BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Mahasiswa sebagai bagian dari masyarakat Indonesia dan khususnya
sebagai generasi penerus bangsa tidak luput dari aktifitas yang tinggi. Oleh sebab itu, mahasiswa diharapkan memiliki perilaku hidup sehat. Apabila mahasiswa tidak memperhatikan kesehatannya, maka mahasiswa sangat rentan terhadap penyakit. Proses pendidikan akan ikut terganggu dan pencapaian mahasiswa sebagai sumber daya manusia yang berkualitas tidak berjalan lancar. Aktifitas yang padat serta kehidupan sosial pada mahasiswa ini sangat mempengaruhi perilaku hidup sehatnya, khususnya pada pola makannya sehari-hari. Makan merupakan kebutuhan bagi mahluk hidup demi kelangsungan hidupnya. Keberlangsungan hidup ini bukan hanya mengandung nilai materil, tetapi juga intelektual, spiritual dan sosial demi membangun kehidupan peradaban yang lebih baik. Idealnya makanan yang dikonsumsi harus bebas penyakit. Namun kenyataannya,muncul berbagai penyakit yang menyerang manusia lantaran makan. Terkait dengan jenis makanan yang dikonsumsi, maupun pola dan cara makan (Hidayah, 2011). Pola makan adalah kebiasaan makan seseorang setiap harinya (Khasanah, 2012). Menurut Hudha (2006) pola makan adalah cara atau perilaku yang ditempuh seseorang atau sekelompok orang dalam memilih, menggunakan bahan makanan dalam konsumsi pangan setiap hari yang meliputi frekuensi makan, jenis makanan, porsi makan yang berdasarkan faktor-faktor sosial, budaya dimana
Universitas Sumatera Utara
mereka hidup. Berdasarkan pengertian tersebut dapat disimpulkan bahwa pola makan adalah cara atau kebiasaan yang dilakukan seseorang atau sekelompok orang dalam kondisi sehat maupun sakit dalam hal mengkonsumsi makanan yang dilakukan secara berulang-ulang pada waktu tertentu dalam jangka waktu yang lama. Resiko akibat penyakit yang timbul karena pola makan yang salah atau tidak sehat belakangan ini cenderung meningkat terutama pada usia empat puluh tahun. Penyakit akibat pola makan yang salah tersebut diantaranya diabetes melitus, hiperkolesterolemia, penyakit kanker, penyakit arteri koroner, sirrhosis, osteoporosis, dan beberapa penyakit kardiovaskuler. Bahkan dilaporkan bahwa kematian dini dari penyakit-penyakit di atas 50% diantaranya karena pola makan yang salah (Hartaty, 2012). Sebagian mahasiswa mengalami berbagai penyakit yang diakibatkan oleh pola makan yang salah, diantaranya adalah mengalami gangguan saluran pencernaan, seperti dispepsia. Menurut Djojoningrat(2014) dispepsia merupakan istilah yang umum dipakai untuk suatu sindroma atau kumpulan gejala/keluhan berupa nyeri atau rasa tidak nyaman pada ulu hati, mual, kembung, muntah, sendawa, rasa cepat kenyang, dan perut merasa penuh/begah. Keluhan tersebut dapat secara bergantian dirasakan pasien atau bervariasi. Penyebab timbulnya dispepsia diantaranya adalah faktor pola makan/diet dan lingkungan, sekresi cairan asam lambung, fungsi motorik lambung, persepsi viseral lambung, psikologi, dan infeksi Helicobacter pylori (Ganong, 2008). Berdasarkan penelitian tentang gejala gastrointestinal, jeda antara jadwal makan yang lama dan ketidakteraturan makan berkaitan dengan gejala dispepsia (Reshetnikov, 2007).
