BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Indonesia merupakan Negara kepulauan yang terdiri dari beriburibu pulau, tersebar dari sabang sampai merauke. Negara Indonesia juga didiami oleh berbagai macam budaya serta adat istiadat. Selain dari pada itu, penduduk Indonesia juga memeluk berbagai macam agama dan aliran kepercayaan yang berbeda-beda. Hampir semua agama, khususnya agamaagama besar di dunia ada di Indonesia, seperti agama Islam, khatolik, Protestan, Hindu dan agama Budha. Sebagai agama yang majemuk, maka interaksi antar warga yang berbeda suku, adat Istiadat dan agama tersebut adalah suatu keniscayaan yang tidak terelakkan dan terkadang bisa saling menimbulkan rasa saling ketertarikan antar individu yang berlainan jenis, tanpa memandang latar belakang agama dan kepercayaan, hingga sampai akhirnya berlanjut ke jenjang perkawinan dan berumah tangga, hal itu tentunya sesuatu yang biasa dan normal bagi manusia pada umumnya.1 Perkawinan pada hakekatnya adalah suatu perjanjian untuk bersama-sama membangun rumah tangga yang penuh kedamaian dan rasa kasih sayang. Perkawinan juga merupakan faktor dominan dalam memelihara kelestarian umat dalam bentuk yang paling indah dan sistem yang paling 1
Abdul Wahab, Perkawinan Beda Agama Menurut Muhammad Abduh Dan Relevansinya Dalam Konteks Ke Indonesiaan, ( Pekalongan:Stain Pekalongan Press, 2008), hlm. 5-6
1
2
sempurna. Pernikahan merupakan sebuah pranata untuk mengesahkan hubungan anak manusia yang berlainan jenis kelamin, sehingga menjadi pasangan intim suami istri.2 Pranata ini berkembang sesuai dengan perkembangan
sosial-budaya
umat
manusia.
Umumnya
perkawinan
dimaksudkan untuk membentuk sebuah kehidupan keluarga yang lestari, utuh dan harmonis. Dan karena dengan sendirinya, diperlukan kesesuaian dan kedua pihak yang akan menyatu dalam sebuah unit terkecil dalam masyarakat. Tidak mengherankan apabila kesamaan latar belakang kedua belah pihak dianggap sangat penting. Di Indonesia perkawinan memang bukanlah sebuah persoalan yang rumit manakala pasangan memeluk agama yang sama, namun akan menjadi persoalan yang rumit manakala kedua pasangan tersebut memeluk agama yang berbeda, karena memang dibatasi oleh Undang-undang No 1 tahun 1974 pasal 2 ayat I tentang perkawinan. “perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut agama masing-masing”. Sebelum
berlakunya
Undang-undang
perkawinan
terdapat
peraturan yang mengatur tentang perkawinan beda agama yaitu peraturan perkawinan campuran (
Regeling op de (Gemengde Huwalijkan) yang
disingkat RGH, termuat dalam staat sblad 1898 dan Huwelijs Ordonantie Chiristen Indonesishes Java, minahasa dan Amboina (Stb.1933 No 74 jo 1936 No. 607) yang disingkat Hoci, sehingga penyelenggaraan perkawinan beda
2
Tri Rahmawati, Konsep Hadhanah Bagi Wanita Karier dalam Prespektf Islam ( STAIN PekaIongan Press, 2007), hlm. 4.
3
agama tidak menjadi problematika dan pencatatannya dilakukan dalam daftar perkawinan campuran pada kantor catatan sipil. Setelah berlakunya Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan pasal yang dijadikan sebagai landasan perkawinan beda agama adalah pasal 2 ayat (1), pasal 8 huruf f dan pasal 57 adalah sebagai berikut;
Pasal 2 ayat (1) berbunyi : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu”. Sedangkan pasal 8 huruf f berbunyi : “Perkawinan dilarang antara dua orang yang : (f) mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin”. Pasal 57 Undang-undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang perkawinan berbunyi: “Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam Undang-undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia”. Selain Undang-undang yang disebutkan di atas, Kompilasi Hukum Islam pasal 40 huruf c dan pasal 44 secara eksplisit mengatur tentang larangan perkawinan antara laki-laki muslim dengan wanita non-muslim dan wanita muslim dengan laki-laki non-muslim. Pasal 40 huruf C adalah sebagai berikut; “Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu”; a.
Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain;
b.
Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain;
4
c.
Seorang wanita yang tidak beragama Islam.. Pasal 40 huruf c di atas secara eksplisit melarang terjadinya
perkawinan antara laki-laki (muslim) dengan wanita non-muslim (baik Ahl al-Kitab maupun non Ahl al-Kitab). Jadi pasal ini memberikan penjelasan bahwa wanita non-muslim apapun agama yang dianutnya tidak boleh dinikahi oleh laki-laki yang beragama Islam. Sedangkan pasal 44 menyatakan sebagai berikut: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”.
Pasal ini secara tegas melarang terjadinya perkawinan antara wanita muslim dengan pria non-muslim baik termasuk kategori Ahl al-Kitab maupun tidak termasuk kategori Ahl al-Kitab. Terakhir pasal 60 Kompilasi Hukum Islam menyatakan sebagai berikut: (1) Pencegahan perkawinan bertujuan untuk menghindari suatu perkawinan yang dilarang hukum Islam dan Peraturan perundang-undangan; (2) Pencegahan perkawinan dapat dilakukan bila calon suami atau calon isteri yang akan melangsungkan perkawinan tidak memenuhi syaratsyarat untuk melangsungkan perkawinan menurut hukum Islam dan Peraturan perundang-undangan.3
Dalam menanggapi hal diatas, sebagai suatu sistem hukum yang berdasarkan wahyu, hukum Islam memiliki tujuan mewujudkan kemaslahatan manusia (maqasid al-syariah) di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Perwujudan ini ditentukan oleh harmonisasi hubungan antara manusia baik 3
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, ( Yogyakarta:Total Media, 2008), hlm. 4-5
5
secara individu maupun kolektif, serta hubungan manusia dengan alam sekitarnya. Perwujudan hubungan tersebut juga dapat kita lihat jika manusia tersebut sedang berinteraksi dengan manusia lainya seperti seorang tokoh penceramah. Apabila kita telusuri kembali berbagai macam seorang ulama atau penceramah dalam jejaring sosial sangatlah majemuk. Termasuk seorang penceramah yang bernama Nuril Arifin yang sering disapa Gus Nuril ini yang di dalam berdakwahnya sering bertempat di Gereja-gereja juga menimbulkan berbagai macam kontroversi dari masyarakat, namun dengan kegigihan beliau dan mempunyai visi sebagai dakwah, tidak menghiraukan bagi masyarakat yang kontra dengan beliau karena mempunyai paradigma bahwa mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan. Belakangan ini, nama Nuril arifin atau yang dipanggil dengan sebutan nama Gus Nuril ini hampir selalu tercantum di setiap Stasiun TV swasta dan jejaring sosial. Beliau mempunyai pandangan politik pluralime yang rahmatanlil’alamin dengan beragama Islam-Sufi. Tokoh pendakwah ini adalah salah satu pendakwah yang sangat kritis dan yang membolehkan pernikahan beda agama dengan dasar mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan dan visinya yaitu sebagai media dakwah. Ketokohan seorang penceramah yang sangat disegani banyak orang ini, juga tidak dapat dipungkiri banyak orang yang kontroversi dengan beliau, karena beliau dalam berdakwah, ditujukan tidak hanya untuk umat Islam saja namun bagi yang beragama non Islam juga, sehingga menimbulkan banyak pro dan kontra bagi masyarakat yang menilainya. Meskipun demikian, beliau
6
