BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Masalah Peribahasa Jawa menjadi bagian penting terkait dengan pembinaan budi pekerti luhur, karena peribahasa itu mengandung ajaran moral atau budi pekerti yang seharusnya dilakukan dan tidak dilakukan oleh manusia. Mieder mengungkapkan bahwa peribahasa itu berujud kalimat pendek dan pada umumnya dikenal oleh masyarakat penuturnya yang berisi kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan tradisional yang metaforis, mempunyai bentuk tetap dan diturunkan dari generasi ke generasi (2004: 3). Dengan begitu jelaslah bahwa isi yang terkandung di dalam peribahasa itu diungkapkan dengan bahasa. Adapun bahasa itu merupakan salah satu unsur kebudayaan yang dapat mencirikan sifat-sifat khas suku bangsa (Koentjaraningrat, 1983: 206 dan 1984: 107-111). Oleh karena itulah, bahasa Jawa yang digunakan sebagai alat komunikasi seharihari bagi orang Jawa hingga saat ini, juga dapat mencirikan sifat-sifat khas suku Jawa. Perlu diketahui bahwa bahasa Jawa hingga saat ini digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari oleh orang Jawa di berbagai daerah di Indonesia bahkan sampai di luar Indonesia, misalnya di Suriname. Di Negara Republik Indonesia bahasa Jawa berkedudukan sebagai bahasa daerah dan berfungsi sebagai bahasa kedua (Halim (ed), 1984: 67-
1
2
88). Artinya bahasa Jawa bukan lagi menjadi bahasa pengantar di dalam seluruh aktifitas kehidupan yang ada di masyarakat Jawa (Poedjosoedarmo dkk, 1982: 1). Sungguhpun demikian, bahasa Jawa sampai saat ini merupakan salah satu bahasa daerah di Indonesia yang mempunyai jumlah penutur terbanyak (Pusat Pembinaan dan Pengembangan Bahasa: 1983: 1). Sebagian besar penutur bahasa Jawa itu tinggal di pulau Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (Alwi: 1996: 4). Bahasa Jawa yang berada di sepanjang Jawa Tengah (termasuk Daerah Istimewa Yogyakarta) dan Jawa Timur mempunyai keanekaragaman bahasa yang menunjukkan keanekaragaman budaya regional. Demikian juga bahasa Jawa yang tersebar di luar wilayah itu,
menunjukkan subvariasi dari kebudayaan Jawa yang berbeda-beda
(Koentjaraningrat, 1994: 25-29). Sebagai salah satu bahasa daerah terbesar dan menyebar ke seluruh daerah di Indonesia, tentunya bahasa Jawa menyimpan banyak aspek yang patut dan layak untuk diteliti. Salah satu aspek itu ialah peribahasa. Bahasa
merupakan
alat
komunikasi
yang
sangat
penting
(Poedjodoedarmo, 2001: 30). Dalam kehidupan sehari-hari orang Jawa menggunakan bahasanya sebagai alat untuk mengemukakan gagasan. Gagasan itu muncul dalam pembicaraan sehari-hari mereka. Dalam pembicaraannya itu, orang Jawa senang mengkait-kaitkan setiap kejadian
3
dan peristiwa disekelilingnya dengan menggunakan peribahasa yang mengandung moral atau budipekerti. Pada umumnya orang Jawa senang menggunakan peribahasa yang diambil dari karya-karya para pengarang Jawa tentang moral. Seringkali mereka menggunakan peribahasa terkenal dalam komunikasi mereka. Namun demikian mereka kadangkala tidak seluruhnya memahami arti sesungguhnya peribahasa yang mereka gunakan. Mereka kadang hanya meniru orang lain yang menggunakannya (Koentjaraningrat, 1994: 428-435). Untuk memahami peribahasa itu diperlukan pemahaman konteks yang mendalam. Yang dimaksud konteks di sini ialah menyangkut konteks tuturan, budaya, waktu, dan tempat. Selain itu, nilai rasa bahasa juga berperan penting untuk mendukung pemahaman peribahasa. Dikatakan demikian karena nilai rasa bahasa yang muncul dalam peribahasa itu sesungguhnya akan mencerminkan keberadaan bahasa pada masa lalu dan masa kini. Konsep masa lalu dan masa kini tersebut sesungguhnya dapat dipilahkan. Menurut Supadjar konsep masa lalu itu antara lain bersifat mapan atau statis, dan umun atau filosofis, sedangkan konsep masa kini itu kebalikannya yakni berubah-ubah atau dinamis dan khusus atau profesional (Soedarsono (ed), 1985: 190). Peribahasa Jawa yang sebagian besar katakatanya menggunakan kata-kata kuna dan kata-kata itu sudah jarang
4
digunakan sebagai alat komunikasi sehari-hari pada masa kini, misalnya: (1) Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti. (L) Keberanian, kekuatan, dan kekuasaan duniawi akan hancur oleh keluhuran budi. Peribahasa (1) tersebut mempunyai makna bahwa ‘keberanian, kekuatan, dan kekuasaan duniawi yang tidak terkendali dan tidak digunakan sebagimana mestinya akan hancur atau dapat terkalahkan oleh keluhuran budi.’ Adapun peribahasa yang menggunakan kata-kata sehari-hari yang biasa digunakan untuk komunikasi pada masa kini itu, ialah: (2) Arep mati eling bancakan. (L) Akan mati ingat kendurian. Peribahasa (2) tersebut mempunyai makna tentang ‘seseorang yang masih mengingat harta bendanya pada saat menjelang ajal tiba. Orang yang demikian itu termasuk orang yang nistha (tidak baik).’ Jika diamati lebih mendalam sesungguhnya peribahasa Jawa yang hingga sekarang masih digunakan itu, sebagian besar kata-katanya diambil atau berasal dari bahasa yang digunakan sebagai alat komunikasi pada masa lalu sesuai dengan kontek pada masa itu. Oleh karenanya, jika peribahasa itu digunakan pada masa kini akan terasa kuna atau arkais dan mengandung nilai rasa indah. Hal ini, dikarenakan bentuk bahasa yang digunakan dalam peribahasa itu sudah mapan dan tidak lagi dapat diganti atau diubah dengan
5
bentuk bahasa yang lain. Selain itu, kata-kata yang digunakannya pun tergolong kuna atau arkais dan sudah jarang digunakan sebagai alat komunikasi pada masa kini. Makna peribahasa yang bentuk katanya menggunakan kata-kata kuna atau arkhais biasanya sulit dipahami oleh generasi muda saat ini. Demikian juga sebaliknya, jika kata-kata yang digunakan dalam peribahasa itu merupakan kata-kata sehari-hari dan biasa digunakan sebagai alat komunikasi pada masa kini, nilai rasa yang terkandung di dalamnya tergolong netral atau tidak mempunyai nilai rasa khusus dan mudah dipahami. Bahkan dapat dikatakan pula bahwa penutur bahasa Jawa yang menggunakan peribahasa Jawa masa kini pada umumnya kurang menyadari dan bahkan merasa tidak mempunyai peribahasa sebagaimana yang muncul pada masa lalu itu. Sesungguhnya bahasa itu dinamis seiring dengan perkembangan masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, disadari ataupun tidak peribahasa pun secara dinamis juga berkembang. Perkembangan peribahasa itu juga dapat mencerminkan keadaan atau pola pikir masyarakat penuturnya. Peribahasa Jawa yang ada saat ini biasanya diambil dari karya-karya pengarang terkenal atau berasal dari pembicaraan orang-orang terkenal dan bahkan sudah tidak diketahui lagi sumbernya. Peribahasa Jawa itu sesungguhnya
mengandung
makna
simbolik. Makna simbolik itu
6
mengandung nilai-nilai moral. Nilai-nilai moral itu dapat disebut juga dengan istilah budipekerti, aklak, atau etika. Sebagaimana dikatakan oleh Marsono (2007: 183) bahwa peribahasa atau ungkapan bahasa Jawa itu sesungguhnya mengandung nilai-nilai moral yang sangat tinggi. Nilai-nilai moral itu antara lain pandangan hidup religius dalam hubungannya dengan Tuhan bagi orang Jawa, yaitu hendaknya orang selalu ingat kepada Tuhan, pasrah setelah berusaha, dan jangan sewenang-wenang terhadap sesamanya. Peribahasa atau ungkapan Jawa itu, misalnya (3)
Pangeran ora sare. Tuhan tidak tidur.
Peribahasa (3) tersebut mempunyai makna bahwa ‘Tuhan itu maha mengetahui tentang segala sesuatu yang ada di dunia ini kapan pun dan di mana pun manusia berada diketahui-Nya. Oleh karena itu, manusia wajib menjalankan semua perintah-Nya dan menjauhi semua larangan-Nya.’ (4) Sangkan paraning dumadi. Asal tujuan hidup. Peribahasa (4) tersebut mempunyai makna bahwa ‘manusia itu harus mengetahui tentang asal mula hidup dan kehidupan serta tujuan akhir hidupnya.’ (5) Wong kuwi kudu pasrah. Orang itu harus berserah.
7
Peribahasa (5) tersebut mempunyai makna bahwa ‘orang hidup itu harus berserah diri kepada Tuhan, karena segala sesuatu yang terjadi di dunia ini semua atas kehendak-Nya. Sungguhpun demikian manusia wajib berusaha demi kesejahteraan dan keselamatan dirinya.’ (6) Urip kuwi mung sadrema. Hidup itu hanya sekedar. Peribahasa (6) tersebut mempunyai makna bahwa ‘hidup itu harus dijalani dengan penuh rasa ikhlas dan berserah diri kepada Tuhan.’ (7) Trima wonge ora trima Sing Nggawe Urip/Sing Momong. Terima orangnya tidak tidak terima Yang Membuat Hidup. Peribahasa (7) tersebut mempunyai makna bahwa ‘segala sesuatu yang terjadi
dalam diri seseorang sunggguhpun dirugikan, orang itu harus
menerimanya
dengan
rasa
ikhlas.
