BAB I PENDAHULUAN
1.1. Latar Belakang Masalah Peran organisasi masyarakat sipil (OMS) dalam perubahan sosial dan kebijakan di Indonesia cenderung diidentikkan dengan urusan advokasi. Perubahan kebijakan baik di aras nasional maupun lokal banyak ditopang oleh inisiatif OMS yang oleh masyarakat luas lebih dikenal dengan sebutan lembaga swadaya masyarakat (LSM). Advokasi bahkan telah menjadi nafas yang mewarnai tiap langkah kerja maupun program yang digagas dan dikerjakan OMS. Advokasi sendiri merupakan kerja tidak pernah henti dalam upaya mempengaruhi kebijakan melalui berbagai macam pendekatan komunikasi persuasi. Advokasi juga seringkali dimaknai sebagai aksi kolektif, yang artinya advokasi dilakukan dalam suatu jaringan ataupun koalisi sebagai wujud kebersamaan dan kesamaan kepentingan dalam sebuah isu. Koalisi untuk Keterbukaan Informasi Publik (KKIP) merupakan gabungan OMS dari berbagai basis gerakan di Kalimantan Barat yang terbentuk pada tahun 2010 dengan tujuan mengawal dan mengawasi pembentukan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat (untuk selanjutnya dalam latar belakang ini disebut KI Kalbar) agar anggota KI Kalbar terpilih berkualitas, profesional dan independen. Langkah-langkah advokasi KKIP dalam mengawal pembentukan KI Kalbar terbentang dari tahun 2010 hingga tahun 2015 dan ditujukan kepada pihak-pihak yang memiliki kewenangan melakukan perubahan.
Perubahan yang dimaksud yakni kearah perbaikan implementasi Undang-undang Nomor 14 Tahun 2008 tentang Keterbukaan Informasi Publik (UU KIP). UU KIP memberi mandat kepada pemerintah provinsi dalam hal ini Gubernur dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi (DPRD) untuk melakukan rekrutmen calon anggota KI. KI Pusat sendiri telah menerbitkan pedoman pelaksanaan seleksi yang dapat digunakan sebagai panduan dalam tahapan pelaksanaan rekrutmen1. Namun kedua regulasi ini belum cukup mampu mendorong terbentuknya KI Kalbar sesuai amanat Pasal 60 UU KIP yakni dua tahun sejak diundangkan. Pembentukan KI Kalbar yang dimulai pada Juli 2010 baru berakhir pada Maret 2015 ketika calon anggota KI Kalbar dikukuhkan. Upaya advokasi KKIP dalam setiap tahapan pelaksanaan rekrutmen KI Kalbar menghadapi permasalahan yang berbeda-beda. Di tingkat tim seleksi KKIP melihat proses penjaringan calon anggota KI Kalbar belum dilakukan secara terbuka, jujur dan objektif sesuai Pasal 30 UU KIP. Kemudian pada tahapan proses rekrutmen selanjutnya permasalahan utama pembentukan KI Kalbar adalah terhentinya proses komunikasi antara Gubernur dengan DPRD karena konflik kekuasaan, terkait jumlah nama calon anggota KI Kalbar yang seharusnya direkomendasikan untuk mengikuti uji kelayakan dan kepatutan. Dan pada tahap akhir, pengukuhan calon anggota KI Kalbar terkendala mekanisme penganggaran pemerintah.
1 KI Pusat menetapkan pedoman pelaksanaan seleksi dan penetapan anggota KI Provinsi dan KI Kabupaten/Kota melalui Keputusan Ketua KI Pusat nomor 01/KEP/KIP/III/2010. Dalam pedoman tersebut ditetapkan tahapan-tahapan dalam proses pelaksanaan rekrutmen dan pembentukan tim seleksi oleh Gubernur.
2
Dengan kondisi sosial diatas, langkah yang dilakukan KKIP adalah dengan membangun komunikasi dan menyamakan persepsi diantara OMS pendukung koalisi. Tidak dapat dipungkiri bahwa OMS yang tergabung dalam koalisi memiliki beragam latar belakang program kegiatan dengan kemampuan sumber daya yang tidak sama. Oleh karenanya penyamaan visi menjadi pondasi bagi KKIP dalam melakukan kerja-kerja advokasi sehingga advokasi pembentukan KI Kalbar tetap bisa menjadi fokus bersama ditengah kegiatan-kegiatan pemberdayaan masing-masing OMS. Kerja-kerja advokasi KKIP mewujud dalam berbagai bentuk aksi. Ada bentuk aksi yang berhasil mendorong perubahan, ada juga bentuk aksi yang tidak menghasilkan perubahan. Pernyataan sikap yang ditujukan KKIP kepada tim seleksi berhasil mendorong proses rekrutmen dilakukan secara terbuka dan juga dipublikasikan kepada publik. Namun berbagai bentuk komunikasi persuasi yang ditujukan kepada Gubernur dan DPRD belum berhasil mendorong kembali bergulirnya proses pembentukan KI Kalbar. Langkah litigasi yang ditempuh KKIP dan juga diiringi publikasi melalui media cetak lokal mendapat respon dari para pengambil kebijakan. Pemerintah Provinsi melalui Kepala Biro Humas dan Protokol Sekretariat Daerah Kalimantan Barat menyatakan bahwa Gubernur sudah mengajukan sepuluh nama ke DPRD, sedangkan Komisi A DPRD Kalbar membantah menerima sepuluh nama tersebut2. Terlepas dari siapa yang
2 Lebih lanjut dalam Pontianak Post edisi Kamis 19 Juni 2014 hal 16 “Ajukan Citizen Lawsuit”, “Gubernur Sudah Ajukan Sepuluh Nama”, edisi Jumat 20 Juni 2014 hal 16 “Bantah Terima 10 Nama”.
