PENGEMBANGAN MODEL KELEMBAGAAN DAN DUKUNGAN SUMBER DAYA BERKELANJUTAN BAGI ORGANISASI MASYARAKAT SIPIL (OMS) DALAM PROSES DEMOKRATISASI (Studi Pengembangan Democracy Trust Fund/DTF)
Laporan Akhir
Tim Penyusun
DIREKTORAT POLITIK DAN KOMUNIKASI
KEMENTERIAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL/ BADAN PERENCANAAN PEMBANGUNAN NASIONAL REPUBLIK INDONESIA
DAFTAR ISI
Daftar Isi................................................................................................................ii Ringkasan...............................................................................................................1 Bab I. Pendahuluan.................................................................................4 1.1. 1.2. 1.3.
Latar Belakang Riset......................................................................4 Tujuan Riset...................................................................................5 Rencana Pelaksanaan.....................................................................6 1.3.1. Ruang Lingkup Pelaksanaan..............................................6 1.3.2. Metode Pelaksanaan...........................................................6 1.3.3. Sumber Data......................................................................7 1.3.4. Alur Penelitian..................................................................10 1.3.5. Cara Menganalisis Data...................................................10 1.3.6. Pelaksana..........................................................................10 1.3.7. Tahapan dan Jadwal Pelaksanaan.....................................11
Bab II. Perkembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Bagi OMS di Indonesia................................................................12 2.1. 2.2. 2.3.
Fenomena Masyarakat Sipil dan Demokrasi................................12 Studi Terkait OMS/CSO di Indonesia..........................................15 Perbandingan Kebijakan...............................................................19
Bab III. Kelembagaan OMS dan Profil Wilayah Kajian....................25 3.1. 3.2.
Karakteristik OMS Indonesia........................................................25 Profil Wilayah Kajian....................................................................28 3.2.1. Provinsi Papua Barat..........................................................28 3.2.2. Provinsi Daerah Istimewa Nangro Aceh Darussalam........32 3.2.3. Provinsi Jawa Tengah (Kota Surakarta/Solo)....................33
Bab IV. Model Kelembagaan Trust fund dan Dukungan Sumber Daya bagi OMS untuk Demokrasi di Indonesia.............................................36 4.1.
Praktik Pemberdayaan dan Strategi Pengembangan OMS di Indonesia........................................................................................36 4.1.1. Model Kelembagaan dan Sumber Daya berkelanjutan bagi OMS...................................................................................38
4.2.
4.1.2. Efektifitas dan Tantangan bagi Model Dukungan bagi OMS...................................................................................43 Urgensi DTF dan Mekanisme Awal Pelembagaan........................46 4.2.1. Pengembangan OMS yang mencirikan Sosial Budaya Indonesia............................................................................46 4.2.2. Relevansi DTF Sebagai Inovasi dalam Konsolidasi Demokrasi...........................................................................49 4.2.3. Berbagai Pilihan Model Pengembangan Kelembagaan......54 4.2.4. Tantangan, Hambatan dan Peluang DTF............................57
Bab V. Penutup.........................................................................................61 5.1. 5.2.
Kesimpulan.....................................................................................61 Rekomendasi..................................................................................62
Daftar Pustaka........................................................................................................65 Lampiran
1
Laporan Akhir Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Proses Demokratisasi (Study Democracy Trust Fund)
Ringkasan Perkembangan demokrasi Indonesia yang ditandai dengan peningkatan indeks demokrasi Indonesia (IDI) di tahun 2014 merupakan salah satu wujud dari keberhasilan pencapaian tujuan pembangunan politik di Indonesia. Perkembangan yang demikian signifikan tersebut, merupakan hasil kerja dari perangka suprastruktur maupun infrastruktur politik yang terus mengalami perbaikan. Fokus pembangunan politik yang dilakukan selama ini telah berhasil mengembangkan instrumen pemilihan sebagai sebuah sistem yang banyak mendapatkan pujian dunia internasional. Perbaikan pada sistem penyelenggaraan pemilu dan aturan partisipasi kompetisi bagi partai politik tersebut telah memberikan hasil kinerjanya sebagai sebuah sistem. Kemajuan sebuah sistem akan terkait dengan implikasi-implikasi yang dapat ditimbulkannya. Keberhasilan demokrasi saat ini, juga disertai dengan berbagai keterbatasan-keterbatasan yang muncul sebagai output politik yang bekerja dalam sistem demokrasi seperti rendahnya akuntabilitabilitas publik para legislator, semakin rendahnya partisipasi politik masyarakat, angka korupsi yang memprihatinkan terhadap aparat penyelenggara negara. OMS (Organisasi Masyarakat Sipil) merupakan salah satu elemen penting lahirnya kehidupan demokrasi dan merupakan salah satu peluang bagi keberlanjutan demokrasi yang lebih terpola. Potensi penting dan strategis ini terlihat tidak tergarap untuk dapat menjadi potensi penting dalam pembangunan konsolidasi demokrasi. Melalui program pengembangan sejak 2009, Bappenas telah melakukan perancangan target pembentukan komite atau sebuah kelembagaan yang kedepan dapat diharapkan menjadi perangkat fasilitasi negara untuk menangani dan menjadi payung Trust fund dalam pengembangan demokrasi. Keberadaan program ini akan berfungsi sebagai pendukung program OMS di bidang pengembangan pendidikan demokrasi, politik dan pengembangan wawasan dan integrasi kebangsaan yang selama ini mengalami kekosongan. Pengkajian pada wilayah DI Nangro Aceh Darussalam (NAD) dengan keberadaan iklim OMSnya yang telah mengalami periode panjang pengaruh donor dengan masuknya berbagai pelembagaan pembiayaan pembangunan melalui mekanisme Multy trust Fund. Hal ini dapat menjadi inspirasi dan pelajaran penting untuk penggambaran dampak dan outcome yang diperoleh dari keberadaan mekanisme tersebut sebagai sebuah model yang pernah eksis. Wilayah Papua Barat yang merupakan wilayah baru dengan dinamika politik yang tinggi terkait separatisme dan keberadaan regulasi Otonomi Khusus (Otsus Papua) yang melahirkan fraksi otonomi khusus, menjadi bentuk afirmasi politik lokal kedalam kelembagaan
2
formal negara sebagai representasi politik lokal yang pada kenyataannya dibangun dari instrumen masyarakat sipil. Adapun Kota Surakarta/ Solo sebagai wilayah yang telah sejak lama berkembang sebagai kota dengan keterlibatan dan partisipasi masyarakat sipil yang tinggi hingga kini. Penggunaan mekanisme fokus group diskusi dan wawancara mendalam kepada beberapa pemangku kepentingan yang ada, memungkinkan terjadinya dialog dan eksplorasi terkait bagaimana model dan dukungan terkait pemberdayaan OMS selama ini dilakukan dan bagaimana setiap dari mereka memandang hal tersebut. Hasil pengkajian ini menunjukkan bahwa, secara kelembagaan formal dan terstruktur pada birokrasi Indonesia telah mempraktekkan berbagai Model dukungan untuk OMS. Kegiatan yang dilakukan dalam pengembangan issu demokrasi tersebut masih dilakukan secara terbatas dan tidak sistematis bahkan menjadi program bersifat inkremental. Program yang dilaksanakan oleh pemerintah (pusat dan daerah), umumnya tidak memiliki target dan tujuan yang jelas terkait subtansi konsolidasi demokrasi. Kegiatan yang mengalami pembiayaan selama ini hanya merupakan kegiatan insidentil dengan pembiayaan yang bersifat formal program sehingga sangat sulit diharapkan memberikan dampak luas dan konstruktif bagi budaya berdemokrasi di masyarakat. Hal lain adalah, dengan model yang tidak mengedepankan transparansi dan akuntabilitas berpotensi merusak mentalitas dan sendi-sendi kehidupan masyarakat sipil utamanya pengelolaan Organisasi masyarakat sipil sehingga melahirkan clientelisme. Implentasinya sebagai bentuk akuntabilitas, lebih berorientasi proyek ketimbang output dan outcome untuk konsolidasi demokrasi serta potensi lahirnya ketidakpercayaan OMS maupun masyarakat (distrus fund) terhadap birokrasi pengelolanya termasuk OMS secara umum. Hal ini berakibat lahirnya pesimistik organisasi masyarakat sipil utamanya yang banyak memiliki jejaring luas di daerah untuk apatis terhadap program yang dibiayai oleh negara. Pembiayaan yang dilakukan berbentuk bantuan hibah, Bansos maupun program kemitraan yang hanya bersifat charity dan tidak memiliki aspek pembinaan dalam rangka peningkatan kesetaraan OMS sebagaimana yang menjadi tujuan negara terhadap OMS melalui konsolidasi demokrasi. OMS Indonesia, mengalami stagnasi bahkan menghilang/bubar ketika kebijakan donor mengalihkan lokasi dan target pembiayaannya. Meskipun dibeberapa tempat terdapat OMS yang tetap eksis dengan mekanismenya masing-masing, namun dalam jumlah serta program yang terbatas dan celakanya meninggalkan masyarakat yang telah mengerti esensi pentingnya dukungan OMS bagi mereka. Potensi pembiayaan dari masyarakat yang telah mulai banyak digarap oleh umumnya OMS yang memiliki sumber daya manusia yang baik, belum dapat dipahami dalam manajemen pengelolaan OMS secara umum sebagai potensi utama yang dapat diharapkan. Dominasi pembiayaan aktifitas yang ditujukan untuk penguatan demokrasi oleh mekanisme kelembagaan negara yang tersedia
3
melalui berbagai model yang ada, lebih banyak digunakan oleh “OMS plat merah” yang disinyalir menjadi kepentingan kelompok-kelompok tertentu dalam birokrasi maupun politik utamanya di daerah. Keberadaan DTF bagi berbagai OMS dianggap sebagai keberlanjutan model negara lama orde baru, melalui mekanisme dan sistem pengelolaan yang masih mengedepankan aspek pembinaan OMS yang ditangani oleh birokrasi negara. Sebaliknya, hal tersebut kembali akan jadi potensi sebagai alat kepentingan bagi kelompok tertentu untuk tujuan-tujuan kekuasaan jika didominasi oleh salah satu kelompok atau jaringan. Sehingga yang dibutuhkan dalam rangka membangun masyarakat yang kritis adalah ruang yang bebas melalui fasilitasi negara atas informasi terkait sumber potensi pembiayaan yang dapat diakses oleh OMS di Indonesia, sehingga keberadaan DTF melalui model komite kerja ataupun nama lain akan dapat menjadi alternatif yang bersifat transisi untuk diperolehnya nama ataupun bentuk lain yang lebih sesuai kemasa mendatang. Program DTF (Democrasi Trust Fund) bisa jadi merupakan bentuk inovasi oleh negara untuk dapat melibatkan partisipasi masyarakat melalui kelembagaan OMS. Keberadaan program ini diharapkan akan menjadi pemicu berkembangnya secara cepat kesadaran kritis masyarakat melalui pengembangan kehidupan demokrasi, tanpa menghilangkan ciri-ciri yang menjadi keutamaan yang harus dimiliki sebuah kelembagaan masyarakat sipil yang independen, kritis, didukung masyarakat dan tidak menggantungkan diri pada pemerintah serta tidak melanggar hukum.
4
Bab I Pendahuluan 1.1. Latar Belakang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional adalah satu kesatuan tata cara perencanaan pembangunan untuk menghasilkan rencana-rencana pembangunan dalam jangka panjang, jangka menengah, dan tahunan yang dilaksanakan oleh unsur penyelenggara negara dan masyarakat di tingkat pusat dan daerah (UndangUndang Nomor 25 Tahun 2004 Tentang Sistem Perencanaan Pembangunan Nasional). Disamping itu, perencanaan pembangunan nasional disusun secara sistematis, terarah, terpadu, menyeluruh, dan tanggap terhadap perubahan. Visi pembangunan politik Indonesia jangka panjang yang tercantum dalam RPJPN 2005-2025 adalah Konsolidasi Demokrasi yang bertahap dan Terencana. Dalam hal ini dimaksudkan bahwa pembangunan demokrasi memberikan dampak jangka panjang dan permanen yang positif pada pembangunan seluruh bidang kehidupan masyarakat luas. Adapun tujuan pembangunan politik di tahun 2025 adalah demokrasi yang terkonsolidasi dengan syarat utama yaitu rechststaat, Birokrasi yang netral dan efisien, Masyarakat Sipil yang Otonom, Masyarakat Politik yang Otonom, Masyarakat Ekonomi yang Otonom, dan Kemandirian Nasional. Sebagaimana tahapan dalam sistem perencanaan nasional Indonesia, saat ini Bappenas, khususnya Direktorat Politik dan Komunikasi sedang mempersiapkan penyusunan Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) III tahun 2014-2015 khususnya yang terkait dengan bidang politik dan komunikasi dalam ruang lingkup Politik Dalam Negeri, Komunikasi dan Informasi serta Politik Luar Negeri. Selanjutnya arah kebijakan pembangunan politik dalam negeri pada RPJMN III periode 2015-2019 difokuskan pada pemantapan budaya dan proses politik, sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, non diskriminasi dan kemitraan serta semakin mantapnya pelaksanaan desentralisasi dan otonomi daerah. Kondisi itu akan mendorong tercapainya penguatan kepemimpinan dan kontribusi Indonesia dalam berbagai kerja sama regional/internasional dalam rangka mewujudkan tatanan dunia yang lebih adil dan damai dalam berbagai aspek kehidupan. Demokrasi yang terkonsolidasi merupakan target yang hendak dicapai oleh Indonesia pada Tahun 2025 nanti. Salah satu prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai konsolidasi demokrasi adalah adanya masyarakat sipil yang aktif dan otonom. Idealitas demokrasi menempatkan Masyarakat sipil yang digambarkan sebagai “mata air demokrasi”, suatu anggapan yang romantis,
5
meskipun mungkin terlalu berlebihan bagi Organisasi Masyarakat Sipil.1 Hal inilah kemudian yang menempatkan OMS sebagai salah satu pilar subtantif bagi terwujudnya demokrasi terkonsolidasi, yang banyak diharapkan bisa menjalankan perannya dengan baik. Kehadiran OMS pada era reformasi saat ini, telah turut memberikan kontribusi dan membawa iklim perubahan bagi atmosfir politik di Indonesia. OMS menandai adanya kontribusi masyarakat untuk ikut berpartisipasi, terlibat dan ikut berperan serta di dalam perencanaan, pelaksanaan dan pengawasan fungsi penyelenggaraan pemerintahan. Sehingga disini dapat terlihat bahwa OMS dapat menjadi sebuah lembaga yang dapat menjadi mitra dalam mendukung dan mempengaruhi kebijakan pemerintah secara konstruktif. Hal ini merupakan proses demokratisasi yang semakin maju dan kukuh dalam sistem pemerintahan RI. OMS sangat diperlukan untuk adanya konsolidasi demokrasi yang tumbuh secara baik sehingga dibutuhkan model dan mekanisme untuk mendorong lembaga OMS dapat berperan dan berfungsi sebagai kekuatan politik yang ada di Indonesia selain birokrasi, militer, partai politik, dan lainnya. Kondisi OMS yang ada saat ini menghadapi banyak tantangan dan kendala dalam menjalankan perannya untuk dapat secara intens bersama-sama dengan pemerintah dan swasta dalam pembangunan. OMS masih mempunyai posisi yang timpang atau tidak setara dalam berdampingan dengan kekuatan negara, Interest group multi karakter belum terorganisasi secara cukup baik, ada potensi yang cukup besar dalam membangun organisasi yang tangguh, adanya sisa “distrust” terhadap itikad baik negara, pembelaan pada demokrasi dan HAM masih bersifat sporadis, reaktif namun belum terprogram;, kelemahan sumber pendanaan yang berkelanjutan, masih tergantung dana asing, SDM yang kurang terlatih baik dalam organisasi modern, peraturan perundangan belum cukup memihak, kebijakan Negara belum cukup mendukung, OMS sendiri secara internal belum mengalami reformasi yang memadai, kelemahan jaringan dan terjadinya korupsi, dan minimnya akses pada informasi dan pertukaran gagasan. Untuk itu diperlukan suatu lembaga yang dapat menjawab tantangan-tantangan yang dihadapi oleh OMS dalam menjalankan perannya. 1.2. Tujuan Riset a. Mendapatkan masukan dan pemetaan masalah terkait Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi CSO dalam Proses Demokratisasi Indonesia. b. Diperolehnya hasil kajian untuk menjadi rekomendasi pada penyusunan RPJMN III untuk Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi CSO dalam Proses Demokratisasi Indonesia.
1
Lihat Ivan Doherty, Demokrasi Kehilangan Keseimbangannya Masyarakat Sipil Tidak Dapat Menggantikan Partai Politik, diunduh dari https://www.ndi.org/files/democracy_balance_indo.pdf tanggal 10 Desember 2015 pkl 10;51 WIB
6
1.3. Rencana Pelaksanaan 1.3.1. Ruang Lingkup Pelaksanaan Sebagaimana telah disebutkan di atas bahwa dalam rangka penyusunan RPJMN kedepan sekaligus sebagai masukan dalam RPJMN yang sedang berjalan, Ditpolkom akan melaksanakan Kajian tentang Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Proses Demokratisasi. Ruang lingkup kajian ini adalah: a. Mengidentifikasi model kelembagaan yang sesuai untuk OMS di Indonesia dalam rangka mendorong proses demokratisasi; b. Mengidentifikasi bentuk dukungan sumber daya berkelanjutan yang sesuai bagi OMS di Indonesia dalam rangka mendorong proses demokratisasi; c. Melakukan konsultasi publik kepada OMS untuk mendapat masukan terkait Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang sesuai dalam Proses Demokratisasi Indonesia; d. Berkoordinasi dengan mitra kerja Ditpolkom terkait dan OMS terkait untuk dapat menyusun Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang sesuai dalam Proses Demokratisasi Indonesia. 1.3.2.
Metode Pelaksanaan
Seluruh komponen kegiatan ini dilakukan dengan metode swakelola yang melibatkan seluruh Staf Direktorat Politik dan Komunikasi, dan serta kementerian/lembaga yang menjadi mitra Direktorat Politik dan Komunikasi. Secara garis besar metode tersebut dilakukan dengan cara: a. Melakukan pertemuan berkala guna mengidentifikasi dan mendefinisikan model kelembagaan dan dukungan sumber daya berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Demokratisasi. b. Melakukan pertemuan berkala guna menganalisis dan merumuskan indicator model kelembagaan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam demokratisasi, khususnya dalam relevansi kondisi Indonesia. c. Melakukan ujicoba, pengumpulan dan pengolahan data indikator model kelembagaan Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). d. Menyusun laporan model kelembagaan dan dukungan sumber daya berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Demokratisasi
7
Metodologi yang akan digunakan untuk melakukan kajian prakarsa meliputi jenis metodologi, sumber data dan cara menganalisis data : a. Metode penelitian Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kualitatif untuk memberikan penggambaran yang lengkap tentang model kelembagaan dan dukungan sumber daya berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang ada di Indonesia saat ini baik di pusat maupun daerah. Hasil dari Pengkajian, kemudian akan dikomparasi dengan dokumen perencanaan bidang politik untuk mengetahui tingkat efektivitas dari pelaksanaan model kelembagaan dan dukungan sumber daya berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Demokratisasi di Indonesia. b. Lokasi Penelitian Pengkajian ini akan meliputi OMS (organisasi masyarakat sipil) dan pemerintah (pusat dan daerah) yang akan dipilih secara proporsional atau secara sengaja yang berasal baik dari kementerian dan lembaga pemerintah di pusat terkait maupun kelembagaan teknis pemerintah daerah yang terkait. Pemilihan metode proporsional yang dipilih berdasarkan karakteristik wilayah terkait fenomena perkembangan OMS diwilayah tersebut. Pemilihan daerah NAD merupakan wilayah yang diasumsikan sebagai wilayah yang telah banyak mendapatkan pengaruh NGO/OMS dan Funding international pasca proyek pembangunan pasca Tsunami. Kemudian pemilihan berdasarkan keunikan perkembangan OMS yang mampu bersinergi secara cepat dalam konteks masyarakat sipil dipilih pada wilayah Papua Barat, yang pasca pemekaran dengan Papua nampak lebih mampu bersinergi dalam pelembagaan masyarakat sipil dengan keberhasilan mengisi 11 Kursi yang mewakili Otonomi Khusus Papua sebagai representasi masyarakat lokal Papua Barat. Adapun Kota Solo di Provinsi Jawa Tengah dipilih sebagai daerah yang merupaan karakteristik wilayah yang merupakan daerah yang mendapatkan dukungan dalam pengembangan organisasi masyarakat sipil secara bersinergi dengan pemerintah daerah selama ini. Instrumen tersebut menjadi indikator penting untuk melihat perkembangan wilayah dengan OMS sebagai daerah yang telah mengalami kemajuan. Representasi yang digunakan bukan pada representasi struktur pemerintahan tetapi OMS pada satuan wilayah tertentu. Keberadaan Kota Solo dengan Provinsi Aceh dan Papua Barat tidak diasumsikan sebagai satuan wilayah administratif tetapi hanya merupakan wilayah operasi dan lokal OMS berada. 1.3.3. Sumber Data Sumber data terdiri atas 2 (dua) macam yaitu data primer dan data sekunder. Data primer diperoleh dari : a. Wawancara mendalam (indepth interview) kepada para pihak yang berkepentingan (KL terkait – Pusat dan Daerah, serta OMS di pusat maupun di daerah) masing-masing.
8
b. Focused Group Discussion (FGD) untuk rekonsiliasi data, serta klarifikasi informasi tentang Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) yang sesuai dalam Proses Demokratisasi Indonesia; Peserta FGD(pusat dan daerah) terdiri dari: Grafik. Informan Penelitian 16%
KL/Pusat
8%
CSO Pusat
Politisi
52% 12%
Pemerintah Daerah
12%
CSO daerah
c. Melakukan Observasi/ Kunjungan Lapangan Daerah. Kegiatan penelitian lapangan dlaksanakan di 4 (empat) wilayah yaitu di pemerintah pusat di Jakarta, dan untuk kunjungan lapangannya dilaksanakan di Provinsi Daerah Istimewa (DI) Aceh, Provinsi Papua Barat dan Provinsi Jawa Tengah yaitu Kota Solo. Pelaksanaan kegiatan dilakukan secara bertahap dengan melakukan penyusunan instrumen penelitian lapangan yang terdiri dari instrumen Focus Group Discussion (FGD) untuk Pusat serta FGD untuk daerah dan juga melakukan pertemuan dalam rangka penyusunan Instrumen Indepth Interview yang dilakukan di kantor Bappenas RI. Pelaksanaan kegiatan indepth interview dilakukan kepada lembaga, atau CSO yang diharapkan memberi banyak masukan terkait perkembangan model dan kebijakan serta implementasi dukungan sumber daya kepada CSO selama ini. Informan indepth interview dipilih masing-masing adalah: Kementerian dalam negeri yaitu Direktur Jenderal Politik Dan Pemerintahan Umum Kemendagri yaitu Dirjen Polpum dan Direktur Pemberdayaan OMS, Kementerian Pendidikan Kebudayaan, Perludem, Gerakan (IM) Indonesia Mengajar, Partai Aceh, Fraksi otonomi Khusus di Papua dan beberapa CSO (Kompip Solo, Pattiro Solo, Jerami Solo), Peneliti Aceh. Adapun kegiatan FGD yang dilakukan di pusat maupun di daerah dilaksanakan masing-masing:
9
FGD Pusat dilakukan digedung Mandiri dihadiri Kementerian Dalam Negeri dan Bappenas RI FGD Provinsi Aceh dilakukan di Kantor Bappeda Aceh dihadiri (Bappeda, Kesbangpol, 4 (empat) CSO Aceh) FGD Papua Barat dilakukan di Kantor Bappeda Papua Barat dihadiri (sekretaris Bappeda, Kesbangpol, CSO Papua Barat) FGD Kota Surakarta dilakukan di Kantor FKUB Surakarta dihadiri (Kesbangpol, FKUB, GOW, CSO Solo) Hasil pelaksanaan kunjungan lapangan memperoleh beberapa sumber data baik sekunder maupun primer. Adapun data sekunder yang diperoleh dengan indeks data: Tabel. Indeks Data Yang Dibutuhkan Dokumen Sumber Ket Dokumen-dokumen perencanaan Bappenas RI yaitu RPJPN 2005-2025, RPJMN III (2015 – 2019) dan RKP Tahun 2015 dan 2016 Jumlah OMS Pusat-Daerah Kesbangpol kemendagri Kesbangpol daerah Papua, Aceh, Kota Solo dan media Massa serta Indepth Interview Model Kelembagaan OMS Wawancara dan FGD Dokumen dukungan Kebijakan Wawancara dan FGD Sumberdaya bagi OMS di Pusatdaerah Profil Pengembangan OMS Pusat- Wawancara dan FGD Daerah Literatur pengembangan Model Kemitraan/ LP3ES/ Referensi Kelembagaan dan Dukungan lain/ FGD/Indepth interview Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) oleh negara-negara lain Profil Wilayah Badan Pusat Statistik Provinsi NAD, Papua Barat dan Kota Surakarta/Solo
10
1.3.4. Alur Penelitian •
Fenomena OMS Indonesia (Dana, Kesinambungan Program, SDM, Jaringan, Komitmen Good Governance, Sosial Budaya, Politik dan Hukum dll) • Fenomena Budaya Politik dan dilema Demokrasi Trust Fund Out Put politik Indonesia (DTF) demokrasi Langsung (dewan/wali amanah di Indonesia dll) • Perkembangan kebijakan Negaranegara didunia terkait OMS (Perkembangan Global)
Amanah Konstitusi Komitmen Nawacita (RPJMN 20142019) dan Target RPJPN 2025 UU No. 17 tahun 2013 Tentang Organisasi masyarak (Ormas) PP. No. 10/2011 Tentang Tata Cara Pengadaan MASYARAKAT SIPIL YANG Model Pinjaman Luar OTONOM/ MANDIRI. Kelembagaan Negeri dan & Penerimaan Bentuk Hibah Pengelolaan PerPres No. 80 Sumber Daya /2011, Tentang Dana Perwalian Indikator Bid. Politik Tantangan Indonesia Kebangsaan 1. Tingkat Partisipasi Pemilih dan Konsolidasi 2. Naiknya IDI RPJMN 2019 Demokrasi dan RPJPN 2025 Indonesia
1.3.5. Cara Menganalisis Data Analisis data yang dilakukan dalam kegiatan ini adalah dengan cara analisis deskriptif kualitatif dengan pola pendekatan induktif. Analisis ini dibangun atau disusun berdasarkan data-data yang diperoleh dari tahap pengumpulan data baik sekunder maupun primer dengan tujuan untuk mendeskripsikan keadaan perencanaan, pelaksanaan, pemantauan dan evaluasi. 1.3.6. Pelaksana Unit pelaksana dari kegiatan ini adalah Direktorat Politik dan Komunikasi Bappenas dengan melibatkan berbagai stakeholders terkait baik mitra kerja maupun instansi terkait lainnya, serta Organisasi Masyarakat Sipil (OMS).
11
Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) dalam Proses Demokratisasi ini didukung oleh tenaga ahli. 1.3.7. Tahapan dan Jadwal Pelaksanaan Tahapan dan Jadwal kegiatan disusun sesuai komponen kegiatan masing-masing yang dilaksanakan dalam kurun Januari-Desember 2015 dengan komponen, masing-masing: a. Penyusunan instrumen b. Fokus group diskusi Pusat c. Wawancara KL dan CSO/Ormas Pusat d. Penyusunan Instrumen Daerah e. FGD dan wawancara daerah (Aceh, Papua dan Jawa Tengah/ Solo). f. Draft Laporan g. Laporan Akhir
12
Bab 2 Perkembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Bagi OMS Di Indonesia 2.1.
