BAB I PENDAHULUAN
1. Latar Belakang Masalah Pada masa prasejarah manusia masih mengenal berburu dan meramu guna memenuhi kebutuhan untuk tubuh mereka sendiri, sebab pada saat itu manusia masih memanfaatkan alam sekitar guna mencukupi kebutuhan makannya. Manusia masih hidup berpindah– pindah (Nomaden) dari satu tempat ke lain tempat yang menurut mereka memiliki persediaan makanan yang cukup. Seiring dengan perkembangan peradaban manusia, manusia mulai berevolusi yang semula hanya berburu dan meramu berubah menjadi bertani. Kegiatan bertani atau berladang tidak lagi bersifat sementara melainkan bersifat menetap. Dengan berkembangnya kegiatan pertanian kemudian diikuti pula perkembangan kegiatan industri. Manusia mulai menemukan berbagai cara untuk mengolah makanan yang sederhana. Pada mulanya hanya berupa satu jenis makanan, kini menjadi berbagai jenis makanan yang dapat diolah dari hasil pertanian tersebut. Perkembangan industri produk pengolahan makanan saat ini menjadikan makanan bukan lagi menjadi sebuah kebutuhan saja guna bertahan hidup, melainkan fungsi dari makanan kini beraneka ragam mulai dari sebagai kebutuhan pokok, juga terdapat unsur psikologis, kesehatan, pengetahuan, kepercayaan, dan keyakinan dalam menentukan makanannya.
1 Universitas Sumatera Utara
Selain itu ada faktor pendukung yang bias menentukan jenis makanan yang dapat dikonsumsi oleh manusia atau kelompoknya, yaitu dari segi penghasilan, pendidikan, lingkungan hidup, agama, pengetahuan tentang kesehatan, pengetahuan gizi, dan distribusi pangan sehingga menyebabkan makanan itu dipandang bukan hanya dari segi konsumsinya saja. Sedangkan dalam ilmu pengetahuan, saat ini menusia menilai bahwa makanan itu dipandang bukan hanya dari segi konsumsinya saja tetapi juga dari segi penyajian dan kandungan gizi yang terkandung di dalamnya. Tidak semuajenis makanan dapat dikonsumsi setiap orang, karena tidak semua jenis makanan tersebut memiliki gizi yang cukup untuk dapat memenuhi kebutuhan gizinya. Dalam konteks budaya, manusia memiliki batasan–batasan dalam memilih makanan yang dapat dikonsumsi, sebab adanya faktor budaya yang dapat mempengaruhi pola pikir masyarakat. Manusia dapat memilih jenis makanan yang boleh dikonsumsi dan mana yang tidak boleh dikonsumsi. Bahan dasar jenis makanan itu tidak semuanya baik untuk tubuh manusia, bahkan ada yang sangat berbahaya dan dapat menyebabkan kematian. Dengan adanya pengaruh
larangan–larangan dari budaya
masyarakat untuk mengkonsumsi makanan guna memenuhi kebutuhan protein, maka sangat penting peranan pengetahuan untuk menilai makanan yang akan dikonsumsi. Apabila manusia tidak mengetahui manfaat
2 Universitas Sumatera Utara
makanan bagi dirinya dan tidak mempunyai pengetahuan mengenai kandungan gizi dalam makanan, maka makanan tersebut belum dapat dikatakan memenuhi kebutuhan gizi yang seimbang untuk memenuhi kebutuhan tubuhnya. Makanan yang dikonsumsi selain untuk memenuhi kebutuhan tubuh akan gizi juga ada manfaat lain yang memberi manfaat kepada tubuh. Jenis makanan yang dikonsumsi sebaiknya harus mengandung berbagai unsur zat yang dibutuhkan tubuh, pola makan juga harus teratur agar bermanfaat bagi tubuh. Jenis makanan yang dikonsumsi harus mempunyai kandungan gizi yang seimbang agar terhindar dari pengaruh gizi buruk dan mengantisifasi timbulnya penyakit di dalam tubuh manusia. Sejalan dengan perkembangan zaman dan kemajuan industri pengolahan pangan, banyak jenis makanan yang diolah dan dikembangkan menggunakan teknologi modern, adanya zat–zat pengawet dan bahan kimia berbahaya menyebabkan masa kadaluarsa makanan tersebut lebih lama, akibatnya dapat menyebabkan timbulnya penyakit di dalam tubuh manusia. Beberapa pemahaman tentang makanan dan gizi dalam kurun waktu yang panjang seperti (Cloud-Levisstraus 1965, Pelto dan Jeremie 1978), dalam studi ini dapat memberikan gambaran mengenai pentingnya peranan makanan, pola konsumsi, pengetahuan, dan nilai gizi yang berkaitan dengan kebutuhan tubuh dan kebudayaan manusia.