Tuhan
itu
Mahakuasa
dan
Mahamengetahui, maka diharapkan Tuhan akan memberi keadilan sebagaimana seharusnya (yang benar tetap benar dan yang salah tetap salah).’ Selain contoh peribahasa yang dikemukakan oleh Marsono tersebut, berikut ini disajikan beberapa contoh peribahasa lain yang mengandung nilai-nilai kearifan lokal Jawa. (8) Nabok nyilih tangan. (NKD1) Menampar meminjam tangan. Peribahasa (8) tersebut mempunyai makna ‘penyebutan terhadap seseorang yang berbuat kejahatan dengan cara menyuruh atau menggunakan orang
8
lain supaya perbuatannya itu tidak diketahui.’ (9) Nututi layangan pedhot. (NKD1) Mengejar layang-layang putus tali. Peribahasa (9) tersebut mempunyai makna ‘menggambarkan seseorang yang menginginkan sesuatu, tetapi sesuatu yang diharapkannya itu tidak bisa dipastikan hasilnya.’ (10) Geni guntur nila bena. (PPr.) Api yang gemuruh (suara Pembesar) bagaikan angin besar. Peribahasa (10) tersebut mempunyai makna bahwa ‘perintah pembesar itu harus dilaksanakan agar tidak terkena hukuman berat (bagaikan angin besar).’ (11) Manuk mencok dudu pencokane, rupa dudu rupane. (NKD1) Burung bertengger bukan pada tempatnya, wajah bukan wajahnya. Peribahasa (11) tersebut mempunyai makna bahwa ‘segala sesuatu yang mencurigakan atau tidak biasa terjadi itu harus diwaspadai agar tidak tertipu atau tidak terjadi mala petaka. Dapat pula dimaknai seseorang yang berada di suatu tempat atau menempati posisi yang sesungguhnya bukan tempat atau posisinya. Orang seperti ini perlu diwaspadai agar kita tidak tertipu olehnya.’ (12) Suwe banyu sinaring. (UTY) Lama air disaring. Peribahasa (12) tersebut mempunyai makna tentang ‘seseorang yang
9
mempunyai kecepatan dalam menyelesaikan pekerjaan, mensikapi, dan menanggapi sesuatu.’ (13) Anteng kitiran. (JPI) Tenang baling-baling. Peribahasa (13) tersebut mempunyai makna tentang ‘perilaku seseorang yang tampak tenang, namun sesungguhnya perilaku orang itu susah dapat diterka bahwa pergerakannya itu melebihi batas kewajaran karena pergerakannya yang sangat cepat dan tidak ada hentinya itu.’ (14) Kaya jambe sinigar. (NKD1) Bagaikan buah jambe yang di belah. Peribahasa (14) tersebut mempunyai makna ‘dua orang yang mempunyai wajah dan atau watak yang sama, sehingga sulit dibedakan.’ (15) Kaya bantheng ketaton. (NKD1) Seperti banteng yang terluka. Peribahasa (15) tersebut mempunyai makna ‘sepak terjang seseorang yang sangat menakutkan bagaikan seekor banteng yang terluka. Sebagaimana diketahui bahwa banteng yang terluka itu berperilaku buas.’ Contoh peribahasa tersebut dapat ditemukan dalam beberapa buku peribahasa Jawa (misalnya, Padmosoekotjo (1958 dan 1960), Dirdjosiswojo (1956),
Mardiwarsito
(1980),
Darmasoetjipta
(1985),
Departemen
Pendidikan dan Kebudayaan (1985-1986), Rukmana (1987), SumartiSuprayitna (1986), Triyono, dkk. (1988), Sukesi-Adiwimarta, dkk. (1990),
10
dan Suwarno (1999)). Dengan demikian, dapat dikatakan bahwa pembahasan
tentang
peribahasa
Jawa
itu
sudah
ada
yang
mengungkapkannya, namun sejauh ini pembahasaan secara menyeluruh tentang peribahaasa Jawa dalam hal bentuk bahasa, makna, dan fungsi, serta keberadaannya di kalangan masyarakat penuturnya belum ditemukan. Dalam kehidupan sehari-hari, peribahasa Jawa seperti di atas hingga saat ini masih digunakan oleh orang Jawa dalam komunikasi mereka. Namun, mereka kadang hanya meniru orang lain yang menggunakannya, sehingga beberapa di antara mereka ada pula yang tidak memahami baik bentuk bahasa, makna atau nilai-nilai yang terkandung di dalamnya, dan fungsinya. Oleh karena itulah, penelitian tentang peribahasa Jawa perlu dilakukan. Pada era globalisasi seperti saat sekarang ini peluang terjadinya konflik sangat besar. Bahkan kenyataan yang ada membuktikan bahwa konflik (sosial baik lokal ataupun nasional) sering terjadi. Hal demikian ini tentu saja akan menjadi masalah besar bagi bangsa ini jika tidak segera diselesaikan dan ditanggulangi dengan baik. Adanya krisis moral juga sangat mungkin menjadi sebab terjadinya masalah itu. Oleh karenanya, nilai-nilai kearifan lokal yang mengandung nilai moral perlu digali dan dipahami, serta dapat diaplikasikan dalam kehidupan keluarga, masyarakat, dan negara dengan baik.
11
Namun harus diakui juga bahwa untuk menyelesaikan masalah bangsa tersebut tidaklah mudah. Oleh karenanya, pengungkapan dan pemahaman nilai-nilai moral sebagaimana yang terkandung dalam peribahasa Jawa tersebut mutlak diperlukan. Harapannya ialah dengan terungkap dan dipahaminya nilai-nilai moral dalam peribahasa Jawa, kiranya dapat membantu menyelesaikan masalah yang dihadapi oleh bangsa ini. Sedemikian pentingnya peran strategi peribahasa Jawa tersebut, maka diperlukan suatu rumusan masalah serta tujuan penelitian dalam rangka memperoleh kesimpulan yang tepat. B. Rumusan Masalah Atas dasar uraian sebagaimana yang telah dipaparkan di dalam latar belakang tersebut, maka diperlukan suatu masalah yang harus dijawab di dalam penelitian ini. Masalah utama penelitian ini ialah belum ada pemahaman yang baik dan kajian yang menyeluruh tentang berbagai bentuk bahasa, nilai-nilai moral, konteks, dan fungsi peribahasa Jawa oleh masyarakat penuturnya. Oleh karena itu, berikut ini dipaparkan 4 rumusan masalah yang akan dijawab di dalam penelitian ini. 1. Bagaimanakah bentuk kebahasaan peribahasa Jawa itu? 2. Pola pikir masyarakat Jawa apa sajakah yang terkandung di dalam peribahasa Jawa itu?
12
3. Faktor-faktor konteks tutur apa sajakah yang mempengaruhi makna peribahasa Jawa itu? 4. Apa sajakah fungsi peribahasa Jawa itu? C. Tujuan Penelitian Tujuan utama penelitian ini adalah mengkaji berbagai bentuk peribahasa Jawa dan nilai-nilai yang terkandung di dalamnya. Tujuan utama itu akan diwujudkan melalui berbagai tujuan khusus yang hendak dicapai. Tujuan khusus itu sebagai berikut. 1. Mengklasifikasikan
peribahasa
berdasarkan
atas
jenisnya,
acuannya, satuan gramatikalnya, dan letak makna kiasnya. 2. Mengungkapkan berbagai pola pikir masyarakat Jawa yang terkandung di dalam nilai-nilai peribahasanya. 3. Mengungkapkan
berbagai
macam
konteks
tutur
yang
mempengaruhi makna peribahasa Jawa. 4. Mengungkapkan berbagai fungsi peribahasa Jawa di kalangan penuturnya saat ini. D. Lingkup Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian yang mengungkapkan tentang nilai-nilai moral dalam peribahasa Jawa. Adapun nilai-nilai moral peribahasa yang juga merupakan salah satu wujud nilai kearifan lokal Jawa
13
itu merupakan suatu kristalisasi hasil pemikiran orang Jawa. Adapun hasil pemikiran orang Jawa yang berwujud peribahasa itu merupakan salah satu unsur kebudayaan Jawa yang dapat mencerminkan pola pikir masyarakat Jawa. Atas dasar uraian tersebut secara singkat dapat dikatakan bahwa penelitian ini merupakan penelitian dalam ranah penelitian bahasa yang mengkhususkan pada pengungkapan nilai-nilai yang terkandung di dalam peribahasa yang mencerminkan kebudayaan Jawa. Adapun hal-hal yang akan dibahas di dalam penelitian ini ialah tentang hal ikhwal berbagai (1) klasifikasi peribahasa Jawa, (2) pola pikir masyarakat Jawa yang terkandung di dalam peribahasanya, (3) macam konteks tutur yang mempengaruhi makna peribahasa Jawa, dan (4) fungsi peribahasa Jawa di kalangan penuturnya saat ini. Keempat hal tersebut, perlu dibahas karena ada beberapa hal yang ingin dicapai. Pertama, pengklasifikasian peribahasa Jawa. Pengklasifikasian itu dilakukan dengan cara mendeskripsikan peribahasa yang didasarkan
atas
klasifikasi
berdasarkan
atas
jenisnya,
klasifikasi
berdasarkan atas acuannya, klasifikasi berdasarkan atas satuan gramatiknya, dan klasifikasi berdasarkan atas letak makna kiasnya. Hasil klasifikasi itu dapat menunjukkan berbagi macam peribahasa yang antara lain meliputi jenis peribahasa, jenis acuannya, jenis satuan gramatikalnya, dan jenis makna kiasnya.
