sebagai pelanggaran etis. Pendekatan seperti inilah yang menurut Parson justru menodai kepercayaan media terhadap Praktisi Public Relations. Dilema etis berikutnya adalah masalah akses ke media, serta akses oleh media. Menurut Parsons, masalah akses ke media serta akses oleh media ini pada akhirnya juga harus memperhatikan isu tentang kejujuran dan ketidakjujuran. Menurutnya, dari sisi Praktisi Humas yang memiliki pengalaman dalam menghadapi media, Praktisi Humas dituntut memahami media sebagai pihak yang memiliki hak untuk mengakses informasi dan sumber informasi, namun justru organisasi dan orang-orang yang berada dalam organisasi sering mengalami konflik terhadap hak untuk mendapatkan informasi. Dari sisi media, kerap hak untuk mendapatkan informasi diterobos dengan perilaku negatif media seperti bersikap kasar dan agresif dalam mendapatkan informasi. Sedangkan dari sisi Praktisi Humas, cara memperoleh akses media inilah yang kerap diwarnai dengan suap. Parson mencontohkan pemberian bingkisan atau mengundang pesta sebagai sesuai yang dikatakan suap dan dianggap tidak etis. Karena terkait hal ini, Praktisi Humas harus memikirkan adanya potensi isu moral didalamnya. Terkait dilema etis yang kerap menghinggapi Praktisi Public Relations dalam menjalankan tugasnya, Cutlip, Center & Broom memberikan 2 (dua) pendekatan dalam filasafat moral yang sering kali digunakan dalam pembuatan keputusan etis PR yaitu fisafat moral utilitarian dan filsafat moral deantologi. Pendekatan ini merupakan pisau bagi Praktisi Public Relations untuk mengevaluasi dan memberi
30
saran pembuatan keputusan etis bagi organisasi. Filsafat utilitarian menyebut tindakan etis harus memberikan dampak bagi kebaikan banyak orang. Pendekatan ini lebih menitikberatkan pada utilitas atau hasil yang diharapkan dari sebuah pengambilan keputusan untuk melakukan yang benar. Paham ini mendasarkan filosofi pengambilan keputusannya pada hasil untuk mengukur kelayakan moral suatu tindakan, sehingga prinsip etikanya diartikan sebagai konsekuensi atas hasil yang diharapkan. (Cutlip dkk, 2009:137). Pendekatan filsafat etika kedua adalah pendekatan deontologi. Menurut pendekatan ini, situasi etis ditentukan oleh dasar keputusan benar dan salah, bukan pada siapa yang paling banyak mendapatkan keuntungan. Pendekatan ini memiliki kelebihan yaitu mampu menghilangkan bias dalam pembuatan keputusan organisasional karena PR mampu memberikan rekomendasi kepada organisasi tindakan yang benar berdasarkan prinsip moral, bukan biaya, kepentingan sendiri atau besarnya anggaran. Pendekatan deontologi dipercaya lebih responsif terhadap perubahan tren atau isu melalui keterbukaan komunikasi. Tipe ini memampukan organisasi bereaksi terhadap perubahan lingkungan terlepas dari siapa publik mayoritasnya. (Cutlip dkk, 2009:138). Dari pendapat kedua ahli tentang dilema etis public relations tersebut dapat disimpulkan bahwa profesional atau tidaknya seorang Praktisi Humas dalam bekerja dapat dilihat dari cara-cara Praktisi Humas tersebut dalam menjalankan peran dan fungsinya sesuai dengan etika yang berlaku di profesinya. Etika ditentukan oleh karekater pribadi Praktisi Humas. Etika dari etimologinya sangat
31
berkaitan erat dengan nilai, perilaku, dan sikap tindakan manusia sesuai dengan pedoman asas-asas nilai moral. Pada hakekatnya, dalam kehidupan sehari-hari, etika atau etik berkaitan erat dengan anggapan baik dan buruk. Pada awal mula perkembangan filsafat etis, para peneliti telah melakukan serangkaian penelitian untuk melihat persoalan etika dengan terlebih dahulu melihat prinsip-prinsip dasar moral dan alasan justifikasi sebuah prinsip tersebut dianggap etis. Prinsip moral adalah studi kelayakan terkait tindakan yang dianggap benar dan salah sebagai petunjuk bagi landasan perilaku, sehingga muncul prinsip moral yang dapat diterima secara universal sebagai landasan etis bagi pengambilan keputusan yang rasional, logis dan analitik. Di sini menyangkut
pula
integritas
Petugas
Kehumasan
dalam
menegakkan
profesionalisme. Integritas inilah yang harus dimiliki oleh seorang Praktisi Humas dalam memecahkan dilema etika dan moral sehari-hari yang menyangkut kerja public relations. G. Konsep Penelitian Kerangka konsep penelitian ini meliputi profesionalisme Praktisi Humas dalam mengelola hubungan dengan media (media relations). Konteks media di sini adalah media massa baik media cetak, media elektronik yang meliputi media televisi maupun radio serta media online, baik skala nasional maupun lokal. Kerangka konsep tersebut, selanjutnya akan peneliti rangkai secara rinci dalam indikator-indikator sebagai item dalam pengambilan data di lapangan.
