BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Perjanjian memegang peranan yang penting dalam kehidupan manusia. Perjanjian merupakan suatu sarana manusia untuk menampung segala aktivitas gerak dan bisnis di antara mereka dengan bentuk yang lebih menjamin akan hakhak dan kewajiban diantara mereka. Jaminan akan hak dan kewajiban diwujudkan dalam suatu perjanjian dengan bentuk tertulis, memberikan ketegasan dan kejelasan maksud masing-masing para pihak dan memberikan kepastian bahwa para pihak yang membuat perjanjian itu memang harus tunduk untuk melaksanakannya dengan itikad baik dan konsekuen. Perjanjian dalam hal ini adalah suatu perjanjian yang memiliki akibat hukum, jika dilanggar akan menimbulkan konsekuensi tertentu1. Fungsi dari suatu perjanjian tertulis yang memegang peranan penting dalam pemenuhan maksud tujuan dari para pihak diuraikan secara jelas oleh Atiyah. Dilihat dari pentingnya fungsi tersebut, maka Atiyah memberikan penekanan atau titik berat perhatiannya pada pelaksanaan dari sebuah perjanjian tertulis.
1
Di Indonesia terdapat beragam istilah untuk penyebutan perjanjian, diantaranya persetujuan dan kontrak. Penggunaan istilah persetujuan timbul akibat adanya beragam istilah terhadap perjanjian itu sendiri. Istilah perjanjian sering disebut juga dengan persetujuan, yang berasal dari bahasa Belanda yakni overeenkomst. Istilah kontrak juga digunakan di samping istilah persetujuan yang memiliki arti yang mengacu pada perjanjian. Dalam penulisan ini mempergunakan istilah perjanjian. 1
2
Menurut Atiyah bahwa pelaksanaan sebuah perjanjian merupakan tujuan dari hukum perjanjian dengan alasan sebagai berikut2: The purpose of contract law is to encourage people to pay their debts, keep the promises, and generally be truthful in their dealings with each other. The enforcement of contracts, like the protection of property and the punishment of crime, is thus perceived as important primarily for its deterrent or hortatory purpose. (Tujuan hukum kontrak adalah untuk mendorong orang agar membayar hutang mereka, menjaga janji, dan berlaku jujur dalam hubungan mereka satu sama lain. Penegakan kontrak, sama seperti perlindungan terhadap hak milik dan hukuman kejahatan, tujuan tersebut dianggap penting terutama untuk tujuan pencegahan). Atiyah menjelaskan bahwa fungsi dari hukum perjanjian adalah untuk mendorong orang agar membayar hutangnya, menjaga agar janjinya dilaksanakan, yang secara umum memaksa orang untuk berlaku jujur terhadap orang lain. Pelaksanaan suatu perjanjian, sama pentingnya dengan perlindungan harta kekayaan dan penetapan sanksi pidana bagi suatu kejahatan. Atiyah menyamakan pentingnya fungsi dari suatu perjanjian dengan perlindungan terhadap harta kekayaan dan pemberian sanksi pidana bagi suatu kejahatan. Pendapat Atiyah mengenai pentingnya pelaksanaan suatu perjanjian juga tersirat dalam definisi perjanjian yang diberikan oleh E.Allan Farnsworth. Menurut E.Allan Farnsworth bahwa “The term of contract is used in a more technical sense to mean a promise, or set a promises, that the law will enforce or at least recognize in some way.”(suatu perjanjian dikatakan sebagai janji, atau kumpulan janji-janji yang pelaksanaanya dapat dipaksakan oleh hukum atau
2
P.S.Atiyah, 2001, Essays On Contract, Clarendon Press, Oxford, hal.15.
3
setidaknya diakui oleh hukum)3. Dalam definisi tersebut terdapat dua kata kunci yang penting yakni janji dan pelaksanaanya. Fungsi suatu perjanjian yang begitu penting dalam pemenuhan maksud para pihak, dalam perjalanannya bisa terhenti/gagal, salah satu penyebabnya adalah karena batalnya perjanjian. Penyebab batalnya perjanjian bermacam-macam, salah satunya adalah
karena telah terpenuhinya syarat batal yang diatur dalam
perjanjian itu sendiri. Perjanjian yang mencantumkan syarat batal merupakan suatu jenis perikatan yang bersyarat. Perikatan bersyarat adalah lawan dari perikatan murni, yaitu perikatan yang tidak mengandung syarat. Pengertian dari syarat perjanjian itu sendiri menurut Muhammad Syaifuddin adalah “Syarat yang menentukan daya kerja dari perikatan, atau peristiwa itu sendiri atau tidak terjadinya suatu peristiwa yang mengakibatkan menangguhkan atau membatalkan perikatan”.4 Adanya peristiwa (syarat) dalam perikatan tidak memerlukan pernyataan tegas dari para pihak yang membuat perjanjian. Pendapat dari beberapa sarjana mengartikan atau menyamakan perikatan bersyarat dengan pelaksanaan suatu perjanjian. Menurut J.Satrio5 bahwa perikatan bersyarat mengandung arti perikatannya yang bersyarat, bukan perjanjiannya, sehingga jika ditemukan adanya perjanjian bersyarat maka harus ditafsirkan
3
E.Allan Farnsworth, 1999, United States Contract Law, Revised Edition, Juris Publishing, United States of America, hal.1. 4 Muhammad Syaifuddin, 2012, Hukum Kontrak Memahami Kontrak dalam Perspektif Filsafat, Teori, Dogmatik, dan Praktik Hukum (Seri Pengayaan Hukum Perikatan), Mandar Maju, Bandung, hal.439. 5 J.Satrio, 1999, Hukum Perikatan Perikatan pada Umumnya, Alumni, Bandung, (selanjutnya disebut J.Satrio I), hal.280.
4
sebagai perjanjian yang melahirkan perikatan-perikatan yang bersyarat. Pendapat dari Munir Fuady,
yakni
suatu
perjanjian
yang pelaksanaannya
atau
pemberhentian pelaksanaannya bergantung pada suatu faktor tertentu yang belum tentu akan terjadi di masa yang akan datang6. Terdapat perbedaan antara penekanan para sarjana tersebut di atas yang menekankan titik utama perikatan bersyarat pada prestasi atau pelaksanaannya, dengan apa yang terdapat dalam Pasal 1253 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (selanjutnya disingkat KUHPer). Pasal 1253 KUHPer memberikan pengertian kepada perikatan bersyarat sebagai suatu perikatan yang digantungkan pada suatu peristiwa yang masih akan datang dan belum tentu terjadi, baik secara menangguhkan perikatan hingga terjadinya peristiwa yang disyaratkan, maupun secara membatalkan perikatn jika terjadinya peristiwa yang disyaratkan tersebut. Dengan demikian, KUHPer mengartikan perikatan bersyarat dalam arti yang sempit, karena syarat yang dimaksudkan adalah suatu peristiwa yang mungkin akan terjadi dan bersifat belum pasti. Peristiwa yang pasti akan terjadi seperti kematian atau tibanya waktu tertentu, yang sudah pasti akan terjadi, bukan merupakan syarat sebagaimana dimaksudkan oleh KUHPer. KUHPer menganut perikatan bersyarat dalam paham yang sempit, maka perikatan dengan ketetapan waktu tidak dianggap sebagai perikatan bersyarat oleh pembentuk undang-undang7.
6
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis) Buku Kedua, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Munir Fuady I), hal.103. 7 Ibid.