14
Kedua, memperoleh berbagai macam pola pikir masyarakat Jawa yang terkandung di dalam peribahasanya. Pola pikir masyarakat Jawa ini perlu dikaji karena untuk mengetahui berbagai macam makna yang tersirat di dalam peribahasa Jawa. Berbagai makna itu perlu dikelompokkan. Pengelompokan makna ini dapat menunjukkan berbagai tema yang ada di dalamnya. Tema-tema itu bergayutan dengan masalah norma masyarakat. Ketiga, memperoleh berbagai macam konteks yang mempengaruhi makna peribahasa Jawa. Masalah konteks tutur ini perlu diketahui pengaruh-pengaruhnya terhadap bentuk ujaran yang dianalisis. Demikian juga untuk menganalisis peribahasa masalah konteks tutur ini perlu diungkapkan, karena diperlukan untuk mengetahui berbagai makna dan fungsi peribahasa itu. Dapat diasumsikan di sini bahwa makna dan fungsi peribahasa itu dapat diketahui dengan baik jika konteks tutur dapat diketahui dengan baik pula. Analisis peribahasa dalam konteks ini utamanya konteks tutur yang dapat mempengaruhi makna peribahasa. Keempat, mendapatkan berbagai fungsi peribahasa Jawa di kalangan penuturnya saat ini. Jika berbagai tema makna sebagai mana diungkapkan pada tujuan kedua tersebut diketahui, maka identifikasi fungsi peribahasa dapat ditentukan pula. Dengan diketahuinya berbagai fungsi peribahasa Jawa itu diharapkan keberadaan peribahasa dikalangan masyarakat Jawa juga terungkap.
15
Selain hal tersebut, seiring dengan perjalanan waktu masalah peribahasa ini mengalami perubahan, baik menyangkut perubahan bentuk bahasa, makna, dan fungsinya. Perubahan peribahasa Jawa dalam penelitian ini selanjutnya disebut dengan peribahasa Jawa tidak baku atau peribahasa Jawa kreasi baru. Peribahasa Jawa tidak baku ini merupakan salah satu hal yang akan dipaparkan di dalam (bab V) penelitian ini. E. Manfaat Penelitian Bentuk kebahasaan yang digunakan di dalam peribahasa itu bervariasi dan khas. Dikatakan demikian, karena struktur dan pilihan katakata yang digunakannya tidak mengikuti aturan kaedah gramatikal yang berlaku. Dari unsur struktur sintaksis, diketahui bahwa peribahasa itu berstruktur beku (lih. Kaswanti-Purwa, 1984: 204-296). Adapun dari unsur pilihan kata, diketahui bahwa kata-kata yang digunakan di dalam peribahasa itu antara lain terdapat kata-kata yang jarang digunakan dalam komunikasi sehari-hari. Peribahasa seperti ini biasanya menyimpan bahasa lama, tergolong tua atau kuna, dan diambil dari para pujangga atau orang bijak. Adapun peribahasa yang tidak termasuk golongan ini, digolongkan sebagai peribahasa kotemporer, yaitu belum lama muncul, bahasanya lugas mudah difahami dan masih sering dijumpai dalam komunikasi sehari-hari. Atas dasar uraian tersebut, diharapkan kajian tentang peribahasa ini dapat memberikan manfaat teoretis. Harapan ini cukup beralasan karena
16
jika ciri-ciri bentuk peribahasa ini dapat terungkap maka dapat membantu pemahaman isi yang terkandung di dalamnya. Demikian pula
jika
peribahasa sebagai salah satu bentuk ujaran digunakan sebagai alat komunikasi, maka interaksi antarpenutur akan berjalan lancar terhindar dari kesalahpahaman. Dengan kata lain, pemahaman peribahasa Jawa ini dapat diketahui dengan baik jika bentuk-bentuk peribahasa itu dapat dipahami dengan baik pula. Demikian juga, pemahaman tentang faktor-faktor lain juga sangat membantunya. Faktor lain yang dimaksud di sini ialah faktor komponen tutur dan faktor ekstra lingual. Kedua faktor ini sangat membantu pemahaman tentang bentuk peribahasa sebagai salah satu bentuk ujaran dan makna yang tersirat di dalamnya. Hasil kajian tentang peribahasa Jawa ini khususnya kajian tentang fungsi jika dibandingkan dengan fungsi peribahasa bahasa lain yang digunakan oleh penutur atau komunitas bahasa lain, akan diperoleh suatu gambaran tentang keadaan budaya masyarakat atau bangsa lain yang memiliki peribahasa. Dalam konteks ini, dapat berarti bahwa secara teoretis hasil kajian ini diharapkan dapat memperkaya acuan atau khasanah penelitian khususnya penelitian bidang linguistik dan lebih khusus lagi dalam bidang, linguistik struktural, sosiolinguistik, dan etnolinguistik. Adapun manfaat praktis penelitian ini antara lain, hasil kajian bentuk, makna, dan fungsi peribahasa Jawa ini dapat digunakan sebagai
17
salah satu bahan pendidikan formal maupun nonformal. Tujuan ini masuk akal jika dikaitkan dengan keadaan saat ini. Keadaan saat ini cenderung dan bahkan dapat dikatakan bahwa masyarakat (khususnya Jawa) sudah berkurang atau bahkan hanya sedikit yang memahami peribahasa. Mereka kadang sering mengucapkan peribahasa-peribahasa Jawa dengan baik, tetapi mereka tidak tahu secara pasti makna atau nilai-nilai kearifan yang terkandung di dalamnya. Kenyataan yang ada membuktikan bahwa isi yang terkandung di dalam peribahasa itu sesungguhnya terdapat nilai-nilai yang sangat tinggi, misalnya nilai ajaran pendidikan budi pekerti baik menyangkut perintah, larangan, maupun anjuran. Selain itu, di dalam peribahasa juga terkandung isi ajaran tentang apa yang seharusnya dilakukan oleh umat manusia, yaitu bagaimana seharusnya manusia berhubungan dengan Tuhan, manusia berhubungan dengan manusia lain, manusia berhubungan dengan diri sendiri, dan manusia berhubungan dengan lingkungan alam sekitar (binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lain di sekitarnya). Hubungan antara manusia dengan Tuhan ini dapat dikatakan sebagai hubungan vertikal, sedangkan hubungan manusia dengan manusia lain, hubungan manusia dengan dirinya sendiri, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar (binatang, tumbuh-tumbuhan, dan benda-benda lain lain di sekitarnya) disebut hubungan horisontal. Hal semacam inilah
18
yang sekiranya dapat disumbangkan kepada masyarakat, khususnya para generasi muda dan para anak didik agar di kemudian hari generasi itu khususnya generasi Jawa mempunyai pemahaman yang baik tentang nilainilai yang terkandung di dalam peribahasa Jawa. Jika pemahaman peribahasa itu dapat diketahui dengan baik dan dapat diaplikasikan dalam kehidupannya, maka diharapkan ke depan akan terbentuk dan terwujud generasi yang berbudaya, yaitu generasi yang santun dalam berperilaku, dan generasi yang santun dalam berbicara. F. Tinjauan Pustaka Dari hasil penelusuran kepustakaan diketahui bahwa kajian tentang peribahasa pada umumnya merupakan bagian dari pembahasan satuan kebahasaan dan inventarisasi. Pembahasan seperti itu antara lain dijumpai dalam
buku
karya
Dirdjosiswojo
(1956),
Mardiwarsito
(1980),
Darmasoetjipta (1985), Sukesi-Adiwimarta, dkk. (1990), Rukmana (1987), dan Suwarno (1999). Lain halnya buku yang ditulis oleh Padmosoekotjo (1958 dan 1960). Dalam bukunya itu, selain mendokumentasikan berbagai macam peribahasa Jawa, Padmosoekotjo juga sudah mengklasifikasikan berbagai macam peribahasa. Akan tetapi, Padmosoekotjo juga mengakui bahwa klasifikasi berdasarkan bentuk ataupun makna peribahasa itu amatlah sukar diidentifikasikan.
19
Peneliti lain yang telah membahas peribahasa Jawa ialah SumartiSuprayitno (1986). Sumarti-Suprayitno membahas peribahasa tradisional Jawa yang terkait dengan jenis, fungsi, dan maknanya dalam masyarakat. Dalam pengklasifikasian jenis peribahasa tradisional Jawa itu, SumartiSuprayitno merujuk pendapat Keyser (dalam Dananjaya, 1984). Keyser berpendapat bahwa ungkapan atau peribahasa itu dapat diklasifikasikan berdasarkan atas benda yang digunakan sebagai perumpamaan menjadi 5 golongan, yakni: 1. Peribahasa mengenai binatang. (16) Njagakake endhoge si blorok. Mengharapkan telurnya ayam yang berwarna blorok (ayam berwarna putih, hitam, dan kadang-kadang ada merahnya). Peribahasa (16) tersebut mempunyai makna seseorang yang mengharapkan sesuatu, namun sesuatu yang diharapkan itu belum atau tidak dapat dipastikan ada atau tidak adanya. 2. Peribahasa mengenai tanam-tanaman. (17) Timun mungsuh duren. Ketimun melawan durian. Peribahasa (17) tersebut mempunyai makna bahwa orang yang lemah akan kalah jika melawan orang yang kuat.