Universitas Sumatera Utara
Konsumsi Makanan yang berisiko atau makanan yang terbukti ada pengaruhnya terhadap dispepsia yaitu makanan pedas, makanan asam, makanan bergaram tinggi. Frekuensi makan makanan berisiko berhubungan signifikan dengan kejadian dispepsia. Semakin sering mengkonsumsi makanan tersebut semakin berisiko terkena dispepsia (Anggita, 2012). Penderita dispepsia dapat terjadi pada berbagai rentang umur, jenis kelamin, etnik/suku, kondisi sosio-ekonomi. Hasil berbagai survei belum dapat menunjukkan prevalensi umur pasti untuk dispepsia fungsional. Dalam beberapa penelitian di Asia, dispepsia fungsional lebih sering dijumpai pada kelompok umur yang lebih muda, di Jepang prevalensinya 13% dan 8% untuk kelompok umur dibawah dan diatas 50 tahun, di Cina prevalensi terbanyak pada kisaran umur 41-50 tahun, dan di Mumbai, India terbanyak pada umur >40 tahun. Di Indonesia, prevalensi terbanyak pada umur ≤40 tahun yaitu 85%, penelitian lain mendapatkan prevalensi terbanyak pada kisaran umur 26-35 tahun sebanyak 50% (Kumar, dkk) dalam (Muya, dkk, 2011). Berdasarkan jenis kelamin, kebanyakan studi populasi telah mampu memperoleh rasio relatif antara laki-laki berbanding perempuan dan mayoritas dari mereka telah menunjukkan tidak ada perbedaan dalam prevalensi dispepsia antara jenis kelamin. Beberapa studi dalam populasi yang berbeda telah mencatat dominansi konsisten terletak pada perempuan dengan dispepsia. Jenis kelamin perempuan ditemukan menjadi satu-satunya faktor risiko independen untuk dispepsia fungsional antara 2.018 orang Taiwan yang menjadi peserta pemeriksaan kesehatan (Mahadeva dan Goh, 2006).
Universitas Sumatera Utara
Dispepsia adalah suatu kondisi yang sangat umum dengan prevalensi tinggi di seluruh dunia yang dapat mempengaruhi kualitas hidup pasien. Patofisiologi dispepsia telah diselidiki selama dua dekade terakhir (Brun, 2010). Dispepsia mempengaruhi sampai 40 persen orang dewasa setiap tahun dan sering didiagnosis sebagai dispepsia fungsional. Gejala berupa kepenuhan setelah makan, cepat kenyang, atau nyeri epigastrium atau terbakar tanpa adanya penyebab struktural. Gejala-gejala ini dapat berdampingan dengan gejala gangguan pencernaan fungsional, seperti gastroesophageal reflux dan irritable bowel syndrome, serta kecemasan dan depresi (Loyd dan McClellan, 2011). Prevalensi dispepsia sendiri secara global bervariasi antara 7-45% tergantung pada definisi yang digunakan dan lokasi geografis. Prevalensi dispepsia di Amerika Serikat sebesar 23-25,8%, di India 30,4%, New Zealand 34,2%, Hongkong 18,4%, dan Inggris 38-41%. Sekitar 4% penderita berkunjung ke dokter umumnya mempunyai keluhan dispepsia. Di daerah pasifik, dispepsia juga merupakan keluhan yang banyak dijumpai, prevalensinya sekitar 10 -20 % (WHO, 2007). Tahun 2006 dalamProfil kesehatan dispepsia menempati urutan ke 15 dari daftar 50 penyakit dengan pasien rawat inap terbanyak di Indonesia dengan proporsi 1,3 % dan menempati urutan ke 35 dari 50 penyakit penyebab kematian. Sementara pada Tahun 2010 Profil kesehatan menyatakan bahwa dispepsia menempati urutan ke 5 dari 10 besar penyakit dengan pasien yang dirawat inap dan urutan ke 6 untuk pasien yang dirawat jalan.
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan data tersebut ternyata pasien yang mengalami sindrom dispepsia cukup tinggi di Indonesia. Menurut Maulidiyah (2006) dalam Minggu (2014) kejadian gastritis dengan gejala dispepsia yang tertinggi terdapat di kota Medan.Penderita saluran pencernaan (Dyspepsia) dan Diabetes Mellitus masih menjadi penyakit terbesar di dua Rumah Sakit besar di Sumatera Utara, di Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) dr Pirngadi Medan jumlah pasien rawat jalan, diabetes di tahun 2012 ada sebanyak 11.662 dan tahun 2013 meningkat menjadi 12.277, untuk pasien rawat jalan tahun 2012 dispepsia ada sebanyak 991 pasien dan 28 diantaranya meninggal dunia dan pada tahun 2013, ada sebanyak 806 dan 7 diantaranya keluar dengan keadaan meninggal dunia (Perangin-angin,2014). Sementara di Rumah Sakit Umum H.Adam Malik Tahun 2014, Gangguan pencernaan termasuk salah satu dari sepuluh besar diagnosa terbanyak di Instalasi gawat darurat (Saragih, 2015) Kebiasaan makan erat kaitannya dengan sekresi asam lambung dan penyakit gastrointestinal. Kebiasaan makan yang teratur sangat penting bagi sekresi asam lambung karena kondisi tersebut memudahkan lambung mengenali waktu makan sehingga produksi asam lambung terkontrol (Annisa, 2009). Peningkatan sekresi asam lambung yang melampaui batas akan mengiritasi mukosa lambung dan menimbulkan
gatritis
hingga
tukak
peptik
dengan
gejala
dispepsia.