32
Tabel 1. Kerangka Konsep Penelitian KONSEP Profesionalisme Praktisi Humas dalam melakukan Media Relations.
MAKNA Karakteristik kualitas dan sikap dari seseorang yang menyandang profesi humas dalam menjalankan peran media relations.
INDIKATOR 1. Pendidikan khusus untuk mendapatkan pengetahuan dan keahlian spesifik khususnya di bidang media relations, meliputi: a. Pendidikan b. Kompetensi dan keterampilan teknis tentang media c. Pengetahuan dan pemahaman tentang media, UU Pers, UU KIP, pengetahuan dalam menyusun program media relations, pengalaman menyelesaikan perselisihan dengan media, pengalokasian dana untuk media dan pemanfaatannya. d. Pengembangan ilmu melalui tradisi penelitian. 2. Mendapatkan pengakuan oleh komunitas akan pengelolaan dan praktik media relations. a. Keterlibatan dalam organisasi profesi b. Memiliki akreditasi profesi. c. Penghargaan terhadap keberadaan Humas. 3. Memiliki otonomi dan tanggung jawab dalam praktik media relations. a. Otonomi dalam memanajemen media. b. Otonomi dalam menentukan media. 4. Taat pada kode etik dan standar kerja yang diberlakukan oleh Asosiasi Profesi. a. Kode Etik Jurnalistik b. Kode Etik Kehumasan, Pasal Relasi Media
H. Metodologi Penelitian 1.
Jenis Penelitian Jenis penelitian ini adalah diskriptif kualitatif. Penelitian diskriptif bertujuan
memberikan gambaran yang cermat dan tepat dari sifat individu, keadaan, gejala, atau frekuensi hubungan antar gejala dan faktor lainnya yang terdapat di lapangan. Penelitian kualitatif berakar pada latar belakang alamiah yang bersifat subjektif kemudian dijadikan alat penelitian dan dianalisis datanya secara induktif dari khusus ke umum dengan mengarahkan pada usaha menemukan dasar teori (Moelong,
1998:3).
Penelitian
kualitatif
bertujuan
menginvestigasi
dan
33
memahami fenomena berbasis konsep going exploring yang melibatkan indepth dan case oriented study atas sejumlah masalah (Finlay dalam Denzin & Lincoln, 2006). Maksud peneliti menggunakan deskriptif kualitatif adalah untuk memberikan gambaran dan menjelaskan secara mendalam terkait fenomena yang diteliti yaitu aktivitas media relations yang dilakukan di tiga Perguruan Tinggi di Yogyakarta dikaitkan dalam konteks profesionalisme sehingga memperoleh pemahaman yang komprehensif (holistik) terkait profesionalisme dalam menjalankan media relations, yang akan peneliti dapatkan melalui penggalian data secara mendalam di lapangan melalui wawancara terhadap narasumber dan keterlibatan secara langsung dalam aktivitas media relations yang dijalankan oleh ketiga Perguruan Tinggi negeri tersebut untuk lebih mendalami fenomena yang diteliti. Melalui penelitian diskriptif kualitatif ini pula, peneliti akan menganalisis data secara induktif dengan terlebih dahulu mengupas bahasan yang lebih khusus yaitu media relations kemudian menariknya dalam konteks yang lebih umum tentang profesionalisme. Kemudian menariknya dalam sebuah kesimpulan untuk melihat profesionalisme ketiga Perguruan Tinggi negeri tersebut dalam mengelola hubungan dengan media. 2.
