1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Sektor pariwisata merupakan sektor andalan dan prioritas utama sebagai penghasil devisa negara. Khususnya di Bali, pariwisata berkontribusi besar terhadap pertumbuhan budaya, peningkatan ekonomi, dan kesejahteraan sosial masyarakat. Beraneka ragam sumber daya pariwisata telah dikembangkan menjadi daya tarik wisata potensial di Bali, baik yang berbasis alam, budaya, maupun agama. Keanekaragaman sumber daya pariwisata mendorong terciptanya pelayanan pariwisata pada berbagai aspek. Sarana transportasi, fasilitas akomodasi, restoran, bandara, fasilitas belanja, semakin dikembangkan untuk mendukung aktivitas wisatawan. Bali dengan karakteristik pulau dan wilayah yang cukup spesifik sangat menarik minat para investor untuk berinvestasi. Potensi alam, budaya, keunikan adat, dan agama sangat layak untuk dilirik dan dijadikan daya tarik wisata. Hampir setiap daya tarik wisata yang dikembangkan pada masing-masing wilayah di Bali memiliki ciri yang spesifik sehingga terkesan sangat beragam dan khas. Salah satu daya tarik wisata yang sangat potensial adalah Destinasi Kintamani. Berbagai daya tarik wisata tersedia, antara lain; Batur Geopark, Pemakaman Trunyan, Desa Penglipuran, Penelokan, Pendakian Gunung Batur, wisata agro kopi luwak dan jeruk Kintamani, serta permandian air panas lengkap dengan fasilitas restoran. Keberadaan Destinasi Kintamani cukup dikenal wisatawan, tetapi berbagai permasalahan muncul bersumber dari perilaku masyarakat lokal dan karakteristik alam serta kawasan konservasi yang rawan dan labil. Permasalahan yang timbul
2
memicu keluhan dan citra buruk yang akhirnya mengurangi tingkat kunjungan wisatawan. Berdasarkan teori; destinasi yang dipandang sebagai produk dan pelayanan diklasifikasikan berdasarkan area atau lokasi dan menawarkan pengalaman yang bervariasi (Buhalis dan Spada, 2000; Glover dan Dalton, 2005). Manajemen destinasi berperan dalam mengelola dan membantu integrasi berbagai sumber daya, aktivitas dan stakeholder berdasarkan ketentuan (Manente, 2008). Hal ini diharapkan berdampak pada perencanaan dan pengorganisasian aktivitas bisnis dan pariwisata pada sektor publik (Manente dan Meneghello, 2006). Manajemen destinasi wisata dapat dipahami sebagai kesatuan fasilitas dan pelayanan yang terbentuk dari berbagai atribut dengan bermacam indikator. Berdasarkan Undang-undang Republik Indonesia Nomor 10 tahun 2009 tentang kepariwisataan, Kintamani dikategorikan sebagai Daya Tarik Wisata (DTW). Daya tarik wisata adalah segala sesuatu yang memiliki keunikan, keindahan, dan nilai yang berupa keanekaragaman kekayaan alam, budaya, dan hasil buatan manusia yang menjadi sasaran atau tujuan kunjungan wisatawan (UU No 10, Pasal 1.5, 2009). Daerah tujuan pariwisata dalam Undang-undang Kepariwisataan No. 10 tahun 2009 yang selanjutnya disebut Destinasi Pariwisata adalah “kawasan geografis yang berada dalam satu atau lebih wilayah administratif yang di dalamnya terdapat daya tarik wisata, fasilitas umum, fasilitas pariwisata, aksesibilitas, serta masyarakat yang saling terkait dan melengkapi terwujudnya kepariwisataan” (UU Kepariwisataan No 10, 2009). Merujuk Perda No 16 tahun 2009 tentang RTRW Bali tahun 2009-2029, Kintamani digolongkan sebagai DTWK (Daerah Tujuan Wisata Khusus) meliputi cakupan 15 desa, dengan karakteristik alam dan lingkungan yang spesifik. Status
3
sebagai DTWK membatasi pengembangan Destinasi Kintamani dalam penyediaan gedung, bangunan, dan fasilitas pariwisata yang permanen. Tekstur tanah yang labil, rawan terjadi pergeseran, kawasan konservasi, Geopark Batur menjadikan status wisayah ini siaga bencana letusan. Demikian juga, kegiatan pertanian dan perikanan bergantung penuh kepada curah hujan dan pemanfaatan air danau. Sebagaimana diatur dalam Perda No 16 tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah (RTRW) Bali, huruf h; dijelaskan “rencana struktur ruang dan rencana pola ruang telah memberikan arahan kawasan-kawasan yang memiliki potensi rawan terhadap bencana baik bencana alam, bencana geologi maupun efek perubahan iklim melalui upaya-upaya mitigasi (pengurangan efek bencana atau perubahan iklim) dan adaptasi (tindakan penyesuaian sistem alam dan sosial untuk menghadapi dampak negatif dari bencana atau perubahan iklim)”. Kondisi ini membatasi ruang gerak masyarakat, pemerintah, dan pemangku kepentingan dalam pengembangan fasilitas hotel berbintang dan restoran di Destinasi Kintamani. Hampir seluruh bangunan yang berdiri di atas tebing-tebing sepanjang Panelokan tidak mengantongi ijin dari pemerintah, karena lokasi tersebut rawan longsor (Bona, 2014). Namun, para pengusaha pariwisata tidak mempertimbangkan aspek tersebut. Terbatasnya jumlah fasilitas hotel dan restoran standar berbintang mengakibatkan lama tinggal wisatawan relatif singkat. Tahun 2010 dibentuk DMO (Destination Management Organization) oleh Kementerian
Pariwisata
dan
Ekonomi
Kreatif.
