1
BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Negara Kesatuan Republik Indonesia (NKRI) merupakan konsensus1 bersama oleh seluruh bangsa Indonesia dari Pulau Sabang sampai Merauke, yang dibingkai dalam suatu Konstitusi Negara yaitu Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (UUD NRI Tahun 1945), Pancasila, dan Bhineka Tunggal Ika. Sebagai negara yang menganut prinsip kesatuan yang terdiri dari banyak pulau-pulau tentu mengalami dinamika ketatanegaraan atau sistem pemerintahan yang panjang dan berliku. Misalnya, dalam sejarah ketatanegaraan Indonesia dikenal bahwa Indonesia pernah mengalami perubahan konstitusi dari UUD NRI Tahun 1945 menjadi Konstitusi Republik Indonesia Serikat, kemudian menjadi Undang-Undang Dasar Sementara 1950, dan akhirnya pada tanggal 5 Juli 1959 kembali lagi ke UUD NRI Tahun 1945 melalui Dekrit Presiden Soekarno.2 Bukan
hanya
itu,
bahwa
perubahan
konstitusi
(consitutional
amendement) kembali terjadi pada tahun 1999-2002 yang ditandai dengan amandemen UUD NRI Tahun 1945, karena dinilai di dalamnya masih terdapat berbagai macam kelemahan, hal ini berimplikasi langsung pada tidak stabilnya
1
Konsensus adalah sebuah frase untuk menghasilkan atau menjadikan sebuah kesepakatan yang disetujui secara bersama-sama antar kelompok atau individu setelah adanya perdebatan dan penelitian yang dilakukan dalam kolektif intelijen untuk mendapatkan konsensus pengambilan keputusan, lihat di http://www.id.m.wikipedia.org diakses pada tanggal 20 Maret 2015. 2 Isi Dekret Presiden 5 Juli 1959 memuat hal pokok tentang pembubaran Badan Konstituante hasil Pemilu Tahun 1955 dan pergantian UUDNRI Tahun 1945 dari UUDSementara ke UUDNRI Tahun 1945.
2
sistem demokrasi yang sedang dipraktikkan oleh bangsa Indonesia.3 Menyambung pendapat Jimly, Moh. Mahfud MD lebih menegaskan kembali tentang kelemahan-kelemahan yang terdapat dalam UUD NRI Tahun 1945 sebagai berikut: 1. UUD 1945 membangun sistem politik yang executive heavy dengan memberi porsi yang sangat besar kepada kekuasaan presiden tanpa adanya mekanisme checks and balances yang memadai. 2. UUD 1945 terlalu banyak memberi kewenangan atribusi dan delegasi kepada presiden untuk mengatur hal-hal penting dengan UU maupun dengan Peraturan Pemerintah. 3. UUD 1945 memuat beberapa pasal yang ambigu atau multi tafsir sehingga bisa ditafsirkan dengan bermacam-macam tafsir, tetapi tafsir yang harus diterima adalah tafsir presiden. 4. UUD 1945 lebih mengutamakan semangat penyelenggara negara dari pada sistemnya.4 Presiden dalam menjalankan roda pemerintahan telah dibekali beberapa hak konstitusional yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar 1945 diantaranya yaitu, Presiden memberikan grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung5, dan presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.6
Selain
itu,
presiden
sebagai
penanggungjawab
tertinggi
penyelenggaraan pemerintahan, juga didaulat oleh konstitusi sebagai kepala negara serta pemegang tertinggi atas Angkatan Darat, Angkatan Laut dan Angkatan Udara.7 Presiden menyatakan perang, membuat perjanjian dan
3 Jimly Asshiddiqie, 2005, “Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional, Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia”, Jakarta, hlm. 5. 4 Moh. Mahfud MD, 2001, Dasar dan Struktur Ketatangaraan Indonesia, Rhineka, Jakarta, hlm. 255157. 5 Lihat Pasal 14 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 6 Lihat Pasal 14 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945 7 Lihat Pasal 10 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945
3
perdamaian dengan negara lain dengan persetujuan DPR,8 Presiden menyatakan Negara dalam keadaan bahaya.9 Namun implementasi hak-hak tersebut memiliki perbedaan sebelum dan setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945. Dalam UUD NRI Tahun 1945, negara Indonesia lebih dominan mempraktikan sistem pemerintahan presidensial dari pada sistem pemerintahan parlementer. Hal ini dapat dilihat pada sistem pemerintahan presidensial yang menyatukan pemegang kekuasaan pemerintahan dan kepala negara pada satu orang, sedangkan sistem parlementer membedakannya. Selain itu, dalam sistem pemerintahan presidensial terdapat pemisahan yang sangat tegas antara kekuasaan
eksekutif
dan
kekuasaan
legislatif,
sedangkan
di
sistem
pemerintahan parlementer tidak memisahkan secara tegas. Untuk lebih jelasnya kedua ciri sistem pemerintahan tersebut dapat diidentifikasi yaitu: Ciri umum sistem parlementer: 1. Sistem parlementer bisa terjadi pada negara berbentuk republik ataupun kerajaan (monarki parlementer). 2. Dalam sistem parlementer fungsi kepala negara terpisah dengan kepala pemerintahan. 3. Kepala negara bisa seorang Kaisar, Raja/Ratu, Syah, Sultan (monarki), atau Presiden (republik). Kepala negara adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan. 4. Kekuasaan pemerintahan adanya di parlemen. Maka, dalam sistem parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah parlemen. 5. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai. 6. Yang menguasai parlemen adalah apabila bisa menguasai suara parlemen sekurang-kurangnya, 50%+1 (limapuluh presen plus satu), agar partai 8 9
Lihat Pasal 11 UUDNRI Tahun 1945 Lihat Pasal 12 UUDNRI Tahun 1945
4
pemenang bisa melaksanakan program-programnya (melalui dan berdasarkan undang-undang). 7. Peran partai dominan, oleh karenanya sistem parlementer biasa disebut “sistem tradisi partai kuat”.10 Ciri umum sistem presidensial: 1. Sistem presidensial hanya terjadi dalam negara berbentuk republik. 2. Dalam sistem presidensial fungsi kepala negara dan fungsi kepala pemerintahan menyatu (namun tidak lebur) dalam satu figur, presiden. 3. Kepala negara dan kepala pemerintahan dijabat oleh Presiden. Kepala negara adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan. 4. Kekuasaan pemerintahan adanya di eksekutif/kabinet yang dipimpin oleh Presiden selaku kepala pemeirintahan. Maka, dalam sistem presidensial, obyek utama yang diperebutkan adalah presiden. 5. Selaku pemegang “Kontrak Sosial”, presiden bertanggung jawab langsung pada rakyat. (Presiden dipilih oleh rakyat bukan partai). Selaku kepala negara, Presiden adalah milik bangsa, maka tidak layak bila memangku jabatan ketua atau fungsionaris partai. 6. Presiden membentuk kabinet yang bertanggung jawab pada presiden. Dalam sistem presidensial tidak dikenal istilah kabinet kualiasi. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai. 7. Parlemen (legislatif) dalam sistem presidensial memiliki dua fungsi utama. Pertama, menerjemahkan “Kontrak Sosial” presiden menjadi undang-undang (perdebatan bukan pada pro-kontra Kontrak Sosial melaikan pada upaya mempertajam program). Sistem presidensial tidak mengenal istilah Partai Oposisi. 8. Peran partai tidak dominan, kelompok kepentingan dominan ikut mempengaruhi kebijakan publik. Sistem presidensial biasa disebut “Sistem Tradisi Partai Lemah”.11 Dalam konteks ketatanegaraan Indonesia, poros kekuasaan telah dibagi menjadi 3 (tiga) yaitu kekuasaan eksekutif, legislatif, dan kekuasaan yudikatif. Hal ini sejalan dengan konsep trias politica yang dicetuskan oleh Montesquieu dalam buku L’Esprit des Lois (The Spirit of Laws). Ketiganya telah
10
Bambang Cipto, 2003, Politik dan Pemerintahan Amerika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hlm. 11. 11
Ibid., hlm. 41
5
mempunyai tugas dan fungsi masing-masing, kekuasaan eksekutif adalah kekuasaan untuk menjalankan undang-undang, termasuk menjalankan pemerintahan berdasarkan undang-undang (hukum); kekuasaan legislatif adalah kekuasaan untuk membuat undang-undang, dan kekuasaan yudikatif adalah kekuasaan untuk mengadili terhadap pelanggaran undang-undang. Untuk menghindari tirani maka ketiga cabang kekuasaan tersebut tidak boleh berada dalam satu tangan. Ketiga poros kekuasaan tersebut dijalankan oleh aparatur negara, cabang kekuasaan eksekutif dijalankan oleh Presiden; cabang kekuasaan legislatif dijalankan oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan Dewan Perwakilan Daerah; dan cabang kekuasaan yudikatif dijalankan oleh Mahkamah Agung (MA)
dan
Mahkamah
Konstitusi
(MK).
Namun,
fenomena
sistem
ketatanegaraan Indonesia terdapat hal yang lazim yaitu Presiden juga menjalankan fungsi legislasi, selain Indonesia terdapat juga Puerto Rico yang presidennya memegang fungsi legislatif.12 Setiap negara pasti mempunyai sistem ketatanegaraan tersendiri walaupun suatu negara pernah mengalami penjajahan termasuk Indonesia. Dalam konteks saat ini, Indonesia memberikan amanah membuat undangundang atau legislasi kepada dua lembaga yaitu kewenangan legislasi lembaga eksekutif diatur dalam Pasal 5 dan Pasal 20 ayat (2) UUD NRI 1945, sedangkan kewenangan legislasi lembaga legislatif diatur dalam Pasal 20 ayat (1) dan Pasal 20A ayat (1) UUD NRI 1945. Bila ditinjau dari pasal ini maka 12 Moh. Mahfud MD, 2007, Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi, LP3ES, Jakarta, hlm. 61.
6
dapat dipastikan bahwa tidak ada suatu pun Undang-Undang yang lahir di Indonesia tanpa peran atau kerjasama kedua lembaga tersebut. Hak membentuk undang-undang atau hak legislasi di sistem pemerintahan presidensial memang menjadi perdebatan bagi pakar hukum di Negara Kesatuan Republik Indonesia, karena kewenangan legislasi yang seharusnya dipusatkan kepada lembaga legislatif justru diberikan juga ke lembaga eksekutif. Salah satu alasan yang mungkin muncul adalah lembaga eksekutif jauh lebih memahami jalannya roda pemerintahan dibandingkan lembaga legislatif. Sebagaimana diketahui bahwa kewenangan memegang kekuasaan pemerintahan merupakan kewenangan yang dari dulu menjadi milik Presiden. Presiden Republik Indonesia memegang kekuasaan pemerintahan menurut Undang-Undang Dasar.13 Untuk lebih jelasnya berikut ini adalah kewenangan legislasi yang menjadi kewenangan Presiden yang diatur di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945. 1. Presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada Dewan Perwakilan Rakyat.14 2. Presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undangundang sebagamana mestinya.15 3. Dalam hal ihwal kegentingan yang memaksa, Presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang.16 Secara tekstual atau eksplisit, konstitusi negara tidak menyebutkan secara jelas keberadaan hak veto, namun berdasarkan fakta yuridis Presiden diberikan hak untuk menolak sebuah rancangan undang-undang yang di jukan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. 13
Dengan demikian hal ini sejalan dengan
Lihat Pasal 4 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. Amandemen Pertama Pasal 5 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. 15 Lihat Pasal 5 ayat (2) UUDNRI Tahun 1945. 16 Lihat Pasal 22 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. 14
7
definisi hak veto yaitu hak untuk menyatakan menolak atau tidak setuju terhadap suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) dan atau terhadap materi suatu RUU.17 Namun Patrialis Akbar menyebut bahwa tidak ada hak veto dalam sistem ketatanegaraan Indonesia, melainkan yang ada hanyalah Hak Konstitutional Presiden.18 Pada
prinsipnya,
amandemen
konstitusi
pada
Era
Reformasi
mengintrodusir norma baru yaitu presiden telah diberikan hak untuk menggunakan “semacam hak veto" untuk menyatakan penolakan terhadap RUU yang telah dibahas bersama dipersidangan DPR. Tentu saja “veto” presiden tersebut harus didasarkan pada pertimbangan-pertimbangan filosofis, yuridis, dan sosiologis, yang dimiliki secara pribadi oleh presiden. Sebab, pada akhirnya presidenlah yang paling bertanggung jawab dalam setiap pelaksanaan undang-undang sebagai lembaga law aplication function. Kalau presiden menilai bahwa rancangan undang-undang yang akan disetujui
menjadi
undang-undang
dapat
menimbulkan
bahaya
dan
menimbulkan kesulitan dalam pelaksanaannya, tentu presiden dapat menolak atau
tidak
menyetujuinya.
Konsep
UUD
NRI
Tahun
1945,
pertanggungjawaban sepenuhnya ada pada presiden. Mengingat begitu pentingnya hal tersebut maka secara organisatoris dan manajerial, “tanggung jawab" tidak boleh dilimpahkan kepada siapapun. Hak “veto” selamanya akan menjadi perdebatan dalam praktek ketatanegaraan Indonesia dengan berbagai macam alasan dan pertimbangan, 17
http://www.KamusBahasaIndonesia.org diakses pada tanggal 1 Mei 2015 jam 20.00 http:// www.merdeka.com diakses pada tanggal 1 Mei 2015 jam 20.00
18
8
karena hak veto seringkali ditinjau dari sisi politiknya. Berawal dari situ, penulis tertarik untuk membahas Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI 1945.
B. Rumusan Masalah 1.
Bagaimana
Efektifitas
Hak
Veto
Presiden
dalam
Sistem
Tata
Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945? 2.
Bagaimana Pengaruh Hak Veto Presiden dalam Mencapai Pemerintahan yang checks and balances?
C. Tujuan Penelitian 1. Tujuan Objektif Setiap karya ilmiah pasti mempunyai tujuan-tujuan tertentu yang hendak
dicapai,
maka
berdasarkan
latar
belakang
dan
rumusan
permasalahan di atas, penelitian ini bertujuan untuk: a. Untuk mengetahui efektivitas pelaksanaan Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UndangUndang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. b. Mengetahui Pengaruh Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, untuk mewujudkan pemerintahan yang menerapkan prinsip checks and balances atau saling mengimbangi dan mengawasi.
9
2. Tujuan Subjektif Untuk melengkapi persyaratan akademik guna memenuhi salah satu syarat kelulusan jenjang Strata 2 di Program Magister Ilmu Hukum, Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.
D. Manfaat Penelitian Penelitian dengan judul Hak Veto Presiden dalam Kostruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 mempunyai banyak manfaat, pada poin ini penulis mengklasifikasikan menjadi 2 (dua) manfaat yaitu: 1. Manfaat Teoritis Penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi langsung terhadap dinamika ketatanegaraan di Indonesia, khusunya yang berkaitan dengan hak veto Presiden dalam tata pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUDNRI Tahun 1945, dan memperkaya literatur Hukum Tata Negara, serta tentang sistem pemerintahan yang tepat bagi negara Indonesia. 2. Manfaat Praktis Selain manfaat teoritis yang ada dalam penulisan ini, penulisan ini juga diharapkan dapat memberikan kontribusi dan masukan baik secara langsung maupun secara tidak langsung kepada Presiden Republik Indonesia dan Dewan Perwakila Rakyat Republik Indonesia selaku lembaga negara yang salah satu fungsinya adalah fungsi legislasi,
10
mengingat keberadaan hak veto Presiden masih menimbulkan perdebatan dan belum diatur secara eksplisit.