20
3. Peribahasa mengenai manusia. (18) Giri lusi janma tan kena ingina. Gunung cacing orang tidak boleh dihina. Peribahasa tersebut mempunyai makna bahwa siapapun tidak boleh menghina orang, sungguhpun orang itu terlihat lemah. Sebab orang yang tampaknya lemah itu dimungkinkan menyimpan sesuatu yang kuat, yang pada gilirannya orang yang menghina itu akan memperoleh rasa malu atau kerugian karena perbuatannya sendiri. 4. Peribahasa mengenai anggota kerabat. (19) Ilang-ilangan endhog siji. Hilang-hilangan telur satu. Peribahasa (19) tersebut mempunyai makna orang yang sedang punya masalah dengan saudara dan orang itu sangat marah, sehingga memutuskan untuk tidak ada lagi hubungan persaudaraan dengan saudaranya itu dan hubungan persaudaraan itu tidak akan atau tidak bisa disambung lagi. 5. Peribahasa mengenai fungsi anggota tubuh. (20) Nabok nyilih tangan. Menampar dengan cara meminjam tangan orang lain. Peribahasa (20) tersebut mempunyai makna seseorang yang berbuat kejahatan dengan cara menyuruh atau menggunakan orang lain supaya perbuatannya itu tidak diketahui.
21
Sumarti-Suprayitno juga merinci fungsi peribahasa Jawa ke dalam 4 macam, yakni: 1. Mencerminkan angan-angan kolektif. (21) Sura dira jayaning rat lebur dening pangastuti. Keberanian, kekuatan, dan kekuasaan duniawi akan hancur oleh keluhuran budi. Peribahasa (21) tersebut mempunyai makna suatu semboyan untuk dapat mengalahkan keberanian, kekuatan, dan kekuasaan duniawi yang tidak terkendali dan tidak digunakan sebagimana mestinya. Diyakini bahwa hal demikian itu akan dapat dihancurkan dan dapat dikalahkan oleh keluhuran budi. 2. Sarana pendidikan. (22) Aja mung rumangsa bisa, nanging ora bisa rumongsa. Jangan hanya merasa bisa, tetapi tidak dapat merasa. Peribahasa (22) tersebut mempunyai makna bahwa jangan menjadi orang yang merasa paling benar, tetapi juga harus bisa mawas diri. 3. Alat pengesahan pranata (23) Negara mawa tata, desa mawa cara. Negara memiliki peraturan, desa memiliki adat-istiadat. Peribahasa (23) tersebut mempunyai makna bahwa ‘Setiap negara (kota) itu memiliki aturan hukum yang berbeda satu dengan lainnya. Demikian juga, setiap wilayah (desa) yang merupakan bagian dari negara (kota) itu memiliki tatacara adat-istiadat masing-masing yang perlu dihargai dan
22
dihormati. Oleh karena itu, di manapun dan kapanpun kita berada wajib menghormati dan mentaatinya.’ 4. Alat pengawas norma masyarakat. (24) Aja nggege mangsa. Jangan mempercepat waktu. Peribahasa (24) tersebut mempunyai makna bahwa di dalam usaha untuk mewujudkan dan mencapai cita-cita dan harapan itu, kita harus berusaha dan bekerja
keras, jujur, dan tekun sesuai aturan dan ketentuan yang
berlaku. Kita harus realistis tidak boleh mengkhalalkan segala cara atau mengambil jalan pintas demi tercapainya cita-cita dan harapan itu. Jika apa pun cita-cita dan harapan itu terwujud, namun dengan cara yang tidak benar, akibatnya ada banyak pihak yang dirugikan dan besar kemungkinan sesuatu harapan yang telah diraihnya itu tidak abadi.’ Dalam analisisnya Sumarti-Suprayitno juga telah menganalisis peribahasa dari unsur makna, misalnya: (25) Aja dhemen metani alaning liyan. Jangan senang mencari keburukan atau kesalahan orang lain. Peribahasa (25) tersebut mempunyai makna hendaknya kita jangan senang mencari keburukan dan kesalahan orang lain, yang sesungguhnya hal itu akan merugikan kita sendiri.
23
Peribahasa tersebut secara umum mempunyai makna bahwa manusia itu pada umumnya senang atau ada kecenderungan mencari dan atau membicarakan kekurangan dan keburukan orang lain. Hal demikian ini bermakna bahwa manusia tidak mempunyai piyandel ‘iman’ yang murni. Oleh karena itu, hal ini pun dapat dimaknai sebagai pertanda kekerdilan jiwa manusia. Demikian pula, manusia itu tidak sempurna, sebab sudah menjadi kodratnya, bahwa manusia itu di samping punya sifat-sifat yang positif, juga pasti punya kelemahan. Manusia bersifat apes ‘lemah, sial’. Lebih utama jika mau mawas diri, jujur, dan bersikap terbuka terhadap kritik yang membangun, sehingga kita setapak demi setapak dapat meningkatkan diri dalam membina watak utama. Jika kita bertekun dalam mengolah watak kita sendiri, kita tidak akan mempunyai watak untuk mencari dan membicarakan keburukan atau kesalahan orang lain. Ibarat Kuman diseberang lautan tampak, gajah di pelupuk mata tidak kelihatan ‘keburukan atau kesalahan orang lain dapat terlihat dengan jelas, akan tetapi kesalahan yang kita perbuat atau yang ada di dalam diri kita sendiri susah terlihat, bahkan kita tidak mau atau tidak bisa melihatnya’. Oleh karena itu, sudah seharusnyalah kita berlatih untuk selalu mengekang diri, keras terhadap diri sendiri, tetapi dalam pergaulan bersikap penuh pengertian, sabar, dan toleran.
24
Demikian analisis tentang peribahasa atau ungkapan tradisional Jawa yang dilakukan oleh Sumarti-Suprayitno. Dalam analisis itu, ia lebih memfokuskan pada analisis fungsi dan makna, sedangkan analisis yang mengungkapkan mengapa orang Jawa dalam berkomunikasi menggunakan peribahasa dan mengapa orang Jawa mempunyai peribahasa seperti itu belum dibahasnya. Demikian juga analisis bentuk sintaksis dan konteks penggunaan peribahasa juga belum dilakukannya. Sungguhpun demikian analisis yang dilakukan oleh Sumarti-Suprayitno ini akan menjadi acuan dalam penelitian ini tatkala penulis menganalisis makna peribahasa Jawa. Triyono, dkk (1988) telah meneliti peribahasa Jawa. Di bandingkan dengan peneliti lain, Triyono, dkk. lebih lengkap analisisnya. Peneliti telah memaparkan klasifikasi, struktur bentuk, dan makna peribahasa. Akan tetapi, peneliti belum mengungkapkan tentang konteks penggunaan peribahasa dan keberadaan peribahasa dalam masyarakat Jawa. Berbeda dengan hasil penelitian yang telah dilakukan oleh Triyono tersebut, yaitu hasil penelitian tentang ungkapan Jawa yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (1985-1986). Kajian tentang peribahasa yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut, berisi tentang diskripsi beberapa ungkapan peribahasa yang berada di Daerah Istimewa Yogyakarta. Peneliti telah memaparkan isi atau pun nilai yang tersurat maupun tersirat di dalam
25
ungkapan peribahasa Jawa. Selain itu, masalah latar belakang sejarah dan falsafah peribahasa juga telah dibahasnya. Namun data yang dianalisis belum menyeluruh, artinya data terbatas sesuai keinginan peneliti. Sungguhpun demikian, penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini merupakan penelitian yang baik jika dipandang dari sudut pemaknaan. Namun demikian penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan ini belum menganalisis tentang klasifikasi bentuk kebahasaan, konteks tutur, dan fungsi peribahasa, sedangkan penelitian “Peribahasa dalam Bahasa Jawa” ini akan menganalisis hal yang belum dianalisis oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan itu. Hal inilah yang menjadi perbedaan antara penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan dengan penelitian tentang “Peribahasa dalam Bahasa Jawa” ini. Hasil penelitian yang dilakukan baik oleh Triyono maupun Departemen Pendidikan dan Kebudayaan tersebut dapat dijadikan acuan di dalam penelitian ini. Hasil penelitian Triyono diacu dalam kontek analisis bentuk dan makna, sedangkan hasil penelitian yang dilakukan oleh Departemen Pendidikan dan Kebudayaan diacu manakala data yang ada di dalamnya diacu sebagai sumber data dan sekaligus pemaknaannya. Senada dengan penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan yaitu buku yang ditulis oleh Rukmana (1987) yang berjudul Butir-butir
26
Budaya Jawa. Di dalam buku itu telah dipaparkan tentang ungkapanungkapan Jawa yang diklasifikasikan berdasar atas maknanya. Ungkapan Jawa di dalam buku itu diklasifikasikan menjadi dua, yaitu pituduh ‘petunjuk’ dan wewaler ‘larangan’. Kedua klasifikasi yang dikelompokkan atas dasar makna itu meliputi makna Ketuhanan Yang Mahaesa, kerokhanian, kemanusiaan, kebangsaan, kekeluargaan, dan kebendaan. Seperti halnya hasil penelitian Departemen Pendidikan dan Kebudayaan, buku Rukmana ini juga belum menganalisis tentang klasifikasi bentuk kebahasaan, konteks tutur, dan fungsi peribahasa Jawa. Akan tetapi, buku ini menjadi sesuatu yang penting dalam penelitian konteks ini, karena dapat diacu sebagai sumber data sekaligus dalam hal menginterpretasikan makna peribahasa yang diacunya. Tidak jauh berbeda dengan invetarisasi peribahasa di atas, Badudu (1975) dan Pusposaputro, ed. (1987) telah menginventarisasi ungkapan atau peribahasa dalam bahasa Indonesia. Kedua buku ini di tampilkan di sini, karena keduanya diacu sebagai bahan pembanding. Kedua buku ini menampilkan ungkapan dalam bahasa Indonesia yang disajikan berdasarkan urutan abjad dari kata-kata pokok yang terdapat di dalam ungkapan itu. Jadi ungkapan yang disajikan keduanya ini berwujud kamus. Penelitian tentang peribahasa sesungguhnya tidak sekedar merupakan sebuah inventarisasi sebagaimana terpapar di dalam kedua buku ini. Akan tetapi, ada hal-hal lain