3
benar, kegaduhan tersebut menggulirkan kembali proses pembentukan KI Provinsi Kalimantan Barat. Dan upaya advokasi KKIP pada tahapan terakhir ditujukan kepada Gubernur. Mengingat bahwa pengukuhan calon anggota KI Kalbar terkendala mekanisme pengganggaran pemerintah, maka selain menyampaikan pernyataan sikap kepada Gubernur, KKIP juga menyusun road map KI Kalbar yang sekiranya dapat digunakan sebagai panduan oleh komisioner terpilih dalam melaksanakan tugas pokok dan fungsinya. Dari uraian di atas, langkah-langkah KKIP dalam meniti jalan advokasi dapat diklasifikasikan dalam tiga fase, yakni pertama pada masa tim seleksi melakukan rekrutmen calon anggota KI, kedua pada rentang waktu terjadinya konflik kekuasaan antara Gubernur dan DPRD Provinsi, dan ketiga masa menunggu pengukuhan komisioner KI Kalbar. Dan dalam rentang waktu tersebut terlihat pasang surut upaya advokasi KKIP dalam mendorong pembentukan KI Kalbar. Dalam mendorong agenda perubahan kebijakan melalui jalan advokasi, banyak faktor dan aktor berpengaruh yang diwarnai praktikpraktik relasi kuasa. Oleh karenanya perubahan kebijakan tidak selamanya berhasil semata-mata akibat kerja advokasi OMS. Namun proses bagaimana advokasi itu dilakukan yang kemudian dikaitkan dengan hasil dari perjalanan usaha tersebut, baik yang dapat dinilai berhasil maupun dituding gagal perlu dikaji dan dimaknai secara akademis serta proporsional.
4
1.2. Rumusan Masalah Berdasarkan latar belakang diatas dapat dilihat bahwa advokasi memiliki
peranan
dalam
mendorong
pembentukan
KI
Provinsi
Kalimantan Barat. Oleh karenanya yang menjadi rumusan masalah dalam penelitian ini adalah : Bagaimana Advokasi Kebijakan Komunikasi Berbasis Jejaring yang dilakukan oleh Koalisi Keterbukaan Informasi Publik (KKIP) dalam mendorong Pembentukan Komisi Informasi Provinsi Kalimantan Barat dalam kurun waktu 2010 - 2015?
1.3. Tujuan Penelitian Pada umumnya aktivitas advokasi dipahami dalam dua konteks yakni proses dan hasil. Meniti jalan advokasi selama kurun waktu lima tahun tentu saja menjalani dinamika dalam prosesnya, oleh karenanya penelitian ini bertujuan untuk : 1.
menganalisis proses kerja KKIP sebagai jejaring OMS dari berbagai gerakan di Kalimantan Barat, dan
2.
menganalisis proses advokasi yang dilakukan oleh KKIP dikaitkan dengan hasil dari perjalanan usaha tersebut.
1.4. Manfaat Penelitian Adapun manfaat yang diharapkan dari penelitian ini adalah : 1. Manfaat Akademis Penelitian ini diharapkan dapat menambah kajian dalam ilmu komunikasi yang berkaitan dengan advokasi kebijakan komunikasi berbasis jejaring. Mulai dari tahap pemetaan sumber daya jejaring koalisi dan juga aktivitas
5
advokasi yang digunakan sehingga dapat terlihat keberhasilannya begitupula sebaliknya. 2. Manfaat Praktis Penelitian ini diharapkan dapat menjadi cermin bagi KKIP terkait advokasi yang telah mereka lakukan dan juga organisasi masyarakat sipil lain sehingga dapat digunakan sebagai referensi dalam advokasi kebijakan lainnya. Diharapkan juga penelitian ini menjadi sumber inspirasi bagi penelitian sejenis di masa yang akan datang.
1.5. Objek Penelitian Pada dasarnya objek penelitian merupakan apa yang hendak diselidiki dalam sebuah penelitian. Situasi sosial dalam sebuah objek penelitian adalah data yang akan diolah dan dianalisis untuk tujuan tertentu dan kemudian ditarik kesimpulannya. Objek penelitian ini adalah advokasi kebijakan yang meliputi proses kerja OMS dan proses advokasi yang dilakukan KKIP terkait pembentukan KI Provinsi Kalimantan Barat.
1.6. Tinjauan Pustaka Dalam tinjauan pustaka ini penulis berupaya mendeskripsikan penelitian terdahulu yang seiring dan berkaitan dengan advokasi kebijakan dalam perspektif ilmu komunikasi. Mempelajari teori dan pendekatan yang telah dipergunakan dalam penelitian terdahulu sebagai bahan referensi untuk merancang suatu desain penelitian yang sesuai terkait advokasi kebijakan komunikasi berbasis jejaring.