masih tetap optimis, bahwa beliau dapat melanjutkan niat dalam berdakwah dengan dasarnya mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan. Pengasuh Pondok Pesantren multi agama ini adalah salah satu penceramah yang mempunyai sikap toleran. Sikap tolerannya beliau aplikasikan dengan membolehkan nikah beda agama. Beliau menyatakan bahwa “Bahwasannya diciptakan siang dan malam, diciptakan laki-laki dan perempuan berbangsa-bangsa dan bersuku-suku adalah untuk mengingat Allah , begitu pula dengan adanya berbagai ragam agama dalam dunia ini adalah tidak lain untuk mengingat Allah sehingga kita dapat berfikir” Menurut beliau bahwasannya laki-laki sebagai pemimpin dapat membujuk isteri yang beragama non Islam sedikit demi sedikit untuk dapat mengenal Islam dan dapat masuk agama Islam. Dari permasalahan tersebut, dibolehkannya pernikahan beda agama oleh beliau sangat menjadi sebuah pembahasan yang sangat menarik karena dalam Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Intruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria muslim diatur di dalam pasal 40 huruf c KHI yang lengkapnya sebagai berikut: Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu: a. Karena wanita bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam.4
4
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, op.cit. hlm.4-5
7
Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diatur didalam pasal 44 KHI yang selengkapnya disebutkan bahwa:” Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan seorang pria yang tidak beragama Islam”. Secara tersirat pasal 4 KHI juga melarang perkawinan beda agama. Menurut pasal tersebut perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum Islam sesuai dengan pasal 2 ayat (1) Undangundang Nomor I tahun 1974 tentang perkawinan. Namun tidak dapat dipungkiri walaupun adanya tameng tersebut, bahwa perkawinan beda agama sering kita dengar dalam pelaksanaannya, hal ini terlihat dan banyaknya perkawinan lintas agama. Sebagai contoh dunia selebritis dihebohkan oleh perkawinan artis Jamal Mirdad dengan Lidia Kandau pada tahun 80-an dan pada tahun 70-an perkawinan artis Emilia Contessa dengan Rio Tambunan juga sempat dihebohkan dan kebolehan tersebut juga di iyakan oleh Gus Nuril. Pengasuh Pondok Pesantren SOKO TUNGGAL ABDURAHMAN WAHID yang terkenal dengan sebutan Gus Nuril ini membolehkan pernikahan antar umat beragama karena beliau mempunyai konsepsi bahwa sesungguhnya pernikahan merupakan sunatullah bukan sekedar agama dan Islam adalah identik dengan sunatullah. Islam seharusnya memiliki keluasan keadilan yang cakrawalapandang dan kesempatan serta kelonggaran yang sama dengan sunatullah dan juga sebagai media dakwah. Dan dari sinilah kami tertarik untuk menulis judul “Hukum Pernikahan Beda Agama Menurut Gus Nuril (Tinjauan Maqashid Al-Syariah)”.
8
B. Rumusan Masalah Permasalahan merupakan upaya untuk menyatakan secara tersurat pertanyaan-pertanyaan apa saja yang ingin dicari jawabannya.5 Bertitik tolak pada keterangan itu, maka yang menjadi pokok permasalahan: 1. Bagaimana hukum pernikahan beda agama menurut Gus Nuril? 2. Bagaimanakah hukum pernikahan beda agama menurut Gus Nuril (ditinjau dari perspektif Maqhasid Al-syariah).
C. Tujuan Penelitian Setiap penelitian tidak lepas dari adanya tujuan. Adapun yang menjadi tujuan penelitian ini sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui hukum pernikahan beda agama menurut Gus Nuril? 2. Untuk mengetahui pandangan pernikahan beda agama menurut Gus Nuril ditinjau dari prespektif Maqashid Al-syariah.
D. Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil meliputi manfaat dan segi teoritis maupun manfaat dan segi praktis. Dalam penelitian ini juga mencakup kedua manfaat
yang
dapat
diambil
dan
penelitian
mengenai
HUKUM
PERNIKAHAN BEDA MENURUT GUS NURIL (Tinjauan Al-Maqhasid Syariah).
5
Jujun S. Suriassumantri, Filsafat Ilmu Sebuah Pengantar Populer, cet.ke-7, ( Jakarta: Pustaka Sinar Harapan, 1993), hlm. 312.
