BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Perkawinan, kelahiran dan kematian merupakan kodrat dan irodat Allah dalam kehidupan di dunia. Perkawinan merupakan sumber kelahiran atau penangkalan musnahnya manusia di muka bumi ini. Perkawinan adalah perbuatan hukum dan merupakan hal yang sangat penting dan esensial bagi setiap manusia, sebab dengan perkawinan berarti dua manusia pria dan wanita itu membentuk kelompok masyarakat baru dan di samping itu hubungan antara pria dan wanita tersebut terjadi secara terhormat dan sesuai dengan norma yang berlaku. Negara Indonesia telah memiliki Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan, dan Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 sebagai peraturan pelaksanaannya. Perkawinan menurut Pasal 1 UndangUndang Nomor 1 Tahun 1974 adalah : “Ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan KeTuhanan Yang Maha Esa”. Selanjutnya menurut Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 disebutkan sebagai berikut : “Perkawinan adalah sah, apabila dilakukan menurut hukum masingmasing agamanya dan kepercayaannya itu.”
1
2
Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas, perkawinan itu merupakan suatu perbuatan keagamaan, oleh karena itu sah atau tidaknya suatu perkawinan sepenuhnya pada hukum masing-masing agama, ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan hukum agama dengan sendirinya menurut Undang-Undang Perkawinan dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Berkaitan dengan ketentuan Pasal 2 ayat (1) di atas maka bagi warga negara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam hukum perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Nasrani, Hindu, Budha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan. Ada tiga tahapan yang sangat penting dalam kehidupan manusia, yaitu kelahiran, perkawinan dan kematian. Dari ketiga hal tersebut, yang sangat menonjol adalah perkawinan. Ada banyak alasan orang melakukan perkawinan, antara lain ingin memiliki keturunan yang sah, memperoleh ketenangan hidup, serta untuk menghindar dari segala bentuk kemaksiatan dan sebagai wujud ibadah kepada Allah swt, sebagaimana termaksud dalam firman Allah swt di bawah ini : 1. QS An-Nahl, ayat (72) : Artinya : “Dan Allah menciptakan dari dirimu untukmu berjodoh-jodohan dan menciptakan jodohmu itu anak-anak dan cucu-cucu dan memberikan rizki yang halal”.
3
2. QS Ar-Rum, ayat (21) : Artinya : “Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah diciptakannya untukmu istri-istri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tentram (sakinah) kepada-Nya dan dijadikan-Nya di antara kamu mawaddah dan rahmah atau rasa saling mencintai dan santun menyantuni”. Perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 adalah suatu ikatan lahir dan batin antara seorang pria dengan wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Menurut
Undang-Undang
Nomor
1
Tahun
1974,
tujuan
perkawinan adalah untuk membentuk rumah tangga yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa. Tujuan perkawinan tersebut akan tercapai dan terwujud apabila pihak suami dan istri yang melangsungkan perkawinan tersebut benar-benar telah siap dalam melangsungkan suatu ikatan perkawinan baik secara materi maupun kejiwaan. Sehingga kedua belah pihak dapat mengatasi persoalanpersoalan yang timbul setelah berlangsungnya perkawinan. Hubungan antara pria dan wanita itu diikat melalui lembaga resmi yang sah. Prinsip perkawinan adalah untuk selamanya dengan tujuan kebahagiaan dan kasih sayang yang kekal dan abadi, sebagaimana yang terdapat dalam QS An-Nahl ayat (72). Apabila seorang pria dan seorang wanita telah sepakat untuk melangsungkan perkawinan, itu berarti mereka telah berjanji akan taat dan tunduk pada peraturan hukum yang berlaku
4
dalam perkawinan dan peraturan itu berlaku selama perkawinan itu berlangsung maupun perkawinan itu putus.1 Pada dasarnya Islam menghendaki setiap
perkawinan
itu
berlangsung selama-lamanya, sehingga merupakan pasangan suami istri yang dapat bersama-sama mengatur rumah tangga dan mendidik anaknya dengan baik. Tanpa dasar-dasar pembinaan orang tua terhadap kehidupan anak kemungkinan akan dapat menghancurkan kehidupan umat manusia dan bahkan kebudayaan setiap bangsa. Karena itu fungsi orang tua di dalam kehidupan rumah tangga akan dapat dilihat dari hasilnya yang ditunjukkan oleh seorang anak dalam pergaulan sehari-hari. Tetapi walaupun Islam menghendaki suatu kelanggengan hidup berumah tangga tidak menutup kemungkinan nyata bahwa hidup dan kehidupan manusia itu tidak langgeng dan ada kalanya menemui suatu kegagalan. Sebagai sebab timbulnya kegagalan berumah tangga tentu banyak sekali, bahkan kadang-kadang kalau kehidupan suami istri dipaksakan terus dalam suatu kehidupan yang tidak harmonis niscaya akan ada kemungkinan lain yang timbul sebagai akibat dari kegiatan individu. Karena itu Islam masih memberikan kesempatan dan mengizinkan pembubaran perkawinan – kecuali salah satu pihak meninggal dunia – dengan alasan-alasan yang dapat dibenarkan. Pembubaran (putusnya)
1
Soemijaty, 1996, Hukum Perkawinan Islam dan Undang-Undang Perkawinan, Cetakan Kedua, Liberty, Yogyakarta, hlm. 10
5
perkawinan dengan sebab-sebab yang dapat dibenarkan itu dapat terjadi dalam dua peristiwa :2 1. Kematian salah satu pihak 2. Putus akibat perceraian, karena adanya : a. talak atas inisiatif suami b. khuluk, yaitu perceraian atas inisiatif istri agar suami mau menceraikan dengan baik-baik dan mendapat ganti rugi atau tebusan (iwadl) c. fasakh,
yaitu putusnya perkawinan atas keputusan hakim
Pengadilan Agama, karena dinilai perkawinan itu tidak memenuhi syarat-syarat atau rukun-rukunnya baik di sengaja maupun tidak sengaja d. siqoq, yaitu konflik antar suami istri yang tidak dapat didamaikan lagi e. melanggar talak-taklik, yaitu pelanggaran janji yang telah diucapkan sesaat setelah akad nikah. Selanjutnya menurut ketentuan Pasal 38 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (UU Perkawinan) dinyatakan bahwa perkawinan dapat putus karena : 1. kematian 2. perceraian, dan 3. atas keputusan pengadilan.