3 Universitas Sumatera Utara
Dalam kajian Strukturalisme Straus 1965, juga membahas mengenai makanan dimana dalam kajiannya ini membagi makanan menjadi dua yakni, makanan mentah dan makanan yang sudah diolah. Dalam kajian ini lahirlah sebuah pemahaman dalam makanan yaitu ―Culinery Triagke‖. Sedangkan dari Foster dan Anderson 1978, mengatakan bahwa makanan memiliki hubungan yang erat dengan sosial yang terjadi di lingkungan masyarakat dan menjadi sarana komunikasi antara kelompok satu dengan kelompok lain, sehingga makanan bukan hanya berfungsi sekedar dikonsumsi saja melainkan dapat menjadi sarana komunikasi bagi masyarakat begitu pula hubungan sosial yang terjadi dalam kehidupan makan. Pengetahuan gizi yang dimiliki oleh masyarakat menjadi kajian antropologi yang meliputi proses pengumpulan makanan, pengetahuan tentang nutrisi, dan kepercayaan yang mereka anut dalam menilai makanan tersebut. Pada masyarakat Mandailing khususnya di kota Medan kegiatan mengkonsumsi Pakkat sudah lama berlangsung. Pakkat merupakan makanan tradisional yang
berasal dari masyarakat Tapanuli Selatan,
Padang Sidimpuan, Padang Lawas, Padang Lawas Utara, dan Mandailing Natal. Jenis makanan Pakkat dibawa dari daerah asalnya dan banyak dikonsumsi masyarakat khususnya yang berasal dari daerah Tapanuli bagian selatan. Penelitian ini memilih fokus mengenai pengetahuan masyarakat Mandailing mengenai Pakkat sertakandungan
gizi yang
terkandung dalamnya.
4 Universitas Sumatera Utara
Pada umumnya Pakkat banyak dijual pada bulan Ramadhan (bulan Puasa). Pedagang Pakkat baik yang mentah maupun yang dibakar banyak bermunculan menjajakannya di pinggir jalan guna dijual kepada konsumen. Karena banyaknya permintaan akan Pakkat pada saat bulan Ramadhan, hampir di setiap daerah yang banyak dijumpai penjual makanan Pakkat seperti Jalan Sisingamangaraja, Jalan Letda Sujono, Jalan Denai, dan Jalan A. H. Nasution. Pada umumnya daerah tersebut penduduknya banyak berasal dari daerah Mandailing. Makanan Pakkat ini merupakan makanan untuk berbuka puasa. Disamping sebagai makanan untuk berbuka puasa, dengan mengkonsumsi Pakkat diyakini bahwa Pakkat memiliki khasiat bagi tubuh, selain untuk menambah nafsu makanan juga menjaga kesehatan tubuh. Selain itu makanan Pakkat tergolong jarang sekali ditemukan pada bulan lain kecuali pada bulan Ramadhan. Para pedagang Pakkat mulai buka pada siang hari sampai sore menjelang Magrib dan masyarakat banyak membeli Pakkat pada sore hari sambil pulang ke rumah sehabis kerja.