E. Keaslian Penelitian Penulis menyadari bahwa penelitian atau tulisan mengenai Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI 1945 dalam mewujudkan prinsip checks and balances bukanlah suatu hal yang baru. Beberapa penelitian yang terdahulu yang berkaitan dengan masalah ini dan berhasil penulis temukan adalah sebagai berikut: 1.
Tesis yang disusun oleh Hery Dwikuryanto, Program Magister Hukum Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2009 dengan Judul “Makna persetujuan Bersama Dalam Pembentukan Peraturan Daerah”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut; a. Pada tahapan apa persetujuan bersama dilakukan dalam proses pembentukan peraturan daerah ? b. Bagaimana bentuk persetujuan bersama dalam pembentukan peraturan daerah ? c. Apakah konsekuensinya jika kepala daerah tidak memberikan persetujuan ? Dari judul dan rumusan masalah tersebut di atas maka sudah pasti sangat
berbeda, jika dibandingkan dengan penulisan tesis di atas
dengan penulisan yang akan penulis buat. Perbedaannya, adalah dalam tesis yang penulis buat nantinya akan bermuara pada bagai mana
11
evektifitas hak veto presiden dan Bagaimana pengaruh hak veto presiden itu sendiri dalam mewujudkan pemerintahan yang checks and balances. Sedangkan pada tesis yang disusun oleh Hery Dwikuryanto fokus pembahasan terletak pada makna persetujuan bersama, dalam hal ini lebih dipersempit lagi fokus pembahasan hanya pada tahapan, makna, dan konsekuensinya jika kepala daerah tidak memberikan persetujuan, maka berpengaruh pada Rancangan peraturan Daerah tidak dapat ditetapkan menjadi Peraturan Daerah. 2.
Skripsi yang disusun oleh Rahmad Gunarto, Program Strata-1 Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada Yogyakarta 2012, dengan Judul “Kedudukan Surat Keputusan Bersama Dalam Sistem PerundangUndangan Dan Mekanisme Pengujiannya”. Dengan rumusan masalah sebagai berikut : a. Bagaimana kedudukan surat keputusan bersama dalam sistem perundang-undangan ? b. Bagaimana mekanisme pengujian terhadap surat keputusan bersama ? Dari judul dan rumusan masalah tersebut di atas maka sudah sangat pasti berbeda dengan penelitian yang akan dilakukan oleh penulis. Dalam karya tulis skripsi yang penulis baca tersebut fokus penulisannya hanya membahas tentang kedudukan surat keputusan bersama dalam hierarki perundang-undangan dan mekanisme pengujiannya. Sedangkan karya tulis berbentuk tesis yang akan penulis buat nantinya akan
12
bermuara pada bagaimana evektifitas hak veto presiden dan sejauh mana pengaruh veto presiden itu sendiri dalam mewujudkan pemerintahan yang checks and balances. Dalam penelitian ini penulis mencoba untuk mengkaji dari sudut pandang yang berbeda dengan pendekatan yang lebih kontesktual yaitu Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945, begitupula dengan objek penelitian pada tesis ini yang objeknya adalah Hak Veto Presiden di Inodonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945. Oleh karena itu penulis dapat menyatakan bahwa usulan penelitian yang berjudul “Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI Tahun 1945” belum pernah ada sebelumnya kecuali yang secara jelas, tegas, dan terang penulis akui, sebagai bahan acuan, atau kutipan, dalam naskah ini dan atau penulis sebutkan dalam daftar pustaka.
13
BAB II TINJAUAN PUSTAKA Tinjauan Pustaka adalah suatu uraian tersistematis tentang berbagai teori dari suber-sumber yang berhasil peneliti peroleh dari pustaka, yang ada hubungannya dengan tesis yang ditulis, dan menunjang penelitian. Kejujuran akademik mengharuskan peneliti menunjukkan sumber dari mana keterangan yang diperoleh.19 Adapun yang menjadi kerangka pemikiran dalam penelitian tesis ini ialah berhubungan dengan permasalahan, HAK VETO PRESIDEN DALAM
KONSTRUKSI
TATA
PEMERINTAHAN
DI
INDONESIA
BERDASARKAN UNDANG UNDANG DASAR NEGARA INDONESIA TAHUN 1945.
A. Hak Veto Proses amandemen kesatu sampai dengan keempat UUD NRI Tahun 1945 telah melahirkan norma baru dan mekanisme baru dalam pembentukan undang-undang. Jika dicermati secara yuridis akademis, rumusan final Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945, setelah di amandemen, baik secara sadar atau tidak formulasi pasal yang terdiri dari 5 (lima) ayat tersebut secara “tersirat” memberi semacam “hak veto” kepada presiden. “Veto” berasal dari kata bahasa latin yang berarti saya melarang atau saya menolak. Hak veto, adalah sebuah hak yang ditemukan dalam kehidupan politik dan ketatanegaraan berdasarkan konstitusi Amerika 19 Maria S.W. Sumardjono, 1997, Pedoman Pembuatan Usulan Penelitian (Sebuah Panduan Dasar), PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta , hlm. 19
14
Serikat dalam rangka checks and balances. International Enclycopedia of Governments and politics,20 menguraikan hal-hal yang berkaitan dengan hak veto dalam kehidupan ketatanegaraan Amerika Serikat. Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat arti bahwa kata “veto” adalah hak
konstitusional
mencegah,
presiden/penguasa/pemegang
menyatakan,
menolak,
atau
pemerintahan
membatalkan
untk
keputusan,
membatalkan/melarang secara mutlak. Sedangkan memveto memiliki arti mengguakan hak veto untuk membatalkan/menolak keputuasan. Sedangkan hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan rancangan undang-undang atau resolusi21. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara. Seperti di negara Amerika Serikat presiden memiliki hak utuk memveto suatu rancangan undangundang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Sedangkan di negara Indonesia hak veto adalah hak untuk menyatakan menolak atau tidak setuju terhadap suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) atau terhadap materi suatu RUU. Keberadaan hak veto menjadi senjata ampuh yang dimiliki oleh presiden ketika tidak setuju terhadap sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Di sistem ketatanegaraan dunia, Amerika Serikat menjadi negara yang dikenal memiliki hak untuk menveto suatu rancangan undang-undang yang diajukan oleh DPR, Senat dan Kongres sekalipun jika
20 Lihat, www.unisosdem.org/article_detail.php?aid=2284&coid=21&gid=3ca. Diakses pada 21 Agustus 2015 jam 17.07. 21 www.KamusBahasaIndonesia.org. Diakses pada 29 Juli 2016. Jam. 23.10 WIB.
15
itu menyangkut keselamatan jalannya pemerintahan. Hal ini diperoleh untuk mengimbangi besarnya kekuasaan legislatif.22 Selain Amerika Serikat, hak veto lebih sering digunakan oleh negaranegara di Organisasi Internasional yaitu, Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB). Setelah perang dunia kedua di mana hanya terdapat 5 (lima) negara dari 15 (Lima Belas) negara yang diberikan hak veto di Dewan Keamanan PBB,23 keberadaan hak veto di PBB menjadi hak yang paling ampuh untuk memberikan sanksi terhadap negara-negara tertentu, saat ini hak veto dimiliki oleh Amerika Serikat, Rusia (dulu Uni Soviet), Republik Rakyat China menggantikan Republik China (Taiwan) pada tahun 1979, Inggris, dan Perancis. Di negara Indonesia, Dengan telah diamademennya UUD NRI Tahun1945, maka norma baru hukum tatanegara dan hukum administrasi negara telah dilahirkan. Norma baru tersebut harus dijalankan dan dilaksanakan serta dijadikan pedoman yang harus dipatuhi dalam setiap proses politik, pemerintahan dan kenegaraan, termasuk di dalamnya proses pembuatan undang-undang. Oleh karena itu pembahasan, pencermatan, dan pemahaman secara konsisten dan konsekuen UUD NRI Tahun 1945, yang telah diamandemen tersebut perlu dilakukan. Pasal 20 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 secara tegas dan pasti telah menentukan, bahwa Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang. Sedangkan presiden memegang kekuasaan pemerintahan.24
22
id.m.wikipedia.org/wiki/Hak_veto diakses pada 1 Mei 2015 www.islamicgeo.com diakses pada tanggal 1 Mei 2015 jam 20.00 24 Lihat Pasal 20 Ayat (1) UUDNRI Tahun 1945. 23
16
Dalam kaitan proses pembentukan undang-undang, berdasarkan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI Tahun 1945, presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Selanjutnya presiden menetapkan peraturan pemerintah untuk menjalankan undang-undang sebagai mana mestinya secara ekseposional, dalam hal kegentingan yang memaksa, presiden berhak menetapkan peraturan pemerintah pengganti undang-undang, yang harus segera mendapat persetujuan dari DPR dalam sidang berikutnya (Pasal 22 UUD NRI Tahun 1945). Sedang DPR berhak pula mengajukan usulan RUU (Pasal 21 UUD NRI Tahun 1945). Jika menilik kebelakang sejarah mencatat bahwa presiden negara Indonesia pasca reformasi memiliki hak semacam hak veto, hal tersebut terbukti dengan adanya 4 (empat) undang-undang yang tidak mendapat pengesahan oleh presiden. Sebagai contoh dan bukti riil ke-empat undangundang tersebut adalah sebagai berikut : 1. Undang-undang tentang Penyiaran (UU No. 32 Tahun 2002), telah terjadi resistensi yang cukup keras yang dilakukan oleh sebagian besar oleh masyarakat penyiaran. 2. Undang-undang tentang Pembentukan Provinsi Kepulauan Riau (UU No. 25 Tahun 2002) telah terjadi pro-kontra antar masyarakat Riau sendiri. 3. Undang-undang tentang Advokat (UU No. 18 Tahun 2003) telah terjadi perdebatan yang sangat pelik di mana sarjana syariah dibolehkan menjadi Advokat.
17
4. Undang-undang keuangan negara (UU No. 17 Tahun 2003) telah terjadi benturan kepentingan antar interen lembaga pemerintah, yaitu seperti Bapenas dengan Departemen Keuangan.25 Demi mendapatkan pemahaman yang utuh dalam pembentukan undang-undang sebagai proses pembelajaran bagi bangsa yang ingin membangun Indonesia baru. Negara hukum demokratis maka, secara sistemmais hendak lah menyimak keseluruhan ayat dalam Pasal 20 UUD NRI Tahun 1945 secara lengkap berbunyi sebagai berikut ; 1. Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undangundang. 2. Setiap rancangan undang-undang dibahas oleh Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama. 3. Jika rancangan undang-undang itu tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam persidangan Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. 4. Presiden mengesahkan rancangan undang-udang yang telah di setujui bersama untuk menjadi undang-undang. 5. Dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden, dalam waktu 30 (tiga puluh) hari semenjak racangan undang-undang disetujui, rancangan undangundang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.26 Dari ayat di atas sudah pasti dan tidak dapat ditawar lagi bahwa memang DPR-lah yang diberi wewenang oleh konstitusi untuk membentuk undang-undang. Demi keseimbangan maka presiden sebagai eksekutif yang harus melaksanakan undang-undang. Apabila dicermati lebih mendalam amanat dari konstitusi Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945 tersebut, dengan menggunakan teori penafsiran gramatikal atau ketatabahasaan, maka dapat ditarik makna yang tersirat 25 26
M Hadi Subhan, http://www.kompas.com/kompas-cetak/0307/opini/435867.html Lihat Pasal 20 UUDNRI Tahun 1945.
18
bahwa dalam pembahasan rancangan undang-undang, presiden diberi hak oleh konstitusi untuk menyetujui RUU. Begitu juga berdasarkan teori a contrario, presiden diberi juga hak untuk menolak atau tidak menyetujui RUU menjadi Undang-Undang. Di sini, sesungguhnya berdasarkan amandemen konstitusi yang mengintrodusir norma baru, presiden telah diberikan hak untuk menggunakan semacam hak veto. Untuk penolakan terhadap RUU yang telah dibahas bersama dipersidangan DPR. Persoalan yuridis yang kemudian mucul adalah bagaimana jika sebelum diundngkan dalam lembaran negara undang-undang tersebut tidak mendapatkan pengesahan dari presiden ? dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, mengatakan bahwa, dalam hal RUU yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 hari semenjak RUU tersebut disetujui maka RUU tersebut sah menjadi undangundang. Secara hukum presiden memiliki hak untuk tidak menandatangani atau mengesahkan RUU yang telah disetujui bersama antara DPR dengan pemerintah, dan RUU itu sah secara hukum sebagai undang-undang. Namun tidak adanya pengesahan dari presiden menyisakan banyak masalah dan pertanyaan. Pertama : Mengapa presiden sampai tidak setuju terhadap RUU itu dengan cara tidak mengesahkannya ? padahal, dalam proses RUU itu pemerintah telah dilibatkan sejak semula di mana DPR mengajukan RUU pada
presiden,
lalu
presiden
menugaskan
menteri
terkait
untuk
menindaklanjuti. Di sini terjadi ambiguitas pemerintah, di satu sisi
19
pemeritah melalui menteri terkait menyetujui RUU itu. Sementara di sisi lain pemerintah, dalam hal ini presiden, menolak RUU tersebut untuk disahkan. Ke dua : tiadak adanya pengesahan presiden atas undang-undang justru itu
menunjukan
kelemahan
kontrol
presiden
terhadap
parapembantunya/kabinetnya (menteri). Gambaran yang tertangkap, menteri yang ditugasi menindaklanjuti itu tidak melaporkan/tidak berkordinasi tentang perkembangan tugasnya kepada presiden. Akibatnya ada subtansi pada RUU yang tidak dikehendaki oleh presiden, akan tetapi RUU tersebut sudah dibahas dan disetujui oleh mentri itu, dengan adanya suatu hal tersebut maka berakibat pada presiden tidak mau mengesahkan RUU itu. Sinyal ini secara eksplisit diakui oleh sekertaris negara dalam rapat dengar pendapat bersama DPR baru-baru ini. Ke tiga : Jika persoalan pertama dan kedua tidak terjadi maka sudah dapat dipastikan bahwa presiden berupaya mencari selamat diri. Presiden selalu mengamati dari setiap perkembangan RUU. Apabila dalam perkembangannya ada resistensi dari masyarakat atau kelompok masyarakat terhadap suatu RUU yang akan ditetapkan menjadi undang-undang maka presiden sudah dapat dipastikan menghindari tanggungjawabnya dengan cara tidak mengesahkan RUU tersebut. Sehingga, jika dikemudian hari ada apa-apa dengan diberlakukannya undang-undang yang tanpa ditandatangani oleh presiden, maka dengan enteng presiden akan mengatakan bahwa dari dulu presiden tidak setuju atas RUU tersebut.