Fungsi
DMO
adalah
mengkoordinasikan elemen destinasi (atraksi, amenitas, aksesibilitas, SDM, citra (image), harga, marketing, maupun lingkungan yang berkelanjutan (sustainable)). Dalam hal ini, DMO menjadi sebuah perspektif yang hendak memberikan ruang
4
partisipasi bagi semua pihak untuk terlibat dalam mengelola sebuah destinasi pariwisata. DMO tidak hanya berperan guna pengembangan produk, marketing, promosi, perencanaan dan penelitian saja, melainkan memainkan peran sebagai pembentukan tim dan kemitraan, jalinan masyarakat (community relation), serta koordinasi dan kepemimpinan, (Destination Consultancy Group, 2010). DMO adalah “tata kelola destinasi pariwisata yang terstruktur dan sinergis yang mencakup fungsi koordinasi, perencanaan, implementasi, dan pengendalian organisasi destinasi secara inovatif dan sistemik melalui pemanfaatan jejaring, informasi dan teknologi yang terpimpin secara terpadu dengan peran serta masyarakat, pelaku pariwisata, asosiasi, industri, akademisi dan pemerintah yang memiliki tujuan, proses, dan kepentingan bersama dalam rangka meningkatkan kualitas pengelolaan, volume kunjungan wisata, lama tinggal dan besaran pengeluaran wisatawan, serta manfaat bagi masyarakat lokal” (Kembudpar, 2009). Dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS 2010-2025) dan PP 50 tahun 2011, diatur ihwal pembangunan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN), pasal 7 ayat a. menjelaskan perwilayahan pembangunan DPN yang dibagi menjadi 50 DPN dan 88 KSPN (Kawasan Strategi Pariwisata Nasional) yang diaplikasikan pada 222 KPPN (Kawasan Pengembangan Pariwisata Nasional). Definisi KSPN menurut RIPPARNAS (2010) adalah “kawasan yang memiliki fungsi
utama pariwisata atau memiliki potensi untuk pengembangan pariwisata nasional yang mempunyai pengaruh penting dalam satu atau lebih aspek, seperti pertumbuhan ekonomi, sosial dan budaya, pemberdayaan sumber daya alam, daya dukung lingkungan hidup, serta pertahanan dan keamanan”. Terdapat 16 KSPN yang diprioritaskan selama periode 2012-2014, di antaranya Danau Toba, Kepulauan
5
Seribu, Kota Tua Sunda Kelapa, Borobudur, Bromo-Tengger-Semeru, Kota SanurNusa Dua, Pemuteran-Menjangan, dan Kawasan Kintamani-Danau Batur. Kategori Kawasan Kintamani sebagai KSPN menjadikan Kintamani agak spesifik dan mendapatkan prioritas untuk dikembangkan lebih lanjut. Pengelolaan destinasi wisata di Bali melibatkan masyarakat, pemerintah, pengusaha, dan swasta dengan beragam model kerjasama. Hal ini mengakibatkan manajemen destinasi yang diterapkan memiliki penekanan pada aspek yang berbeda pula. Beberapa model menajemen destinasi yang diterapkan di antaranya di Tanah Lot, Taman Wisata Bali Barat, dan Nusa Dua, yang cenderung memiliki spesifikasi yang berbeda. Perbedaan model pengelolaan disebabkan oleh faktor sumber daya, jenis dan lokasi daya tarik wisata, serta faktor terpenting adalah pendanaan (anggaran pemerintah). Perbedaan model manajemen dalam pengelolaan daya tarik wisata akan mempengaruhi performansi daerah tujuan wisata terkait. Tabel 1.1 dan Tabel 1.2 menunjukkan fluktuasi kunjungan wisatawan mancanegara ke Bali tahun 2009 sampai 2013 dan fluktuasi tingkat popularitas daya tarik wisata di Bali. Tabel 1.1 Kedatangan Wisman ke Bali Tahun 2009-2013 Menurut Bulan dalam Satuan Orang Tahun Angka Tahunan Kenaikan
2009
2010
2011
2012
2013
2.385.122
2.576.142
2.826.709
2.949.332
3.278.598
191.020
240.567
132.623
329.266
Sumber: bps.go.id (2014) Data bps.go.id (2014) menjelaskan bahwa terjadi kenaikan jumlah kunjungan wisatawan secara bertahap dari tahun 2009 hingga tahun 2013. Bila dibandingkan dengan kunjungan wisatawan ke Kintamani pada Tabel 1.2, terlihat bahwa peningkatan kunjungan wisatawan ke Bali tidak sejalan dengan kunjungan wisatawan
6
ke Destinasi Kintamani; terlihat pada Tabel 1.2 tingkat popularitas Kintamani menurun. Tabel 1.2
Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Destinasi Wisata Favorit Bali Termasuk Kintamani pada Tahun 2011-2012
Nama Obyek
Kunjungan
Nama Obyek
Kunjungan
10 Objek Favorit 2011
Tahun 2011
10 Objek Favorit 2012
Tahun 2012
Tanah Lot
2.312.252
Tanah Lot
3.092.434
Kintamani / Batur
488.933
Uluwatu
803.567
Kebun Raya Eka Karya
468.565
Ulun Danu Beratan
512.365
Ulun Danu Beratan
463.103
Tirta Empul T.Siring
461.677
Tirta Empul T.Siring
366.368
Kintamani / Batur
458.184
Kawasan Pura Uluwatu
297.646
Kebun Raya Eka Karya
379.962
Bali Safari Park
257.956
Bali safari Park
255.750
Bedugul
255.160
Goa gajah
252.741
Alas Pala Sangeh
199.858
Bedugul
243.740
Goa Gajah
192.669
Taman ayun
230.894
Total Kunjungan
5.302.510
Total kunjungan
6.691.314
Sumber : bps.go.id (2012). Berdasarkan data Tabel 1.2, total jumlah kunjungan wisatawan ke sepuluh destinasi favorit Bali, periode waktu 2011-2012 mengalami peningkatan dari 5,30 juta menjadi 6,69 juta. Akan tetapi tidak demikian halnya dengan kunjungan wisatawan yang khusus ke Destinasi Kintamani Batur. Kintamani Batur yang semula adalah destinasi favorit kedua pada tahun 2011, turun menjadi nomor lima pada tahun 2012. Indikator ini menjelaskan bahwa terjadi degradasi (penurunan) minat wisatawan untuk mengunjungi Kintamani.