9
1. Manfaat Teoritis Sebagai salah satu bentuk sumbangan atau informasi baru bagi pengembangan teoritis atau kepustakaan akademik dalam memperluas khazanah keilmuan tentang munakahat. khususnya bagi civitas akademika STAIN Pekalongan dan masyarakat pada umumnya. 2. Manfaat Praktis. Guna menambah wawasan pembaca pada umumnya dan penulis pada khususnya tentang hukum pernikahan beda agama dan penerapan pernikahan beda agama yang ada dalam masyarakat.
E. Telaah Pustaka Ada beberapa karya tulis mengenai perkawinan beda agama. Karya tulis yang terkait dengan perkawinan beda agama ini terdapat dalam skripsi S1 di Fakulitas Syariah IAIN Sunan Kalijaga atas nama almarhum Harun alRasyid, tulisan ini penekanannya pada kajian fiqih mengenai perkawinan dengan wanita kitabiyah (Ahlul kitab).
Dalam penelitian ini terdapat
persamaan dan perbedaan, persamaan dari penelitian ini yaitu keduanya sama-sama membahas tentang perkawinan beda agama dan perbedaannya yaitu dari sudut pandang masing-masing, di sini kami menggunakan sudut pandang Gus Nuril. Dalam skripsi karya Toni Wahabi, alumnus STAIN Pekalongan yang berjudul”PERKAWINAN BEDA AGAMA MENURUT NURCHOLISH MAJID”. Dalam karyanya ini lebih menekankan pada pendapat Nurcholish
10
Majid yang terkenal dengan sebutan Cak Nur membolehkan perkawinan lakilaki muslim dengan perempuan ahlul kitab. Hal inl didasarkan pada beberapa alasan perbedaan pengertian ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) dan musyrik karena adanya tanda athof (wawu) yang menurut beliau dengan adanya tanda athof hal ini tertuang dalam surat al-Baqarah ayat 105, dan surat al-Bayyinah ayat 1 dan 6 dari ayat tersebut memberikan perbedaan makna, kemudian dilihat dari sosio historis, bahwa ahli kitab (Yahudi dan Nasrani) masih adanya ketersinggungan masalah teologi dengan Islam, hal ini dilihat dan ajaran monoteisme dan alasan yang terakhir yang dijadikan dasar pembolehan perkawinan beda agama (ahlul kitab) yaitu surat al-Maidah ayat 5. Penelitian ini sedikit banyak mempunyai persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang kami bahas. Dimana letak persamannya ialah konteks pembahasannya mengenai perkawinan beda agama. Sedangkan letak perbedaannya antara penelitian ini dengan penelitian yang kami bahas ialah sudut pandang pemikiran Beliau menggunakan sudut pandang pemikiran Nurcholish Majid dengan hasil penelitian membolehkan perkawinan beda agama dengan dasar surat al-Maidah ayat 5 yang membolehkan perkawinan beda agama (ahlul kitab), dan dalam penelitian kami menggunakan sudut pemikiran Gus Nuril, dengan hasil membolehkan perkawinan beda agama dengan visinya yaitu sebagai dakwah dan dengan dasar mencegah kemafsadatan lebih baik daripada berbuat kebaikan dan perbedaanya lagi yaitu dalam penelitian yang kami bahas menggunakan wawancara dalam
11
teknik pengumpulan data sedangkan dalam penelitian ini tidak menggunakan wawancara dalam teknik pengumpulan datanya. Anang Abidin, dalam skripsinya yang berjudul “Kawin Beda Agama Kajian terhadap Buku Fiqih Lintas Agama; Membangun Masyarakat Inklusif Pluralis”, UIN Malang. Skripsi ini membahas masalah Perkawinan beda agama (dengan wanita ahlul kitab), mulai dari dasar al-Qur’an sampai landasan sosial historis. Dalam Penelitian ini, memiliki persamaan dan perbedaan dengan penelitian yang digunakan, dimana penelitian keduanya sama-sama membahas masalah perkawinan beda agama, sedangkan letak perbedaannya lebih besar mengenai sudut pandang pemikiran dan penelitian kami menggunakan jenis penelitian field research