6
Di Universitas Gadjah Mada sendiri terdapat beberapa penelitian penelitian terkait advokasi kebijakan, namun belum ada penelitian yang mengkaji tentang advokasi kebijakan terkait implementasi UU KIP. Dari hasil penelusuran terhadap penelitian terdahulu penulis menggunakan penelitian yang dilakukan oleh Inneke Rizka Nanda dengan judul “Advokasi oleh Lembaga Studi dan Advokasi (ELSAM) periode 2009 – Februari 2010” sebagai tinjauan pustaka. Latar belakang dari penelitian ini karena adanya upaya advokasi kebijakan terkait dengan UU ITE terutama tentang pasal pencemaran nama baik sebagai tindak lanjut dari kesadaran masyarakat bahwa pasal tersebut menimbulkan banyak masalah sehingga masyarakat menuntut untuk adanya perbaikan atau revisi UU ITE. Fokus dalam penelitian ini yakni pada strategi advokasi yang dilakukan oleh Elsam. Untuk menganalisa strategi advokasi tersebut peneliti memadukan teori pemilahan strategi advokasi oleh Hermawanto (litigasi dan non litigasi) dengan klasifikasi strategi advokasi Covey (kerjasama, persuasi, edukasi, tuntutan hukum, dan perlawanan). Ketika penelitian ini dilakukan aktivitas advokasi masih terus berjalan, yang artinya evaluasi atas berhasil tidaknya advokasi dalam mencapai tujuan akhir belum bisa diketahui. Karena itulah evaluasi dalam penelitian ini baru pada tahapan evaluasi awal oleh Elsam secara internal. Hasil dari penelitian ini didapatkan bahwa Pertama, evaluasi yang dilakukan oleh Elsam masih menggantung dikarenakan belum ada keputusan pasti kapan revisi Undang – Undang ITE akan disahkan. Kedua, strategi advokasi secara litigasi Elsam mengajukan judicial review dan membuat amicus curiae. Sementara secara non-litigasi, strategi Elsam
7
dibagi lagi menjadi empat bagian, yaitu membangun aliansi atau kerjasama; strategi edukasi berupa media alternatif, diskusi publik, survey, dan FGD; strategi persuasi seperti komunikasi kasus ke publik, memantau perkembangan kasus, dan lobi kepada pemerintah dan bisnis; strategi kontestasi atau perlawanan dilakukan dengan mengeluarkan pernyataan pers. Ketiga, konsistensi Elsam terhadap perwujudan tujuan advokasi sudah sangat jelas, dimana strategi advokasi yang dilancarkan memang bertujuan untuk membuat perbaikan atas substansi kebijakan. Dalam
penelitian
yang penulis
lakukan
ini,
membangun
kerjasama ataupun aliansi telah sejak awal dijadikan pijakan melalui pembentukan koalisi dan hal ini merupakan salah satu jalan untuk memastikan keberhasilan proses advokasi. Terbentuknya KI Kalbar menandakan aktivitas advokasi KKIP telah sampai pada tujuannya sehingga disini peneliti dapat melakukan evaluasi atas proses advokasi tersebut.
1.7. Kerangka Pemikiran a. Advokasi Kebijakan Komunikasi Berangkat dari pemikiran Lasswell who says what to whom in what channel with what effect, berbicara tentang advokasi artinya membicarakan komunikasi. Pada awalnya advokasi berada diranah hukum terkait pendampingan dalam permasalahan hukum ataupun ranah politik berkaitan dengan kebijakan. Harold Lasswell sendiri juga menganggap analisis bahasa, simbol, dan gaya dalam komunikasi politik sebagai aspek essensial dari studi politik, kekuasaan, dan untuk klarifikasi nilai
8
kebijakan. Dari sini muncul pemikiran bahwa studi kebijakan, dalam hal ini advokasi, tidak dapat lepas dari komunikasi (Wayne, 2006). The policy project (1999) mendefinisikan advokasi sebagai serangkaian tindakan yang diarahkan terhadap para pembuat kebijakan untuk mendukung isu kebijakan tertentu. Menurut Hopkins (1990) advokasi adalah usaha untuk mempengaruhi kebijakan publik melalui bermacam-macam bentuk komunikasi persuasi. Persuasi sendiri adalah salah satu bentuk komunikasi paling mendasar, Olson dan Zanna mendefinisikan persuasi sebagai perubahan sikap akibat paparan informasi dari orang lain (Severin & Tankard, 2005). Secara sederhana Fakih (2007) mendefinisikan advokasi sebagai suatu usaha yang sistematis dan teroganisir untuk mempengaruhi dan mendesakkan terjadinya perubahan dalam kebijakan publik secara bertahap maju (incra-mental). Advokasi dapat pula diartikan menggalang dukungan sebanyak-banyaknya untuk membangun kekuatan untuk suatu tujuan tertentu (goal) dari suatu kasus (Wahyudi, dkk, 2008). Berbagai definisi tersebut saling mendukung satu sama lain. Sehingga disini penulis melihat advokasi sebagai aktivitas komunikasi persuasi dengan menggalang dukungan sebanyak-banyaknya untuk bekerja bersama-sama dalam upaya mendesakkan terjadinya perubahan kebijakan. Dan pelibatan banyak orang kedalam satu payung isu bersama bisa menjadi kekuatan dalam mencapai tujuan advokasi. Menurut Unesco seperti dikutip Abrar (2008) dalam Ugboadjah, ilmu komunikasi memandang kebijakan komunikasi sebagai kumpulan prinsip-prinsip dan norma-norma yang sengaja dibuat untuk mengatur perilaku sistem komunikasi. Sistem komunikasi terdiri dari berbagai sub
9
sistem yang menjalankan fungsinya masing-masing dan memerlukan sebuah regulasi agar sub sistem tersebut dapat berjalan tanpa saling berbenturan. Informasi merupakan salah satu bagian dari sub sistem komunikasi yang memerlukan aturan khusus sebagai pedoman para perilaku bertindak. Dan negara mewujudkannya melalui penetapan UU KIP. Tujuan dari dibuatnya UU KIP adalah menjamin hak warga negara untuk mengetahui informasi publik, mendorong partisipasi masyarakat
dalam
proses
pengambilan
kebijakan
publik
dan
mewujudkan penyelenggaraan negara yang transparan dan akuntabel. Dalam UU KIP negara mengatur tentang hak atas informasi dan juga bagaimana hak tersebut dipenuhi dan dilindungi oleh negara. UU KIP merupakan pedoman bagi badan publik untuk menghindari terjadinya pelanggaran hak masyarakat atas informasi sekaligus menjamin agar keterbukaan tidak merugikan kepentingan setiap orang dan juga kepentingan negara. Dalam implementasinya selain kapasitas badan publik dalam memahami UU KIP, diperlukan infrastruktur pendukung yang satu diantaranya keberadaan Komisi Informasi. Pasal 23 UU KIP menyatakan bahwa KI adalah lembaga mandiri yang berfungsi menjalankan UndangUndang ini dan peraturan pelaksanaannya, menetapkan petunjuk teknis standar layanan informasi publik dan menyelesaikan Sengketa Informasi Publik melalui Mediasi dan/ atau Ajudikasi nonlitigasi. Dengan kata lain implementasi UU KIP sangat ditentukan oleh kiprah KI dan secara yuridis implementator utama UU KIP adalah KI, yaitu KI Pusat, KI Provinsi dan KI Kabupaten/Kota (Wahyono, 2010).