Berdasarkan struktur alam lingkungan, Destinasi
Kintamani memiliki cuaca yang sejuk dan nyaman sebagai tempat rekreasi. Namun keunikan ini tidak mampu menguatkan popularitas Kintamani. Berbagai penyebab dapat diduga sebagai
pemicu penurunan jumlah kunjungan ini, baik dari aspek
7
perilaku masyarakat, kebijakan pemerintah, manajemen kawasan, dan aspek-aspek lain yang manjadi bagian dari riset ini. Masyarakat lokal, pemerintah, dan lembaga swasta berkontribusi besar dalam pembentukan sistem pengelolaan destinasi yang multidimensi. Namun, keterlibatan mereka dengan persepsi dan sudut pandang yang berbeda menimbulkan masalah yang pelik dan beragam. Permasalahan timbul pada aspek sosial, ekonomi, lingkungan dan manajemen. Hal ini berdampak terhadap tingkat kunjungan wisatawan ke Kintamani. Keindahan destinasi Kintamani yang secara alami mendominasi destinasi lain di Bali menjadi kalah favorit. Berbagai opini muncul di antaranya masalah manajemen destinasi dan pencitraan. Pemberitaan media massa tentang pelayanan buruk yang diterima para wisatawan di Kintamani menyebar cepat. Berita dari mulut ke mulut wisatawan yang kecewa dan dirugikan seakan menjadi rangkaian permasalahan yang tidak ada ujung pangkalnya. Dikuatkan lagi dengan kurangnya respon
pemerintah
dan
pemangku
kepentingan
lainnya,
yang
menjadikan
permasalahan semakin rumit untuk ditelusuri. Demikian komentar Merta (2013); Alit (2013) dan Astawa (2014). Gap yang muncul antara kepentingan, harapan terhadap kinerja manajemen Destinasi Kintamani memunculkan dampak buruk yang merongrong keberlanjutan pariwisata Kintamani. Gap theory dari Parasuraman et al. (1985) menjelaskan bahwa gap dapat terjadi akibat perbedaan persepsi dalam pelayanan. Gap dan perbedaan ini mempengaruhi perilaku, yang dapat berdampak buruk terhadap operasional seluruhnya. Terjadi penurunan standar dan kualitas pelayanan yang berujung pada penurunan kunjungan wisatawan.
8
Secara umum jumlah kunjungan wisatawan ke Bali meningkat, tetapi kenaikan kunjungan tersebut tidak sejalan dengan perkembangan kedatangan wisatawan ke Destinasi Kintamani dan sekitarnya.
Tabel 1.3 Jumlah Kunjungan Wisatawan ke Objek dan Daya Tarik Wisata Di Kabupaten Bangli Tahun 2007 - 2014, dalam satuan orang. No
Tahun
1
2007
319.859
Penglipu ran 17.189
11.496
Penuli san 929
2
2008
394.682
20.898
11.329
3
2009
483.381
21.869
4
2010
5
2011
368.363 488.933
5
2012
458.184
6
2013
509.983
7
2014
500.319
Batur
3.302
0
352.775
Pertumbuh an (%) 0,00
2.931
7.367
0
437.207
23,93
12.830
2.901
5.725
0
526.706
20,47
9.281
13.073
2.197
5.229
0
418.143
(20,61)
32.503
13.291
1.217
5.560
25.113
566.617
35,51
32.668
12.669
899
14.432
29.300
548.152
(3,26)
41.813
10.373
800
16.546
37.122
616.637
12,49
16.563
1.026
15.184
49.818
647.493
5,02
64.692
Kehen
Trunyan
P3GB
Total
*P3GB; Persatuan Pemandu Pendakian Gunung Batur. Sumber; Dinas Kebudayaan dan Pariwisata Kabupaten Bangli (2015).
