BAB I PENDAHULUAN
A.
Latar Belakang Masalah Dewasa ini, promosi properti di berbagai media massa, baik cetak maupun
elektronik sangat gencar dilakukan pengembang raksasa dalam mempromosikan produknya. Selain karena ekonomi Indonesia sedang tumbuh dengan baik, properti juga merupakan ladang investasi yang strategis dari masa ke masa. Perumahan salah satu contonya merupakan salah satu kebutuhan primer yang harus dipenuhi oleh setiap manusia. Bagi mereka yang sudah menikah, mempunyai rumah sendiri adalah sesuatu yang dicita-citakan. Potensi inilah yang sepertinya dilihat oleh para pengembang perumahan sehingga mereka saling bersaing satu dengan lainnya dalam pemasaran produk perumahannya. Letak perumahan yang strategis, kelengkapan sarana dan prasarana dalam komplek perumahan hingga kemudahan dalam kredit kepemilikan rumah, adalah berbagai tema promosi yang sering dipakai pengembang dalam mempromosikan keunggulan produk perumahannya. Kredit Kepemilikan R umah (selanjutnya disebut KPR) adalah kredit jangka panjang yang diberikan bank bekerja sama dengan pengembang untuk memberikan kemudahan bagi konsumen agar memiliki rumah sendiri dengan pembayaran sistem angsuran kepada bank. Fasilitas KPR sangat prospektif bagi bank, sehingga semua bank selalu menyediakan fasilitas kredit ini untuk kebutuhan masyarakat. 1 Namun demikian, KPR (dengan nama yang berbeda-beda 1
Johannes Ibrahim, Mengupas Tuntas Kredit Komersial dan Konsumtif dalam Perjanjian Kredit Bank, (Bandung : CV Mandar Maju, 2004), hlm. 5
1
2
antar sesama bank) yang ditawarkan bank konvensional, sering menyisakan kekecewaan bagi para nasabahnya yang merasa dirugikan akibat kenaikan angsuran kreditnya. Sebut saja Pak Mustafa (bukan nama sebenarnya), nasabah KPR pada salah satu bank konvensional. Dalam perjanjian KPR yang ditandatanganinya disebutkan bahwa KPR jenis tersebut adalah program khusus dengan angsuran kenaikan berjenjang. Besarnya angsuran flat selama tiga tahun dan floating pada tahun ke empat. Jumlah angsuran per bulan selama 3 tahun sudah tercantum dalam perjanjian kredit. Namun, belum genap pembayaran dua tahun, ia mendapat surat dari pihak bank yang menyatakan bahwa angsuran kreditnya naik, dan karena Pak Mustafa tetap membayar sesuai jumlah yang tertera dalam surat perjanjian, maka ia terkena denda dan bunga keterlambatan. Nasib serupa juga dialami beberapa nasabah bank konvensional lain. Pada saat para nasabah menandatangani perjanjian KPR pada tahun 2005, bunga yang dikenakan pihak bank konvensional berkisar 11 - 12,5%, namun pada tahun 2006 terjadi kenaikan bunga mencapai 17%, yang tentunya mengakibatkan kenaikan angsuran kredit. Kenaikan tersebut tentu saja sangat memberatkan nasabah. Belum lagi nasabah harus dibebani dengan denda keterlambatan yang berlaku harian. 2 Pernyataan keberatan dan pengaduan dari mereka pun tidak ditanggapi dengan serius oleh bank dan terkesan mereka dilempar dari satu petugas ke petugas bank yang lain. Survey Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia (YLKI) yang mendata pengaduan konsumen pada Februari-Mei tahun 2005 menunjukkan banyaknya keluhan nasabah perbankan. Jumlah masalah terbanyak yang ditemui sebesar 158 2
Keluhan tentang bisnis dan layanan finansial/bank serta kartu kredit, diakses dalam www.mediakonsumen.com.