2
R. Abdul Djamali, 2002, Hukum Islam, Mandar Maju, Bandung, hlm. 98
6
Ketentuan tersebut kemudian diatur lebih lanjut dalam Pasal 39 UU Perkawinan yang menentukan bahwa perceraian hanya dapat dilakukan di depan Sidang Pengadilan setelah pengadilan yang bersangkutan berusaha dan tidak berhasil mendamaikan kedua belah pihak. Adapun untuk melakukan perceraian harus ada cukup alasan bahwa antara suami istri itu tidak akan dapat hidup rukun sebagai suami istri. Mengenai alasan perceraian menurut Pasal 116 Instruksi Presiden RI Nomor 1 Tahun 1991 tentang Kompilasi Hukum Islam ditentukan sebagai berikut : 1. salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan; 2. salah satu pihak meninggalkan pihak lain selama 2 (dua) tahun berturut-turut tanpa izin pihak lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemampuannya; 3. salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 (lima) tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung; 4. salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan pihak yang lain; 5. salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit dengan akibat tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami atau istri; 6. antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah tangga;
7
7. suami melanggar taklik-talak; 8. peralihan
agama
atau
murtad
yang
menyebabkan
terjadinya
ketidakrukunan dalam rumah tangga. Putusnya perkawinan karena perceraian ini akan menimbulkan akibat hukum yang akan mempengaruhi hak dan kewajiban antara mantan suami dan mantan istri serta anak yang lahir dari perkawinan yang sah tersebut. Masalah hak asuh anak dan pemeliharaan anak dapat menimbulkan persoalan atau perselisihan antara mantan suami dan mantan istri yang sudah diputus cerai oleh Pengadilan Agama. Pada prinsipnya hak asuh anak di bawah umur merupakan hak dari mantan istri. Hadis Nabi riwayat Ahmad,Abu Daud, dan Al-Hakim dari Abdullah bin Amr yang mengatakan,”Engkau (istri) lebih berhak mengasuh anakmu selagi kau belum menikah dengan laki-laki lain”. Akan tetapi dengan berbagai pertimbangan hakim dapat memberikan hak asuh anak di bawah umur kepada mantan suami (ayah). Fakta pada umumnya ketika terjadi perceraian, hak asuh anak dibawa umur ketika jatuh kepada mantan suami (ayah si anak). Mantan suami(ayah si anak) melarang anak untuk berkomunikasi pada ibunya. Secara tidak langsung hal ini memutuskan hubungan anak kepada ibunya. Yang menyebabkan seorang ibu jauh dari anak tersebut. Hal inilah yang kemudian dapat menimbulkan perselisihan antara mantan suami dan mantan istri. Berdasarkan uraian tersebut,
maka penulis
tertarik
untuk
melakukan penelitian guna penyusunan tesis dengan mengambil judul
8
“Hak Asuh Anak di Bawah Umur (Studi Kasus Putusan Hakim Pengadilan Agama Yogyakarta)”.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian dalam latar belakang masalah tersebut di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini dapat dirumuskan sebagai berikut: 1. Bagaimana dasar pertimbangan
hukum hakim Pengadilan Agama
Yogyakarta dalam menjatuhkan putusan hak asuh anak yang masih di bawah umur kepada mantan suami? 2. Bagaimana akibat hukum dari putusan hakim tentang hak asuh anak yang diberikan kepada mantan suami.
C. Tujuan Penelitian 1. Untuk mengetahui dan mengkaji dasar pertimbangan hukum hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dalam menjatuhkan putusan hak asuh anak yang masih di bawah umur kepada mantan suami. 2. Untuk mengetahui dan mengkaji akibat hukum dari putusan hakim tentang hak asuh anak yang diberikan kepada mantan suami.
9
D. Tinjauan Pustaka 1. Pengertian Perkawinan Perkawinan dalam istilah agama disebut “Nikah”, yaitu melakukan suatu aqad atau perjanjian untuk mengikatkan diri antara seorang laki-laki dan wanita untuk menghalalkan hubungan kelamin antara kedua belah pihak, dengan dasar sukarela dan keridhoan kedua belah pihak untuk mewujudkan suatu kebahagiaan hidup berkeluarga yang diliputi rasa kasih sayang dan ketentraman dengan cara-cara yang diridhoi oleh Allah.3 Mengenai pengertian perkawinan ini banyak beberapa pendapat yang satu dan lainnya berbeda. Tetapi perbedaan pendapat ini sebetulnya bukan untuk memperlihatkan pertentangan yang sungguh-sungguh antara pendapat yang satu dengan yang lain. Perbedaan itu hanya terdapat pada keinginan para perumus untuk memasukkan unsur-unsur yang sebanyakbanyaknya dalam perumusan pengertian perkawinan di satu pihak dan pembatasan banyaknya unsur di dalam perumusan pengertian perkawinan di pihak yang lain. Mereka membatasi banyaknya unsur yang masuk dalam rumusan pengertian perkawinan, akan menjelaskan unsur-unsur yang lain dalam tujuan perkawinan. Walaupun ada perbedaan pendapat tentang perumusan pengertian perkawinan, tetapi dari semua rumusan yang dikemukakan ada satu unsur yang merupakan kesamaan dari seluruh pendapat, yaitu bahwa nikah itu merupakan suatu perjanjian perikatan antara seorang laki-laki dan seorang
3
Ahmad Azhar Basyir, 1977, Hukum Perkawinan Islam, Bagian Penerbitan FH UII, Yogyakarta, hlm 10
10
wanita. Perjanjian di sini bukan sembarang perjanjian seperti perjanjian jual-beli atau sewa-menyewa, tetapi perjanjian dalam nikah adalah merupakan perjanjian suci untuk membentuk keluarga antara seorang lakilaki dan seorang wanita. Suci di sini dilihat dari segi keagamaannya dari suatu perkawinan.4 Pasal 1 UU Perkawinan merumuskan pengertian perkawinan sebagai berikut: “Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami-istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa”. Bila dibandingkan rumusan menurut hukum Islam di atas dengan rumusan dalam Pasal 1 UU Perkawinan mengenai pengertian dari perkawinan tidak ada perbedaan yang prinsipil. Menurut pembagian lapangan-lapangan Hukum Islam, perkawinan adalah termasuk dalam lapangan “Mu’amalat” yaitu lapangan yang mengatur hubungan antar manusia dalam kehidupannya di dunia ini. Hubungan antar manusia ini dalam garis besarnya dapat dibagi dalam 3 bagian, yaitu: a. Hubungan kerumahtanggaan dan kekeluargaan; b. Hubungan antar perseorangan di luar hubungan kekeluargaan dan rumah tangga; c. Hubungan antar bangsa dan kewarganegaraan.
