BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang Pemerintah gencar melakukan berbagai upaya untuk meningkatkan
penerimaan dari sektor pajak seperti halnya penentuan target penerimaan yang sangat tinggi dan selalu meningkat secara signifikan dari tahun ke tahun merupakan salah satu bukti, pajak merupakan primadona bagi sumber pendapatan negara, kebutuhan dana untuk menjalankan roda pemerintahan dan pelayanan publik, serta semakin terbatasnya alternatif sumber-sumber keuangan negara, memang menuntut Pemerintah meningkatkan penerimaan sektor pajak sehingga tak heran saat ini pajak memegang peranan sangat penting dalam struktur penerimaan negara (Miyasto,1997). Kontribusi penerimaan pajak terhadap penerimaan negara diharapkan semakin meningkat dari tahun ke tahun. Seiring dengan semakin menurunnya peranan minyak dan gas bumi terhadap penerimaan negara (Munari,2005:120). Dalam APBN setiap tahun kontribusi pajak selalu meningkat hal ini dibuktikan pada tahun 2014 peranan pajak yang dihimpun oleh Direktorat Jendral Pajak direncanakan sebesar 80 % dari APBN (Fuad Rachmany,2012). Hal itu karena, pada tahun sebelumnya 2013 penerimaan negara dari sektor pajak sebesar Rp 1.099,94 T ( 73,23%). Dana tersebut didistribusikan ke masing-masing departemen selaku penanggung jawab pemanfaatan dana itu. Dengan kata lain,
1
pajak dibayarkan kembali kepada masyarakat dalam bentuk fasilitas umum yang diberikan pemerintah (Miyasto,1997). Menurut pegawai Kementrian Keuangan yang dikutip dari situs Kementrian
Keuangan
Republik
Indonesia
(www.
kemenkeu.go.id)
menyatakan bahwa: ”…Penerimaan perpajakan pada tahun 2015 direncanakan meningkat 10 persen dibanding target dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Perubahan (APBN-P) tahun 2014 yang sebesar Rp1.246,1 triliun. Tahun depan, pemerintah memperkirakan penerimaan perpajakan akan mencapai Rp1.370,8 triliun.” Fuad Rachmany selaku Direktur Jendral Pajak mengatakan bahwa : “… untuk mencapai target penerimaan pajak tahun 2015, langkah yang ditempuh pemerintah antara lain melakukan penggalian potensi wajib pajak orang pribadi golongan pendapatan tinggi dan menengah atas, serta menggali sektor ekonomi non tradable seperti properti, jasa keuangan dan perdagangan.” Selain
itu,
Fuad
mengatakan
akan
melakukan
berbagai
upaya
ekstensifikasi untuk mencapai target penerimaan pajak, meskipun tindakan itu belum maksimal, karena terbatasnya kemampuan dan kapasitas dari Direktorat Jenderal Pajak. Dalam usaha untuk meningkatkan penerimaan pajak , antara lain fiskus melakukan ekstensifikasi dan intensifikasi penerimaan pajak. Ekstensifikasi ditempuh dengan meningkatkan jumlah Wajib Pajak yang aktif. Sedangkan intesifikasi dapat ditempuh dengan cara pemeriksaan, meningkatkan kepatuhan
2