20
Haltersebut terbukti dari keterangan yang diberikan oleh sekertaris negara pada kesempatan lain yang menyatakan bahwa : Jika nanti dikemudian hari terjadi sesuatu karena RUU yang disahkan dengan ditandatangani oleh presiden itu, maka presiden harus bertanggung jawab secara moral. Sedangkan jika presiden tidak menandatangani RUU itu presiden tidak dipersalahkan hal tersebut dikarenakan UUD NRI Tahun 1945 dalam Pasal 20 ayat (5) membolehkan demikian. Berdsarkan perumusan Pasal 21 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sebelum perubahan tersebut, pengesahan dilakukan setelah proses persetujuan racangan undang-undang. Namun, ketika proses legislasi menyatukan pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dan Presiden, praktik legislasi sekaligus memperkenalkan dua pengesahan, pengesahan formal dan materiil, dalam proses pembentukan undangundang, artinya, dalam praktik pengesahan tunggal, berupa pengesahan formal yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, sebelum perubahan diperluas dengan pengesahan materiil. Sebagai penjelasan adalah berikut : 1. Pengesahan Materiil : sekalipun perubahan Pasal 21 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, secara expressis verbis menyatakan bahwa pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang, namun sejak sebelum perubahan, UUD NRI Tahun 1945 yaitu telah berlangsung dua metode pengesahan yaitu secara formal dan materiil. Dengan praktik persetujuan bersama atara DPR dan presiden, pengesahan materiil pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang terlah terjadi sejak adanya persetujuan bersama antara presiden (peerintah) dengan DPR dalam sidang paripurna DPR. Sedangkan pengesahan materiil tidak terjadi jika salah satu pihak (presiden dan atau DPR) menolak untuk menyetujui rancangan undang-undang dalam sidang paripurna.
21
Dengan adanya frasa “persetujuan berasama” dalam Pasal 20 ayat (2) UUD NRI Tahun 1945, pengesahan materiil punya pijakan konstitusional yang kuat dalam fungsi legislasi setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945. Sebelum perubahan pengesahan materiil hanya di atur dalam tatib DPR, namun setelah perubahan hal tersebut di angkat menjadi muatan konstitusi. Jika pengesahan materiil dalam bentuk persetujuan bersama tidak tercapai, pengesahan formal sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945 tidak dapat digunakan. Dengan adanya pengesahan materiil berupa persetujuan bersama antara presiden/pemerintah dengan DPR rancangan undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai undangundang dalam arti materiil.27 2. Pengesahan Formal : Jika pengesahan materiil tercapai, baru akan di lakukan pengesahan formal atas rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara presiden dengan DPR. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, presiden akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan sebelumnya, pengesahan formal tidak akan terjadi tanpa adanya pengesahan materiil dalam bentuk tercapainya persetujuan bersama antara presiden dengan DPR sebagaimana yang termuat dalam Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945.28 Jimly Asshiddiqie berpendapat berkenaan dengan hal tersebut di atas, itu berarti, pengesahan materiil menjadi syarat konstitusional untuk adanya pengesahan formal. Apabila rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, maka secara konstitusional, presiden tidak perlu mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Dalam hal tersebut presiden tidak dapat dikatakan melanggar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945).29 Sekalipun perubahan UUD NRI Tahun 1945 meggunakan praktik pembahasan bersama dan persetujuan bersama dalam fungsi legislasi, para 27
Saldi Isra, 2010, “Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang–Undang Dasar 1945,” (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 225-226. 28 Ibid., hlm. 226 29 Jimly Asshiddiqie, 2006, Pengantar Ilmu Hukum Tata Negara, Jilid II,skretaris Jendral Mahkamah Konstitusi Republik Indonesia, Jakarta. hal. 33.
22
pengubah UUD NRI Tahun 1945 memiliki kekhawatiran bahwa masih membuka kemungkinan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak akan disahkan oleh presiden. Guna untuk mengantisipasi hal tersebut maka muncul Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, yang mana ayat tersebut berbunyi “dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari sejak rancangan undang-undang tersebut disetujui bersama, rancangan undang-undang
tersebut
sah
menjadi
undang-undang
dan
wajib
diundangkan”. Berpijak pada tanggung jawab tersebut maka persetujuan atau penolakan terhadap RUU dilakukan oleh presiden secara in personal dan dilakukan secara formal material, katalain tidak boleh diwakilkan kepada mentri atau kepada wakil presiden sekalipun. Disinilah harus ditafsirkan bahwa UUD NRI Tahun 1945, telah memberikan semacam “hak veto” kepada presiden (seolah-oleh di berikan hak veto namun sejatinya tidak/prsiden di bolehkan untuk tidak menandatangi RUU menjadi UU). Presiden dapat menolak menyetujui RUU menjadi Undang-undang bilamana RUU yang akan disetujuinya dapat menimbulkan bahaya dan kesulitan dalam pelaksanaannya, hal tersebut dikarenakan presiden sendirilah yang bertanggung jawab secara penuh. Dengan perkataan lain, rancangan undang-undang tersebut belum dapat disahkan dan diundangkan menjadi undang-undang. Apabila suatu saat terjadi penolakan seperti itu, maka bangsa ini, terutama DPR, harus belajar
23
bersikap lebih arif untuk menerimakenyataan demikian guna membangun Indonesia baru yang lebih demokratis. B. Sistem Pemerintahan Sistem
pemerintahan
acap
kalai terjadi
pencampuran
antara
penggunaan istilah sistem pemerintahan dengan bentuk pemerintahan. Menurut Hankelsen dalam teori politik klasik bentuk pemerintahan diklasifikasikan menjadi moarki dan republik.30 Perubahan konstitusi negara secara radikal pada tahun 1999-2002 berakibat pada perubahan sistem ketatanegaraan mulai dari pemerintahan di pusat sampai pemerintahan di daerah, sehingga dominasi eksekutif (executive heavy) berakhir dan istilah lembaga tertinggi negara sudah tidak dipergunakan lagi sebagaimana yang terjadi pada saat pemerintahan Orde Lama dan Orde Baru. Perubahan tersebut tidak terlepas dari semangat untuk mendinamisasikan sistem ketatanegaraan yang telah mengalami kebekuan selama dua rezim pemerintahan. Pendinamisasian sistem pemerintahan dan kenegaraan terjadi di setiap negara ketika sistem status quo dianggap tidak mampu lagi mewujudkan tujuan negara. Setiap negara mempunyai sejarah ketatanegaraan yang sesuai dengan realitas masyarakat dan bangsanya sendiri, namun secara akademik pengaruh teori konsep trias politica Montesquieu sangat dominan mewarnai dinamika kenegaraan atau lembaga negara di dunia termasuk Indonesia. Seiring dengan perkembangan dinamika kenegaraan, pergeseran tujuan negara dari tujuan penjaga malam (Nachtwaker staat atau Nachtwacherstaat) menjadi pencipta kesejahteraan negara dan masyarakat (welfare state and welfare sociaty) ditambah semakin kompleksnya kebutuhan serta tantangan masyarakat memaksa konsep 30
Saldi Isra, 2010, “Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang–Undang Dasar 1945,” (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm 23.
24
kelembagaan negara juga ikut mengalami pertumbuhan lembagalembaga baru. Misalanya, kehadiran state auxiliary organs atau auxiliary institutions (lembaga negara penunjang) ada juga yang menyebutnya sebagai self regulatory agency, independent supervisory bodies atau lembaga-lembaga negara yang menjalankan fungsi campuran (mixfunction) antara fungsi-fungsi regulatif, administratif, dan fungsi penghukuman yang biasanya dipisahkan tetapi justru dilakukan secara bersamaan oleh lembaga-lembaga baru tersebut yang pada akhirnya tercipta checks and balances.31 Sejarah dinamika kelembagaan negara dan tarik-ulur kepentingan antar lembaga negara tidak dapat terhindarkan lagi. Silih bergantinya dominasi kekuasaan antara kekuasaan legislatif (legislative heavy) setelah perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 dan kekuasaan eksekutif (executive heavy) sebelum perubahan Undang-Undang Dasar Tahun 1945 menjadi perdebatan yang tidak berkesudahan,32 sehingga dari perubahan UUD tahun 1945 Menjadi UUD NRI Tahun 1945 kewenangan eksekutif justru semakin terpangkas oleh legislatif. Namun setelah bangsa Indonesia mempertegas dirinya sebagai negara yang berdasar atas hukum di dalam Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945, maka kekuasaan legislatif dan eksekutif harus tunduk dan patuh terhadap kekuasaan yudikatif atau lembaga judicial. Legitimasi langsung dari rakyat terkadang menimbulkan ego sektoral lembaga legislatif terhadap eksekutif sebab Indonesia tidak menganut teori trias politica secara murni di dalam konstitusi dan tidak dipertegasnya sistem pemerintahan yang digunakan. Sebagaimana yang dikatakan oleh Jimly Asshiddiqie: 31
Jimly Asshiddiqie, 2010, Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi, Sinar Grafika, Jakarta, hlm. 292-293. 32 Moh. Mahfud MD, Op. Cit, hlm. 87-88.
25
“Sistem pemerintahan Indonesia dimaksudkan sebagai sistem Presidensial. Baik dalam penjelasan maupun dalam pengertian umum. Akan tetapi, disana-sini terdapat kejumbuhan dan ketentuan yang bersifat overlapping antara sistem Presidensial yang diidealkan dengan elemen-elemen sistem parlementer.”33 Sejarah Indonesia pernah menggunakan dua pola sistem pemerintahan yaitu sistem Presidensial dan sistem Parlementer. Indonesia menerapkan sistem Parlementer dengan tiga konstitusi berbeda yaitu: Undang-Undang Dasar 1945 (1945-1949), Konstitusi Sementara Republik Indonesia Serikat (1949-1950), dan Undang-Undang Dasar Sementara Republik Indonesia 1950 (1950-1959) dan setelah Dekrit Presiden 5 Juli 1959 Indonesia kembali menerapkan sistem Presidensial.34 Berbeda halnya yang dikemukakan oleh Saldi Isra bahwa sistem pemerintahan sebelum perubahan Undang-Undang Dasar 1945 dinilai mengandung anasir sistem parlementer dan sistem Presidensial atau sistem campuran.35 Namun pada praktiknya sistem tersebut belum cukup maksimal untuk mewujudkan tujuan negara yang termaktub pada alinea keempat pembukaan UndangUndang Dasar Tahun 1945. 1. Sistem Pemerintahan Presidensial Dalam membicarakan sistem pemerintahan presidensial ini tentu identik dengan membahas pemerintahan Amerika Serikat. Hampir dari semua literatur menyebutkan bahwa Amerika Serikat adalah
33 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 170. 34 Saldi Isra, 2010, “Pergeseran Fungsi Legislasi dalam Sistem Pemerintahan Indonesia setelah Perubahan Undang–Undang Dasar 1945,” (Desertasi), Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, Yogyakarta, hlm. 3. 35 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia, Rajawali Press, Jakarta. hlm. 25.
26
merupakan negara yang melahirkan sistem presidensial. Sekaligus merupakan contoh yang sangat ideal karena hampir memenuhi semua kriteria yang terdapat dalam pemerintahan presidensial. Misalnya Ball & Peters dalam tulisannya menyatakan bahwa “Amerika Serikat merupakan the outstanding example of the presidential from of government.36 Sebenarnya ada hal yang melatar belakangi mengapa Amerika Serikat menganut sistem presidensial, hal tersebut adalah kebencian rakyat terhadap pemerintahan Raja George III, sehingga mereka tidak menghendaki bentuk negara monarki dan untuk mewujudkan kemerdekaan dari pengaruh inggris. Mereka lebih suka mengikuti jejak Motesquieu dengan mengadakan pemisahan kekuasaan , sehingga tidak ada kemungkinan yang satu akan melebihi kekuasaan yang lainnya, karena dalm trias politika tersebut terdapat sistem checks and balences.37 Setelah
kelahiran
sistem
peerintahan
presidensial
itu,
pemerintahan republik yang di pimpin oleh berbagai pemimpin di belahan dunia bermnculan. Misalnya di Eropa presiden pertama kali muncul di Prancis.38 Di Asia, pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang presiden, dicangkikan Amerika Serikat yaitu di Filipina pada tahun 1935. Peristiwa itu terjadi ketika Filipina memperoleh
36
Alan R. Ball & B. Guy Peters, 2000, Moderen Politics ........ hlm. 63. Moh, Kusnardi & Harmaily Ibrahim, 1988, Pengantar Hukum Tata Negara ......., hlm.177. 38 Wikepedia, http://en.wikwpedia.org/wiki/presiden, di akses 01/09/2015. 37
27
kemerdekaan terbatas dalam bentuk The Commonwealth of the Philipines dari Amerika Serikat.39 Meluasnya negara-negara yang menganut sistem pemerintahan republik yang dipimpin oleh seorang presiden, perlahan mulai memunculkan kajian tentang praktik sistem presidensial. Misalnya, pada era 1940-an banyak kajian tentang perbandingan antara sistem parlementer dan sistm presidensial.40 Sepanjang periode ini, perdebatan mengenai sistem pemerintahan presidensial menjadi topik yang sangat kerap terjadi dan menjadi isu yang sangat pentig yang berkaitan dengan negara-negara demokrasi baru. Hal tersebut ditambah lagi pelaksanaan sistem pemerintahan presidensial di Amerika Latin kerap sekali terjadi ketegangan antara Eksekutif dan legislatif. Sistem pemerintahan presidensial berada pada tepi jurang kegagalan. Sehingga hal tersebut mengakibatkan sejumlah negara mempersiapkan diri berlih dari sistem pemerintaha presidensial menuju sistem pemerintahan parlementer. Menurut, Matthew Shugart, setudi-setudi kasus di Amerika Latin merupakan salah satu sumber
terbaik
guna
menjalankan
pelaksanaan
demokrasi
(democratic performance) di kawasan tersebut.41
39
Bastian Van De Loo, 2004, The Vilure Of The Philipine Presidential System, Dalam Asia Erope Journal, No 2. hlm.262. 40 Harold J. Laski, 1944, The Parliamentary and presidential sistem, dalm journal of public Administrative Revew, No, 4:4. 41 Mathew Soberg Shugart, 1995, Parliament Over President?, Book Reiew dalam Journal of Democracy, No 6 Vol. 2, hlm. 171.
28
Jika dipelajari karakteristik dari yang di kemukakan oleh Ball & Peters, tidak sebatas memperhadapkan presiden dengan lembaga legislatif, akan tetapi juga menerangkan bahwa eksekutif terpisah dari legislatif. Keterangan tersebut sekaligus menggambarkan bahwa lembaga kepresidenan dan lembaga yang paralel. Dikarenakan posisi yang paralel mengakibatkan bahwa utuk menjadi presiden tidak tergantung dari dukungan politik lembaga legislatif. Hal tersebut jelas berbeda dengan sistem parlementer yang tidak mungkin membentuk pemerintah jiika tidak ada dukungan mayoritas dari anggota di parlemen. Menurut Jimly Asshiddiqie dalam bukunya menyebutkan bahwa sistem pemerintahan presidensial memiliki sembilan karakter sebagai berikut : a. Terdapat pemisahan kekuasaan yang jelas antara cabang kekuasaan eksekutif dan legeslatif. b. Presiden merupakan eksekutif tunggal. Kekuasaan eksekutif presiden tidak terbagi dan yang ada hanya presiden dan wakil presiden. c. Kepala pemerintahan adalah sekaligus kepala negara atau sebaliknya kepala negara adalah kepala pemerintah. d. Presiden mengangkat para menteri sebagai pembatu atau sebagai bawahan yang bertanggung jawab kepadanya.