3
kasus ada pada Citibank dan urutan kedua, 114 kasus di GE Finance. Urutan keempat dengan 102 kasus di HSBC, urutan ke-6 sebanyak 61 kasus di ANZ Bank, urutan ketujuh yakni 45 kasus di Standard Chartered, urutan ke-12 dengan 25 kasus di American Express, dan urutan ke-15 sebanyak 10 kasus di AB NAmroBank. Adapun ragam persoalan yang banyak dikeluhkan adalah sikap sewenang-wenang dalam penerapan bunga berbunga dan debt collector bank. 3 Salah satu persoalan dalam penerapan bunga adalah pada Kredit Kepemilikan Rumah. Keluhan lain yang berhubungan dengan masalah properti adalah keluhan dari para konsumen terhadap pengembang perumahan yang mengingkari janji yang diberikan pada saat promosi produk. Keluhan minimnya prasarana perumahan, hingga kualitas produk perumahan yang mengecewakan sering diajukan konsumen kepada para pengembang. Namun sebagian besar diantaranya tidak mendapat tanggapan atau bahkan diabaikan begitu saja oleh para pengembang. Seiring dengan itu, dalam persaingan dunia perbankan yang semakin ketat, fasilitas KPR
dalam
kenyataannya
tidak
hanya
disediakan
oleh
bank
konvensional, namun menjadi salah satu pembiayaan yang ditawarkan pula oleh perbankan syariah, dengan tidak menggunakan sistem bunga. KPR yang ditawarkan bank Syariah menggunakan prinsip jual beli dengan akad murabahah. Menurut ketentuan hukum Islam, murabahah adalah transaksi penjualan barang pada harga asal dengan tambahan keuntungan (margin) yang disepakati. Ketika bank berkedudukan sebagai penjual barang, maka tentunya ia harus bertanggung 3
Diakses dalam www.tempointeraktif.com, Koran Tempo edisi Minggu, 22 Mei 2005 K olom Ekonomi Bisnis.
4
jawab terhadap kualitas barang yang dijualnya. Praktik yang sering terjadi, akad murabahah digabung dengan wakalah (al murabahah bil wakalah), sehingga bank memberikan uang kepada nasabah bukan barang. Praktik murabahah pun dibuat melentur sehingga dipakai untuk barang-barang yang spesifikasinya belum jelas. 4 Oleh karenanya hakikat bank sebagai penjual barang yang harus bertanggung jawab terhadap produk yang dijualnya menjadi kabur karena dalam praktik, uanglah yang diberikan oleh pihak bank syariah. Bank syariah dalam operasionalisasinya tidak menggunakan sistem bunga, sehingga dapat dikatakan keluhan nasabah bank konvensional berkenaan dengan kenaikan angsuran kredit akibat kenaikan suku bunga tidak akan terjadi pada nasabah pembiayaan KPR bank syariah. Namun permasalahan sebenarnya tidak pada pengenaan bunga, melainkan adanya perlindungan bagi nasabah pengguna jasa perbankan. Yaitu, apakah sebenarnya hak-hak nasabah yang harusnya dipenuhi oleh pihak bank. Hak-hak tersebut tentunya menyangkut hak nasabah sebelum bertransaksi dengan bank, pada saat transaksi, dan hak nasabah setelah terjadinya transaksi yaitu menyangkut penyelesaian pengaduan nasabah dan ganti kerugian. Dalam UU No. 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (selanjutnya disebut UUPK) ditegaskan bahwa berbicara tentang perlindungan konsumen berarti mempersoalkan kepastian tentang terpenuhinya hak-hak konsumen. 5 Nasabah adalah konsumen pengguna jasa perbankan, sehingga ketika berbicara
4
Ikhwan A. Basri, Perbankan Syariah di Bidang Regulasi untuk M eningkatkan Pembiayaan Bagi Hasil, Makalah Seminar Nasional “Mencari Solusi Pembiayaan Bagi Hasil Perbankan Syariah” Jakarta, Oktober 2004 5 Janus Sidabalok, Hukum Perlindungan Konsumen di Indonesia, (Bandung : PT Citra Aditya Bakti, 2006), hlm. 10
5
tentang perlindungan nasabah, maka yang menjadi pembahasannya adalah kepastian tentang terpenuhinya hak-hak nasabah. Dalam Arsitektur Perbankan Indonesia (API) yang diterbitkan Bank Indonesia pada tahun 2004, mengatur pula mengenai perlindungan terhadap nasabah. 6 Enam pilar dalam API adalah 1.