4
Sayuti Thalib, 1986, Hukum Kekeluargaan Indonesia, Yayasan Penerbit Universitas Indonesia, Jakarta, hlm. 47
11
Menurut pembagian di atas maka perkawinan termasuk dalam angka (1), yaitu hubungan kerumahtanggaan dan kekeluargaan. Dalam bukunya “Outlines of Muhammadan Law” (Pokok-pokok Hukum Islam), Asaf A.A. Fyzee menerangkan bahwa perkawinan itu menurut pandangan Islam mengandung 3 (tiga) aspek, yaitu : aspek hukum, aspek sosial, aspek agama.5 Dilihat dari aspek hukum perkawinan adalah merupakan suatu perjanjian. Firman Allah S.W.T : “Bagaimana kamu akan mengambilnya kembali, pada hal sebagian kamu telah bercampur dengan yang lain sebagai suami-isteri, dan mereka (isteri-isterimu) telah mengambil dari kamu janji yang kuat” (Qur’an, S. An.Nisaa’ : 21). Perjanjian dalam perkawinan ini mempunyai/mengandung tiga karakter yang khusus, yaitu : a. Perkawinan tidak dapat dilakukan tanpa unsur sukarela dari kedua belah pihak; b. Kedua belah pihak (laki-laki dan perempuan) yang mengikat persetujuan perkawinan itu saling mempunyai hak untuk memutuskan perjanjian tersebut berdasarkan ketentuan yang sudah ada hukumhukumnya; c. Persetujuan perkawinan itu mengatur batas-batas hukum mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak.
5
Nadimah Tanjung, t.t., Islam dan Perkawinan, Bulan Bintang, Jakarta, hlm 28
12
Persetujuan perkawinan itu pada dasarnya tidaklah sama dengan persetujuan-persetujuan yang lain, misalnya : persetujuan jual beli, sewa menyewa,
tukar
menukar
dan
lain-lain.
Menurut
Mr.
Wirjono
Prodjodikoro perbedaan antara persetujuan perkawinan dan persetujuanpersetujuan yang lainnya adalah, dalam persetujuan biasa para pihak pada pokoknya bebas menentukan sendiri isi dari persetujuannya itu sesuka hatinya, asal isi persetujuan itu tidak bertentangan dengan kesusilaan, Undang-Undang
dan
ketertiban
umum.
Sebaliknya
dalam
suatu
perkawinan sudah semula ditentukan oleh hukum isi dari persetujuan antara suami-isteri itu. Kalau seorang perempuan dan seorang laki-laki berkata sepakat untuk melakukan perkawinan satu sama lain ini berarti mereka saling berjanji akan taat pada peraturan-peraturan hukum yang berlaku mengenai kewajiban dan hak-hak masing-masing pihak selama dan sesudah hidup bersama itu berlangsung, dan mengenai kedudukannya dalam masyarakat dari anak-anak keturunannya. Juga dalam menghentikan perkawinan, suami dan istri tidak leluasa penuh untuk menentukan sendiri syarat-syarat untuk penghentian itu, melainkan terikat juga pada peraturan hukum perihal itu. 2. Tujuan Perkawinan Tujuan perkawinan dalam Islam adalah untuk memenuhi tuntutan hajat dalam rangka mewujudkan suatu keluarga yang bahagia dengan dasar cinta dan kasih sayang, untuk memperoleh keturunan yang sah
13
dalam masyarakat dengan mengikuti ketentuan-ketentuan yang telah diatur oleh Syari’ah. Rumusan tujuan perkawinan di atas dapat diperinci sebagai berikut: a. Menghalalkan hubungan kelamin untuk memenuhi tuntutan hajat tabiat kemanusiaan; b. Mewujudkan suatu keluarga dengan dasar cinta kasih; c. Memperoleh keturunan yang sah. Dari rumusan di atas, Filosof Islam Imam Ghazali membagi tujuan dan faedah perkawinan kepada lima hal, seperti berikut : a. Memperoleh keturunan yang sah yang akan melangsungkan keturunan serta memperkembangkan suku-suku bangsa manusia; b. Memenuhi tuntutan naluriah hidup kemanusiaan; c. Memelihara dan mengatur rumah tangga yang menjadi basis pertama dari masyarakat yang besar di atas dasar kecintaan dan kasih sayang; d. Menumbuhkan kesungguhan berusaha mencari rezeki penghidupan yang halal, dan memperbesar rasa tanggung jawab. Mengenai
tujuan
pencatatan
ini
dalam
Undang-Undang
Perkawinan tidak dijelaskan lebih lanjut, hanya di dalam penjelasan umum dikatakan bahwa pencatatan tiap-tiap perkawinan adalah sama halnya dengan
pencatatan
peristiwa-peristiwa
penting
dalam
kehidupan
seseorang, misalnya kelahiran, kematian, yang dinyatakan dalam surat-
14
surat keterangan, suatu akta resmi yang juga dimuat dalam daftar pencatatan. Memahami apa yang termuat dalam penjelasan umum tersebut dapat dikatakan bahwa pencatatan perkawinan bertujuan untuk menjadikan peristiwa perkawinan itu menjadi jelas baik bagi yang bersangkutan maupun bagi pihak lain, karena dapat dibaca dalam suatu surat yang bersifat resmi dan termuat pula dalam suatu daftar yang khusus disediakan untuk itu. Sehingga sewaktu-waktu dapat dipergunakan bilamana perlu dan dapat dipakai sebagai alat bukti yang otentik, dan dengan surat bukti itu dapatlah dibenarkan atau dicegah suatu perbuatan yang lain. Pencatatan perkawinan tidak menentukan sah tidaknya suatu perkawinan, tetapi hanya menyatakan bahwa peristiwa perkawinan benarbenar terjadi, jadi semata-mata bersifat administratif. Mengenai pelaksanaan pencatatan perkawinan ini diatur lebih lanjut dalam Bab II P.P. No. 9/1975 yaitu dalam Pasal 2 sampai dengan Pasal 9. Menurut Pasal 2 P.P. No. 9/1975 beserta penjelasannya diperoleh ketentuan sebagai berikut: a. Instansi yang melaksanakan perkawinan adalah : 1) Bagi mereka yang beragama Islam pencatatannya dilakukan oleh pegawai Pencatat Nikah Talak dan Rujuk. 2) Bagi mereka yang tidak beragama Islam, pencatatannya dilakukan oleh pegawai Pencatat Perkawinan pada Kantor Catatan Sipil atau Instansi/pejabat yang membantunya.