Wajib Pajak dan pembinaan kepada Wajib Pajak, pengawasan admisintratif, penyidikan dan penagihan serta penegakan hukum. Target penerimaan pajak yang besar seharusnya tidak sulit dicapai jika kepatuhan masyarakat sebagai pembayar pajak telah tinggi. Kepatuhan pajak dapat didefinisikan sebagai suatu keadaan ketika Wajib Pajak memenuhi semua kewajiban perpajakan dan melaksanakan hak perpajakannya. Kepatuhan tersebut meliputi kepatuhan formal dan materil (Siti Kurnia,2010). Menurut Fuad Rachmany (2014) yang dikuti dalam situs www.inilah.com, “…penerimaan pajak pada tahun 2014 tidak memenuhi target, realisasi tersebut mencapai 75,73 persen dari target penerimaan pajak tahun 2014 sebesar Rp 1.072,37 triliun. Kegagalan ini dapat terjadi karena saat ini terdapat potensi 60 juta wajib pajak pribadi, namun baru 40 persennya atau sekitar 25 juta yang patuh membayar pajak. Sementara, dari lima juta unit badan usaha, baru 11 persen atau 550 ribu yang taat membayar pajak.” Dan menurut Fuad Rachmany (2014) juga menambahkan, faktor eksternal yang memepengaruhi tidak tercapainya target penerimaan pajak salah satunya adalah masalah tingkat kepatuhan di Indonesia yang masih sangat rendah. Menurut pengamat UI (2014) yang dikutip dari artikel di situs (www.wartaekonomi.com) menyatakan bahwa : “…Selama ini Ditjen Pajak (DJP) terlalu fokus pada sektor pajak penghasilan (PPh) badan usaha sebagai penyumbang penerimaan terbesar negara. Padahal, negara maju seperti Amerika Serikat mendorong pajak penghasilan (PPh) orang pribadi sebagai sumber penerimaan terbesarnya. Di Amerika PPh orang pribadi itu porsinya 47% dari total penerimaan pajak. Sedangkan, di Indonesia PPh orang pribadi hanya 0,4% dari total penerimaan pajak. Namun, sayangnya untuk menggenjot penerimaan dari pajak orang pribadi ini banyak menemui hambatan dan tantangan. Alasannya, Indonesia saat ini menganut self assessment system di mana
3
setiap individu wajib pajak diberi kepercayaan untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri pajak yang seharusnya dibayar.” Jika tingkat kepatuhan penyampaian SPT tahunan PPH orang pribadi saja masih rendah, tentunya hal tersebut berpengaruh pada penerimaan pajaknya, oleh sebab itu dibutuhkan kerja keras dan cerdas dari seluruh komponen penyelenggara pemerintahan, serta penumbuhan kesadaran masyarakat untuk membantu penyerapan pendapatan pada sektor pajak penghasilan orang pribadi. Rendahnya kewajiban membayar pajak menunjukkan bahwa masih banyak masyarakat yang belum
memahami
pentingnya
dana
pajak
untuk
pembangunan
(Ajat
Djatnika:2012). Wajib pajak di Kota Bandung tercatat 385 ribu wajib pajak tapi yang menyerahkan Surat Pemberitahuan Tahunan Pajak Penghasilan (SPT) hanya 42 persen, perusahaan wajib pajak ada 42 ribu badan usaha tapi hanya 32 persen perusahaan yang menyampaikan SPT. Tidak patuhnya wajib pajak menyerahkan SPT kemungkinan berbagai hal diantaranya karena malas, tidak patuh dan mungkin juga sosialisasi kurang tepat, Di Jabar wajib pajak sebanyak 1,6 juta yang patuh bayar pajak sebesar 46 persen diatas kepatuhan warga Kota Bandung (Ajat Djatnika:2010).