dengan menggunakan
wawancara dalam teknik pengumpulan datanya sedangkan penelitian ini sama
menggunakan
jenis
penelitian
library
research
tetapi
tidak
menggunakan teknik wawancara dalam pengumpulan datanya. Perbedaannya lagi yaitu penelitian beliau dengan menggunakan sudut pemikiran kajian terhadap Buku Fiqih Lintas Agama membangun Masyarakat InklusifPluralis” dan dalam penelitian yang kami bahas menggunakan sudut pemikiran Gus Nuril. Dalam karyanya yang berjudul” Perkawinan Beda Agama Menurut Muhammad Abduh dan Relevansinya dalam Konteks ke Indonesiaan”. Dalam karyanya ini lebih menekankan pada pendapat Muhammad Abduh yang membolehkan perkawinan laki-laki muslim dengan perempuan ahlul kitab, juga sebaliknya. Dengan dasar pengakuan dan penghormatan terhadap
12
nilai HAM dalam konteks kebebasan beragama dan membentuk keluarga sesuai yang diamanatkan UUD 1945. Penelitian ini sedikit banyak, mempunyai persamaan dan perbedaan antara penelitian ini dengan penelitian yang kami bahas dan sudut pandang pemikiran. Beliau menggunakan sudut pemikiran Muhammad Abduh dan dalam penelitian kami menggunakan sudut pemikiran Gus Nuril yang keduanya hasil penelitiannya sama yaitu membolehkan perkawinan beda agama.
F. Kerangka Teori Perkawinan ialah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami isteri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal, berdasarkan “KETUHANAN YANG MAHA ESA”. Demikian perumusan perkawinan menurut pasal 1 Undang-undang Nomor 1 tahun 1974, jadi menurut Undang-undang ini perkawinan barulah ada, apabila dilakukan antara seorang pria dengan seorang wanita, tentulah tidak dinamakan perkawinan andai kata yang terikat dalam perjanjian perkawinan itu 2 ( dua ) orang wanita (lesbian) atau 2 ( dua ) orang pria saja (homoseksual).6 Tentunya dalam sebuah perkawinan pasti ada tujuan , dan tujuan perkawinan ialah menurut perintah Allah untuk memperoleh keturunan yang sah dalam masyarakat, dengan mendirikan rumah tangga yang damai dan teratur. 6
Mohd. Idris Ramulyo, SH., M.H, Hukum Perkawinan, Hukum Kewarisan, Hukum Acara Peradilan Agama dan Zakat Menurut Hukum Islam, ( Jakarta: Sinar Grafika,2006),hlm.43
13
Tujuan perkawinan dalam Islam selain untuk memenuhi kebutuhan hidup jasmani dan rohani manusia, juga sekaligus untuk membentuk keluarga dan memelihara serta meneruskan keturunan dalam menjadikan hidupnya di dunia ini, agar tercipta ketenangan dan ketentraman jiwa bagi keluarga dan masyarakat.7 Pada saat pasangan beda agama yang salah satunya beragama Islam terjadi, kajian hukum mengenai hal itu menjadi menarik. Terutama apabila pihak laki-lakinya beragama Islam. Persoalan ini menjadi bahan diskusi karena, menurut petunjuk Al-qur’an pernikahan dengan wanita kitabiyah dibolehkan. Didalam ayat 5 Surah Al-Maidah disebutkan:
و ا لمحصنت من المؤ منت و ا لمحصنت من الذ ين ا و تو . . . ا لكتب من قبلكم Artinya: “Dan dihalalkan mengawini wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara wanita-wanita yang beriman dan wanita-wanita yang menjaga kehormatan di antara orang-orang yang diberi kitab suci sebelum kamu”.