struktur perbankan yang sehat,
2.
sistem pengaturan yang efektif,
3.
sistem pengawasan yang independen dan efektif,
4.
industri perbankan yang kuat,
5.
infrastruktur yang mencukupi, dan
6.
perlindungan nasabah. 7 Bank Indonesia telah mengeluarkan Peraturan yang menjadi bagian dari
Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 sebagai realisasi dari upaya Bank Indonesia untuk memberikan perlindungan kepada nasabah terutama nasabah peminjam dana. Peraturan tersebut adalah PBI No. 7/6/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Transparansi Informasi Produk Bank dan Penggunaan Data Pribadi Nasabah” dan PBI No. 7/7/PBI/2005 tanggal 20 Januari 2005 tentang “Penyelesaian Pengaduan Nasabah”. PBI di atas juga telah dilengkapi dengan Surat Edaran dari Bank Indonesia sebagai petunjuk tehnis bagi bank dalam mengaplikasikan Peraturan tersebut. Bank Indonesia memberikan batas maksimal pengaplikasian Paket Kebijakan Perbankan Januari 2005 di atas, sampai tanggal 1 Januari 2006.
6
Tri Widiyono, Aspek Hukum Operasional Transaksi Produk Perbankan di Indonesia, (Bogor : Ghalia Indonesia, 2006), hlm. 15 7
Muliaman D Hadad, Perlindungan dan Pemberdayaan Nasabah dalam Arsitektur Perbankan Indonesia, diakses dalam www.bi.go.id
6
Dalam PBI tentang Transparansi Informasi Produk Bank, pihak bank berkewajiban menjelaskan karkteristik produk bank secara jelas, rinci dan menyeluruh termasuk manfaat, risiko dan biaya yang harus ditanggung nasabah. Kewajiban bank tersebut hakikatnya adalah hak nasabah sebelum bertransaksi dengan bank, dan harus dipenuhi oleh bank karena telah dijamin oleh sebuah ketentuan perundang-undangan. Keluhan para nasabah KPR yang ditawarkan bank konvensional bermuara pada informasi penetapan suku bunga. Seharusnya, bank konvensional menjelaskan kepada nasabah sebelum terjadinya transaksi, tentang penetapan suku bunga floating yang dipakai oleh bank dan risiko yang harus dihadapi nasabah apabila menyetujui penetapan suku bunga floating tersebut. Dengan kejelasan informasi ini, nasabah akan memutuskan sesuai kondisi keuangan bulanannya, untuk memanfaatkan KPR bank konvensional tersebut atau tidak. Selanjutnya,
dalam
PBI
tentang
penyelesaian
pengaduan
nasabah,
mewajibkan seluruh bank untuk menyelesaikan setiap pengaduan nasabah yang terkait dengan adanya potensi kerugian finansial pada sisi nasabah. Dalam PBI ini diatur mengenai tata cara penerimaan, penanganan, dan juga pemantauan penyelesaian pengaduan. Selain itu, bank diwajibkan pula untuk memberikan laporan triwulanan kepada Bank Indonesia mengenai pelaksanaan penyelesaian pengaduan nasabah tersebut. Melalui PBI ini bank tidak boleh lagi bersikap sewenang-wenang dengan mengabaikan setiap pengaduan nasabah. PBI tentang perlindungan nasabah pun berlaku bagi bank syariah. Namun karena bank syariah mempunyai sistem operasional yang berbeda dengan bank konvensional, maka bank syariah juga diwajibkan menjelaskan secara rinci
7