10
Isu krusial selama lima tahun implementasi UU KIP yakni pembentukan KI Provinsi di berbagai daerah di Indonesia tidak berjalan sesuai amanat pasal 59 UU KIP yang secara tegas memandatkan KI Provinsi harus dibentuk paling lambat dua tahun sejak UU KIP diundangkan. Pemerintah dan setiap badan publik harus menjalankan kewajibannya sebagaimana diatur dalam UU KIP terhitung mulai 30 April 2010. Dari 34 provinsi di Indonesia baru 28 provinsi (79%) yang telah membentuk KI provinsi dan masih terdapat 6 provinsi (21%) yang belum membentuk KI. Definisi sederhana kebijakan menurut Dye adalah what ever governments choose to do or not to do (Winarno, 2007), kiranya ini menyampaikan makna bahwa lemahnya komitmen pemerintah daerah dalam melaksanakan amanat UU KIP khususnya terkait pembentukan KI Provinsi akan berdampak lebih luas dalam persoalan keterbukaan informasi mengingat KI merupakan implementator utama UU KIP. Pada titik inilah diperlukan partisipasi masyarakat untuk mendorong kelambanan pemerintah daerah melalui upaya advokasi. Advokasi kebijakan adalah salah satu perangkat dan juga proses-proses demokrasi yang dapat dilakukan oleh warga negara untuk mengawasi dan melindungi kepentingannya dalam kaitannya dengan kebijakan yang diberlakukan pemerintah. Sehingga tujuan utama dari advokasi kebijakan adalah terjadinya perubahan kebijakan.
b. Advokasi Berbasis Jejaring Advokasi berbasis jejaring sendiri menurut the policy project (1999) merujuk pada kelompok kesatuan bersama dari individu-individu
11
maupun kelompok-kelompok sosial yang bekerja bersama-sama untuk mencapai perubahan dalam kebijakan, regulasi/hukum atau program dalam suatu isu tertentu. Kelompok-kelompok advokasi diberbagai negara menggunakan nama yang berbeda-beda, beberapa menyebutnya dengan jaringan dan yang lain menyebut dengan nama koalisi. Nama bukanlah menjadi fokus utama, yang terpenting adalah seluruh anggota memahami dan setuju pada nama, struktur dan prosedur operasi. Dalam advokasi berbasis jejaring, advokasi dimaknai sebagai sebentuk kerja kolektif bukan sebagai kerja-kerja individual. Kerja kolektif berupa serangkaian aktivitas yang tidak bisa diprediksi waktunya, dilakukan secara terus menerus, terorganisir dan sistematis untuk menuju pada suatu perubahan yang diharapkan. Topatimasang (2007) secara detail menggambarkan alur bekerjanya advokasi berbasis jaringan sebagai berikut :
Gambar 1.1 Bagan Arus Advokasi Terpadu (Sumber : Topatimasang, Fakih, Rahardjo, 2007)
12
Dari desain jejaring tersebut dapat terlihat langkah-langkah strategis yang saling bertaut satu sama lain. Proses kerja kolektif dimulai dari mengidentifikasikan persoalan, melakukan sesuatu untuk mengatasi persoalan tersebut, kemudian melihat seberapa sukses upaya tersebut dan apabila tidak berhasil maka dilakukan upaya-upaya lain dimana kemudian proses berulang seperti halnya sebuah siklus. O’Brien (1998) menyebutnya sebagai action research. Action research...aims to contribute both to the practical concerns of people in an immediate problematic situation and to further the goals of social science simultaneously. Thus, there is a dual commitment in action research to study a system and concurrently to collaborate with members of the system in changing it in what is together regarded as a desirable direction. Accomplishing this twin goal requires the active collaboration of researcher and client, and thus it stresses the importance of co-learning as a primary aspect of the research process. (p.2) Secara sederhana, action research bisa dikonseptualisasikan sebagai upaya belajar dari apa yang telah dilakukan (learning by doing), yang terdiri atas lima tahapan. Pertama tahapan diagnosing, para pelaku di dalam jejaring perlu mengidentifikasikan atau mendefinisikan masalah apa yang dihadapi dan siapa yang akan menjadi target advokasi. Oleh karenanya diperlukan basis data agar pelaku advokasi dapat menemukan akar permasalahan sehingga kemudian dapat menetapkan tujuan advokasi. Tujuan advokasi kebijakan menurut Topatimasang (2007) adalah untuk memperbaiki atau mengubah suatu kebijakan publik sesuai dengan kehendak atau kepentingan mereka yang mendesakkan terjadinya perbaikan atau perubahan tersebut. Pada tahapan ini juga dilakukan pemetaan jejaring koalisi dengan melakukan pengorganisasian dan pemetaan pola kerja jejaring. Hal ini
13
dilakukan agar kerja-kerja advokasi berjalan secara optimal dan berkesinambungan. Pengorganisasian Jejaring melibatkan tiga lapisan aktor secara aktif (Hanif & Gustomy, 2010). Pertama manajer jejaring, merupakan pihak utama yang merekayasa proses berjejaring dengan mentransformasikan aksi kolektif kedalam kesatuan sistemik sehingga mampu
melakukan
perubahan
ataupun
alternatif
dalam
proses