5
Perikatan bersyarat dibagi dua yakni syarat tangguh/ tunda dan syarat batal. Pembagian perikatan tersebut memiliki konsekuensi hukum yang berbeda pula. Perikatan dengan syarat tangguh adalah peristiwa yang lahirnya tergantung pada suatu peristiwa yang belum tentu terjadi, contohnya perjanjian jual beli rumah antara pengembang dengan konsumen, artinya jika rumah belum selesai dibangun oleh pihak pengembang, maka perjanjian itu belum terjadi walaupun harga dan barang sudah disepakati, sebaliknya perikatan dengan syarat batal merupakan suatu perikatan yang sudah ada dan berakhirnya digantungkan pada terjadinya suatu peristiwa yang disebut sebagai suatu syarat batal. Perikatan dengan syarat tangguh diberikan makna oleh kalimat pertama Pasal 1263 KUHPer dengan karakteristik bahwa perikatan digantungkan kepada peristiwa tertentu yang belum tentu terjadi, atau peristiwa tersebut sudah terjadi tetapi belum diketahui oleh para pihak, dan perikatan tidak dapat dilaksanakan sebelum peristiwa tersebut terjadi. Berdasarkan kalimat pertama Pasal 1264 KUHPer, dalam perikatan dengan syarat tunda maka penyerahan barang objek perikatan baru dianggap terjadi pada saat terjadinya peristiwa yang menjadi syarat tersebut, sehingga resiko kehilangan barang sebelum penyerahannya kepada pihak lain menjadi tanggungan pihak debitur sendiri. Perikatan dengan syarat batal dimaknai dalam Pasal 1265 KUHPer, dengan menekankan pada arti dari syarat batal yakni apabila syarat batal dipenuhi maka akan menghentikan perikatan dengan membawa kembali segala sesuatu pada keadaan semula seolah-seolah tidak pernah ada perikatan. Dalam hal ini syarat batal tidak menangguhkan pemenuhan perjanjian, akan tetapi hanya mewajibkan
6
si kreditur untuk mengembalikan apa yang telah diterimanya jika syarat/peristiwa yang dimaksudkan benar-benar terjadi. Perikatan bersyarat, diatur dalam Buku Ketiga mengenai Perikatan, bagian 5 Tentang Perikatan Bersyarat, yakni dalam Pasal 1253-1267 KUHPer. Perikatan dengan syarat batal diatur dalam Pasal 1265 sampai Pasal 1267 KUHPer. Syarat batal yang dimaksud berdasarkan Pasal 1265 KUHPer hanya terdapat dalam perjanjian timbal balik, yakni perjanjian yang melahirkan kewajiban di satu pihak dan hak di pihak lainnya Berdasarkan Pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai syarat batal bahwa; Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, akan tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan, atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. Dari ketentuan Pasal 1266 KUHPer, dapat dilihat bahwa undang-undang memberlakukan prestasi dari para pihak dalam suatu perjanjian timbal balik sebagai syarat batal bagi pihak lainnya, yang artinya jika prestasi tidak dilaksanakan maka perjanjian dianggap batal, sehingga pihak lain tidak perlu berprestasi, atau jika pihak lain sudah berprestasi, prestasi tersebut dapat dibatalkan, karena perjanjian sudah menjadi batal. Syarat batal ini tetap dianggap ada walaupun para pihak tidak mencantumkan klausulanya secara tersendiri dalam suatu perjanjian.
7
KUHPer menekankan pada prestasi dalam perjanjian yang timbal balik disamakan dengan syarat batal, yang dalam hal ini merupakan syarat batal yang konstruktif. Syarat konsktruktif adalah suatu syarat yang secara factual tidak pernah disetujui oleh para pihak, tetapi oleh hukum dianggap dan diperlakukan sebagai syarat yang seolah-olah telah disetujui untuk mencapai keadilan bagi para pihak.8 Syarat konstruktif ditemukan pada Pasal 1266 KUHPer yang mengasumsikan bahwa syarat batal selalu dianggap ada dalam perjanjian timbal balik, walaupun para pihak tidak mencantumkannya. Pendapat berbeda dikemukakan oleh Munir Fuady bahwa syarat batal bukanlah prestasi dari para pihak, melainkan suatu keadaan di masa yang akan datang yang mungkin akan terjadi, yang apabila terjadi keadaan tersebut, prestasi tidak jadi dilakukan atau dibatalkan berlakunya9. Munir Fuady lebih menekankan pada peristiwa atau keadaan yang belum tentu terjadi sebagai penentu syarat batal. Terdapat kekaburan mengenai pengaturan syarat batal dalam KUHPer. Kekaburan ditemukan pada kalimat pertama dalam Pasal 1266 KUHPer, yang menentukan bahwa “Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuanpersetujuan yang bertimbal balik, manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya.” Dalam pasal ini tidak diuraikan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik pada pasal-pasal berikutnya. Kriteria untuk menentukan persetujuan yang memiliki karakteristik timbal balik tidak diperinci, sehingga memungkinkan terjadi berbagai penafsiran.
8 9
Ibid, hal.126. Ibid, hal.115.
8
Pada bagian lain, kekaburan juga dijumpai pada kalimat keempat Pasal 1266 KUHPer yang menentukan bahwa “Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan (garis bawah dari penulis) atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan”. Undangundang tidak menjelaskan lebih lanjut apa yang dimaksud dengan keadaan dan bagaimana kriteria suatu keadaan agar dapat diberikan penundaan pemenuhan kewajiban. Penundaan perjanjian yang dilakukan oleh hakim, dilakukan bila syarat batal tidak dinyatakan secara tegas dalam perjanjian. Jika syarat batal dinyatakan secara tegas dalam perjanjian, maka hakim tidak berwenang melakukan penundaan pemenuhan kewajiban (prestasi). Untuk menentukan keadaan apa yang dapat dijadikan alasan untuk penundaan pemenuhan kewajiban tidak disebutkan oleh undang-undang, sehingga memberikan kekaburan. Berdasarkan uraian dari latar belakang masalah tersebut, maka penulis tertarik melakukan penelitian tentang kekaburan norma mengenai kriteria dari perjanjian timbal balik dan syarat keadaan yang terdapat dalam Pasal 1266 KUHPer. Untuk selanjutnya penelitian dituangkan dalam tesis yang berjudul “Syarat Batal Dalam Perjanjian Timbal Balik Berdasarkan Pasal 1266 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPer)”. Dari penelusuran yang dilakukan belum dijumpai sebelumnya pembahasan terkait dengan kriteria persetujuan timbal balik dan syarat keadaan dalam perjanjian dengan syarat batal. Namun demikian, penelitian-penelitian yang
9
terkait dengan persoalan syarat batal dalam perjanjian dapat ditemukan dalam tulisan-tulisan sebagai berikut: 1. Tesis Laila Hayati Aulia, Nim 097011120, mahasiswi program Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara Medan tahun 2012, dengan judul “Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor”. Adapun permasalahan yang diangkat yakni: a) Bagaimana prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam perjanjian konstruksi? b) Bagaimana perlindungan hukum terhadap para pihak apabila di dalam kontrak terdapat klausula pengenyampingan pasal 1266 KUH Perdata? 10 Kesimpulan: a) Prinsip perlindungan hukum kepada pihak yang dirugikan dalam perjanjian konstruksi bila terjadi wanprestasi yakni adanya prinsip perlindungan yaitu prinsip exception non adimpleti contractus yang artinya para pihak dapat menolak melakukan prestasi( Prinsip Penolakan Prestasi) selanjutnya dari pihak lawan. Prinsip Menuntut Restitusi yang artinya bila pihak yang melakukan prestasi tersebut berhak untuk menuntut restitusi dari pihak lawan, yakni menuntut
10
Laila Hayati Aulia, 2012, “Akibat Hukum dari Wanprestasi dalam Perjanjian Konstruksi yang Dilaksanakan Kontraktor”, Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumber http:// repository. usu.ac.id/ bitstream/123456789/33028/6 diunduh pada tanggal 20 April 2013.