29
e. Anggota parlemen tidak boleh menduduki jawbatan eksekutif dan demikian pula sebaliknya. f. Presiden tdak dapat membubarkan atau memaksa parlemen. g. Jika dalam sistem parlemen berlaku prinsip supremasi parlemen, maka dalam prinsip presidensil berlaku prinsip supremasi konstitusi. Karena itu pemerintah eksekutif bertanggungjawab kepada konstitusi. h. Eksekutif bertanggung jawab langsung kepada rakyat yang berdaulat. i. Kekuasaan tersebar secara tidak terpusat seperti dalam sistem parlementer yang terpusat pada parlemen42. Dengan pemisahan secara jelas antara pemisahan kekuasaan eksekutif dan legislatif, dalam sistem pemerintahan presidensial. Pembentukan pemerintahan tidak bergantung pada proses politik di lembaga legislatif. Jika dalam sistem parlementer eksekutif sangat tergantung dukungan parlemen. Sistem pemerintahan presidensial di bangun dalam prinsip Clear-cut sparation of powers. Antara pemegang kekuasaan eksekutif dan kekuasaan legislatif. Dengan pola hubungan yang terpisah para ahli pendukung tentang sistem presidensial menyatakan setidaknya ada empat keuntungan dasar dari sistem ini yaitu43 : pertama dengan dipilih secara langsung, kekuasaan presiden menjadi lebih legitimet karena 42
Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 173. 43 Jimly Asshiddiqie, 2007, Hukum Tata Negara Darurat , Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm 52-54.
30
mendapat mandat langsung dari pemilih. Sementara dalam sistem parlementer perdanamentri di angkat melalui penunjukan. Kedua pemisahan
antara
lembaga-lembaga
negara
terutama
antara
pemegang kekuasaan eksekutif dengan pemegang kekuasaan legislatif. Dengan pemisahan tersebut antar lembaga negara dapat melakukan pengawasan terhadap lembaga lainnya untuk mencegah terjadinya penumpukan dan penyalah gunaan kekuasaan. Tiga dengan posisi sentral dalam jajaran eksekutif presiden dapat mengambil kebijakan strategis yang amat menentukan secara cepat. Empat degan masa jabatan yang tetap posisi presiden jauh lebih stabil diandingkan perdana menteri yang bisa di ganti setap waktu.
2. Sistem Pemerintahan Parlementer Mencermti kajian terhadap sistem pemerintahan parlementer perbedaan model yang ada tidak banyak. Sehingga, kajian lebih banyak diarahkan pada karakter umum sistem pemerintahan parlementer. Agar mudah dalm mengeal sistem pemerintahan adalah dengan cara melakukan pengamatan atau memperhatikan di mana letak
objek
utama
yang
diperebutkan.
Dalam
hal
sistem
pemerintahan parlementer objek yang utama yang di perebutkan adalah parlemen. Berkenaan dengan hal tersebut sudah dapat di pastikan bahwa pemilihan parlemen merupakan hal yang sangat penting. Hal tersebut dikarenakan pemerintahan akan di peroleh
31
ketika partai politik dapat memperoleh suara mayoritas di kursi parlemen. Seandainya jika tidak ada partai politik yang memperoleh suara myoritas maka beberapa partai politik bergabung atau melkukan koalisi, untuk membentuk kabinet. Guna mendalami karakter sistem pemerintahan parlementer maka tidak cukup jika hanya mengamati saja parlemen sebagai objek utama yang diperebutkan. Menurut Miriam Budiardjo dalam bukunya menyataan bahwa dalam sistem pemerintahan parlementer badan eksekutif dan badan legislatif bergantung satu sama lain. Kabinet sebagai bagian dari badan eksekutif yang “bertanggung jawab” di anggap mencerminkan kekuatan politik dalam badan legislatif. Yang mendukungnya terhadap mati hidupnya kabinet bergantung pada dukungan dalam badan legislatif.44 Bambang Cipto berpendapat dalam bukunya menyebutkan bahwa sistem pemerintahan parlementer memiliki tujuh karakter sebagai berikut: a. Sistem parlementer bisa terjadi pada negara berbentuk republik ataupun kerajaan (monarki parlementer). b. Dalam sistem parlementer fungsi kepala negara terpisah dengan kepala pemerintahan. c. Kepala negara bisa seorang Kaisar, Raja/Ratu, Syah, Sultan (monarki), atau Presiden (republik). Kepala negara adalah simbol representasi negara yang tidak memiliki kewenangan eksekutif, selain hak tertentu yang bersifat kenegaraan. d. Kekuasaan pemerintahan adanya di parlemen. Maka, dalam sistem parlementer, objek utama yang diperebutkan adalah parlemen. 44 Miriam Budiardjo, 2006, Dasar-Dasar Ilmu Politik, cetakan ke 29, PT. Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.210.
32
e. Karena jumlah anggota parlemen banyak (biasanya ratusan), untuk dapat menguasai suara parlemen diperlukan kelompok yang biasa direpresentasikan oleh partai. f. Yang menguasai parlemen adalah apabila bisa menguasai suara parlemen sekurang-kurangnya, 50%+1 (limapuluh presen plus satu), agar partai pemenang bisa melaksanakan programprogramnya (melalui dan berdasarkan undang-undang). g. Peran partai dominan, oleh karenanya sistem parlementer biasa disebut “sistem tradisi partai kuat”.45
3. Sistem Pemerintahan Campuran Sama halnya dengan dua sistem pemerintahan di atas membehas sistem pemerintahan campuran tidak mungkin lepas dari kejadian mengenai perkembangan-perkembangan ketatanegaraan di Perancis.46 Sejarah tersebut dimulai sejak gedung pemerintahan Perancis di kuasi oleh tentara Aljazair tanggal 13 Mei 1958. Kejadian ini sekaligus menunjukan makin lemahnya pemerintahan Perancis waktu itu, di mata para koloninya. Sejak saat itu, secra resmi terbentu lah republik keima Perancis dengan sistem baru yang disebut oleh Maurice Duvarger sebagai A New Political Sistem Model : A semi presidential Government, bisa di sebut juga sistem campuran.47 Dengan adanya sistem baru ini Duverger menyatakan sistem pemerintahan semi presidensial bukan merupakan syinthesis dari sistem pemerintahan parlementer da presidensial. Namun merupakan
45
Bambang Cipto, 2003, Politik dan Pemerintahan Amerika, Pustaka Pelajar, Yogyakarta,
hlm. 11. 46
Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi…, op. Cit., hlm.42 Maurice Duverger, 1980, “A New Political Model, A Semi Presidential Goverment,” dalam Eropean Journal of Political Research, Vol. 8. No.6. 47
33
alternation di antara tahapan-tahapan sistem presidensial dan parlementer. Secara umum, sistem pemerintahan semi-presidensial memisahkan
pemilihan
presiden
dengan
pemilihan
lembaga
legislatif. Dalam sistem ini kepala kekuasaan eksekutif di bagi menjadi dua yaitu perdana mentri dan presiden, namun presiden lah yang diberikan wewenang untuk memilih siapa perdana mentrinya. Meski dipilih melalui pemilihan umum dan presiden memiliki kekuasaan yang cukup besar, Duverger mengakui dalam praktik sistem pemerintahan ini ada tiga varian diantaranya adalah sebagai berikut : a. Negara dengan presiden sebagai boneka seperti Australia, Irlandia, dan Islandia. b. Negara dengan kedudukan presiden yang sangat berkuasa seperti Prancis. c. Negara dengan kedudukan presiden dan pemerintah yang relatif seimbang , yaitu republik Weimar, Finlandia, Portugal.48 Dengan ketiga varian tersebut ada tiga unsur yang harus di penuhi
utuk
menyatakan
sebuah
negara
dapat
dikatakan
menggunakan sistem pemerintahan semi presidensial atau sistem pemerintahan campuran bilamana kekuasaan presiden sangat besar, atau sekurang-kurangnya negara dengan kedudukan presiden dan pemerintah sangat relatif seimbang. Dalam sistem pemerintahan campuran terutama presiden dengan kedudukannya yang sangat kuat atau presiden dengan kedudukan yang relatif seimbang dengan
48
Ibid., hlm 143-146
34
anggota legislatif, dan dengan adanya pembagian kekuasaan ekekutif, antara presiden dengan perdana menteri (dual executive), amat mungkin terjadi kohabitasi.
Dengan adanya pembagian
kekuasaan tersebut antara presiden dan perdana menteri potensi terjadinya ketegangan hanya jika kekuatan mayoritas atau partai politik pemenang pemilihan umum berbeda dengan partai politik presiden. C. Prinsip Checks and Balances Reformasi Mei 1998 telah membawa berbagai perubahan secara mendasar dalam berbangsa dan bernegara Indonesia diataranya adalah sebagai berikut.49 1. Sejak jatuhnya Soeharto, kita tidak lagi memiliki seorangg pemimpin sentral dan menentukan. Munculnya pusat-pusat baru di luar negara telah menggeser kedudukan seorang presiden Republik Indonesia dari penguasa yang hegemonik dan monopolistik menjadi kepala pemerintahan biasa, yang sewaktu-waktu dapat di gugat bahkan dapat diturunkan dari kekuasaannya. 2. Munculnya kehidupan politik yang lebih liberal yang melahirkan proses politik yang juga liberal. 3. Reformasai politik juga telah mempercepat pencerahan poltik rakyat. Semangat keterbukaan yang dibawanya telah memperlihatkan kepada pubik berapa tingginya proses distorsi dari proses penyelenggaraan negara. 4. Pada tataran lembaga tinggi negara, kesadaran untuk memperkuat proses checks and balances antara cabang-cabang kekuasaan telah berkembang sedemikian rupa bahkan melampaui konvensi yang selama ini di pegang yakni “asaz kekeluargaan” di dalam penyelenggaraan negara. 5. Reformasi politik telah mempertebal keinginan sebagian elit berpengaruh dan publik politik Indonesia untuk secara sistematik dan damai melakukan perubahan mendasar dalam konstitusi Republik Indonesia. 49 Ni’matul Huda, 2005, Hukum Tata Negara Indonesia-Edisi Revisi, PT. RajaGrafindo Persada, Jakarta. hlm. 107.
35
Perubahan tersebut tentu tidak hanya berhenti di situ saja perubahan yeng berkaitan dengan kekuasaan presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat pun mengalami perubahan. Perubahan pertama UUD NRI Tahun 1945 terhadap Pasal 5 dan Pasal 20, dianggap sebagai permulaan terjadinya “pergeseran” executive heavy ke-arah legislatif heavy. Hal ini terlihat dari pergeseran kekuasaan presiden dalam membentuk undang-undang yang diatur dalam Pasal 5, berubah menjadi presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang, dan Dewan Perwakilan Rakyat memegang kekuasaan membentuk undang-undang ( Pasal 20). Perubahan pasal-pasal tersebut sekaligus menjadikan dasar memindahkan titik berat kekuasaan legislasi nasional, yang dulunya berada di tangan presiden beralih menjadi kewenangan Dewan Perwakilan Rakyat. Negara Indonesia adalah Negara Kesatuan yang berbentuk Republik50 sedangkan sistem pemerintahan atau sistem katatanegaraan yang berlaku adalah sistem Presidensial menurut penjelasan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Sebelum terlalu jauh membahas mengenai checks and balances antara lembaga legislatif dan lembaga eksekutif dalam sistem pemerintahan Indonesia, terlebih dahulu penulis mengemukakan
beberapa
pendapat
mengenai
pengertian
sistem
pemerintahan. Menurut Usep Ranawijaya, sistem pemerintahan merupakan sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif51 ditambahkan oleh Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata 50 51
Lihat Pasal 1 ayat (1) UUDNRI Tahun 1945 Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi…, op. Cit., hlm. 24.
36
kerja antar lembaga-lembaga negara.52 Oleh karena itu, checks and balances dalam hal ini hanya terbatas pada pola hubungan kerja antara eksekutif dan legislatif dan seiring dengan perkembagan ketatanegaraan modern muncul beberapa komisi, badan dan atau lembaga baru
yang mungkin
melaksanakan fungsi legislatif atau eksekutif. Pada dunia modern, lembaga legislatif dikenal luas sebagai lembaga perwakilan rakyat, meskipun sejarahnya mengalami pergeseran makna dari negara yang satu ke negara yang lain. Misalnya di Inggris yang merupakan lembaga parlemen tertua di dunia, mula-mula lembaga legislatif hanya bertugas
untuk
mengumpulkan
dana
untuk
membiayai
kegiatan
pemerintahan dan peperangan namun lambat-laun kegiatan itu pun bergeser pada pembatasan kekuasaan raja yang absolut dan mempunyai kedaulatan untuk melaksanakan kepentingan umum.53 Lembaga parlemen di Indonesia tentu tidak bisa terlepas dari pengaruh di atas dan pengaruh teori trias politica Montesquieu meskipun pengaruh tersebut tidak sama persis diterapkan di Indonesia.
D. Tahapan Pembentukan Perundang-undangan Sesuai Pasal 1 UU RI No. 12 Tahun 2011 1. Tahap Perencanan Rancangan Undang-Undang Dalam bukunya Jimli Asshiddiqie yang berjudul perkembangan dan konsolidasi lembaga negara pasca reformasi mengatakan bahwa, 52 53
Ibid., hlm. 23. Miriam Budiardjo, 2002, Dasar-Dasar Ilmu Politik, Gramedia Pustaka Utama, Jakarta, hlm.173.
37
perubahan Pasal 5 UUD NRI 1945, presiden berhak mengajukan rancangan undang-undang yang kemudian di ikuti dengan perubahan Pasal 5 ayat (1) UUD NRI 1945, DPR mempunyai kekuasaan membentuk undang-undang, telah terjadi perubahan/pergeseran secara subtantif dalam kekuasaan legislatif atau kekuasaan pembentukan undang-undang yang semula di presiden ketangan DPR. Lebih tegas disampaikan oleh Wicipto Stiadi dalam jurnal legeslasi Indonesia berpendapat bahwa kekuasaan pembentukan undang-undang sekarang ada pada DPR, sedang presiden bukan lagi pemegang kekuasaan pembentukan undang-undang. Sebgai pemegang kekuasaan pemerintahan negara, presiden hanya berhak mengajukan rancangan undang-undang kepada DPR. Artinya perubahan Pasal 5 ayat (1), dan Pasal 20 ayat (1) UUD NRI 1945, menggeser bandul kekuasaan pembentukan perundang-undangan dari eksekutif ke legislatif.