perubahan kebijakan. Kedua, koalisi inti yakni para pihak yang menjadi penggagas, pemrakarsa, pendiri, penggerak utama, sekaligus penentu dan pengendali arah, tema atau isu, strategi dan sasaran kegiatan advokasi. Dan ketiga, simpatisan sebagai energi kolektif publik yang berhasil ditransformasikan untuk menjadi aliansi sosial yang taktis dalam mendorong perubahan seperti yang diinginkan dalam proses advokasi. Topatimasang (2010) memetakan pola kerja yang selalu muncul dalam proses advokasi menjadi tiga basis. Pertama kerja garis depan, yakni para pihak yang memainkan fungsi sebagai juru bicara, perunding, pelobi, terlibat dalam proses legislasi dan yurisdiksi, serta menggalang sekutu dalam proses advokasi kebijakan. Kedua kerja pendukung, para pihak yang berfungsi menyediakan dukungan dana, logistik, informasi, data dan akses dalam proses kebijakan. Terakhir kerja basis yakni “dapurnya” gerakan advokasi dengan membangung basis massa, pendidikan politik kader, membentuk koalisi inti, dan sebagainya. Tahapan merumuskan
kedua
adalah
peluang-peluang
action dan
planning,
pelaku
kemungkinan
advokasi
rencana
aksi
berdasarkan definisi masalah yang telah dilakukan, dengan kata lain menyusun strategi advokasi. Dalam melakukan advokasi, adanya perencanaan
strategi sama
dengan
telah
mengusahakan separuh
14
keberhasilan advokasi. Strategi advokasi merupakan mobilisasi segala sumber daya, melalui upaya pengemasan isu secara menarik dan meyakinkan dengan melontarkan argumen-argumen yang rasional atau empiris untuk mempengaruhi pengambil kebijakan dan juga pendapat umum. Selain itu proses advokasi biasanya juga ditandai dengan aktivitas-aktivitas yang berusaha menarik perhatian orang sekaligus memberikan tekanan kepada para pembuat kebijakan. Covey (2005) mengklasifikasikan strategi advokasi kedalam kategori
sebagai
berikut
:
pertama
kerjasama,
yakni
kelompok
bekerjasama dengan negara untuk menyebarkan inovasi setempat yang berhasil atau untuk memperbaiki layanan negara. Kedua edukasi, yakni melakukan pembinaan kewaspadaan politik dan kesadaran kritis, memperkuat LSM dan kelompok warga negara, dan juga memberi informasi analisis dan kebijakan alternatif. Ketiga strategi persuasi menggunakan informasi, analisis dan mobilisasi warga negara untuk mendesakkan perubahan. Keempat litigasi (tuntutan hukum) yakni mempromosikan perubahan dengan menggunakan sistem peradilan. Dan kelima strategi kontestasi (perlawanan) menggunakan protes untuk menarik perhatian ke dampak-dampak negatif kebijakan dan memberi tekanan demi perubahan. Bentuk konkret dari strategi advokasi berupa rencana tindakan yang berusaha mempengaruhi cara pikir dan proses kebijakan dengan melakukan proses penyadaran publik dan ini termasuk dalam tahapan ketiga yakni taking action. Tindakan-tindakan konkrit dari perumusan strategi
diharapkan
dapat
mengatasi
permasalahan
yang
sudah
15
diidentifikasikan. Tindakan ini dapat berupa lobi, presentasi, debat, dialog, negosiasi, petisi, mobilisasi, konferensi pers dan lain-lain. Tahapan evaluating yakni mempelajari konsekuensi-konsekuensi dari tindakan yang sudah diambil baik dari sisi efektifitas, hambatan dan sejauhmana tindakan tersebut memberi dampak pada tujuan advokasi. Pada
tahapan
terakhir
specifying learning,
para
pelaku
advokasi
mengidentifikasikan temuan-temuan umum dari setiap tahapan advokasi yang telah dilakukan, mempelajari hambatan-hambatan yang dihadapi selama proses tersebut kemudian menemukan ide-ide perbaikan. Hasil dari
pembelajaran
tersebut
digunakan
sebagai
input
untuk
mendefinisikan ulang permasalahan yang ada. Filosofi pelaksanaan evaluasi adalah karena semua aktivitas yang direncanakan menyimpan potensi penyimpangan. Oleh karenanya hasil dari evaluasi akan memberikan pembelajaran dari apa yang efektif dan apa yang tidak efektif sehingga dapat menerapkan perbaikan dalam usaha lainnya di masa depan. Salah satunya yakni evaluasi pada akhir advokasi dilakukan. Evaluasi akhir seringkali digunakan untuk menjawab dua hal sekaligus yaitu apakah tujuan advokasi tercapai dan apakah advokasi tersebut mampu menjawab permasalahan yang sedang dihadapi. Artinya sangat mungkin terjadi bahwa tujuan advokasi telah tercapai seperti rencana yang ada tetapi tidak mampu mengatasi masalah yang menjadi sasaran advokasi tersebut (Kurniadi & Pamungkas, 2010). Tercapainya tujuan advokasi artinya terjadi perubahan kebijakan akibat adanya paparan informasi. Dalam komunikasi persuasi perubahan kebijakan dapat diartikan perubahan sikap dan McGuire menyebutkan perubahan sikap terdiri atas enam tahapan, yang masing-masing tahap
16
merupakan kejadian penting yang menjadi patokan untuk tahapan selanjutnya (Severin & Tankard, 2005). Tahapan tersebut adalah sebagai berikut : 1) Pesan persuasi harus dikomunikasikan, 2) Penerima akan memperhatikan pesan, 3) Penerima akan memahami pesan, 4) Penerima terpengaruh dan yakin dengan argumen-argumen yang disajikan, 5) Tercapai posisi adopsi baru, 6) Terjadi perilaku yang diinginkan.