15
b. Tata cara pencatatan perkawinan harus dilakukan berdasarkan: 1) Ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Pasal 3 sampai dengan Pasal 9 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1979. 2) Ketentuan-ketentuan khusus yang diatur dalam berbagai peraturan, yang merupakan pelengkap bagi peraturan pemerintah ini, yaitu: a) Undang-Undang Nomor 32 Tahun 1954, tentang pencatatan Nikah, Talak dan Rujuk (LN 1954 Nomor 98) dan beberapa Peraturan Menteri Agama yang berhubungan dengan hal tersebut. b) Reglement Catatan Sipil bagi orang Indonesia yang beragama Kristen di Jawa, Madura dan Minahasa dan sebagainya (Stb. 1971 No. 75 juncto Stb. 1936 No. 607 dengan segala perubahannya). c) Reglement Catatan Sipil untuk Golongan Cina (Stb. 1971 No. 130 juncto Stb. 1919 No. 81 dengan segala perubahannya) jo. Reglement Catatan Sipil bagi golongan Eropa yang disamakan (Stb. 1849 No. 25). d) Daftar Catatan Sipil untuk Perkawinan Campuran (Stb. 1904 No. 279). Hukum Islam tidak mengatur secara jelas apakah perkawinan itu harus dicatat atau tidak. Berdasarkan tujuan dari pencatatan perkawinan seperti yang telah diterangkan di atas, maka sesungguhnya pencatatan perkawinan itu banyak kegunaannya bagi kedua belah pihak yang melaksanakan perkawinan itu baik di dalam kehidupan pribadi maupun
16
dalam
hidup
bermasyarakat.
Misalnya
dengan
dimilikinya
akta
perkawinan sebagai bukti tertulis yang otentik, seorang suami tidak mungkin mengingkari isterinya demikian juga sebaliknya seorang isteri tidak mungkin mengingkari suaminya. Di samping itu dengan dimilikinya akta perkawinan seorang pegawai negeri dapat menuntut berbagai tunjangan, misalnya tunjangan isteri, tunjangan anak atau tunjangan lain yang berhubungan dengan perkawinan. Berdasarkan
hal-hal
tersebut
di
atas
maka
berdasarkan
pertimbangan “Maslahah-Mursalah” dalam hukum Islam, pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu perbuatan yang harus dilaksanakan. Maslahah-mursalah ialah menetapkan ketentuan-ketentuan hukum yang tidak disebutkan sama sekali di dalam al-Qur’an atau Sunnah Rasul atas pertimbangan menarik kebaikan dan menolak kerusakan dalam hidup bermasyarakat. Oleh karena dalam kenyataannya pencatatan perkawinan lebih banyak mendatangkan kebaikan daripada kerusakan dalam hidup bermasyarakat, maka melaksanakan pencatatan perkawinan adalah merupakan suatu keharusan bagi mereka yang beragama Islam. Sehubungan dengan itu maka keharusan mencatat perkawinan menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku seperti yang dirumuskan dalam Pasal 2 ayat (2) Undang-Undang Perkawinan ini adalah sejalan dan tidak bertentangan dengan ketentuan dalam Hukum Islam.
17
3. Syarat Sahnya Perkawinan Berdasarkan ketentuan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan maka perkawinan dianggap sah apabila dilaksanakan menurut hukum agamanya dan kepercayaannya masing-masing. Dijelaskan lebih lanjut bahwa yang dimaksud dengan hukum masing-masing agamanya dan kepercayaannya itu termasuk ketentuan perundang-undangan yang berlaku bagi golongan agamanya dan kepercayaannya itu sepanjang tidak bertentangan atau tidak ditentukan lain dalam undang-undang ini. Berdasarkan rumusan Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan dan penjelasannya dapat disimpulkan bahwa sah tidaknya suatu perkawinan adalah semata-mata ditentukan oleh ketentuan agama dan kepercayaan mereka yang hendak melaksanakan perkawinan. Ini berarti bahwa suatu perkawinan yang dilaksanakan bertentangan dengan ketentuan hukum agama, dengan sendirinya menurut UU Perkawinan ini dianggap tidak sah dan tidak mempunyai akibat hukum sebagai ikatan perkawinan. Sehubungan dengan adanya ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan tersebut di atas maka bagi warganegara Indonesia yang beragama Islam apabila hendak melaksanakan perkawinan supaya sah harus memenuhi ketentuan-ketentuan tentang perkawinan yang telah diatur dalam Hukum Perkawinan Islam. Demikian juga bagi mereka yang beragama Nasrani, Hindu dan Budha, hukum agama merekalah yang menjadi dasar pelaksanaan yang menentukan sahnya perkawinan.