Pada sisi lain, Kompilasi Hukum Islam (KHI) yang diberlakukan dengan Instruksi Presiden Nomor 1 tahun 1991, melarang seorang muslim melakukan perkawinan beda agama. Larangan untuk pria muslim diatur di dalam pasal 40 huruf C KHI yang lengkapnya sebagai berikut:
7
Mardani, Hukum Perkawinan Islam Di Dunia Islam Modern, op.cit. hlm. 11
14
“Dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita karena keadaan tertentu”: a. Karena wanita yang bersangkutan masih terikat satu perkawinan dengan pria lain; b. Seorang wanita yang masih berada dalam masa iddah dengan pria lain; c. Seorang wanita yang tidak beragama Islam. Sementara larangan menikah beda agama bagi wanita muslimah diatur di dalam pasal 44 KHI yang selengkapnya disebutkan bahwa: “Seorang wanita Islam dilarang melangsungkan perkawinan dengan pria yang tidak beragama Islam”. Secara normatif larangan bagi wanita muslimah ini tidak menjadi persoalan, karena sejalan dengan ketentuan dalam Al-qur’an yang disepakati kalangan Fuqoha.8 Hukum Islam (baca: Fiqih) pada dasarnya bernorma sosial sebagaimana maqasid al-syariah, serta berlandaskan maslahah. Sebagaimana dalam penelitian ini, penulis menggunakan teori maqasid al-syariah yang berarti tujuan Allah dan Rasul-Nya dalam merumuskan hukum Islam. Tujuan itu dapat ditelusuri dalam ayat-ayat Al-Qur’an dan sunah Rasulullah sebagai alasan logis bagi rumusan suatu hukum yang berorientasi kepada kemaslahatan umat manusia.9Menutup jalan menuju kemafsadatan yaitu agar tidak berbuat zina yaitu dasar Gus Nuril membolehkan pernikahan beda agama dengan mencegah kemudharatan lebih baik dari pada berbuat kebaikan. Dengan menutup jalan menuju kemafsadatan, maka akan lebih menjamin keturunan dan kehormatan dan memelihara kelangsungan hidup. Tujuan ini sesuai dengan (lima pokok pilar) atau disebut dengan maqasid al8
M. Karsayuda, Perkawinan Beda Agama Menakar Nilai-nilai Keadilan Kompilasi Hukum Islam, op.cit. hlm. 7 9 Satria Efendi, Ushul Fiqih, (Jakarta:Kencana, 2005), hlm.233
15
syariah. ( tujuan-tujuan universal syariah ). Lima pokok pilar tersebut adalah sebagai berikut. a. Hifdz al-dien, menjamin kebebasan beragama. b. Hifdz al-nafs, memelihara kelangsungan hidup. c. Hifdz al’aql, menjamin kreatifitas berpikir. d. Hifdz al-nasl, menjamin keturunan dan kehormatan. e. Hifdz al-mal, pemilikan harta, property, dan kekayaan.10
G. MetodePenelitian Dalam suatu penelitian, untuk memperoleh data dan analisis yang logis,
tentu
membutuhkan
suatu
metode
tertentu
agar
dapat
dipertanggungjawabkan secara ilmiah maupun akademis. Metode adalah suatu prosedur atau cara untuk mengetahui sesuatu yang mempunyai langkahlangkah sistematis. Sedangkan penelitian yaitu rangkaian kegiatan ilmiah dalam rangka pemecahan masalah yang dilakukan melalui suatu prosedur atau cara-cara yang mempunyai langkah-langkah sistematis. Dengan kata lain, metode penelitian adalah suatu pengkajian dalam mempelajari peraturanperaturan yang terdapat dalam penelitian.11 Dalam metode penelitian ini, akan diuraikan metode pengumpulan data dan metode analisis data serta jenis dan pendekatan dalam penelitian.