c. Ruang Publik dan Koalisi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Dalam
konsep
demokrasi
deliberatif
3
,
Jurgen
Habermas
menempatkan ruang publik sebagai politik informal, yakni jaringan untuk mengkomunikasikan informasi dan sudut pandang yang didalamnya berlangsung diskursus secara spontan dan bebas. Sedangkan politik formal merupakan institusi dari komunikasi dan diskursus yang didesain untuk mengambil keputusan. Politik formal tidak selalu diidentikkan dengan negara, dapat juga badan publik ataupun birokrasi. Kekuatan dari ruang publik berada pada masyarakat sipil. Dan mekanisme perumusan masalah juga dapat dilakukan melalui masyarakat sipil. Dalam kondisi tertentu, pembentukan opini yang dilakukan masyarakat sipil dapat berpengaruh dan memberikan efek. Namun demikian kembali pada keterbatasannya bahwa masyarakat sipil merupakan politik informal sehingga tidak didesain untuk mengambil keputusan melainkan mengambil peranan dalam pembentukan opiniopini individu melalui ruang publik. Dalam Between Facts and Norms, Habermas menekankan pentingnya ruang publik dalam konteks hukum dan demokrasi. Demokrasi disini adalah demokrasi deliberatif yakni demokrasi yang fokus pada isu politik. Lebih lanjut dalam Prasetyo, Antonius Galih, (Nov 2012), Menuju Demokrasi Rasional : Melacak Pemikiran Jürgen Habermas tentang Ruang Publik, Jurnal Ilmu Sosial dan Ilmu Politik Vol. 16 No.2 3
17
Masyarakat sipil merupakan ranah kehidupan sosial diluar keluarga, negara dan pasar dimana interaksi individu-individunya membentuk kelompok untuk memperjuangkan kepentingan bersama. Masyarakat sipil berupa organisasi, perhimpunan, gerakan yang bersifat spontan dan secara nyaring menyuarakan persoalan masyarakat. Masyarakat sipil mewujud kedalam berbagai bentuk organisasi dan dari sinilah kemudian muncul berbagai penamaan atas masyarakat sipil. Sebagian
kalangan
menyebutnya
sebagai
organisasi
nonpemerintah (Ornop). Ornop bertolak dari pemahaman bahwa entitas ini menggarap isu-isu publik atau yang menyangkut kepentingan publik dan melindunginya dari upaya–upaya pengabaian dan pengingkaran (Laodengkowe,
2010).
Istilah
lainnya
adalah
Lembaga
Swadaya
Masyarakat (LSM) dengan karakter utama mengatur diri sendiri, swasta, nirlaba dan memiliki misi sosial yang jelas (Jordan & Tuijl, 2009). Laodengkowe (2010) menyebutkan keswadayaan yang dimaksud disini adalah keswadayaan mengembangkan kehendak, baik ataupun tanpa mengikuti kebijakan pemerintah namun tidak berarti bertentangan dan bahwa kehendak tersebut tidak memerlukan bantuan pemerintah. Dari deretan penyebutan diatas, penelitian ini menggunakan istilah OMS dengan pengertian organisasi diluar pemerintah yang bersifat non profit yang digerakkan oleh nilai-nilai sosial serta berperan sebagai penyambung antara masyarakat dengan pemerintah. Pemerintah sendiri mengakui eksistensi dan peran organisasi masyarakat sipil dalam pengelolaan informasi4.
4 Penguatan kemitraan dengan pemerintah daerah, organisasi masyarakat sipil, swasta, dan media untuk mengedukasi masyarakat mengenai pentingnya informasi publik dan berpartisipasi dalam proses penyusunan dan pengawasan kebijakan,
18
Bergabungnya OMS dalam suatu bentuk koalisi tidak terlepas dari kerja-kerja advokasi yang selalu membutuhkan kerjasama dengan berbagai pihak. Bagi individu yang bergabung di dalam lembaga advokasi dan organisasi pergerakan sosial, sering ditemukan bahwa bersatu di dalam satu koalisi dengan pihak lain yang memiliki tujuan sama benar-benar membantu dan memberikan kemudahan (community catalyst, 2003). Koalisi dapat diartikan sekumpulan individu ataupun kelompok sosial yang mempunyai visi dan misi tersendiri, yang kemudian bergabung untuk tujuan bersama sehingga visi dan misi mereka semula tersamarkan dalam kepentingan bersama (Apter, 1988). Koalisi atau aliansi bisa juga diartikan sebagai bersatunya organisasi-organisasi di dalam
suatu
wadah
yang
bekerja
bersama
untuk
menggolkan
kepentingan bersama yang disepakatinya (community catalyst, 2003). Hal-hal yang mendorong terjadinya koalisi antar OMS adalah faktor interaksi yang rutin atau sering dilakukan, proses lobi yang dilakukan secara bersamaan terhadap para pengambil kebijakan dan kedudukan yang sama bagi setiap organisasi di dalam koalisi (Heaney, 2004). Sementara Mahoney & Baumgartner (2004) menjelaskan hal-hal yang menyebabkan OMS memiliki ketertarikan untuk bergabung di dalam koalisi, pertama dalam konteks isu yang diperjuangkan meskipun konfliknya kecil namun pengaruhnya besar terhadap kepentingan masyarakat. Kedua, bergabung dalam koalisi dapat menghimpun merupakan upaya yang ditempuh pemerintah dalam rangka mendorong masyarakat untuk dapat mengakses informasi publik dan memanfaatkannya sehingga tercipta tata kelola pemerintahan yang bersih, efektif dan terpercaya. Hal ini tertuang dalam Peraturan Menteri Komunikasi Dan Informatika RI Nomor 22 Tahun 2015 tentang Rencana Strategis Kementerian Komunikasi Dan Informatika Tahun 2015—2019.