karakteristik produk KPRnya kepada nasabah, khususnya tentang prinsip syariah yang dipakai. Hal tersebut dikarenakan selain tunduk pada ketentuan hukum positif, bank syariah juga harus tunduk pada ketentuan hukum Islam yang pada praktiknya berbentuk fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN). Dalam penerapan perlindungan terhadap nasabah tidak cukup hanya diakomodir oleh regulasi-regulasi dan Fatwa Dewan Syariah Nasional (DSN), namun haruslah dilengkapi dengan regulasi lain yang merupakan kewenangan Notaris/PPAT untuk melegitimasi eksistensi kesepakatan para pihak dalam pembiayaan KPR Syariah. Sebagaimana dalam KPR yang merupakan produk bank konvensional yang selalu memerlukan keberadaan akta-akta untuk mengikat para pihak dan memberi jaminan kepastian hukum atas perbuatan hukum berupa kesepakatan antara para pihak, dalam pelaksanaan perjanjian pembiayaan KPR pada perbankan syariah meskipun merupakan wilayah hukum Islam, tentunya juga diperlukan keberadaan akta sebagai alat bukti atas telah terjadinya perbuatan hukum berupa kesepakatan dua atau lebih pihak sebagai upaya pemberian perlindungan hukum terhadap para pihak yang menandatangani akta perjanjian pembiayaan KPR tersebut. Agar akad pembiayan yang telah ditandatangani oleh para pihak terkait dalam pembiayaan KPR mempunyai kekuatan pembuktian maka harus dibuat secara otentik oleh dan dihadapan Notaris. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah menyebutkan bahwa bank syariah adalah bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Syariah. Lebih lanjut dikemukakan oleh undang-undang tersebut bahwa fungsi utama perbankan syariah adalah
8
intermediary, yaitu penghimpun dan penyalur dana masyarakat dari sektor surplus yaitu pemilik dana ke sektor defisit yaitu pencari dana untuk keperluan investasi. Berdasarkan kedua fungsi tersebut, yaitu fungsi pengerahan dan penyaluran dana, terlihat adanya dua hubungan hukum antara bank dan nasabah, yaitu: 1. Hubungan hukum antara bank dan nasabah penyimpan dana. 2. Hubungan hukum antara bank dan nasabah debitur. Salah satu tujuan perbankan menurut pasal 3 undang-undang ini adalah menunjang pelaksanaan pembangunan nasional dalam rangka meningkatkan keadilan, kebersamaan, dan pemerataan kesejahteraan rakyat. Demi terwujudnya tujuan tersebut, terhadap kegiatan perbankan syariah di Indonesia, tentunya pemerintah harus meningkatkan suatu pengawasan yang efektif selain pengawasan yang dilakukan oleh Bank Indonesia selaku otoritas moneter sesuai dengan Undang-Undang Nomor 23 Tahun 1999 jo. UndangUndang Nomor 3 Tahun 2004 tentang Bank Indonesia. Selain itu, secara dini pemerintah juga harus bisa menetapkan tindakan preventif yang ketat sesuai dengan undang-undang perbankan dan peraturan perundang-undangan lainnya. Masalah lain yang lebih penting adalah pertanggungjawaban bank terhadap keluhan nasabah sering kali belum menunjukkan penanganan yang baik apabila terjadi krisis dalam dunia finansial dalam hal ini dalam dunia perbankan nasional. Lantas, bagaimanakah implementasi perlindungan hukum terhadap nasabah yang melakukan transaksi dengan bank. Salah satu bank syariah yang mempunyai skema pembiayaan KPR adalah Bank Syariah Mandiri (BSM). Bank Syariah Mandiri merupakan Bank Umum Syariah (BUS) ke-2 di Indonesia setelah berdirinya Bank Muamalat Indonesia