27
yang menarik sebagai mana telah ditulis di dalam (IB) rumusan masalah di atas. Dengan begitu, hasil penelitian peribahasa yang diteliti oleh Badudu dan Pusposaputro tersebut dapat dikatakan belum dapat menjawab masalah sebagaimana yang telah dirumuskan di dalam penelitian ini. Mieder (2004) dalam bukunya yang berjudul Proverbs: A Handbook telah menulis secara luas tentang peribahasa. Menurutnya, peribahasa itu ada sejak zaman klasik baik yang telah didokumentasikan maupun belum. Tidak kurang dari 20.000 karya peribahasa tentang bahasa-bahasa di dunia telah terdokumentasi, dan ada sekitar 200 karya baru setiap tahunnya. Hal ini menunjukkan bahwa peribahasa dijumpai di berbagai macam bahasa di dunia (dan tidak terkecuali bahasa Jawa). Buku karya Mieder ini antara lain telah menjelaskan pengertian peribahasa secara dalam, sehingga dapat digunakan sebagai acuan untuk mengidentifikasi peribahasa Jawa. Selain itu, Mieder juga telah menjelaskan tentang penanda-penanda peribahasa dan artinya. Demikian juga, penggunaan peribahasa dalam konteks seni, sastra, agama, periklanan, media massa, dan pendidikan bahasa juga telah dipaparkannya. Adanya peribahasa ini antara lain juga berhubungan dengan masalah-masalah sosial budaya, psikologi, sejarah dan juga cerita rakyat. Pembicaraan masalah peribahasa ini sesungguhnya tidak terlepas juga dengan masalah linguistik semiotik. Atas dasar berbagai uraian yang terpapar dalam buku Meider ini, maka pantaslah jika buku ini diacu sebagai
28
dasar untuk memahami peribahasa dan keberadaan peribahasa itu di kalangan penuturnya. Pembahasan tentang peribahasa sebagaimana telah dilakukan oleh para peneliti di atas, menunjukkan bahwa peribahasa perlu diperhatikan dan perlu dikaji dari berbagai sudut pandang. Demikian juga peribahasa Jawa perlu dikaji dari berbagai sudut pandang, utamanya sudut pandang linguistik. Beberapa peneliti yang telah membahas peribahasa Jawa tersebut, ternyata tidak satu pun yang telah membahas tentang peribahasa tidak baku (kreasi baru), tema-tema makna peribahasa yang mencerminkan pola pikir masyarakat Jawa, dan konteks tutur yang mempengaruhi makna peribahasa dalam Jawa. Memang Sumarti-Suprayitno telah menganalisis tentang fungsi dan makna ungkapan Jawa. Demikian juga halnya, Triyono juga telah menganalisis tentang klasifikasi, bentuk, dan makna peribahasa Jawa, dan juga Departemen Pendidikan dan Kebudayaan telah menganalisis tentang makna peribahasa Jawa, akan tetapi analisis tentang bentuk-bentuk linguistik yang menandai klasifikasi peribahasa itu belum lengkap sebagaimana yang dimaksud dalam penelitian ini. Data-data yang ditampilkan oleh para peneliti peribahasa Jawa tersebut, terbatas data peribahasa Jawa yang sudah mapan dan belum memperhatikan data lisan yang muncul saat ini. Data lisan yang dimaksud misalnya:
29
(26) Numpak becak ura-ura, numpak Mersi mbrebesmili. (L) Naik becak menyanyi, naik Mersi (taksi) menangis tersedusedu. Peribahasa (26) tersebut mempunyai makna bahwa kebahagiaan hidup seseorang itu tidak dapat diketahui oleh siapa pun, kebahagiaan tidak bisa diukur dengan materi, bisa saja si miskin bahagia tetapi si kaya justru sengsara. Kenyataan yang ada di masyarakat saat ini membuktikan hal itu. Banyak para pemuka masyarakat, pimpinan daerah maupun nasional yang serba kecukupan secara materi, tetapi hidupnya sengsara karena harus menjalani kehidupannya di dalam Lembaga Pemasyarakan karena terbukti melakukan korupsi, sehingga hidup mereka lebih sengsara dibandingan dengan masyarakat biasa yang hidupnya serba pas-pasan. Dengan demikian,
dapat
disimpulkan
bahwa
pembahasan
tentang
bentuk
kebahasaan, tema-tema makna, fungsi, dan eksistensi peribahasa Jawa layak untuk dijadikan objek penelitian ini. G. Landasan Teori Penelitian ini mengungkapkan tentang “Peribahasa dalam Bahasa Jawa”. Oleh karena itu, pengertian tentang peribahasa dan bahasa Jawa perlu dijelaskan. Istilah peribahasa itu di dalam bahasa Jawa digolongkan sebagai tembung entar ‘kata atau kata-kata yang bermakna kias’ (Padmosoekatjo, 1958: 50) atau dapat juga digolongakan sebagai ukara entar ‘kalimat yang bermakna kias’. Adapun yang dimaksud peribahasa itu
30
ialah kalimat atau kelompok kata yang tetap susunannya dan biasanya mengiaskan sesuatu (Poerwadarminta, 1976: 738 dan Padmosoekotjo, 1958: 46-50). Pengertian peribahasa ini juga sejalan dengan apa yang dikatakan oleh Mieder (2004: 3), yaitu suatu kalimat pendek dan pada umumnya dikenal oleh masyarakat penuturnya yang berisi kebijaksanaan, kebenaran, moral, dan pandangan tradisional yang metaforis, mempunyai bentuk tetap dan yang diturunkan dari generasi ke generasi. Di dalam peribahasa itu juga terdapat ungkapan, bidal, dan perumpamaan (Poerwadarminta, 1976: 738). Demikian juga peribahasa Jawa yang di dalamnya juga mengandung ungkapan, bidal, sanepa ‘perumpamaan’, bebasan ‘pepatah’, saloka ‘seloka’ (Hadiwidjana, 1967: 57 dan Sukesi-Adiwimarta, dkk. 1990: ix-x) mempunyai bentuk struktur beku (lih. Kaswanti-Purwa, 1984: 204-106). Apabila dilihat dari segi makna, peribahasa
itu
mempunyai
makna
simbolis.
Makna
simbolis
itu
mengandung ajaran moral atau budi pekerti yang seharusnya dilakukan oleh manusia (pituduh) dan apa yang tidak seharusnya dilakukan oleh manusia dalam kehidupannya (wewaler) (Rukmana, 1987). Budi pekerti atau kesusilaan adalah pengertian tentang nilai yang sebenarnya bagi manusia. Dengan kata lain moral atau kesusilaan adalah kesempurnaan manusia sebagai manusia. Kesusilaan adalah tuntutan kodrat manusia. Manusia mempunyai pengetahuan adanya perbuatan baik dan
31
buruk (Ahimsa-Putra, 2005). Perbuatan baik akan menghasilkan sesuatu yang baik, sedangkan perbuatan buruk akan menghasikan sesuatu yang buruk (Hardjowirogo, 1984: 25). Pengakuan manusia mengenai perbuatan baik dan buruk itu disebut kesadaran moral atau moralitas (Poedjawijatna, 1983: 130). Kriteria perbuatan budi pekerti adalah kehendak yang baik, keputusan akal yang baik dan penyesuaian dengan hakikat manusia (Fudyartanta, 1974: 18). Moral mempunyai arti ajaran tentang baik buruk perbuatan, kelakuan, akhlak, dan kewajiban. Di samping itu, moral juga berarti kesusilaan yang berhubungan dengan adat istiadat, ialah sesuatu yang ada di luar diri manusia dan memberi pengaruh ke dalam dirinya. Pengertian budi pekerti di sini masih berkaitan dengan adat istiadat masyarakat tradisional. Teori ini menjelaskan tentang penafsiran terhadap peribahasa yang dilakukan oleh penafsir dengan menyadari bahwa dirinya berada di tengah-tengah sejarah yang menyangkut baik penerimaan maupun penafsiran, dan cara penafsir untuk mengerti sebuah teks yang turut dihasilkan oleh tradisi itu. Penafsiran dapat terjadi bersamaan dengan peleburan cakrawala masa silam dan masa kini. Selain itu, penafsir memahami teks dan menerapkan teks itu dari keterkaitan waktu dan situasi (Shah, 1986: 62). Peribahasa itu mengandung berbagai nilai moral. Nilai-nilai itu antara lain tentang tuntunan, larangan, dan perintah kepada manusia dalam
32
hubungannya dengan Yang Maha Kuasa (Tuhan), antara sesama manusia, diri manusia dan dengan alam sekitar. Apabila makna simbolis diketahui, berarti tema-tema peribahasa pun dapat diidentifikasikan. Demikian juga, jika tema-tema telah diidentifikasikan, maka fungsi peribahasa juga dapat diketahui. Bentuk, makna, dan fungsi peribahasa Jawa itu sesungguhnya dapat
membantu
menunjukkan
jawaban
bagaimanakah
keberadaan
peribahasa di dalam masyarakat Jawa dan mengapa orang Jawa dalam kehidupannya berkomunikasi menggunakan bahasa kias yang berwujud peribahasa itu. Bahasa Jawa merupakan salah satu alat komunikasi yang digunakan oleh orang Jawa. Sebagian besar orang Jawa hingga saat ini bertutur dengan bahasa Jawa. Penutur bahasa Jawa itu tinggal di Pulau Jawa khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta, Jawa Tengah, Jawa Timur, dan sebagian Jawa Barat (Alwi: 1996: 4). Adapun yang dimaksud orang Jawa di dalam penelitian ini ialah orang yang bahasa ibunya bahasa Jawa. Jadi orang Jawa itu ialah penduduk asli dibagian tengah dan timur pulau Jawa (Koentjaraningrat, 1994: 4) yang berbahasa Jawa (Magnis-Suseno, 1984: 11). Bahkan orang-orang yang tinggal di luar wilayah itu, namun mereka berbahasa ibu bahasa Jawa dan hingga kini masih menggunakan, mengakui, dan memelihara bahasa Jawa juga dapat disebut sebagai orang Jawa.