19
kekuatan yang lebih besar dan juga mampu menutupi kelemahan masingmasing anggota koalisi. Ketiga, OMS yang belum berkembang atau organisasinya kecil akan sangat tertarik bergabung dengan koalisi. Oleh karenanya wajar bila di dalam koalisi sering muncul free-riders, mendapatkan keuntungan dari koalisi namun kontribusinya sangat kecil terhadap koalisi. Dan keempat, dengan
adanya
koalisi
para
pengambil
kebijakan
akan
lebih
memperhatikan isu yang diangkat, mengingat besarnya dukungan yang ada terhadap isu tersebut. Dari pemaparan diatas dapat diambil kesimpulan terkait hal yang menyebabkan OMS bergabung dalam koalisi adalah adanya tujuan dan kepentingan yang sama di dalam suatu isu strategis; untuk meningkatkan kapasitas supaya lebih powerful; adanya kesamaan, kebersamaan dan interaksi yang sering dilakukan; dan sebagai sarana pertukaran informasi dalam aktivitas advokasi.
1.8. Kerangka Konsep Penelitian ini akan memadukan model advokasi terpadu Topatimasang dengan model action research O’Brien dengan beberapa penyesuaian. Lima tahapan siklus O’Brien disederhanakan menjadi empat tahapan dimana tahapan evaluating dan specifying learning digabungkan menjadi tahapan evaluating. Kerangka konsep ini bisa diskemakan sebagai berikut :
20
Makna
Konsep
Indikator
Pemetaan isu – diagnosing
Ketersediaan basis data dan Pemetaan Jejaring untuk menetapkan tujuan advokasi
-
Proses pemilihan isu Ada kerjasama Ada sasaran advokasi Ada pembagian peran dalam aktivitas advokasi - Ada kegiatan pengumpulan data dan informasi
Rencana Aksi – action planning
Perumusan peluang- - Kerjasama dengan pengambil peluang dan kebijakan kemungkinan arah - Edukasi internal dan eksternal tindakan advokasi - Mendesakkan perubahan secara untuk mencapai tujuan Persuasi - Mempromosikan perubahan melalui sistem peradilan (litigasi) - Menginformasikan dampakdampak negatif kebijakan (kontestasi)
Bentuk Aksi – taking action
Tindakan kongkrit - Adanya aktivitas advokasi dari rencana aksi yang seperti : audiensi, lobi, petisi, telah dirumuskan presentasi, kampanye, mobilisasi, kolaborasi,dll
Evaluasi advokasi evaluating
Menilai efektivitas - Ada evaluasi atas tindakan tindakan advokasi kongkrit selama proses advokasi yang telah dilakukan - Ada evaluasi setelah tujuan untuk kemudian advokasi tercapai dilakukan perbaikan Tabel 1.1 Operasionalisasi Konsep
1.9. Metodologi Penelitian Penelitian ini berupaya mendeskripsikan bagaimana advokasi dapat mendorong terjadinya perubahan kebijakan melalui upaya-upaya komunikasi persuasi.
21
a. Metode penelitian Jenis
penelitian
ini
adalah
deskriptif
kualitatif,
karena
menjelaskan secara mendalam dan menyeluruh tentang gambaran yang berlaku pada masa itu, tentang kondisi sosial suatu objek yang diteliti, melalui pengamatan yang apa adanya. Moleong (2012) mendefinisikan penelitian kualitatif sebagai penelitian yang bermaksud untuk memahami fenomena tentang apa yang dialami oleh suatu subjek penelitian secara holistik dan dengan cara deskriptif dalam bentuk kata-kata dan bahasa, pada suatu konteks khusus yang alamiah dan dengan memanfaatkan berbagai metode alamiah. Rakhmat (1993) mengemukakan pendapatnya tentang penelitian deskriptif sebagai penelitian yang berupaya untuk memaparkan situasi atau peristiwa. Penelitian ini tidak mencari atau menjelaskan hubungan, tidak menguji hipotesis, penulis terjun ke lapangan tanpa dibebani atau diarahkan oleh teori sehingga bebas mengamati objek, menjelajah dan menemukan wawasan-wawasan baru (Rakhmat, 1993). Isac dan Michael seperti dikutip dalam Rakhmat (1993) menyatakan metode deskriptif bertujuan untuk melukiskan secara sistematis fakta atau karakteristik populasi tertentu atau bidang tertentu secara faktual dan cermat. Paradigma
dalam
penelitian
ini
adalah
paradigma
interpretive/konstruktivisme, dimana tujuannya untuk memperoleh pemahaman
bagaimana
manusia
menciptakan
makna
dan
menginterpretasikannya pada dunia sekelilingnya (Wimer & Dominick, 2011). Sedangkan tipe penelitian kebijakan yang penulis pilih adalah advokasi
kebijakan,
karena
KKIP
berupaya
menyempurnakan
implementasi dari UU KIP di Kalimantan Barat.