9
(BMI), sekitar tahun 1992. Sejarah berdirinya Bank Syariah Mandiri dipengaruhi adanya tuntutan dari sebagian masyarakat muslim Indonesia yang menganggap bahwa bunga adalah haram. Pada tahun 1997 tepatnya bulan Juli krisis moneter telah mengakibatkan perbankan Indonesia yang didom inasi oleh bank-bank konvensional mengalami kesulitan yang sangat parah yang menyebabkan pemerintah Indonesia terpaksa mengambil tindakan untuk merekonstruksi dan merekapitulasi sebagian bank di Indonesia. Tepat pada tanggal 1 November 1999 merupakan hari pertama beroperasinya PT. Bank Syariah Mandiri. Kelahiran Bank Syariah Madiri merupakan buah usaha dari perintis Bank Syariah di PT. Bank Susila Bakti dan menejemen PT. Bank Mandiri (persero) yang memandang pentingnya kehadiran Bank Syariah di lingkungan PT. Mandiri (persero). Bank Syariah Mandiri hadir sebagai bank yang mengkombinasikan idealisme usaha dengan nilai-nilai rohani yang melandasi operasionalnya. Dalam kegiatan bank syariah dikenal istilah pembiayaan, atau biasa kita sebut dengan nama kredit dalam bank konvensional. Pembiayaan atau kredit merupakan salah satu tugas pokok bank. Kegiatan pembiayaan secara umum pada bank
syariah
antara
lain
pembiayaan
berdasarkan
prinsip
bagi
hasil
(mudharabah), penyertaan m odal (musyarakah), prinsip jual beli barang (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah) atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank ke pihak lain (ijarah wa iqtina atau ijarah muntahiyah bittamlik). Dalam perkembangannya yang baik, Bank Syariah Mandiri mulai merambah ke sejumlah daerah, termasuk kota Mataram - Nusa Tenggara Barat.
10
Itu terbukti dengan dibukanya cabang baru pada tahun 2002, dengan menawarkan skema pembiayaan berbasis syariah sebagai alternatif bagi masyarakat setempat yang notabene terkenal dengan religiusitasnya (keislamannya) untuk dapat memilih dengan pertimbangan dan alasan tertentu. Melihat kenyataan bahwa permasalahan dalam KPR disebabkan oleh belum terlindunginya hak-hak nasabah, dan penerapan prinsip syariah dalam pembiayaan KPR di perbankan syariah yang tunduk pada ketentuan hukum Islam, juga menuntut perbankan syariah memperhatikan hak-hak nasabah sesuai ketentuan hukum Islam, maka dirasakan penting untuk dilakukan penelitian tentang perlindungan nasabah yang memanfaatkan produk pembiayaan kepemilikan rumah di perbankan syariah. Bank Syariah Mandiri cabang Mataram dipilih sebagai lokasi penelitian karena pembiayaan kepemilikan rumah merupakan salah satu skema berbasis syariah dari bank ini.
B.
Rumusan Masalah Berdasarkan
latar
belakang
di
atas,
maka
diangkatlah
rumusan
permasalahan: 1.
Bagaimanakah implementasi perlindungan terhadap hak-hak nasabah produk KPR pada Bank Syariah Mandiri Kantor cabang Mataram ditinjau dari UU Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia, dan UU Perbankan Syariah?
2.
Bagaimanakah peranan Notaris dalam pembiayaan KPR Bank Syariah Mandiri Kantor cabang Mataram?