Fenomena Masyarakat Sipil dan Demokrasi di Indonesia Terdapat pertentangan paradigmatik yang sesungguhnya lebih bersifat teknikal terkait subtansi pemberdayaan yang harus dilakukan dalam konteks membangun demokrasi. Pemangku kepentingan dalam sebuah mekanisme tata pemerintahan yang ada selama ini diyakini sebagai siklus yang menghadirkan elemen negara yang diwakili pemerintah, masyarakat sipil dan privat sector dan saat ini dimasukkannya unsur globalisasi oleh konsep sound governance yang merupakan pengembangan dari konsep good governance. Sedari awal kehadiran program terkait pemberdayaan, telah melibatkan berbagai pertentangan serius tentang dari titik mana mekanisme donor melakukan pemberdayaan kepada masyarakat dunia ketiga. Ini penting sehingga tercipta kesimbangan dan kesetaraan bagi masyarakat dunia yang beradab dalam budaya demokrasi sebagai sebuah cara pandang modernisasi dunia. Pandangan Ivan Doherty mengemukakan sebagaimana kutipan dibawah ini: “Penguatan organisasi-organisasi kemasyarakatan sebagai upaya mewakili sisi permintaan dalam kutub politik, tanpa menyediakan bantuan yang sama kepada organisasiorganisasi politik dimana mereka juga harus berusaha menggabungkan kepentingan-kepentingan kelompok-kelompok didalamnya, pada akhirnya akan merusak keseimbangan demokrasi”2 Kekhawatiran tersebut tentulah kemudian tidak hanya dipahami oleh Ivan seorang karena hal yang dikemukakanya tersebut kemudian menjadi instrumen pergeseran pembiayaan donor dari masyarakat sipil kepada penguatan kapasitas penyelenggara negara(government). Pergeseran ini menjadi permulaan yang baik sekaligus fenomena yang melahirkan distorsi baru dalam lahirnya konsolidasi di masyarakat yang merupakan sumber dari partisipasi yang merupakan elemen utama bagi hadirnya konsolidasi demokrasi. Perkembangan global merupakan realitas yang tak dapat dihindari dalam interkasi kehidupan berbangsa saat ini, termasuk terkait bagaimana mekanisme dunia maju melibatkan diri untuk kepentingan pengembangan negara dunia ketiga. Salah satu wilayah strategis untuk itu dalam koridor konsolidasi demokrasi yang banyak diyakini adalah pengembangan masyakat sipil untuk dapat berdaya. Untuk itu keberadaan dana pembangunan internasional (Official Development Assistance atau ODA) yang diterima oleh banyak negara berkembang adalah hal biasa dalam sistem dunia terutama terkait pengembangan dunia yang lebih berperadaban meskipun juga banyak dimaknai sebagai mekanisme persaingan ideologi maupun strategi politik global. Fenomena civil society dalam perkembangan demokrasi di Indonesia hingga kini menempati ruang strategis dan penting dalam atmosfir konsolidasi 2
ibid
13
demokrasi. Semua seakan setuju bahwa masyarakat sipil adalah aktor yang telah membawa harapan dalam mewujudkan tujuan berbangsa akibat terjadinya pembusukan dalam demokrasi seperti : Pembusukan partai politik, krisis kepercayaan terhadap parlemen, kecendrungan para politisi untuk berperilaku curang, hilangnya ideologi orsospol dan sebagainya.3 Hampir semua setuju bahwa civil society adalah the idea of the late twientieth century (gagasan penting pada akhir abad ke-20). Hal ini nampak memposisikan masyarakat sipil sebagai aktor utama yang berperan dalam memperovokasi kejatuhan rezim otoriter dan dalam mempromosikan demokrasi dalam masyarakat.4 Cara pandang terkait masyarakat sipil dalam berbagai pandangan senantiasa mengalami perkembangan sehingga harus dapat memasukkan elemen-elemen tertentu yang pada pandangan awalnya tidak dimasukkan. Terutama dalam membangun orientasi kebutuhan masyarakat sipil yang reflektif yang merupakan tuntutan keadaan dengan pengaruh lingkungan internal politik maupun eksternal politik global yaitu adanya wacana dan ruang publik yang bebas. Kebutuhan Masyarakat Sipil yang Reflektif
Wacana Publik yang bebas
Ruang publik yang bebas
Penggambaran seperti diatas itulah kira-kira yang hendak dikemukakan dan dijelaskan oleh Hadiwinata dalam tulisannya. Secara esensial dikemukakan terkait penggambarkan berbagai kritisasi atas realitas OMS pada berbagai wilayah belahan dunia yang mengalami kemerosotan capaian sehingga tidak hanya menjadi solusi tetapi juga problem bagi demokrasi. Asumsi yang dikembangkan Hadiwinata dengan mengutip Muthiah Alagappa bahwa Civil society dapat berperan mengembangkan demokrasi ketika civil society memfasilitasi pembentukan budaya politik demokratis, meminta kepada pemerintah untuk mempertanggungjawabkan setiap kebijakannya, dan mendorong masyarakat untuk melakukan partisipasi politik. Sebaliknya civil society akan mengerdilkan demokrasi jika terkontaminasi oleh ekstremisme, jingosime (nasionalisme berlebihan), premanisme dan berbagai tindakan melawan hukum yang dapat memicu instabilitas sosial-politik.5 Fenomena degradasi demokrasi seperti yang dikemukakan Muthiah diatas, juga secara gamblang dikemukakan oleh Carothers yang mengemukakan kondisi 3
Bob Sugeng Hadiwinata, Masyarakat sipil sebagai penghambat demokrasi?:Ekstremisme dan demokratisasi di Indonesia, dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, Hlm. 225-238. 4 ibid 5 Lihat Muthiah Alagappa(2004), Civil society and political change, dalam Muthiah Alagappa (ed), Civil Society And Political Change In Asia: Expanding and contracting democratic space, Stanford: Stanford University Press, 2004 dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, Hlm. 227
14
sejumlah negara yang sedari awalnya tampaknya menuju konsolidasi demokrasi, namun kini justru berbalik arah menuju cengkraman otoritarianisme baru atau setidaknya memasuki politik zona abu-abu. Kondisi ini digambarkan terjadi pada suatu negara yang di satu sisi, negara tersebut memiliki ciri kehidupan politik yang demokratis dengan: adanya ruang politik meski terbatas partai-partai politik oposisi dan masyarakat sipil yang otonom, serta Pemilu yang teratur dan konstitusi yang demokratis. Tetapi pada saat bersamaan, mereka juga mengalami defisit demokrasi dengan karakternya antara lain: representasi politik yang buruk, rendahnya partisipasi politik di luar memilih dalam Pemilu, banyaknya pelanggaran hukum yang dilakukan oleh aparat negara, Pemilu dengan ketidakpastian legitimasi, semakin rendahnya tingkat kepercayaan publik terhadap aparat dan institusi negara, dan rendahnya kinerja lembaga-lembaga Negara.6 Grafik. Tingkat Partisipasi Memilih di Indonesia Pada Pemilu Tahun 1971-2014 94,02
90,57
91,23
91,30
90,91
93,30 88,93 84,07 77,44 70,99 72,56
75,11 71,31
Sumber: Komisi Pemilihan Indonesia (KPU), 2015
Tingkat partisipasi yang diperoleh hingga tahun 2014 tersebut, merupakan 1971
1977
1982
1987
1992
Tingkat Partisipasi Pemilu Legislatif
1997
1999
2004
2009
2014
Tingkat Partisipasi Pemilu Presiden
Pertumbuhan demokrasi prosedural yang baik bagi Indonesia terlepas dari fenomena semakin berkurangnya partisipasi masyarakat pada setiap periode. Namun sebagimana penggambaran kondisi seperti yang dikemukakan diawal tadi, kondisi ini paradoks dan merupakan karakter politik yang saat ini sedang terjadi, sehingga menjadi potret buram politik yang dimiliki bangsa ini utamamya ke masa depan. Keberadaan proses politik yang demokratis melalui pemilu baik legislatif, pemilu Presiden dan wakil presiden serta Pilkada termasuk Pilkada serentak yang baru saja berlangsung menghasilkan produk representasi yang buruk. Problem ini juga dilihat Marijan (2010) yang menyatakan bahwa negaranegara sedang berkembang memiliki masalah terhadap keberadaan civil society terkait dengan perannya dalam transisi demokrasi. Hal ini karena pasifnya civil 6
Lihat Thomas Carothers, The End of the Transition Paradigm, dalam Journal of Democracy 13, 2002, hlm. 1 dalam Yudi Latif, Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat, bahan diskusi pada FGD/Seri Diskusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertema : Sistem Politik Berintegritas, Jakarta, 25-26 September 2013.
15
society bahkan trust diantara mereka rendah. Implikasinya adalah konsolidasi demokrasi menjadi sulit dilakukan bahkan tidak sedikit kelompok civil society telah terpengaruh secara kuat oleh kekuatan negara. Sebagai solusi menurut Marijan dibutuhkan desain kelembagaan untuk pemberdayaan terhadap kelompok-kelompok civil society untuk dapat kuat dan aktif sehingga mampu menjadi energi yang menggerakkan lokomotif transisi demokrasi untuk tidak kembali kebelakang yaitu rezim autoritarian.7 2.2.
Studi Terkait OMS/CSO di Indonesia Berbagai keterbatasan yang dihadapi CSO/OMS di Indonesia pasca reformasi, terekam secara jelas sebagai kondisi transisi jika tidak dikatakan sebagai era matinya kelembagaan CSO yang bukan karena adanya hegemoni negara melainkan karena tidak adanya budaya masyarakat sipil yang semestinya merupakan bagian dari budaya partisipasi yang menopang sebuah budaya demokrasi. Salah satu kondisi itu terekam dalam rekomendasi studi yang disampaikan dalam riset Insan Kamil di beberapa daerah (Aceh, Kalimantan dan Papua) menunjukkan bahwa diperlukan berbagai hal sebagai road map bagi pengembangan CSO Indonesia kemasa depan yaitu: 1. Mengkonsolidasi Aliansi CSO 2. Memperkuat Kapasitas Aliansi CSO 3. Pengorganisasian Warga Akar Rumput 4. Advokasi Kebijakan Publik di Level Kabupaten 5. Mengawal Implementasi Kebijakan Publik 6. Mempengaruhi Opini Publik 7. Pematangan dan Penguatan Posisi dan Peran Aliansi CSO sebagai Kekuatan Demokrasi8 Kajian yang senada namun melihat kebutuhan konsolidasi pada level lokal sebagai ruang terdekat dari kehadiran demokrasi di masyarakat, digambarkan oleh Otho H. Hadi (2010), yang dari hasil studinya memperoleh kesimpulan bahwa: “...(1) hubungan negara–masyarakat sipil di Indonesia sangat dipengaruhi oleh konteks lokal (budaya masyarakat dan budaya politik), karakter organisasi masyarakat sipil (SDM dan manajemen, finansial, model gerakan, jaringan), dan dinamika ekonomi politik lokal dan nasional; (2) organisasi masyarakat sipil memiliki potensi penting bagi proses konsolidasi demokrasi di Indonesia; (3) peran masyarakat dalam mendorong perkembangan LSM/organisasi masyarakat sipil di Indonesia cukup signifikan.”9
7
Kacung Marijan, Sistem politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Media Kencana, 2010, Hlm. 180 8 Insan Kamil, Laporan Penelitian, Potret Demokrasi: Studi Tentang Peran CSO dalam memperkuat Demokrasi di kubu raya-Kalimantan Barat, Merauke-Papua dan Nagan Raya-Aceh, Yogyakarta: UNDEF-Satu Nama, 2013, Hlm. 60-61 9 Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara-UI, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2, Desember 2010: Hlm. 117-129.
16
Kajian tersebut menekankan esensi pentingya masyarakat sipil dan hadirnya trust masyarakat pada level lokal dimana CSO dalam posisinya pada konteks lokal akan sangat ditentukan oleh fenomena lokal yang ada. Senada dengan hasil studi tersebut, berdasarkan hasil kajian Adi Suryadi (2006)10 terkait masyarakat sipil dalam perspektif wacana dan aksi ornop di Indonesia terlihat bahwa, subtansi yang paling penting adalah untuk mengkaitkan masyarakat sipil dan negara. Kajian ini merupakan gugatan yang merupakan Implikasi teoritis bahwa perlu modifikasi teori tentang hubungan masyarakat sipil dengan negara. Tesis terkait penolakan seluruh teori tentang hubungan masyarakat sipil dengan negara (falsifikasi), sehingga menurutnya negara dapat berperan positif dalam pembentukan masyarakat sipil dan perkembangan masyarakat sipil karena interaksinya dengan domain negara. Problem budaya liberal yang tidak dimiliki masyarakat Indonesia, yang lebih kental dengan iklim kegotong-royongan merupakan bagian penting dari konsolidasi demokrasi yang semestinya mendapat perhatian serius untuk dapat mewujudkan sinergitas antara berbagai sistem yang ada. Kegagalan membangun kesadaran pada masyarakat yang kemudian dapat diharapkan memberikan partisipasi politik akan memberikan dampak luas terhadap budaya politik masyarakat. Keberhasilan penyelenggaraan instrumen demokrasi seperti penyelenggara pemilu merupakan bagian penting untuk melahirkan konsensus masyarakat. Kompetisi dalam rekruitmen kepemimpinan yang akan mengelola kebijakan di masyarakat menjadi ruang untuk melihat hal tersebut. Demokrasi baik sebagai subtansi maupun sebagai prosedur tidak akan berguna ketika dalam proses tersebut, kontestan yang bersumber dari partai politik lebih banyak berkolaborasi secara negatif dan masyarakat sebagai pemilih lebih menunjukkan partisipasi semu dengan mengambil keuntungan secara personal dan sesaat terkait proses demokrasi yang sedang berlangsung. Keberadaan negara dalam berbagai pengkajian yang disebutkan diatas merupakan satu kesatuan penting bagi masyarakat sipil dalam konteks Indonesia. Perbedaan budaya sebagaimana yang terjadi pada berbagai negara, memungkinkan Indonesia untuk dapat mengadopsi model intervensi negara sebagai ruang tertinggi dari entitas berbangsa untuk dapat menjadi bagian dari penguatan civil society yang rentan dijadikan alat bagi kalangan tertentu. Potensi dalam masyarakat tersebut akan dapat merupakan kekuatan politik yang seharusnya menjadi civil society yang tidak diharapkan menjadi uncivil society/bad civil society. Konsolidasi demokrasi hanya dimungkinkan jika terjadi perubahan mindset budaya demokrasi yang tumbuh dari bawah dan tidak selalu dari atas dengan perbaikan sistem tetapi tidak membenahi lingkungan yang mengitari sistem yang ada tersebut. Budaya Politik dipandang sebagai sumber penopang proses transisi menuju demokrasi. Sebagai upaya menumbuhkan konsensus didalam masyarakat yang menciptakan penerimaan dan kepatuhan akan keputusan yang dihasilkan, 10
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Sipil Dalam Perspektif Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia,Jakarta: LP3ES, 2006.
17
menurut Larry diamond(1994) bahwa dibutuhkan moderation, cooperation, bargaining dan accomodation. Hal ini untuk dapat mendorong pelembagaan civil society untuk dapat berfungsi secara baik dalam nilai-nilai sosial sebagai modal (social capital) dalam interaksi kehidupan diantara warga negara melalui saling percaya (trust). Studi terkini yang dilakukan oleh LP3ES Jakarta (2015) pasca Pemilu Legislatif dan Presiden/wakil presiden 2014 menunjukkan suara miris ketika OMS terlibat dalam siklus framing yang membawa masyarakat kepada kepentingan kelompok tertentu. Serta besarnya pengaruh donor internasional kepada OMS sehingga nyaris sepinya Pemilu sebagai proses demokrasi dari kehadiran OMS. Hal ini dapat diukur dengan keterlibatan OMS dalam berbagai proses Pemilu pasca reformasi sejak tahun 1999 yang marak dengan OMS karena besarnya dukungan lembaga donor internasional hingga Pemilu 2014 yang nyaris tanpa pemantauan dan keterlibatan OMS karena ketiadaan bantuan donor Internasional.11 Lembaga yang selama ini eksis dalam mekanisme kerja CSO baik didalam maupun diluar negeri seperti YAPPIKA menyadari betul bahwa terjadi pergeseran kemampuan CSO dalam menggalang advokasi, pemberdayaan terhadap komunitas sasaran program setiap CSO. Hal ini dikemukakan bahwa “Bergesernya arus dana telah membuat perbedaan tajam di dalam peran masyarakat sipil. Pegiat yang terlibat sebagai penyedia layanan, mengalami kesulitan untuk menjalankan advokasi; sementara pegiat yang mendapatkan dana dari CSR jadi cenderung mengabaikan aspek non-pasar dari kontribusi sosialnya.”12 Artinya bahwa kondisi pergeseran donor yang memiliki kepentingan atas pembiayaan yang dilakukannya kepada negara lain berdampak kepada watak CSO yang telah dibangun dan dibina di Indonesia. Perkembangan demokrasi sebagai tujuan utama berbagai negara donor dalam asumsinya telah tercapai, meskipun dampak luas dari proses yang dilakukan tersebut memberikan hasil yang tidak sesuai dengan ekspektasi awal sebagaimana janji nilai-nilai demokrasi yang dikembangkan. CSO berada pada titik yang sulit untuk eksis sehingga pada akhirnya berdampak kepada masyarakat yang selama ini telah merasa memiliki salah satu instrumen pengarah dalam memperjuangkan kepentingan-kepentingan politik mereka terutama terkait hak memperoleh pelayanan dan pembiayaan dana publik bagi kesejahteraan da keadilan mereka. Salah satu faktor strategis dalam pengembangan dan keberlanjutan program pemberdayaan adalah masalah pendanaan yang dapat bersumber dari berbagai hal yaitu pemerintah (APBN/APBD), Donor, CSR maupun personal Filantropi melalui Donasi. Hasil penelitian Lembaga Public Interest Research and 11
Kurniawan, M. Nur Alamsyah, Rahadi TW.,dan TH. Prihatono, Assesmen Partisipatif Pemilu 2014: Pilihan Model Evaluasi Pemilu di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2015. 12 YAPPIKA (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi), Masyarakat Sipil di Persimpangan Jalan: Pergeseran, Tantangan, Pilihan?, Hal 6–8, 2013. Dikutip dari http://jembatantiga.com/2014/11/peran-organisasi-masyarakat-sipil/
18
Advocacy Center/PIRAC tahun 2015,13 menunjukkan terjadinya peningkatan aktivitas filantropi terutama bagi perusahaan-perusahaan di Indonesia di tahun 2014. Temuan riset PIRAC tersebut menunjukkan besarnya nilai sumbangan perusahaan yang disalurkan melalui kegiatan filantropi sebesar Rp. 8,6 triliun pada tahun 2013, meningkat menjadi sebesar Rp. 12,4 triliun tahun 2014. Fenomena ini menunjukkan bahwa terdapat banyak perusahaan yang menjalankan kegiatan filantropi dengan menggandeng mitra para LSM/yayasan sosial dan pemerintah. Umumnya perusahaan yang melakukan filantropi didominasi perusahaan nasional ketimbang lokal, dengan ruang lingkup kegiatan lebih banyak dilakukan di wilayah lokal atau daerah. Kegiatan filantropi ini dilakukan 72% masih bersifat insidential dan yang bersifat regular 28%.14 Meskipun terdapat peningkatan jumlah nominal dari filantropi perusahaan tersebut dengan memanfaatkan CSO, namun kondisi yang terjadi tersebut tidak bersifat terprogram bahkan cenderung bersifat charity sehingga masih jauh dari model pengelolaan filantropi strategis yaitu suatu kebijakan publik yang menjadi instrumen dalam mempola gaya dan takaran filantropi secara kelembagaan.15 Menggunakan sumber data yang sama yaitu PIRAC dan Asian Development Bank (ADB) terkait potensi Zakat di Indonesia, dikemukakan bahwa potensi zakat di Indonesia mencapai 20 trilyun setiap tahun. Pengumpulan dana yang berhasil dihimpun melalui organisasi zakat adalah sebesar 1,2 trilyun/tahun atau hanya sebesar 6% dari potensi yang dapat dikumpulkan. Penelitian Asian Development Bank (ADB) menunjukkan potensi zakat di Indonesia dapat mencapai 100 trilyun/tahun. Potensi ini tidak dapat teroptimalkan secara baik karena belum efektifnya pelembagaan sebagaimana dikemukakan diatas yang mana Masyarakat Indonesia cenderung menyalurkan zakatnya secara langsung ke penerima zakat (mustahiq).16 Berbagai hasil kajian ilmiah diatas, merupakan refleksi mendasar kepada mekanisme kebangsaan Indonesia bahwa terdapat hal yang abai dan keliru dalam membangun konsolidasi demokrasi di Indonesia dari potensi internal yang dimiliki. Ketika penyelenggaraan demokrasi dibenahi secara serius (instrumen demokrasi) meliputi infrastruktruk dan suprastruktur politik, elemen terbawah dan terpenting dalam membangun demokrasi itu sendiri diabaikan yaitu tidak terformulasinya antara pilihan mekanisme konsolidasi demokrasi dengan strategi pengembangan budaya politik masyarakat Indonesia yang merupakan instrumen penting dalam menghadirkan partisipasi politik masyarakat. Cara pandang yang banyak berkembang terkait partisipasi masyarakat dalam politik demokrasi hanya berhenti pada keterlibatan masyarakat dalam 13
Kerangka acuan Diskusi Terbatas Konsil LSM Indonesia, Kemitraan Antara Perusahaan dan LSM untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, Hotel Akmani Jakarta, 15 Desember 2015 14 Ibid (konsil LSM), 2015 15 Lihat Hasil Diskusi PIRAC, Lien Center for Social Innovation dan Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Lever for Change: Philanthropy in Select South East Asian Countries, Hotel Sultan Jakarta, 03 Desember 2014 diunduh dari http://nazhoriauthor.blogspot.co.id/2014/12/pedagogi-filantropi-tuas-pengungkit.html unduh 1212-2015 pkl 7;41 WIB. 16 Lihat Syaparuddin(Disertasi), Eksplorasi Variabel-Variabel Determinan Pembayaran Zakat bagi Muzakki pada Lembaga Zakat di Kawasan Joglosemar, Yogyakarta: UIN, 2011
19
pemilu. Hal ini merupakan indikator umum yang diyakini penganut demokrasi elitis (perwakilan) sebab pemimpin yang terpilih akan menjadi pelaksana dan eksekutor keputusan yang terkait dengan masyarakat secara luas. Permasalahan serius yang dihadapai kemudian dalam tradisi pemilihan langsung adalah ketika terjadi fenomena electocracy17 atau lahirnya deficiencies of representative politics.18 Kondisi ketika pemimpin yang telah dipilih secara demokratis tidak memahami dan tidak dapat melakukan kegiatan untuk memenuhi ekspektasi pemilihnya serta ketidak mampuan menjalankan fungsinya. Hal ini bisa disebabkan oleh permasalahan rekruitmen yang bersumber pada partai politik maupun buruknya sistem rekruitmen yang penuh dengan penggunaan vote buying dan lain sebagainya. Keadaan tersebut dapat tercipta sebagai kondisi yang membahayakan demokrasi, sebab terjadi gap atau jarak karena terjadi penurunan tingkat kepercayaan (trust) dari masyarakat kepada para wakil sehingga tercipta disconnect electoral. Fenomena politik ini akan menciptakan tidak bekerjanya sistem demokrasi secara baik, terutama ketika kekuasaan yang terbentuk lebih mengedepankan kepentingan kelompok dan golongannya daripada kepentingan umum. 2.3.
Perbandingan Kebijakan Pada studi demokrasi Trus Fund tahun 2011 dan 2014 oleh Ditpolkom Bappenas dan Kemitraan, telah menemukan bahwa beberapa permasalahan mendasar terkait kebijakan di Indonesia jika diperbandingkan dengan negara lain untuk dukungan negara terhadap perkembangan masyarakat sipil dalam proses partisipasinya untuk melakukan konsolidasi dan mendukung demokrasi. Bahkan dalam konteks Indonesia telah ditemukan peta potensi terkait pelembagaan dukungan yang dapat diberikan oleh 3 elemen penting yang diharapkan memberikan kontribusi penting yaitu pemerintah melalui Kementerian dan lembaga negara, masyarakat bisnis, dan masyarakat sipil (NGO/OMS). Dalam studi kemitraan yang fokus pada bentuk dukungan negara dalam pengembangan CSO di 3 (tiga) negara masing-masing Inggris, Swedia dan Korea Selatan sebagai bentuk yang mewakili perbedaan pola bentuk dukungan negara kepada masyarakat sipil. Pengalaman pada ketiga negara tersebut ditemukan bahwa setiap negara memiliki metode dan cara tertentu dalam mendukung masyarakat sipil di negara tersebut.19 Tabel. Perbandingan Model 3 Negara (Inggris, Swedia dan Korea Selatan) URAIAN Bentuk Kerjasama
17
INGGRIS Perjanjian dan kesepakatan antara pemerintah/kantor perdana menteri dengan komunitas CSO yang disebut sebagai Compact
SWEDIA Model korporatis yakni adanya 15 perwakilan CSO nasional, yang selanjutnya melakukan kerjasama di tingkat pelaksanaan.
KOREA SELATAN Committee to Select Public Interest Project yang berisi 15 anggota yang terdiri dari 3 anggota yang dipilih oleh nasional Assembly dan 12
Lihat M. Nur Alamsyah, Fenomena Electocracy Dalam Pilkada Langsung Di Indonesia, Jurnal Academica ISSN. 1411-3341, Volume 4 No 1 Februari 2012, Palu: Fisip Untad, 2012. 18 Lihat Lupia dan Matsusaka, 2004 dalam Kacung Marijan, Sistem politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Media Kencana, 2010, Hlm. 113 19 Agung Djojosoekarto dkk. (Astri Suryandari & Retno Widyastuti, Ed), Laporan Kajian: Trust Fund dan Pendanaan CSO untuk demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kemitraan, 2014 \
20
Sumber dana
Anggaran belanja negara yang diperoleh dari pajak dan sumber dana dari masyarakat lainnya
Dana yang dikelola Sida berasal dari pajak sebanyak setengah dari total anggaran bantuan pengembangan yang ditetapkan Swedia.
Mekanisme pendanaan
Call for proposal dan dukungan dana untuk program CSO yang sesuai dengan program pemerintah. Terbuka untuk semua CSO.