2. Tahap Penyusunan Rancangan Undang-undang Tahap ini sebagai mana kita ketahui bersama setiap rancangan undang-undang dapat berasal baik dari inisiasi dari presiden (eksekutif) maupun dari legislatif (DPR, DPD), kesemuanya hendaklah memenuhi sarat-sarat yang telah di atur dalam UU No. 12 Tahun 2011 tentang pembentukan perundang-undangan, yang mana setiap rancangan undang-undang harus memiliki naskah akademik,
38
dan memiliki tujuan serta tidak bertentangan dengan undang-undang satu dengan yang lain terlebih bertentangan dengan undang-undang diatasnya. Dan berlandaskan pada pancasila dan UUD NRI Tahun 1945.
3. Tahap Pembahasan Rancangan Undang-Undang Sebagai mana kita ketahui bersama bahwa sebelum dilakukan perubahan atau sebelum di amandemen, UUD NRI Tahun 1945 tidak secara
eksplisit
menyebutkan
tentang
pembahasan
rancangan
perundang-undangan. Dalam Pasal 20 ayat (1) menyatakan bahwa tiap-tiap undang-undang menghendaki persetujuan dewan perwakilan rakyat. Sedang kan Pasal 20 ayat (2) berbunyi jika suatu rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan dari DPR maka rancagan tadi tidak dapat di majukan lagi dalam persidanga DPR pada masa itu. Sedangkan tatib DPR masa era orde baru menentukan bahwa pembahasan
RUU
dilakukan
bersama-sama
oleh
DPR
dan
Pemerintah. Tatib DPR tidak mampu menjelaskan hubungan presiden dengan DPR dalam proses legislasi, sehingga proses pembahasan bersama hendaklah di formulasikan secara tepat yang paling utama adalah untuk menentukan. Apakah padasaat pembahasan bersama presiden langsung berhadapan dengan DPR sebagai institusi atau berhadapan dengan fraksi-fraksi yang ada di DPR. terlebih hasil dari
39
pembahasan bersama akan bermuara pada persetujuan bersama antara presiden dengan DPR. hal tersebut di karenakan dalam praktik fungsi legislasi menyatukan pembahasan dan persetujuan bersama antara DPR dengan Presiden.
4. Tahap Pengesahan Atau Penetapan Rancangan Mmenjadi Undang-undang Tahap pengesahan atau penetapan disini memiliki dua arti yaitu pengesahan
Formal
dan pengesahan Materil. Dalam praktik
pengeahan tunggal kerap di sebut juga dengan pengesahan formal sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 21 ayat (2), UUD NRI Tahun 1945 sebelum perubahan di perluas dengan pengesahan materiil. a. Pengesahan Materiil : secara expresss verbis menyatakan pengesahan undang-undang namun sejak sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945, hal tersebut di karenakan sebelum perubahan UUD NRI Tahun 1945 mengenal dua model pengesahan yaitu pengesahan Fomal denga praktik persetujuan bersama antara presiden dengan DPR mengesahkan materiil rancangan undang-undangmenjadi undang-undang. b. Pengesahan formal : jika pengesahan materiil tercapai barulah kemudian akan di lakukan pengesahan formal atas rancangan undang-undang yang telah di setujui bersama antara DPR dan Presiden.sebagai mana yang terdapat dalam Pasal 20 ayat (4)
40
UUD NRI Tahun 1945, presiden akan mengesahkkan rancanga undang-undang. Menyikapai kedua hal di atas Jimli Asshidiqie berpendapat pengesahan formal adalah merupakan kelanjutan dari pengesahan materiil. Hal tersebut maka pengesahan materiil menjadi prasyarat konstitusional untuk adanya pengesahan formal. Apabila RUU tidak mendapat persetujuan bersama antara presiden dan DPR, maka secara konstitusional presiden tidak perlu mengesahkan RUU tersebut. Dalam hal ini presiden tidak bisa di katakan melanggar konstitusi. Bilamana presiden tidak mengesahkan RUU yang tidak di setujui bersama.54 Penilaian yang menyatakan bahwa kehadiran Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 memperkuat peran DPR dalam fungsi legislasi55 adalah tidak benar. Yang terjadi Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, memberi kesempatan kepada presiden untuk tidak mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang.
5. Tahap Pengundangan Pengundangan adalah pengundangan undang-undang yang tidak di sahkan oleh presiden. Jika rancangan undang-udang tidak di sahkan oleh presiden dalam tenggat waktu 30 hari setelah mendapat persetujuan bersama antara DPR dengan presiden dalam rapat
54
Bandingkan dengan Wicipto Stiadi, 2004, makna persetujuan bersama . PT. Raja Gravindo Persada. Jakarta. hlm 24 55 Menurut Zain Bedjeber hanya kehadiran Pasal 20 Ayat 2, 3, dan 4, melemahkan fungsi legislasi DPR, secara implisit dengan cara berfikir a contrario. Zain.
41
paripura DPR, maka rancangan undang-undang telah sah menjadi undang-undang
dan
wajib
di
undangkan.
Dalam
hal
pengundangan/yang mengundangkan presiden dibantu oleh mentri kemudian dalam hal ini menteri hukum dan hak asasi manusia. Namun, dengan mengundangkan, posisi menteri adalah sebagai bawahan, menjadi aneh jika seorang menteri melakukan tindakan yang berbeda dengan keinginan presiden. Dalam sistem pemerintahan presidensial presiden adalah pemegang kekuasaan tunggal dan tertinggi. Presiden tidak hanya memilih anggota kabinet. Arend Lijphart berbendapat bahwa keputusan penting dalam sistem pemerintahan presidensial dapat di buat dengan atau tanpa, pertimbangan anggota kabinet.56 Pendapat tersebut memiliki arti bahwa saat presiden memutuskan tidak mengesahkan rancangan undang-undang
menjadi
undang-undang,
seharusnya
menteri
membaca hal tersebut sebaga penolakan kabinet, termasuk menteri yang diberi wewenang mengundangkan peraturan perundangundangan.
Menyambung
pendapatnya
Aren
Lijphart,
Jimly
Asshiddiqie mengatakan bahwa, pengundangan suatu undang-undang yang tidak di tandatangani oleh presiden adalah merupakan pengundangan yang di lakukan oleh pejabat yang tidak berwenang (onbevoegheid).57
56
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hil, Co, Jakarta, hal. 36. Jimly Asshiddiqie, dan Bagir Manan, 2006, Gagasan Amdemen UUD 1945dan Pemilihan Presiden Secara Langsung: Sebuah dokumen Historis sekretariat jendral&kepanitraan Mahkamah Konstitusi RI. Jakarta , hlm. 305. 57
42
Oleh karena itu supaya tidak terjadi pengundangan undangundang oleh pejabat yang tidak berwenang hendaknya, penolakan presiden di lakukan dalam frasa pembahasan dan atau setidaktidaknya dalam fasa persetujuan bersama. Dalam sistem legislasi yang dianut setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945 kesempatan presiden untuk menolak rancangan undang-undang hanya dapat di lakukan dalam frasa tersebut.
43
BAB III METODE PENELITIAN Metodologi berasal dari kata dasar metode dan logi. Metode memiliki arti cara melakukan sesuatu dengan teratur, sedangkan logi memiliki arti ilmu yang berdasarkan logika berfikir. Sehingga dapat diartikan metodologi ialah ilmu tentang cara melakukan sesuatu yang teratur.58 Metodologi pada hakekatnya memberikan pedoman, tentang cara-cara seorang ilmuwan mempelajari, menganalisa, dan memahami lingkungan-lingkungan yang dihadapinya.59 Penelitian merupakan suatu kegiatan ilmiah yang berkaitan dengan analisa dan konstruksi, yang dilakukan secara metodologis, sistematis dan konsisten.60 Penelitian hukum merupakan suatu kegiatan ilmiah, yang didasarkan pada metode, sistematis, dan pemikiran tertentu, yang bertujuan untuk mempelajari satu atau beberapa gejala hukum tertentu, dengan jalan menganalisanya.61 Penelitian hukum adalah proses untuk menemukan baik dampak suatu peristiwa masa lalu maupun implikasinya pada masa yang akan datang.62 Metode penelitian hukum artinya ilmu tentang cara melakukan penelitian hukum dengan teratur.63 A. Sifat Penelitian Penelitian tentang “Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan Undang Undang Dasar 58
Abdulkadir, Muhammad,2004.Hukum dan Penelitian Hukum, Citra Aditya Bakti, Bandung, hlm57. Soerjono Soekanto, 2012, Pengantar Penelitian Hukum, Cetakan 2012, UI-Press,Jakarta, hlm.6. 60 Ibid., hlm. 42. 61 Ibid., hlm. 43. 62 Peter Mahmud Marzuki, 2010. Penelitian Hukum, Kencana Perdana Media Grup, Jakarta, hlm. 29. 63 Abdulkadir Muhammad, Op.Cit., hlm 57. 59
44
Negara Republik Indonesia Tahun 1945” merupakan penelitian yuridis normatif, yaitu penelitian yang dilakukan dengan cara meneliti bahan hukum yang merupakan data sekunder atau disebut dengan penelitian kepustakaan (library research). Untuk menunjang dan melengkapi data sekunder tersebut, maka peneliti melakukan pula penelitian lapangan dengan cara melakukan wawancara kepada narasumber yang ahli di bidangnya, penelitian ini sering pula disebut penelitian yang bersifat sosiolegal, yaitu penelitian yang menggabungkan antara pendekatan hukum dan pendekatan sosial. Dalam proses dan penyempurnaan hasil penelitian ini, penulis membuatnya dalam bentuk laporan yang bersifat deskriptif analitis. Hasil penelitian
dikatakan
bersifat
deskriptif
karena
diharapkan
dapat
memberikan gambaran yang jelas, menyeluruh dan sistematis mengenai permasalahan yang dibahas atau dikaji dalam penelitian. Dikatakan analitis karena data yang telah dikumpulkan, baik yang diperoleh dari penelitian kepustakaan maupun data yang diperoleh dari penelitian lapangan dianalisis dengan menggunakan metode kualitatif.
B. Data Penelitian Proses pengambilan atau pengumpulan data dalam penelitian ini diperoleh melalui penelitian kepustakaan (library research) dengan cara membaca literatur yang berhubugan dengan judul yang diajukan sehingga
45
dapat menujang data-data sekunder, dan penelitian lapangan (field research) melalui wawancara dengan narasumber.
a. Penelitian Kepustakaan (library research) Library research, penelitian kepustakaan, penelitian law in books, atau doctrinal dengan pendekatan yuridis normatif64 yaitu penelitian dengan mengumpulkan, mempelajari, serta menganalisa bahan pustaka yang dapat diperoleh, termasuk ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku yang biasa di sebut sebagai bahan hukum. Adapun bahan-bahan hukum yang dimaksud terdiri dari bahan hukum primer, bahan hukum sekunder, dan bahan hukum tersier yaitu:
1). Bahan Hukum Primer Bahan hukum primer adalah bahan hukum yang bersifat mengikat yang diatur di dalam Peraturan Perundang-Undangan, antara lain: a). Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 yang telah diamandemen sebanyak 4 (empat) kali dalam satu kali perencanaan. b). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan
64
Peraturan
Perundang-Undangan,
Muslan Abdurrahman,2009,Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum, UMM Press, Malang, hal.94.
46
Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2011 Nomor 82, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5234. c). Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 17 Tahun 2014 tentang
Majelis
Permusyawaratan
Rakyat,
Dewan
Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, Lembaran Negara Republik Indonesia Tahun 2014 Nomor 182, Tambahan Lembaran Negara Republik Indonesia Nomor 5568.
2). Bahan Hukum Sekunder Bahan hukum sekunder adalah bahan hukum yang memberikan penjelasan mengenai bahan hukum primer. Bahan hukum tersebut diantaranya adalah: a.
Hukum dan Penelitian Hukum
b.
Sosiologi dan Metode Penelitian Hukum
c.
Implikasi Perubahan UUD 1945 terhadap Pembangunan Hukum Nasional.
d.
Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia,
e.
Perkembangan dan Konsolidasi Lembaga Negara Pasca Reformasi,
f.
Dasar-Dasar Ilmu Politik,
g.
Politik dan Pemerintahan Amerika
h.
Hukum Tata Negara Indonesia-Edisi Revisi
47
i.
Pergeseran Fungsi Legislasi Menguatnya Model Legislasi Parlementer dalam Sistem Presidensial Indonesia
j.
Perdebatan Hukum Tata Negara Pasca Amandemen Konstitusi,
k.
Penelitian Hukum
l.
Dasar dan Struktur Ketatangaraan Indonesia
m. Pengantar Penelitian Hukum 3). Bahan Hukum Tersier Bahan
hukum
tersier
adalah
bahan
hukum
yang
memberikan petunjuk maupun penjelasan terhadap bahan-bahan hukum primer dan bahan-bahan hukum sekunder atau disebut juga bahan penunjang. Dalam penelitian ini, yang berfungsi sebagai bahan hukum tersier adalah: a) Kamus Besar Bahasa Indonesia karangan Drs. Suharso dan Dra. Ana Retnoningsih. b) Kamus Bahasa Inggris Indonesia karangan Hassan Shadilly dan John M. Echoll, c) Kamus Hukum. d) Kamus Ilmiah Populer karangan Achmad Maulana, dkk.
b. Penelitian Lapangan (field research) Penelitian lapangan merupakan penelitian law in action, field research, atau nondoktrinal, seperti pendekatan yuridis sosiologis.65 Dalam penulisan tesis ini, berfungsi untuk melengkapi data sekunder. 65
Ibid., hlm. 94.
48
Penelitian lapangan merupakan penelitian yang digunakan untuk memperoleh data primer. 1. Lokasi Penelitian Dalam menyuseskan suatu penelitian, diperlukan suatu lokasi yang strategis dan kondisi sosial yang aman dan kondusif. Pemilihan lokasi ini didasari pada pertimbangan kelancaran penulisan dan kelengkapan referensi yang dibutuhkan diantaranya adalah: a. Perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, b. Perpustakaan Universitas Gadjah Mada, c. Perpustakaan Kota Yogyakarta, d. Di tempat yang sudah disepakati oleh narasumber yang bernama, Zainal Arifin Mochtar bertemu di Ruang Guru Besar FH UGM, Ni’matul Huda bertemu di Ruang UII Pres, dan Ali Umri Anggota DPR RI komisi II, di ruang Komisi II.
C. Teknik Pengambilan Data Metode pengambilan data yang digunakan adalah dengan menggunakan setudi hukum primer, sekunder, dan tersier. Sehingga tidak memberikan kebebasan pada peneliti untuk membuat generalisasi. Adapun teknik pengambilan data dalam penelitian ini dilakukan dengan menggunakan metode wawancara terhadap pakar,
namun metode
49
wawancara dengan narasumber nantinya disertai dengan petunjuk pertanyaan.
D. Teknik Pengumpulan Data Untuk
memperoleh
data
yang
relevan
guna
menjawab
permasalahan-permasalahan yang diteliti, maka sarana yang digunakan dalam penelitian ini adalah dengan menggunakan studi kepustakaan dan wawancara.