Tabel 1.3 menunjukkan jumlah kunjungan wisatawan ke destinasi wisata Kabupaten Bangli dengan beberapa daya tarik wisata yang tersebar di Kintamani, Gunung Batur, dan sekitarnya. Penurunan jumlah kunjungan mencapai 20,61% terjadi pada tahun 2010, utamanya pada daya tarik wisata Danau Batur, Pengelipuran, Penulisan, dan Trunyan, yang dominan disebabkan oleh perubahan perilaku masyarakat lokal. Asosiasi travel agent mengeluarkan travel warning, melarang para guide membawa wisatawan ke Destinasi Danau Batur. Penyebabnya adalah citra buruk dan perilaku buruk dari masyarakat lokal, seperti pedagang acung yang nakal, guide tracking yang menyesatkan, nakoda perahu di Trunyan yang mematikan mesin di tengah danau, harga makanan yang tidak standar, serta pungutan liar dari pengelola
9
swasta atau Non Government Organization / NGO (Ariana, 2009; Merta, 2012; Suwandi, 2012). Meskipun data kunjungan tahun 2013 dan 2014 menunjukkan peningkatan, masih terdapat pemberitaan buruk atas pengelolaan Destinasi Kintamani. Tantangan dalam mencapai sukses destinasi adalah melalui pendekatan manajemen destinasi yang mengimplementasikan sistem manajemen dan menyadari kenyataan bahwa manajemen destinasi adalah sebuah sistem. Dengan demikian perlu dipahami dan dimengerti siapa pelaku, hubungannya, interaksinya dan lingkungan kompetitifnya (Manente, 2008). Hal buruk yang terjadi pada beberapa daya tarik wisata di Kintamani secara keseluruhan melemahkan citra destinasi. Berdasarkan observasi awal di lapangan, ditemukan bahwa ada perbedaan kepentingan dalam pengelolaan destinasi, yakni antara pengusaha lokal, masyarakat lokal, dan Pemerintah Kabupaten Bangli (di bawah naungan Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif). Semua pihak yang terlibat dalam manajemen destinasi ini tidak saling bersinergi. Pemerintah Kabupaten Bangli belum berperan penuh untuk mengaturnya. Kementerian mengeluarkan kebijakan gratis retribusi masuk Museum Geopark, tetapi ada NGO atau yayasan swasta tetap memungut iuran tanpa menyetorkan kembali kepada pemerintah (Kadisparda Bangli, 2013). Mulai tahun 2015, Pemerintah Kabupaten Bangli mengambil keputusan yang sangat ekstrem, yakni menaikkan tarif masuk kawasan dari Rp 10.000,- untuk wisatawan asing, menjadi Rp 30.000,- Pemberlakuan tarif ini sangat tidak tepat mengingat jalur masuk kawasan Kintamani adalah jalur umum menuju Singaraja dan beberapa daerah lain yang bukan daya tarik wisata. Akibat pemberlakuan tarif baru
10
tersebut, dalam seminggu restoran-restoran kecil yang mengharapkan rombongan datang untuk makan melalui jasa travel agent, membatalkan pesanan hingga tujuh puluh lima orang per hari (Krisna, 2015). Travel agent tidak sanggup menanggung beban biaya tambahan per kepala yang cukup tinggi. Rombongan-rombongan tersebut akhirnya diarahkan ke Ubud dan Tampak Siring untuk makan siang ataupun makan malam. Penelitian Ariana (2009) menemukan bahwa banyak terjadi penyimpangan perilaku masyarakat lokal Kintamani dalam memberikan pelayanan kepada wisatawan. Penyebabnya antara lain: persaingan (berebut tamu), tidak memiliki keterampilan dan kompetensi dalam melayani tamu, tidak ada sanksi atas perlakuan buruk tersebut, dan karakter masyarakat lokal. Lima belas desa yang tersebar sepanjang Danau Batur dan bagian atas Penelokan memiliki karakteristik daya tarik yang berbeda. Desa Songan A memiliki daya tarik pertanian, sayur mayur. Di Desa Songan B terdapat galian C yang diangkut oleh truk-truk yang sangat mengganggu wisatawan yang berkunjung ke Destinasi Toya Bungkah. Desa Buahan, Desa Kedisan, dan Desa Abang juga memiliki daya tarik pertanian, perikanan. Desa Trunyan memiliki ciri khas kuburan tradisional dan Kawasan Pendakian Gunung Batur sangat menarik untuk ditaklukkan dalam waktu yang relatif tidak terlalu lama (empat jam). Pemahaman individu (internal) masyarakat tentang pariwisata yang masih rendah dan tingkat keterlibatan pihak eksternal yang juga rendah dengan beragam kepentingan mempengaruhi perilaku masyarakat (Beritelli, 2009). Perbedaan kepentingan
antara
masyarakat,
pemerintah,
dan
pemangku
kepentingan
menimbulkan perbedaan persepsi dan perilaku masyarakat dalam memberikan
11