11
C. Keaslian Penelitian Berdasarkan penelusuran penulis, terdapat beberapa karya ilmiah yang berhubungan dengan perlindungan terhadap konsumen (nasabah bank) dan Kredit Pemilikan Rumah. Karya-karya tersebut adalah pertama, tesis dengan judul Kajian Perlindungan Konsumen dalam Bisnis Properti Bidang Perumahan di Kota Padang. 8 Tesis ini mendeskripsikan mengenai perangkat hukum yang berlaku dalam memberikan perlindungan hukum terhadap konsumen dalam bisnis properti di Kota Padang, khususnya rumah sederhana dan sangat sederhana dan upaya hukum yang dapat dilakukan oleh konsumen terhadap perbuatan pengembang yang mengakibatkan timbulnya kerugian. Kedua, tesis dengan judul Perlindungan Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Bank Tabungan Negara Kota Hijau Balikpapan. 9 Tesis ini menganalisa permasalahan tentang terdapatnya pengembang yang mengagunkan sertifikat HGB (Hak Guna Bangunan) milik konsumen tanpa seijin konsumen kepada pihak bank untuk pengembangan usaha perumahannya. Alat analisa yang digunakan adalah UUPK dan disimpulkan bahwa pengembang telah melanggar ketentuan dalam UUPK dan selayaknya mendapat sanksi seperti yang tertuang dalam ketentuan UUPK. Kedua tesis di atas hanya menganalisa penerapan perlindungan konsumen yang memanfaatkan Kredit Pemilikan Rumah sesuai ketentuan dalam UUPK khususnya yang menyangkut klausula baku dalam perjanjian antara konsumen
8
Dehotman Elvy, Kajian Perlindungan Hukum terhadap Konsumen dalam Bisnis Properti di Kota Padang, Tesis Program Studi Magister Kenotariatan, Koleksi Perpustakaan Fakultas Hukum UGM, 2002, tidak diterbitkan. 9 Margono, Perlindungan Konsumen Kredit Pemilikan Rumah Bank Tabungan Negara Kota Hijau Balikpapan, Tesis Magister Hukum Bisnis, Koleksi Perpustakaan Fakultas Hukum UGM, 2005, tidak diterbitkan.
12
dengan pengembang, namun tidak dibahas perjanjian kredit antara bank dan nasabahnya. Selanjutnya penelitian yang akan peneliti lakukan bersifat mengembangkan dari penelitian sebelumnya. Hal ini dikarenakan bahwa penelitian yang telah dilakukan sebelumnya menyangkut perlindungan terhadap konsumen dalam bisnis perumahan atau KPR bank konvensional, hanya menekankan pada pembahasan penerapan UUPK, sedangkan penelitian ini akan menganalisa penerapan perlindungan nasabah dalam KPR Perbankan Syariah sesuai ketentuan hukum pada UUPK, PBI, UU Perbankan Syariah berikut peranan Notaris dalam pembuatan skema perjanjian antara para pihak. Oleh karena itu penelitian yang akan peneliti lakukan mempunyai pokok bahasan yang berbeda dengan penelitianpenelitian yang pernah dilakukan dan bersifat memperdalam serta memperluas pengetahuan yang telah ada tentang perlindungan konsumen dalam hal ini konsumen pengguna jasa perbankan.
D. Tujuan Penelitian Tujuan diadakannya penelitian ini adalah: 1.
Untuk mengetahui im plementasi perlindungan terhadap hak-hak nasabah produk KPR pada Bank Syariah Mandiri Kantor cabang Mataram sesuai ketentuan UU Perlindungan Konsumen, Peraturan Bank Indonesia, dan Hukum Perbankan Syariah.
2.
Untuk mengetahui peranan Notaris dalam pelaksanaan pada pada Bank Syariah Mandiri Kantor cabang Mataram.
pembiayaan KPR
13
E.
Manfaat Penelitian Manfaat yang dapat diambil dari pengetahuan yang dihasilkan oleh
penelitian yang akan dilakukan adalah : 1.
Secara teoritis, hasil penelitian diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum, khususnya kenotariatan.
2.
Secara praktis, dapat bermanfaat bagi : Peneliti : untuk menambah wawasan dan pengetahuan dalam hal memperdalam ilmu di bidang Hukum Perbankan, Hukum Perbankan Syariah dan Kenotariatan. Masyarakat : meningkatkan kesadaran betapa pentingnya perlindungan hukum terhadap pengguna produk perbankan syariah. Pemerintah : memberikan sumbangan pemikiran dalam menentukan regulasi yang adil, efektif dan efisien dalam bidang perbankan syariah.