33
Ada empat hal yang akan dibahas di dalam penelitian ini, yaitu membahas tentang hal ikhwal berbagai (1) bentuk kebahasaan peribahasa Jawa, (2) pola pikir masyarakat Jawa yang terkandung di dalam peribahasanya, (3) macam konteks yang mempengaruhi pemahaman peribahasa Jawa, dan (4) fungsi peribahasa Jawa di kalangan penuturnya saat ini. Untuk membahas dan mengungkapkan keempat hal itu diperlukan teori. Teori yang diacu untuk membahas peribahasa Jawa ini ialah teori struktural dan teori interpretatif. Teori struktural digunakan untuk menganalisis bentuk satuan lingual sintaksis peribahasa. Oleh karena itu, analisis satuan lingual sintaksis yang terdapat di dalam peribahasa itu menjadi pusat perhatian. Dalam bidang satuan lingual sintaksis, peribahasa terdiri atas kata atau rangkaian kata-kata yang membentuk suatu struktur sintaksis tetap. Peribahasa yang terdiri atas rangkaian kata-kata itu, di antara satuan lingual mempunyai aturan yang sangat ketat, karena di antara satuan lingual itu tidak dapat bertukar atau berubah tempat. Demikian juga di antaranya tidak dapat berganti dan juga diganti dengan satuan lingual lain sungguhpun bersinonim. Bentuk seperti ini oleh Cooper dan Ross (1975: 63) disebut dengan freezes atau oleh Kaswanti-Purwo (1984: 204) disebut sebagai struktur beku. Sungguhpun peribahasa itu berstruktur beku, namun secara sintaksis dapat dianalisis berdasarkan atas satuan gramatikalnya. Satuan gramatikal sintaksis itu
34
terdiri atas kata dan satuan-satuan yang lebih besar serta hubunganhubungan di antaranya (Kridalaksana, 1985: 7). Demikian selanjutnya, dari satuan-satuan gramatikal itu dapat diketahui unsur-unsur fungsional sintaksisnya. Unsur-unsur fungsional sintaksis itu terdiri atas S, P, O, Pel, dan K (Ramlan, 1987). Untuk memahami isi peribahasa itu diperlukan interpretasi atau penafsiran yang mendalam karena bersifat metaforis. Demikian juga peribahasa Jawa dalam penelitian ini termasuk dalam kajian ranah metafora. Oleh karena itu, makna yang terkandung di dalam peribahasa itu pun bersifat metaforis. Berdasarkan atas unsur fungsional sintaksis metafora dapat dikelompokkan menjadi metafora nominatif, metafora predikatif, dan metafora kalimatif (Wahab 1991: 72-74). Metafora kalimatif dalam penelitian ini selanjutnya diistilahkan dengan metafora sentensial, karena untuk memadukan dengan dua istilah yang lainnya. Metafora nominatif merupakan metafora yang makna kiasnya terdapat pada nomina kalimat, sedangkan komponen-komponen lain menyatakan makna langsung. Nomina bisa berposisi sebagai subjek dan objek dalam kalimat. Metafora jenis ini dibagi lagi menjadi dua macam, yaitu metafora subjektif dan metafora objektif. Metafora subjektif, juga disebut metafora nominatif. Makna kias metafora jenis ini, muncul pada subjek saja. Sebagai contoh, dalam ungkapan Timun wungkuk jaga imbuh ‘Orang yang bodoh hanya
35
sebagai pelengkap saja’. Subjek timun wungkuk ‘orang yang bodoh’ bergayutan antara timun ‘orang atau benda’ sebagai sesuatu yang abstrak dengan wungkuk ‘bodoh atau tidak bermanfaat’. Subjek ungkapan ini sebagai metafora, sedangkan komponen lainnya, yaitu jaga imbuh ‘sebagai pelengkap atau pengganti saja’ menunjukkan makna seperti apa yang tersurat dalam konteks peribahasa itu. Adapun metafora objektif, yang juga disebut sebagai metafora komplementatif, makna kias muncul pada objek saja. Contoh ungkapan berikut, yaitu Nututi layangan pedhot ‘Mengejar layang-layang putus tali’ menunjukkan bahwa layangan pedhot ‘layanglayang putus tali’ berfungsi sebagai komplemen yang bermakna kias. Makna kias ini berarti ‘mengejar atau mencari sesuatu yang kecil, tidak bermanfaat, dan sudah tidak ada. Sehingga hal demikian ini hanya menjadi suatu kesia-siaan belaka’. Yang termasuk metafora predikatif ialah makna kias terdapat pada predikat kalimat saja, sedangkan jika ada subjek dan komponen lain dalam kalimat itu menyatakan makna seperti apa yang tersurat dalam konteks peribahasa itu. Sebagai contoh, dalam ungkapan Tumindake nogog, kata nogog ‘tingkah lakunya seperti Togok (nama salah satu tokoh wayang si mulut lebar dan besar)’ merupakan predikasi yang cocok untuk orang yang bermulut seperti togog yaitu salah satu nama tokoh punokawan dalam pewayangan yang mulutnya lebar dan besar. Namun dalam konteks kalimat
36
ini, kata itu merupakan metafora yang menekankan bahwa orang yang dimaksud mempunyai sifat suka berbohong, selalu banyak bicara (si mulut besar), dan tidak mempunyai pendirian yang tetap dan tegas seperti yang divisualisasikan Togog. Adapun jenis metafora sentensial ialah makna kias terdapat pada seluruh komponen kalimat metaforis itu, baik nomina (subjek atau komplemen lainnya) ataupun predikat. Contoh ungkapan berikut ini menunjukkan jenis metafora sentensial atau kalimatif, yaitu Undhaing pawarta, sudaning kiriman ‘berita itu selalu berlebih dari kenyataan yang sebenarnya, yang bermakna berita bohong’. Senada dengan Wahab, Davidson (1978: 32) menyatakan bahwa metafora tidak membentuk makna-makna yang berbeda, karena metafora tidak berkreasi. Metafora merupakan kata-kata yang makna harfiahnya digunakan untuk membentuk pemahaman. Dengan kata lain, makna sebuah metafora ditentukan oleh makna harfiah kata-kata ataupun kalimat yang membentuknya, dan bagaimana makna itu digunakan. Dengan demikian, metafora tidak memiliki makna khusus. Metafora adalah penggunaan ungkapan harfiah untuk menyarankan, mengakrabkan, atau mengarahkan penutur terhadap pemahaman makna yang mungkin terlupa atau tidak dipentingkan.
37
Demikian juga Searle (1981: 76-103), di dalam metafora sama sekali tidak ada perubahan makna. Searle mengakui bahwa makna ungkapan metaforis berbeda dengan makna harfiah kata-kata atau kalimat penyusunnya. Namun hal itu tidak disebabkan oleh perubahan makna elemen-elemen
leksikal,
melainkan
karena
penutur
bermaksud
mengungkapkan makna yang lain melalui kata-kata atau kalimat tersebut. Dapat dikatakan secara sederhana bahwa apa yang dikatakan secara lingual oleh penutur itu sesungguhnya berbeda dari maksud yang sebenarnya. Sehubungan dengan itu, Searle mengusulkan bahwa untuk menjelaskan metafora perlu dibedakan antara makna harfiah kata-kata atau kalimat dengan makna yang disampaikan penutur yaitu makna metaforis yang diungkapkan melalui makna harfiahnya. Untuk memahami isi atau makna yang terkandung di dalam peribahasa diperlukan pemahaman makna konteks. Pemahaman makna konteks peribahasa ini termasuk dalam ranah prakmatik. Teori pragmatik yang digunakan untuk menganalisis peribahasa dalam penelitian ini ialah teori pragmatik yang dikemukakan oleh Morris (via Verschuere, 1999: 269) dan Leech (1981: 70). Di dalam teorinya itu, Morris dan Leech menyatakan bahwa bagaimanakah orang yang diajak bicara (O2 (dan kemungkinan hadirnya O3)) itu dapat menginterpretasikan orang yang berbicara (O1) langsung pada saat pertuturan terjadi.
38
Yang dimaksud konteks di dalam penelitia ini ialah konteks tutur. Ada beberapa faktor konteks tutur yang melatarbelakangi adanya sebuah tuturan. Beberapa faktor konteks tutur itu antara lain meliputi siapa yang berbicara, dengan siapa berbicara, apa yang dibicarakan, situasi yang bagaimana,
tujuan
untuk
apa,
dan
sarana
yang
digunakannya.