10
agar kepadanya diberikan kembali atau dibayar setiap prestasi yang dilakukannya. b) Upaya perlindungan hukum para pihak jika terdapat penyampingan Pasal 1266 KUH Per yakni melakukan penyelesaian sengketa baik melalui pengadilan maupun di luar pengadilan diantaranya konsultasi, negoisasi, mediasi, konsiliasi,dan arbitrase. 2. Tesis Oki Andriansyah Kurniadi, NIM 087011090, mahasiswa Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2011 dengan judul: “Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi (Studi PT.Telemedia Network Cakrawala)”. Adapun permasalahan yang diangkat yakni; a) Bagaimanakah akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian kerjasama pengadaan barang atas dasar wanprestasi? b) Bagaimanakah wanprestasi perjanjian kerjasama antara PT Telemedia
Network Cakrawala (PT TNC) dengan PT. Moratel?
c) Bagaimanakah penyelesaian dalam sengketa pengadaan barang? 11. Kesimpulan: a) Akibat hukum dari pembatalan akta perjanjian pengadaan barang atas dasar wanprestasi berdasarkan utang dan berakibat terhadap barang dalam keadaan sewaktu sebelum perikatan dibuat, artinya
11
Oki Adriansyah Kurniadi, 2011, ”Tinjauan Hukum Pembatalan Akta Perjanjian Kerjasama Pengadaan Barang Atas Dasar Wanprestasi ( Studi PT.Telemedia Network Cakrawala), Tesis, Magister Kenotariatan Universitas Sumatera Utara, Medan, Sumber http: repository.usu.ac.id/bitstream/ 123456789/30812/6, diunduh pada tanggal 20 April 2013.
11
bahwa demi hukum dianggap tidak pernah ada perikatan diantara para pihak (penghadap), oleh sebab itu demi hukum pula akta perjanjian ada hanya tertulis melalui pesan email mengenai kerjasama atau pembayaran tagihan. b) Bentuk wanprestasi yakni berupa pemutusan link secara mendadak di luar jadwal, sehingga menghilangkan keuntungan yang diharapkan. Perseroan Terbatas Moratel ( PT.Moratel ) berhak memperoleh ganti rugi seimbang dengan pekerjaan yang telah dihasilkan dan biaya-biaya yang telah dikeluarkan. PT.Moratel juga akan diberikan kewajiban penggantian kerugian yang disebabkan karena kurang tepatnya perencanaan proyek yang dibuat oleh pengguna jasa tower provider internet. c) Bentuk penyelesaian sengketa dalam pengadaan barang yakni dengan mempergunakan firma hukum sebagai mediator, (non litigasi) guna lebih menghemat waktu. 3. Tesis Iskandar, NIM 097011008, mahasiswa Magister Kenotariatan, Universitas Sumatera Utara, Medan, tahun 2012, dengan judul” Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Melalui Campur Tangan Pemerintah dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.255.K/PDT.SUS/2009) Adapun permasalah yang diangkat yakni; a) Apa yang menjadi dasar kekuasaan pemerintah membatasi asas kebebasan berkontrak terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli dan persaingan usaha tidak sehat?
12
b) Bagaimana bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan oleh pemerintah terhadap
perjanjian
yang menimbulkan praktik
monopoli atau persaingan usaha tidak sehat? c) Siapa sajakah pihak yang dapat memohon pembatalan perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat? 12 Kesimpulan: a) Dasar kekuasaan negara dalam hal membatasi asas kebebasan berkontrak adalah berdasarkan keputusan Mahkamah Agung Republik Indonesia (MARI) yakni menghilangkan sifat negatif dari sistem ekonomi liberal dan sistem ekonomi sosial. b) Bentuk pembatalan perjanjian yang dilakukan pemerintah terhadap perjanjian yang menimbulkan praktik monopoli atau persaingan usaha tidak sehat adalah secara material batal absolut yang mengandung batal relatif dari segi formilnya. c) Pihak yang berhak melakukan permohonan pembatalan adalah pihak ketiga atau Komisi Pengawas Persaingan Usaha (KPPU) yang bertujuan mewujudkan posisi seimbang antara pihak-pihak yang
12
membuat
perjanjian,
terutama
antara
pihak
yang
Iskandar, 2012, “Pembatasan Asas Kebebasan Berkontrak Melalui Campur Tangan Pemerintah Dalam Persaingan Usaha Tidak Sehat (Studi Kasus Putusan Mahkamah Agung No.255.K/PDT.SUS/2009)”, Tesis, Magister Kenotariatan Unversitas Sumatera Utara, Medan, Sumber http:// repository.usu.ac.id/ handle/12345689/31342. Diunduh pada tanggal 20 April 2013
13
kedudukannya lemah dengan pihak yang memiliki kedudukan yang kuat dalam perjanjian. Dari penelusuran orisionalitas penelitian yang telah dilakukan, tidak ditemukan adanya kesamaan dalam hal isi maupun substansi karya tulis yang telah dimuat sebelumnya, oleh karena itu tingkat orisinalitas penelitian ini dapat dipertanggungjawabkan keasliannya. 1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka dapat dikemukakan rumusan masalah sebagai berikut: 1. Bagaimanakah kriteria perjanjian timbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUHPer? 2. Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim apabila syarat batal tidak disepakati dengan tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPer? 1.3. Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini dapat dikualifikasikan menjadi tujuan umum dan tujuan khusus, lebih lanjut dijelaskan sebagai berikut: 1.3.1. Tujuan umum. Secara umum, penelitian ini bertujuan untuk pengembangan ilmu hukum khusunya di bidang hukum perjanjian yang berkaitan dengan syarat batal dalam perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer.
14
1.3.2. Tujuan khusus. Adapun yang menjadi tujuan khusus dari penelitian ini adalah untuk menjawab rumusan masalah yakni; a. Untuk mengetahui dan menganalisis kriteria perjanjian-perjanjian yang bertimbal balik yang di dalamnya mengandung syarat batal berdasarkan Pasal 1266 KUHPer. b. Untuk mengetahui dan menganalisis syarat keadaan yang dipakai oleh hakim sebagai dasar penundaan pemenuhan kewajiban apabila syarat batal tidak disepakati secara tegas dalam perjanjian berdasarkan Pasal 1266 KUHPer. 1.4. Manfaat Penelitian Penulis berharap penelitian ini dapat memberi manfaat bagi pengembangan ilmu pengetahuan pada umumnya serta memiliki kegunaan praktis pada khususnya sehingga penelitian ini bermanfaat secara teoritis dan praktis. 1.4.1. Manfaat teoritis. Secara teoritis, hasil penelitian dapat memberikan sumbangan terhadap pemikiran bagi pengembangan ilmu hukum dalam kaitannya dengan syarat batal dalan perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer. 1.4.2. Manfaat praktis. Secara praktis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangan pemikiran bagi notaris dalam perancangan perjanjian timbal balik dan masyarakat pada umumnya. Terhadap hakim dalam memberikan penundaan pemenuhan kewajiban dalam perjanjian timbal balik, serta bagi peneliti sendiri, d samping
15
untuk kepentingan penyelesaian studi juga untuk menambah wawasan dan pengetahuan di bidang hukum perjanjian khususnya mengenai syarat batal dalam perjanjian timbal balik. 1.5. Landasan Teoritis Dalam menjawab rumusan masalah dipergunakan landasan teori hukum. Menurut Gijssels sebagaimana dikutip dalam bukunya Sudikno bahwa “Kata teori dalam teori hukum dapat diartikan sebagai suatu kesatuan pandang, pendapat dan pengertian-pengertian yang berhubungan dengan kenyataan yang dirumuskan sedemikian, sehingga memungkinkan menjabarkan hipotesis-hipotesis yang dikaji”.13 Teori-teori yang dipakai dalam penulisan ini yakni teori keadilan dar Aristoteles, teori keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness) dari John Rawls teori kepastian hukum dari Gustav Radburch dan teori pelaksanaan dari kontrak (the enforcement theory of contract) dari P.S.Atiyah. 1.5.1. Teori keadilan dari Aristoteles. Teori keadilan yang dikemukakan oleh Aristoteles seorang filsuf Yunani Kuno diuraikan dalam tulisan The Liang Gie14 bahwa keadilan adalah kelayakan dalam tindakan manusia (fairness in human action). Kelayakan berada di tengahtengah antara titik yang terlalu banyak dan terlalu sedikit. Keadilan menurut Aristoteles menitik beratkan pada perimbangan.