Selain bulan Ramadhan, jenis makanan Pakkat ini masih dapat
dijumpai walaupun tidak sebanyak pada saat bulan Ramadhan. Di kota Medan ada dua Rumah Makan yang menyajikan makanan Pakkat, yaitu Rumah Makan Rangkuti di Jalan Mandala By Pass dan Rumah Makan Padang Lawas di Jalan Sei Batugingging simpang Jalan Sei Selayang. 1.2 Tinjauan Pustaka
5 Universitas Sumatera Utara
Guna mendukung penelitian ini sejalan dengan konteks antropologi, terdapat pemikiran tata cara mengenai Etnofood, pengetahuan masyarakat, dan nilai gizi yang masyarakat Mandailing ketahui.dalam perilaku makan yang selama ini mereka lakukan. 1.2.1 Etnofood Etnofood adalah sebuah kajian etnografi yang membahas mengenai makanan dimana kajian ini membahas mengenai kuliner dimulai dari sejarah yang dimiliki, simbol/makna dari makanan tersebut, pengetahuan mengenai kandungan gizi yang dimiliki dan masih banyak lagi yang lainnya. Etnofood ini merupakan
suatu
cabang
di
bidang
Antropologi,
dimana
ilmu
ini
mendeskripsikan sebuah objek menjadi lebih terperinci. Berkaitan dengan kajian Etnofood adapun menurut beberapa ahli seperti Douctsh dan Miller (2009;3). Mengenai Etnofood itu sendiri ―.....states thet food studies is the interdiciplinmaryfield of study of food and culture, investigating the relationshops between food and the humas experience from a range of humanities and social science perspectives, often times to combination1...... ‗ Menurut mereka kajian mengenai makanan merupakan sebuah bentuk kajian interdisiplin yang melingkupi makanan dan kebudayaan yang mencari
1
. states thet food studies is the interdiciplinmaryfield of study of food and culture, investigating the relationshops between food and the humas experience from a range of humanities and social science perspectives, often times to combination Douctsh dan Miller (2009;3). Dalam skripsi Azhari Ichlas Siregar Belansco 2008:6, ―Food studies emerged some thirty years ago because scholarship is following wider urban middle-class culture, which, since the seventies, has become much more interested in food-related matters of taste, craft, authenticity, status and health. ―
6 Universitas Sumatera Utara
hubungan antara makanan dengan manusia dalam waktu kemanusiaan dalam persfektif ilmu sosial. Selanjutnya adapun pendapat dari Belansco 2008:6, yang mengenai pandangan makanan dan kultural sebagai berikut. ―Food studies emerged some thirty years ago because scholarship is following wider urban middle-class culture, which, since the seventies, has become much more interested in food-related matters of taste, craft, authenticity, status and health.― Belansco 2006:6 berpendapat bahwa kajian mengenai makanan telah ada sejak tiga dekade yang lalu, dan di sebabkan dengan adanya mengikuti budaya masyarakat urban kelas menengah dimana memiliki keterkaitan hubungan dengan makanan dan cita rasa, kerajinan, otentik, status, dan kesehatan. Makan merupakan salah satu kebiasaan dan menjadi sebuah rutinitas yang dikerjakan oleh manusia dimulai dari masa lalu hingga masa kini dan dari kebiasaan-kebiasaan tersebut makan dapat kita katakana sebagai budaya makan, dimana budaya makan ini memiliki perilaku yang ditimbulkan oleh manusia sendiri. Skowroriski 2007;362, mengatakan bahwa budaya makan adalah. ― food culture is a set of practices, habits, norms and techniques, applied to food and eating; it encompasses food production, distribution and consumption, it also includes foodstuffs and other material artifacts.2‖ Skowroriski 2007:362. Mengatakan bahwa budaya makanan adalah satu set praktik, kebiasaan, norma dan teknik, diterapkan untuk makanan dan makan; itu