18
Di samping ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) UU Perkawinan, bahwa
sahnya
perkawinan
adalah
ditentukan
oleh
agama
dan
kepercayaannya masing-masing, maka menurut Pasal 2 ayat (2) UU Perkawinan ini ditentukan juga bahwa tiap-tiap perkawinan harus dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku. Mengenai syarat-syarat perkawinan, diatur dalam Pasal 6 dan Pasal 7 UU Perkawinan, yang pada pokoknya adalah sebagai berikut: a. Harus ada persetujuan dari kedua calon mempelai. Adapun yang dimaksud dengan persetujuan dalam hal ini yaitu bahwa perkawinan itu harus dilaksanakan berdasarkan kehendak bebas calon mempelai pria ataupun calon mempelai wanita untuk melaksanakan perkawinan. b. Adanya ijin dari kedua orang tua atau wali (Pasal 6 ayat (2) UndangUndang Perkawinan). Ijin ini hanya diperlukan bagi calon mempelai yang belum berumur 21 tahun. Mengenai perlunya ijin ini adalah erat sekali hubungannya dengan pertanggungan-jawab orang tua dalam pemeliharaan yang dilakukan oleh orang tua secara susah payah dalam membesarkan anak-anaknya. Sehingga kebebasan yang ada pada anak untuk menentukan pilihan calon suami/isteri jangan sampai menghilangkan fungsi tanggung jawab orang tua.6 c. Apabila kedua orang tua meninggal dunia, maka yang berhak memberi ijin sesuai dengan ketentuan Pasal 6 ayat (3), (4), dan (5) UU
6
Ibid, hlm 36
19
d. Apabila salah seorang dari kedua orang tua dalam keadaan tidak mampu menyatakan kehendaknya karena disebabkan : 1) karena di bawah kuratele; 2) atau sakit ingatan; 3) tempat tinggalnya tidak diketahui; maka ijin cukup diberikan oleh salah satu pihak saja yang mampu menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (3) UU Perkawinan) e. Apabila kedua orang tua telah meninggal dunia atau kedua-duanya tidak mampu menyatakan kehendaknya, maka yang berhak memberi ijin adalah: 1) Wali yang memelihara calon mempelai; 2) Atau keluarga yang mempunyai hubungan darah dalam garis keturunan lurus ke atas selama mereka masih hidup dan dalam keadaan dapat menyatakan kehendaknya (Pasal 6 ayat (4) UU Perkawinan). f. Jika ada perbedaan antara mereka yang disebut dalam ayat (2), (3), dan (4) Pasal 6 UU Perkawinan, atau salah seorang atau lebih di antara mereka tidak ada menyatakan pendapatnya, pengadilan dalam daerah hukum tempat tinggal orang yang hendak melaksanakan perkawinan yang berhak memberi ijin. Ijin dari Pengadilan ini diberikan atas permintaan: 1) Pihak yang hendak melaksanakan perkawinan
20
2) Setelah lebih dulu Pengadilan mendengar sendiri orang yang disebut oleh ayat (2), (3) dan (4) Pasal 6 Undang-Undang Perkawinan tersebut. Bagi yang beragama Islam ketentuan-ketentuan perijinan dalam sub 4, 5 dan 6 tersebut di atas, hanya berlaku bagi mereka sepanjang ketentuan-ketentuan itu tidak bertentangan dengan ketentuan perwalian dalam hukum Islam maka yang berlaku bagi mereka adalah Hukum Islam. g. Batas umur untuk melaksanakan perkawinan adalah sekurangkurangnya 19 tahun bagi calon suami dan 16 tahun bagi calon isteri (Pasal 7 ayat (1) UU Perkawinan). Penentuan batas umur untuk melangsungkan perkawinan sangatlah penting sebab perkawinan sebagai suatu perjanjian perikatan antara seorang pria dan seorang wanita sebagai suami isteri, haruslah dilakukan oleh mereka yang sudah cukup matang baik dilihat dari segi biologik maupun psikologik. Hal ini adalah penting sekali untuk mewujudkan tujuan perkawinan itu sendiri, juga mencegah terjadinya perkawinan pada usia muda atau perkawinan anak-anak, sebab perkawinan
yang
dilaksanakan
pada
umur
muda
banyak
mengakibatkan perceraian dan keturunan yang diperolehnya bukan keturunan yang sehat. Namun
demikian
UU
Perkawinan
masih
memberikan
kelonggaran untuk terjadinya perkawinan yang menyimpang dari
21
ketentuan tersebut, asal ada dispensasi dari Pengadilan berdasarkan permintaan dari kedua orang tua kedua belah pihak (Pasal 7 ayat (2) UU Perkawinan). Dalam hukum Islam batas umur untuk melaksanakan perkawinan tidak disebutkan dengan pasti, hanya disebutkan bahwa baik pria maupun wanita supaya sah melaksanakan akad-nikah harus sudah “baliqh” (dewasa) dan mempunyai kecakapan sempurna.
4. Putusnya Perkawinan Karena Perceraian Perceraian merupakan putusnya perkawinan antar suami istri dalam hubungan keluarga. Hukum Islam memungkinkan terjadinya perceraian itu dalam beberapa hal, yaitu :7 a. Talak Talak artinya cerai. Pelaksanaannya dilakukan atas inisiatif suami dengan ucapan yang dikeluarkan oleh diri sendiri dalam keadaan sengaja atau tidak sengaja. Maksudnya, dalam suatu pertengkaran kalau terjadi ucapan talak dari suami kepada istri sudah cukup ucapan itu memutuskan hubungan perkawinan. Karenanya, suami tidak boleh mengucapkan kata-kata yang terlalu mudah untuk menceraikan istri tanpa disadari sepenuhnya. Menurut fiqh, mazhab Syafi’i menyatakan bahwa sah hukumnya seorang suami menjatuhkan talak atau ucapan cerai kepada istrinya walaupun tanpa pemeriksaan atau mengemukakan alasan7
R. Abdul Djamali, Op. Cit, hlm. 99
22