Studi
kepustakaan
dilakukan
dengan
cara
penulis
mendatangi perpustakaan-perpustakaan baik diperpustakaan Universitas Gadjah Mada, perpustakaan Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada, perpustakan Daerah Istimewa Yogyakarta, maupun perpustakaan kota, dan mencari refrensi di internet. Untuk mendapatkannya dilakukan dengan cara membaca dan mencari teori-teori dan doktrin-doktrin dari buku-buku, internet, makalah, skripsi, tesis dan desertasi, yang berkaitan dengan permasalahan yang di angkat dalam karya tulis ini. Wawancara di sini merupakan sarana untuk melengkapi data sekunder agar menjadi karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan. Sehingga, wawancara dilakukan melalui panduan pertanyaan yang telah disusun berdasarkan judul, dan tidak menutup kemungkinan ada pertanyaan tambahan di luar dari daftar pertanyaan. Daftar pertanyaan telah disiapkan terlebih dahulu yang kemudian dikembangkan sesuai dengan situasi ketika wawancara (interview) dilakukan.
50
Wawancara
dilakukan
melalui
metode
wawancara
bebas
terpimpin (guidance interview), yaitu dengan mengadakan tanya jawab secara langsung kepada responden yang menjadi subjek penelitian guna memperoleh informasi tentang masalah yang berkaitan dengan permasalahan dalam penelitian ini. Tipe pedoman wawancara yang digunakan adalah gabungan antara tipe berstruktur dan tipe tidak berstruktur. Beberapa pertanyaan tadi diperdalam untuk memperoleh jawaban yang lengkap dan mendalam. Adapun beberapa nama pakar hukum tatanegara yang penulis jadikan narasumber adalah sebagai berikut : a. Zainal Arifin Mochtar. b. Ni’matul Huda. c. Ali Umri Anggota DPR RI Komisi II. E. Jalannya Penelitian 1. Tahap Persiapan Tahap ini dimulai dengan pengumpulan bahan-bahan kepustakaan yang berhubungan dengan permasalahan yang dikaji dalam penelitian. Setelah itu, disusun, usulan penelitian dan kemudian dikonsultasikan dengan dosen pembimbing guna penyempurnaan penelitian yang telah direncanakan.
2. Tahap Pelaksanaan a. Jalannya Penelitian Kepustakaan
51
Pada penelitian kepustakaan, alat yang digunakan adalah studi dokumen, yaitu mempelajari materi (bahan-bahan) yang berupa data sekunder baik itu berupa buku-buku maupun peraturan-peraturan yang berhubungan dengan materi penelitian. Selanjutnya dari semua itu diperoleh asas-asas hukum, kaedah-kaedah hukum dan ketentuanketentuan yang mempunyai kaitan erat dan kaitan langsung dengan masalah yang diteliti, kemudian disusun dalam kerangka yang sistematis untuk memudahkan proses analisis. Penyusunan kerangka dilakukan dengan cara pengelompokan bahan hukum yang bersifat mengikat dan yang bersifat pelengkap. Dari hasil pengelompokan data tersebut dilakukan penafsiran secara gramatikal dan sistematis. Adapun pengertian dari kedua penafsiran tersebut adalah sebagai berikut: 1). Penafsiran secara gramatikal adalah suatu metode penafsiran dengan cara menguraikan bahan-bahan hukum yang diperoleh sesuai dengan bahasa, susunan kata, atau bunyinya secara logis. 2) Penafsiran secara sistematis adalah suatu metode penafsiran dengan cara saling menghubungkan bahan-bahan hukum secara logis. b. Jalannya Penelitian Lapangan Pada fase ini, penulis melakukan persiapan dengan membuat daftar pertanyaan wawancara secara umum dengan pemikiran bahwa
52
penulis dapat dengan mudah untuk mengubah pertanyaan sesuai dengan keadaan di lapangan. Penulis kemudian menghubungi narasumber untuk meminta waktu mereka agar penulis dapat melakukan wawancara. 3. Tahap penyelesaian Pada tahap ini, seluruh data dikelompokkan, diolah, dianalisis, kemudian
disusun dalam bentuk laporan awal yang kemudian
dikonsultasikan dengan dosen pembimbing. Hasil dari konsultasi awal ini adalah adanya proses perbaikan-perbaikan. Setelah proses perbaikan, kemudian menjadi bentuk laporan akhir yang pada akhirnya diuji oleh dewan penguji guna mempertahankan hasil penelitian dalam bentuk tesis. 4. Analisis Data Dari data yang diperoleh di dalam penelitian, baik melalui penelitian kepustakaan maupun penelitian lapangan, selanjutnya dilakukan analisis dengan menggunakan metode analisis kualitatif. Metode analisis kualitatif yaitu suatu metode analisis data dengan mengelompokkan dan menyeleksi data yang diperoleh dari penelitian lapangan. Kemudian, dikembangkan
dengan
teori-teori
yang
diperoleh
dari
penelitian
kepustakaan, sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan yang diajukan. Hasil analisis tersebut dituangkan dalam bentuk uraian yang bersifat deskriptif kualitatif. Deskriptif kualitatif adalah suatu uraian yang menggambarkan permasalahan serta pemecahannya secara jelas dan lengkap berdasarkan data yang diperoleh dari lapangan.
53
BAB IV HASIL PENELITIAN DAN PEMBAHASAN Hasil penelitian adalah merupakan data yang diperoleh peneliti dari hasil penelitiannya di lapangan, hal tersebut dapat diperoleh lewat studi pustaka dan wawancara dengan narasumber. Dari hasil penelitiannya tersebut sudah barang tentu menjadi data yang mampu menjawab dari berbagai permasalahan yang di angkat dalam karya ilmiah yang sedang digarap oleh peneliti. Berkenaan dengan hasil penelitian yang berupa data tersebut tentunya peneliti perlu melakukan pembahasan terhadap data yang diperoleh dari hasil penelitian, untuk menjadi sebuah karya tulis yang dapat dipertanggungjawabkan dan mampu dijadikan acuan bagi para pembaca serta sesuai maksud dan tujuan dari penulisan tersebut. Dalam hal ini penulis melakukan penelitian dengan menggunakan cara mengkaji teori yang berkaitan dengan judul yang penulis angkat, dalam hal ini penulis mendapatkannya dengan cara menggunakan metode wawancara dengan narasumber. Dalam penulisan tesis ini penulis mengkaji tentang “Hak Veto Presiden dalam Konstruksi Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUDNRI Tahun 1945.” Dari hasil wawancara dengan narasumber, penulis mendapatkan data sebagai berikut : A. Efektifitas Hak Veto Presiden dalam Sistem Tata Pemerintahan di Indonesia Berdasarkan UUD NRI 1945 Hemat penulis hak veto presiden di atur dalam UUD NRI Tahun 1945 tepatnya Pasal 20 ayat (3) berbunyi jika rancangan undang-undang
54
tidak mendapat persetujuan bersama, rancangan undang-undang itu tidak boleh diajukan lagi dalam sidang Dewan Perwakilan Rakyat masa itu. sedangkan Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 yang berbunyi, dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetjui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu 30 (tiga puluh) hari semenjak rancangan undang-undang itu disetujui, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.66 Selain itu pengesahan rancangan undang-undang di Indonesia memiliki dua arti yaitu pengesahan secara materil dan pengesahan secara formal. Pengesahan materiil adalah pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang telah terjadi sejak adanya persetujuan bersama antara presiden (peerintah) dengan DPR dalam sidang paripurna DPR. Dengan adanya pengesahan materiil berupa persetujuan bersama antara presiden/pemerintah dengan DPR, memiliki akibat bahwa rancangan undang-undang tersebut dapat dikatakan sebagai undang-undang dalam arti materiil. Sedangkan Pengesahan Formal adalah jika pengesahan materiil tercapai, baru akan dilakukan pengesahan formal atas rancangan undangundang yang telah disetujui bersama antara presiden/pemerintah dengan DPR. Sebagaimana ketentuan dalam Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945, presiden akan mengesahkan rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama untuk menjadi undang-undang. Sebagaimana dinyatakan
66
Lihat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 20 Ayat 3 dan 5.
55
sebelumnya, pengesahan formal tidak akan terjadi tanpa adanya pengesahan materiil dalam bentuk tercapainya persetujuan bersama antara presiden dengan DPR, sebagaimana yang termuat dalam Pasal 20 ayat (4) UUD NRI Tahun 1945. Jimly Asshiddiqie berpendapat berkenaan dengan dua hal tersebut di atas, itu berarti, pengesahan materiil menjadi syarat konstitusional untuk adanya pengesahan formal67. Apabila rancangan undang-undang tidak mendapat persetujuan bersama, maka secara konstitusional, presiden tidak perlu mengesahkan rancangan undang-undang tersebut. Dalam hal yang demikian ini presiden tidak dapat dikatakan melanggar konstitusi (UUD NRI Tahun 1945). a. Hak Veto Presiden di Indonesia Secara resmi yang disebutkan di dalam UUD NRI Tahun 1945 sistem pemerintahan di Indonesia adalah sisitem pemerintahan presidensial. Akan tetapi ketika di baca di dalam konstitusi kekuasaan yang besar justru ada pada parlemen, kemudian ketika disebutkan apakah murni presidensial atau murni parlementer itu tidak. Sehigga menurut
para pakar
tatanegara
menyebutnya
sebagai
sistem
pemerintahan semi presidenial (sistem pemerintahan campuran). Mengapa demikian, karena kekuasaan presiden itu tidak penuh karena di dalam sistem pemerintahan presidensial itu sebenernya kekuasaan secara mayoritas atau secara penuh ada pada presiden. Sedangkan, 67 Jimly Asshiddiqie, 2010, Konstitusi dan Konstitusionalisme Indonesia, Sinar Grafika, Jakarta Timur, hlm. 170.
56
sistem pemerintahan parlementer kekuasaan ada di tanggan parlemen. Akan tetapi di Indonesia ada pembagian misalnya, dalam hal pembentukan peraturan perundang-undangan di situ presiden tidak lagi memegang kekuasaan membentuk undang-undang, tapi berhak mengajukan rancangan undang-undang. DPR memegang kekuasaan membetuk undang-undang akan tetapi DPR tidak bisa mengesahkan sendiri tanpa ada persetujuan dari presiden sehingga di situ terkesan sistem pemerintahan campuan/semi presidensial. Sehingga sistem pemmerintahan di Indonesia dapat juga diartikan menurut konstitusi di Indonesia cenderung pada sistem pemerintahan campuran/semi presidensial. Berkenaan dengan hal tersebut diperkuat degan hak konstitusional presiden dalam hal, diperkenankannya presiden untuk tidak mengesahkan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Hal tersebut menjadikan pertanyaan dan perdebatan bahwa apakah presiden di Indonesia di berikan hak veto secara konstitusi. Sebagaimana terdapat dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia terdapat
arti
bahwa
kata
“veto”
presiden/penguasa/pemegang menyatakan,
menolak,
membatalkan/melarang
adalah
pemerintahan atau
secara
hak
konstitusional
untk
membatalkan
mutlak68.
Sedangkan
mencegah, keputusan, memveto
memiliki arti mengguakan hak veto untuk membatalkan/menolak
68
www.KamusBahasaIndonesia.org 29 Juli 2016 Jam 22.30 WIB.
57
keputuasan. Sedangkan hak veto adalah hak untuk membatalkan keputusan, ketetapan, rancangan peraturan dan rancangan undangundang atau resolusi. Hak veto biasanya melekat pada salah satu lembaga tinggi negara. Seperti di negara Amerika Serikat presiden memiliki hak utuk memveto suatu rancangan undang-undang yang dapat merugikan jalannya pemerintahan. Sedangkan di negara Indonesia hak veto adalah hak untuk menyatakan menolak atau tidak setuju terhadap suatu Rancangan Undang-Undang (RUU) atau terhadap materi suatu RUU. Keberadaan hak veto menjadi senjata ampuh yang dimiliki oleh presiden ketika tidak setuju terhadap sebuah Rancangan Undang-Undang (RUU) yang diusulkan oleh Dewan Perwakilan Rakyat. Menurut Ni’matul Huda69 pada waktu wawancara mengatakan bahwa makna dari hak veto adaah merupakan hak yang melekat pada jabatan tertentu untuk menolak suatu keputusan atau suatu rancangan dalam konteks tesis peneliti ini dimaknai sebagai hak tolak yang di miliki oleh presiden dalam pengesahan rancangan undang-undang menjadi undang-undang. Lebih tegas dijabarkan oleh Zainal Arifin Mochtar70 pada saat diwawancarai oleh peneliti mengatakan bahwa, Makna dari hak veto adalah ada dua yaitu : secara teoritis hak veto merupakan hak yang melekat pada jabatan tertentu untuk menolak suatu keputusan,
69
Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ni’matul Huda, jam 11.10 WIB, Di UII Pres tanggal 07 September 2015. 70 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Zainal Arifin Mochtar, jam 12.30 WIB, Di ruang guru besar UGM tanggal 14 September 2015.
58
ketetapan, suatu rancangan peraturan, dan suatu rancangan undangundang. Dalam konteks tesis peneliti yang dimaknai sebagai hak tolak oleh presiden dalam rancangan undang-undang atau terhadap suatu materi rancangan undang-undang. Secara praktik hak veto adalah merupakan senjata ampuh yang dimiliki presiden sehingga suatu waktu dapat digunakan oleh presiden ketika tidak setuju terhadap suatu rancangan undang-undang atau materi dari rancangan undang-undang. Hak veto ini pernah di gunakan oleh 3 (tiga) presiden di Indonesia, seperti Sukarno, Suharto, dan Megawati. Menurut Ali Umri71 salah satu dari anggota DPR RI di komisi 2 dari fraksi partai Nasdem berpendapat bahwa Hak Veto dalam konteks ini yaitu hak yang dimiliki oleh presiden untuk menolak suatu rancangan undang-undang yang telah di setujui bersama antara presiden/pemerintah dan DPR, untuk di sahkan menjadi undangundang. Jika dilihat dalam praktek ketatanegaraan di beberapa negara konsep hak veto hadir jika sistem pemerintahan suatu negara, secara tegas menyatakan baik di dalam konstitusi maupun praktek kesahariannya sebagai sistem pemerintahan Presidensiil, di mana hak veto itu muncul karena presiden tidak ikut membahas pembentukan suatu Undang-Undang. Dalam konteks Indonesia jika melihat dalam konstitusi khusunya 71 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ali Umri, jam 19.30 WIB, Di ruang komisi 2 tanggal 21 Januari 2016.
59
Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 walaupun di dalam ayat tersebut tidak dinyatakan sebagai hak Veto Presiden terhadap suatu RUU yang menjadi UU, namun Ali Umri salah satu dari anggota DPR RI di komisi 2 dari fraksi partai Nasdem memaknai hal tersebut sebagai Hak Veto Terselubung yang dimiliki oleh presiden terhadap pengesahan/pengundangan suatu RUU menjadi UU. Berkenaan dengan hal tersebut di atas maka penuis berpendapat bahwa hak veto presiden sudah pernah ada dan atau sudah pernah digunakan dalam sistem ketatanegaraan di Indonesia. Terbukti ada beberapa undang-undang yang nyata-nyata tetap di undangkan meski pun tanpa adanya tanda-tangan presiden diantaranya adalah UU No. 32 Tahun 2002, UU No. 25 Tahun 2002, UU No. 18 Tahun 2003, dan UU No. 17 Tahun 2003. namun, undang-undang tersebut masih tetap berlaku di Indonesia. Bagaimana dengan berlakunya 4 undang-undang yang tidak di tandatangani oleh presiden di atas apa hak veto menjadi hal yang diperlukan di Indonesia? hak veto yang dimaknai seperti di Amerika Serikat itu bukan, tapi konstitusi di Indonesia seperti memberikan ada hak veto yaitu presiden boleh menolak untuk menandatangani suatu rancangan undang-undang namun, dilanjutkan bahwa dalam waktu 30 hari tidak di tandatangani oleh presiden maka rancangan undangundang dianggap sudah disahkan dan wajib diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara. Hal tersebut merupakan kebuntuan dari
60
komunikasi yang terputus antara lembaga eksekutif dengan legislatif dalam hal pembentukan undang-undang. Dari hal tersebut dapat di lihat bahwa konstitusi memberi jalan keluar, jika presiden tidak mau menandatangani rancangan undangundang itu silahkan diundangkan. Menjadi keanehan ketika presiden tidak mau/menolak untuk meyetujui tapi kenapa harus ada kata wajib untuk
diundangkan.