10
Dr.Syahrul Anwar, M.Ag. , Ilmu Fiqih &Ushul Fiqih, ( Bogor:Ghalia Indonesia,2010),
hlm. 76 11
Utsman, Metode Penelitian Sosial, ( jakarta:Bumi Aksara,2003)
16
1. Jenis Penelitian Penelitian ini menggunakan jenis penelitian kualitatif yaitu jenis penelitian yang tidak menggunakan angka-angka statistik, melainkan dalam bentuk kata-kata. Dalam konteks penelitian ini maka penulis menggunakan penelitian Lapangan (field research). Yang dimaksud dengan penelitian lapangan adalah penelitian yang menggunakan teknik pengumpulan datanya menggunakan
teknik observasi,
wawancara dan disertai
Narasumber, Responden dan disertai daftar pertanyaan dan situasi wawancara12. Berikut metode pengumpulan data dalam penelitian ini: a. Wawancara Wawancara merupakan suatu proses interaksi dan komunikasi. Hasil dari wawancara ini akan ditentukan oleh kualitas dari beberapa faktor yang saling mempengaruhi dan berkaitan satu sama lainnya. Faktor tersebut, adalah pewawancara, responden, atau narasumber atau informan, daftar pertanyaan, dan situasi wawancara. 2.
Pendekatan Penelitian Pendekatan penelitian ini menggunakan pendekatan Deskriptif analisis karena riset ini menggambarkan UU perkawinan yang terkait dengan perkawinan beda agama. Metode Deskriptif adalah suatu metode dalam meneliti status kelompok manusia, suatu objek, suatu set kondisi, suatu sistem pemikiran ataupun suatu kelas peristiwa pada masa sekarang. 12
Sumarsono, Metode Riset Sumber Daya Manusia, (Yogyakarta: Graha Ilmu, 2004),
hlm.66.
17
Tujuan dari penelitian Deskriptif ini adalah untuk membuat deskripsi, gambaran atau lukisan secara sistematis, faktual dan akurat mengenai fakta-fakta, sifat-sifat serta hubungan antar fenomena yang diselidiki. Dalam pendekatan tersebut juga sekaligus mengkritisi UU perkawinan kaitannya dengan dibolehkannya pernikahan beda agama oleh Gus Nuril.
3. Sumber Data. a. Sumber data primer, yaitu sumber data dari Narasumber oleh Gus Nuril dengan menggunakan pedoman wawancara dengan beliau. b. Sumber data sekunder yaitu, Sumber data pendukung yang berkaitan dengan permasalahan yang dikaji meliputi: data-data buku-buku yang berhubungan dengan topik/masalah yang diangkat dalam proposal skripsi. c. Sumber data Tersier, yaitu sumber data yang tidak berkaitan langsung dengan penelitian, akan tetapi dapat membantu proses penelitian, seperti kamus, ensiklopedi, dan lain-lain. 4. Analisis Data Analisis data merupakan kegiatan dalam penelitian yang berupa melakukan kajian atau telaah terhadap hasil penelitian. Analisis data dalam penelitian ini menggunakan analisis data deskriptif analitis yaitu data yang dinyatakan oleh responden secara tertulis atau lisan juga tingkah laku yang nyata, yang diteliti dan dipelajari sebagai sesuatu yang utuh.13
13
Mukti fajar ND dan Yulianto, Dualisme penelitian hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka pelajar, 2010), hlm. 182-192
18
H. Sistematika Pembahasan Untuk mengetahui deskripsi penelitian yang akan dilakukan, maka pembahasan skripsi ini akan penulis sajikan dalam lima bab dengan Sistematika sebagai berikut: Bab pertama, Pendahuluan. Bab ini berasal uraian tentang Latar Belakang, Rumusan Masalah, Tujuan dan kegunaan penelitian, Telaah Pustaka, Kerangka teori, Metode penelitian, dan Sistematika Pembahasan. Bab kedua, Kajian umum perkawinan di Indonesia yang meliputi pengertian perkawinan, syarat-syarat perkawinan,Asas dan prinsip-prinsip perkawinan, tujuan perkawinan, pengertian perkawinan beda agama, Hukum Perkawinan beda agama. Bab ketiga, Sketsa Biografi Dr.Kh.Nuril Arifin Mba dan Paradigma pemikiran Dr.Kh.Nuril Arifin Mba terkait dengan perkawinan beda agama. Bab keempat, Pandangan Gus Nuril tentang pernikahan beda agama dengan menggunakan teori maqasid al-syariah. Bab kelima, penutup yang benisi simpulan dan saran.