alasan. Cerai dalam pengertian ini akan sangat mudah terjadi tanpa adanya pembelaan dari istri. Karena itu untuk menjamin kedudukan yang sama antara suami dan istri di dalam kehidupan rumah tangga fiqh membagi talak dalam tiga kategori, ialah: 1) Talak sarihah (jelas dan tegas) Talak sarihah merupakan ucapan suami kepada istri dilakukan dengan bahasa yang terang dan tidak meragukan bahwa yang dimaksud dari ucapannya itu adalah perceraian. Contoh : Istriku karena kita tidak cocok sebagai suami istri, maka aku ceraikan kamu. 2) Talak Kinayah (sindiran) Talak kinayah ini merupakan ucapan suami dengan kata-kata tidak jelas kepada istri, tetapi mengandung maksud cerai. Dan karena ketidakjelasan kata-kata yang diucapkan, maka istri berhak menanyakan maksud ucapan suami itu terlebih dahulu. Contoh : Istriku pulang sajalah kamu ke rumah orang tuamu supaya bahagia. 3) Talak dalam keadaan marah Suami dalam keadaan marah dapat menjatuhkan talak kepada istri. kemarahan suami dalam mengucapkan talak itu dapat dibedakan dalam tiga tingkatan kemarahan, yaitu : a) Marah dalam keadaan disadari dan tahu terhadap kata-kata yang diucapkan, maka talak ini sah hukumnya
23
b) Marah dalam keadaan disadari, tetapi kalau dipertanyakan tidak tahu kata-kata yang diucapkan, maka talak itu hukumnya tidak sah c) Marah yang memuncak dan kelihatan seperti orang sakit ingatan, tidak menyadari kata-kata yang diucapkan, maka talaknya tidak sah. Selain itu ada dua bentuk talak yang tidak sah hukumnya kalau dilakukan oleh seorang suami, yaitu : 1) talak ancaman atau paksaan, dan 2) talak main-main atau bergurau. Berdasarkan bentuk-bentuk peristiwa talak tersebut di atas, maka dapat dibedakan ketetapan hukumnya yang dinamakan hukum talak. Hukum talak itu ada lima, yaitu:8 1) Talak Wajib Wajib hukumnya melakukan talak kalau konflik antara suami dan istri terus menerus terjadi dan tidak dapat dipertemukan lagi baik oleh keluarga maupun oleh Pengadilan Agama. Dan selain itu juga bagi salah satu pihak yang melakukan perbuatan kejahatan atau menjadi seorang residivis tidak perlu mempertahankan kesatuan hidup dalam keluarga, karena wajib hukumnya melakukan talak. Alasan hukumnya, ialah dalam mempertahankan kelangsungan hidup keluarga hendaknya dijalankan dengan wajar dan harmonis
8
Ibid, hlm. 101
24
tanpa penyimpangan yang dapat menimbulkan akibat lain dengan merusak jiwa masing-masing. 2) Talak Haram Diharamkan hukumnya bagi seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istrinya tanpa sebab yang sah. Sebab yang sah itu menurut mazhab Hanafi berkenaan dengan diajukannya talak oleh suami yang tidak sehat pikirannya. Menurut mazhab Syafi’i dan mazhab Hambali suatu talak yang dijatuhkan oleh suami tidak sehat pikirannya tidak haram melainkan makruh. Hal ini berdasarkan prinsip perkawinan Islam yang tidak menghendaki kesengsaraan bagi kedua belah pihak. 3) Talak Mubah (boleh) Menceraikan istri tidak dianjurkan, tidak diwajibkan, atau tidak diharamkan asalkan sesuai dengan aturan hukum yang berlaku dan tidak menimbulkan akibat buruk bagi para pihak setelah terjadi perceraian itu. 4) Talak Sunnat Sunnat hukumnya menceraikan istri kalau ia tidak mau merubah kebebasan bergaulnya semasa belum kawin atau tidak mau menjaga harga diri sebagai seorang istri. 5) Talak Haram Ringan Seorang suami yang menjatuhkan talak kepada istri dalam keadaan menstruasi yang sebelumnya tidak pernah digauli termasuk talak
25
haram ringan. Kalau talak itu dilakukan, kewajiban suami merujuk atau menyatakan sebagai istrinya kembali. a. Khuluk Khuluk artinya tebusan. Talak khuluk merupakan perceraian yang dilakukan oleh suami atas inisiatif istri agar ia diceraikan dengan baik-baik dan akan diberikan ganti rugi atau tebusan. Ganti rugi atau tebusan itu diberikan oleh istri kepada suami berupa benda atau sejumlah uang. Talak ini tidak boleh rujuk dalam masa iddah atas kehendak suami saja. Mengenai besarnya jumlah khuluk mazhab Syafi’i berpendapat bahwa istri boleh melakukan khuluk dengan memberikan harta lebih banyak dari mas kawin yang diterima kalau istri tidak taat kepada suami. Kalau dilihat dari pelaksanaan talak khuluk dan suami tidak boleh rujuk, berarti dalam keadaan ingin menarik kembali bekas istrinya itu ia wajib melakukan proses perkawinan baru. b. Fasakh Fasakh sebagai suatu perceraian suami istri yang dilakukan melalui proses pengadilan dengan keputusan hakim, karena syaratsyarat atau rukun-rukun perkawinan perkawinan itu tidak dipenuhi, tetapi perceraiannya dilakukan atas permohonan. Dan alasan-alasan yang dapat diterima dalam perceraian ini adalah :9
9
Ibid, hlm. 106
26
1) Menderita sakit Alasan menderita sakit hanya ditujukan kepada suami yang tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai kepala rumah tangga dan terdiri atas: a) sakit ingatan; b) sakit kusta; c) tidak sanggup melakukan hubungan seks karena impoten. Tetapi dalam perkembangan dunia kedokteran sekarang ketiga macam penyakit ini sudah banyak yang dapat disembuhkan. Karenanya suatu perceraian dengan alasan suami menderita sakit tergantung atas permohonan istri. Maksudnya istri sebelum mengajukan permohonan cerai wajib mempertimbangkan dan mengusahakan penyembuhannya lebih dahulu atas derita yang menjadi
beban
suami
kecuali
ada
alasan
lain
untuk
pembenarannya. 2) Keadaan ekonomi Kalau suami tidak mampu membiayai kehidupan rumah tangga dalam kelangsungannya seperti makan, sandang, dan perumahan, maka istri dapat mengajukan permohonan cerai. Tetapi alasan ini pun perlu dipertimbangkan lebih dahulu terutama dalam ketidakcukupan kalau tidak mengganggu kelangsungan hidup keluarga sehari-hari bahkan ada suatu harapan dalam menambah penghasilan, maka tidak perlu dilakukan perceraian.