pelayanan kepada wisatawan. Aktivitas pariwisata di Kintamani, baik yang dikelola oleh masyarakat lokal, swasta, maupun pemerintah tidak didasarkan oleh kepentingan yang sama sehingga menimbulkan persepsi dan perilaku yang berbeda dalam memberikan pelayanan. Hal ini pula yang menjadi pertimbangan para akademisi terlibat dan berkontribusi melalui riset penelitian. Ngai et al. (2006) menemukan bahwa dahulu keluhan ditujukan kepada aksiaksi publik. Namun, seiring dengan meningkatnya pengetahuan masyarakat, mereka memilih menyampaikan keluhan secara pribadi seperti negative word of mouth comments (WOM). Efek dari WOM berdampak buruk terhadap kunjungan wisatawan ke Destinasi Kintamani. Perkembangan teknologi informasi mempercepat berita negatif menyebar tanpa terkendali. Data statistik Kabupaten Bangli, tahun 2007-2012 menunjukkan bahwa terjadi trend negatif terhadap pertumbuhan wisatawan asing dan Nusantara yang mengunjungi daya tarik wisata di Bangli. Angka 23,93 persen tercapai tahun 2008 menjadi 20,47 persen tahun 2009, dan puncaknya terjadi tahun 2010 yang mencapai (20,61) persen (Dinas Pariwisata Kabupaten Bangli, 2014). Kompleksitas permasalahan yang timbul di kawasan pariwisata tersebut memotivasi berbagai pihak untuk berkontribusi melakukan perbaikan-perbaikan dan riset penelitian. Dalam riset ini, analisis gap yang terjadi disesuaikan dengan teori dan referensi untuk menemukan satu solusi sehingga dapat diimplementasikan dalam operasional manajemen Destinasi Kintamani. Dokumen hasil evaluasi awal (assessment baseline, Monev DMO Cluster Bali, 2012) menjelaskan bahwa pariwisata Destinasi Kintamani mengalami declining; trend kunjungan menurun, wisatawan kehilangan rasa aman dan nyaman, terjadi komplin
12
dari wisatawan dan guide. Travel agent tidak merekomendasi tamu ke Kintamani. Hal ini menyebabkan permasalahan baru di antaranya penurunan citra, penurunan keragaman atraksi wisata, sulitnya menegakkan aturan, perilaku sadar wisata yang rendah, serta kualitas sumber daya pariwisata yang merosot. Diawali dengan pertemuan konsultatif Stakeholder Meeting April-Juni 2011, tim mengagendakan kegiatan di antaranya sembahyang bersama, sosialisasi DMO kepada stakeholder, sosialisasi DMO kepada tokoh-tokoh adat, agama, prajuru, pelaku usaha pariwisata, dan masyarakat di 15 desa. Dalam pertemuan itu, dibahas kondisi existing pariwisata Kintamani, tata kelola, dan penyusunan LWG (Local Working Group). Destinasi Kintamani dan sekitarnya sesungguhnya sudah dikenal sejak diterbitkannya buku yang berjudul Bali 1912, karya Gregor Krause tepat setelah perang dunia pertama pada tahun 1920. Dalam cetakan baru buku tersebut, oleh DMO Cluster Bali dan STP Nusa Dua (2012), karya Krause menggambarkan daya tarik Gadis Kintamani dan Pulau Bali sebagai pulau surga atau sering dikenal dengan Island of Paradise. Hal ini pula yang memicu kedatangan wisatawan Eropa dan Amerika pada dekade 1920-30an. Kisah dalam buku ini menjadi cikal bakal pengembangan Destinasi Kintamani dan Danau Batur di masa depan. Sejak terjadi tragedi bom Bali I, kondisi Kintamani semakin menurun. Para tourist kehilangan rasa aman, keluhan tentang pemalakan guide liar, dan travel warning ASITA yang menghentikan kunjungan wisatawan ke Kintamani (Merta, 2013). Dalam Focus Group Discussion (FGD) yang dihadiri Direktur Produk Kemenparekraft, Bupati Bangli, stakeholder, dan akademisi, disepakati hal-hal sebagai berikut ini. Pemda Bangli mendukung DMO, melakukan sosialisasi DMO secara berkelanjutan, memberi pelatihan dan pendampingan kepariwisataan dalam
13
implementasi DMO. Hasil workshop tanggal 8,9,22,24, dan 29 November 2011 memutuskan pembentukan LWG (Local Working Group) dan Koordinator Wilayah (Korwil) di lima belas desa yang termasuk dalam wilayah Danau Batur dan sekitarnya. Pada masing-masing desa, dipilih 5 orang sebagai LWG, yang selalu berkoordinasi dengan koordinator wilayah (Korwil). Satu LWG terdiri atas masyarakat lokal sebagai koordinator wilayah, pengusaha, tim ahli pemerintah daerah setempat, asosiasi pariwisata, tokoh masyarakat, dan pers. Berdaskarkan hasil
pertemuan-pertemuan, sesungguhnya
telah dihasilkan
beberapa kesepakatan di antaranya; bupati mempertimbangkan kajian DMO sebagai acuan perbaikan Destinasi Kintamani dan sekitarnya, bupati mengapresiasi Buletin Wingkang Ranu sebagai media komunikasi dan dokumentasi kegiatan, DMO dianggarkan dalam APBD 2012, disepakati adanya koordinasi dengan stakeholder secara berkesinambungan, bimbingan teknis bagi masyarakat dan semua pihak dituntut untuk bekerja dengan baik dan serius, (Stakeholder Meeting DMO Cluster Bali, 2013). Pada tahun kedua (2012), pengembangan manajemen destinasi difokuskan pada membangun kapasitas masyarakat (building capacity). Program kegiatan DMO cluster Bali meliputi persiapan, peningkatan kapasitas, penataan atau revitalisasi destinasi, koordinasi lintas sektoral, stakeholder, promosi, publikasi, monitoring, dan evaluasi (Merta, 2012). Keberadaan DMO direncanakan akan membentuk gerakan-gerakan penguatan di berbagai bidang dalam rangka mengangkat kembali citra destinasi Danau Batur. Tahun 2011 dilakukan penguatan gerakan kesadaran kolektif stakeholder, hingga