13
Sudikno Mertokusumo, 2012, Teori Hukum, Cahaya Atma Pusaka, Yogyakarta, hal.5. 14 The Liang Gie, 1982, Teori-Teori Keadilan, Supersukses, Yogyakarta, hal.23-25
16
Aristoteles mengemukakan konsepsi mengenai keadilan yang dibagi menjadi keadilan distributif, keadilan perbaikan (remedial justice) dan keadilan niaga (commercial justice). Keadilan distributif (distributive justice) berwujud suatu perimbangan (proportion) agar merupakan keadilan, yang merupakan suatu persamaan dari dua perbandingan (equality of ratios). Ketidakadilan adalah apa yang melanggar proporsi itu. Aristoteles mengilustrasikan bahwa bagian A yang diterima sesuai dengan jasa A, dan bagian B yang diterima sesuai dengan jasa B. Teori keadilan distributif dari Aristoteles ini mendasarkan pada prinsip persamaan (equality).15 Keadilan perbaikan (remedial justice) dimaksud untuk mengembalikan persamaan dengan menjatuhkan hukuman kepada pihak yang bersangkutan. Keadilan niaga sebagai suatu perimbangan yang bercorak timbal balik dalam usaha pertukaran benda atau jasa di antara para anggota masyarakat. Pertukaran itu merupakan unsur timbal balik yang proporsional (proportionate reciprocity)16. Keadilan ini mengatur hubungan yang adil antara orang yang satu dan yang lain atau antara warganegara yang satu dengan warga negara lainnya. Keadilan komutatif menyangkut hubungan horizontal antara warga yang satu dengan warga yang lain. Keadilan niaga disebut juga dengan sebutan keadilan komutatif (commutative justice). Dalam bisnis, keadilan komutatif juga disebut atau berlaku sebagai keadilan tukar. Dengan kata lain, keadilan komutatif menyangkut pertukaran yang adil
15 16
Ibid. Ibid.
17
antara pihak-pihak yang terlibat. Prinsip keadilan komutatif menuntut agar semua orang menepati apa yang telah dijanjikannya, mengembalikan pinjaman, memberi ganti rugi yang seimbang, memberi imbalan atau gaji yang pantas, dan menjual barang dengan mutu dan harga yang seimbang. Keadilan perbaikan dan keadilan komutatif bertujuan untuk memelihara ketertiban masyarakat dan kesejahteraan umum. 1.5.2. Teori keadilan sebagai kelayakan (justice as fairness) dari John Rawls. Rawls berpendapat bahwa keadilan adalah kebajikan utama dari hadirnya institusi-institusi sosial (social institutions). Rawls menekankan pada “the primary subject of the principles of social justice is the basic structure of society, the arrangement of major social instituisions into one scheme of cooperation”.17 (subyek utama dari prinsip-prinsip keadilan sosial adalah struktur dasar masyarakat, penataan institusi sosial yang besar ke dalam satu skema kerjasama). Berdasarkan pendapat tersebut yang menjadi tujuan dari hadirnya institusi sosial adalah keharmonisan dari seluruh institusi masyarakat. Akan tetapi, menurutnya, kebaikan bagi seluruh masyarakat tidak dapat mengesampingkan atau menggangu rasa keadilan dari setiap orang yang telah memperoleh rasa keadilan yang menyatukan semua kepentingan-kepentingan yang berbeda dari seluruh
warga
masyarakat,dengan
melalui
keseimbangan
kepentingan-
kepentingan tersebut, tanpa memberikan perhatian istimewa terhadap kepentingan
17
hal.47.
John Rawls, 1999, A Theory of Justice, Harvard University Press, USA,
18
itu sendiri disebut sebagai justice as fairness (keadilan sebagai kelayakan), jadi yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling fair.18 Secara spesifik, Rawls mengembangkan gagasan mengenai prinsip-prinsip keadilan dengan menggunakan sepenuhnya konsep ciptaannya yang dikenal dengan posisi asali dan selubung ketidaktahuan19. Rawls berusaha untuk memposisikan adanya situasi yang sama dan setara antara tiap-tiap orang di dalam masyarakat serta tidak ada pihak yang memiliki posisi lebih tinggi antara satu dengan yang lainnya, seperti misalnya kedudukan, status sosial, tingkat kecerdasan, kemampuan, kekuatan, dan lain sebagainya. Tujuan dari kesamaan tersebut adalah agar orang-orang tersebut dapat melakukan kesepakatan dengan pihak lainnya secara seimbang. Posisi asli yang dimaksud oleh Rawls, bertumpu pada pengertian ekulibrium reflektif dengan didasari oleh ciri rasionalitas (rationality), kebebasan (freedom), dan persamaan (equality) guna mengatur struktur dasar masyarakat (basic structure of society).20Konsep selubung ketidaktahuan diterjemahkan oleh Rawls bahwa setiap orang dihadapkan pada tertutupnya seluruh fakta dan keadaan tentang dirinya sendiri, termasuk terhadap posisi sosial dan doktrin tertentu, sehingga membutakan adanya konsep atau pengetahuan tentang keadilan yang tengah berkembang.21
18
Ibid, hal.4-6. Ibid, hal.15. 20 Ibid, hal.10. 21 Ibid. 19
19
Melalui dua teori tersebut, Rawls mencoba menggiring masyarakat untuk memperoleh prinsip kesamaan yang adil.
Itulah sebabnya mengapa Rawls
menyebut teorinya tersebut sebagai justice as fairness (keadilan sebagai kelayakan). Di dalam teorinya terdapat dua prinsip utama: Prinsip pertama bahwa setiap orang memiliki hak yang sama atas kebebasan kebebasan dasar yang paling luas dan kompatibel dengan kebebasan-kebebasan sejenis bagi orang lain, yang dikenal dengan prinsip kebebasan yang sama (equal liberty principle), seperti misalnya kemerdekaan berpolitik (political of liberty), kebebasan berpendapat dan mengemukakan ekspresi (freedom of speech and expression), serta kebebasan beragama (freedom of religion)22. Prinsip kedua dari teori Rawls bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi diatur sedemikian rupa, sehingga dapat diperoleh manfaat sebesar-besarnya bagi anggota masyarakat yang paling tidak diuntungkan, disebut dengan prinsip perbedaan. Jabatan-jabatan dan posisi-posisi harus dibuka bagi semua orang dalam keadaan dimana adanya persamaan kesempatan yang adil. dinamakan dengan prinsip persamaan kesempatan. Prinsip perbedaan dapat dibenarkan sepanjang menguntungkan yang lemah, sehigga ketidaksamaan kesempatan akibat adanya perbedaan kualitas kemampuan, kemauan dan kebutuhan dapat dipandang sesuatu yang adil menurut Rawls, asalkan memberi manfaat pada orang yang kurang beruntung atau lemah23.