4
Tabel 1.1 Tingkat Kepatuhan Penyampaian SPT Tahunan Orang Pribadi 2009-2013 2009 KPP Cicadas 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan KPP Karees 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan KPP Cibeunying 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan KPP Majalaya 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan KPP Cimahi 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan KPP Bojonegara 1. WP terdaftar 2. SPT yang Masuk 3. Rasio Kepatuhan
2010
2011
2012
2013
53.661 32.763
59.354 35.551
62.962 40.251
79.247 43.541
97.887 50.551
61,05%
59,9%
63,9%
54,94%
51,64%
48.074 32.070
61.296 38.339
70.177 49.600
78.060 61.360
83.458 66.789
66,71%
62,54%
70,67%
78,60%
80,02%
62.987 23.789
71.664 26.471
83.222 26.933
91.424 37.391
96.358 46.451
37,77%
36,94%
32,44%
40,9%
48,21%
43.065 20.104
61.023 29.840
69.497 30.562
73.624 32.557
86.768 34.667
46,68%
48,9%
43,98%
44,23%
39,96%
121.859 75.653
136.455 78.060
140.438 59.568
149.411 69.384
158.541 76.788
62,09%
57,21%
42,42%
46,44%
48,44%
73.035 24.567
82.313 29.890
88.841 30.762
97.561 32.557
107.002 37.231
33,64%
36,32%
34,63%
33,38%
34,81%
Sumber : Seksi Bagian Umum masing-masing KPP, Data Diolah Kembali
5
Berdasarkan tabel 1.1 diatas, dapat dilihat bahwa tingkat kepatuhan wajib pajak pada enam KPP Pratama di wilayah bandung masih rendah. Meskipun di beberapa KPP terjadi peningkatan jumlah wajib pajak yang terdaftar. Namun hal tersebut tidak terlalu menunjukan peningkatan yang signifikan. Hal itu tidak menjamin bahwa dengan peningkatan jumlah wajik pajak yang terdaftar, wajib pajak tersebut akan patuh dalam penyampaian SPT tahunan. Dengan adanya fenomena tersebut tentunya hal itu merupakan fakta bahwa masih kurangnya kepatuhan Wajib Pajak dalam melaksanakan kewajiban perpajakannya yang menjadi salah satu faktor penerimaan negara tidak tercapai. Pada umunya Wajib Pajak ada kecenderungan untuk melakukan penyelewengan
dalam
pembayaran
pajak.
kecenderungan
melakukan
penyelewengan oleh Wajib Pajak dalam pemenuhan kewajiban perpajakannya lebih banyak terjadi, karena di Indonesia masih menganut self assessment. system, yang memberi wewenang kepada Wajib Pajak untuk menghitung, membayar, dan melaporkan sendiri besarnya utang pajaknya. Dalam literatur perpajakan saat ini dikenal dengan dua istilah Wajib Pajak dalam meminimalkan jumlah pajak yang terutang yaitu : penggelapan pajak (tax evasion) dan penghindaran pajak (tax avoidance). Sampai saat ini belum ada penggarisan yang tegas yang dapat memberikan indikasi dan rincian perbedaan penghindaran pajak dan penyelundupan pajak. Persoalan pajak adalah perundangundangan sehingga hanya aktivitas yang berwenang memutuskan apa yang benar sesuai apa yang dimaksudkan oleh ketentuan peraturan perundangan-undangan
6
perpajakan yang memberikan interpretasi sesuai undang-undang pajak atau petunjuk pelaksanaan. Agar self assessment system ini berjalan dengan efektif, keterbukaan dan pelaksanaan penegakan hukum merupakan hal yang paling penting. penegakan hukum itu salah satunya dapat dilakukan dengan adanya pemeriksaan pajak. Pemeriksaan pajak adalah serangkaian kegiatan untuk mencari, mengumpulkan, mengelola data dan atau keterangan lainnya untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan dan untuk tujuan lain dalam rangka melaksanakan ketentuan peraturan perundang-undangan perpajakan (Undang-Undang no 16 tahun 2000). Pemeriksaan pajak yang dilakukan secara professional oleh aparat pajak dalam kerangka SAS merupakan bentuk penegakan hukum perpajakan pemeriksaan Pajak merupakan hal pengawasan pelaksanaan system SAS yang dilakukan oleh Wajib Pajak (Siti Kurnia,2010). Adapun tujuan pemeriksaan pajak dibagi menjadi dua, pertama untuk menguji kepatuhan pemenuhan kewajiban perpajakan, kedua adalah untuk tujuan lain (Raden Agus,2011). Tanpa adanya penelitian dan pemeriksaan pajak serta adanya ketegasan dari instansi pajak, maka ketidakpatuhan Wajib Pajak tersebut dapat berkembang sedemikian rupa sehingga bisa mencapai suatu tingkat dimana system perpajakan akan menjadi lumpuh. Untuk menjaga agar Wajib Pajak tetap berada dalam koridor peraturan perpajakan, maka diantisipasi dengan melakukan pemeriksaan terhadap Wajib Pajak yang mmenuhi kriteria untuk diperiksa (Agusti dan Herawaty,2008).