Di
dalam
undang-undang
pembentukan
perundang-undangan yang wajib mengundangkan adalah menteri hukum dan ham. Jika seperti itu posisi menteri terhadap presiden ini apa? Karena presidennya sudah jelas tidak mau mengundangkan masa menterinya megundangkan karena di perintah oleh undang-undang yang lain, kalau begitu tuhannya dari menteri hukum dan ham itu dua, yaitu, presiden dan undang-undang. Berkaitan dengan hal tersebut kemudian apa presiden di Indonesia memiliki hak veto, mengenai hal tersebut Ni’matul Huda72 berpendapat jika hak veto dimaknai secara konstitusional tidak ada. Tapi, yang ada di konstitusi itu presiden memiliki hak untuk menolak menandatangani
sehingga
presiden
dapat
dikatakan
memiliki
semacam hak veto. Senada dengan Ni’matul Huda, Zainal Arifin Mochtar73 berpendapat jika hak veto dimaknai secara konstitusional tidak ada. Tapi yang ada di konstitusi itu presiden memiliki hak untuk
72
Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ni’matul Huda, jam 11.10 WIB, Di UII Pres tanggal 07 September 2015. 73 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Zainal Arifin Mochtar, jam 12.30 WIB, Di ruang guru besar UGM tanggal 14 September 2015.
61
menolak menandatangani rancangan undang-undang yang sdah di setujui bersama untuk diundangkan, menjadi undang-undang namun dalam waktu 30 hari presiden tidak menandatangani (mengesahkan secara formal) maka rancangan undang-undang yang sudah di setujui bersama wajib di undangkan. Berkenaan dengan hal tersebut dapat dimaknai bahwa, dalam konstitusi negara Indonesia, terkesan memberikan hak kepada presiden untuk tidak mengundangkan suatu rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama antara presiden/pemerintah dengan lembaga legislatif (DPR) menjadi undang-undang. Secara theori pengesahan undang-undang ada dua yaitu pengesahan secara materiil dan pengesahan secara formal. Pengesahan secara materiil bertitik pada saat persetujuan bersma antara pemerintah dengan lembaga legislatif. Sedangkan pengesahan secara formal adanya ketika presiden menandatangani pengesahan rancangan undang-undang menjadi Undang-undang, dengan katalain padasaat pengundangan undang-undang ditandatangani oleh presiden. Diperlukan atau tidak hak veto dalam sistem pemerintahan di Indonesia?
Dalam
proses
pembentukan
perundang-undangan
sepanjang konstitusi maupun undang-undang di situ jelas tertera presiden dapat untuk tidak menandatangani seperti yang tercantum dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945. Kalau hak veto jika
62
sistemnya masih seperti ini menurut Zainal Arifin Muchtar74 tidak perlu, karena presiden masih dapat mengajukan rancangan undangundang. Presiden juga masih bisa menolak untuk tidak mensetujui rancangan undang-undang. Mendasar pada pendapat di atas maka sebagaimana dalam theori pengesahan perundang-undangan sudah dapat di pastikan bahwa hak veto merupakan hal yang sangat penting kedudukannya dalam konstitusi di Indonesia. Hal tersebut dikarenakan untuk mencegah konflik antara lembaga tinggi negara yang satu dengan yang lainnya, dan untuk menjaga keharmonisan hubungan antara presiden dengan mentri sebagai pembantu presiden. Hak veto itu sangat di butuhkan oleh presiden ketika presiden benar-benar tidak memiliki lagi kewenangan untuk mengajukan rancangan undang-undang dan membahasnya sehingga proses pembentukan undang-undang itu murni dari parlemen saja sehingga presiden memiliki hak tolak/hak veto. Ketika konteknya seperti sekarang yang sedang berlaku maka presiden tidak perlu hak veto karena jika presiden memiliki hak veto DPR juga harus memiliki hak veto juga dong kalau begitu. Misalnya, kalau rancangan undang-undang yang diajukan oleh presiden di tolak oleh DPR itu juga merupakan hak veto dalam model UUD NRI Tahun 1945. Tapi, jika sistem hak veto yang dimodelkan 74 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Zainal Arifin Mochtar, jam 12.30 WIB, Di ruang guru besar UGM tanggal 14 September 2015.
63
seperti Amerika Serikat bahwa presiden tidak lagi masuk dalam ranah legislasi maka, di situ presiden harus memiliki hak veto. Di Indonesia tentu tidak seperti itu, presiden juga masih dapat mengajukan rancangan undang-undang, bahkan
masih
membuat
peraturan
pemerintah pengganti undang-undang (perpu). Artinya, lebih dahulu membuat rancangan dan diberlakukan kalau perpu, dengan alasan tersebut baik Ni’matul Huda dan Zainal Arifin Muchtar berpendapat hak veto presiden di Indonesia saat ini tidak perlu, karena tidak sesuai dengan sistem pemerintahan di Indonesia itu sendiri. Terkait dengan perlu atau tidaknya hak Veto Presiden terhadap Undang-Undang menurut Ali Umri75 Anggota DPR RI Komisi 2 dari Faraksi partai Nasdem, hak veto tersebut harus di tata ulang agar efektifit dalam penggunaanya. Karena jika tidak di tata ulang kelenturan dari Pasal 20 ayat (5) UUD NRI 1945 tersebut dapat digunakan
oleh
presiden
sebagai
alat
politik
untuk
tidak
menandatangani suatu RUU menjadi undang-undang, jika RUU tersebut merugikan kepentingan kelompok/golongan dan atau pribadi. Hal tersebut justru merugikan kepentingan presiden, hal seperti ini tentu tidak baik dalam tata cara bernegara di Indonesia. Sehingga Ali Umri mendesak untuk segera di lakukan Amandemen UUD NRI Tahun 1945 harus mengarah kepada penataan sistem pemerintahan presidensiil yang lebih baik di Indonesia. 75 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ali Umri, jam 19.30 WIB, Di ruang komisi 2 tanggal 21 Januari 2016.
64
Arend Lijphart berbendapat bahwa keputusan penting dalam sistem pemerintahan presidensial dapat dibuat dengan atau tanpa, pertimbangan anggota kabinet.76 Pendapat tersebut memiliki arti bahwa padasaat presiden memutuskan tidak mengesahkan rancangan undang-undang
menjadi
undang-undang,
seharusnya
menteri
membaca hal tersebut sebaga penolakan kabinet, termasuk menteri yang diberikan wewenang mengundangkan peraturan perundangundangan. Menyambung pendapatnya Aren Lijphart, Jimly Asshiddiqie mengatakan bahwa, pengundangan suatu undang-undang yang tidak ditandatangani oleh presiden adalah merupakan pengundangan yang di lakukan oleh pejabat yang tidak berwenang (onbevoegheid).77 Oleh karena itu supaya tidak terjadi pengundangan undang-undang oleh pejabat yang tidak berwenang hendaknya, penolakan presiden dilakukan dalam frasa pembahasan dan atau setidak-tidaknya dalam fasa persetujuan bersama terhadap rancangang undang-undang. Dalam sistem legislasi yang dianut di Indonsia setelah perubahan UUD NRI Tahun 1945 kesempatan presiden untuk menolak rancangan undang-undang hanya dapat dilakukan dalam frasa tersebut. Sehngga jika presiden menggunakan hak veto pada saat sudah disetujui bersama antara pemerintah dalam hal ini menteri yang ditugasi/diberikan tugas oleh presiden bersama DPR maka dapat 76 77
Bagir Manan, 1992, Dasar-Dasar Perundang-undangan Indonesia, Ind-Hil, Co, Jakarta, hal. 36. Jimly Asshiddiqie, 2006, Prihal Undang-Undang,......., hlm. 305.
65
dikatakan sudah terlambat dan hak veto presiden akan sia-sia saja, karena sebagaimana diatur dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 menyebutkan bahwa dalam hal rancangan undang-undang yang telah disetujui bersama tersebut tidak disahkan oleh presiden dalam waktu tiga puluh hari semenjak rancangan tersebut di setjui bersama, rancangan undang-undang tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan. Tentu hal tersebut memiliki arti bahwa presiden memiliki kewenangan untuk tidak mengesahkan suatu rancangan undangundang menjadi undang-undang, meskipun akhirnya rancangan undang-undang tersebut tetap sah menjadi undang-undang. Sehingga, presiden ketika tidak mengesahkan rancagan undang-undang tersebut menjadi undang-undang pun presiden tetap tidak melanggar undangundang dan atau konstitusi Indonesia. b. Efktifitas Hak Veto Presiden di Indonesia Efektifitas berasal dari kata ketepat gunaan sehingga efektifitas hak veto presiden adalah ketepat gunaan hak veto yang dilakukan oleh presiden. Bagaimana efektifitas hak veto dalam konstruksi tata pemerintahan di Indonesia berdasarkan UUD NRI Tahun 1945 ? efektifitas hak veto presiden sangat efektf, ketika, presiden mengunakan hak tolaknya/hak veto pada tahapan pembahasan dan persetujuan rancangan undang-undang antara presiden dan DPR. maka hak tolak/hak veto akan menjadi sangat efektif sekali.
66
Namun, jika presiden menggunakan hak veto pada saat pengesahan apa lagi pada saat pengundangan maka hak veto sudah dapat dikatakan tidak evektif, karena sudah masuk dalam persetujuan bersama. Kalau memang yang diinginkan kearah hak veto yang sesungguhnya maka harus di tata ulang seperti didisertasinya Saldi Isra, presiden tidak lagi diberi kewenangan hak legislasi, sehingga kewenangan legislasi harus dipindahkan ke DPR dan DPD. Jika sudah seperti itu barulah presiden diberi hak veto, akantetapi jika presiden masih diberi hak legislasi seperti sekarang menurut Zainal Arifin Muchtar78 hak veto presiden di Indonesia tidak perlu dikarenakan tidak efektif. Skema 1. Tahapan pembuatan perundangan79. perencanaan
penyusunan
pembahasan
Pengesahan materiil
Pengesahan atau penetapan
pengun dangan
Pengesahan Formil
Mendasar pada skema di atas maka hak veto akan berjalan efektif bilamana secara teori pengesahan yang memiliki arti ada dua yaitu pengesahan materiil dan formal, dapat diartikan bahwa pengesahan undang-undang secara materiil terletak hanya sampai pada pembahasan yang memunculkan persetujuan. Sehingga, dengan seperti itu hak veto sangat evektif jika digunakan oleh presiden. 78
Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Zainal Arifin Mochtar, jam 12.30 WIB, Di ruang guru besar FH UGM tanggal 14 September 2015. 79 Lihat pasal 1 undang-undang RI no 12 tahun 2011 tetang hirarkiperundang-undangan.
67
Sedangkan
bilamana
hak
veto
digunakan
padasaat
pengesahan/penetapan dan pengundangan hal tersebut dapat di katakan tdak evektif bahkan bahasa ekstrimnya hak veto yang sia-sia. Meskipun secara teori pengesahan ada dua yaitu materiil dan formal, namun, sebagaimana kita ketahui bersama apa yang termuat dalam Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 194580 adalah yang di maksud pada pengesahan formal yang mengakibatkan hak veto di negara Indonesia menjadi sia-sia. Sebaiknya
memang
tidak
dengan
cara,
presiden
tidak
mau/menolak menandatagai karena pada akhirnya presiden juga yang akan melaksanakan, meski tanpa tandatangan presiden namun setelah undang-undang itu disahkan itu wajib dilaksanakan. Kalau memang yang diinginkan kearah hak veto yang sesungguhnya maka harus di tata ulang seperti yang terdapat di dalam disertasinya Saldi Isra, presiden tidak lagi diberi kewenangan hak legislasi tapi legislasi harus dipindahkan ke DPR dan DPD. Jika seperti itu maka barulah presiden diberikan hak veto. Hak veto dikatakan sudah evektif bilamana, hak veto preseden ketika digunakan oleh presiden kemudian apa yang di veto oleh presiden akan berhenti dan tidak berjalan lagi. namun hak veto di Indonesia sekarang ini terbukti tidak evektif karena apa yang di veto oleh presiden tetap berajan terus, sedangkan hal tersebut itu, nanti
80
Lihat UUD NRI Tahun 1945 Pasal 20 ayat (5).
68
pengujiannya melewati judisial rivew. Berkenaan dengan hal tersebut maka dapat dipastikan apa yang di veto oleh presiden tetp jalan terus, presiden dengn maunya DPR pun dengan maunya. Meurut Ni’matul Huda81 itu merupakan boikot oleh presiden terhadap lembaga legislatif. Namun, itu tidak baik untuk kontek negara hukum, mkannya Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945, itu bermasalah. Apa yang dijadikan tolok ukur
evektifitas hak veto dalam
konstruksi sistem tata pemerintahan di Indonesia? kalau memang hak tolaknya di dalam UUD NRI Tahun 1945, itu akan dimaknai sebagai hak veto maka presiden harus berfikir betul apakah setiap rancangan undang-undang yang diajukan oleh lembaga legislatif atau pun eksekutif harus berpihak kepada kepentingan rakyat. Sehingga kalau ada rancangan undang-undang yang akan disahkan tidak memihak kepada kepentingan rakyat maka hak veto itu harus digunakan. Misalkan, seperti kemarin, DPR minta dibangunkan gedung baru untuk mendukung pekerjaan DPR, ternyata di tolak oleh presiden, karena apa rakyat lebih membutuuhkan dana dari pada DPR hanya untuk mempercantik gedungnya. Ada hal-hal yang sensitif yang harusnya dilakukan oleh presiden ketika dia mengambil sikap. Pada rancangan undang-undang tentang Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) ketika akan merevisi terkait dengan hal penyadapan di situ presiden menolak. Hal tersebut 81 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ni’matul Huda, jam 11.10 WIB, Di UII Pres tanggal 07 September 2015.