Ketidakteraturan pola makan sangat dipengaruhi oleh aktivitas dan kegiatan yang padat. Jika ketidakteraturan makan berlangsung sangat lama, produksi asam lambung akan berlebihan sehingga mengiritasi dinding mukosa pada lambung yang akhirnya menyebabkan rasa perih dan mual (Robert, 2000)
Universitas Sumatera Utara
Remaja adalah salah satu kelompok yang berisiko untuk terkena sindrom dispepsia (Djojoningrat, 2014). Menurut Monks (2000), remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke masa dewasa yang memiliki usia antara 12-21 tahun termasuk mahasiswa. Kegiatan mahasiswa dalam mengerjakan berbagai macam tugas kuliah sangat menyita waktu. Kesibukan dari mahasiswa akan hal tersebut akan berdampak pada waktu atau jam makan sehingga walaupun sudah sampai pada saatnya waktu makan, mahasiswa sering menunda dan bahkan lupa untuk makan (Arisman, 2008). Mahasiswa memiliki aktivitas dan jadwal pekuliahan yang sangat padat, Perubahan kehidupan sosial dan kesibukkan mahasiswa tersebut termasuk kegiatan organisasi akan mempengaruhi pola makan mahasiswa terutama perubahan selera yang jauh dari konsep seimbang yang berdampak terhadap kesehatan yaitu munculnya gejala dispepsia(Baliwati, 2004). Berdasarkan penelitian yang dilakukan Susanti (2011) pada mahasiswa IPB pola makan merupakan salah satu faktor yang berperan dalam terjadinya gastritis dan tukak peptik dengan gejala khas dispepsia.Gastritis atau dispepsia merupakan penyakit yang sangat mengganggu aktifitas dan bila tidak ditangani secara baik dapat juga berakibat fatal. Biasanya penyakit ini terjadi pada orang-orang yang memiliki pola makan tidak teratur dan memakan makanan yang merangsang produksi asam lambung. Gejala-gejalanya selain nyeri di daerah ulu hati adalah mual, muntah, lemas, kembung, terasa sesak, nafsu makan berkurang, wajah pucat, suhu badan naik, keluar keringat dingin, pusing, dan selalu bersendawa, dan pada kondisi yang lebih parah, bisa muntah darah (Wijoyo, 2009).
Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan hasil studi pendahuluan dengan melakukan wawancara pada mahasiswa FKM USU, Pada 10 orang mahasiswa didapatkan 7 orang mahasiswa pernah merasakan sindrom dispepsia seperti mual, muntah, nyeri ulu hati, perut kembung dalam satu bulan terakhir, dan 3 orang tidak pernah merasakan hal tersebut. Sementara itu terdapat delapan dari sepuluh orang yang memiliki pola makan yang kurang teratur, seperti telat makan, dan makan kurang dari tiga kali sehari. Angka ini terbilang cukup tinggi melihat bahwa Fakultas Kesehatan Masyarakat merupakan pendidikan di bidang kesehatan, sehingga pengetahuan tentang
penyakit
seharusnya
sudah
dimiliki
dan
pencegahan
maupun
penanggulangannya dapat dilakukan dengan baik. Oleh karena itu Peneliti tertarik untuk meneliti apakah ada hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa FKM Universitas Sumatera Utara Tahun 2015. 1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan penjelasan dalam latar belakang di atas, dapat dirumuskan
pertanyaan penelitian sebagai berikut: Adakah hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Tahun 2015. 1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui hubungan pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Tahun 2015.
Universitas Sumatera Utara
1.3.2 Tujuan Khusus 1.
Untuk mengetahui kejadian sindrom dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Tahun 2015.
2.
Untuk mengetahui hubungan jadwal makan dengan sindroma dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Tahu 2015.
3.
Untuk mengetahui hubungan jenis makanan dan minuman bersifat iritatif yang sering dikonsumsi dengan sindroma dispepsia pada mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU Tahun 2015.
1.4
Hipotesis Ada hubungan antara pola makan dengan kejadian sindrom dispepsia pada
mahasiswa Fakultas Kesehatan Masyarakat USU tahun 2015. 1.5
Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat menjadi bahan masukan kepada pihak
Fakultas Kesehatan Masyarakat Universitas Sumatera Utara untuk dijadikan sebagai sumber informasi bagi mahasiswa tentang pola makan dan kejadian sindrom dispepsia.
Universitas Sumatera Utara