2
Skowroriski 2007;362 dalam skripsi Azhari Ichlas Siregar PULUT KUNING ― food culture is a set of practices, habits, norms and techniques, applied to food and eating; it encompasses food production, distribution and consumption, it also includes foodstuffs and other material artifacts
7 Universitas Sumatera Utara
meliputi produksi pangan, distribusi dan konsumsi, juga termasuk bahan makanan dan bahan lain artefak . Jadi kesimpulannya adalah kajian mengenai budaya makan telah lama berkembang dan dimana kajian ini memfokuskan pada kebiasaan makan yang dilakukan oleh masyarakat zaman dulu hingga saat ini, dan melihat perilaku makan yang terjadi pada masyarakat dalam kurun rentang waktu yang lama. Budaya makan tidak dapat lepas dari kebiasaan manusia, karena sudah menjadi suatu kebiasaan sehari-hari. Bahkan dalam budaya makan manusia juga memiliki perilaku konsumsi, distribusi, serta pandangan kesehatan mengenai apa yang boleh dimakan dan apa yang tidak boleh dimakan. Dari berbagai pendapat di atas dapat menjadi landasan berfikir dalam melakukan penelitian terhadap masyarakat Mandailing di kota Medan dan sebagai pedoman dalam melakukan penelitian. 1.2.2 Pengetahuan Pengetahuan adalah suatu gejala yang diperoleh manusia melalui suatu pengamatan . pengetahuan muncul ketika manusia menggunakan akalnya untuk mengenali benda atau pun suatu kejadian tertentu yang belum pernah dilihat sebelumnya. Proses pengetahuan itu sendiri terjadi atas dasar berpikirnya manusia, dan pengetahuan itu pun, bukan hanya milik pribadi saja melainkan milik kelompok atau pun milik masyarakat luar. Karena pengetahuan dapat di bagi ataupun diwariskan kepada keluarga, kelompok, dan masyarakat. Ada pun definisi pengetahuan dan pengetahuan tradisional yakni Prof. Ir. Poejawijatna 1987 : 14. dalam buku (Tahu dan Pengetahuan) mengatakan bahwa
8 Universitas Sumatera Utara
―......,Pengetahuan
adalah
pengakuan
terhadap
sesuatu
yang
3
dapatmenghasilkan sebuah keputusan ......‖ Selanjutnya
menurut
UNESCO
dalam
The
Convention
for
the
Safeguarding Intangible Cultural Herlitage. 2003 dalam pasal 2 pada konvensi ini mengatakan bahwa ....,‖pengetahuan tradisional adalah bagian dari warisan budaya yang yang bersifat tak benda. Dan setiap pengetahuan yang telah didaftarka dengan prosedur dan mekanisme yang ada maka pengetahuan tersebut bersifat terbuka....‖ Sedangkan
menurut
(Quinn.
2000:20
dalam
buku
Pengetahuan
Tradisional.) mengatakan bahwa ......everything that belong to the distinet identity of the people and which is their to share, if they wish which other people.....,‖ Maka dapat disimpulkan bahwa, pengetahuan adalah sebuah hasil dari pemikiran manusia yang berasal dari berbagai kejadian maupun dari berbagai hasilkarya manusia yang dimiliki individu, kelompo, dan masyarakat luas karna adanya proses pewarisan dan penyebaran yang di lakukan oleh manusia. 1.2.3 Simbol Sutton (Counihan, 2004:25) memberikan keterangan mengenai makanan dan simbol yang didefinisikan sebagai berikut. ―Certain foods can become emblematic 'objects of memory', symbols of the past that are no longer regularly consumed because too difficult to prepare or no longer palatable or customary.‖4
3
Peof. Ir. Poejawijatna 1987 : 14. Dalam buku (Tahu Dan Pengetahuan) mengatakan bahwa UNESCO dalam The Convention for the safeguarding intangible ultural herlitage. 2003 dalam pasal 2 pada konvensi ini mengatakan bahwa dalam buku Pengetahuan Tradisional DR, Zinul Daulay, SH., M.H.