69
membuktikan bahwa presiden peka terhadap suara-suara rakyat karena bisa jadi DPR dalam membentuk undang-undang hanya untuk kepentingan kelompoknya. Suatu contoh undang-undang MD-3 itu. Dalam konteks eksekutif/pemerintah sebagai pelaksana undangundang, siapa yang bertanggung jawab ketika ada reaksi dari golongan atau masyarat secara umum akibat dari berlakukannya undang-undang yang tidak disetjui/tanpa ditandatangani oleh presiden? disitulah resikonya ketika presiden tidak mau bertandatangan sementara Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi dalm waktu 30 hari presiden tidak mengesahkan maka rancagan undang-undang tersebut wajib diundangkan. Hal tersebut menjadi seperti daya paksa oleh parlemen kepada presiden untuk melaksanakan suka tidak suka presiden harus melaksanakan. Dengan adanya hal yang demikian maka sudah sewajarnya jika Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 di hapus agar dapat terlaksana pemerintahan yang perpijak pada kepetigan dan kemaslahatan rakyat. Hal tersebut menurut Ni’matul Huda82 tidak tepat kalau konteknya checks and balances harusnya memang rancangan tersebut harus dinegosiasi ulang agar jangan samai presiden tidak mau tandatangan dan nantinya harus melaksanakan. Hal tersebut justru seperti orang yang dijerat untuk melaksanakan, pada akhirnya hal tersebut justru akan menunjukan dominasi parlemen lebih tinggi. 82 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ni’matul Huda, jam 11.10 WIB, Di UII Pres tanggal 07 September 2015.
70
Secara historisnya ayat tersebut yang berbunyi “dalam waktu 30 hari jika presiden tidak mau menandatangani rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama maka rancangan undang-undang wajib diundangkan dan di muat dalam lmbaran negara.” Karena pada waktu itu gusdur akan membubarkan parlemen sehigga muncullah kalimat itu. Selain itu ada kekawatiran presiden aka tidak mengesahkan atau mengundangkan RUU yang sudah disetujui bersama manjadi undangundang. Sebetulnya jika mau menggunakan konteks checks and balances seharusnya tidak seperti itu akan tetapi dengan cara lobi ulang agar terjadi kesepakatan terkait hal apa yang menjadi dasar presiden menolak untuk menandatangani. Dalam kontek yang seperti ini, harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) masuk guna mempertanyakan alasan presiden tidak mau menandatangani rancangan undang-undang tersebut apa alasannya, apa alasan hukum, atau alasan politik? kalau alasannya hukum maka MK harus memberi tahu bahwa tidak ada pertentangannya dengan hukum, tapi jika alasannya politik MK tidak boleh karena harus komunikasi politik antar dua lembaga tersebut. Namun, berkenaan dengan hak veto di negara Indonesia, terkait hak veto presiden sudah pernah di gunakan pada zaman orde Lama dan orde Baru, oleh Presiden Sukarno dan Soeharto dan itu berjalan evektif contohnya, dekrit presiden 5 juli, undang-undang penyiaran, undang-undang keadaan bahaya, kedua undang-undang tersebut
71
ditolak oleh presiden dan terbukti tidak berjalan. Pada waktu itu undang-undang penyiaran akan disahkan kemudian presiden menolak dengan alasan karena usaha keluarganya belum masuk di situ agar nambah pasal dan lembaga legislatif tidak mau, akhirnya Undangundang tersebut di tolak dan kemudian tidak jadi diundangkan. Kemudian undang-undang keadaan darurat/bahaya itu tahun 1961 sehingga sudah tidak relevan kemudian akan di perbarui namun di toak sehingga tidak jadi. Kemudian di era reformasi pada waktu itu presiden Gusdur juga di tolak sehingga bisa saya katakan pernah terjadi dan evektif meskipun tidak banyak. Terkait dengan evektif atau tidaknya hak Veto Presiden terhadap Undang-Undang menurut Ali Umri83 Anggota DPR RI Komisi 2 dari Faraksi partai Nasdem, akan lebih bijak jika hak veto tersebut harus ditata ulang agar evektif dalam penggunaanya. Karena jika tidak ditata ulang kelenturan dari Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 tersebut dapat digunakan oleh Presiden sebagai alat politik untuk tidak menandatangani suatu Undang-Undang jika Undang-Undang tersebut merugikan kepentingan Presiden. Hal seperti ini tentu tidak baik dalam tata cara bernegara di Indonesia. Sehingga Ali Umri mendesak untuk segera di lakukan Amandemen UUD NRI Tahun 1945 harus mengarah kepada penataan sistem Presidensiil yang lebih baik di Indonesia. Sehingga menurutnya hak veto tersebut tidak efektif jika 83 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ali Umri, jam 19.30 WIB, Di ruang komisi 2 tanggal 21 Januari 2016.
72
sistem ketata negaraan di Indonesia belum tegas dan terlebih belum di atur secara eksplisit dalam konstitusi di Indonesia saat ini. Sehingga sangat jelas penulis rasa, dari ketiga pendapat di atas kesemuanya menerangkan dengan gamblang tolak ukur hak veto dapat dikatakan evektif bilamana, hak veto tersebut digunakan pada saat yang tepat, harus mengutamakan kemaslahatan rakyat, dan bila mana hak veto digunakan pada suatu peraturan dan atau perundang-undanga seketika itu juga peraturan dan atau undang-undang yang di veto langsung berhenti. Tidak dapat diajukan kembali dalam sidang umum DPR masa itu. Dengan begitu hak veto dapat dikatakan berjalan evektif. Tidak adanya pengesahan dari presiden menyisakan banyak masalah dan pertanyaan. Pertama : Mengapa presiden sampai tidak setuju terhadap RUU itu dengan cara tidak mengesahkannya? padahal, dalam proses RUU itu pemerintah telah dilibatkan sejak semula di mana DPR mengajukan RUU pada presiden, lalu presiden menugaskan menteri terkait untuk menindaklanjuti. Di sini terjadi ambiguitas pemerintah, di satu sisi pemeritah melalui menteri terkait menyetujui rancangan undang-undang itu. Sementara di sisi lain pemerintah, dalam hal ini presiden, menolak rancangan undangundang itu. Ke dua : tiadanya pengesahan presiden atas undang-undang justru itu menunjukan kelemahan kontrol
presiden
terhadap
73
parapembantunya (mentri). Gambaran yang tertangkap, menteri yang ditugasi
menindaklanjuti
itu tidak melaporkan perkembangan
tugasnya kepada presiden. Akibatnya mungkin ada subtansi pada rancangan undang-undang yang tidak dikehendaki oleh presiden, akan tetapi rancangan undang-undang tersebut sudah dibahas dan disetujui oleh mentri itu, maka presiden tidak mau mengesahkannya. Sinyal ini secara eksplisit diakui oleh sekertaris negaradalam rapat dengar pendapat bersama DPR baru-baru ini. Ke tiga : Jika persoalan pertama dan kedua tidak terjadi maka sudah dapat dipastikan bahwa presiden berupaya mencari selamat diri. Presiden selalu mengamati dari setiap perkembangan rancangan undang-undang. Apabila dalam perkembangannya ada resistensi dari masyarakat atau kelompok masyarakat terhadap suatu rancangan undang-undang tersebut maka presiden sudah dapat dipastikan menghindari tanggungjawabnya dengan cara tidak mengesahkan rancangan undang-undang itu. Sehingga jika dikemudian hari ada apa-apa maka dengan enteng presiden akan mengatakan bahwa dari dulu presiden tidak setuju atas rancangan undang-undang tersebut. Hal tersebut terbukti dari keterangan sekertaris negara pada kesempatan lain yang menyatakan bahwa : jika nanti dikemudian hari terjadi sesuatu karena rancangan undang-undang itu, maka presiden harus bertanggung jawab secara moral. Sedangkan jika presiden tidak menandatangani rancangan
74
undang-undang itu presiden tidak dipersalahkan hal tersebut dikarenakan adanya Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 membolehkan demikian. Sebagaimana yang termuat dalam konstitusi di negara Indonesia khususnya Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 194584, hendaklah di lakukan penafsiran ulang dan di bahas lebih rijit lagi sehingga tidak menjadikan penafsiran-penafsiran yang radikal, dan tidak menjadikan pertentangan antara satu ayat dengan ayat yang lainnya. Serta di perjelas sistem pemerintahan di negara Indonesia agar tidak selalu menimbulkan perdebatan yang terus menerus.
B. Pengaruh Hak Veto Presiden dalam Mencapai Pemerintahan yang Checks and Balances Sebelum terlalu jauh membahas mengenai checks and balances antara
lembaga
legislatif
dan
lembaga
eksekutif
dalam
sistem
pemerintahan Indonesia, terlebih dahulu penulis mengemukakan beberapa pendapat mengenai pengertian sistem pemerintahan. Menurut Usep Ranawijaya, sistem pemerintahan merupakan sistem hubungan antara eksekutif dan legislatif85, ditambahkan oleh Mahfud MD, sistem pemerintahan dipahami sebagai suatu sistem hubungan tata kerja antar lembaga-lembaga negara.86 Oleh karena itu, checks and balances dalam hal ini hanya terbatas pada pola hubungan kerja antara eksekutif dan 84
Lihat pasal 20 ayat 5 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945. Saldi Isra, 2010, Pergeseran Fungsi…, op. Cit., hlm. 24. 86 Ibid., hlm. 23. 85
75
legislatif dan seiring dengan perkembagan ketatanegaraan modern muncul beberapa komisi, badan dan atau lembaga baru
yang mungkin
melaksanakan fungsi legislatif atau eksekutif. Dalam hal ini Hak veto merupakan salah satu cara untuk menyeimbangkan anatara dominasi legislatif dan eksekutif.
Supaya
dominasi Dewan Perwakilan Rakyat tidak terlalu menghegomoni kekuasaan eksekutif, juga dalam rangka agar jangan sampai Dewan Perwakilan Rakyat itu yang misalnya posisi dominan dan presiden partainya tidak dominan tidak menjadi bulan-bulanannya parlemen. Berkenaan dengan hal tersebut dikawatirkan akan melahirkan undang-undang yang menguntungkan mereka terus sedangkan presidennya mati kutu di situ, jadi di situ pentingnya hak veto presiden. dengan adanya pergeseran pembentukan undang-undang dari presiden ke legislatif maka itu menjadi sangat relefan, sehingga presiden harus menggunakan hak veto ini untuk benar-benar jernih membaca kepentingan rakyat, sehingga kalau memang bukan untuk kepentingan rakyat banyak, atau kepentinga bangsa seharusnya itu di tolak oleh presiden. Hal tersebut menurut Ni’matul Huda87 menjadi sangat penting untuk menjaga checks and balances antara dua kekuasaan yang sama-sama memiliki mandat dalam hal ini fungsi legislasi. Pasal 20 ayat (5) UUD NRI Tahun 1945 berbunyi dalm waktu 30 hari presiden tidak mengesahkan maka rancagan undang-undang tersebut 87 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Ni’matul Huda, jam 11.10 WIB, Di UII Pres tanggal 07 September 2015. ,
76
wajib diundangkan. Hal tersebut menjadi seperti daya paksa oleh parlemen kepada presiden untuk melaksanakan suka tidak suka mau tidak mau presiden harus melaksanakan. Menurut Ni’matul Huda tidak tepat kalau konteknya checks and balances harusnya memang rancangan tersebut harus dinegosiasi ulang agar jangan samai presiden tidak mau tandatangan dan nantinya harus melaksanakan. Hal tersebut justru seperti orang yang di jerat untuk melaksanakan, pada akhirnya hal tersebut justru akan menunjukan dominasi parlemen lebih tinggi. Secara historisnya ayat tersebut yang berbunyi “dalam waktu 30 hari jika presiden tidak mau menandatangani rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama maka rancangan undang-undang wajib diundangkan dan dimuat dalam lembaran negara.” Karena pada waktu itu gusdur akan membubarkan parlemen sehigga muncullah kalimat itu. Sebetulnya jika mau menggunakan konteks checks and balances seharusnya tidak seperti itu akan tetapi dengan cara lobi ulang agar terjadi kesepakatan terkait hal apa yang menjadi dasar presiden menolak untuk menandatangani. Dalam kontek yang seperti ini harusnya Mahkamah Konstitusi (MK) masuk guna mempertanyakan apa alasan presiden tidak mau mmenandatangani rancangan undang-undang tersebut apa alasannya, apa alasan hukum atau alasan politik? kalau alasannya hukum maka MK harus memberi tahu kepada presiden bahwa tidak ada pertentangannya dengan hukum, tapi jika alasannya politik MK tidak boleh karena harus komunikasi politik antar dua lembaga.
77
Ali Umri88 Anggota DPR RI Komisi 2 (dua) dari Faraksi partai Nasdem, berpendapat bahwa hak veto presiden sangat menunjang sekali terkait dengan mekanisme checks and balances, namun jika hal tersebut diimbangi juga sebagai anggota legeslatif/parlemen DPR juga hendaknya memiliki hak veto, agar lebih menyeimbangkan ketika presiden tidak mau mengesahkan rancangan undang-undang yang sudah disetujui bersama dengan alasan pribadi bahkan kelompok dan atau golongan. Dengan demikian sudah barang tentu jalannya roda pemerintahan akan dapat berjalan secara selaras, seimbang, dan selalu beriringan. Sebetulnya jika mau menggunakan konteks checks and balances seharusnya tidak seperti itu akan tetapi dengan cara lobi ulang agar terjadi kesepakatan terkait hal apa yang menjadi dasar presiden menolak untuk menandatangani. Hak veto dalam mewujudkan pemerintahan yang checks and
balances?
hak
veto
itu
memang
salah
satu
cara
untuk
menyeimbangkan anatara dominasi legislatif dan eksekutif dengan cara itu. Supaya dominasi DPR tidak terlalu menghegomoni kekuasaan eksekutif, hal tersebut dikawatirkan akan melahirkan undang-undang yang menguntungkan mereka terus sedangkan presidennya mati kutu di situ, jadi disitulah pentingnya presiden memiliki hak veto. Bagaimana
pengaruh
hak veto
presiden
dalam mencapai
pemerintahan yang checks and balances? dengan pergeseran pembentukan 88 Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Umri, jam 19.30 WIB, Di ruang komisi 2 tanggal 21 Januari 2016.
78
undang-undang dari presiden ke DPR maka hal tersebut menjadi sangat relefan, sehingga presiden harus menggunakan hak veto ini untuk benarbenar jernih membaca kepentingan rakyat, sehingga kalau memang bukan untuk kepentingan rakyat banyak, atau kepentinga bangsa seharusnya itu di tolak oleh presiden. Hal tersebut menurut Zainal Arifin Muchtar89 menjadi sangat penting untuk menjaga checks and balances antara dua kekuasaan yang sama-sama memiliki mandat yang sama dalam hal ini fungsi legislasi. Dari ketiga pendapat di atas penulis mencoba menarik benng merahnya bahwa hak veto memiliki arti dan peranan yang sangat penting dalam mewujudkan pemerintahan yang checks and balances, bilamana hak veto tersebut dapat digunakan oleh presiden dan berjalan efektif. Namun berkenaan dengan hal tersebut presiden pun hendaknya dalam penggunaan hak veto dilandaskan pada alasan-alasan yang rasional dan semata-mata hanya untuk kepentingan bangsa, negara, dan rakyat. Namun sebelum hak veto diberlakukan dan di muat/di atur dalam konstitusi kita hendaknya terlebih dahulu pematangan dalam penetapan, sistem pemerintahan di Indonesia.
89
Hasil Wawan Cara sebagai Narasumber Zainal Arifin Mochtar, jam 12.30 WIB, Di ruang guru besar UGM tanggal 14 September 2015.