22 23
Ibid.hal.52-53. Ibid.
20
Rawls berusaha untuk memposisikan kebebasan akan hak-hak dasar sebagai nilai yang tertinggi untuk mewujudkan masyarakat yang adil. Hal ini harus diikuti dengan adanya jaminan kesempatan yang sama bagi setiap orang untuk menduduki jabatan atau posisi tertentu. Adanya pembedaan tertentu juga dapat diterima sepanjang meningkatkan atau membawa manfaat terbesar bagi orangorang yang paling tidak beruntung. Bagi teori Rawls ini, setiap orang mempunyai hak yang sama untuk kaya, bukan hak untuk memiliki kekayaan yang sama. Dari dua prinsip dasar dari keadilan yakni prinsip kebebasan bahwa setiap orang berhak mempunyai prinsip kebebasan yang terbesar sepanjang tidak menyakiti orang lain dan prinsip ketidaksamaan bahwa ketidaksamaan sosial dan ekonomi, harus menolong seluruh masyarakat serta para pejabat tinggi harus terbuka bagi semuanya atau dengan kata lain ketidaksamaan sosial dan ekonomi, dianggap tidak ada kecuali jika ketidaksamaan ini menolong seluruh masyarakat. Prinsip pertama lebih utama dari prinsip kedua, artinya prinsip kebebasan tidak dapat diganti oleh tujuan-tujuan untuk kepentingan sosial ekonomi dari prinsip kedua. Menurut Achmad Ali,24teori keadilan dari John Rawls sebagai suatu teori yang menggabungkan antara prinsip kebebasan dan prinsip persamaan yang didasarkan pada kontrak sosial yang digagas oleh John Locke, Immanuel Kant. Dari teori tersebut menunjukkan bahwa tidak mengharuskan bagian semua orang
24
Achmad Ali, 2010, Menguak Teori Hukum (Legal Theory) & Teori Peradilan (Judicialprudence) Termasuk Undang-Undang (Legisprudence) Volume I Pemahaman Awal, Kencana Prenada Media Group, Jakarta (selanjutnya disebut Achmad Ali I), hal.272-284.
21
adalah sama, seperti kekayaan, status, pekerjaan dan hal lainnya, karena itu hal tidak mungkin, melainkan bagaimana ketidaksamaan diatur sedemikian rupa, sehingga terjadi ikatan dan kerjasama yang saling menguntungkan diantara mereka25 Pemakaian teori keadilan dari John Rawls, untuk menerangkan bahwa keadilan itu tidak harus sama (keadilan sebagai kelayakan). Ukuran yang pokok adalah prinsip keadilan mana yang paling layak, yakni prinsip kebebasan bahwa setiap orang berhak mempunyai prinsip kebebasan yang terbesar dengan pembatasan tidak menyakiti atau tidak merugikan kepentingan orang lain. Teori keadilan dari John Rawls yang mengedapankan teori keadilan berbasis kontrak dijiwai oleh asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. Asas menurut The Liang Gie merupakan “suatu dalil umum yang dinyatakan dalam istilah umum tanpa menyarankan cara-cara khusus mengenai pelaksanaannya yang diterapkan pada serangkaian perbuatan untuk menjadi petunjuk yang tepat bagi perbuatan itu.”
26
Asas keseimbangan menekankan pada kesetaraan para pihak,
sedangkan asas proporsionalitas lebih pada proses dan mekanisme pertukaran hak dan kewajiban yang berlangsung secara adil. a. Asas keseimbangan. Kesetaraan para pihak dalam membuat sebuah perjanjian merupakan landasan dari asas keseimbangan. Asas keseimbangan diterangkan oleh Mariam Darus Badrulzaman yakni;
25 26
Ibid. The Liang Gie, Op.Cit, hal.8.
22
Asas ini menghendaki kedua belah pihak memenuhi dan melaksanakan perjanjian itu. Asas keseimbangan merupakan kelanjutan dari asas persamaan. Kreditur mempunyai kekuatan untuk menuntut pelaksanaan prestasi melalui kekayaan debitur, namun kreditur memikul pula beban untuk melaksanakan perjanjian itu dengan itikad baik. Dapat dilihat di sini bahwa kedudukan kreditur yang kuat diimbangi dengan kewajibannya untuk memperhatikan itikad baik, sehingga kedudukan kreditur dan debitur seimbang27. Menurut Agus Yudha Hernoko yang mengutip pendapat AB Massier dan Marjanne Termorshuizen-Arts bahwa dalam hubungan perikatan, makna seimbang adalah menurut imbangan, dengan memberi contoh pelunasan harus dianggap berlaku untuk masing-masing utang menurut imbangan jumlah masingmasing.28Keseimbangan diartikan dengan kesamaan, sebanding dalam jumlah, ukuran atau posisi. Dalam kaitan dengan perjanjian, maka asas keseimbangan diartikan pada keseimbangan posisi para pihak. Asas keseimbangan, menurut Herlien Budiono, dilandaskan pada upaya mencapai suatu keadaan seimbang yang sebagai akibat darinya harus memunculkan
pengalihan
kekayaan
secara
absah.
Tidak
terpenuhinya
keseimbangan berpengaruh terhadap kekuatan yuridikal suatu perjanjian. Dalam terbentuknya perjanjian, ketidakseimbangan dapat muncul, karena perilaku para pihak sendiri mapun sebagai konsekuensi dari substansi (muatan isi) perjanjian
27
Mariam Darus Badrulzaman, 2011, Aneka Hukum Bisnis, Alumni, Bandung (selanjutnya disebut Mariam Darus Badrulzaman I), hal.43 28 Agus Yudha Hernoko, 2011, Hukum Perjanjian Asas Proporsionalitas Dalam Kontrak Komersial, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.75
23
atau pelaksanaan perjanjian. Keadaan seimbang diharapkan dapat mencegah kerugian di antara para pihak dalam suatu perjanjian.29 Penekanan pada asas keseimbangan pada keseimbangan posisi para pihak. Dalam hal terjadi ketidaseimbangan posisi yang menimbulkan gangguan terhadap isi perjanjian diperlukan campur tangan dari badan kekuasaan (hakim). Tujuan dari asas keseimbangan adalah hasil akhir yang menempatkan posisi para pihak seimbang (equal) dalam menentukan hak dan kewajibannya. b.Asas proporsionalitas. Asas proporsionalitas menekankan pada bagian masing-masing pihak yang tidak harus selalu sama, namun pada proporsi pembagian kewajiban dan hak. Asas ini menekankan pada pendekatan prosedural yang menitikberartkan pada kebebasan berkehendak dan pendekatan substantif pada substansi perjanjian.30 Asas proporsionalitas bermakna sebagai asas yang mendasari pertukaran hak dan kewajiban para pihak sesuai proporsi atau bagiannya dalam seluruh proses kontraktual.31 Menurut Agus Yudha Hernoko, terdapat beberapa faktor yang dapat dijadikan ukuran proporsionalitas, diantaranya didasarkan pada nilai-nilai kesetaraan, kebebasan, distribusi proporsional, terdapatnya asas kecermatan, kelayakan dan kepatutuan.32 Faktor-faktor tersebut bukan merupakan diukur
29
Herlien Budiono, 2006, Asas Keseimbangan bagi Hukum Perjanjian Indonesia Hukum Perjanjian Berlandaskan Asas-asas Wigati Indonesia, Citra Aditya Bakti, Bandung, (selanjutnya disebut Herlien Budiono I),hal.317-318 30 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.87. 31 Agus Yudha Hernoko, Op.Cit, hal.87. 32 Ibid, hal.89.