9 Universitas Sumatera Utara
Pendapat dari Sutton juga mendapatkan pendapat dari Mintz dan Du Bois (2002:107) yang mengatakan bahwa seorang etnografer mendapatkan kajian mengenai bagaimana manusia menghubungkan makanan yang di konsumsi sebagai bentuk kepercayaan. Selanjutnya adapun mengenai pendapat lain dari Mintz dan Du Bois (2002:107) menuliskan : ―Ethnographers have found multiple entry points for the study of how humans connect food to rituals, symbols, and belief systems. Food is used to comment on the sacred and to reenact venerated stories. In consecrated contexts, food "binds" people to their faiths through "powerful links between food and memory". Sometimes the food itself is sacred through its association with supernatural beings and processes.‖ Selain dalam bentuk ingatan makanan juga sebagai bentuk simbol kesehatan dan mental. Sebagaimana di tunjukkan oleh bentuk pola konsumsi makanan tersebut. Counihan (2004:32) mengatakan hal tersebut ―Older Florentines did not think exclusively or primarily about the body as an aesthetic object but as a symbol of inner states—of mental and physical health. They derived this belief out of a past where hunger and infectious disease were chronic and where a thin body represented vulnerability.‖ 5
4
―Certain foods can become emblematic 'objects of memory', symbols of the past that are no longer regularly consumed because too difficult to prepare or no longer palatable or customary Sutton (Counihan, 2004:25) ―Ethnographers have found multiple entry points for the study of how humans connect food to rituals, symbols, and belief systems. Food is used to comment on the sacred and to reenact venerated stories. In consecrated contexts, food "binds" people to their faiths through "powerful links between food and memory". Sometimes the food itself is sacred through its association with supernatural beings and processes.‖ Mintz dan Du Bois (2002:107) 5 ―Older Florentines did not think exclusively or primarily about the body as an aesthetic object but as a symbol of inner states—of mental and physical health. They derived this belief out of a past where hunger and infectious disease were chronic and where a thin body represented vulnerability.‖ Counihan (2004:32)
10 Universitas Sumatera Utara
Adapun pendapat lain mengenai simbol ini Wilk (1999) juga menyatakan pendapatnya mengenai simbol dalam penyajian makanan, dimana simbol penyajian makanan merupakan bentuk lain dari ekspresi identitas suatu kehidupan masyarakat, Wilk (1999:244) mengungkapkan hal tersebut sebagai ―It is an anthropological truism that food is both substance and symbol, providing physical nourishment and a key mode of communication that carries many kinds of meaning (Counihan and Van Esterik 1997). Many studies have demonstrated that food is a particularlypotent symbol of personal and group identity, forming one of the foundations of both individuality and a sense of common membership in a larger, bounded group. What is much less well understood is how such a stable pillar of identity can also be so fluid and changeable, how the seemingly insur-mountable boundaries between each group's unique dietary practices and habits can be maintained, while diets, recipes, and cuisines are in a constant state of flux (Warde 1997:57-77).‖ 6 Maka simbol dari makanan sebagai bentuk kepercayaan masyarakat serta kebutuhan manusia akan kesehatan serta makanan juga berfungsi sebagai identitas dari satu kelompok, suku, atau bangsa yang meliputi fisik, emosi, sosial, dan spiritual. 1.2.4 Masyarakat Mandailing Masyarakat Mandailing dalam penelitian ini adalah masyarakat yang memiliki dan menggunakan nilai budaya Mandailingnya dalam kehidupan keseharian mereka, terutama berkaitan dengan pengetahuan kesehatan dari 6
―It is an anthropological truism that food is both substance and symbol, providing physical nourishment and a key mode of communication that carries many kinds of meaning (Counihan and Van Esterik 1997). Many studies have demonstrated that food is a particularly potent symbol of personal and group identity, forming one of the foundations of both individuality and a sense of common membership in a larger, bounded group. What is much less well understood is how such a stable pillar of identity can also be so fluid and changeable, how the seemingly insur-mountable boundaries between each group's unique dietary practices and habits can be maintained, while diets, recipes, and cuisines are in a constant state of flux (Warde 1997:57-77).‖ 6
11 Universitas Sumatera Utara
memakan Pakkat muda tersebut. Penjelasan mengenai masyarakat Mandailing ini berkaitan dengan identitas masyarakat yang menjadi pendukung kebudayaan Mandailing baik secara umum maupun khusus. Menurut beberapa literature, mengenai suku Mandailing, mengatakan bahwa suku ini tergolong ke dalam kelompok suku Batak yang ada di Sumatera Utara. Akibat dampak dari pembagian-pembagian wilayah yang menyebabkan terjadinya
pengelompokan-pengelompokan
itu
terjadi.