14
terbentuknya Deklarasi Komitmen Stakeholder Destinasi Kintamani sebagai berikut ini: Kintamani merupakan salah satu icon pariwisata Bali, sejak Bali dikenal sebagai exotic destination, maka Kintamani menjadi destinasi yang mesti dikunjungi karena keindahan panorama alam dan keunikan budayanya. Namun belakangan, sejak pembangunan di kawasan tersebut hampir tidak terkendali, disertai dengan sikap masyarakat yang sering membuat wisatawan tidak nyaman, maka keindahan dan daya tariknya mulai memudar, wisatawan berangsur-angsur mulai meninggalkannya. Revitalisasi kepariwisataan Kintamani sangat dibutuhkan dalam rangka mengembalikan kejayaannya yang dulu pernah ada, dengan membangun tata kelola destinasi pariwisata yang menekankan pada pentingnya upaya pelestarian alam dan budaya serta pelibatan para pihak yang berkepentingan dalam membangun kembali pariwisata Kintamani. Untuk itu, masyarakat di Wilayah Wingkang Ranu Kintamani yang diwakili oleh para koordinator wilayah, para pelaku pariwisata dan asosiasi pariwisata di Kintamani, serta Pemda Kabupaten Kintamani dan Pemda Provinsi Bali menegaskan komitmen untuk mendukung pengembangan tata kelola destinasi wisata Kintamani menuju pariwisata yang berkelanjutan. Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif juga berkomitmen untuk terus meningkatkan kualitas destinasi pariwisata Kintamani, sehingga jumlah wisatawan terus meningkat dan masyarakat Kintamani meningkat pula kesejahteraannya. Pengembangan tata kelola destinasi pariwisata Kintamani dilaksanakan melalui proses partisipatif yang difasilitasi oleh Kementerian Pariwisata dan Ekonomi Kreatif. Dalam mendukung proses tersebut telah disusun rencana kegiatan DMO (Destination Management Organization-Tata Kelola Destinasi) tahun 2012 yang merupakan komitmen bersama untuk mendukung pengembangan tata kelola destinasi pariwisata menuju pariwisata Kintamani yang berbasis masyarakat dan bertanggung jawab (deklarasi stakeholder, 2011) Hasil stakeholder meeting 26 Mei 2012 mengagendakan beberapa hal, yakni: pertemuan stakeholder tingkat kabupaten dan provinsi, convergence meeting, pendampingan, bimbingan teknis dan pelatihan, penelitian dan pengembangan, penyusunan perencanaan destinasi pariwisata, penerbitan buletin, pembuatan radio komunitas, publikasi dan media melalui website, press, radio, televisi. Kegiatan pendampingan oleh fasilitator DMO yang melibatkan masyarakat lokal dalam LWG secara bertahap dapat terlaksana. Upaya edukasi dan melibatkan
15
masyarakat setempat dalam berbagai kegiatan dirasakan belum mampu menopang pencitraan Destinasi Kintamani. Berbekal kondisi tersebut, dipandang perlu dilakukan penelitian untuk mengetahui keterlibatan masyarakat dalam manajemen, pelayanan, pencitraan, kepuasan, loyalitas wisatawan, dan aspek keberlanjutan pariwisata pada kawasan tersebut. Peran stakeholder dalam pengembangan destinasi wisata juga dirasakan cukup besar. Berbagai konsep dan pendekatan pada stakeholder dilakukan dalam pengelolaan destinasi agar pengelola dapat mencapai tujuannya. Di antaranya pendekatan stakeholder berdasarkan asumsi bahwa organisasi terdiri atas kelompok dan individu yang saling berhubungan (Saftic et al., 2011). Organisasi melibatkan karyawan, masyarakat, pelanggan, pemasok, pemerintah, dan pihak swasta. Penelitian Marzano dan Scott (2006) melihat kekuatan stakeholder dalam branding sebuah destinasi sangat mendominanasi. Bila ditinjau dari perspektif makro, kekuatan stakeholder merupakan komponen esensial dalam kebijakan publik. Kekuatan beragam pihak yang terlibat dalam stakeholder membuat badan ini memiliki kekuatan dalam membentuk citra destinasi (Marzano dan Scott, 2006). Pada implementasinya, stakeholder yang terlibat dalam pengembangan Destinasi Kintamani memiliki konflik kepentingan. Berbagai kendala yang timbul menambah aspek yang harus diteliti dalam manajemen destinasi. Perbedaan kepentingan dan konflik tersebut berimbas pada timbulnya image / citra buruk dan persepsi yang buruk terhadap destinasi. Bermacam penelitian telah dilakukan untuk melihat model hubungan baru antara citra destinasi, persepsi wisatawan dan kepuasan. Model hubungan baru citra destinasi, persepsi nilai, pencarian sesuatu yang baru, dan jarak destinasi menurut Som et al. (2011) sangat penting dan mendasari penelitian ini.