Poedjosoedarmo (1983) mengatakan bahwa ada beberapa hal konteks tutur yang dapat mempengaruhi bentuk dan makna ujaran. Beberapa konteks tutur itu ialah pribadi si penutur atau orang pertama (O1), warna emosi si penutur, maksud atau kehendak si penutur, asal si penutur, anggapan penutur (O1) terhadap kedudukan sosial dan relasinya dengan orang yang diajak berbicara (O2), pertimbangan kepada orang ketiga (O3), adegan tutur, pokok pembicaraan, sarana tutur, urutan bicara, lingkungan percakapan, dan norma kebahasaan. Konsep
konteks
tutur
sebagaimana
dikemukakan
oleh
Poedjosoedarmo di atas, sesungguhnya merupakan penjabaran yang lebih lengkap dari apa yang telah dikemukakan oleh Hymes. Hymes mengatakan bahwa dalam suatu peristiwa tutur itu ada beberapa komponen tutur yang harus terpenuhi. Beberapa komponen tutur itu terdiri atas Setting and scene, Participant, Ends, Act Sequences, Key, Instrumentalities, Norms of interaction and interpretation, dan Genre. Konsep-konsep tutur itu kemudian dibuat akronim dan akronim itu kemudian biasa disebut konsep
39
SPEAKING Hymes (dalam Wardhaugh, 2006: 247-249). Teori konteks tutur tersebut digunakan untuk menganalisis bab IV yang membicarakan tentang beberapa faktor konteks tutur yang mempengaruhi makna peribahasa. Selain konteks tutur tersebut, untuk memahami isi peribahasa itu diperlukan interpretasi atau penafsiran yang mendalam. Kajian interpretatif atau penafsiran di sini termasuk dalam ranah hermeneutik. Teori Hermeneutik yang digunakan dalam analisis penelitian ini ialah teori hermeneutik sebagai mana diungkapkan oleh Recceur dan Gadamer. Recceur memandang bahwa teks sebagai sesuatu yang sentral dalam memahami makna sebuah teks. Pemahaman tentang makna teks itu perlu suatu penafsiran yang mendalam. Demikian juga Gadamer yang mengatakan bahwa hermeneutik itu mengajak kita untuk memahami teks sebagai suatu fenomena budaya. Sedemikian jauh kita diajak memahami teks itu jauh lebih baik daripada penulis atau penciptanya (dalam Hoed, 2014: 95-120). Yang dimaksud teks dalam konteks penelitian ini ialah peribahasa. Hermeneutik merupakan pendekatan yang sudah lazim digunakan dalam metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks (Luxemburg, 1986: 32). Dijelaskan pula oleh Ahimsa-Putra bahwa hermeneutik itu sesungguhnya dapat menjelaskan sesuatu yang tidak jelas menjadi jelas. Oleh karena itu,
40
hermeneutik dapat melakukan interpretasi atau penafsiran dan dapat mengemukakan hipotesis tentang makna yang tersembunyi dari sebuah teks (Ahimsa-Putra, 2001: 9-19). Dengan begitu, nilai-nilai luhur yang terkandung dalam peribahasa Jawa dianalisis secara etis dan hermeneutis, dengan harapan dapat mengungkapkan petunjuk apa yang seharusnya dilakukan (petunjuk atau pituduh) dan yang tidak boleh dilakukan (larangan atau wewaler) oleh umat manusia. Dalam konteks kajian peribahasa ini yang dimaksud umat manusia itu ialah masyarakat Jawa. Yang dimaksud fungsi dalam analisis fungsi peribahasa penelitian ini ialah peranan dan penggunaan peribahasa dalam kontek komunikasi antara O1 dengan O2 ataupun O3. Sebagai mana yang diungkapkan oleh Poedjosoedarmo (1982) yang mengatakan bahwa peranan O1, O2, dan O3 selain peran-peran yang lainnya sangat penting dipertimbangkan dalam peristiwa tutur. Jika latar belakang masing-masing yang terlibat dalam pertuturan tidak dipertimbangkan dalam komunikasi mereka, maka akan berakibat komunikasi mereka terganggu dan dapat menyimpang dari apa yang diharapkan oleh O1, karena O2 merasa tidak nyaman, demikian juga O3 juga merasa tidak nyaman karena O3 merupakan bagian dari pertuturan itu. Berbagai teori tersebut dipandang cocok apabila digunakan untuk menjelaskan seluk beluk peribahasa Jawa yang masih eksis sampai saat ini.
41
H. Metode Penelitian Penelitian ini dilaksanakan dengan mengikuti langkah-langkah strategi proses penelitian yang pada umumnya ditempuh. Langkah-langkah strategi yang dimaksud meliputi penyediaan data, analisis data, dan pemaparan hasil analisis data. Dalam pelaksanaan, tersedianya data dipandang merupakan tahapan strategi pertama, analisis data merupakan tahapan strategi kedua, dan pemaparan hasil analisis merupakan tahapan strategi ketiga. Untuk itu, pelaksanaan ketiga tahapan itu ditempuh secara berurutan karena terwujudnya tahapan strategi yang ketiga tidak dapat diselesaikan tanpa adanya penyelesaian secara tuntas pada tahapan strategi kedua. Demikian juga, terwujudnya tahapan strategi kedua pun tidak dapat diselesaikan dengan baik tanpa adanya penyelesaian pada tahapan strategi pertama. Langkah-langkah atau tahapan strategi penelitian itu, sejalan dengan apa yang dikemukakan oleh Akhadiah. (1989: 17) yang mengatakan bahwa ada tiga hal yang perlu diperhatikan demi terlaksananya sebuah penelitian. Tiga hal yang dimaksud adalah bahan, cara atau jalan, dan analisis hasil penelitian. 1. Pengumpulan Data Bahan penelitian adalah semua informasi atau data yang digunakan untuk mencapai tujuan penelitian. Dalam penelitian bahasa, dikenal dua jenis bahan, yaitu bahan mentah dan bahan jadi. Bahan mentah berupa kese-
42
luruhan pemakaian bahasa yang tidak diketahui batas-batasnya akibat dari banyaknya orang yang menggunakan (dari ribuan sampai jutaan), lamanya pemakaian (di sepanjang hidup penutur-penuturnya), dan luasnya daerah serta lingkungan pemakaian (Sudaryanto, 1985: 36). Bahan jadi ialah bahan penelitian yang sudah dipilih dan dipilah dari semua bahan mentah yang ada atau diperkirakan ada untuk dijadikan bahan analisis. Bahan jadi yang dianalisis dalam penelitian ini disebut data. Adapun data itu ialah data bahasa yang berwujud peribahasa Jawa. Data peribahasa Jawa tersebut diperoleh dari dua sumber, yaitu dari sumber lisan dan sumber tulis. Data sumber lisan pun juga diperoleh dari dua sumber, yaitu bahasa yang dipakai penutur asli bahasa Jawa di sekitar tempat penulis menjalankan aktivitas dan hidup khususnya di Daerah Istimewa Yogyakarta dan dari bahasa Jawa yang penulis kuasai. Penutur asli yang dimaksud di sini ialah orang Jawa yang berbahasa ibu bahasa Jawa dan dalam aktifitas kehidupan mereka sehari-hari menggunakan bahasa Jawa. Daerah Istimewa Yogyakarta dipilih sebagai lokasi penelitian karena Yogyakarta merupakan pusat kebudayaan Jawa (Hardjowirogo, 1984: 7) dan mayoritas penduduknya berkomunikasi menggunakan bahasa Jawa. Bahasa Jawa Yogyakarta pun hidup dan berkembang hingga saat ini dan diakui sebagai bahasa Jawa dialek standar.
43
Data yang berasal dari sumber lisan tersebut diperoleh tatkala peneliti terlibat langsung dalam komunikasi atau bahkan hanya mendengar dan tidak terlibat langsung dalam komunikasi pada acara tertentu, misalnya acara siaran radio, televisi, pidato politik, kerjabakti warga masyarakat, pertemuan-pertemuan
warga
masyarakat,
dan
upacara
pernikahan.
Peribahasa yang muncul pada acara-acara seperti itulah yang dimaksud data lisan yang digunakan sebagai data dalam penelitian ini. Adapun data yang berasal dari penulis juga diperlukan mengingat penulis adalah penutur asli bahasa Jawa. Namun data itu bersifat reflektifintrospektif. Maksudnya ialah data seperti itu tidak boleh diperlakukan sebagai satu-satunya data (Kridalaksana, 1988: 25). Keberterimaan data itu dalam penggunaan yang konkret pun harus diujikan kepada penutur asli bahasa Jawa yang lain yang dianggap kompeten dalam penguasaan bahasa Jawa atau lebih tahu dan “mumpuni” mengenai seluk-beluk bahasa Jawa khususnya peribahasa. Digunakannya data sumber lisan sebagai sumber data, karena di samping data itu dapat menunjukkan sebagai data asli penutur Jawa, juga data itu dapat mencerminkan bahwa peribahasa itu masih hidup dan digunakan sebagai bagian dari alat komunikasi orang Jawa. Di samping data dari sumber lisan tersebut, data suber tertulis juga digunakan sebagai sumber data. Data dari sumber tertulis diperoleh dari
44
bahasa Jawa yang digunakan dalam berbagai media cetak. Berbagai media cetak itu antara lain naskah berbahasa Jawa, buku peribahasa Jawa, dan syair lagu Jawa yang memuat peribahasa Jawa. Naskah yang digunakan antara lain naskah Serat Tatakrama dan naskah cerita wayang purwa dengan lakon Bogadenta Gugur. Adapun buku-buku peribahasa Jawa antara lain buku karya Padmosoekotjo (1958 dan 1960), Prawirodihardjo (tt), Darmasoetjipta (1985), Departemen Pendidikan dan Kebudayaan (19851986), Rukmana (1987), Triyono, dkk (1988) dan Suwarno (1999). Demikian juga syair lagu-lagu Jawa yang digunakan sebagai sumber data antara lain Serat Wedatama Karya K.G.P.A.A. Mangkunegoro IV oleh Yayasan Mangadeg Surakarta (1979) dan Serat Wulangreh anggitan dalem Pakubuwana IV Surakarta oleh Darusuprapta (1982). Data dari sumber tertulis tersebut dimanfaatkan sebagai sumber data, mengingat data peribahasa yang ada di dalamnya ditulis atau merupakan kumpulan data dari berbagai orang yang sangat kompeten atau “mumpuni” dalam bidang bahasa Jawa umumnya dan peribahasa Jawa khususnya. Penyediaan data dilaksanakan dengan menyimak ucapan-ucapan atau bacaan-bacaan dalam sumber-sumber data yang telah ditentukan sebagaimana disebutkan di atas dengan saksama. Jika sumber data tersebut, mengandung peribahasa maka peribahasa-peribahasa itu dipilih sebagai data. Data-data yang telah diperoleh itu kemudian dicatat dalam kartu data.