Metode Penelitian Untuk memahami subjek yang diteliti, peneliti menggunakan metode
penelitian observasi lapangan (field observation), dengan klasifikasi observasi yaitu observasi partisipasi (participant observation). Dan untuk memperdalam data-data dan informasi yang diperolah, peneliti juga memadukan metode
34
observasi partisipasi ini dengan metode pengambilan data melalui indepth interview (wawancara). Fokus dari metode ini adalah pada penggambaran atau pendiskripsian objek penelitian serta dan bukan pada pengukuran dan kuantifikasi. Sumber data dalam penelitian ini adalah Bagian Humas Universitas Gadjah Mada, Kantor Humas dan Promosi Universitas Negeri Yogyakarta dan Sub Bagian Humas UIN Sunan Kalijaga, dengan objek kajian yaitu aktivitas media relations di ketiga PTN tersebut. Dalam observasi partisipastif ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari yang dilakukan Praktisi Humas di tiga Perguruan Tinggi ini. Melalui metode ini, sambil melakukan pengamatan, peneliti juga ikut melakukan yang dikerjakan oleh sumber data dan ikut merasakan suka dukanya. 3.
Teknik Pengumpulan Data Dalam penelitian kualitatif, pengumpulan data dilakukan pada natural setting
(kondisi yang alamiah), sedangkan sumber data primer dan teknik pengumpulan data
lebih
banyak
diperoleh
melalui
observasi
partisipasi
(participant
observation), wawancara mendalam (indepth interview) dan dokumentasi. (Cathrine Marshall & Gretchen B Rossman dalam Soegiyono, 2012:225). Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian adalah: a.
Pengumpulan Data dengan Observasi. Dalam observasi ini, peneliti terlibat dengan kegiatan sehari-hari objek yang sedang diamati atau yang digunakan sebagai sumber data penelitian yaitu di Kantor Bidang Humas UGM, Kantor Biro Humas UNY, Kantor Biro Humas UIN Sunan Kalijaga. Sambil melakukan pengamatan, peneliti ikut melakukan aktivitas yang dikerjakan oleh sumber data dan merasakan suka dukanya
35
dalam kegiatan media relations tersebut. Dengan observasi partisipasi, harapannya data yang diperoleh akan lebih lengkap, tajam, dan mengena pada tingkat makna dari setiap perilaku yang tampak dalam aktivitas media relations tersebut. Data yang ingin diperoleh melalui metode ini adalah praktik-praktik media relations yang dilakukan oleh ketiga PTN tersebut. b.
Pengumpulan Data dengan Wawancara Dalam pengumpulan data ini, peneliti menggunakan metode wawancara terstuktur maupun semi terstruktur melalui in-depth interview. Pengumpulan data melalui teknik ini adalah wawancara mendalam dengan Kepala Bidang Humas UGM, Bagian Humas dan Promosi UNY, dan Sub Bagian Humas UIN Sunan Kalijaga. Wawancara juga akan dilakukan kepada pelaku yang menjalankan media relations yaitu Petugas Humas yang memiliki tugas dalam media relations. Peneliti juga mengumpulkan data terkait tujuan media relations, bentuk-bentuk atau program media relations yang dilakukan, termasuk di dalamnya berbagai konflik yang dialami oleh Praktisi Humas dan dilema etis yang dihadapinya serta berbagai alasannya termasuk upaya strategi
dalam
mengatasi
konflik
tersebut
dalam
mewujudkan
profesionalisme. c.