Pengelola Dana
Compact memiliki kode praktik yang harus ditaati oleh Pemerintah Inggris dan CSO yang terkait. Kode itu dirumuskan bersama oleh Pemerintah dan CSO
CSO dipilih oleh pemerintah, umumnya CSO yang dipilih adalah CSO besar yang berskala internasional. Tidak semua CSO bisa mendapatkan pendanaan dari pemerintah. Sida bekerja menurut pada arahan Parlemen dan Pemerintah Swedia untuk mengurangi kemiskinan di dunia.
anggota berasal dari masyarakat sipil, yang berfungsi sebagai tim seleksi proposal CSO dalam rangka pemberian dana program. Anggaran belanja negara yang diperoleh dari pajak dan sumber dana dari masyarakat lainnya Call for proposal dan dukungan dana untuk program CSO yang sesuai dengan program pemerintah. Terbuka untuk semua CSO yang terdaftar. Kementerian Dalam Negeri dan Administrasi Publik / Pemerintah Daerah
Sumber: Olah Hasil paparan Kemitran, 201520 Selain hal diatas, yang menjadi concern dari negara juga terdapat model lain yang dikembangkan oleh perusahaan sebagai wujud kepedulian terhadap aspek-aspek tertentu. Hal ini dapat dilihat dengan model yang dikembangkan perusahaan di Philipina. Di Filipina sejak 1970 terdapat lembaga Philippine Bussines for Social Progress(PBSP). Lembaga yang awalnya terdiri dari 49 perusahaan ini, merupakan bentuk kongkrit kontribusi perusahaan-perusahaan di Filipina dalam menyediakan sumber pendanaan bagi OMS untuk mengatasi berbagai persoalan sosial masyarakat. Pendiriannya dimaksudkan untuk mengumpulkan sumberdaya dari perusahaan-perusahaan strategis yang nantinya dapat digunakan untuk mendukung program yang mendorong ke arah kemandirian, pembangunan berkelanjutan, serta pertumbuhan ekonomi di Filipina. Saat ini, PBSP telah memiliki 179 anggota yang terdiri dari perusahaan lokal dan multinasional seperti San Miguel Corporation, Shell, IBM Philippine, dan lain-lain. Hal ini dapat menjelaskan posisi kebijakan negara dan ketersediaan instrumen good will politics dari mekanisme negara dan kondisi masyarakat yang menganggap hal tersebut sebagai hal yang mesti ada sebagai kondisi yang harus dapat didukung oleh kebijakan negara sebagai kepentingan akan kesempatan masyarakat untuk memperoleh pelayanan yang lebih baik dari mekanisme bernegara. Studi lainnya yang mengemuka di tahun 2011 bahwa Problem terbesar yang diperoleh dalam upaya mendapatkan dukungan bagi organisasi masyarakat sipil untuk mendapatkan dukungan dan kesempatan untuk dapat melakukan 20
Paparan Hasil pengkajian Kemitraan, Dana Perwalian Transformasi Demokrasi Indonesia (Indonesian Democracy Transformation Trust Fund – IDTTF), Untuk Membangun Masyarakat Sipil yang dinamis dan kuat di Indonesia, 2015
21
inovasi secara berkesinambungan adalah keberadaan dari regulasi negara yang belum begitu kuat. Beberapa regulasi tersebut sebagaimana dibawah ini: a. UU No. 17 tahun 2013 Tentang Organisasi Kemasyarakatan (Ormas) dan Putusan Mahkamah Konstitusi No. 82/PUU-XI/2013 dan No. 3/PUUXII/2014 terkait perkara gugatan terhadap UU No. 17 Tahun 2013 Tentang ormas. b. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 10 Tahun 2011 Tentang Tata Cara Pengadaan Pinjaman Luar Negeri dan Penerimaan Hibah, Tertanggal 12 Februari 2011, khususnya Pasal 47 ayat (1) disebutkan: “Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan sebagai bagian dari pembiayaan APBN melalui Dana Perwalian”. c. Peraturan Presiden Republik Indonesia Nomor 80 Tahun 2011 tentang Dana Perwalian, Tanggal 10 November 2011, menekankan: “Pemerintah dapat menerima Hibah dalam bentuk uang untuk membiayai kegiatan melalui Dana Perwalian”. Secara tekstual, nomenklatur pembiayaan demokrasi oleh negara tidak tercantum sebagai sebuah orientasi dari bagian per bagian regulasi tersebut. Namun hal penting yang menjadi landasan utama urgensi dari keberadaan mekanisme demokrasi trust fund adalah mekanisme antisipatif dari terjadinya degradasi proses demokrasi sebagai proses pertumbuhan demokrasi yang timpang. Kondisi lain adalah Komitmen pemerintah untuk memperkuat masyarakat sipil sebagai salah satu pilar demokrasi sebagimana yang tertuang dalam RPJMN 2015 – 2019 dan RPJPN 2005-2025. Salah satu wujud yang hendak dibangun dalam rangka penataan bidang politik di Indonesia adalah dengan Pembentukan POKJA untuk pembentukan kelembagaan Democracy Trust Fund (DTF). Hal ini dianggap merupakan sebuah Kebutuhan intervensi yang dibutuhkan masyarakat sebagai embrio kelembagaan DTF yang merupakan bagian yang akan mengakomodasi perwakilan dari pemerintah, akademisi, ormas, pihak swasta, dan institusi thinktank. Spirit yang seharusnya menjadi bagian dari semangat membangun masyarakat adalah Nawacita yang merupakan pengejawantahan komitmen kabinet kerja untuk senantiasa berada besama dengan masyarakat. Hal lain yang mengemuka bahwa sebagai sebuah program belum mendapatkan dukungan sepenuhnya dari kementerian tertentu serta terdapatnya keragu-raguan organisasi sipil utamanya yang telah terbiasa berjejaring dengan lembaga donor untuk dapat melihat program dukungan kepada organisasi masyarakat sipil sebagai sesuatu yang urgen terkait dengan realitas sejarah orde baru ketika OMS berada dalam hegemoni negara.
22
sedang baik
Grafik. Perkembangan Index Demokrasi Indonesia (IDI) 2009-2014 100 90 80 70
67,30
73,04 63,17
65,48
62,63
63,72
2010
2011
2012
2013
60 50 40 buruk
30 20 10 0 2009
2014
Sumber: Bappenas RI, 2015 Realitas nyata bahwa Indonesia di tahun 2014 mampu meningkatkan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) ke angka yang fantastis yaitu melebihi 9 poin semenjak keberadaan IDI dari tahun 2009. Salah satu faktor pemicu peningkatan indeks tersebut dikarenakan pengaruh pemilu 2014 yang dianggap relatif sukses. Nilai tersebut diperoleh melalui peningkatan tiga aspek yang menjadi indikator IDI yaitu Kebebasan Sipil, Institusi Demokrasi dan Hak-Hak Politik. Peningkatan yang tertinggi adalah pada Aspek Hak-hak Politik yaitu 17,47 poin, Kenaikan tersebut disumbang oleh kenaikan variabel Hak Memilih dan Dipilih (24,96 poin).21 Tentu saja hal ini tidak berbanding lurus dengan capaian proses demokrasi itu sendiri yaitu output demokrasi yang terdapat pada legislatif serta eksekutif yang belum menunjukkan kemajuan yang signifian bagi Indonesia. Tingginya angka korupsi bagi produk demokrasi langsung terlihat pada banyaknya Gubernur dan Bupati yang tertangkap serta terwakilinya semua partai politik dalam tahanan komisi pemberantasan korupsi (KPK). Hal yang menjadi realitas bahwa semakin menurunnya tingkat partisipasi politik masyarakat Indonesia yang memiliki budaya gotong royong untu berpartisipasi pada berbagai kegiatan sosial kemasyarakatan yang kini bergeser menjadi tugas pokok setiap satuan kerja pemerintah daerah (SKPD) disamping angka partisipasi pada pemilu bahkan pemilihan kepala daerah serentak yang digadang-gadang sebagai keberhasilan pengembangan konstrusi berdemokrasi di Indonesia sampai keangka yang jauh dari target Komisi pemilihan umum (KPU) yaitu 77%. Trust Fund tidak dimiliki oleh siapapun sehingga sungguh-sungguh menempatkan publik sebagai pemilik utama hasil yang dapat diperoleh dari program tersebut. Trust Fund merupakan mekanisme pembiayaan program yang membutuhkan biaya relatif besar secara berkelanjutan dalam jangka 21
Presentasi Ditpolkom Bappenas, Tahun 2015
23
menengah/jangka panjang Tujuan dari keberadaan Dana Trus Fund secara umum adalah bertujuan: 1. Pengentasan kemiskinan, pemberdayaan dan masyarakat 2. Pendidikan atau beasiswa 3. Penanggulangan bencana Alam 4. Penanggulangan masalah sosial, budaya dan kesehatan 5. Pelestarian sumberdaya alam 6. Program strategis lainnya Terdapat berbagai Karakteristik pengelolaan DTF, yang secara umum dapat dibagi atas: 1. Dikelola berkerjasama dengan pemerintah, khususnya dalam penyusunan kerangka kebijakan, standar dan mekanisme. 2. Dana dalam jumlah besar dikelola sebagai ‘aset’, dan diperuntukkan bagi pelaksanaan program dalam periode jangka panjang. 3. Jika dana harus diinvestasikan, beberapa dilakukan off-shore, contoh: Yayasan KEHATI, TFCA. 4. Dibentuk ‘dewan multi pihak’, dengan berbagai macam sebutan: oversight committee, steering-technical committee, project approval committee, tim panel independen, dll; fungsinya untuk menjamin transparansi dan akuntabilitas pengelolaan. 5. Waktu bagi persiapan, mulai dari penyepakatan mekanisme, penyusunan sistem, hingga penetapan program strategis; pada umumnya membutuhkan waktu lebih dari 1 tahun dari saat pendirian hingga penyaluran dana pertama. Perkembangan yang telah sejak lama eksis dapat juga merujuk kepada perkembangan berbagai negara maju yang meskipun tidak secara sepsifik berorientasi kepada pengembangan demokrasi, namun subtansi yang hendak dicapai dalam program yang dikembangkan adalah penciptaan iklim demokrasi. Hal ini dapat dilihat pada tabel dibawah ini: Tabel. Beberapa Bentuk, Inisiator dan sasaran Program Pendidikan Kewargaan di beberapa negara. No. 1.
2.
3
4.
Negara/Lembaga Amerika Serikat: CCE (Center for Civic Education) Korea Selatan: KORCEI (Korean Civic Education Institute for Democracy) Pakistan: CCEP (Center for Civic Education Pakistan) Philipina: PCCED (Philipnes Center for Civic Education and Democracy)
Pendiri/Inisiator Univ. of California
Fungsi/Kelompok Sasaran Pend. politik: kewarganegaraan, kewargaan/OMS
Komisi Pemilihan Umum
Pend. politik:Kewarganegaraan, kewargaan/OMS
CCE Amerika
Pend. politik:Kewarganegaraan, kewargaan/OMS
CCE Amerika
Pend. politik: kewarganegaraan, kewargaan/OMS
24
5.
6. 7.
Thailand: CCPD-KPI (Center for Civic Politics Development of King Prajadhipok’s Institute) Singapura: CME (Civies and Moral Education) Multy State: BTD (Balkan Trust For Democracy),
King Prajadhipok’s Institute
Pend. Politik:kewarganegaraan, kewargaan/OMS
Kementerian Pendidikan GMF (German Marshall Plan) German dan Amerika 2003 -2013)
Pend. Politik formal/media dan Parpol Pengembangan Demokrasi di Albania, Kosovo, Kroasia, Boznia Herzegovina, Montenegro, Serbia, Bulgaria, Macedonia
Sumber: diolah dari berbagai sumber, 201522 Perwujudan kehidupan berbangsa akan sangat ditentukan oleh seberapa mekanisme penyelenggaraan negara hadir dalam memberikan dukungan dan fasilitasi atas kebutuhan mendasar bagi masyarakat. Fenomena demokrasi dan konsolidasi demokrasi, merupakan realitas empirik yang kini menjadi trend global yang mau tidak mau harus dapat diselami dengan tidak membenturkanya dengan mekanisme dan budaya lokal. Sejatinya, watak dan karakter masyarakat yang hidup dalam iklim yang demokratis memiliki ciri masyarakat sipil yang kuat sebagai sebuah budaya dan tradisi yang dikembangkan. Meskipun kenyataan ini berbanding terbalik dengan yang diharapkan dengan pemaknaan demokrasi yang hanya sebatas ritus/formal prosedural semata yang menempatkan demokrasi sebagai cara bukan sebagai atmosfir yang harusnya diciptakan. Konsolidasi demokrasi menjadi jalan kembali bagi sebuah bangsa untuk bisa meraih manfaat dari kehidupan demokrasi yang lebih bermartabat, dengan mendorong elemen dasar dari demokrasi yaitu pelembagaan masyarakat untuk berpartisipasi dalam berbagai proses kehidupan politik yang terkait dengan dirinya.
22
lihat juga hasil Expert Meeting Grand Design Pendidikan Kebangsaan Indonesia kerjasama Kemendiknas-Kemendagri Pelaksana Fisip UI di Hotel Santika Jakarta, tanggal 07 Juni 2011
25
Bab III Kelembagaan OMS dan Profil Wilayah Kajian 3.1. Karakteristik OMS Indonesia Pilihan sistem liberal-demokrasi yang dianut sebuah entitas bangsa dapat dikatakan merupakan sebuah pertanda bahwa pra syarat yang harus ada dalam kehidupan masyarakat seperti itu untuk dapat sistem tersebut dapat berfungsi secara baik adalah adalah kehadiran civil society. Meskipun ini jika dilihat merupakan seolah-olah menjadi wujud kaku dari pilihan sistem liberal sementara dalam konteks perdebatan pada sistem yang lain juga memahami urgensi ini, sehingga cara pandang yang senantiasa menempatkan civil society sebagai unsich demokrasi liberal dapat terkoreksi sebab konsep Islam dengan masyarakat Madani pada kenyataannya juga menjabarkan kehadiran hal yang sama. Ciri umum civil society bagi Philippe Schmitter bahwa terdapat 4 (empat) macam nilai yang harus dimiliki civil society yaitu; Otonom, aksi kolektif, tidak merebut kekuasaan(seperti Partai Politik), tunduk pada aturan hukum yang ada.23 Penekanan dari 4 indikator civil society ini sebagaimana dijelaskan didepan, telah mengalami kritisasi terkait keterlibatan kelompok-kelompok yang tidak memenuhi kriteria itu terutama kepatuhan atas hukum terutama pada konteks ditumbangkannya rezim komunis di tahun 1989 yang mana kelompok yang tidak patuh terhadap hukum negara ini banyak terlibat.24 Pengertian umum tentang civil society seperti yang dikemukakan oleh Neera Chandoke bahwa Jika civil society terdiri dari asosiasi perse maka kita harus menerima semua jenis assosiasi (yang baik maupun yang buruk) sebagai bagian dari civil society. Pandangan lain yang mendukung hal tersebut yaitu pada masyarakat dengan liberalisme bukanlah tradisi masyarakat seperti di Indonesia misalkan maka civil society tidak bisa diassosiasikan dengan berbagai kekuatan yang selalu mendukung demokrasi. Hal ini telah dilihat dalam konteks Hindia oleh Gurpreet Mahajan yaitu kategori civil society tersebut sarat dengan ikatan primordialisme seperti kasta, suku, agama, bahasa dan sebagainya, sehingga memberikan moral bobot yang berbeda dibandingkan dengan civil society pada masyarakat Barat pada umumnya.25 Hal ini juga terdapat di Indonesia dengan pelembagaan organisasi keagamaan seperti berbagai organisasi seperti Nahdatul Ulama (NU), Muhammadyah, Darud Dakwah Wal Irsyad (DDI), Al Khairaat dan sebagainya yang bergerak bukan hanya bidang keagamaan semata tetapi juga kesejahteraan ummat Islam terutama pada bidang pendidikan dan kesehatan.
23
Philippe Schmitter (1995), dalam Bob Sugeng Hadiwinata dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, Hlm. 228 24 Lihat Carolyn Elliott(2003), Kopecky dan Mudde (2003) dalam ibid Hlm. 229 25 Gupreet Mahajan(2003), dalam CM. Elliot (ed), Civil Socety and Democracy: A Reader. Oxford; Oxford University Press, 2003, Hlm. 118; dalam Bob Sugeng Hadiwinata dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010, Hlm. 230
26
Keberhasilan tujuan demokrasi pada sebuah bangsa tidak serta merta tidak menimbulkan kepiluan, kasus reformasi Indonesia diwarnai dengan kerusuhan anti china sehingga menjadi noda dalam kemenangan civil society. Hal ini juga terjadi dalam meledaknya rangkaian kerusuhan berbau SARA hampir diseluruh Indonesia utamamya di Ambon, Poso, Sambas, Mesuji, Sumbawa, Bogor, Madura dll merupakan fenomena sosial yang sudah menyentuh ruang politik. Konteks persitiwa seperti ini sebagaimana yang dikemukakan oleh Juan Linz sebagai manifestation of disloyalty terutama dari kelompok ekstrim keagamaan,26 yang merembes ke etnisitas. Rangkaian tersebut merupakan wajah masyarakat sipil di Indonesia ketika kerangka mendasar untuk memungkinkan konsolidasi demokrasi ketika pihakpihak yang terlibat dalam perebutan kekuasaan meyakini bahwa demokrasi merupakan satu-satunya aturan main yang berlaku (the only game in town). Sebab hal-hal yang melibatkan pemaksaan dan kekerasan dan tanpa toleransi atas pihak lain akan menimbulkan kekacauan dan kegagalan demokrasi. Meskipun demikian konsepsi yang dikemukakan oleh para ahli ini cenderung senantiasa melihat pada dimensi proses elitis dan tidak menunjukkan bagaimana kondisi yang seharusnya dimiliki masyarakat untuk dapat melahirkan keadaan tersebut dan bagaimana cara memperolehnya terutama dengan tesis Hadiwinata terkait keberadaan konsolidasi demokrasi pada masyarakat yang tidak memiliki tradisi budaya liberal demokratis seperti Indonesia. Untuk itu, sebuah pilihan kebijakan secara subtansial tidak hanya ditopang oleh fenomena konsepsi teoritik semata tetapi lebih banyak akan dipengaruhi oleh kondisi Filosofik, sosiologis dan yuridis yang ada. Secara umum terdapat 3 typologi CSO/OMS di Indonesia, pemilahan ini berdasarkan pengkajian ilmiah yang menjadi pendekatan dan sudut pandang dalam melihat fenomena gerakan CSO/OMS di Indonesia, sebagaimana dikemukakan dibawah ini:
26
Ibid hlm. 232
27
3. pemberdayaan dari bawah 4. oposisi terhadap pemerintah
1. Charity
2. Developmentalis/ Empowernment
3. Advokasi
(menekankan pada interaksi OMS dan basis tujuan)
(menekankan kegiatan dan program kerja yang bersifat teknis)
Mansou fakih, tiga lipatan
2. menekankan mobilisasi pada isu‐ isu tertentu
2004
1. penyediaan pelayanan untuk masyarakat lapisan paling bawah
Tim fasilitasi lp3es‐jakarta,
Philip Eldrige (1989).
Tipologi Gerakan Ornop Indonesia
1. Konformis 2. Reformis 3. Transformatif (kesadaran ideologi kritis untuk perubahan struktural masyarakat)
Sumber: diolah dari Adi Suryadi Culla, 200627 Berdasarkan typologi ini sesungguhnya dapat dilihat perkembangan OMS di Indonesia untuk memperoleh pemetaan kondisi yang dihadapi dari masa ke masa. Hampir semua typologi tersebut masih hidup dalam artian karena masih memiliki lembaga secara administrasi namun sudah tidak berfungsi secara optimal lagi karena tidak memiliki sumber daya pendukung yang memadai khususnya sumber daya manusia (SDM) yang memadai dan sumberdaya keuangan/Dana yang memadai. Hal ini berimplikasi kepada melemahnya mekanisme pendampingan hakhak masyarakat atas kehidupan yang lebih baik bagi kelembagaan OMS yang bergerak diadvokasi, hilangnya sumber pembiayaan terhadap potensi peningkatan kesejahtaraan dan pemberdayaan bagi masyarakat marginal untuk organisasi yang bersifat Charity dan Empowerment. Ketiga bentuk OMS itulah yang saat ini hidup ditengah aktifitas masyarakat sipil di Indonesia.28 Berbagai riset yang telah dilakukan memberikan rekomendasi dan penjabaran atas kondisi empirik yang dihadapi OMS saat ini. Salah satu kesimpulan yang menarik dari berbagai studi tersebut adalah 5 (lima) kesimpulan Insan Kamil (2013) dalam studinya sebagaimana kutipan dibawah menyatakan: 1. Tidak serta merta desentralisasi mendukung dan memperkuat demokrasi namun justru desentralisasi digunakan oleh pemimpin-pemimpin lokal yang memburu rente dari kebijakan yangdibuatnya dengan, kadangkadang, menggunakan pendekatan “represif”. 2. CSO belum merumuskan posisinya dalam konteks demokrasi yang dinamis. 3. Problem fragmentasi CSO untuk masing-masing wilayah masih sangat kentara. 27
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Sipil Dalam Perspektif Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006 28 Lihat Tim Fasilitasi LP3ES-Jakarta, 2004
28
4. Kapasitas kelembagaan CSO 5. Peran demokrasi CSO di masing-masing wilayah masih dalam ruang lingkup program, CSO belum tampil sebagai kekuatan penekan demokratis yang memiliki pengaruh lebih luas bagi perbaikan konteks sosialekonomi-politik di masing-masing wilayah.”29 Kesimpulan studi tersebut diatas dengan fenomena studi yang lainnya, dapat menggambarkan bahwa capaian masyarakat sipil yang diidealkan dapat dicapai melalui proses konsolidasi demokrasi masih jauh dari harapan. Hal ini juga akan terkait pertanyaan, seberapa mekanisme infra dan suprastruktur politik negara dan masyarakat mendorong hal tersebut. 3.2.
Profil Wilayah Kajian 3.2.1. Provinsi Papua Barat Sesuai UU pembentukan Provinsi papua Barat yang dimekarkan dengan Provinsi papua dan Permendagri No. 6 Tahun 2008. Papua barat merupakan salah satu Provinsi termuda di Indonesi yang merupakan hasil pemekaran dari Provinsi Papua yang juga merupakan salah satu hal yang termaktub dalam UU otonomi Khusus di Papua. Proses perjalanan demokrasi masyarakat Papua Barat belum begitu lama tercatat namun telah memberikan berbagai model aturan (Role Model) terkait masalah kebangsaan di Indonesia. Salah satu poin kritis yang tak dapat diselesaiakan di Provinsi induk Papua hingga kini adalah pengisian unsur masyarakat lokal yang akan mengisi fraksi otonomi khusus di Dewan perwakilan rakyat daerah (DPRD). Kematangan dalam mencari instrumen menjadi sangat menentukan bagaimana masyarakat Papua Barat dapat menyelesaiakannya dengan lebih cepat dengan terilihnya 11 Kursi di DPRD Papua Barat yang merupakan representasi masyarakat adat yang ada diwilayah Papua Barat. Masyarakat adat papua Barat terbagi dalam 3 cluster adat (pembagian daerah adat) yang disusun sesuai undang-undang otonomi Khusus yang menetapkan bahwa adat yang diambil adalah kebiasaan yang dianut, dilaksanakan dan diyakini masyarakat sehingga diambil menjadi kebiasaan. Berdasarkan hal tersebut, maka kebiasaan atau adat masyarakat yang masih hidup dan digunakan masyarakat pada cakupan cluster tersebut menggunakan budaya pemberian mahar perkawinan digunakan sebagai pembagian wilayah. Wilayah Papua Barat kemudian dengan dasar adat pemberian mahar maka seluruh budaya dan adat istiadat anak suku Papua Barat dapat dibagi pada 3 wilayah meliputi: Manokwari Raya, Sorong Raya dan Kuri Wamesa. Ketiga wilayah ini memiliki budaya mahar perkawinan yang berbeda dan tidak terkait antara satu dengan lainnya. 30 Mahar perkawinan di wilayah Manokwari Raya yang meliputi Kabupaten Monokwari, Kabupaten Manokwari Selatan dan Kabupaten pegunungan Arfak. 29
Insan Kamil (Laporan Penelitian), Potret Demokrasi: Studi Tentang Peran CSO dalam memperkuat Demokrasi di kubu raya-Kalimantan Barat, Merauke-Papua dan Nagan Raya-Aceh, Yogyakarta: UNDEF-Satu Nama, 2013, Hlm. 59 30 Sumber wawancara Yan Yotemi (Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRD Papua Barat, dari Cluster III Kuri Wamesa) Tanggal 30 Oktober 2015, Pukul 14.00-17.20 WIT
29
Pada wilayah ini budaya pembayaran mahar adalah dengan senjata (bedil). Sedangkan wilayah yang meliputi Sorong Raya adalah Kota Sorong, Kab. Sorong, Sorong Selatan dan Maybrath , Tambrauw dan Raja Ampat, adat pembayaran mahar menggunakan Kain Timur. Sedangkan wilayah yang meliputi cluster Kuri Wamesa yang meliputi daerah kabupaten Teluk Wondama, Kab. Kaimana, Kab. Bintuni, dan Kab. Fak-Fak. Penetapan pembagian cluster tersebut termaktub dalam Peraturan Gubernur (Pergub) Papua Barat No. 16 Tahun 2014. Pembagian kursi dari ketiga wilayah meliputi 3 (tiga) kursi diwilayah Monokwari Raya, 5 (lima) kursi diwilayah Sorong Raya dan 3 (tiga) kursi di wilayah cluster Kuri Wamesa.31
Sumber: BPS, Papua Barat Dalam angka Tahun 2015 Wilayah Papua Barat berbatasan masing-masing disebelah Utara dengan samudera pasifik, sebelah selatan dengan Laut Banda dan provinsi Maluku, sebelah barat dengan laut seram dan provinsi Maluku dan sebelah Timur dengan provinsi Papua.32 Luas wilayah provinsi Papua adalah 97.407,61 Km terdiri dari 10 Kabupaten dan 1 Kota yang meliputi 162 kecamatan dan 1.392 desa.
31
Ibid, hal ini juga dipertegas oleh Yonadap Trogea (Anggota Fraksi Otonomi Khusus DPRD Provinsi Papua Barat dari Cluster II/ Sorong Raya), Tanggal 30 Oktober 2015, Pukul 14.00-17.20 WIT. 32 BPS, Papua Barat dalam Angka Tahun 2014, Tahun 2015, hlm. 3
30
Tabel. Data Administrasi pemerintahan Provinsi Papua Barat Kab/Kota
% Wil
Kecamatan
Kampung/Desa
Kelurahan
Penduduk
Fakfak
11,37
9
118
5
70902
Kaimana
16,74
7
84
2
51100
Teluk Wondama
4,08
13
75
1
28534
Teluk Bintuni
21,48
24
115
2
56597
manokwari
8,93
9
151
9
150179
Sorong Selatan
4,07
13
119
2
41085
Sorong
7,64
17
122
18
76669
Raja Ampat
8,28
24
117
4
44568
Tambrauw
5,34
8
84
0
13376
Maybrat
5,63
24
158
1
35798
Manokwari Selatan
2,9
6
57
0
20916
Pegunungan Arfak
2,86
10
179
0
26729
Kota Sorong
0,86
6
0
31
211840
Sumber: BPS, Papua Barat dalam angka, Tahun 2015 Keberadaan OMS dan CSO diwilayah ini meskipun masih tergolong baru, namun telah sejak lama menjadi bagian yang terdapat di masyarakat. Secara administratif dalam registrasi kantor badan kesatuan bangsa (Kesbangpol) Provinsi Papua Barat bahwa hingga saat ini, terdapat 34 organisasi yang telah terdaftar. Pada proses pengelolaan pembinaan bagi OMS dan CSO ini baru sejak 2 tahun terakhir dilaksanakan. Keberadaan aturan baru tentang kelembagaan juga menjadi wacana yang saat ini mempengaruhi dinamika pengelolaan OMS dan CSO di papua Barat.33 Dukungan yang diberikan terhadap OMS dan CSO di Papua Barat selama ini tidak ada baik bersifat dana Hibah maupun dana pembinaan untuk pengelolaan administrasi kelembagaan OMS/CSO. Hanya pada tahun 2015 yang sedang berjalan terdapat beberapa proposal yang diajukan melalui Kantor Kesbangpol untuk dapat memeproleh Dana Kemitraan Program yang berada di Kantor Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) di Jakarta, khususnya pada Direktorat Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum yang hingga saat ini belum memperoleh kejelasan status. 3.2.2. Provinsi Daerah Istimewa Nangro Aceh Darussalam (NAD) Provinsi Aceh dalam perkembangannya telah mengalami beberapa kali pemekaran wilayah administratif dan saat ini terdiri dari 18 kabupaten dan 5 kota. Untuk pemerintahan di bawah kabupaten/kota, selain memiliki kecamatan dan gampong (wilayah setingkat desa) berdasarkan Qanun Provinsi Nanggroe Aceh
33
Lihat hasil wawancara dan FGD dengan pak Zaman dari Kesbangpol Papua Barat dan FGD Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil dalam proses Demokratisasi di Kantor Bappeda Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 pukul 10.45-14.17 WIT
31
Darussalam Nomor 4 Tahun 2003 dibentuk Mukim yang berkedudukan langsung dibawah camat dan wilayahnya terdiri atas beberapa gampong.