16
Ditemukan bahwa secara keseluruhan variabel tersebut mempengaruhi kepuasan dan minat berkunjung kembali para wisatawan. Model hubungan ini sangat relevan dengan kondisi Destinasi Kintamani. Sebagaimana pandangan Meng et al.(2011) yang meninjau dari sudut perilaku, disimpulkan bahwa citra berdampak positif terhadap persepsi nilai dan kepuasan wisatawan serta secara tidak langsung berdampak efektif pula terhadap perilaku pascapembelian. Disimpulkan bahwa beberapa referensi menunjukkan manajemen destinasi, kualitas destinasi, dan pencitraan sangat besar pengaruhnya terhadap minat berkunjung kembali wisatawan. Pada Destinasi Kintamani, kurangnya kerjasama antarpihak, baik pemerintah, swasta, maupun pemangku kepentingan dalam hal pelayanan, menimbulkan efek buruk terhadap citra Kintamani. Guide pendakian yang tidak jujur, pengenaan tarif penyeberangan di Trunyan yang tidak transparan, pedagang acung yang tidak sopan, kebersihan kawasan, pelayanan restoran, dan fasilitas publik yang buruk juga berkontribusi terhadap penurunan citra Destinasi Kintamani. Wisatawan yang menuju Desa Trunyan lewat jalur darat hanya lewat saja di Desa Kedisan dan Desa Abang, tanpa singgah makan ataupun berekreasi. Rasa tidak berimbang yang dirasakan oleh masing-masing desa disikapi secara negatif sehingga berdampak terhadap timbulnya perilaku beringas yang merugikan kedua belah pihak. Citra buruk kawasan ini tidak bisa dihindarkan dan menyebar dengan cepat ke berbagai kalangan (Blassius, 2013). Di sisi lain, letusan Gunung Batur yang menumpahkan pasir hitam yang sangat bermanfaat untuk bangunan, mendorong masyarakat memanfaatkan hasil gunung tersebut secara ekonomi. Mobil truk pengangkut pasir beriringan sehingga
17
mengganggu perjalanan para wisatawan yang ingin menikmati permandian air panas Toya Bungkah. Hal ini menyebabkan daya tarik wisata yang berlokasi di kaki gunung menjadi sepi dan terbengkalai. Solusi yang telah ditawarkan oleh pemerintah setempat yakni membuat jalur khusus bagi truck pasir, tidak efektif dan efisien untuk dijadikan jalur alternatif angkutan pasir. Peran pemerintah sebagai pengambil keputusan dan penentu sebuah kebijakan dalam pemanfaatan sumber daya alam sangat kurang. Iringan truk sangat mengganggu calon wisatawan dan menimbulkan rasa takut untuk turun ke area pendakian dan pemandian air panas. Bila dihubungkan dengan kebutuhan akan keberlanjutan sebuah destinasi (Jamrozy, 2007), pendekatan alternatif pemasaran pariwisata akan berkelanjutan bila mencakup tiga aspek strategis, yakni ekonomi, sosial, dan lingkungan. Dalam kondisi sekarang ini, keberlanjutan Destinasi Kintamani seakan terabaikan. Program DMO yang diimplementasikan melalui aspek pemberdayaan masyarakat membutuhkan kepedulian dan komitmen stakeholder dalam membuat keputusan, untuk menyadari suatu perubahan dalam menata destinasi pariwisata (Ahmad, 2013). DMO meningkatkan kualitas destinasi dan jumlah kunjungan wisatawan melalui pengelolaan destinasi pariwisata yang berkelanjutan dengan melibatkan masyarakat lokal (Ahmad, 2013). Fasilitator DMO telah membentuk LWG (Lokal Working Group) yang beranggotakan masyarakat lokal. Bila dikaitkan dengan manfaat LWG bagi masyarakat lokal, pembentukan LWG ini merupakan ciri kegiatan yang berbasis masyarakat. Ada empat prinsip yang dianut dalam aplikasi manajemen destinasi, yakni prinsip partisipatif, prinsip keterpaduan, prinsip kolaboratif, dan prinsip berkelanjutan (Ahmad, 2013).
18
Dalam Rencana Induk Pembangunan Kepariwisataan Nasional (RIPPARNAS) 2010-2025, PP No 50 tahun 2011, pasal 7 ayat a tentang Pembangunan Destinasi Pariwisata Nasional (DPN) diprogramkan rencana pembangunan pariwisata mencakup perwilayahan pembangunan DPN, pembangunan DTW, pembangunan aksesibilitas pariwisata, pembangunan prasarana umum dan fasilitas pariwisata, pemberdayaan masyarakat dan pengembangan investasi di bidang pariwisata (RIPPARNAS, 2011). Masyarakat tetap menjadi subjek dan objek implementasi pengembangan pariwisata. Aspek pemberdayaan masyarakat (Community Based Tourism / CBT) akan menjadi cikal bakal aplikasi kegiatan pengembangan pariwisata. Manfaat dari perjalanan pariwisata terhadap masyarakat lokal destinasi sangat penting. Kunjungan wisatawan mendatangkan pendapatan bagi masyarakat setempat. Pariwisata berbasis masyarakat berkesinambungan secara sosial, artinya seluruh kegiatan dilaksanakan oleh masyarakat lokal. Pariwisata berbasis masyarakat membuka peluang kerja bagi masyarakat lokal, asosiasi komunitas, semangat wirausaha, dan respek atas tradisi serta warisan budaya setempat (Hotton, 2002). Dalam implementasi CBT di Bohama, Uganda (FAO UNF, 2009), dijelaskan bahwa pemberdayaan masyarakat dalam bidang pariwisata membawa dampak yang maksimal pada perekonomian masyarakat, peningkatan kualitas pelayanan pada usaha kecil, proses pemasaran yang baik, dan mampu melibatkan seluruh pemangku kepentingan. Hal ini merupakan indikator yang menjamin keberlangsungan pariwisata pada destinasi tersebut. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan pemaparan dalam latar belakang, maka penelitian ini mencoba mengidentifikasi, menganalisis tata kelola, dan memverifikasi manajemen destinasi
19
pariwisata yang berbasis masyarakat di Kawasan Kintamani. Fungsi manajemen dalam hal ini dilaksanakan oleh stakeholder yang terdiri atas pemerintah, kalangan swasta, dan masyarakat. Keterlibatan stakeholder dalam manajemen destinasi tampak belum mampu membentuk kualitas layanan yang standar pada destinasi tersebut. Paradigma stakeholder menganggap bahwa pelayanan yang mereka berikan selama ini sudah baik dan berkualitas. Namun, pada kenyataannya timbul banyak keluhan yang menurunkan citra destinasi. Kualitas layanan yang diberikan pada destinasi secara teoritis sangat berhubungan dengan kepuasan, citra, dan loyalitas wisatawan, sehingga wisatawan memutuskan untuk berkunjung kembali ke Destinasi Kintamani. Berdasarkan teori dan konsep, intensitas kunjungan wisatawan pada destinasi tertentu akan menjamin keberlangsungan pariwisata pada destinasi tersebut; demikian pula halnya dengan kunjungan wisatawan ke Destinasi Kintamani. Seluruh elemen dan variabel yang diidentifikasi di atas, dianalisis sebagai variabel yang ditinjau dari aspek sosial, ekonomi, dan lingkungan yang merupakan faktor yang berkontribusi terhadap keberlanjutan pariwisata pada Destinasi Kintamani. Berdasarkan latar belakang di atas, maka rumusan masalah penelitian yang diklasifikasikan 1 dan 3 dianalisis berdasarkan pendekatan kualitatif, sedangkan rumusan masalah 2 dianalisis bersadarkan pendekatan kuantitatif. Ketiga rumusan masalah dapat dijelaskan sebagai berikut ini. 1) Bagaimanakah paradigma dan peran stakeholder mengelola destinasi pariwisata dalam pembentukan kualitas layanan pada Destinasi Kintamani? 2) Bagaimanakah pengaruh kualitas layanan destinasi terhadap citra, kepuasan, dan loyalitas wisatawan ke Destinasi Kintamani?