45
Data yang telah dicatat kemudian diklasifikasi. Klasifikasi itu dilakukan berdasarkan kriteria bentuk dan maknanya. Kriteria bentuk digunakan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan susunan gramatikal peribahasa. Kriteria makna digunakan untuk mengklasifikasikan data berdasarkan atas isi atau makna simbolis dan nilai-nilai moral yang terkandung di dalam peribahasa itu. Hasil klasifikasi data kemudian dianalisis, sehingga diperoleh pengertian yang lebih mendalam. 2. Analisis Data Sebagaimana telah diungkapkan di atas bahwa pengklasifikasian data itu didasarkan pada bentuk dan makna. Pernyataan ini mengandung konsekuensi bahwa bentuk dan makna peribahasa Jawa harus diketahui. Dengan diketahuinya kedua hal itu, maka proses klasifikasi dapat dilakukan hingga diperoleh hasil klasifikasi data yang berwujud jenis-jenis peribahasa Jawa. Untuk memperoleh makna peribahasa Jawa dari beberapa data yang telah tersedia antara lain dilakukan dengan dua cara. Cara pertama yaitu dengan mencari makna dari buku-buku yang memuat peribahahasa Jawa. Langkah pertama ini ditempuh mengingat ada bererapa buku yang telah memuat makna peribahasa Jawa. Buku-buku yang dijadikan acuan makna ini terdiri atas kamus bahasa Jawa, kamus peribahasa Jawa, dan buku-buku kajian tentang peribahasa Jawa. Adapun buku kamus bahasa Jawa yang
46
dijadikan referensi antara lain Bausastra Jawa (Poerwadarminta, 1939 dan Prawiroatmodjo, 1980), sedangkan buku-buku lain yang di jadikan referensi ialah buku-buku kamus peribahasa Jawa dan kajian tentang peribahasa Jawa sebagai mana telah dikemukakan dalam (I F) tinjauan pustaka di atas. Kamus bahasa Jawa tersebut dijadikan sebagai salah satu sumber acuan, karena kamus itu dijadikan sumber acuan tatkala peneliti memaknai bentuk leksikal peribahasa sebagai bagian dari satuan gramatikal peribahasa. Pemaknaan dari kamus ini dianggap penting oleh peneliti mengingat makna metaforis peribahasa itu sungguhpun tidak ditentukan oleh makna unsur satuan gramatikal, namun makna unsur satuan gramatikal itu dapat membantu peneliti tatkala menentukan makna metaforis peribahasa. Makna peribahasaa itu dapat diketahui melalui pengungkapan makna harfiah unsur satuan gramatikal peribahasa. Selain dari pada itu, kamus bahasa Jawa digunakan sebagai acuan karena di dalam kamus itu juga dapat ditemukan peribahasa Jawa beserta maknanya. Jika cara pertama di atas tidak diperoleh hasil yakni makna tidak diperoleh dari buku-buku tersebut dan juga jika ada keraguan makna yang sudah diperoleh, maka untuk memperoleh makna itu ditempuh dengan cara kedua, yaitu menanyakan kepada informan dengan cara wawancara. Peneliti melakukan wawancara dengan informan yang juga kompeten atau “mumpuni” di bidang bahasa Jawa umumnya dan peribahasa Jawa
47
khususnya. Informan yang dimaksud di sini terdiri atas empat orang, yaitu (1) Prof. Soepomo Poedjosoedarmo, Ph. D., (2) Drs. Harjana Hardjawijana, S. U., (3) Drs. Kamtiyo, M. Pd., dan (4) Drs. Sukimin, M.M. Keempat informan
itu
dipilih
sebagai
informan
karena
kepakaran
dan
keprofesionalannya tentang bahasa Jawa. Oleh karena itu, keempatnya dianggap oleh peneliti dapat mewakili para ahli dan praktisi bahasa Jawa yang lainnya, yakni informan (1) dan (2) merupakan informan pakar bahasa Jawa, sedangkan informan (3) dan (4) merupakan praktisi bahasa Jawa dengan berbagai macam gelar juara dan profesi lainnya yang bergayutan dengan keterampilan berbahasa Jawa. Keempatnya dijadikan sebagai informan utama dengan tujuan berbagai masalah yang bergayutan dengan makna peribahasa Jawa dapat terjawab. Hasil pemaknaan ini kemudian dijadikan sebagai salah satu dasar untuk mengklasifikasikan data. Analisis klasifikasi ditempuh untuk memperoleh ciri-ciri bentuk dan makna pembeda antara jenis peribahasa yang satu dengan peribahasa yang lain. Untuk mengidentifikasi peribahasa Jawa itu ditempuh dengan cara mendeskripsikan beberapa ciri pembeda antara peribahasa yang satu dengan peribahasa yang lain. Ciri pembeda itu dilakukan antara lain dengan cara mengklasifikasikan peribahasa berdasarkan atas jenisnya, berdasarkan atas hal-hal yang diacunya, berdasarka atas satuan gramatikalnya, dan berdasarkan atas letak makna kiasnya.
48
Selain ciri pembeda peribahasa Jawa tersebut, ciri makna juga diharapkan dapat memunculkan pembeda antara jenis peribahasa itu. Ciri pembeda makna yang dimaksud ialah dengan cara menginterpretasikan atau menafsirkan makna peribahasa. Hasil interpretasi itu diklasifikasikan atas dasar medan makna yang sama atau hampir sama. Dengan cara analisis klasifikasi seperti di atas diharapkan jenis-jenis peribahasa Jawa dapat diketahui secara benar. Masyarakat Jawa gemar akan kehidupan yang penuh dengan perlambang, pasemon atau simbol. Simbol itu mencakup dalam kaitannya dengan bahasa, religi, dan tradisi. Peribahasa itu sangat menarik karena di dalamnya kaya simbolisme. Makna-makna simbolik dalam peribahasa itu senantiasa kontekstual dan multi interpretasi. Makna yang terkandung dalam peribahasa mendapat tempat di hati orang Jawa. Oleh karena itu makna-makna yang terkandung dalam peribahasa itu perlu diungkapkan. Adapun metode yang digunakan untuk mengungkapkan makna peribahasa
adalah
metode
hermeneutik.
Hermeneutik
merupakan
pendekatan yang sudah lazim digunakan dalam metodologi ilmu sosial untuk mengkaji teks. Yang dimaksud teks di sini adalah karya sastra yang berwujud peribahasa. Metode hermeneutik digunakan untuk memahami makna peribahasa dengan cara peneliti langsung menyatu dengan obyek penelitian, yaitu peneliti dapat memahami dan dapat merasakan makna
49
yang tersirat di dalam peribahas itu, serta dapat menggunakan peribahasa itu sebagai alat komunikasi. Metode ini memang relevan untuk memberi penafsiran terhadap peribahasa dan makna yang terkandung di dalamnya. Peribahasa yang memuat makna tentang ajaran moral yang sangat luhur itu perlu diteliti, dikaji, dan dipahami oleh masyarakat penuturnya. Jika seluk beluk peribahasa yang antara lain meliputi klasifikasi jenis dan maknanya sudah diketahui dan ditententukan dengan cara tersebut, langkah-langkah selanjutnya berturut-turut ialah menentukan pola pikir masyarakat Jawa yang terkandung di dalam peribahasanya, menentukan berbagai macam faktor konteks tutur yang mempengaruhi makna peribahasa Jawa, dan menentukan fungsi peribahasa Jawa di kalangan penuturnya saat ini. 3. Penyajian Hasil Analisis Data Hasil analisis data disajikan dengan uraian menggunakan kalimat formal bahasa Indonesia dengan mengikuti cara penulisan ilmiah. Hasil akhir disajikan dalam bentuk naskah. Untuk menjelaskan berbagai hal yang menyangkut aspek jenis, makna, konteks, dan fungsi peribahasa dideskripsikan dan dipaparkan dengan argumen dan berdasarkan pada kerangka teori yang diacu. Adapun penyajian hasil analisis penelitian ini berturut-turut disajikan dalam enam bab. Keenam bab itu masing-masing sebagai berikut. Bab I
50
paparan tentang pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, lingkup penelitian, manfaat penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, dan metode penelitian. Bab II paparan tentang dunia Jawa dan bentuk peribahasanya, yang berisi tentang masyarakat dan budaya Jawa, dan klasifikasi peribahasa Jawa. Bab III paparan tentang pola pikir masyarakat Jawa yang tercermin dalam peribahasanya, yang berisi tentang empat hal pokok, yaitu hubungan manusia dengan Tuhan, hubungan manusia dengan sesama manusia, hubungan manusia dengan diri sendiri, dan hubungan manusia dengan lingkungan alam sekitar. Bab IV paparan tentang beberapa faktor konteks tutur yang mempengaruhi pemahaman peribahasa Jawa, yang berisi tentang empat faktor yaitu faktor
relasi pembicara dengan orang yang diajak
bicara, faktor pokok pembicaraan, faktor sarana tutur, dan faktor lingkungan percakapan. Bab V paparan tentang fungsi peribahasa dalam masyarakat Jawa, yang berisi tentang fungsi peribahasa baku dan fungsi peribahasa tidak baku. Bab VI paparan tentang penutup, yang berisi dua hal yaitu tentang kesimpulan dan saran.