Faktor
yang
menyebabkan terjadinya pembagian wilayah-wilayah tersebut dikarenakan adanya penjajahan yang dilakukan oleh bangsa Belanda pada saat itu, yang berdampak besar sampai pada saat ini sehingga masyarakat kini hanya tau bahwa masyarakat Mandailing adalah masyarakat yang berasal dari suku bangsa Batak. Menurut cerita masyarakat mengenai kelahiran suku bangsa Batak, terlebih lagi batak Toba mengatakan bahwa nenek moyang mereka adalah sama yaitu si raja Batak. Namun menurut masyarakat Mandailing menyatakan bahwa kelompok mereka bukanlah ―Batak‖ seperti yang banyak orang ketahui, sejak lama masyarakat Mandailing tidak mau disebut sebagai orang Batak. Bahkan mereka sampai mengumpulkan banyak bukti yang menunjukkan bahwa mereka bukanlah orang Batak. Beberapa bukti data dari hasil penelitian mengenai asal usu Mandailing dapat memperkuat kepercayaan tersebut dan melahirkan pernyataan baru bahwa yang mengatakan masyarakat Batak saat ini dulunya lahir dari suku Mandailing, dan yang menjadikan bukti bahwa orang Batak adalah (1) Tonggo-tonggo Siboru Deak Parujar dari orang Toba, (2) Mpu Negarakertagama Syair ke 13 dari Mpu Prapanca, (3) Adat Da lihan Na Tolu,
12 Universitas Sumatera Utara
(4) Bahasa dan Aksara Mandailing, (5) Perkataan Gordang. Terlepas dari itu benar atau tidaknya tetapi Mandailing sudah dikenal sejak abad ke-13. Selain itu suku bangsa Mandailing sendiri memiliki beberapa kelompok marga, margamarga tersebut adalah Lubis, Nasution, Harahap, Hutasuhut, Batubara, Matondang, Rangkuti, Parinduri, Pulungan, dan Daulay. Asal usul marga yang menempati tanah Mandailing dimulai pada abad ke9, Sedangkan dalam pelaksanaan adat dan hukum adat di Mandailing, berhubungan dengan sistem adat Dalihan Na Tolu, hal ini mengandung arti bahwa masyarakat Mandailing menganut sistem sosial budaya yang tergabung dalam satu tatanan struktur yang terdiri atas keluarga, mora, dan anak boru. Ketiga kelompok ini memilik kedudukan dan fungsi tertentu sedangkan dalam sistem hukum adat Mandailing seseorang dapat dikelompokkan ke dalam kelompok ini berdasarkan situasi, kondisi, dan tempat. Setiap orang secara pribadi dapat memiliki tiga kategori tersebut, dalam kehidupan masyarakat Mandailing ada tiga kategori itu yakni Kahanggi, Anak Boru, dan Mora. 7
Fungsi dari Dalihan Na Tolu sangat berkaitan erat dengan Horja yakni
pekerjan dalam kegiatan masyarakat, sedangkan pembagaian dari horja itu sendiri ada tiga yaitu (1) upacara kegembiraan, (2) upacara kematian, dan (3) upacara pernikahan. Sedangkan dalam kegiatan musyawarah terbagi menjadi empat tinggkat yakni (1) musyawarah antara suami istri, (2) musyawarah antara satu keturunan, (3) musayawarah dengan kahanggi, anak boru, mora, mamoranatoras, dan raja pamusuk, dan (4) musyawarah yang dihadiri di tahi sahuta di tambah lagi raja panusunan. 7
Pemukiman Suku Batak Mandailing 2004:23 Gadjah Mada University Press Oleh Cut Nuraini
13 Universitas Sumatera Utara