20
3) Bagaimanakah hubungan kualitas layanan, citra, kepuasan, dan loyalitas wisatawan terhadap keberlanjutan pariwisata Destinasi Kintamani? 1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1
Tujuan umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui hubungan manajemen
destinasi terhadap kualitas layanan, citra, kepuasan wisatawan, loyalitas wisatawan, serta keberlanjutan pariwisata pada Destinasi Kintamani. Kontribusi variabel manajemen destinasi, kualitas layanan, citra, kepuasan wisatawan, dan intensitas berkunjung kembali wisatawan diharapkan memberi gambaran jaminan keberlanjutan pariwisata Kintamani. 1.3.2
Tujuan khusus
1) Mengevaluasi paradigma dan peran stakeholder, mengelola destinasi pariwisata dalam membentuk kualitas layanan pada Destinasi Kintamani. 2) Menganalisis pengaruh kualitas layanan destinasi terhadap citra, kepuasan, dan loyalitas wisatawan ke Destinasi Kintamani. 3) Memverifikasi hubungan kualitas layanan, citra, kepuasan, dan loyalitas wisatawan terhadap keberlanjutan pariwisata pada Destinasi Kawasan Kintamani. 1.4 Manfaat Penelitian Temuan penelitian ini diharapkan bermanfaat secara teoritis dan praktis. Secara teoritis penelitian ini sangat bermanfaat bagi perkembangan ilmu pengetahuan dan pariwisata. Secara praktis, penelitian ini bermanfaat bagi pengembangan pariwisata berbasis masyarakat di Kintamani Bali khususnya dan Indonesia pada umumnya.
21
1.4.1
Manfaat teoritis
1) Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan utamanya tentang pariwisata berbasis masyarakat, keterlibatan pemangku kepentingan, dan pemerintah dalam manajemen destinasi. Lebih lanjut, hasil penelitian ini berguna dalam meningkatan kualitas layanan destinasi, pencitraan, kepuasan wisatawan, serta loyalitas wisatawan berkunjung kembali ke Destinasi Kintamani. 2) Tulisan ini juga dapat memperkaya pengetahuan tentang paradigma manajemen destinasi, kualitas layanan, kepuasan wisatawan, pencitraan dari perspektif word of mouth, loyalitas, tingkat berkunjung kembali, dan keberlanjutan pariwisata Destinasi Kintamani. 3) Tulisan ini dapat dijadikan referensi atau litaratur tambahan bagi peneliti lain yang tertarik mengkaji masalah-masalah serupa, demi pengembangan ilmu pengetahuan. 1.4.2 Manfaat praktis Secara praktis hasil penelitian ini diharapkan bermanfaat bagi pihak yang terlibat dalam pengelolaan Destinasi Kintamani dan sekitarnya, di antaranya sebagai berikut ini. 1) Masyarakat lokal; terlibat dengan baik dan profesional dalam aktivitas pariwisata berbasis masyarakat di Destinasi Kintamani. 2) Pemangku kepentingan; turut berperan dalam menstabilkan kembali pariwisata di Destinasi Kintamani.
22
3) Pemerintah; dapat memanfaatkan hasil penelitian ini untuk melakukan upaya pengkajian lebih lanjut atas ketimpangan regulasi dan sistem pengelolaan destinasi. 4) Masyarakat secara umum; dapat terlibat secara khusus dalam anggota kelompok pada masing-masing desa untuk membangun pariwisata berbasis masyarakat yang utuh berasal dari masyarakat, oleh masyarakat, dan kembali kepada masyarakat. 5) Ketiga unsur (masyarakat, pemerintah dan swasta) berkolaborasi dan bersinergi dalam menemukan model manajemen yang mampu meningkatkan kualitas pelayanan destinasi, dan menjawab permasalahan citra destinasi. Sinergi dan kolaborasi ini diharapkan mampu menjadikan Destinasi Kintamani sebagai destinasi pariwisata berkelanjutan.
23