24
berdasarkan ilmu pasti atau angka-angka matematis (kesamaan hasil) melainkan pada proporsi pembagian hak dan kewajiban diantara para pihak yang berlangsung secara layak dan patut. Asas proporsionalitas dalam hal terjadinya kegagalan pelaksaaan perjanjian berfungsi sebagai alat penilai apakah kegagalan tersebut bersifat fundamental sehingga menganggu pelaksanaan sebagian besar perjanjian atau hanyalah hal-hal yang merupakan hal ringan/tidak mempengaruhi pelaksanaan perjanjian. Fungsi tersebut mencegah terjadinya penyalahgunaan klausul pelaksanaan perjanjiaan, demi keuntungan salah satu pihak. Hal ini terjadi dalam suatu perjanjian dimana posisi para pihak tidak seimbang atau salah satu pihak memiliki kedudukan yang kuat (dominan) dan di pihak yang lain memiliki kedudukan yang lemah. 1.5.3. Teori kepastian hukum dari Gustav Radburch. Kepastian hukum merupakan ciri yang tak dapat dipisahkan dari hukum, terutama untuk norma hukum tertulis. Kepastian hukum disebut sebagai salah satu tujuan dari hukum. Keteraturan masyarakat berkaitan erat dengan kepastian dalam hukum, karena keteraturan merupakan inti dari kepastian itu sendiri. Ajaran kepastian hukum berasal dari ajaran yuridis dogmatik yang didasarkan pada pemikiran positivis di dunia hukum, melihat hukum sebagai sesuatu yang otonom, mandiri karena hukum bagi aliran ini hanya sekumpulan aturan. Tujuan hukum yang utama adalah kepastian hukum. Kepastian hukum
25
diwujudkan dengan membuat suatu aturan hukum yang bersifat umum yang membuktikan bahwa tujuan hukum itu semata-mata untuk kepastian hukum33. Gustav Radburch mengemukakan empat hal yang mendasar berhubungan dengan kepastian hukum, yaitu: Pertama, bahwa hukum itu positif, artinya bahwa ia adalah perundangundangan (gesetzliches Recht). Kedua, bahwa hukum ini didasarkan pada fakta (Tatsachen), bukan suatu rumusan tentang penilaian yang nanti akan dilakukan oleh hakim, seperti”kemauan baik”, “kesopanan”. Ketiga, bahwa fakta itu harus dirumuskan dengan cara yang jelas sehingga menghindari kekeliruan dalam pemaknaan, di samping juga mudah dijalankan. Keempat, hukum positif itu tidak boleh sering diubah-ubah….”34. Pendapat Gustav Radburch tersebut didasarkan pada pandangannya bahwa kepastian hukum adalah kepastian tentang hukum itu sendiri. Kepastian hukum merupakan produk dari hukum atau lebih khusus perundang-undangan. Lon Fuller sebagaimana dikutip oleh Achmad Ali, mengajukan delapan asas yang harus dipenuhi oleh hukum dan apabila itu tidak dipenuhi, maka hukum tidak dapat memenuhi tujuannya yakni:35 1) Suatu sistem hukum terdiri dari peraturan-peraturan, tidak berdasarkan putusan-putusan sesaat untuk hal-hal tertentu (ad hoc); 2) Peraturan tersebut diumumkan kepada publik; 3) Tidak berlaku surut, karena akan merusak integritas sistem; 4) Dibuat dalam rumusan yang dimengerti oleh umum; 5) Tidak boleh ada peraturan yang saling bertentangan; 6) Tidak boleh menuntut suatu tindakan yang melebihi apa yang bisa dilakukan; 7) Tidak boleh sering diubah-ubah; 8) Harus ada kesesuaian antara peraturan-peraturan dan pelaksanaan seharihari.
33
Achmad Ali, 2008, Menguak Tabir Hukum (Suatu Kajian Filosofis dan Sosiologis), Ghalia Indonesia, Bogor (selanjutnya disebut Achmad Ali II), hal.67 34 Achmad Ali I, Op.Cit, hal.293. 35 Ibid, hal.294.
26
Berdasarkan teori kepastian hukum, maka dalam kepastian hukum terkandung beberapa arti, yakni adanya kejelasan, tidak menimbulkan salah tafsir atau multi tafsir, tidak menimbulkan kontradiktif dan dapat dilaksanakan. Berdasarkan dari teori kepastian hukum ini maka kekaburan norma yang terdapat dalam Pasal 1266 KUHPer dapat diuraikan dan ditemukan solusinya. 1.5.4.Teori pelaksanaan kontrak (the enforcement theory of contract) dari P.S.Atiyah. P.S.Atiyah menyebutkan bahwa “the law of contract is part of the law of obligations, that is to say, it is concerned with the obligations that people owe to others as a result of the relations and transactions in which they become involved”.36(Hukum perjanjian adalah bagian dari hukum yang menyangkut kewajiban, sehingga berfokus pada kewajiban yang dianggap hutang dan dilaksanakan oleh seseorang sebagai akibat dari transaksi dan hubungan mereka). Pelaksanaan pemenuhan kewajiban yang dianggap hutang itu, diperlukan suatu mekanisme pelaksanaan melalui badan pengadilan. Teori ini ini menitik beratkan pada pelaksanaan dari perjanjian yang dilaksanakan melalui suatu badan pengadilan. P.S Atiyah beralasan; The judicial process is designed to serve either or both of two important social ends. The first is, by the threat of penalties or the promise of rewards, to encourage the citizenry to comply with socially desired standards of behaviour. And the second is to provide machinery for the settlement of disputes by peacefull and fair means. Now the classical model of contract, with its emphasis on intentional conduct and future planning, presupposes that the first
36
P.S Atiyah ,Stephen A Smith, 2009, Atiyah’s Introduction to the Law of Contract, Clarendon Press, Oxford, hal.1
27
of these two goals is the primary function of the courts in dealing with contractual litigation.37 (Proses peradilan ini dirancang untuk melayani salah satu atau kedua dua tujuan sosial yang penting. Yang pertama adalah, dengan mempergunakan ancaman hukuman atau janji imbalan, untuk mendorong warga negara untuk memenuhi standar perilaku yang diinginkan secara sosial. Dan yang kedua adalah untuk menyediakan alat penyelesaian sengketa secara damai dan adil. Untuk saat ini, model klasik kontrak, dengan penekanan pada perilaku yang disengaja dan perencanaan masa depan, mengasumsikan bahwa tujuan pertama dari dua tujuan tersebut adalah fungsi utama dari pengadilan dalam menangani perselisihan kontrak). Dilihat dari pendapat di atas, bahwa tujuan dari proses pengadilan ada dua. Pertama, memberikan sanksi atau dorongon bagi warga negara untuk mematuhi nilai standar tingkah laku sosial, dan tujuan kedua menyediakan alat untuk menyelesaikan perselisihan secara damai dan adil. Tujuan ini yang merupakan tujuan utama dari pengadilan dalam menyelesaikan perselisihan mengenai perjanjian. Teori pelaksanaan kontrak mendasari lahirnya prinsip yang berkenaan denganp pelaksanaan prestasi dari para pihak dalam hal salah satu pihak tidak melaksanakan kewajibannya. Pihak yang dirugikan berhak menuntut pemenuhan prestasi dari pihak lainnya, namun pihak lainnya berhak menolak melakukan pemenuhan prestasi jika pihak yang satunya terlebih dahulu tidak melakuakn prestasi. Prinsip yang berkaitan dengan penolakan prestasi jika salah satu pihak tidak melakukan kewajiban sebagaimana yang diperjanjikan. Prinsip lainnya yang berkaitan dengan perlindungan para pihak adalah prinsip pemenuhan prestasi substansial. Prinsip ini untuk melindungi pihak yang telah melakukan kewajiban
37
P.S. Atiyah, Op.Cit, hal.14-15
28
dalam perjanjian yang sifatnya substansial walaupun tidak sempurna, tidak dapat dikenai pembatlan perjanjian a. Doktrin penolakan prestasi. Menurut J.Satrio, doktrin penolakan prestasi (exceptio non adimpleti contractus) adalah “suatu tangkisan yag intinya mau mengatakan kalau anda sendiri belum berprestasi, anda tidak patut untuk menuntut saya berprestasi”38. Berdasarkan hal ini maka pihak yang dirugikan akibat adanya suatu wanprestasi dapat menolak melakukan prestasi selanjutnya manakala pihak lainnya telah melakukan wanprestasi.39 Di dalam KUHPer tidak ada ketentuan umum yang mengatur mengenai doktrin ini, namun penerapan doktrin ini secara tersirat tertuang dalam persetujuan-persetujuan bernama diantaranya pada perjanjian jual beli Pasal 1478 KUHPer yang menyatakan bahwa “Penjual tidak wajib menyerahkan barang yang bersangkutan, jika pembeli belum membayar harganya sedangkan penjual tidak mengizinkan
penundaan
pembayaran
kepadanya.”