Sumber: BPS Provinsi DI.NAD dalam angka, Tahun 2014. Hingga saat ini Provinsi Aceh memiliki 289 kecamatan, 761 mukim dan 6.464 gampong.34 Pasca bencana tsunami dan diselesaikannya masalah antara Gerakan Aceh Merdeka (GAM) dengan pemerintah dengan ditandatanganinya MOU Helsinki menjadi tapak baru kehidupan politik dan demokrasi masyarakat diwilayah serambi Mekkah ini. Gelombang Tsunami yang telah mendatangkan bencana bagi masyarakat Aceh dan Indonesia pada umumnya telah membawa perhatian dan kepedulian masyarakat Internasional kepada Aceh. Hampir seluruh kelembagaan internasional baik bersifat kenegaraan maupun kelembagaan dunia ataupun CSO internasional mengambil peran dalam sebuah wadah kolaborasi yang diciptakan menjadi Multy Trust Fund untuk pembangunan kembali Aceh. Mekanisme ini membawa nilai-nilai global tumbuh dan berkembang seiring dengan pembangunan kembali aceh yang porak-poranda oleh Tsunami. Program donor internasional hampir memenuhi setiap jengkal tanah aceh sehingga mekanisme CSO utamanya yang bersifat advokasi, bantuan dan pemberdayaan menjangkau kehidupan masyarakat melalui berbagai kegiatan pemberdayaan, sosialisasi, penguatan kapasitas, pelatihan manajemen, kepemimpinan dan sebagainy sampai akhirnya program tersebut selesai dan masyarakat aceh kembali kepada kondisi mandiri. 34
BPS, NAD Dalam Angka Tahun 2014, Hlm. 15
32
Perkembangan yang diberikan oleh mekanisme kerja donor melalui berbagai pemberdayaan tersebut, menyisakan sobeknya instrumen budaya masyarakat yang senantiasa berpegang pada trust ini bergeser mengikuti budaya donor yang akan menagih honor. Asumsi masyarakat kekinian ketika terdapat kegiatan yang melibatkan masyarakat adalah akan terkait dengan insentif yang dapat diperoleh dari proses tersebut. Tanpa insentif maka masyarakat tidak akan berpartisipasi dalam berbagai kegiatan untuk kepentingan mereka sendiri. Tradisi Honor yang merupakan produk budaya yang dibawah oleh mekanisme kerja donor yang awalnya diharapkan menjadi insentif pemicu untuk memudahkan partisipasi masyarakat. Hal ini juga diharapkan menjadi sekaligus mekanisme transfer dana kepada masyarakat dengan melibatkan masyarakat sehingga akan menjadi proses secara lebih alamiah (tidak karitatif) menunjukkan kegagalan dan memberikan dampak yang sebaliknya kepada kehidupan sosial budaya masyarakat Aceh yang selama ini berpusat di meunasah atau mesjid. Tabel. Data Administrasi Pemerintahan Provinsi DI Aceh Kab/kota Ibukota Kec. Mukim Gampong Simeulue Sinabang 10 29 138 Aceh Singkil Singkil 11 16 116 Aceh Selatan Tapaktuan 18 43 260 Aceh Tenggara Kutacene 16 51 385 Aceh Timur Idi 24 53 511 Aceh Tengah Takengon 14 18 295 Aceh Barat Meulaboh 12 32 322 Aceh Besar Kota Jantho 23 68 604 Pidie Sigli 23 94 727 Bireun Bireun 17 75 609 Aceh Utara Lhoksukon 27 67 852 9 20 132 Aceh Barat Daya Blangpidie Gayo lues Blangkejeran 11 25 136 Aceh Tamiang Karang Baru 12 27 213 Nagan Raya Suka Makmue 10 30 222 Aceh Jaya Calang 9 21 172 Bener Meriah 10 11 232 Simpang Tiga Redelong Pidie Jaya Meuredu 8 34 222 Banda Aceh Banda Aceh 9 17 90 Sabang Sabang 2 7 18 Langsa Langsa 5 6 66 Lhokseumawe Lhokseumawe 4 9 68 Sabulussalam Sabulussalam 5 8 74 Jumlah 289 761 6464 Sumber, Provinsi Aceh dalam angka, Tahun 2014
Penduduk
83173 110706 210071 186083 393135 185733 187459 383477 398446 413817 556556 133191 84511 264420 149596 85908 131999 140769 249282 32191 157011 181976 72414 4791924
33
Kehidupan demokrasi di Aceh hari ini menjadi jauh lebih baik dengan pelembagaan berbagai kekuatan politik lokal dalam wadah partai politik lokal untuk beberapa partai yang ada. Kolaborasi partai politik nasional dan lokal ini memberikan warna yang unik bagi perkembangan demokrasi. Partai aceh menjadi partai dominan yang menguasai pemerintahan eksekutif dan legisltaif sehingga nyaris mendominasi sistem pemerintahan. Meskipun demikian terdapat pertentangan yang ada didalam partai aceh itu sendiri terkait kontestasi antar setiap kader dalam memperebutkan jabatan-jabatan tertentu. Keberadaan CSO aceh sangat tidak berdaya pasca perginya semua lembaga donor yang pasca Tsunami banyak mensupport berbagai program mereka. Meskipun dibentuk kelembagaan trus fund yang merupakan bentukan beberapa CSO dengan dukungan pemerintah namun kelembagaan tersebut hingga kini tidak kedengaran kiprahnya lagi meskipun pada awal pelaksanaannya masih mampu eksis dengan berbagai dukungan yang diperoleh dari beberapa donor. Meskipun masih terdapat beberapa CSO/OMS yang eksis namun skala pekerjaan atau program yang dilakukannya hanya dalam batas jangka pendek dan kegiatan yang terbatas. Secara kelembagaan pemerintah, meskipun dahuu terdapat mekanisme dana Hibah dari pemerintah daerah namun dengan keberadaan UU 23 tahun 2014 tentang pemerintah daerah dan UU 17 tahun 2013 tentang organisasi kemasyarakatan mendorong pemerintah daerah dalam hal ini Gubernur untuk menghentikan dana Hibah tersebut35. Terdapat mekanisme bantuan administrasi kepada setiap OMS/CSO yang terdaftar pada kantor kesatuan bangsa (Kesbangpol) Provinsi Aceh meskipun dengan angka yang sangat kecil dan penerimaannya terbatas oleh lembaga-lembaga tersebut dengan tidak secara terus menerus. 3.2.3. Provinsi Jawa Tengah (Kota Surakarta/ Solo) Pemilihan sampel Kota Solo merupakan bagian dari dinamika peyelenggaraan pemerintahan di Indonesia yang menempatkan Kota Solo meliputi kondisi kehidupan masyarakat sipil dan keterbukaan pemerintah akan ruang publik menjadikannya rujukan kota yang peduli kepada perkembangan masyarakat sipil. Solo sesungguhnya merupakan icon perkembangan masyarakat sipil yang modern dan telah lama berkembang di Indonesia. Salah satu bagian dari proses tersebut adalah lahirnya syraikat Islam (SI) yang kemudian menjelma menjadi partai politik pertama di Indonesia. Kepeloporan lain adalah dengan telah adanya majelis ulama untuk wilayah Solo yang kemudian menjadi miniatur dalam melahirkan Majelis Ulama Indonesia(MUI). Praktek-parktek seperti ini, menempatka masyarakat Solo dengan kondisi dinamika yang tinggi. Perkembangan kontemporer kota Solo pasca reformasi, kembali memberikan catatan penting bagi bestpractice pengelolaan tata pemerintahan yang berorientasi kepada kehadiran masyarakat (demos) dalam berbagai proses yang dilakukan oleh instrumen pengelola negara dan elemen lainnya sebagai bagian dari engegement yang dibangun dari kesadaran akan hak yang harusnya 35
Penghentian dana Hibah oleh Gubernur mendapatkan penentangan dari OMS dengan melakukan demonstrasi kepada pemerintah daerah sehingga yang ada hingga kini hanyalah bantuan sosial yang dipusatkan dikantor sekretariat provinsi dibawah sekretaris provinsi.
34
dapat diperoleh sebagai bagian dari sebuah politik kewargaan. Hal ini ditopang dengan begitu banyak organissi masyarakat sipil yang ada di Kota Solo yang diperkorakan sekitar 500 lembaga baik yang berbadan hukum maupun tidak berbadan hukum. Gambar. Peta wilayah Kota Surakarta/Solo
Tabel. Administrasi dan Jumlah penduduk Surakarta tahun 2014 Administrasi Pemerintahan Penduduk Kel. RT RW KK Pria Wanita Jumlah No Kecamatan 1 Laweyan 11 458 105 29895 53712 55860 109572 2 Serengan 7 312 72 16686 29885 31072 60957 3 Pasar Kliwon 9 424 100 25058 44329 46167 90496 4 Jebres 11 641 149 43179 73305 147556 147556 5 Banjarsari 13 874 175 52053 88069 90328 178397 Total 51 2709 601 166871 289246 297732 586978 Sumber: Hasil Olah Data sekunder Kota Surakarta dalam angka Tahun 2014 Keberadaan organisasi masyarakat sipil di Solo merupakan sesuatu yang tumbuh dan hidup bersama dengan masyarakat Kota Solo sejak lama. Kebutuhan masyarakat akan keberadaan organisasi masyarakat sipil merupakan bagian yang mewarnai dukungan untuk masyarakat yang marginal dapat memperoleh haknya
35
dalam pembiayaan publik. Meskipun demikian terdapat turun naik grafik yang ditunjukkan oleh partisipasi OMS dalam perkembangan di Kota Solo hingga kini. Kondisi yang sama seperti daerah lain ketika donor sudah tidak memiliki program dan memindahkan programnya ketempat lain, menempatkan OMS pada kondisi yang stagnasi bahkan “hidup segan matipun tak mau”. Hal ini merupakan dampak yang ditimbulkan oleh kondisi keterbatasan kemampuan secara mandiri yang tidak dimiliki oleh OMS dan keterbatasan OMS dalam melakukan penggalangan pembiayaan dari mekanisme lain utamanya masyarakat dan pihak ketiga seperti CSR perusahaan. Terdapat beberapa lembaga yang tetap eksis dengan menggunakan mekanisme CSR yang diberikan perusahaan utamanya bagi program yang berbasis pada kegiatan kesehatan dan pendidikan, namun untuk program yang terkait dengan demokrasi dan politik tidak menjadi tersentuh sama sekali kecuali untuk program advokasi bagi hak-hak masyarakat.
36
Bab IV Model Kelembagaan Trust Fund dan Dukungan sumber daya bagi OMS untuk Demokrasi di Indonesia 4.1. Praktik Pemberdayaan dan Strategi Pengembangan OMS di Indonesia. Arah kebijakan pembangunan politik dalam negeri pada RPJMN III periode 2014-2019 difokuskan pada pemantapan budaya dan proses politik, sejalan dengan makin mantapnya pelembagaan nilai-nilai demokrasi dengan menitikberatkan pada prinsip toleransi, non diskriminasi dan kemitraan. Perwujudan tersebut memiliki Prasyarat yang harus dipenuhi untuk mencapai konsolidasi demokrasi yaitu adanya masyarakat sipil yang otonom. Terkait dengan kondisi dan Posisi OMS yang dalam keadaan masih timpang atau tidak setara dengan kekuatan negara, dengan Interest group multi karakter belum terorganisasi secara cukup baik hal ini merupakan problem yang harus mendapatkan kerangka pemberdayaan yang diinisiasi oleh negara. Berdasarkan hasil jajak pendapat atau pengumpulan opini yang diselenggarakan Kompas (05 Agustus 2015) dapat tersimpul bahwa publik cenderung terbelah dalam memandang peran organisasi kemasyarakatan (Ormas). Berdasarkan data tersebut menunjukkan bahwa sebagian besar publik (52,2%) dalam jajak pendapat tersebut memandang peran ormas saat ini relatif lebih baik jika dibandingkan dengan sebelum era reformasi namun sebagian memandang terbalik. Negara dalam menciptakan kemitraan tentulah membutuhkan potensi terdekat dari masyarakat yang menjadi target dari program pembangunan disegala bidang yang dilakukan mekanisme negara. Perkembangan kebijakan tentang pengelolaan organisasi masyarakat sipil atau yang dikenal sebagai Ormas di Indonesia, mengalami perkembangan yang dinamis pasca reformasi. Puncak dari hal tersebut adalah lahirnya UU No 17 tahun 2013. Periode dalam masa pembahasan regulasi yang akan menggantikan UU No 8 Tahun 1985 tentang Organisasi Kemasyarakatan. Pemerintah melakukan upaya awal, yaitu Pemerintah melalui Kementerian Dalam Negeri (Kemendagri) mengeluarkan Peraturan Menteri Dalam Negeri No. 33 Tahun 2012 tentang Pedoman Pendaftaran Organisasi Kemasyarakatan di Lingkungan Kementerian Dalam Negeri dan Pemerintah Daerah dan selanjutnya disebut Permendagri 33/2012) sebagai turunan dari regulasi yang tengah direvisi. Hal tersebut sesungguhnya bersesuaian dengan keberadaan revisi pasalpasal yang memberikan penguatan kontrol negara kepada keberadaan organisasi masyarakat sipil untuk atas nama penertiban dan ketahanan nasional. Pasca penetapan UU No. 17 tahun 2013, beberapa organisasi kemasyarakatan sipil seperti Muhammadyah maupun beberapa organisasi masyarakat sipil menggugat regulasi tersebut karena dianggap negara memberangus kebebasan berserikat dan kebebasan berkumpul. Melalui persidangan di Mahkamah Konstitusi(MK) yang berkewenangan secara yuridis dan mengikat, menerima klausul gugatan oleh organisasi masyarakat sipil sehingga kebijakan terkait pengembangan masyarakat sipil kemasa depan cenderung menjadi “sangat liberal” dengan berbagai keterbatasan negara dalam pembinaan OMS.
37
Kebijakan tersebut sebenarnya hanya menegaskan urgensi negara yang harus menempatkan keadilan dan kesetaraan bagi masyarakat. Namunpun demikian subtansi keterlibatan dan tanggung jawab yang melekat kepada negara terkait tumbuhnya ketidakseimbangan antara harapan demokrasi dengan fenomena yang sedang berkembang dengan meningkatnya angka kekerasan politik, semakin tingginya angka golput, rendahnya partisipasi politik masyarakat dalam pemerintahan merupakan paradok demokrasi yang dapat menghancurkan kerangka demokrasi prosedural yang telah dibangun karena tidak diimbangi lahirnya budaya deliberasi dimasyarakat. Realitas tersebut, merupakan hal yang akan dapat menciptakan kembalinya kehidupan demokrasi ke kehidupan totalitarian. Kondisi OMS di Indonesia saat ini, realtif berbeda keberadaan dan sejarah pertumbuhannya yang berkembang kembali semenjak tumbangnya orde baru. Dibutuhkan kebijakan yang harus dapat mengakomodasi kondisi empiris yang dihadapi OMS tersebut. Keberadaan aturan yang mengikat seperti keluarnya keputusan MK atas judicial review terhadap beberapa pasal di UU No 17 tahun 2013 tidak serta merta akan mampu menciptakan dan merubahan kondisi organisasi masyarakat sipil (OMS) Indonesia. Keputusan tersebut merupakan cara pandang ideal historis yang dapat melahirkan masyarakat sipil dalam tradisi masyarakat liberal. Bahwa OMS indonesia saat ini diliputi oleh banyak kondisi empiris yang membutuhkan intervensi “affirmatif” negara adalah kondisi yang dibutuhkan untuk dapat keluar dari berbagai keterbatasannya seperti: Rendahnya kapasitas Jaringan Masyarakat sipil belum banyak berperan dalam melakukan perubahan Kelemahan dan keterbatasan sumber pendanaan yang berkelanjutan Minimnya akses pada informasi dan pertukaran gagasan Keterbatasan Sumber daya masyarakat sipil (SDM, dana dan teknologi) Hubungan masyarakat sipil dengan pemerintah daerah membaik, hal ini berbeda Organisasi masyarakat Sipil dengan sektor swasta (isu politik) Akuntabilitas masih rendah Posisinya yang belum setara dengan negara Perjalanan bangsa Indonesia tidak dapat dilepaskan dari peran dan keberhasilan perjuangan para the founding fathers bangsa ini melalui cara-cara demokrasi dengan berbagai organisasi masyarakat sipil. Ormas telah menanam investasi sejarah terkait dengan perannya dalam politik kebangsaan. Periode pergerakan sejak tahun 1905 ketika dibentuk ormas pertama oleh kaum pribumi melalui Staats Spoorwegen Bond (Serikat Pekerja Kereta Api Negara) yang dikenal radikal, Boedi Oetomo yang di tahun 1916 berhasil memperjuangkan adanya Volksraad sebagai badan perwakilan rakyat. Perkembangan pergerakan inilah yang mengilhami lahirnya berbagai organisasi yang bertujuan sebagai wadah perjuangan dan penyampai aspirasi bagi masyarakat kepada pemerintah ketika itu terutama dengan lahirnya seperti Indische Partij (1912) dan Syarikat Islam (1913). Periode tersebut merupakan periode modernisasi gerakan sosial di Indonesia yang dilakukan dengan berbagai pro kontra yang dihadapi termasuk dukungan dan kecaman dari pemerintah yang lebih cenderung mempertahankan kekuasaannya terhadap rakyat. Keberadaan
38
ormas keagamaan juga merupakan kontribusi bagi bangsa yang tak kalah besarnya terhadap pembangunan karakter dan nilai-nilai kebangsaan hingga kini seperti Muhammadiyah dan Nahdlatul Ulama dan lain-lain. Berdasarkan berbagai perkembangan dan sejarah kejuangan bangsa Indonesia ini menunjukkan bahwa keberhasilan menjadi sebuah bangsa yang hingga kini besar dan disegani dalam kancah percaturan global merupakan bagian dari perjuangan organisasi masyarakat sipil. Permasalahan utama yang kemudian menjadi telaah yang harus dapat diperoleh solusinya adalah bagaimana bentuk negara yang memiliki instrumen regulasi dalam memberikan dukungan bagi keberlangsungan kehidupan organisasi masyarakat sipil sehingga dapat menjadi bagian penting dan utama mendorong demokrasi dan membantu masyarakat mencapai tujuan berkebangsaan sebagaimana cita-cita proklamasi 1945. Pengaruh global adalah satu elemen penting yang mempengaruhi sistem politik bagia setap bangsa di dunia. Keberadaan organisasi masyarakat sipil yang berada pada setiap lapisan dan tingkatan struktur pengelolaan masyarakat atau pemerintahan menjadi hal yang dapat dimanfaatkan dalam mencapai makna dari tujuan bernegara yang demokratis. Keberadaan dari jenjang global, regional atau kawasan, negara, provinsi, kabupaten/kota, kecamatan hingga ke desa menjadi ranah dimana terdapat organisasi masyarakat sipil. Kontribusi yang diberikan selama ini sungguh tidak dapat dicatatkan satu persatu sebab bersifat terbatas dan lebih bersifat entitas komunitas. Meskipun hal tersebut menempatkan organisasi seperti ini lebih dominan hadir dan bersifat terbatas dan untuk kepentingan jangka pendek. Berbagai temuan yang diperoleh selama penelitian ini menunjukkan bahwa setiap kawasan/wilayah baik Nasional (KL), maupun daerah (Provinsi, kabupaten maupun kota) memiliki mekanisme dan cara serta kecendrungannya. Setiap OMS dalam membangun elasi dengan negara dan memberdayakan masyarakat, umumnya bersifat parsial dan tidak memiliki ukuran tertentu dalam pencapaian tujuannya terutama yang terkait dengan issu demokrasi yang meliputi pendidikan demokrasi, pendidikan politik dan wawasan kebangsaan atau integrasi nasional. Ketiga hal tersebut meskipun massif dilakukan oleh berbagai lembaga baik donor, pemerintah maupun oleh elemen masyarakat lokal itu sendiri tetapi hanya bersifat parsial dan lebih banyak tidak meninggalkan dampak yang nyata. 4.1.1. Model kelembagaan dan dukungan sumber daya berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil (OMS). Bentuk umum dukungan pemerintah baik di pusat maupun di daerah dalam mendukung pemberdayaan CSO dalam bidang politik dan demokrasi selama ini adalah berdasarkan Undang-undang Nomor 8 Tahun 1985 tentang UU Organisasi kemasyarakatan yang telah diubah melalui UU No. 17 tahun 2013 dan telah mengalami pengujian di Mahkamah Konstitusi sebagai bagian yang utuh dan mengikat terkait regulasi baru tersebut. Keberadaan kedua regulasi tersebut melahirkan perbedaan program yang dapat dilakukan terkait dengan posisi hukum dari negara atas pengelolaan OMS di Indonesia. Asumsi yang terdapat pada kelembagaan pemerintah terkait urgensi konsolidasi demokrasi dengan optimalisasi peran OMS menjadi tantangan
39
tersendiri terkait, cara pandang kementrian terhadap hal ini. Salah satu cara pandang ini dikemukakan bahwa: “...OMS bagi konsolidasi demokrasi penting, namun harus dapat menunjukkan Independensinya. Selama ini, OMS di Indonesia itu lebih tunduk kepada pemberi bantuan ketimbang akuntabilitasnya kepada publik. Mestinya harus seimbang. Mestinya terdapat regulasi yang dapat membuat setiap OMS untuk memberikan pertanggungan jawab kepada publik, sementara regulasi yang ada sekarang tidak memberikan kemungkinan itu...”36 Terdapat 2 (dua) poin penting disini yaitu pertama, masih tingginya ketidakpercayaan penyelenggara negara terhadap OMS dan kedua, ketiadaan regulasi yang mendukung model dukungan bagi OMS melalui pembiayaan dana publik (APBN). Tentu saja hal ini ironis ketika hampir setiap kelembagaan negara utamanya Kemenpolhukan, kemendagri, Bawaslu, KPU menyediakan mekanisme pembiayaan bagi kelompok masyarakat atau OMS tertentu untuk dapat berperan dalam program kerjanya melalui berbagai mekanisme terutama pada kegiatan yang diberi nama program kemitraan. Bentuk dukungan pemerintah kepada CSO/OMS yang ada sebelum lahirnya UU No 17 tahun 2013 masih memungkinkan peran negara secara langsung memberikan stimulus pembiayaan kepada OMS secara langsung. Hal ini dilakukan baik melalui Hibah maupun berupa bantuan sosial. Kehadiran UU 17 tahun 2013 dan UU No 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah, memberikan penegasan baru terkait pembiayaan kepada OMS yang hanya ditujukan kepada lembaga berbadan hukum dan tidak sekedar terdaftar di pemerintah baik pusat maupun daerah. Kebijakan ini merubah cara pandang pemerintah utamanya pemerintah daerah terhadap penyediaan pembiayaan bagi OMS. Untuk tidak terjebak dalam lubang korupsi yang seolah-olah menjadi polemik yang senantiasa sulit dipertemukan titik temunya sebab senantiasa terbungkus dengan kegiatan politik. Pemerintah Provinsi DI NAD menghentikan bantuan sosial dan hibah kepada OMS yang mendapatkan kritik dari masyarakat sipil.37 Hal sama juga dilakukan di Solo yang berakibat beberapa organisasi kemasyarakatan yang sudah sekian lama menjadi kelembagaan yang banyak didukung dari APBD kesulitan melaksanakan program kerjanya.38 Kondisi di Papua Barat berbeda sebab mekanisme bantuan ini hanya terdapat di sekretariat provinsi sedangkan pada kantor kesbangpol tidak menyediakan dukungan dana dan hanya bertindak selaku
36
Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam, Mayjend TNI Yoedhi Swastono pada Tanggal 5 Oktober 2015, pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I PoldagriMenkopolhukam, Jakarta 37 Hasil FGD Provinsi NAD, waktu Tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.00-14.00 WIB. di Aula kantor Bappeda Provinsi Aceh. 38 Hasil Focus Group Discussion Kota Solo, Tanggal, 26 November 2015, Pukul 10.00-13.15 WIB di Kantor FKUB Solo.
40
administrator OMS meskipun pada posisi lain membuka mekanisme lain untuk memungkinkan OMS terlibat dalam kegiatan proyek untuk nominal tertentu.39 Kegiatan oleh koordinasi kementrian dalam negeri pada Direktur jenderal Kesbangpol yang mengalami restrukturisasi ditahun 2015 dengan dileburkannya kelembagaan tersebut kedalam salah satu bagian yang terdapat pada Direktur Jenderal Politik dan Pemerintahan Umum(Polpum), menjadi fenomena berbeda dalam perkembangan pelembagaan OMS di Indonesia. Kegiatan model lain yang dilakukan untuk dukungan kepada OMS atau CSO melalui Direkrut pemberdayaan di Kemendagri adalah kemitraan program. Program ini telah dilakukan sejak 3 tahun terkahir meskipun perkembangnya dilihat dari segi kualitas maupun kauntitas semakin mengalami pengurangan yaitu pada 2014 paket sebanyak 1400 paket, kemudian tahun 2015 adalah 550 dan untuk Tahun 2016 sebanyak 200 paket.40 Dikemukakan lebih lanjut bahwa : “Bentuk program ini ditujukan kepada OMS yang disiapkan perpaket sebesar 40 Juta. Problem yang dihadapi dengan bantuan tersebut, bahwa besaran kegaiatan dan kelembagaan OMS yang berbeda (ada yang kecil dan besar) yang tidak mungkin diberikan bantuan sekecil itu. Keberadaan program tersebut dimaksudkan untukpelaksanaan kegiatan pemberdayaan, sosialisasi terkait issu nasional yang dianggap strategis dan aktual.”41 Keberadaan program ini dianggap sebagai instrumen efektif yang dapat dilakukan pemerintah untuk dapat memberikan support atas perkembangan kehidupan sosial ekonoi masyarakat sekaligus upaya mendorong sosialisasi proses demokrasi di masyarakat. Mekanisme ini dilakukan dengan bentuk LS yaitu pembiayaan kegiatan akan dilakukan setelah pelaksanaan kegiatan telah dilaksanakan yang ditandai dengan bukti-bukti sah pelaksanaan kegiatan sehigga dapat diklaim. Program ini bagi banyak lembaga terlepas dari nilainya yang sangat kecil sehingga tidak dapat menjangkau program yang bersifat besar juga terdapat kecurigaan, terdapatnya mekanisme yang tidak dapat dipertanggungjawabkan pada transaksi pembiayaan yang seutuhnya dikelola oleh birokrasi negara. Kelembagaan pemerintah dari pusat hingga daerah, memiliki model pelembagaan bantuan dan dukungan bagi masyarakat sipil. Mekanisme dukungan pembiayaan itu secara umum ada untuk program pengembangan nilai-nilai demokrasi dari pemerintah pusat, daerah termasuk jaringan CSO/OMS itu sendiri. Berbagai model tersebut memiliki kondisi tertentu yang menjadi plus minus dari program tersebut. Berbagai model tersebut sedikit banyak telah memberikan kontribusi dalam memberikan warna terkait wajah demokrasi dan sedikit banyak terhadap karakter budaya lokal di Indonesia. Hal ini dapat terlihat pada hasil matrik pemetaan model kelembagaan untuk dukungan dan bantuan bagi organisasi masyarakat sipil yang ada diwilayah penelitian, sebagaimana dibawah ini: 39
Hasil FGD Papua Barat di Aula lt. 2 Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT 40 Hasil wawancara dengan Direktur Kemitraan dan pemberdayaan OMS Kemendagri, Tanggal 29 September 2015 Pukul; 09.40-11.50 41 ibid
41
Tabel. Pemetaan Model Pembiayaan OMS di Indonesia Jenjang Pemerintahan Jenis Dukungan Keterangan Pusat Kemitraan Program Kemendagri/ Polhukam 42 Bansos Kemendikbud 43 Daerah Hibah Secara umum Bantuan Administrasi DI Aceh, Solo Bansos Secara Umum, selain Papua Barat Proyek44 Papua Barat Jaringan CSO/OMS Donor Asing, Donasi Sangat terbatas Masyarakat, CSR. dan tergantung keadaan donor dan Issu Sumber: Olah data primer, Desember 2015 Meskipun selama ini sumber pembiayaan yang bersumber dari pemerintah itu sangat kecil dan cenderung terbatas, namun banyak OMS yang tetap mengharapkan dukungan dari pembiayaan dana publik tersebut meskipun melalui program kementrian atau dinas terkait. Hal ini terutama bagi jaringan OMS yang tidak mendapatkan dukungan sesuai UU. 23 tahun 2014 tentang pemerintahan daerah yang menempatkan kelembagaan yang dibantu adalah yang berbadan hukum. Dikemukakan bahwa: “...Banyak organisasi di daerah yang menangis utamanya yang tidak punya jaringan sebab hanya di wilayah tertentu, organisasi yang kecil-kecil akan lumpuh, sehingga mestinya dapat dipikirkan bagaimana fasilitasi terhadap lembaga-lembaga seperti ini yang ada di daerah.hal ini sekalipun hanya untuk stimulan untuk mendukung organisasi lain yang ada dibawahnya seperti gabungan organisasi wanita (GOW) di Solo membawahi membawahi 43 organisasi wanita...”45 Secara empirik, besaran potensi pembiayaan yang dapat diperoleh dalam jumlah terbesar jika dapat mengestimasi kecendrungan untuk memberikan donasi 42
Bansos yang berada di Kemendikbud berbeda dengan asumsi bansos secara umum. Yang disebut program Bansos disini adalah pembiayaan diberikan kepada pihak sekolah untuk dapat dikelola sesuai kebutuhan sekolah tersebut dengan tidak mengurangi nilai pekerjaan yang dikerjakan dengan melibatkan kemitraan orang tua dan pihak sekolah sehingga umumnya pembiayaan yang dikeluarkan dengan nominal yang ada lebih besar karena adanya engagement dari pihak orang tua maupun pihak ketiga lainnya; (Lihat hasil wawancara dengan Hikmat Hardono dan Arinanto di Kantor kemendikbud, 15 Oktober 2015) 43 Di Aceh, menurut Informan dikarenakan Gubernur menghentikan bantuan Hibah dan Bantuan sosial kepada Organisasi masyarakat Sipil maka OMS melakukan demonstrasi. 44 Organisasi yang bersifat profesi juga melakukan kegiatan-kegiatan advokasi dan mendapatkan proyek yang berasal dari anggaran APBD untuk mengerjakan proyek pembangunan di daerah. 45 Hasil Focus Group Discussion Kota Solo, Tanggal, 26 November 2015, Pukul 10.00-13.15 WIB di Kantor FKUB Solo.