27
3) Sosio-psikologis Yang dimaksudkan dengan alasan ini berkenaan dengan penderitaan istri dalam menanggung beban kehidupan tanpa harmonisasi
psikis
yang
banyak
diketahui
tetangga
atau
lingkungannya. Alasan yang dapat dikemukakan oleh istri dalam mengajukan permohonan cerai, karena : a) Suami meninggalkan istri tanpa memberitahukan atau tidak diketahui tempat kediamannya lagi. Menurut khalifah Umar lamanya istri menunggu kedatangan suami sampai 4 tahun dan setelah itu dapat mengajukan permohonan cerai. Tetapi dalam perkembangan hukum sekarang sebelum istri mengajukan permohonan cerai harus ditempuh pemanggilan sebanyak tiga kali. Dan kalau tidak ada jawaban dilanjutkan dengan mengajukan permohonan cerai b) Suami sering menyeleweng, pemabuk, penjudi atau hal-hal lain yang dapat mengganggu psikis istri dan kehidupan rumah tangganya. c. Siqoq Siqoq artinya sengketa atau konflik. Dalam kehidupan rumah tangga suatu pertengkaran antar suami istri tidak mungkin dapat dihindarkan. Hal ini dapat dipahami, karena dua pikiran dan pendapat terhadap suatu hal sering tidak dapat dipertemukan dalam satu pendapat dengan segera yang berakibat timbulnya pertengkaran. Dan
28
pertengkaran itu mempunyai hikmah tersendiri kalau terjadi titik temu dari dua pendapat yang berbeda dan akan menjadi pegangan dalam menghadapi masalah yang sama. Tetapi kalau pertengkaran itu dibangun dengan kuat oleh masing-masing pihak tentu tidak akan menimbulkan suatu titik temu bahkan akan terjadi persengketaan (konflik). Pada umumnya suatu konflik terjadi karena para pihak berbeda sikap terhadap suatu hal dan mempertahankan pendapatnya dalam menjaga prestise, atau adanya suatu fitnah, cemburu yang berlebihan, atau prasangka individu. Konflik yang sering terjadi di dalam kehidupan suatu rumah tangga dan tidak dapat diselesaikan dengan baik akan berakibat timbulnya gangguan psikis dan tidak dapat tentram dalam hidupnya. Situasi itu kalau berlangsung terus dengan diselingi konflik-konflik lainnya, berarti tidak mencerminkan kehidupan rumah tangga yang baik. Karena itu pada puncak konflik dan apalagi terjadi lepas bergaul (scheiding van tafel en bed) diizinkan istri mengajukan permohonan cerai melalui Pengadilan Agama. Untuk menyelesaikan masalah konflik yang tidak dapat ditemukan titik pengertian antar keduanya, maka hakim akan mendengarkan keterangan kedua belah pihak. Setelah itu diusahakan seoptimal mungkin dalam memberikan pengertian supaya konflik itu diakhiri dengan damai. Dan kalau tidak berhasil, maka hakim mengangkat ‘hakam’, yaitu perwakilan dari para pihak yang secara
29
jujur ditugaskan mencari data-data timbulnya konflik. Setelah itu keduanya melakukan musyawarah untuk mengambil keputusan yang dianggap baik demi kepentingan para pihak yang berselisih. d. Taklik-Talak Taklik adalah suatu janji dari suami kepada istri yang didasarkan kepada syarat-syarat tertentu. Lembaga taklik itu timbul kalau ada penilaian istri bahwa suaminya menunjukkan gejala-gejala akan menyia-nyiakan atau akan meninggalkannya di kemudian hari. Karenanya wajar bagi mereka menentukan suatu janji demi kebaikan hubungan suami istri. Taklik fungsinya untuk menjaga kerukunan hidup suami istri dan mengimbangi hak talak atas inisiatif suami. Syarat-syarat taklik yang perlu diperhatikan sebelum dibuat dan dibacakan sesaat selesai akad nikah, yaitu isinya tidak bertentangan dengan hukum Islam, tertera dengan jelas dan tegas, tetapi tidak boleh tanpa dalam keadaan nyata, seperti ‘Kalau matahari terbit dari barat, maka jatuhlah talak saya’. Pada
umumnya
taklik
itu
ditegaskan
dengan
empat
kemungkinan yang dapat menimbulkan talak dan diucapkan setelah ijab kabul dengan lafadznya sebagai berikut : “Taklik Talak akan jatuh, sewaktu-waktu saya, 1) meninggalkan istri tersebut 2 tahun berturut-turut; 2) atau saya tidak memberikan nafkah wajib kepadanya 3 bulan lamanya;
30
3) atau saya menyakiti badan/jasmani istri saya itu; 4) atau saya membiarkan (tidak memperdulikan) istri saya itu 6 bulan lamanya. Kalau suami telah mengupayakan janji itu dengan tegas dan dalam kenyataannya dilanggar, maka jatuhlah talak taklik atas tuntutan istri. Jadi talak taklik itu, adalah perceraian sebagai akibat pelanggaran janji yang diucapkan suami sesaat setelah akad nikah. 5. Mengasuh Anak (Hadanah) Apabila perceraian terjadi antara suami dan istri yang telah berketurunan, yang berhak mengasuh anak pada dasarnya adalah istri, ibu anak-anak. Apabila ibu anak-anak tidak ada, yang berhak adalah neneknya,yaitu ibu dari ibu anak dan seterusnya keatas. Apabila tidak ada beralih kepada ibu ayah dan seterusnya ke atas. Ibu atau penggantinya yang dinyatakan lebih berhak mengasuh anak itu harus memenuhi syarat-syarat sebagai berikut: 1. Berakal sehat 2. Telah balig 3. Mampu mendidik 4. Dapat dipercaya dan berakhlak mulia 5. Beragama Islam 6. Belum kawin dengan laki-laki lain Biaya mengasuh anak, apapun bentuknya, apabila memang benarbenar diperlukan, menjadi tanggungan ayah sesuai kemampuannya yang
31
ada. Kecuali biaya mengasuh anak, nafkah hidup anak pun yang berupa makanan, minuman, pakaian, tempat tinggal, kesehatan, dan biaya pendidikan dibebankan kepada ayahnya. Hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai umur tujuh tahun. Pada umur ini anak disuruh memilih apakah akan ikut ibu terus atau akan ikut ayah. Hak ibu mengasuh anak berakhir apabila anak telah mencapai umur tujuh tahun. Pada umur ini anak disuruh memilih, apakah akan ikut ibu terus atau akan ikut ayah. Siapapun yang akhirnya akan diikuti, keberhasialan endidikan agar menjadi anak shaleh menjadi tanggung jawab bersama ayah dan ibunya. Segala sesuatunya dimusyawarahkan bersama; perceraian ayah dan ibu jangan sampai berakibat si anak menjadi korban. Kepada anak jangan sekaili-kali ditanamkan rasa benci kepada orang tua, ibu jangan memburukkan ayah didepan anak, ayahpun jangan memburukkan nama ibu di depan anaknya. Anak yang mengikuti ayah jangan sampai dipisahkan sama sekali dari ibunya dan anak yang ikut ibu jangan sekali-kali terpisah hubungan dari ayahnya.