Pengumpulan Data dengan Dokumentasi Dokumen merupakan catatan peristiwa yang sudah berlalu. Dokumen bisa berbentuk tulisan (bisa berbentuk catatan harian, sejarah), gambar (foto, sketsa) atau karya-karya monumental dari seseorang (missal film, profil perusahaan). Studi dokumen merupakan pelengkap dari metode observasi dan
36
wawancara. Data yang ingin diperoleh melalui teknik ini misalnya data press release, dokumen program kerja media relations, action plan media relations, laporan tahunan dan hasil publikasi (kliping) di media massa, serta agenda kegiatan peliputan, foto, video dan materi lainnya. d.
Studi Pustaka/Literatur. Pengambilan data melalui literatur untuk mencari data mengenai teori-teori yang dapat mendukung penelitian ini.
4.
Analisis Data Dalam penelitian ini, peneliti melakukan analisis data menurut Miles dan
Huberman (1994) yang terdiri dari 4 tahap (Wimmer dan Dominick, 2011:119) yaitu: (1). Data Reduction (Reduksi Data) yaitu proses merangkum dan memilah data; (2). Data Display (Penyajian Data) yaitu proses penyajian dan pengorganisasian data supaya tersusun pola hubungan yang mudah dipahami; (3). Conclusion Drawing (Penarikan kesimpulan) yaitu penarikan kesimpulan sementara dan akan berubah bila tidak ditemukan bukti-bukti kuat yang mendukung; dan (4) Verivication (Verifikasi) yaitu proses verifikasi data-data dan bukti-bukti yang valid dan konsisten untuk memperoleh kesimpulan yang kredibel. Dalam penelitian ini, peneliti mengumpulkan data terkait karakteristik profesional dalam konteks praktik-praktik media relations di tiga Perguruan Tinggi yang diteliti, kemudian memilah dan merangkumnya menjadi pembahasan dengan topik aktivitas media relations di UGM, UNY dan UIN Suka di bab 2 dan menyajikan data yang terdiri dari karateristik profesionalisme berdasarkan
37
kompetensi dan penguasaan ilmu pengetahuan serta pemberlakuan kode etik profesi pada bab 3 kemudian membahasanya. Selanjutnya menariknya dalam area kerja humas untuk melihat profesionalisme Praktisi Humas dalam mengelola hubungan dengan media massa dengan melihatnya dari karakteristik kompetensi seperti penguasaan ilmu pengetahuan, keterampilan, tradisi penelitian dan pemberlakuan kode etik yang berlaku. 5.
Pengujian Validitas dan Reliabilitas Mengingat sumber data dalam penelitian ini sangat bervariasi, maka metode
pengujian validitas dan reliabilitas data menggunakan metode triangulasi. Metode triangulasi adalah cara untuk melakukan pengecekkan data dari berbagai sumber melalui berbagai cara dan berbagai waktu (Sugiyono, 2013:372). Dengan metode triangulasi ini, peneliti melakukan pengecekkan data melalui teknik wawancara kepada pelaku media (jurnalis) yang biasa meliput di tiga Perguruan
Tinggi
tersebut,
Praktisi
Humas
Fakultas/Unit
yang
biasa
menggunakan jasa humas pusat, serta organisasi jurnalistik yaitu Aliansi Jurnalis Independen sebaga penyeimbang dalam penelitian tersebut. Wawancara, peneliti lakukan secara langsung maupun tidak langsung melalui email. Teknik triangulasi pada pengumpulan data ini juga peneliti lakukan melalui metode observasi terhadap kegiatan media relations yang dilakukan pada saat peliputan, jumpa pers maupun kegiatan sehari-hari atau saat acara informal dengan wartawan. Triangulasi waktu pengumpulan data lebih banyak peneliti lakukan di siang hari pada jam kerja, namun juga malam hari mengikut ritme waktu narasumber dari
38
media yang fleksibel ditemui malam hari setelah deadline tugas penulisan terkumpul.
39