42
sebagaimana budaya masyarakat Indonesia adalah bersumber dari masyarakat.46 Dalam konteks pelaksanaan program Indonesia mengajar di Indonesia dapat diperoleh besaran anggaran yang dapat dikelola adalah 200 Miliar/ Tahun sebagai angka yang sangat kecil jika dibandingkan potensi pilantropi di Indonesia untuk 1% potensi penduduk potensialnya adalah 80 Triiliun/Tahun yang hingga kini baru terkelola 10% dari potensi tersebut. Berdasarkan informasi tersebut, untuk Papua Barat pembiayaan yang diberikan untuk dukungan organisasi masyarakat sipil(OMS) jauh melampaui kebiasaan yang dilakukan wilayah lain secara terbuka. Dikemukakan bahwa dalam penyelenggaraa pembangunan di Papua Barat, pemerintah daerah menyediakan mekanisme kemitraan untuk pembangunan fisik yang dilakukan secara baik dan dikelola oleh ormas-ormas lokal melalui paket 500 juta yang diberikan kepada NGO untuk dilakukan.47 Kegiatan yang dilakukan OMS tersebut diberikan setelah melalui koordinasi dengan instansi-instansi terkait. Sedangkan Model akuntabilitasnya dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme pemberdayaan yang tidak merepotkan masyarakat yang dilakukan secara terbuka dan profesional, yang pelaksanaannya dilakukan secara akuntabel. Bagi pemerintah Papua Barat, hal ini adalah bentuk sharing partisipasi untuk model papua sehingga bisa menjadi best practice sebab Papua Barat sudah menempatkan masyarakat sipil pada posisi tertentu, sehingga tidak menempatkan pembangunan sebagai hanya tugas pemerintah.48 Fenomena Papua Barat tersebut bisa saja menjadi strategi melibatkan OMS sebagai upaya menarik OMS untuk memiliki proses pembangunan di Papua Barat meskipun dalam kerangka pertumbuhan OMS untuk dapat mendukung lahirnya Kondolidasi demokrasi akan jauh dari yang diharapkan. Program lainnya seperti bantuan administrasi yang diberikan dan merupakan mekanisme yang secara umum dilakukan pemerintahan daerah terlepas dari besaran nilai yang diberikan namun urgensi bantuan tersebut belumlah merupakan jalan untuk melahirkan wacana yang terbuka dan ruang publik yang terbuka bagi lahirnya tradisi masyarakat sipil yang kritis. Di Kota Solo, meskipun organisasi masyarakat sipil(OMS) sudah sangat lama bahkan secara umum selama ini menjadi pionir dalam perkembangan OMS di Indonesia,namun eksistensinyapun mengalami fase turun naik yang tidak menentu yang juga sangat dipengaruhi oleh eksistensi donor dalam memberikan dukungan. Bentuk pendanaan yang disiapkan oleh mekanisme negara yaitu negara tidak banyak memberikan dampak terhadap pembangunan iklim OMS yang kondusif dalam koridor mendorong budaya demokrasi secara sistematis. Sebaliknya keberadaan mekanisme pembiayaan yang lebih banyak digunakan
46
Catatan survey PIRAC menyebutkan bahwa lebih dari 90% responden yang diwawancarai terkait keinginan untuk mau menyumbang di Indonesia. 47 Hasil FGD Papua Barat di Aula lt. 2 Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT 48 Hasil FGD Papua Barat di Aula lt. 2 Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT
43
oleh kelompok-kelompok tertentu tersebut tidak berkaitan dengan peningkatan partisipasi untuk mendorong subtansi pokok dari permasalahan kota Solo. Hal ini dikarenakan masih kuatnya opini dan asumsi aktivis OMS bahwa terdapat mekanisme yang tidak tepat dalam penyaluran pembiayaan baik Hibah, Bansos maupun berbagai bentuk dukungan partisipasi pemerintah lainnya kepada masyarakat. Kondisi ini yang menjadikan banyak OMS enggan memanfaatkan keberadaannya dan beberapa lebih memilih penggunaan dana CSR (Corporate Social Responsibility) dari beberapa perusahaan meskipun berada di luar Kota Solo sehingga harus membuat perwakilan diwilayah kerja perusahaan tersebut, yang sesungguhnya merupakan mekanisme strategis OMS dalam melakukan advokasi terhadap kepentingan masyarakat marginal untuk dapat mengakses kebijakan. 4.1.2. Efektifitas dan Tantangan bagi Model Dukungan bagi OMS Penataan kerangka kelembagaan bidang politik yang menjadi target pembangunan politik ke masa depan membutuhkan model yang dapat berseusian dengan perkembangan dan dinamika politik demokratis yang sedang berlangsung. Keberadaan beberapa tujuan yang hendak dijadikan orientasi yaitu: 1. Penguatan koordinasi dan komunikasi penyiapan dan pelaksanaan program pembangunan politik dalam negeri. sinergitas pelaksanaan program yang dapat saling mendukung. Peningkatan kapasitas SDM terkait untuk efektifitas koordinasi dan komunikasi. 2. Penguatan kerjasama pemerintah dan pemangku kepentingan lainnya dalam pelaksanaan program pembangunan yang dilaksanakan di daerah. Kerja sama untuk mensinergitas pelaksanaan program Kerja sama dengan daerah untuk menyiapkan kebijakan yang efektif sesuai konteks daerah. Pelibatan masyarakat di daerah dalam proses penyiapan, pelaksanaan, dan pemantauan dan evaluasinya berguna untuk meningkatkan kemandirian, kepercayaan diri dan trust pada pemerintah. 3. Pembentukan POKJA untuk pembentukan kelembagaan Democracy Trust Fund (DTF). Kebutuhan POKJA DTF sebagai embrio kelembagaan DTF. Mengakomodasi perwakilan dari pemerintah, akademisi,ormas, pihak swasta, dan institusi think tank dalam percepatan pembentukan kelembagaan DTF. 4. Pembentukan Pusat Pendidikan Pemilih dan Pusat Pengawasan Partisipatif, Peningkatan partisipasi politik aktif masyarakat dalam Pemilu/Pemilukada.49 Tujuan ini menjadi target umum yang akan menjadi ukuran capaian kinerja bidang kelembagaan politik bukan hanya di Bappenas RI tetapi secara umum pada bidang-bidang terkait dikementerian dan badan terkait lainnya. 49
Bappenas, Dokumen RPJM Nasional 2014-2019, Jakarta, 2014.
44
Penelitian dan pengkajian yang dilakukan untuk melihat indikator tersebut menunjukkan bahwa, sebagian besar informan yang dijumpai dalam studi ini memberikan pernyataan serupa bahwa pembiayaan yang disiapkan oleh pemerintah lebih banyak kejelekannya ketimbang kebaikannya untuk bisa menghasilkan dampak yang bisa dirasakan masyarakat. Meskipun dikemukakan oleh seorang informan dari pemerintah, sebagaimana kutipan dibawah: “...bahwa keberadaan program kemitraan yang dilakukan Kemendagri dan OMS selama ini yang bersifat langsung ke masyarakat, juga akan turut menyebarkan nilai tambah bagi masyarakat. Melalui kegiatan yang dilakukan ditengah masyarakat itu, memungkinkan dana yang berasal dari pusat akan secara cepat dapat berputar di masyarakat....”50 Hal ini tentulah menjadi satu karakter program yang bersifat charity dan pada akhirnya akan mendorong rendahnya akuntabilitas dan minimnya partisipasi masyarakat serta tidak berkembangnya inovasi antara OMS dan masyarakatnya. Program ini bukanlah hal baru pada kementerian, sehingga jauh sebelumnya juga telah banyak dilakukan baik oleh pemerintah pusat maupun daerah. Bahkan terdapat juga kecendrungan donor asing melakukan program yang bersifat charitatif yang diprakarsai oleh OMS. Program yang bersifat tematik dan tidak memiliki jangkauan visi yang jauh sebagai mekanisme intervensi membangun kesadaran terkait sensi pentingnya atmosfir demokrasi dalam kehidupan berbangsa dan bernegara akan terabaikan. Kegiatan ini tidak akan dapat memberikan outcome yang cukup baik bagi keberlanjutan masyarakat sipil yang selalu tumbuh secara dinamis sesuai perkembangan dan kebutuhannya masingmasing. Program charitatif yang dilakukan selama ini, cukup memberikan pembelajaran (lesson learned) bahwa kebutuhan jangka panjang butuh dipersiapkan dan tidak hanya dihadapi sebagai kondisi yang secara natural di lalui. Hampir semua bangsa di dunia melakukan penggabungan sistem atau model dalam membangun cara pandang untuk membangun bangsanya. Hal tersebut tidak dapat dileaspkan dari koteks lokal dimana sistem tersebut akan berada, hidup dan berkembang. Terdapat pengabaikan antara instrumen demokrasi yang cenderung dibangun dari atas sebab merupakan reprosukdi budaya liberal dengan keidupan lokal yang masih banyak dibalut oleh local value yang merupakan kearifan budaya masyarakat lokal. Pandangan lain dikemukakan oleh seorang informan dari Solo yang menyatakan bahwa: “peran negara itu menyiapkan informasi saja, biarkan masing-masing lembaga bertarung sendiri. Pemerintah menyiapkan saja sumber atau potensi pembiayaan atau sebagai outlet kemudian setiap OMS dapat mengakses langsung. sebab yang akan memainkan adalah birokrasi itu
50
Hasil Indepth Interview dengan Direktur Kemitraan dan pemberdayaan OMS Kemendagri, Tanggal 29 September 2015 Pukul; 09.40-11.50
45
sendiri. Bentuk yang terjadi selama ini adalah model yang Tahu sama tahu antara birokrasi atau pengelola dana dan OMS, itu merusak...(ZKN)”51 Konteks Solo berbeda yang ditemukan di Aceh yang mana, keberadaan pembiayaan bantuan administrasi yang ditangani Kesbangpol bersifat tidak berkesinambungan menjadikan banyak OMS yang begitu menyayangkan dan tidak transparansi mekanisme pembiayaan yang diberikan kepada OMS yang tidak begitu dikenal dalam khasanah pergaulan OMS di Aceh. Dikemukakan oleh seorang informan bahwa: “....Berhubungan dengan pemerintah itu CSO tidak mau, karena administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah itu menyulitkan. Pengelolaan dana dari pemerintah itu CSO tidak ada otonomi untuk mngelolanya sehingga CSO seperti menjadi event organiser atau panitia penyelenggara saja, sementara CSO yang membuat program dan buat pertanggung jawaban tetapi uang kegiatannya di pegang pemerintah yaitu Kesbangpol. Fungsi pemerintah harusnya pada mekanisme kontrol saja...(CFM)”.52 Hal sama dikemukakan informan dalam FGD Banda Aceh, terkait posisi OMS yang hanya dijadikan sebagai panitia pelaksana, namun hal penting yang dapat menjadi pembelajaran ke masa depan adalah realitasnya yang dikemukakan sebagaimana dikemukakan bahwa: “....Mekanisme yang selama ini dilakukan pemerintah belum mendapatkan model yang sesuai untuk dapat mencapai tujuan efektif dalam proses pelaksanaannya. Sebaliknya bentuk yang ada tersebut, umumnya diyakini oleh para aktivis OMS sebagai mekanisme yang mendorong lahirnya LSM/CSO “plat merah” yang senantiasa mendapatkan dana dari pemerintah tetapi tidak memiliki kegiatan atau tidak pernah diketahui aktivitasnya...”.53 Bentuk seperti ini merupakan upaya yang tidak begitu tepat, mengingat efisiensi pembiayaan yang ada dengan keterbatasan pembiayan pemerintah tidak memberikan dampak yang diinginkan utamanya kepada masyarakat. Program dibuat hanya secara formal tanpa memiliki target jangka panjang secara berkesinambungan dan tidak mengantarkan engagement masyarakat untuk lebih berorientasi kepada lahirnya kesadaran kritis sebalinya lebih banyak tergantung kepada pemerintah. Masyarakat sipil yang dibangun dengan dominasi birokrasi yang hidup dalam sistem clientelisme akan dapat melahirkan keterbatasan informasi yang semestinya dapat dilakukan secara transparan. Ketergantungan OMS kepada 51
Hasil Indepth Interview Zulkarnain (OMS Jerami-Solo) di Solo waktu Tanggal, 27 November 2015, Pukul Jam 14.00-17.30 WIB. 52 Indepth Interview dengan aktifis Partai AcehWawancara Cut Farah Mutia Tanggal 16 Oktober 2015 pukul 09.00-10.30 WIB di Kota Banda Aceh 53 Hasil FGD Provinsi NAD, waktu Tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.00-14.00 WIB. di Aula kantor Bappeda Provinsi Aceh.
46
mekanisme pemerintah sesungguhnya bukanlah tradisi masyarakat sipil yang harus lebih independen dan otonom terkait dengan tujuan program yang sedang dioreintasikan. Sehingga dapat dikemukakan program yang bersifat charitatif ini semestinya dapat mengalami revisi untuk dapat bermanfaat bagi masyarakat melalui pelembagaan-pelembagaan kepentingan masyarakat. Terdapat contoh menarik dengan bentuk-bentuk advokasi yang dilakukan oleh OMS yang tidak melibatkan dana pemerintah seperti yang terjadi di papua Barat. Sebagaimana bentuk advokasi klasik yang dilakukan selama ini hanya membawa nama masyarakat tetapi tidak melibatkan masyarakat dalam struktur pengambilan dan perumusan issu yang terdapat dalam pelembagaan sebuah OMS.54 Salah satu bentuk advokasi yang dilakukan di masyarakat Papua Barat dilakukan oleh beberapa lembaga dalam bidang penanggulangan korupsi yang dapat berjalan meskipun tidak mendapatkan dukungan dana dari pemerintah maupun donor. Hal ini dapat berhasil secara baik dan bisa mengungkapkan kebobrokan yang dilakukan oleh aparat pemerintah di Papua Barat. 55 4.2.
Urgensi DTF dan Mekanisme Awal Pelembagaan 4.2.1. Pengembangan OMS yang mencirikan Sosial Budaya Indonesia. Budaya utama masyarakat Indonesia adalah gotong royong yang merupakan pilar utama bagi potensi philantropy. Budaya tersebut didukung oleh berkembangnya sebuah kepercayaan ”welas asih” berbasis ideologis yang bersumber dari agama-agama yang ada seperti Islam, Kristen, Hindu, Budha dan Konghucu. Potensi ini merupakan modal sosial yang mendasar bagi masyarakat untuk dapat menempatkan mindset saling merasakan dan saling membantu menjadi sangat utama untuk dapat digerakkan melampaui kekuatan pembiayaan yang dapat diperoleh dari mekanisme lain yang tentunya membutuhkan tambahan embel-embel administratif, politis bahkan ekonomis lainnya. Salah satu kekuatan OMS yang penting adalah berasal dari Organisasi masyarakat sipil yang bergerak dibidang keagamaan serta berbagai bidang lain yang bergerak baik untuk advokasi, charity maupun pemberdayaan. Dapat dikatakan bahwa menjembatani aspirasi masyarakat dengan negara, publik mengapresiasi peran ormas sebagai perekat ikatan sosial warga negara. Sumbangsih ormas dalam pembangunan karakter bangsa bagi masyarakat masihlah sangat besar. Keberadaan tujuan ormas yang bermuara pada kemaslahatan masyarakat, menjadi penekanan komitmen pelembagaan masyarakat sipil tersebut untuk kontribusi bagi pembangunan.
54
Lihat Ita Fatia Nadia (ketua Yayasan Kalyanamitra), LSM dan Advokasi dalam Rustam Ibrahim(Ed), Agenda LSM; Menyongsong tahun 2000, Jakarta: CESDA-LP3ES,1997, Hlm. 111120 55 Hasil FGD Papua Barat di Aula lt. 2 Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT
47
Sumber: Survai Pirac (Public Interest Research & Advocacy Center) 56 Angka ini sesungguhnya jauh lebih sedikit jika menggunakan asumsi yang digunakan dalam strategi penggalangan dana yang digunakan oleh kelembagaan Indonesia mengajar (IM) yang hingga kini eksis melakukan pendampingan kepada masyarakat marginal dengan mengandalkan donasi publik, dikemukakan bahwa: “...dengan menggunakan benchmark rasio besaran filantropi terhadap PDB di Amerika Serikat yang tercatat 1,7% yang bila GDP Indonesia sebutlah 8.200 triliun rupiah maka dengan asumsi rasio 1% maka potensi filantropi Indonesia adalah 80 triliunan rupiah setiap tahun yang berasal dari potensi philantropis Indonesia. Saat inibaru 10% yang bisa terkelola. Ini bukan hanya uang tetapi engagement masyarakat yang selalu dilupakan oleh CSO...”57 Besaran angka tersebut dibangun melalui kerangka nilai yang diyakini masyarakat sehingga menjadi budaya yang terbangun sebagai nilai sosial. Hal ini kemudian membangun kepercayaan sosial “social trust” yang dapat menjadi potensi membangun prilaku politik masyarakat. Budaya politik merupakan produk proses pendidikan politik atau sosialisasi politik dalam sebuah masyarakat. Melalui sosialisasi politik ini, setiap individu dalam negara akan menerima norma, sistem keyakinan dan nilai-nilai dari generasi sebelumnya yang dilakukan melalui berbagai tahap dan dilakukan oleh berbagai agents seperti keluarga, saudara, teman bermain, sekolah, lingkungan pekerjaan dan media massa. Permasalahan kemudian yang dilihat oleh Affan Gaffar bahwa proses sosialisasi politik di Indonesia tidak memberikan ruang yang cukup untuk memunculkan 56
dikutip dari Bahan Presentasi Ditpolkom, Bappenas RI, 2015 Hasil wawancara dengan Hikmat Hardono Direktur Eksekutif Indonesia Mengajar (IM) dan Staf Ahli Kemendikbud, pada Tanggal 15 Oktober 2015, Pkl. 14-00-16.00 di Kantor Kemendikbud RI. Lihat juga Tinitis Rinowati, Mengapa Indonesia Mengajar Ngotot Mengembangkan Konsep Pendanaan Berbasis Publik?, diunduh dari https://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/mengapaindonesia-mengajar-ngotot-mengembangkan-ko unduh 12-12 2015 pkl 10;17 wib 57
48
civil society yaitu masyarakat yang mandiri yang mampu mengisi ruang publik sehingga mampu membatasi kekuasaan negara yang berlebih-lebihan. Hal ini menurutnya dikarenakan beberapa hal yaitu: Pertama, pada kehidupan masyarakat Indonesia, anak-anak tidak terdidik menjadi insan mandiri bahkan mengalami alienasi dalam politik keluarga;, Kedua tingkat politisasi sebagian masyarakat Indonesia sangat rendah sebab masyarakat miskin tidak memiliki kesadaran politik tinggi karena lebih terpaku pada kehidupan ekonomi daripada segala sesuatu yang bermakna politik;, Ketiga, setiap individu yang berhubungan langsung dengan negara tidak mempunyai alternatif lain kecuali mengikuti kemauan negara sesuai kemauan penguasa.58 OMS itu merupakan bagian dari kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat. Meskipun OMS itu dipercaya sebagai kondisi empiris yang ada dimasyarakat selama ini, terbatas sekali perhatian pemerintah kepada OMS. Hal mana dikemukakan dalam FGD Papua Barat oleh seorang aktifis OMS bahwa: “...Pemerintah tidak pernah mengajak NGO duduk bersama untuk membicarakan aspirasi masyarakat. Panggillah NGO untuk membicarakan hal-hal yang baik untuk masyarakat, sehingga jika pemerintah punya hati nurani harusnya memanggil NGO untuk membicarakan apakah akan membantu NGO melalui dana ataukah fasilitas itu peerintah saja yang melakukan”. 59 Dapat dikatakan disini bahwa urgensi terkait apakah pendanaan bagi OMS itu penting ataukah penting bagi aktifis korupsi Papua Barat merupakan hal yang menjadi wilayah pemerintah untuk melihat seberapa jauh hal ini dapat memperoleh target kosolidasi demokrasi yang menjadi tujuan RPJMN dan RPJPN hingga tahun 2025 nanti. Konteks pembangunan di Papua Barat yang masih sangat terlambat selama ini dianggap capaian pembangunan yang dilakukan terlambat karena begitu luasnya papua Barat. Untuk kondisi begini sesungguhnya OMS dapat dimanfaatkan sehingga bagi mereka, keterbatasan dana pembangunan yang ada dapat disentuh dengan optimalisai dana program OMS yang dilakukan melalui mekanisme call proposal atau kompetitive grand. Penekanan pada sistem Ini penting, bahwa sebuah program yang baik yang terkait dengan konsolidasi masyarakat yaitu program yang dilakukan secara bersama dimana elemn masyarakat, OMS, pemerintah bahwa corporate engage dalam kegiatan tersebut. Sehingga jika sebagian OMS menganggap bahwa sudah menjadi kepantasan adanya dana yang berasal dari pemerintah untuk OMS, dikemukakan bahwa:”....sebaiknya ada dana dari pemerintah untuk OMS bekerja dan pemerintah melakukan pembinaan...”60. Kondisi pendanaan OMS setiap wilayah sebenarnya mengalami keadaan yang sama terkait efektifitas yang dapat dicapainya, karena bersifat charity. 58
Lihat Affan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi menuju demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999, Hlm. 119 59 FGD Papua Barat di Lt. 2 Aula Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Waktu 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT 60 ibid
49
Dengan kata lain, hampir semuanya akan tergantung donor baik donor dari luar maupun pemerintah. Meskipun terdapat mekanisme seperti beberapa lembaga di Solo yang dapat eksis dengan memanfaatkan donasi dari masyarakat, dan juga menggandeng dana CSR dari pemerintah dan dana pemerintah. Kondisi tersebut menghasilkan pertanyaan mendasar OMS lain terkait prasyarat memperoleh dukung dana pemerintah untuk hal tersebut. 4.2.2. Relevansi DTF Sebagai Inovasi Dalam Konsolidasi Demokrasi. Semua negara maju didunia, mempersiapkan regulasi, program, pendanaan bagi organisasi masyarakat sipilnya. Hal ini merupakan refleksi secara empirik teoritik yang menunjukkan esensi keberadaan organisasi masyarakat sipil dalam pencapaian tujuan membawa masyarakat ke arah yang lebih baik. Berkaca dan melihat pelajaran dari berbagai pengalaman pengembangan lembaga trust fund yang dilakukan diberbagai negara, menjadi harapan dan ruang baru bagi negara dan pemerintah untuk melakukan sebuah inovasi yang tampaknya patut dicoba untuk dikembangkan. Model pengembangan trust fund yang sekaligus merupakan pengorganisasian relawan yang digerakkan oleh elemen dasar masyarakat yaitu kepercayaan “trust”, merupakan “atmosfer geniune” bagi kehidupan sosial budaya masyarakat Indonesia. Kondisi dan kebutuhan organisasi masyarakat sipil dalam mendorong satu budaya yang disebut sebagai demokrasi yang kini menjadi benchmark yang dijadikan referensi bagi masyarakat dunia, membutuhkan mekanisme pendorong untuk tidak menggeser pertumbuhan konsolidasi demokrasi yang telah baik ini kearah yang tidak sesuai. Fenomena output demokrasi dan sikap mendua dari lembaga donor asing untuk memperkuat demokrasi di Indonesia yang hanya dimaknai dalam proses tranformasi kepemimpinan menjadikan kehadiran lembaga yang difasilitasi negara untuk dapat menghimpun potensi masyarakat dalam pengembangan demokrasi menjadi sangat penting. Inisiasi pelembagaan demokrasi trust fund dalam konteks negara merupakan inovasi baru dari negara untuk secara concern mengawal dan mendorong lahirnya konsolidasi demokrasi secara utuh di Indonesia. Pencapaian indeks demokrasi Indonesia (IDI) yang relatif tingi ditahun 2014 merupakan pondasi bagi setiap elemen bangsa untuk mencari peluang baru dalam membudayakan kehidupan demokrasi di Indonesia.
50
Jawaban Informan Terkait Relevansi DTF bagi Pengembangan dan Dukungan CSO/OMS di Indonesia
KL/Pusat
CSO Pusat Politisi Pemerintah Tidak Perlu Perlu Daerah
CSO daerah
Sumber; Olah data primer, Desember 2015 Berdasarkan data diatas, umumnya informan pusat baik dari kementrian maupun CSO cenderung kurang melihat urgensi pembentukan kelembagaan untuk dukungan bagi OMS. Berbeda dengan informan daerah yang lebih dinamis dan memandang pelembagaan dan dukungan seperti ini adalah harapan untuk dapat memberikan kesempatan OMS lokal yang selama ini mengalami keterbatasan terutama dengan sistem dan iklim politik lokal yang berubah-ubah, sehingga program OMS tidak pernah berkesinambungan. Secara umum ini menggambarkan bahwa upaya melembagakan dukungan kepada OMS melalui sebuah model yang utamanya lebih terbuka dan bertanggung jawab menjadi kebutuhan yang dapat bersinergi dengan perkembangan demokrasi Populisme yang masih bersifat Top Down saat ini dengan ukuran penyelenggaran proses Pemilu di Indonesia. Fenomena pembiayaan organisasi masyarakat sipil baik merupakan hal biasa terutama saat ini ketika berbagai organisasi donor telah melakukan mekanisme teknis ketat sebagai upaya yang secara eksplisit mengaitkan penggalangan dana dengan tata kelola dan akuntabilitas. Mekanisme yang dilakukan seperti GIVE Foundation di India, Ford Foundation dan lain-lain sebagainya memberikan ketentuan-ketentuan tertentu bagi penerima dana dari lembaga mereka. Untuk menerima donasi dalam konteks GIVE Foundation, LSMLSM India harus memenuhi kualifikasi melalui proses penapisan ketat. Menurut GIVE, ‘akuntabilitas dan transparansi serta kemauan untuk menyedikan umpan balik terhadap individu donor tentang cara penggunaan uang mereka merupakan kunci kriteria seleksi LSM.61 Tabel. Mekanisme Pembiayaan oleh CSO/OMS Sumber Pendanaan Donor Asing
61
Periode Pembiayaan
Mekanisme Memperoleh
Dana Jangka waktu Hanya untuk lembaga tertentu panjang/ tertentu (10) Tahun
Lihat http://keuanganlsm.com/mengapa-lsm-lebih-memilih-dana-hibah/#sthash.vrxq3bkh.dpuf, Jumat 25 Oktober 2013 diunduh 20 agustus 2015 Pkl 10;38 WIB
51
Pemerintah Privat Sector Masyarakat
Dana terbatas/Pendek Tidak ada Jangka Tertentu Jangka pendek Jangka panjang
untuk Pihak ketiga (agent) Tidak jelas Donasi Terbatas/ Sponsorship62 CSR/Sponsorship Donasi/ Iuran Publik
Sumber: Olah data Primer, September 2015 Berdasarkan data diatas yang dapat dikemukakan bahwa terdapat dilema yang dihadapi CSO/OMS terkait eksistensi kelembagaan yang ada saat ini terkait pembiayaan yang bersumber dari dukungan dana publik melalui negara (APBN maupun APBD) yang terkait partisipasi dalam demokrasi dan independensi. Secara subtantif, hal tersebut telah ditekankan dalam hasil keputusan Mahkamah Konstitusi (MK) RI, dalam menjelaskan posisi hukum dukungan pembiayaan negara terhadap organisasi masyarakat yang seharusnya tidak menjadi beban negara sebab dianggap merupakan domain publik. Proses sosial yang diyakini sangat liberal ini menempatkan supremasi kepentingan sipillah yang akan memungkinkan sebuah lembaga sosial akan dapat eksis dan mendapatkan dukungan dari masyarakat untuk pembiayaannya. Hal tersebut merupakan doktrin lumrah dalam cara pandang demokrasi klasik yang menempatkan setiap individu sebagai pemilik atas kedaulatan dan hal-hal terbaik sehingga akan memperjuangkan mekanisme terbaik untuk mereka dapat memperoleh hasil yang baik bagi kehidupannya yaitu kebahagiaan yang lebih dikenal dengan keadilan dan kesejahteraan. Hal ini tentu selaras dalam konteks negara melakukan penyediaan anggaran yang dimaksudkan untuk memungkinkan masyarakat untuk dapat setara. Dengan kata lain keberadaan kebijakan yang diperuntukkan agar masyarakat dapat memperjuangkan dirinya merupakan sebuah kondisi peruntukan yang terkait dengan pencapaian tujuan negara yaitu mensejahterakan masyarakat, yang merupakan ruang dan kewajiban negara. Dalam konteks Indonesia, negara selama ini telah melakukan pembiayaan kepada seluruh mekanisme penyelenggaraan proses politik di Indonesia. Pembiayaan yang diberikan dari pengelola administrasi yang terdiri dari KPU, Bawaslu bahkan DKPP yang secara subtantif tugas pokok dan fungsinya masih menjadi pertanyaan penting terkait urgensi dari keberadaan seluruh lembaga tersebut yang staf operasionalnya dibiayai dari dana publik. Demikian pula dengan partai politik yang dibiayai pada 3 tingkatan pemerintahan yaitu Pusat, provinsi dan kabupaten/Kota. Dukungan dana publik yang kongkrit meskipun dengan jumlah yang terbatas selama ini telah diberikan melalui partai politik (Parpol) dengan besaran Rp. 108/ suara yang diperoleh. Walaupun dana 62
Lembaga seperti indonesia Mengajar memberikan pembatasan jumlah donasi yang dapat disalurkan untuk perbulan Rp. 20.000.000,- untuk lembaga atau perusahaan dan 1.000.000 bagi perorangan/ bulan (wawancara dengan Hikmat Hardono).