Sedangkan dalam sistem pemerintahan sebelum adanya penjajahan Belanda pada saat itu Tapanuli Selatan terdiri atas beberapa wilayah yaitu satu kesatuan dari hukum adat, pemerintahan territorial dan geologis, antara satu wilayah dengan wilayah lainnya memiliki kedudukan yang sejajar. Pengertian raja bagi masyarakat Mandailing bukanlah orang feodal, tetapi adalah seorang yang dianggap paling tua karena dianggap sebagai pendiri kampung, raja merupakan separuh yang didahulukan dan ditinggikan oleh masyarakatnya, raja juga tidak memerintah secara otokrat, tetapi secara demokrat sesuai denga hasil mufakat yang dilakukan secara bersama sama, Bagi mereka raja sebagi pemegang tampuk adat dengan satu wilayah oleh sebab itu raja tersebut dikalangan masyarakat Mandailing yakni Raja Panusunan. Selain sebagai penguasa, raja juga berfungsi sebagai pengayom rakyatnya, adil, dan pengasih. Semua raja yang ada di Mandailing berasal dari satu keturunan yaitu marga Lubis di Mandailing Julu dan Nasution di Mandailing Godang, yang masing masing memerintah penuh atas wilayahnya sendiri. Sedangkan dari sistem kepercayaan orang Mandailing memiliki sejarahnya, sebelum agama Islam masuk dan menjadi agama yang mayoritas dianut oleh masyarakat Mandailing, masyarakat percaya bahwa alam terbagi atas tiga bagian yaitu (1) dunia atas, (2) dunia manusia, dan (3) dunia bawah. Tiga dunia yang dipercaya ini dapat dilihat dalam kehidupan masyarakat baik dilihat dari bentuk rumah maupun lingkungan. Sedangkan dari letak geografis ada dua lokasi yang yang memiliki udara yang sejuk serta dikelilingi oleh dua sungai yang mengalir menuju Singkuang
14 Universitas Sumatera Utara
yakni sungai Batang Gadis dan sungai Pungkut. Selain itu di Mandailing Julu memiliki persawahan yang tak begitu banyak seperti di Mandailing godang tetapi kebanyakan masyarakat Mandailing banyak yang memiliki sistim mata pencaharian bertani, berladang, dan berdagang. Oleh sebab itu masyarakat Mandailing ada sebagian yang memiliki lahan sendiri untuk digarap dan hasilnya dapat dijual sebagian dari pendapatannya sendiri. 1. 3. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang di atas, studi pengetahuan gizi yang diangkat dalam penelitian ini akan lebih jelas dengan adanya perumusan masalah ini, yang bertujuan guna mendapatkan fokus dari kajian dan sebagai pembatas agar kajian tidak terlalu luas. Dalam fokus kajiannya, permasalahan yang dapat dirumuskan dalam kajian ini adalah sebagai berikut. .1. Bagaimana cara penyajian Pakkat (kuliner) ini pada masyarakat Mandailing di kota Medan .2. Adakah manfaat yang diketahui masyarakat dalam mengkonsumsi pucuk rotan muda ini dalam segi kesehatan .3. Mengapa Pakkat ini dikonsumsi di bulan Ramadhan. 1.4 Tujuan dan Manfaat Penelitian Tujuan dan manfaat penelitian ini agar dapat menjadi patokan atau tolok ukur dalam kegiatan penelitian yang dilakukan dan agar dapat sejalan dengan pemikiran awal di dalam penelitian ini. Adapun tujuan dan manfaat dari penelitian ini adalah: 1 4.1. Tujuan Penelitian
15 Universitas Sumatera Utara
Dari penelitian yang berbentuk etnografi, secara sederhana penelitian dapat memenuhi tujuan untuk mendeskripsikan secara penuh dan menyeluruh
tentang rotan muda bagi masyarakat
Mandailing di kota Medan. 1.4.2. Manfaat Penelitian Manfaan yan diharapkan pada penelitian ini dalam bidang akademis adalah untuk menambah ilmu pengetahuan Antropologi. Penelitian ini juga bermanfaat untuk mengetahuai manfaat gizi yang ada di dalam rotan muda tersebut sebagai makanan tradisional (Etnofood) dan serta pengetahuan masyarakat dalam mengkonsumsi rotan tersebut 1. 5. Lokasi Penelitian Penelitian ini dilakukan pada masyarakat Mandailing di kota Medan yang berawal dari Jl. Letda Sujono, dimana setiap bulan Ramadhan banyak pedagang musiman yang berdagang Pakkat di sepanjang jalan Letda Sujono tersebut. Para pedagang Pakkat ini merupakan pedagang musiman yang hanya ada pada saat bulan Ramadhan.