7
Kriteria Wajib Pajak yang diperiksa oleh Direktorat Jenderal Pajak, antara lain: wajib pajak yang menyampaikan SPT lebih bayar, wajib pajak yang melakukan perubahan tahun buku, metode pembukuan atau lantaran ada penilaian kembali aktiva tetap, wajib pajak melakukan penggabungan usaha, peleburan usaha, pemekaran usaha, likuiditas/penutupan usaha dan pengambilalihan usaha, wajib pajak orang pribadi yang akan meninggalkan Indonesia untuk selamalamanya, terdapat hasil analisis, pengembangan atas informasi, data, laporan dan pengaduan hasil analisis risiko yang menunjukkan ketidakpatuhan wajib pajak (Raden Agus,2011). Dengan demikian, pemeriksaan pajak menjadi salah satu hal yang penting sebagai alat pengontrol, yaitu untuk mengetahui apakah peraturan perpajakan telah diterapkan sebagaimana mestinya oleh Wajib Pajak atau belum. Juga untuk meningkatkan penerimaan yang merupakan sumber penghasilan negara. Berdasarkan Latar belakang yang telah diuraikan diatas maka penulis tertarik untuk melakukan penelitian yang berjudul “Pengaruh Pemeriksaan Pajak terhadap Kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi” (Studi Kasus pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Bandung) 1.2
Identifikasi Masalah Berdasarkan latar belakang masalah diatas, penulis merumuskan masalah-
masalah penelitian sebagai berikut : 1. Bagaimana pemeriksaan pajak pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung. 8
2. Bagaimana kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung. 3. Apakah pemeriksaan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung.
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah sebagai berikut : 1. Untuk mengetahui pemeriksaan pajak di Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung. 2. Untuk mengetahui kepatuhan Wajib Pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung. 3. Untuk mengetahui apakah pemeriksaan pajak berpengaruh signifikan terhadap kepatuhan wajib pajak Orang Pribadi pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama Wilayah Bandung. 1.4
Kegunaan Penelitian Dari hasil penelitian ini, penulis mengharapkan dapat memberikan
kegunaan sebagai berikut: 1. Bagi peneliti, dapat menambah wawasan dan pemahaman mengenai pengaruh pemeriksaan pajak terhadap kepatuhan wajib pajak di KPP.
9
2. Bagi Instansi (KPP), diharapkan dapat memberikan sedikit masukan yang dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan pengambilan keputusan terutama dalam hal pemeriksaan pajak dan kepatuhan wajib pajak. 3. Bagi peneliti lain, dapat dijadikan bahan tambahan pertimbangan dan pemikiran dalam penelitian lebih lanjut dalam bidang yang sama, yaitu Pemeriksaan Pajak dan Kepatuhan Wajib Pajak. Lokasi dan Waktu Penelitian
1.5
Dalam rangka penyusunan skripsi ini penulis melakukan penelitian pada Kantor Pelayanan Pajak Pratama yang berada di wilayah Bandung. Tabel 1.2 Nama dan Alamat Kantor Pelayanan Pajak Pratama di Wilayah Bandung
No Nama KPP
Alamat
1
KPP Cibeunying
Jalan Punawarman No 21
2
KPP Karees
Jalan Ibrahim Adjie Bandung No.372
3
KPP Cicadas
Jalan Soekarno Hatta
4
KPP Bojonegara
Jalan Terusan Prof Dr. Soetami No.2
5
KPP Majalaya
Jalan Peta No.7
6
KPP Cimahi
Jalan Jend. H. Amir Machmud No. 574, Padasuka
Adapun waktu penelitian dilaksanakan pada bulan November 2014 sampai dengan selesai.
10