Penjual
mengizinkan
penundaan pembayaran kepadanya dimaksudkan artinya bahwa penjual telah memberikan kesempatan untuk tidak segera membayar harga pembelianya dan penundaan yang demikian tidak menghalangi pembeli melancarakan somasi kepada penjual. Kesimpulannya pembeli baru bisa melancarkan somasi kepada
38
J.Satrio, 2012, Wanprestasi menurut KUHPerdata, Doktrin, dan Yurisprudensi, Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut J.Satrio II), hal.49. 39 Ibid, hal.96.
29
penjual secara sah kalau ia telah membayar harga pembeliannya kepada penjual dan tidak terdapat izin penundaan pembayaran. Doktrin penolakan prestasi (exceptio non adimpleti contractus) adalah suatu alat penangkis yang dapat diandalkan salah satu pihak, dalam hal ia ditegur agar memenuhi perikatannya berdasarkan perjanjian atau jika pihak lawannya menuntut pembatalan dan/atau ganti rugi, karena wanprestasi. Hal ini berkaitan dengan penundaan pembatalan perjanjian. Pihak yang mempergunakan alasan ini harus memberikan prestasi yang tak layak kepada pihak yang melakukan wanprestasi tersebut. Penentuan prestasi yang tak layak tidak diatur dalam undang-undang secara rinci, sehingga merupakan kewenangan bagi hakim jika perkaranya diajukan ke pengadilan. b. Doktrin pemenuhan prestasi substansial Menurut Munir Fuady, pemenuhan prestasi substansial adalah suatu doktrin yang mengajarkan bahwa jika satu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara sempurna, tetapi ia telah melaksanakan prestasinya tersebut secara substansial, maka pihak lain harus juga melaksanakan prestasinya secara sempurna. Apabila suatu pihak tidak melaksanakan prestasinya secara substansial, maka dia telah tidak melaksanakan kontrak secara material (material breach).40 Pelaksanaan prestasi yang substansial oleh salah satu pihak menyebabkan pihak yang lainnya dalam perjanjian wajib melaksanakan prestasinya secara sempurna, sehingga tidak lagi berlaku tangkisan exceptio non adimpleti
40
Munir Fuady, 2007, Hukum Kontrak (Dari Sudut Pandang Hukum Bisnis), Citra Aditya Bakti, Bandung,(selanjutnya disebut Munir Fuady II), hal.90
30
contractus. Terhadap perjanjian jual beli yang berkaitan dengan tanah/benda tetap tidak dapat diterapkan doktrin ini, namun berlaku doktrin pelaksanaan prestasi yang sempurna. 1.5.5. Bagan kerangka berpikir. Rumusan masalah pertama dijawab dengan mempergunakan teori keadilan dari Aristoteles dan teori keadilan sebagai kelayakan dari John Rawls yang dijiwai oleh asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. Ukuran timbal balik dilihat dari ada
tidaknya
pertukaran
prestasi
yang
didasarkan
atas
keseimbangan.
Keseimbagan para pihak dalam tahap awal perjanjian dan proporsionalitas hak dan kewajiban masing-masing pihak. Teori kepastian hukum dari Gustav Radburch juga dipakai dalam menjelaskan kekaburan norma dalam Pasal 1266 KUHPer. Rumusan masalah yang kedua dijawab dengan teori pelaksanaan kontrak dari P.S.Atiyah. Pelaksanaan perjanjian merupakan hal yang penting dan dapat mempergunakan saranan pengadilan. Hakim namun dalam prakteknya dapat melakukan penundaan pemenuhan perjanjian atas permintaan salah satu pihak berdasarkan keadaan yang menghilangkan unsur kesalahan dan keadaan pelaksaaan prestasi. Berdasarkan hal tersebut, maka disusun kerangka berpikir agar dapat memberikan gambaran yang sistematis terhadap masalah yang akan diteliti
31 Rumusan
Teori
Metode
Hasil
1.Bagaimanakah kriteria perjanjianperjanjian yang bertimbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer?
Teori keadilan Aristoteles dan John Rawls yang dijiwai oleh asas keseimbangan dan proporsionalitas Teori kepastian hukum
Penafsiran gramatikal, penafsiran sistematik, dan pendekatan konsep timbal balik
2.Bagaimanakah syarat keadaan yang dapat dijadikan alasan dalam penundaan pemenuhan kewajiban oleh hakim berdasarkan Pasal 1266 KUHPer?
Teori pelaksanaan kontrak dalam kaitan dengan pelaksanaan prestasi diwujudkan dalam doktrin penolakan prestasi dan doktrin pemenuhan prestasi substansial.
Metode pendekatan konsep dari keadaan, dan interprestasi sistematikal antara pasalpasal yang terkait
Teori keadilan digunakan untuk menentukan ukuran timbal balik. Di dalam teori keadilan terdapat asas keseimbangan dan asas proporsionalitas. Berdasarkan teori tersebut didapatkan hasil yang menjadi kriteria perjanjian timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer itu yakni adanya pertukaran prestasi yang timbal balik dimana kedua belah pihak samasama memiliki kewajiban dan hak, namun ukuran antara prestasi tidak harus sama/seimbang namun bisa proporsional, sedangkan ukuran seimbang diperlukan pada saat pembuatan perjanjian timbal balik itu sendiri. Teori kepastian hukum untuk menjelaskan kekaburan norma dalam kriteria timbal balik berdasarkan Pasal 1266 KUHPer Syarat keadaan yang dipakai oleh hakim dalam penundaan pemenuhan kewajiban berdasarkan Pasal 1266 KUHPer yakni keadaan yang menghilangkan unsur kesalahan yang bersifat sementara dan keadaan pelaksanaan prestasi. Keadaan yang menghilangkan unsur kesalahan diantaranya keadaan memaksa yang relatif, keadaan sulit, sedang keadaan pelaksanaan prestasi dilihat dari berat ringannya wanprestasi yang dilakukan.