52
yang diberikan secara estimasi kuantitatif adalah relatif kecil tetapi aakuntabilitas dari pengelolaan dana itulah yang selama ini menjadi pertanyaan publik. Elemen utama dalam terwujudnya demokrasi yang selama ini kurang mendapatkan perhatian adalah masyarakat pemilih. Masyarakat hanya diposisikan sebagai massa atau pengikut saja sehingga hanya dibutuhkan saat menjelang pemilihan dan dukungan populisme, sehingga melahirkan mentalitas “hamba” dengan maraknya politik uang. Konsolidasi demokrasi pada sebuah bangsa, tidak hanya bertumpu kepada Partai Politik semata sebagai target satu-satunya proses pengembangan politik. OMS merupakan ekstraksi kesadaran masyarakat untuk terlibat dan ambil bagian dalam proses politik yang berlangsung. Selain itu juga memiliki peran penting dan strategis sebab langsung bersentuhan dengan kepentingan dan obsesi dari masyarakat. Untuk itu, beberapa pandangan mengungkapkan pentingnya pembiayan dana publik untuk dapat menyentuh OMS secara lebih profesional dan akuntabel sehingga nantinya dapat menjadi mitra strategis masyarakat politik untuk bersama-sama membangun masyarakat sipil yang kritis. Dikemukakan oleh seorang informan, bahwa: “...Partai politik mendapatakan dana dari pemerintah, mestinya OMS/Ormas juga mendapatkan dana yang sama. Pemerintah Provinsi sebenarnya juga sudah menyiapkan dana untuk beberapa kelembagaan tetapi dari hasil kedekatan pribadi sementara sifat dana ini untuk membangun masyarakat sehingga tidak dilakukan. Sehingga sebaiknya ada dana dari pemerintah untuk OMS untuk menjalankan programnya yang nantinya akan mendpatkan pembinaan dan pengawasan dari pemerintah atau lembaga tertentu...”63 Logika bahwa negara melakukan pembiayaan karena kepentingan mendasar masyarakat merupakan subtansi yang menjadi poin penting dalam pembiayaan publik atas konsolidasi demokrasi. Selama ini, orientasi pengembangan ekonomi masyarakat juga mendapatkan dukungan ketika secara teoritik kompetisi dalam kehidupan masyarakat untuk mencapai tingkat ekonomi tertentu utamanya yang mapan merupakan tanggung jawab pribadi-pribadi yang mana posisi negera semestinya hanya menjadi fasilitasi dan tidak mengintervensi utamanya memberikan pembiayaan. Nyatanya bahwa semua pengembangan ekonomi masyarakat tidak terlepas dari dukungan pembiayaan publik atau dana negara. Hal inilah yang menempatkan mengapa pembiayaan publik untuk pengembangan dan konsolidasi demokrasi menempati ruang yang memungkinkan. Dengan demikian, karena klausul tersebut juga tidak melarang negara atau pengelola negara untuk memberikan bantuan kepada organisasi masyarakat sipil. Setiap OMS selama ini juga masih mengupayakan sumber pembiayaan dari sumber-sumber lain termasuk donor. Hal yang tak pernah dipikirkan bahwa mekanisme yang dilalui setiap organisasi masyarakat sipil tersebut dalam 63
FGD Papua Barat di Lt. 2 Aula Kantor Bappeda Prov. Papua Barat, Waktu 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT
53
memperoleh pembiayaan untuk programmnya adalah sangat pelik bahkan rumit sebab setiap mekanisme donor memiliki kepentingan tertentu dalam proses kehidupan suatu negara yang menjadi targetnya. Hal tersebut berlaku bagi lembaga yang telah bereputasi dan memiliki jejaring yang cukup kuat baik kepada lembaga donor maupun kejaringan lokal. Realitas ini menjadi sangat sulit bagi kelembagaan masyarakat sipil lokal yang hanya bekerja dalam ruang-ruang terbatas sesuai kebutuhan komunitasnya. Meskipun media telah menjangkau dan dapat diakses secara baik, pada kenyataannya hanya sebagai bacaan semata dan belum menjadi instrumen kerja. Berdasarkan informasi dari informan yang menyatakan bahwa: “Mekanisme donor itu tidak langsung dari donor tetapi dari pihak ketiga yang menjadi kontraktor/implementator yang dimainkan oleh berbagai lembaga. Selalu ada penghubung ‘agent” yang menjadi jembatan yang melakukan fasilitasi antara CSO dengan lembaga donor”. 64 Permasalahan independensi pada kenyataannya tidaklah menjadi sebuah hal yang menjadi permasalahan dalam pengelolaan OMS di Indonesia. Pada kenyataannya bahwa kehadiran berbagai lembaga-lembaga masyarakat sipil yang sangat vokal bahkan menjadi barometer gerakan advokasi bagi masyarakat seperti Wahana Lingkungan Hidup (WALHI) atau Yayasan Lembaga Bantuan Hukum Indonesia (YLBHI) merupakan organisasi yang didirikan dengan partisipasi bahakn beririsan dengan negara melalui emil salin maupun ali sadikin ketika menjadi Gubernur DKI jakarta.65 Problem mendasar bangsa Indonesi dari masa ke masa pasca reformasi, meskipun proses politik semakin baik sebagaimana ukuran partisipasi politik masyarakat dalam pemilu yang masih baik meskipun semakin menurun, namun realitas merosotnya partisipasi organisasi masyarakat sipil semakin terlihat. Jika melakukan perbandingan keterlibatan OMS sejak pemilu 1999, 2004, 2009 dan 2014 dapat digambarkan bahwa keterlibatan OMS semakin kurang bahkan tidak ada. Salah satu barometer dalam melihat partisipasi tersebut adalah ketidakhadiran atau bergesernya target dan tujuan lembaga donor sebagaimana yang terjadi diberbagai negara. Keadaan yang dialami provinsi Aceh yang diperoleh pada proses FGD menyatakan bahwa”....pasca rekonstruksi aceh dengan melibatkan mekanisme Multy Trust Fund, Masyarakat dan OMS di Aceh sangat tergantung terhadap dana donor yang menyebabkan terhentinya budaya lokal yang sejak lama terdapat di masyarakat Aceh”66. Penekanan yang hendak dikemukakan disini bahwa nilai yang diperoleh dengan mengedepankan pada bantuan orang lain adalah memiliki dampak buruk dengan tergerusnya nilai-nilai lokal yang sebenarnya merupakan elemen utama ketahanan sosial budaya masyarakat yang tidak ternilai secara meterial. 64
Hasil Indepth Interview dengan Direktur PERLUDEM-Jakarta, Tanggal 7 Oktober 2015, Pukul: 14.50-16.30 WIB di Jakarta 65 Loc cit, Adi Suryadi Culla(2006) 66 Hasil FGD Provinsi NAD, Tanggal 15 Oktober 2015 Pukul 10.00-14.00 WIB. di Aula kantor Bappeda Provinsi Aceh.
54
Menghadapi “masa kemandirian” dari nina bobok donor asing yang semakin jelas tersebut, beberapa kalangan mengemukakan bahwa kedepannya OMS/CSO akan mengandalkan pada 3 (tiga) sumber primer pendanaan yang dapat tersedia diseluruh dunia meliputi: pertama, earned income didalamnya termasuk bayaran jasa, penjualan dan pendapatan investasi;kedua, sumbangan filantropi dari individu-individu lokal, yayasan-yayasan; ketiga, subsidi dan pembayaran pemerintah dalam negeri baik secara langsung dalam bentuk hibah dan kontrak maupun tidak langsung melalui hak khusus dalam perpajakan.67 Hal ini hanya dapat ditempuh dan dilakukan ketika OMS dapat mengadopsi sebagimana perkembangan dalam mekanisme dinegara-negara maju. Sehingga hal ini akan memaksa OMS untuk dapat setara sebagai pertanggungjawaban kualitas dengan publik dan pemerintah. Untuk itu, keberadaan OMS harus menjadi lebih akuntabel dan transparan terhadap donordonor baru yang lebih banyak tuntutan. Sebagaimana praktek trust fund diberbagai negara, keberadaan wadah yang dapat menjadi representasi legitimasi bagi eksistensi dan keberlanjutan OMS akan meningkatkan kapasitas dan nilai jual (bargaining) OMS dalam berhadapan dengan donor baik yang berasal dari dalam negeri maupun dari luar negeri. 4.2.3. Berbagai Pilihan Model Pengembangan kelembagaan Potensi dana merupakan kesempatan yang dimungkinkan dapat diperoleh dalam melakukan pembiayaan terhadap sektor-sektor publik di Indonesia termasuk dalam kerangka pengembangan kehidupan demokrasi. Hasi penelitian lembaga PIRAC (2003) terhadap 226 perusahaan di 10 Kota Besar di Indonesia, merupakan satu kajian meskipun tidak menunjukkan angka representasi keseluruhan perusahaan tetapi dapat menjadi pijakan dalam penyusunan kebijakan terkait potensi tersebut. 68 Hasil penelitian tersebut menunjukkan bahwa rata-rata sumbangan perusahaan baik pada level nasional maupun local setiap tahunnya masing-masing menyumbang sebesar Rp 45 juta dan Rp 16 juta sedangkan perusahaanperusahaan multinasional adalah Rp 236 juta per tahun. Pada kajian ini juga berhasil menmukan bahwa terdapat 37% responden yang menyatakan secara tegas akan menaikkan jumlah sumbangannya jika ada kebijakan pengurangan pajak (tax deduction) oleh pemerintah atas sumbangan sosial mereka kepada masyarakat. potensi seperti ini di Indonesia dapat diberikan untuk pengurangan pajak meskipun dalam secara terbatas (limited deductibility) yang diberikan bagi individu atau lembaga penyumbang melalui mekanisme tertentu misalkan pengurangan tersebut tidak lebih dari 10% bagi donatur individu dan 5% bagi donatur perusahaan (corporate donor).69 Secara aktual, bentuk pelembagaan dana trust fund di dunia dapat dilakukan dengan berbagai bentuk. CSO Indonesia sesungguhnya telah lama memahami dan bekerja dalam ruang pelembagaan trust fund secara profesional. Salah satu bentuk yang cukup besar adalah proyek Multy trust Fund yang 67
Pirac, 2003 ibid 69 ibid 68
55
dibentuk dalam melakukan pembiayaan terhadap pembangunan kembali Aceh pasca tsunami. Beberapa konteks yang diuraikan diatas, merupakan bentuk pengelolaan dukungan kepada mekanisme OMS dengan mengedepankan pada aspek donasi yang bersumber baik dari philantropi masyarakat, BUMN, dan juga perusahaan swasta yaitu mekanisme CSR. Meskipun telah dikemukakan dalam konteks Gerakan Indonesia mengajar (GIM) maupun indonesia Corruption watch (ICW) relatif sukses, maka hal ini menjadi tantangan untuk bisa berhasil di ruang yang megusung issu-issu demokrasi dan politik. Issu ini memiliki kendala tersendiri terkait ambiguitas BUMN maupun perusahaan swasta yang enggan memberikan dukungan karena selalu diidentikan dengan keberpihakan kepada kekuasaa tertentu. Hal ini menjadi paradoks ketika kelembagaan BUMN dan Swasta menjadi bagian yang memungkinkan dan melaksanakan dukungan pembiayaan dengan memberikan donasi bagi proses politik untuk kelompok tertentu yang sedang berkompetisi baik secara langsung maupun tidak langsung. Trust fund bagi OMS untuk mendukung konsolidasi demokrasi yang akan dibentuk, mestilah memiliki landasan kuat terutama terkait penggunaan dana publik. Hal ini meskipun telah lama diimplementaskan untuk beberapa kelompok tertentu, namun secara umum pembiayaan untuk dukungan OMS bagi konsolidasi demokrasi masih merupakan hal baru di Indonesia. Bahkan bisa jadi, program ini menjadi yang pertama di dunia penyediaan mekanisme sebuah pembiayaan dalam negeri dengan menggunakan potensi internal sebuah negara. Mendorong konsolidasi demokrasi di sebuah negara dengan menjalankan kaidah-kaidah proses demokrasi terbaik yang selama ini dilaksanakan oleh masyarakat dunia merupakan prestasi kepekaan global yang ditunjukkan Indonesia. Harus disadari bahwa selama ini pasca reformasi tahun 1998, Indonesia dalam penyelenggaraan demokrasi utamanya pemilu merupakan rujukan masyarakat internasional. Perkembangan tersebut dengan topangan program DTF diharapkan akan dapat menjadi bagian dari penguatan demokrasi dengan senantiasa menyelenggarakan pendidikan demokrasi, pendidikan politik dan wawasan integrasi kebangsaan kepada masyarakat secara luas. Proses ini adalah bentuk pengembangan nilai politik untuk menjadi budaya politik masyarakat Indonesia dalam memaknai kehidupan yang lebih demokratis. Pembiayaan utama yang bersumber dari APBN merupakan bagian dari menjaga independensi dan netralitas dari sebuah program yang terkait dengan pengembangan budaya politik masyarakat. Hal ini memungkinkan program ini tidak terkontaminasi kepentingan donor yang harus diakui akan selalu ada dalam berbagai mekanisme bantuan untuk sebuah dukungan donor. Kelembagaan ini akan melibatkan barbagai elemen bangsa dengan keterlibatan sosok yang akuntabel dan proesional yang berasal dari berbagai elemen baik perguruan tinggi (akademisi), lembaga sosial kemasyarakatan, serta keterlibatan perwakilan negara sebagai bagian yang teknis pada program ini.
56
Alur Pengelolaan DTF Indonesia Swasta/ Private sector/ Donasi Masyarakat/ BUMN/BUMD
APBN/ APBD
DONOR /Lembaga Asing/ Philantropy, dll
Pemerintah Fasilitasi Dewan Amanah/ Perwalian/ Komite Kerja/ Trustee, dll. Competitive Grand (Transparan, Akuntabel, Kredibel, Partisipatif dan berkualitas serta Inovatif)
OMS (Charity)
OMS (Advokasi)
OMS(Empowernment)
Supervisi, Pendampingan, Evaluasi dan Monitoring Pendidikan Politik, Pendidikan Demokrasi dan Wawasan Kebangsaan/Nasionalisme Organisasi Masyarakat Sipil (OMS) Masyarakat Sipil Indonesia
Gambar: Usulan Model Alur Kerja Komite Demokrasi Trust Fund Indonesia Penekanan pada subtansi dari Trus Fund yang selama ini telah ada dan pernah eksis di Indonesia, menjadi pembelajaran strategis dan utama bagi pengelolaan program dengan memanfaatkan model yang sama. Kasus NAD yang selama ini pasca tsunami dengan kehadiran berbagai donor asing yang konon terbesar sepanjang masa, serta eksistensi ratusan OMS di Solo yang eksis ketika donor masih intens dalam mendorong pengembangan Solo serta minimnya dukungan donor dan pembiayaan bagi OMS di Papua Barat menjadi potensi program yang seharusnya dapat hadir sebagai bagian dari inovasi negara. Karakter pengelolaan pembiayaan bagi program yang ada berdasarkan temuan lapangan adalah: 1. Di dominasi oleh birokrasi pemerintah 2. Terjadinya mekanisme clientelisme dan rente. 3. Menempatkan OMS sebagai event organizer atau panitia pelaksana. 4. Keterlibatan masyarakat yang terbatas sebab bersifat Top down. 5. Mekanisme tertutup 6. Tidak berorientasi jangka panjang sebab bersifat parsial dan tidak berkelanjutan sehingga indikator capaian bias.
57
7. Urgensi proses demokrasi dan iklim demokrasi tidak dapat diukur dengan besarnya biaya yang dikeluarkan untuk proses politik dan demokrasi. Alur kerja model DTF yang diharapkan adalah sebuah alur yang dapat mengeluarkan OMS dalam keterikatannya yang begitu dalam dengan birokrasi. OMS ke masa depan akan dapat diharapkan untuk dapat lebih bergeser kepada subtansi program yang hendak diorientasikan kepada masyarakat, disamping pula masyarakat dapat menerima program OMS sebagai sebuah kebutuhan sehingga terjadi mutual trust yang saling melengkapi. Capaian tersebut, akan menempatkan pemerintah sebagai hub yang dapat berfungsi sebagai fasilitasi dan ruang interaksi bebas masyarakat sipil. Hal ini diharapkan dapat menciptakan transfomasi secara lebih intensive di OMS untuk bisa memberikan dukungan dengan persilangan inovasi yang terjadi pada mekanisme kerja OMS yang tersebar secara luas di Indonesia. Karakteristik dan typologi dengan keterbatasan OMS yang beragam, tentunya akan dapat mengalami kesulitan untuk mengakses informasi dan peluang-peluang tanpa keterbukaan pemerintah. Demikian pula issu-issu kritis yang menjadi diskursus dan best practice terutama terkait pendidikan politik, pendidikan demokrasi dan wawasan kebangsaan jika tidak terdapat kampanye dan perluasan informasi dan akses secara luas melalui optimalisasi jaringan media yang dimungkinkan oleh negara. Pengelolaan sebuah kelembagaan baik dalam bentuk dewan, wali amanah maupun Komite kerja adalah bagian dari kesuksesan sebuah program. Sehingga untuk mengelola DTF, membutuhkan figur penting dan strategis seklaigus profesional yang akan mampu berbicara banyak untuk mengeksiskan suatu pola baru dalam pemberdayaan OMS melalui mekanisme yang terbuka dan kompetitif serta dilaksanakan secara bertanggung jawab untuk melahirkan kualitas kerja yang baik. Kualitas yang merupakan kinerja kerja dari program akan dapat diukur dengan in put, output, out come, dan inovasi yang diciptakan. Proses ini merupakan bagian dari penyediaan ruang sekaligus diskursus terkait urgensi kosolidasi demokras bagi sebuah bangsa terutama bagi Indonesia. 4.2.4. Tantangan, Hambatan dan Peluang DTF Terdapat beberapa tantangan dan hambatan yang dihadapi terkait implementasi DTF ke masa depan. Hal pertama bersumber dari kelembagaan pemerintah pusat dan kedua dari kepercayaan CSO/OMS dalam masyarakat sipil. Secara umum dapat dikatakan bahwa hambatan yang dihadapi dalam pelaksanaan DTF adalah terkait Regulasi yang ada berorientasi kepentingan pemerintah sehingga akan menghambat mekanisme kesetaraan ormas dan pemerintah, seperti: UU Ormas Nomor 8 Tahun 1985/UU 17 tahun 2013, UU Yayasan, UU Ketenagakerjaan. Kondisi lainnya adalah ketiadaan payung hukum pembentukannya yang belum ada sebab hanya didasarkan Perpres 80 tahun 2011, kemudian kecendrungan adanya penolakan dari kelembagaan tertentu ataupun keberadaan pola inkremental dalam kelembagaan pemerintah yang selalu mendasarkan pada payung tanpa melihat subtansi. Dikemukakan terkait aturan yang mendasari
58
bahwa “...DTF tidak memiliki payung hukum, bahkan sangat rentan menghadapi komplain dari masyarakat...”70 Selain itu juga terdapat kecenderungan Penolakan NGO/OMS untuk dilembagakan, utamanya lembaga OMS yang telah mapan dan selama ini telah memiliki jaringan kuat baik kepada lembaga donor internasional, nasional dan berjejaring luas di daerah. Hal ini dikemukakan sebagai berikut: “...Umumnya steering commitee pada kodifikasi UU Pemilu yang sedang dilakukan Perludem dengan berbagai Organisasi yang terlibat dalam kepemiluan dan demokrasi tidak setuju pembiayaan DTF tersebut, hal senantiasa dikaitkan dengan independensi OMS. Meskipun sebenarnya kondisi yang dihadapi OMS saat ini tidak diletakkan pada apakah ini terkait keterbatasan OMS ataukah karena independensi/netralitas ataupun akuntabilitas. Terdapat cara pandang seolah-olah untuk OMS dapat menjadi penyeimbang, harus ada berbeda atau berhadapan dengan negara. Ada kecenderungan setiap orang memahami bahwa OMS itu tidak bisa beririsan yang sama dengan negara. Mestinya perubahan mindset sebagian OMS yang harusnya dapat dirubah...”71 Melalui pandangan ini sangat nampak bahwa mekanisme negara dan bahkan sebagian OMS itu sendiri mengalami saling penolakan yang tidak begitu konsisten. Pada sisi lain saling mendukung untuk tidak memanfaatkan dana publik tetapi pada sisi lain saling menegasikan peran. Asumsi bahwa birokrasi korup selalu berasal dari OMS dan asumsi OMS tidak dapat akuntabel adalah berasal dari pemerintah atau birokrasi. Demokrasi tidak dimiliki OMS dan juga tidak menjadi ruang yang dikuasai negara, konsolidasi hanya dapat tercipta melalui pola interaksi yang harmonis dan saling memberikan peran sebagai bentuk pelibatan atau inklusi dalam setiap proses politik yang dilakukan. Permasalahan mendasar yang tidak dipahami bahwa, dengan potensi pelembagaan masyarakat sipil sebagimana keputusan mahkamah konstitusi (MK) atas juducial review yang dilakukan bberapa kelompok masyarakat sipil menunjukkan bahwa yang disebut organisasi masyarakat sipil sifatnya lebih luas dan tidak semata yang telah terlembagakan secara formal. Hal ini adalah potensi yang semestinya dapat ditangkap sebagai peluang yang harus dapat dimanfaatkan. Untuk dapat membandingkan potensi itu maka dapat dilihat pada data terkait jumlah OMS Indonesia saat ini yaitu OMS yang Terdaftar 139.957. Dengan menggunakan asumsi yang disahkan oleh MK sebagai bagian yang mengikat UU No. 17 tahun 2013 tentang Organisasi Kemasyarakatan maka potensi ini akan jauh lebih besar jika melihat cakupan 34 Provinsi, 415 Kab, 93 Kota, 6994 Kec, 8.309 Kel, 72.994 Desa (Data Kemendagri, 2015). Keengganan Kemendagri dalam merealisasikan DTF sebagai sebuah program yang urgen merupakan indikator penting mengingatkan instrumen urusan 70
Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam, Mayjend TNI Yoedhi Swastono pada Tanggal 5 Oktober 2015, pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I PoldagriMenkopolhukam, Jakarta 71 Hasil Indepth Interview dengan Direktur Perludem, Tanggal 7 Oktober 2015, Pukul: 14.50-16.30 WIB di Jakarta
59
politik berada pada kementerian ini secara keteknisan disamping komisi pemilihan umum (KPU) dan Badan Pengawas Pemilu (Bawaslu). Alasan mengemuka yang menjadi tameng penolakan DTF adalah terkait regulasi yang tidak menyebutkan hal tersebut. Keberadaan dokumen lain yang secara subtantif menyebutkan seperti yang terdapat dalam kebijakan pemerintah RPJMN 2009-2014 dan 2014-2019 serta RPJPN 2004-2025 yang seharusnya dapat diimplementasikan dari rentang waktu ke waktu sesuai dokumen tersebut. Diluar keberadaan dokumen tersebut, sesungguhnya UUD 1945 yang menekankan aspek negara untuk mengantarkan masyarakat untuk dapat memaknai kemerdekaan dalam arti seluas-luasnya yang tersirat dalam pembukaan tersebut dapat menjadi pintu bagai berbagai kebijakan yang dapat memiliki dampak luas kepada masyarakat. Alasan lain adalah cara pandang (mindset) yang merupakan kepercayaan sebagian CSO/OMS yang rendah atas niat baik terkait fasilitasi negara untuk OMS dapat memperoleh dana publik untuk melaksnakan program yang terkait dengan masyarakat. Image para aktivis mengemukakan bahwa setiap dana yang diberikan melalui mekanisme pemerintah pasti memiliki kecenderungan adanya model “sulap-sulapan” sehingga harus terjebak dalam praktek “sunat menyunat anggaran” dan kongkalikong atas dana masyarakat meskipun menjanjikan keuntungan bagi para aktifis OMS.72 Hal tersebut tak dapat dilepaskan dari kecenderungan bantuan dana hibah dan bentuk pendanaan lain dari negara melalui kelembagaan pemerintah baik pusat maupun daerah yang tidak lepas dari mekanisme birokrasi senantiasa penuh dengan clientelisme dan menghadirkan KKN dalam pekerjaannya. Praktek bayar didepan merupakan hal umum yang harus dihadapi NGO/OMS/CSO untuk bisa memperoleh bantuan dan dukungan dari pemerintah. Bentuk DTF seharusnya bisa menjadi bentuk inovasi dari pemerintah untuk dapat mempertahankan dan membangun konsolidasi demokrasi Indonesia yang selama ini cenderung lebih dibangun dari atas (Top Down demokrasi). Hal itu tergambarkan dalam perkembangan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) untuk tahun 2014 yang meskipun tingkat keterpenuhan masyarakat atas proses politik terpenuhi dan memperoleh angka yang tinggi namun engagement atau tingkat keterlibatan masyarakat dalam berbagai peristiwa dan aktifitas terkait demokrasi juga masih rendah. Merupakan sebuah pernyataan yang menarik yang diperoleh terkait hambatan mengapa DTF tidak menjadi sebuah kebutuhan, dikemukakan oleh seorang informan bahwa: “...DTF itu tidak perlu diformalkan, OMS itu dibiarkan saja untuk beragam sesuai dengan dinamikanya. Belum adanya lembaga yang menjadi leading sector yang bertugas menjadi penghimpun dana (dengan pola lama) yang jadi masalah. Mungkin kedepan dapat dibentuk Dewan
72
Indepth Interview dengan Akbaruddin (Kompip Solo), tanggal 27 November 2015, Pukul 10.0014.30 WIB, di Solo.
60
OMS yang nantinya bertugas mengkoordinasikan penghubung antara OMS-swasta-pemerintah...”73 Cara Pandangan ini senada dengan informan OMS meskipun merupakan antitesa yang memandang bahwa esensi yang dibutuhkan untuk dimungkinkannya pembiayaan bagi program OMS adalah dapat dilakukan tanpa kehadiran negara yang akan membagikan dana, tetapi hadir sebagai outlet yang memberikan informasi terkait sumber pendanaan yang dapat diakses oleh berbagai OMS, dengan demikian akan menempatkan OMS bekerja dalam latar yang alami dan tidak terganggu oleh sifat birokrasi yang hegemonik dan korup.74 Ide Trust Fund secara umum maupun ide pelembagaan OMS bagi para aktivis OMS bukanlah ide baru, sebaliknya merupakan pemikiran yang telah lama ada dan telah terbukti gagal dalam menghasilkan produktifitas kinerja bagi OMS. Sebaliknya sejarah pelembagaan yang dimotori instrumen negara, menjadi ajang pertikaian yang tak pernah berhenti sehingga membawa OMS pada berbagai perpecahan dan lahirnya OMS plat merah, bahkan mekanisme ini menjadi domain pemerintah melakukan intervensi sehingga membentuk Hegemoni baru. Pengalaman ini telah dirasakan seperti di Aceh maupun Solo yang setelah sekian lama dilembagakan dengan bentuk pembentukan kelompok OMS yang akhirnya mati dengan sendirinya. Keberadaan Trust Fund dalam bidang demokrasi adalah hal baru di Indonesia meskipun pembiayaan untuk pengembangan demokrasi senantiasa dilaksanakan. Sebagai bentuk inovasi DTF dimungkinkan dengan mendorong sebuah diskursus baru melalui agen yang dapat dilakukan melalui forum intelektual maupun ruang konsolidasi antara kelembagaan pusat dan daerah. Diskursus dan forum DTF ini penting untuk melahirkan opini terkait urgensi DTF sebagai mekanisme alternatif yang bersifat transisi, dalam mendorong konsolidasi demokrasi melalui mekanisme competitive grand yang dapat diikuti oleh seluruh OMS diseluruh Indonesia secara terbuka. Pemberdayaan model baru yang dimaksudkan terkait bagaimana OMS/CSO lebih berdaya dan memiliki kesempatan untuk membangun masyarakat dari bawah dengan cara yang kompetitif, salah satu elemen utama dan penting untuk dapat dimanfaatkan adalah pembiayaan oleh negara dengan melihat skala prioritas terutama pada pembiayaan yang produktif untuk bidang-bidang sosialisasi dan pengembangan kehidupan politik dan demokrasi, sehingga dapat dikembangkan dengan cara-cara yang lebih kompetitif dan akuntabel sehingga memungkinkan berbagai komponen OMS/CSO dapat mengakses program tersebut secara lebih terbuka dan setara.