22
Jenis penelitian ini dianggap tepat digunakan untuk menganalisa proses advokasi dan proses kerja koalisi, dimana penulis dapat melacak urutan peristiwa advokasi yang terjadi di masa lalu dan juga menemukan fenomena-fenomena sosial yang terjadi disekitar objek penelitian. b. Teknik Pengumpulan Data Penelitian kualitatif memberikan peluang bagi penulis untuk mengumpulkan data dari berbagai sumber bukti sehingga dapat mencapai kualitas tertentu dalam menjelaskan apa yang sedang diteliti. Dan dalam penelitian ini digunakan dua sumber data yakni data primer yang diperoleh melalui wawancara dan data sekunder dengan cara penelusuran dokumen. Wawancara dilakukan dengan teknik semi terstruktur. Teknik ini memungkinkan penulis mengumpulkan data dan informasi yang memadai serta mendalam dari narasumber namun tetap terkendali sesuai tujuan wawancara. Melalui teknik ini juga memungkinkan penulis membuat panduan pertanyaan yang nantinya akan dieksplorasi lebih lanjut ketika proses wawancara berlangsung untuk mendapatkan data yang lebih komprehensip. Berbekal data yang diperoleh pada saat pra penelitian, wawancara dilakukan dengan OMS yang tergabung dalam koalisi dan pihak-pihak yang terlibat langsung dalam proses pembentukan KI Kalbar. Pemilihan narasumber
dari
OMS
pendukung
koalisi
dilakukan
dengan
mengklasifikasikan OMS kedalam empat kategori. Kategori pertama, OMS yang menyediakan dukungan program untuk kegiatan KKIP, kedua OMS yang muncul dalam dokumen notifikasi gugatan warga negara, ketiga OMS yang melakukan kampanye melalui media cetak maupun
23
online dan terakhir OMS yang tercatat dalam daftar hadir kegiatankegiatan KKIP. Narasumber diluar KKIP adalah pertama para pihak yang menjadi sasaran advokasi KKIP, kedua individu yang mengikuti proses rekrutmen calon anggota KI Kalbar. Dan berikut daftar narasumber dalam penelitian ini : No
Keterangan
Narasumber dari KKIP 1
Faizal Riza, Manager Program Jari Borneo Barat
2
Hairul Sani, Divisi advokasi dan kajian Jari Borneo Barat
3
Gustiar, Badan pengawas Jari Borneo Barat
4
Didik Suprapta, Direktur Fakta Kalbar
5
Deman Huri, Direktur LPS AIR
6
Jumadi Asnawi, Manajer program LPS AIR
7
Heri Mustari, Manajer program Yayasan Titian wilayah Sintang
8
Reny Hidjazi, Direktur PPSW Borneo
9
Supartini, Direktur LBH PIK
10
Yudith Evametha, LBH PIK
Narasumber di luar KKIP 11
Chatarina Pancer Istiyani, Ketua KI Provinsi Kalimantan Barat
12
Numsuan Madsun, Kepala Biro Humas Setda Prov. Kalimantan Barat
13
Edi Sukarno, Kepala Bidang Komunikasi dan Informatika Dishubkominfo Prov. Kalimantan Barat
14
Budi Rahman, Asisten Ombudsman Perwakilan Kalimantan Barat Tabel 1.2 Daftar Narasumber
Mengingat bahwa objek penelitian ini merupakan kejadian dimasa lampau, maka data sekunder yang diperoleh melalui studi dokumentasi merupakan pondasi dalam penelitian ini. Studi dokumentasi 24
digunakan untuk melacak urutan peristiwa advokasi di masa lalu. Dokumentasi diperoleh langsung dari narasumber maupun dengan melakukan penelusuran pada media cetak dan online. Dokumentasi disini dapat berupa dokumen kegiatan seperti notulensi rapat, laporan kegiatan, maupun konten informasi yang diunggah melalui media. Perundang-undangan dan peraturan digunakan sebagai panduan dalam menilai kesesuaian antara apa yang sebenarnya terjadi dengan apa yang seharusnya dilakukan menurut regulasi. c. Teknik Pengolahan Data Pengolahan data secara sederhana diartikan sebagai proses mengartikan data-data lapangan sesuai dengan tujuan, rancangan, dan sifat penelitian. Pada penelitian ini penulis mengolah data dikaitkan kondisi sosial objek penelitian. Pertama-tama
data
primer
dan
data
sekunder
diurutkan
berdasarkan waktu yakni dalam rentang waktu tahun 2010 hingga tahun 2015. Kedua, data-data tersebut diklasifikasikan berdasarkan peristiwa yakni tiga tahapan advokasi. Tahapan ini meliputi advokasi di tingkat tim seleksi, advokasi ketika proses berlangsung di tingkat Gubernur dan DPRD, terakhir advokasi yang ditujukan kepada Gubernur. Dan ketiga, data-data dikelompokkan berdasarkan indikator-indikator yang telah dibuat dalam rancangan penelitian. d. Teknik Analisa Data Miles and Huberman dalam Wimmer & Dominick (2011) menyebutkan proses analisa data diawali dengan reduksi data, baru kemudian disajikan. Reduksi data penulis lakukan dengan mengeleminasi data-data yang tidak berkaitan dengan advokasi kebijakan, dan
25
menyajikan data yang sesuai dengan indikator penelitian baik itu dalam bentuk tabel maupun teks naratif. Data yang tidak berkaitan langsung namun masih dalam ranah advokasi kebijakan terkait UU KIP digunakan untuk melengkapi analisa. Penulis
berupaya
menyajikan
data
primer
dari
beberapa
narasumber dan didukung oleh data-data sekunder. Data-data tersebut dicari keterkaitan dengan teori-teori yang telah diuraikan sebelumnya kemudian
dianalisis
dengan
memberikan
makna.
Pemaknaannya
dikaitkan dengan advokasi berbasis jejaring dalam konteks pembentukan KI Provinsi sesuai amanat UU KIP. Pendapat dari narasumber yang terlibat langsung dalam upaya advokasi ataupun para pengambil kebijakan yang menjadi sasaran advokasi akan menggambarkan proses dan kerja-kerja advokasi KKIP dalam mendorong pembentukan KI Provinsi Kalimantan Barat.
26