Masyarakat konsumen Pakkat
menyajikannya sebagai kebutuhan dibulan Ramadhan. Banyak aktivitas yang terjadi pada setiap harinya, mulai dari pembakaran, pengupasan, beragam konsumen, dan
aneka bumbu
pendukung untuk makanan Pakkat ini. Melihat aktivitas para pedagang Pakkat di kota Medan, maka membuat penulis tertarik untuk meneliti.
16 Universitas Sumatera Utara
Penulis mengambil lokasi penelitian tentang makanan Pakkat di kota Medan antara lain di Jalan Letda Sujono, Jalan. Sisingamangaraja, dan Jalan Denai. Selain penelitian terhadap para pedagang Pakkat, penulis juga mengadakan observasi terhadap masyarakat yang berasal dari Mandailing yang tinggal di kota Medan. Pedagang Pakkat dan masyarakat Mandailing menjadi focks kajian dalam penelitian ini. 1.6. Metode Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian lapangan yang merupakan penelitian yang bersifat deskriptif, menggunakan secara rinci mengenai Pakkat pada masyarakat Mandailing di kota Medan. Selain melihat Pakkat sebagai makanan tradisional masyarakat Mandailing, juga melihat bagai mana pengetahuan mereka mengenai gizi yang terdapat pada Pakkat tersebut, maka konsep ini sejalan dengan konsep dari Goodenough (1970:101) ―Ketika berbicara tentang menguraikan suatu budaya, kemudian merumuskan satu standar yang akan dihadapkan pada test kritis ini adalah tujuan dari menguraikan suatu budaya. Ada banyak hal lain, juga yang terkait dengan hal tersebut, maka kita sebagai antropolog ingin mengetahui dan berusaha untuk menguraikan budaya tersebut. Kita sering masuk ke berbagai hal lain dari perihal budaya, hal ini merupakan konsekwensi dari menguraikan suatu budaya.‖
Penelitian ini adalah penelitian yang menggunakan metode kualitatif
lebih
tepatnya
menggunakan
pendekatan fenomenologis.
17 Universitas Sumatera Utara
Berdasarkan pada kenyataan lapangan. Teknik dalam mengumpulkan data yang akan digunakan oleh peneliti adalah: 1.6.1. Observasi Dalam penelitian ini penulis mendatangi lokai penelitian, melihat aktivitas yang terjadi di lapangan serta mengamati berbagai kegiatan yang selama ini dikerjakan baik informan maupun para pembeli ataupun masyarakat setempat. Selain itu penulis juga mengamati bagaimana bentuk dari Pakkat tersebut, bagaimana cara mengolahnya, apa saja peralatan yang digunakan dalam membakar Pakkat. Semua dilakukan dalam observasi yang dilakukan penulis guna mendapatkan data lapangan yang akurat.
1.6.2. Wawancara Dalam penelitian ini penulis juga melakukan teknik wawancara, diman penulis mewawancarai para pedagang dan masyarakat Mandailing, guna mendapatkan informasi yang jelas guna menambah data informasi dalam penelitia yang dilakukan oleh penulis. 1.6.3. Dokumentasi Dalam penelitian ini penulis mendokumentasikan berbagai kegiatan yang dilakukan oleh informan, bahkan penulis juga mendolumentasikan Pakkat, alat yang digunakan dalam membakar Pakkat, alat apa saja yang digunakan dalam memotong Pakkat, kemudian kegiatan membakar Pakkat, dan memotong Pakkat selama di lapangan didapati oleh penulis sendiri, disamping itu penulis juga mendkumentasikan hasil wawancara dalam bentuk rekaman yang diperoleh dari iniforman.
18 Universitas Sumatera Utara