E. Metode Penelitian 1. Objek Penelitian a. Dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dalam menjatuhkan putusan hak asuh anak yang masih di bawah umur kepada mantan suami.
32
b. Akibat hukum dari putusan hakim tentang hak asuh anak yang diberikan kepada mantan suami. 2. Subjek Penelitian a. Ketua Pengadilan Agama Yogyakarta b. Hakim di Pengadilan Agama Yogyakarta c. Para pihak yang berperkara di Pengadilan Agama Yogyakarta 3. Sumber Data a. Data Primer, yaitu data yang diperoleh secara langsung dari subjek penelitian pada penelitian lapangan. b. Data Sekunder, yaitu data yang diperoleh secara tidak langsung dari penelitian kepustakaan yang berupa:10 1) Bahan hukum primer, yaitu bahan hukum yang bersifat mengikat yang terdiri dari : a) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan b) Peraturan
Pemerintah
Nomor
9
Tahun
1975
tentang
Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan c) Peraturan Perundang-Undangan lainnya yang berkaitan dengan penelitian ini. 2) Bahan Hukum Sekunder, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk serta penjelasan terhadap bahan hukum primer, yang
10
Soerjono Soekanto dan Sri Mamudji, 2003, Penelitian Hukum Normatif, Suatu Tinjauan Singkat, PT. Raja Grafindo Persada, Jakarta, hlm. 13
33
terdiri dari buku-buku literatur, makalah, artikel, hasil penelitian, dan karya ilmiah lainnya yang berhubungan dengan penelitian ini. 3) Bahan Hukum Tertier, yaitu bahan hukum yang memberikan petunjuk dan penjelasan terhadap bahan hukum primer dan bahan hukum sekunder yang terdiri dari : a) Kamus Umum Bahasa Indonesia b) Kamus Hukum c) Kamus Inggris – Indonesia d) Ensiklopedia 4. Teknik Pengumpulan Data a. Pengumpulan data primer dilakukan dengan cara mengadakan wawancara dengan subjek penelitian mengenai permasalahan dalam penelitian ini b. Pengumpulan data sekunder dilakukan dengan studi kepustakaan, yaitu menelusuri dan mengkaji peraturan perundang-undangan dan literatur yang berhubungan dengan penelitian dan melakukan studi dokumen, yaitu mengkaji putusan Pengadilan Agama yang berhubungan dengan penelitian ini. 5. Metode Pendekatan Metode pendekatan yang digunakan dalam penelitian ini adalah pendekatan yuridis sosiologis yaitu pendekatan dari sudut pandang hukum yang berlaku dalam masyarakat.
34
6. Analisis Data Data yang telah dikumpulkan baik dari penelitian kepustakaan maupun dari penelitian lapangan selanjutnya dianalisis secara kualitatif dengan metode deskriptif. a. Deskriptif; yaitu metode analisis dengan cara menggambarkan keadaan sebenarnya di lapangan. b. Kualitatif, yaitu metode analisis data dengan cara mengelompokkan dan menseleksi data yang diperoleh dari penelitian menurut kualitas dan kebenarannya, kemudian dihubungkan dengan teori-teori dari studi kepustakaan sehingga diperoleh jawaban atas permasalahan dalam penelitian ini. Dalam analisis data ini digunakan cara berfikir induktif, yaitu menyimpulkan hasil penelitian dari hal yang bersifat khusus untuk kemudian diambil kesimpulan yang bersifat umum.
F. Sistematika Penulisan Skripsi Guna memudahkan dalam memahami isi dari skripsi ini, berikut disajikan sistematika penulisan dari skripsi ini yang terbagi ke dalam beberapa bab dan masing-masing bab terbagi lagi ke dalam beberapa sub bab. Adapun masing-masing bab tersebut adalah : BAB I
PENDAHULUAN Pada bab pendahuluan ini diuraikan tentang latar belakang masalah,
rumusan masalah, tujuan penelitian dan tinjauan pustaka yang merupakan bekal dasar bagi penulis dalam menyusun skripsi ini. Selanjutnya pada bab ini juga diuraikan tentang metode penelitian yang meliputi jenis penelitian,
35
sumber data, lokasi penelitian, subyek penelitian, teknik pengumpulan data dan analisis data. Pada akhir dari bab ini disajikan sistematika penulisan skripsi. BAB II
TINJAUAN TENTANG PERKAWINAN MENURUT UNDANGUNDANG NOMOR 1 TAHUN 1974 DAN HUKUM ISLAM Pada bab ini diuraikan dan dibahas beberapa hal yang berkaitan
dengan perkawinan menurut Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 dan Hukum Islam. Adapun uraian pada bab ini meliputi: pengertian perkawinan, tujuan perkawinan, syarat sahnya perkawinan, asas-asas perkawinan, tata cara perkawinan serta hak dan kewajiban suami istri. BAB III
TINJAUAN TENTANG PERCERAIAN
Pada bab ini diuraikan dan dibahas beberapa hal yang berkaitan dengan perceraian. Adapun uraian dan pembahasan pada bab ini meliputi: putusnya perkawinan karena perceraian, syarat-syarat perceraian dan akibat hukum perceraian. BAB IV
ANALISIS TERHADAP PUTUSAN HAKIM ATAS JATUHNYA HAK ASUH ANAK DI BAWAH UMUR KEPADA MANTAN SUAMI DI PENGADILAN AGAMA YOGYAKARTA
Pada bab ini diuraikan dan dianalisis hasil penelitian lapangan terhadap analisis terhadap putusan hakim atas jatuhnya hak asuh anak di bawah umur kepada mantan suami di Pengadilan Agama Yogyakarta. Adapun uraian dan analisis pada bab ini meliputi: dasar pertimbangan hakim Pengadilan Agama Yogyakarta dalam menjatuhkan putusan hak asuh anak yang masih di bawah umur kepada mantan suami dan akibat hukum dari putusan hakim Pengadilan
36
Agama Yogyakarta tentang hak asuh anak yang diberikan kepada mantan suami. BAB V
PENUTUP
Pada bab ini disajikan kesimpulan yang merupakan jawaban terhadap permasalahan dalam skripsi ini dan sekaligus disajikan saran yang merupakan sumbangan pemikiran dan rekomendasi dari penulis tentang hak asuh anak di bawah umur. DAFTAR PUSTAKA LAMPIRAN