73
Hasil wawancara dengan Direktur Pemberdayaan OMS Kemendagri di ruang kerjanya Tanggal, 29 September 2015 Pukul; 09.40-11.50. 74 Lihat hasil Indept Interview dengan Ketua Pattiro Solo Raya dan Direktur Jerami Solo, Tanggal, 27 November 2015, Pukul 14.00-17.30 WIB, di Solo.
61
Bab V Penutup 5.1.
Kesimpulan Hampir semua bentuk model pelembagaan dukungan yang dilakukan kepada OMS baik yang ada di pusat /daerah selama ini masih merupakan bentuk lama yang dipertahankan secara inkremental. Keberadaan bentuk tersebut bahkan cenderung mempertahankan model status quo yang sangat dikendalikan oleh mekanisme birokrasi dan tidak memiliki aspek dukungan bagi kesetaraan OMS dan masih dapat menimbulkan aspek kolusi, korupsi dan nepotisme (KKN). Komitmen pengembangan masyarakat sipil dalam koridor pembangunan budaya demokrasi pada mekanisme kemitraan pemerintah dan OMS, menempatkan OMS yang seharusnya dapat menjadi pemicu untuk lahirnya engagement masyarakat, pada pelaksanaannya hanya bertindak selaku event organizer (EO) pada berbagai mekanisme yang umumnya bersifat memberikan (charity). Akuntabilitas yang terbentuk hanya bersifat administratif dan tidak memiliki bentuk output dan outcome program yang dapat menjadi indikator penting konsolidasi demokrasi, baik untuk periode jangka pendek maupun jangka panjang sebab umumnya dilaksanakan sebagai program rutin yang formalitas. Pelembagaan dukungan bagi OMS adalah wujud keberpihakan dan adanya kesempatan OMS untuk dapat berpartisipasi aktif. Partisipasi elemen masyarakat melalui penyiapan program dan keterlibatan dalam proses menuju konsolidasi demokrasi yang lebih akuntabel dan bertanggungjawab. Hal ini membutuhkan keterlibatan negara untuk dapat menjadi perekat/pemicu adanya ruang untuk kesempatan OMS dan masyarakat lebih terberdayakan melalui model kelembagaan yang lebih representatif dan akomodatif terhadap kebijakan dukungan atas OMS dan fenomena empiri yang dihadapi OMS saat ini. Model yang dipilihkan dapat bersifat Komite, dewan (board) yang dapat diusulkan dari berbagai elemen masyarakat sipil yang memiliki kapasitas, profesional, kompetensi, dedikasi dan integritas, baik dalam mendukung gerakan masyarakat sipil untuk mendorong konsolidas demokrasi dan penciptaan integritas kebangsaan selama ini. Keberadaan mekanisme pembiayaan yang telah ada dikementerian teknis terkait, dapat menjadi model awal. Sistem pelembagaan dukungan yang dibentuk dapat dilakukan dengan merubah model pengelolaannya sehingga lebih mengedepankan aspek transparansi dan akuntabilitas serta menghadirkan keterlibatan komponen masyarakat sipil dengan tidak mengurangi kualitas dan kapasitas program yang ada. Pembiayaan dalam bentuk bansos maupun program kemitraan dan sebagainya, dapat lebih dispesifikkan sehingga tidak overlapping antar Kementerian dan dengan Pemerintah Daerah (Provinsi maupun Kabupaten/Kota). Penyediaan dukungan bagi OMS secara umum dapat dilakukan dalam skema program kompetitive yang menempatkan OMS secara aktif dapat melakukan programnya secara lebih otonom dengan tidak melupakan aspek pertanggungjawaban dalam penggunaan dana publik. Artinya dukungan pendanaan program dapat dijangkau setiap OMS secara kompetitive dan
62
pelaksanaan pertanggungjawabannya dilakukan secara terbuka dengan pemanfaatan teknologi IT. Keberadaan dukungan sumberdaya berkelanjutan selama ini, masih jauh dari efektif dan efisien sebab tidak menghilangkan kesan program pemerintah hanya untuk OMS yang dekat dengan pemerintah, sehingga mendapat status “plat merah”, yang merupakan bentukan oknum birokrat sebagai wujud kehadiran clientelisme dalam mekanisme penyediaan dukungan. Program setiap daerah belum menunjukkan kompetensi dan kapasitas pencapaian program yang optimal karena dipengaruhi atmosfir politik yang terbentuk diwilayah tersebut. Bangsa yang besar dibangun dengan berbagai inovasi, selama ini demokrasi dianggap sebagai domain negara sehingga tidak mendapatkan dukungan luas dari pelaku pasar. Pada kenyataannya salah satu instrumen penting yang akan mempengaruhi Indonesia secara luas adalah pada budaya politik masyarakat yang melahirkan cara pandang terkait sistem politik sehingga melahirkan partisipasi masyarakat. Kondisi angka partisipasi yang semakin menurun dari setiap proses pemilu yang berlangsung pasca reformasi 1999, 2004, 2009, 2014 hingga pilkada serentak 2015 merupakan peringatan keras kepada mekanisme negara bahwa terdapat hal yang diabaikan dalam menghadirkan proses demokrasi yang lahir dari keberadaan dan keterlibatan masyarakat di dalamnya. Proses demokrasi sejatinya melahirkan kesadaran sebagai produk yang membangun budaya politik. Politik demokrasi yang elitis hanya akan melahirkan proses demokrasi yang didominasi kekuatan kapital, yang membentuk tatanan politik menjauhi konsolidasi demokrasi. Untuk hal itulah, negara harus dapat berpihak pada keberlanjutan bangsa yang heterogen ini dengan pemberdayaan masyarakat sehingga tidak ada proses penyeragaman dan hegemoni dalam melakukan tahapan pembangunan politik pada proses demokratisasi masyarakat. Daerah selama ini membutuhkan cara pandang baru dalam menginisiasi program yang dapat dilakukan untuk masyarakatnya, sebagai wujud integrasi lokal atas Negara Kesatuan Republik Indonesia. Kekakuan dalam pengembangan program akan dapat menimbulkan program pemerintah yang inkremental dan mengalami pengulang-ulangan sehingga tidak dapat diharapkan untuk menjadi sebuah model yang akan mencapai adanya perubahan bagi masyarakat. 5.2. Rekomendasi a. Dibutuhkan Program berkesinambungan antar kementerian untuk mendukung kebutuhan partisipatif masyarakat melalui sebuah model kelembagaan yang lebih adaptif dalam bidang politik yang mendukung konsolidasi demokrasi. Pembentukan kelembagaan merupakan kondisi yang dibutuhkan terkait perkembangan gerakan sosial pada OMS untuk dapat bekerja dimasyarakat, sebagai bentuk proses partisipatif elemen masyarakat yang menghadirkan kesadaran kritis dan menjadi perekat kuat antara program, OMS, masyarakat dan negara. b. Dibutuhkan penguatan issu (diskursus) terkait Democrasy Trust Fund untuk dapat menjadi wacana baru untuk demokrasi secara luas. Hal mana dapat memanfaatkan intelektual/akademisi kampus dan media massa serta publik figur untuk mendukung percepatan dan akselerasi issu menuju
63
c.
d.
e.
f.
g.
konsolidasi demokrasi. Diskursus ini penting sebagai perimbangan laju perkembangan demokrasi prosedural yang Top Down, melalui pembudayaan demokrasi secara lebih berkesinambungan dan terarah untuk dapat tetap melalui perwujudan pemahaman demokrasi dan integrasi nasional. Keberadaan program yang bersifat teknis pada setiap kelembagaan negara dan daerah diharapkan bisa lebih fokus pada tujuan capaian teknis kelembagaan sesuai bidang tugas pokok dan fungsinya(sektoral) sehingga pembiayaan program yang merupakan penunjang penguatan OMS untuk konsolidasi demokrasi dapat dilimpahkan kepada mekanisme DTF yang pelaksanaan pembinaannya tetap menempatkan KL terkait politik dan demokrasi untuk terlibat. Mekanisme ini akan dapat memberikan penguatan terhadap demokrasi melalui program-program yang bersifat kompetitive dan dikelola pada kelembagaan tertentu oleh tokoh dan figur publik yang kompeten dan dikenal luas masyarakat. Model pelembagaan yang dapat dipilih haruslah mengedepankan aspek kemudahan aksesibilitas, akuntabilitas dan legitimasi publiknya. Untuk itu dibutuhkan representasi masyarakat sipil dengan keberadaan unsur pemerintah sebagai sistem penggerak yang bekerja profesional sesuai tugas pokok dan fungsinya selaku aparat sipil negara pada lembaga tersebut. Bentuk kelembagaan dapat berbentuk Komite Kerja Democrasy Trust Fund yang dapat dibentuk negara ataupun model lain yang berorientasi kepada efektitas dan efisiensi dan profesionalitas kerja. Komite kerja dapat dipilih secara luas dan atau mendapatkan mandat dari pemerintah selaku anggota Komite. Bentuk dukungan yang dilakukan secara kompetitive dan melibatkan tahapan ekstraksi ide yang barasal dari kebutuhan mendasar masyarakat sebagai variabel penting penilaian rencana program. Selain itu bentuk dukungan kepada OMS juga harus memperhatikan aspek sustainabilitasnya. Pra Kerangka kerja Komite Kerja DTF secara teknis membutuhkan Tim kecil yang bersifat ad hoc untuk pengelolaan issu dan konsolidasi rencana DTF. Tim ad hoc ini akan bekerja secara sistematis dalam tahapan konsolidasi dan penyiapan issu serta fasilitasi dialog strategis antar berbagai pemangku kepentingan sebagai mekanisme inklusi dalam proses pengembangan kelembagaan DTF yang transparan dan akuntabel. Sebagai pilot program DTF dapat dibentuk dengan menggunakan kewenangan Bappenas melalui Peraturan Menteri/Kepala Bappenas sebagaimana Dana Trust Fund (DTF) bagi perubahan iklim melalui (Peraturan menteri/Kepala Bappenas No. 3 Tahun 2013) dan lain-lain. Sumber pendanaan dapat dimanfaatkan dengan mengoptimalkan dana K/L pusat yang kontra-produktif dengan pelibatan setiap KL terkait dalam mekanisme kerja Komite Kerja DTF baik sebagai Dewan Pengawas maupun representasi negara. Dibutuhkan tindak lanjut melalui forum pertemuan pemangku kepentingan untuk Pengembangan Komite Kerja DTF bagi OMS. Hal ini dapat dilakukan dengan pertemuan-pertemuan terbatas antara Bappenas,
64
kelembagaan terkait pusat, legislatif, Pemerintah Daerah dan OMS yang concern terhadap target capaian pembangunan politik dan konsolidasi demokrasi. h. Keberadaan DTF dapat menjadi tujuan jangka panjang bagi Indonesia sebagai bentuk komitmen dan partisipasi kepada masyarakat dunia bagi pengembangan demokrasi. Untuk itu, dibutuhkan payung kebijakan (Undang-Undang) terkait program ini. Program ini merupakan pola pengembangan komitmen berbangsa dan bernegara dalam menghadapi era global dengan tetap memperkuat integrasi kebangsaan melalui konsolidasi demokrasi yang menguatkan dan mempertautkan elemen kebangsaan Indonesia melalui lahirnya kesadaran akan nilai-nilai demokrasi.
65
Daftar Pustaka
Adi Suryadi Culla, Masyarakat Sipil Dalam Perspektif Wacana dan Aksi Ornop di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2006. Affan Gaffar, Politik Indonesia: Transisi menuju demokrasi, Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 1999. Agung Djojosoekarto, Dkk., (Astri Suryandari & Retno Widyastuti, Ed), Laporan Kajian: Trust Fund dan Pendanaan CSO untuk demokrasi di Indonesia, Jakarta: Kemitraan, 2014 Bob
Sugeng Hadiwinata, Masyarakat sipil sebagai penghambat demokrasi?:Ekstremisme dan demokratisasi di Indonesia, dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010.
BPS, Provinsi Nangro Aceh Darussalam Dalam Angka Tahun 2014 BPS, Papua Barat dalam Angka Tahun 2015. BPS, Kota Surakarta Dalam Angka Tahun 2014 Gupreet Mahajan(2003), dalam CM. Elliot (ed), Civil Socety and Democracy: A Reader. Oxford; Oxford University Press, 2003, Hlm. 118; dalam Bob Sugeng Hadiwinata dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010. Hasil Diskusi PIRAC, Lien Center for Social Innovation dan Perhimpunan Filantropi Indonesia (PFI), Lever for Change: Philanthropy in Select South East Asian Countries, Hotel Sultan Jakarta, 03 Desember 2014 diunduh dari http://nazhoriauthor.blogspot.co.id/2014/12/pedagogi-filantropi-tuaspengungkit.html unduh 12-12-2015 pkl 7;41 WIB. Hasil Expert Meeting Grand Design Pendidikan Kebangsaan Indonesia kerjasama Kemendiknas-Kemendagri Pelaksana Fisip UI di Hotel Santika Jakarta, tanggal 07 Juni 2011 http://keuanganlsm.com/mengapa-lsm-lebih-memilih-danahibah/#sthash.vrxq3bkh.dpuf, Jumat 25 Oktober 2013 diunduh 20 agustus 2015 Pkl 10;38 WIB Insan Kamil (Laporan Penelitian), Potret Demokrasi: Studi Tentang Peran CSO dalam memperkuat Demokrasi di kubu raya-Kalimantan Barat, MeraukePapua dan Nagan Raya-Aceh, Yogyakarta: UNDEF-Satu Nama, 2013.
66
Ivan Doherty, Demokrasi Kehilangan Keseimbangannya Masyarakat Sipil Tidak Dapat Menggantikan Partai Politik, diunduh dari https://www.ndi.org/files/democracy_balance_indo.pdf tanggal 10 Desember 2015 pkl 10;51 WIB Kacung Marijan, Sistem politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Media Kencana, 2010. Kerangka acuan Diskusi Terbatas Konsil LSM Indonesia, Kemitraan Antara Perusahaan dan LSM untuk Mewujudkan Pembangunan Berkelanjutan, Hotel Akmani Jakarta, 15 Desember 2015 Kurniawan, M. Nur Alamsyah, Rahadi TW.,dan TH. Prihatono, Assesmen Partisipatif Pemilu 2014: Pilihan Model Evaluasi Pemilu di Indonesia, Jakarta: LP3ES, 2015. Lupia dan Matsusaka, 2004 dalam Kacung Marijan, Sistem politik Indonesia; Konsolidasi Demokrasi Pasca Orde Baru, Jakarta: Media Kencana, 2010. M. Nur Alamsyah, Fenomena Electocracy Dalam Pilkada Langsung Di Indonesia, Jurnal Academica ISSN. 1411-3341, Volume 4 No 1 Februari 2012, Palu: Fisip Untad, 2012. Muthiah Alagappa(2004), Civil society and political change, dalam Muthiah Alagappa (ed), Civil Society And Political Change In Asia: Expanding and contracting democratic space, Stanford: Stanford University Press, 2004 dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010. Otho H. Hadi, Peran Masyarakat Sipil Dalam Proses Demokratisasi, Jurnal Makara-UI, Sosial Humaniora, Vol. 14, No. 2, Desember, 2010. Paparan Hasil pengkajian Kemitraan, Dana Perwalian Transformasi Demokrasi Indonesia (Indonesian Democracy Transformation Trust Fund – IDTTF), Untuk Membangun Masyarakat Sipil yang dinamis dan kuat di Indonesia, 2015 Philippe Schmitter (1995), dalam Bob Sugeng Hadiwinata dalam Bob Sugeng Hadiwinata dan Christoph Schuck (Ed), Demokrasi di Indonesia; Teori dan Praktek, Yogyakarta: Graha Ilmu,2010. Presentasi Ditpolkom Bappenas, Tahun 2015 Rustam Ibrahim (Ed), Agenda LSM; Menyongsong tahun 2000, Jakarta: CESDALP3ES,1997.
67
Syaparuddin (Disertasi), Eksplorasi Variabel-Variabel Determinan Pembayaran Zakat bagi Muzakki pada Lembaga Zakat di Kawasan Joglosemar, Yogyakarta: UIN, 2011 Thomas Carothers, The End of the Transition Paradigm, dalam Journal of Democracy 13, 2002, hlm. 1 dalam Yudi Latif, Demokrasi dan Pemberdayaan Masyarakat, bahan diskusi pada FGD/Seri Diskusi Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bertema : Sistem Politik Berintegritas, Jakarta, 25-26 September 2013. Tim Fasilitasi LP3ES-Jakarta, 2004 Tinitis Rinowati, Mengapa Indonesia Mengajar Ngotot Mengembangkan Konsep Pendanaan Berbasis Publik?, diunduh dari https://indonesiamengajar.org/kabar-terbaru/mengapa-indonesia-mengajarngotot-mengembangkan-ko unduh 12-12 2015 pkl 10;17 wib YAPPIKA (Aliansi Masyarakat Sipil untuk Demokrasi), Masyarakat Sipil di Persimpangan Jalan: Pergeseran, Tantangan, Pilihan?, Hal 6–8, 2013. Dikutip dari http://jembatantiga.com/2014/11/peran-organisasimasyarakat-sipil/
Hasil Penelitian: Hasil Wawancara dan FGD dengan pak Zaman dari Kesbangpol Papua Barat dan FGD Pengembangan Model Kelembagaan dan Dukungan Sumber Daya Berkelanjutan bagi Organisasi Masyarakat Sipil dalam proses Demokratisasi di Kantor Bappeda Papua Barat, Tanggal 29 Oktober 2015 pukul 10.45-14.17 WIT Hasil Wawancara dengan Direktur Pemberdayaan OMS Kemendagri di ruang kerjanya Tanggal, 29 September 2015 Pukul; 09.40-11.50. Hasil wawancara dengan Hikmat Hardono (Direktur Eksekutif) Indonesia Mengajar (IM) dan Staf Ahli Kemendikbud, pada Tanggal 15 Oktober 2015, Pkl. 14-00-16.00 di Kantor Kemendikbud RI. Hasil Wawancara dengan Yonadap Trogea (Anggota Fraksi Otonomi Khusus DPRD Provinsi Papua Barat dari Cluster II/ Sorong Raya), Tanggal 30 Oktober 2015, Pukul 14.00-17.20 WIT. Hasil Wawancara Yan Yotemi (Ketua Fraksi Otonomi Khusus DPRD Papua Barat, dari Cluster III Kuri Wamesa) Tanggal 30 Oktober 2015, Pukul 14.00-17.20 WIT
68
Hasil Indepth Interview dengan Direktur PERLUDEM-Jakarta, Tanggal 7 Oktober 2015, Pukul: 14.50-16.30 WIB di Jakarta. Paparan Hasil Pengkajian Kemitraan, Dana Perwalian Transformasi Demokrasi Indonesia (Indonesian Democracy Transformation Trust Fund – IDTTF), Untuk Membangun Masyarakat Sipil yang dinamis dan kuat di Indonesia, Jakarta: Bappenas RI, 2015 Hasil Focus Group Discussion Prov. Papua Barat di Lt. 2 Aula Kantor Bappeda Prov. Papua Barat Manokwari, Tanggal 29 Oktober 2015 Pukul 10.4514.17 WIT Hasil Indepth Interview dengan Zulkarnain (OMS Jerami-Solo) di Solo Waktu Tanggal, 27 November 2015, Pukul Jam 14.00-17.30 WIB. Hasil Indepth Interview dengan aktifis Partai Aceh, Tanggal 16 Oktober 2015 pukul 09.00-10.30 WIB di Kota Banda Aceh Hasil Focus Group Discussion Provinsi NAD, waktu Tanggal 15 Oktober 2015 pukul 10.00-14.00 WIB. di Aula kantor Bappeda Provinsi Aceh. Hasil Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam (Mayjend TNI Yoedhi Swastono), Tanggal 5 Oktober 2015, Pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I Poldagri- Menkopolhukam, Jakarta Hasil Indepth Interview dengan Akbaruddin (Kompip Solo), Tanggal 27 November 2015, Pukul 10.00-14.30 WIB, di Solo. Hasil Focus Group Discussion Kota Solo, Tanggal, 26 November 2015, Pukul 10.00-13.15 WIB di Kantor FKUB Solo.
Hasil Catatan FGD Banda Aceh Tanggal: 15 Oktober 2015 (Kantor Bappeda Provinsi Aceh). Model dan efektifitas Dukungan Bagi OMS Pengembangan Model yang ada di aceh sangat dipengarui oleh pengelolaan yang melibatkan mekanisme Multy Trus Fund untuk rekonstruksi Aceh Pasca Tsunami. Masyarakat dan OMS sangat tergantung terhadap dana donor yang sedikit banyak berdampak kepada mekanisme budaya lokal di masyarakat Aceh. Meskipun dampaknya melemahkan relasi sosial masyarakat Aceh, Namun tetap saja terdapat indegenius local yang senantiasa menghadirkan Trust dalam masyarakat. Hal ini menunjukkan bahwa selama masyarakat saling memperkuat untuk suatu tujuan, maka masyarakat merupakan kekuatan terbesar dalam tujuan pembanguan bagi masyarakat. Contoh kasus Edi Fadil yang melalui gerakannya di media sosial dapat menggerakkan dana publik untuk penyelesaiaan rumah kumuh dari rencana 1 rumah, namun akibat besarnya dukungan berkembang menjadi 4 (empat) rumah hingga saat ini. Secara budaya, Masyarakat Aceh memiliki mekanisme lokal dalam pembiayaan publik yang meskipun kini mulai pudar tetapi dapat dibangkitkan dengan menempatkan meunasah/mesjid sebagai pusatnya. Instrumen Formal yang selama ini dilakukan pemerintah cenderung negatif dalam proses pelaksanaannya. Kegiatan pembiayaan pemerintah hanya cenderung mendorong lahirnya NGO plat merah yang senantiasa mendapatkan dana dari pemerintah tetapi tidak memiliki kegiatan. Bahkan dalam penerapan UU untuk pendampingan hukum tidak dilakukan secara terbuka sebab aliran dana tersebut selain tersendat juga berasal dari rekening pribadi bukan transfer dari dana lembaga terkait. Terdapat gap yang semakin luas antara pengelolaan kegiatan yang melibatkan pemerintah yang secara teknis hanya menjadi beban operasional kegiatan. Selain itu, keberadaan peraturan oleh pemerintah yang membedakan honorarium untuk pejabat pemerintah dan aktifis OMS dalam standar pembiayaan pada kegiatan tertentu menunjukkan tidak adanya itikad untuk mensetarakan antara pemerintah dan aktivis OMS. Mekanisme akuntabilitas OMS Pembiayaan kepada masyarakat dalam tafsir pemerintah saat ini, dianggap akan dapat menjadi masalah bagi pemerintah itu sendiri. Keberadaan dana bantuan yang masuk ke aceh dengan jumlah begitu besar untuk lingkungan dan kesehatan tak lain karena akuntabilitas pembiayaan dan output kerja yang baik oleh pengelolanya sehingga dapat survive hingga kini. Ini menjadi tantangan bagi mekanisme DTF kemasa depan. Problem pada sebuah lembaga baru yang akan
sangat menentukan segalanya adalah mekanisme kerja yang profesional sehingga terdapat kesetaraan pemerintah dan OMS, sehingga pada mindset yang dikembangkan tidaklah bersifat fasilitasi tetapi pemerintah menganggap dana yang diberikan ke OMS itu dibantu oleh pemerintah. Terdapat perbedaan perlakuan dan tafsir dalam aturan yang berubah-ubah d Aceh, seperti terkait pembayaran honor bagi pejabat PNS dan non PNS sebagaimana ketentuan pergub Aceh. CSO membutuhkan dukungan berkesinambungan, yang dapat diakses secara terbuka. Keberadaan dana pembinaan di Kesbangpol Aceh yang terbatas serta tidak terbuka, keberadaan dukungan OMS yang terpusat di sekretariat Provinsi relatif menyulitkan OMS. Keberadaan DTF juga dapat disingkronkan dengan Dana desa, sehingga pengelolaan dana desa juga beroeientasi pada fungsi DTF untuk memastikan pendamping pembangunan desa yang direkrut memahami subtansi pengembangan desa dan masyarakat kemasa depan. Ini penting agar dapat mendeteksi dini potensi masyarakat yang dapat digerakkan untuk pembanguan secra luas dan demokrasi pada khususnya. Tantangan dan hambatan Ke masa depan: Diaceh, kelembagaan Trust Fund itu telah ada sejak lama, bahkan menjadi biang yang meruntuhkan budaya gotong royong masyarakat yang saat ini lebih manja dan semua meminta serba dilayani(charity). Permasalahan seperti yang dihadapi oleh ADTF yang merupakan lembaga fasilitas i untuk pembangunan adalah pada payung hukum, meskipun koordinasi jalan tetapi tidak bisa berjalan sebab terkendala pada penguatan hukum. Keberadaan dana Hibah/bantuan yang bersifat karitatif untuk saat ini, tidak relevan untuk dikembangkan, mesti ada standar dan justifikasi yang memungkinkan sebuah dana dikelola oleh OMS. Selain itu, dibutuhkan ruang atau tahapan agar pemerintah dan OMS dapat berubah dalam mindset terkait pengembangan masyarakat sipil. Cara pandang yang menempatkan pemerintah berseberangan/berhadap-hadapan dengan OMS yang kritis sudah bukan pada tempatnya, sehingga kemudian pembiayaan kegiatan lebih berorientais proyek dimana asumsi yang dikembangkan pemerintah bersifat memberikan dan OMS melaksanakan sesuai kemauan pemerintah dan atau OMS melakukan sesukanya karena dananya bersumber bukan dari negara. Relevansi DTF Trus Fund di Aceh telah banyak dibentuk seperti ADTF yang kini mengalami mati suri. DTF dipandang positif, meskipun dalam pelembagaannnyaharus menjaukan diri sebagai alat kontrol, sebab akan menjadikan ide DTF sebagai mekanisme “hadirnya Negara” bagi kebutuhan
masyarakat menjadi tidak penting. DTF juga dapat menjadi ruang yang diharapkan akan merubah Mindset ataupun sistem pada pengelola pemerintahan sehingga kehadiran mekanisme ini bisa merubah diri, utamanya terkait dana hibah ataupun APBN yang dimaknai sebagai milik pemerintah. Perkembangan terkait 3 Fungsi DTF yang diharapkan nantinya dapat dilaksanakan yitu pendidian demokras, penidikna politik dan wawasan kebangsaan/integrasi nasional sebagai bagian menuju konsolidasi demokrasi menjadi sangat penting terkait bagaimana wajah untuk demokrasi di Aceh pasca berakhirnya pembiayaan melalui skema dana Otsus pada 2027 mendatang. Bagaimana perlindungan sosial bagi masyarakat aceh. Untuk itu dibutuhkan rencana aksi menuju kesana dengan menggunakan instrumen lokal yang selama ini relatif ditinggalkan pasca banyaknya bantuan yang masuk ke aceh. ADTF (Aceh Development Trust Fund) merupakan bentuk mekanisme kerja yang melibatkan pemerintah dan CSO sebagai sinkronisasi antara pemerintah, swasta dan CSO. Program ini berhasil membangun berbagai pabrik sebagai pemicu ekonomi produksi dimasyarakat, dengan melibatkan begitu banyak institusi. Meskipun saat ini terhenti dengan berbagai keterbatasan yang dihadapinya. Pola DTF dapat dikembangkan, terutama bahwa secara kultural hal seperti ini telah dimiliki dalam kehidupan sosial budaya masyarakat yang sayangnya tidak dikembangkan dan kurang diberdayakan saat ini. Pengelolaan iuran/donasi di Indonesia sudah banyak bahkan untuk konteks pemerintah Aceh, masih sedang mencari nama apa yang akan diberikan untuk mekanisme tersebut yang merupakan instrumen gotong royong di masyarakat. Keberadaan CSO yang besar belum menjamin keberlangsungan sebuah program dapat berlanjut sebab instrumen masyarakatlah yang menentukan apakah program yang ada tersebut dapat berjalan ataukah tidak. Sehingga DTF mesti memiliki mekanisme yang dapat mendorong bekerjanya kelembagaankelembagaan yang jumlahnya banyak dimasyarakat dengan program yang dapat dibenahi dan dikembangkan untuk dapat berguna bagi penguatan konsolidasi demokrasi pada tataran akar rumput. Mewujudkan Sinergitas Kerja Pelembagaan DTF tidaklah dibahasakan secara operasionalisasi lembaga OMS yang kemudian lepas dari pemerintah. Berdasarkan pengalaman pembentukan dana trust Fund yang ada diaceh yang dibentuk secara otonom cenderung kehabisan energinya sendiri sehingga tidak dapat berbuat apa-apa. Selain itu diperhatikan juga keterwakilan pemda dan CSO lokal dan melibatkan swasta. Persoalan hubungan swasta dan pemerintah tidak lagi berfugsi sebagai sapi perah atau ATM bagi peguasa.