Masalah
32
1.6. Metode Penelitian 1.6.1. Jenis penelitian. Jenis penelitian adalah penelitian hukum normatif, yang didasarkan pada kekaburan norma Pasal 1266 KUHPer. Kekaburan yang ditimbulkan terkait pada kalimat pertama yakni persetujuan-persetujuan timbal balik dan kalimat keempat yakni melihat keadaan. Pasal 1266 KUHPer yang mengatur mengenai syarat batal dalam perjanjianperjanjian timbal balik menentukan bahwa: Syarat batal dianggap selalu dicantumkan dalam persetujuan-persetujuan yang bertimbal balik (garis bawah dari penulis) manakala salah satu pihak tidak memenuhi kewajibannya. Dalam hal yang demikian persetujuan tidak batal demi hukum, akan tetapi pembatalan harus dimintakan kepada Pengadilan. Permintaan ini juga harus dilakukan, meskipun syarat batal mengenai tidak dipenuhinya kewajiban dinyatakan dalam persetujuan. Jika syarat batal tidak dinyatakan dalam persetujuan, maka Hakim dengan melihat keadaan (garis bawah dari penulis), atas permintaan tergugat, leluasa memberikan suatu jangka waktu untuk memenuhi kewajiban, tetapi jangka waktu itu tidak boleh lebih dari satu bulan. 1.6.2. Jenis pendekatan. Dalam penelitian ini mempergunakan beberapa pendekatan untuk lebih memahami permasalahan yang ada, diantaranya adalah; a. Pendekatan perundang-undangan. Penelitian ini dilakukan dengan mempergunakan metode pendekatan perundang-undangan (statute approach). Johnny Ibrahim meminjam pendapat Haryono, yang melihat hukum sebagai sistem tertutup yang mempunyai sifat-sifat comprehensive (norma-norma hukum di dalamnya terkait antara yang satu dengan yang lainnya), all inclusive (kumpulan norma hukum cukup mampu menampung
33
permasalah hukum yang ada sehingga tidak ada kekosongan hukum) dan systematic (disamping bertautan antara satu dengan yang lainnya, norma-norma hukum juga tersusun secara hirarkis) 41. Metode yang dipergunakan adalah metode interprestasi, sesuai pendapat F.C.Von Savigny yang dipakai oleh Peter Mahmud Marzuki dalam bukunya Penelitian Hukum42 menyatakan bahwa “betapapun jelasnya Maklumat/Perintah, namun tidak mungkin menolak adanya interprestasi karena adanya kekurangan”. Dalam penelitian hukum normatif dikenal berbagai jenis interprestasi, diantaranya interprestasi berdasarkan kata undang-undang, interprestasi berdasarkan kehendak pembentuk undang-undang, interprestasi
sistematis,
interprestasi
historis,
interprestasi teleologis, interprestasi antisipatoris, dan interprestasi modern.43 Penafsiran yang digunakan dalam penelitian ini adalah penafsiran gramatikal atau berdasarkan kata undang-undang. Interprestasi menurut kata-kata dalam undang-undang ditarik dari makna kata-kata yang tertuang dalam undangundang, akan tetapi jika tidak ditemukan makna dalam undang-undang, karena tidak semua undang-undang mengandung kata yang jelas, maka dilakukan interprestasi sistematis. Interprestasi sistematis dengan melihat kepada hubungan di antara aturan dalam suatu undang-undang yang saling bergantung.44 Landasan pemikiran
41
Johnny Ibrahim, 2012, Teori & Metodelogi Penelitian Hukum Normatif. Bayu Media Publishing, Malang, hal.303. 42 Peter Mahmud Marzuki, 2011, Penelitian Hukum, Kencana Prenada Media Group, Jakarta, hal.11. 43 Ibid, hal.107. 44 Ibid.
34
interprestasi sistematis adalah undang-undang merupakan satu kesatuan dan tidak satupun ketentuan di dalam undang-undang merupakan aturan yang berdiri sendiri. b. Pendekatan konsep. Pendekatan konsep beranjak dari pendapat ahli (doktrin) yang terkait dengan penulisan. Konsep hukum yang dipakai dalam penulisan konsep persetujuan timbal balik menurut pendapat para sarjana dan konsep hukum keadaan yang dipakai sebagai syarat penundaan pemenuhan kewjiban berdasarkan Pasal 1266 KUHPer. 1.6.3. Sumber bahan hukum. Penelitian ini merupakan penelitian hukum normatif yang merupakan pengkajian terhadap bahan-bahan hukum, baik bahan hukum primer maupun sekunder.45 Jenis bahan hukum yang dipergunakan dalam penelitian ini ada dua yakni bahan hukum primer dan sekunder. Bahan hukum primer berupa aturan perundang-undangan yakni Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek) diundangkan pada lembar negara atau Staatsblad No. 23 tahun 1847 dan dinyatakan berlaku pada tanggal 1 Mei 1848. Bahan hukum sekunder adalah buku-buku, artikel, hasil penelitian yang ada kaitan dengan bahan yang diteliti. Bahan hukum tersier berupa dokumen penunjang seperti Kamus Besar Bahasa Indonesia dan Kamus Hukum
45
Bahder Johan Nasution., 2008, Metode Penelitian Ilmu Hukum, Mandar Maju, Bandung, hal.97.
35
1.6.4. Teknik pengumpulan bahan hukum. Bahan hukum diperoleh dengan metode kepustakaan dengan teknik bola salju (snow ball theory)46 dimana dalam suatu literatur/bahan bacaan menemukan sumber lainnya yang terkait, dan dari sumber lainnya ini ditemukan pula sumber yang terkait. Bahan hukum yang telah didapatkan kemudian ditulis, untuk selanjutnya diiventarisasi dan diidentifikasi dalam menganalisis permasalahan yang berhubungan dengan penelitian ini. Bahan yang didapat dikumpulkan dan disistematisasikan berdasarkan rumusan masalah yang dibahas. 1.6.5. Teknik analisa bahan hukum. Dalam penelitian ini, bahan hukum dianalisis dengan teknik deskripsi, teknik evaluasi dan teknik argumentasi. Teknik deskripsi dilakukan berdasarkan atas inventarisasi bahan hukum tersebut, diklasifikasikan dan disistemasikan, kemudian dilakukan analisa dengan mendeskripsikan
atau menguraikan apa
adanya mengenai kekaburan norma yang termuat dalam Pasal 1266 KUHPer dengan bahan hukum yang ada, sehingga dapat diberikan argumentasi untuk mendapat kesimpulan atas pokok permasalahan yang ada yang akan diteliti dalam penulisan tesis ini. Teknik evaluasi dengan memberikan penilaian berupa tepat atau tidak tepat, setuju atau tidak setuju, benar atau salah, sah atau tidak sah terhadap norma dalam Pasal 1266 KUHPer. Teknik argumentasi didasarkan atas penalaran hukum, yang didapat dari penilaian yang telah dilakukan.
46
Ibid.
36