Pengembangan kelembagaan yang baik membutuhkan pengawasan dan pemanfaatan sistem yang berbasis IT (ebudgeting),harus terdapat sangsi yang jelas dalam pengelolaan kelembagaan tersebut nantinya. Serta dikelola oleh orang-orang yang profesional dengan track record yang baik. SOP harus merupakan kesepahaman yang kemudian dijadikan payung dalam pelaksanaan secara teknis. Mekanisme pematangan pembentukan DTF harus disusun sebagai agenda kerja yang melibatkan seluruh elemen yang terkait. Secara kelembagaan DTF harus difasilitasi oleh negara dan aparatnya sehingga dapat menghindari kegagalan berbagai kelembagaan Trust Fund yang pernah eksis di Aceh kemudian gagal karena kesinambungan peran pemerintah yang terbatas. Keberadaan data base OMS penting untuk melakukan pemetaan kelembagaan dan potensi OMS bagi masyarakat, selain agar dalam pengelolaan kegiatan dan penggunaan dana dari pemerintah tidak saling tumpang tindih sehingga menunpuk pada satu lembaga tertentu. Peserta FGD Perwakilan Bappeda Aceh Bapak Roys Ibu Suraiya Ibu Raihan (Kata Hati) Ibu Marhaemi (Koalisi NGO) Bapak Musawwir (Kesbangpol)
FGD Papua Barat 29 Oktober 2015 Pukul 10.45-14.17 WIT Lt 2 Ktr. Bappeda Prov. Papua Barat Dibuka Pak Indra(Kabid) ‐ ‐
‐
‐
Thanks To Bappeda yang memfasilitasi, dan kehadiran undangan Menjelaskan tentang DTF untuk menerima masukan ttg DTF untuk gagasan membentuk lembaga DTF untuk program RPMN ketiga 20162017, perpres 16 tahun 2015. Uraian paparan: Terbentuknya masyarakat sipil yang otonom sbg syarat demokrasi terkonsolidasi Problem oms pelembagaan dan pembiayaan yang masih lemah
Diskusi Model yang pernah ada dan efektifitasnya Zaman (Kesbangpol) ‐
‐
‐ ‐
‐
‐ ‐
‐
Bagaimana peran pemerintah dalam memberdayakan ormas, selama di kesbang 8 tahun bertugas bagaimana melakukan pemberdayaan baru sekitar 2 tahun (tupoksi). Bagaimana merekrut organisasi tersebut dalam legal standingnya, untuk pemberdayaan, uu adanya revisi UU. Bahwa pemberdayaan ormas memberikan peran dan konsent yang dilakukan bik dalam bentuk hibah Diparpol ada mislink diantara mereka sebagai tujuan kemasa depan Dipapua ada 34 organisasi yang terdaftar ketika kesbang beum dapat memebrikan sesuatu kepada mereka. Terkait posisi memebrikannya apakah dikesbang atau ditempat lain. Keberadaan organisasi yang baru terus memita bantuan kepada pemerintah? Sementara ormas itu harus nirlaba sedangkan peran pemerintah adalah memfasilitasi atau menggiiirng ormas supaya bisa dapat bekerjsama dengan masyarakat. Tetapi lbih baik jika ormas yang bicara Selama ini kebanyakan aparat pemda tidak paham peran pemerintah (sorong selatan ada 84 organisasi yang terdaftar) hal ini karena pemahaman yang tidak jelas terkait UU orma Dana bansos dan hibah selama ini banyak bermasalah yang ada di masyarakat, ketika masyarakata beraggapan membentuk ormas untuk dapat dana pemerintah.
‐
Bagaimana membangun masyarakat untuk mengkomunikasikan dengan tujuan kesejahteraan.
Yan ‐ ‐
‐
Dana Mitra kerja masyaraat u pembangunan berdasarkan study mereka, bahwa di pdt ada proyek yang sifatnya fiktif, pembuatan jalan, pembuatan perumahan di provinsi dimana pembanguan itu tidak ada yang ketika dilaporkan kepada pemerintah tidak diperhatikan. Setelah di kemenkopolhkam baru ditanggapi sehingga diturunkan tim. Partai2 politik mendapatakan dana dari pemerintah, mestinya ormas juga mendapatkan dana yang sama . dari pemerintah provinis sebenarnya sudah menyaipakn dana untuk beberapa kelembagaan seperti dilembaga p yan yang sudah disiapkan 1,2 M tetapi karena sifatnya dana ini untuk menbangun masyarakat sehingga belum dilaksanakan. Sehingga sebaiknya ada dana dari pemerintah untuk OMS bekerja dan pemerintah melakukan pembinaan.
Zaman ‐
‐
Dikesbangpol itu tidak ada dana pembinaan (papua barat) tidak pernah ada, selama ini beberapa lembaga mengajukan permintaan untuk endapatkan dana tetapi karena tidak ada tidak pernah diberikan. Sedangkan semestinya diberikan untuk pemberdayaan. Ditahun 2015, kemendagri telah meminta untuk ada beberapa ormas untuk mendapatkan dana hibah (40 juta) untuk 5 paket. Hal ini meskipun sampai sekarang belum ada
Yan ‐
Setiap ormas itu bekerja sesuai rencana dan programnya masing2 yang disesuaiakan dengan pemda dan pusat untuk dapat saling bersinergibekerjasama. Hal inilah yang akan di komunikasikan dengan tingkat bawah. Sehingga untuk jumlah dana itu tidak akan cukup.
Roby Wanggai (LP2TREE) ‐
Lembaga pemnatau terdaftar di kesbangpol yang memantau penyelenggara pemerintah yang didapatkan tetapi tidak ada bantuan dari kesbangpol sementara yang bekerja unutk menggebrak itu lembga dp2, meskipun tidak untuk dibayar (buktinya ada Korannya) banyak kasus korupsi yang diungkap. Hanya semnagatah yang mendorong.
‐ ‐
‐ ‐ ‐
‐
Pembangunan di papua itu tidak beres, 80-90% Keputusan2 yang diambil diluar/tnpa konfirmsi dengan masyarakat sehingga banyak kroban pembangunan yang mubazir, baik di bappeda maupun kabupaten seperti pelebaran jalan. Mestinya bangun lebar jalan itu ada sosialisasi sehingga masyarakat bisa membangun Ini bodohnya di bappeda karena tidak ada kebijakan yang dilakukan. Di desa juga begitu sd, puskesmas, tidak ada orangnya atau pertugasnya. Pembanuan yang dilakukan tidak ada koordinasi dengan masyrakat. Seperti jumlah mahasiswa, tidak ada murid, tidak ada guru, pertanian dan lainlain juga seperti itu. Sehingga jangan terlalu percaya kepada bappeda banyak program yang tidak jelas. Buat sekolah tidak ada guru, ada guru juga hanya honor karena tidak ada dana atau biayanya.
Untuk efektifitas kegiatan ‐
‐
Lembaga dibuat memang untuk memantau, pernah melaopr kepada kesbangpol dinyatakan tidak ada dana. Sehingga menertmereka memang dana tidak menjadi hambatan dalam pengelolaan organisasi. Keberadaan ASPAP yang mendukung investigasi bahkan membantu masyarakat dengan memberdayakan ibu-ibu penjual.
Yusuf Saway ‐
‐
‐
‐ ‐
Ciri organisasi di papua itu ada yang lokal yang dibentuk di papua, ada lembaga masyarakat adat, keagaam yang belum terdaftar di kesbangpol yang memberikan kontribusi di daerah ini. Mestinya kesbangpol yang proaktif untuk mendata ormas2 tersebut sehingga bisa sebagai model sebab berkontribusi terhadap demokrasi. Ketika terdapat beda pendapat maka mereka kemudian menjadi ujung tombak. ASPAP, mengakomodir semua pengusaha baik pribadi/ keompok yang hendak memberdayakan kehidupan ekonomi. Selama ini sudah bermitra dengan BAPPEDA bahkan sudah bagus sekali untuk senantiasa dilanjutkan dalam pengembanagan SDM baik pajak dan macam2 seperti konstruksi, ini sudha ada formatnya di Bappeda sehingga tidak mengherankan jika bappeda mengajak aspap untuk menemui tim. Secara umum, masyarakat memfasilitasi diri yang tujuan untuk baik. Insentif itu penting sebab akan membuat masyarakat (ormas) itu berlomba2 untuk mendaftar di kesbangpol dan akan membuat program yang akan berguna bagi masyarakatnya.
‐
Masyarakat jika mengetahuai bahwa tidak ada insentif untuk sebuah mekanisme yang harus mereka lakukan masyarakat tidak akan mendaftarkan diri. Artinya jika ada sistem yang dibuat maka akan membuat secara otomatis akan berlangsung.
Danar Dono ‐
‐
‐ ‐
OMS di papua barat sudah baik dan terdapat mekanisme kemitraan untuk pembangnnan fisik yang dilakukan secara baik yang dikelola oleh ormas2 lokal melalui paket 500 juta yang diberikan kepada NGO untuk dilakukan. Hal ini diberikan setelah melalui koordinasi dengan instansi-instansi terkait. Model yang dilakukan secara transparan dan melalui mekanisme pemberdayaan yang tidak merepotkan masyarakat yang dilakukan secara terbuka dan profesional, yang pelaksanaannya dilakukan secara akuntabel. Dibutuhkan sharing untuk model papua yang bisa menjadi best parctice Papua sudah menempatkan masyarakat sipil pada posisi tertentu, sehingga tidak menempatkan pembangunan sebagai hanya tugas pemerintah.
Robby. ‐
‐ ‐
‐
Kasus dipelabuhan/dermaga ketika ada pengabaian atas masyaraat lokal yang tidak dapat ikut bekerja dipelabuhan (bongkar muat) bukan pemerintah yang melakukan, NGO yang melakukan ini menunjukkan bahwa pemerintah lemah termasuk untuk melebagakan mereka dalam koperasi. Hal seperti ini tidak butuh dana untuk melakukan hal seperti ini. Pemerintah tidak pernah mengajak NGO duduk bersama untuk membicarakan aspirasi masyarakat. Panggillah NGO untuk membicarakan hal-hal yang baik untuk masyarakat, sehingga jika pemerintah punya hati nurani harusnya memanggil NGO untuk membicarakan apakah akan membantu NGO melalui dana ataukah fasilitas itu peerintah saja yang melakukan. Banyak sekali OMS yang melakukan advokasi untuk masyarakat.
Yusuf ‐
‐
Setiap organisasi melakukan berbagai kegiatan untuk pemberdayaan yang terlibat sesuai dengan kapasitasnya dengan menggandeng bappeda dan sebagainya. Terkait insentif itu relatif dapat ditentukan di bappeda dan kesbangpol yang lebih paham terkait bagaimana memberdayakan masyarakat dengan nilai bantuan yang bermacam-macam.
Yan
‐ ‐
‐
‐ ‐
‐
OMS bagaimana memperjuangkan sehingga pendidikan politik dimasyarakat dapat dilakukan oleh masyarakat untuk dapat berdaya. Di wasior ada program yang turun oleh guru2 yang membangun perumahan dan sekolah dan masyarakat setempat tidak mendiami daerah itu sehingga perencanaanya harusnya dari bappeda sebab karena kepentingan2 dari setiap skpd macam2. Ormas2 ini harus dapat diberdayakan untuk bisa bicara sesuai kepentingannya dan bisa sampai kepada pemerintah. Bidang pendidikan dan kesehatan itu sebaiknya profesional dan bisa ditangani langsung oleh pusat. Seperti paket2 itu diadalan sebab kepala desa, dewan ijasah palsu(aspal). Ada anak muridx tidak bisa baca karena desakan politik harus naik (daripada dapat panah) Penegasan pusat penting untuk langsung ke daerah terutama kesehatan dan pendidikan agar generasi kedepan itu yang langsung bisa pakai. Dulu untuk penugasan PNS agar ditugaskan itu disuruh nikah dulu klo dari luar demikian juga. Pembangunan yang ada saat ini OMS mestinya pemerintah buat sesuai potensi daerah sehingga tidak hanya ke aspek pembangunan. Seperti untuk industri Tapioka, tebu sebab selama ini uang hanya habis untuk demo, berkelahi saja.
Zaman. ‐
‐
‐ ‐
Harapan kemasa depan bahwa secara normatif berdasarkan aturan, bahwa jika semua menggabungkan dalam OMS maka kesbangpol bisa memferifikasi, sebab pada setiap OMS itu dapat menginformasikan keberadaannya 6 bulan sekali. Hal ini bukan mengambat, tetapi untuk pemerintah dapat menyesuaiakan dengan kebutuhan dan kepentingan bagi OMS untuk dapat menjadi evaluasi. Dalam menentukan OMS yang dapat bermitra dan tidak. Kedepan jika terdapat 1000 OMS X 4o juta apakah bisa, seharusnya ada aturan, disaranakan yang terima hari ini, tahun depan tidak dapat lagi sehigga harus nyambung atau sinergitas antara program agar berkesinambugan. Program itu tidak seperti membalik telapak tangan sehingga ada tahapan2 Kesbangpol itu hanya untuk mendaftar, sambil menuggu PP, terkait tugas dan fungsi sehingga harus tunduk kepada UU.
Yusuf Sawai ‐
Pergantian pejabat turut menjadi masalah sebab diganti sesuai pergantian pimpinan seperti di Bappeda, ganti pimpinan RPJPD juga digantikan/direvisi. Harusnya ini berkelanjutan.
Alamsyah ‐
OMS di papua barat partisipasinya bekerja secara baik, dengan atau tidak mendapatkan dana dari pemerintah.
Relevansi keberadaan lembaga perwalian bagi OMS Papua Barat ‐
‐
‐
‐ ‐
‐ ‐
‐
‐
Persoalan SDM, diperkotaan sudah baik meskipun masih ada yng dipinggiran masih belum baik, usia putus sekolah yang masih tiggi. Ini karena perencanaan tidak mengikuti kemauan masyarakat. Tantangan untuk merencanakan sesuatu tetapi jika masyaraka belum siap maka hal apa yang harus di lakukan, sehingga pendidikan yang harus dobenahi lebih awal. OMS itu penting dioptimalkan kepedesaan supaya bisa membantu masyarakat dalam merencanakan secara sinergis. Hal ini akan jadi tantangan dan tidak akan habis2 sebab keberadaan tradisi yang tidak hanya terjadi di desa di kota juga begitu. Mereka memiliki pandangan yang berbeda sehingga kita butuh membentuk ideologi pancasilais. Jika pendidikannya terbatas maka akan selalu terhambat. Meskipun dana banyak tetap sama saja tidak akan dapat berbuat apa-apa. Sehingga berkaitan dengan OMS maka masyarakat akan belajar dengan sendirinya secara bersama2 agar dapat mendorong dan mengkritisi pemerintah. Yang diharapkan dari pemerintah, membutuhkan tahap2an dari SDM, seperti keberadaan lembaga. Solusinya, buat manajemen terbuka pada OMS sehingga uang semua duarahkan ke pedesaan. Dan bagaimana melibatkan masyarakat untuk dilibatkan agar ada rasa memiliki. Sebagai anak bangsa anak papua tidak boleh kalah dengan anak bangsa yang lain. Sehingga kekhawatiran terkait orang datang apakah ini dari ulat sutra dll atau dari manakah?. Untuk mengantisipasi perencanaan pusat ke daerah harus menggunakan manaejemen terbuka, seperti di Panini diletakkan transparansi pembelanjaan pembangunan yang dapat diketahui semua orang. Adat itu sangat tinggi, kebiasaan lokal orang bertamu untuk dianggap saudara maka pulang tidak bisa pulang tangan kosong.
Roby ‐
Banyak program yang tidak sasaran adanya pembangunan Pustu yang dibangun 450 juta tidak dipakai sebab tidak ada programnya. Harusnya pustu dibuat sudah siap dengan obat2an, perawat dll lebih baik jika beli obat saja dan taruh di pondok2. Hal ini merugikan sebab tidak ada operasinalnya yang
penting itu keberadaan fasilitas yang operasional dan itu pemerintah tidak menggunakan fungsinya baik. Yan ‐
‐
‐ ‐
Persoalan itu adalah tanah belum lunas, yang harus didekati dengan endekatan budaya yang kadang pintar terkait proyek pemerintah. Mereka itu biasanya menunggu bangunan naik baru ada penyerootan. Pendidikan politik masyarakat selama ini kurang sekali sehingga kesbangpol dan parpol untuk bisa duduk bersama dengan OMS untuk turun ke masyarakat. Pelaksanaan kegiatan di Papua barat itu membutuhkan biaya besar. Pemerintah tidak akan bisa mengawasi sehingga OMSlah yang mengawasi apa yang dilakukan dilevel masyarakat terkait hal apa yang semestinya dilakukan.
Yusuf ‐ ‐
Banyak lembaga yang menyuarakan sampai ke jakarta tetapi di daerah tidak punya basis. Organisasi ASPAP non profit tetapi kegiatannya dilakukan untuk pembinaan kepada masyarakat yang mana proyek2 yang berasal dari pemerintah yang diperuntukkan bagi anggota2 ASPAP yang bersifat LSM.
Zaman ‐
Verifikasi terhadap OMS yang dibentuk terkait sumbe biaya, dll harus diketahui oleh pemerintah.
Danar Dono ‐ ‐ ‐ ‐ ‐
Masyarakat belum bisa menyikapi terkait besaran anggaran yang setiap waktu berkembang dari 500 M – 5 T yang ada saat ini. Ada 600an lsm baru sehingga menjadi 1000an kontraktor lebih, Keberadaan ASPAP sudah membantu bappeda dalam membantu menjalankan berbagai kegiatan. Wilayah sebaran sangat luas, Banyak yang bicara tentang Papua diwilayah lokal padahal tidak pernah ke daerah selain karena biaya yang mahal juga jarak yang jauh.
Yusuf ‐
Mobilisasi masyarakat dengan uang tidak akan bertahan, seperti para politisi yang pake politik uang tidak akan bertahan lama.
‐
Faktor utama, adalah kebijakan pasca orde baru yang menghambat sehingga papua harus diperbaiki dengan sikap dan kebijakan yang lebih baik.
Roby ‐
Demokrasi itu luas, kebebasan untuk bicara tetapi ada satu demokrasi yang penting ditanyakan terkait keuangan seperti untuk proyek besar. Yang besar2 itu datang tidak diketahui padahal ini tidak demokrasi. Tentang pelelangan itu tidak ada.
Zaman ‐
Semua terkait politik adalah uang, yang harusnya penting itu adalah tentang masyarakat. Misalkan jika ada uang 10 ribu maka apa yang harus dibelanjakan sehngga peran pemerintah adlah bagaimana pemerintah meningkatkan peran pemerintah untuk meningkatkan pendapatan masyarakat.
Yan ‐
‐
Kemerdekaan masyarakat harus dapat dijamin, semua yang terkait harus bicara tentang kepentingannya. Sehingga lahirlah opsi2 dengan munculnya referendum, otonomi khusus yang sudah dilakukn di kota. Sehingga orang2 yang bagus duduk disitu agar dapat membantu sebab dana di apabn itu terbatas. Keberadaan pola yang telah ada sejak era gusdur telah menempatkan posisi bagaimana harusnya posisi Papua dan masyarakatnya ditempatkan dalam kebijakan pusat.
FGD Solo Tanggal : 26 November 2015, Lokasi : Kantor FKUB Solo Waktu : Pukul 10.00-13.15 WIB Pengantar Hambatan OMS dalam pengawalan pemilu adalah berkurang dan perginya para donor. Capaian indeks demokrasi untuk RPJMN 2014-2019 ditahun pertama, sehigga harusnya menjadi poin penting pertama pencapaian IDI selanjutnya. Paradoks demokrasi, kesadaran demos yang rendah, kekerasan politik tinggi (agama/kontestan), korupsi yang tinggi ketika rekruitmen dilakukan dengan cara demokrasi, degradasi keteladanan, niai integrasi kebnagsaan dan wawasan kebangsaan, rendahnya kepercayaan kepada pemerintah, subtansi demokrasi hilang ketika proses yang dianggap penting hanya mekanisme prosedural, Hasil-hasil studi sebagai pondasi dalam memandang wajah demokrasi Indonesia. Design pelembagaan untuk mengumpulkan LSM, ini sensitif terkait trustnya masyarakat sebab akan menimbulkan kecurigaan masyarakat yang selama 32 tahun terhegemoni dan setelah reformasi baru cair. OMS itu lahir dari trust selain mereka memiliki doiamn masing2, SK yayasan dilakukan dengan tujuan tertentu. Sejak lahir organisasi adalah domain sendiri dan biarkan secara alami saja. Termasuk berelasi dengan funding internasional biarkan saja. Adapun tentang OMS/CSO tidak pede karena hegemony orde baru yang saat ini sudah mulai tumbuh meskipun juga sebagian sudah mulai kebablasan. Masyarakat telah terbiasa menyelesaikan terkait kericuhan dan kekerasan sendiri termasuk ketika Rudi yang non Islam akan menjadi walikota, masyarakat yang mengupayakan untuk tidak menjadi luas dan jadi issu snsitif.
Banyaknya lembaga yang memiliki jaringan yang perkembangannya dipengaruhi oleh kondisi SDM dan pendanaan berkesinambungan. Masyarakat sangatvterbantu dengan keberadaan CSO, meskipun hanya dapat memfasilitasi ketika donor sudah pergi namun demikian masyarakat sudah merasa terbantu. Forum itu berbeda-beda karena segmen issu tertentu. MPS (masyarakat peduli surakarta) yang diakui pemerintah dan diakui media. Juga terdapat Masyarakat peduli pelayanan publi surakarta yang peduli teradap pelayanan publim yang meskipun mendapatkan dukungan pemerintah tetapi karena terdapat keterbatasan dalam diri jaringan Jumlah OMS/CSI di solo sekitar 500 ormas termasuk ada LSM yang sebagian masih tergantung dari pemerintah. Keberadaan kebijakan UU 23 thun tahun 2014 menyebabkan dana hibah di pemkot Solo tidak dianggarkan. Umumnya Ormas di
solo aktif, karena setiap calon yang berkompetisi memiliki ormas yang punya anggota masing-masing dengan jumlah banyak sekali. Kasus solo Institute karena keterbatasan SDM dan tekanan ekonomi fungsionarisnya kemudian lebihmemilih menjadi tenaga kontrak PNPM dan profesi lainya meksipun idenya sangat kreatif dalam bidang pengkajiaan. Tawaran Untuk model yang dicari, OMS di Indonesia berbeda dengan dinegara lain yang sifatnya top down, indonesia itu khas gotong royong/kebersamaan yaitu bagaimana agar OMS dapat sejajar pemerintah, kepercayaan diri menjadi penting, sedangkan gagasan untuk OMS dapat mandiri/otonom pernah dilakukan namaun sangat sulit melalui bisnis center yaitu ide2 bisa dibiayai tetapi sulit karena tidak adanya jaringan. Rohnya adalah kebersamaan antara organisasi masyarakat sipil dan pemerintah. Kadang dilupakan para akademisi yang selali dikultuskan, sementara keberadaan mereka sanat mendukung pengutaan sipil sociaty. Juga terdapat organisasi yang sangat tergantung dari APBD seperti GOW, meskiun melakukan usaha lain tetapi tetap saja keberadaan stimulan hibah dari pemerintah mempengaruhi kinerja kelembagaan ini yang membawahi 43 organisasi wanita. Untuk dapat memperoleh itu maka GOW Surakarta sudah dilembagakan. Keberadaan regulasi memperumit hubungan CSO dan pemerintah terkait organisasi yang berbadan hukum, yang terdaftar sebab hal ini juga disinyalir lembaga yang tidak berbadan hukum malah menyalahgunakan, meskipun bisa jadi tidak dilakukan oleh semuanya tetapi berimbas kepada banyak organisasi DTF merupakan tawaran solusutif atas kondisi yang ada sebab yang dihadapi sebab DTF bisa menjadi payung atau Koordinator Roundtabel diskusi sehingga dapat menghasilkan kebijakan-kebijakan yang mendukung CSO/OMS bagi kebutuhan masyarakat sebagaimana pengalaman di banyak negara seperti philipina yang sangat maju demokrasinya. Diakui bahwa Model donor asing saat ini sudah tidak lagi mendukung, Karena donor punya agenda sendiri. Mengapa di Indonesia masyarakat dalam memberikan dananya ragu-raug karen akondisi Low trust society Bahkan sekarang ada lembaga yang jadi tukang peras dengan mendatangi dinas2. Terdapat lembaga yang menjadi pendorong bagi kelembagaan keillainnya meskiun keterbatasan donor menjadikannya berhenti. Seperti misalkan Lembaga Perdamaian Antar Golongan dan Agama (LPLANG). Juga membantu komunitas2 di masyarakat. Selain keberlanjutan dana yang penting itu adalah keberlanjutan SDM. Di solo banyak NGO sejak awal-akhirnya direkturnya itu-itu saja sehingga transfer knowledge dll mempengaruhi stagnasi sehingga mempenaruhi perkembangan internal dan eksternal. Pendanaan memang masih ada program dari donor, pemerintah dan yang dilupakan adalah masyarakat. Pasca donor sudah bergeser harusnya membuat
NGO cerdas mencari sumber pendanaan. Dari pemerintah memang belum ada sumber pembiayaan meskipun juga ada program dari pemerintah untuk melakukan replikasi yang bisa dilakukan. Sumbe daya yang dapat disenrgkan itu layaknya dana adalah lahan, kearifan lokal, pembangunan desa kemudian swasta yang bisa digandenguntuk membangun desa. Hasilprogram lain menghidupi programyang lainnya. Keberadaan dana Pemerintah penting untuk mendukung, tetapi lebih baik untuk mendapatkan sumber dari pihak ketiga dan internal. Disini dibutuhkan kemasan Demokrasi, ketika ada dana dari pemerintah yang diberikan kepada NGO tidak menggeser aspek kekritisan kepada pemerintah dan juga tidak menjadi anjing penggongong yang tidak terarah atau tidak vis a vis. Seringkali ada ewuh pakewuh yang menjadi aspek terpengaruh. Menngumpulkan NGO Disolo menjadi satu saat ada pengelontoran baru sudah ada melalui berbagai konsorsium tetapi ini kurang efektif sebab tidak dibarengi dengan penguatan. Sehingga tidak perlua ada konsorsium ulang. Pola yang dikembangkan Program pemerintah membiayai program yang masing2 program sesuai mandatnya terkait perempuan, anak, demokrasi dengan membangun kesadaran. Dalam program yang multstokeholder, pemerintah berkontribusi uang pada program di desa-desanya juga terkait capasity building, SPEKHAM melakukan pemberdayaan dan swastapun melakukannya. Terdapat keluhan bahwa Organisasi mitra kecil di pattrio itu sulit sekali untuk pemberdayaan untuk pendanaan program itu. Potensi dana CSR itu belum bisa sebab terbatasnya perusahaan yang ada di Solo. Meskipun Pattiro juga memberdayakan potensi diluar Solo seperti Exxon di Brojonegoro. Keterbatasan SDMlah sebenarnya yang menyebabkan kemandegan sehingga direkturnya itu-itu saja. Pattiro itu berjejaring di 70-80 kota dan umumnya pembuatan proposal itu dilakukan di Jakarta dengan melihat potensi issu lokal. Secara empirik, potensi CSR BUMN/BUMND jika dikelola secara fair itu besar sekali, ada wacana regulasi untuk pengelolaan dana CSR untuk bisa menciptakan kondusifitas daerah. Apakah mungkin (Bappenas/DTF) dimiliki kapasitas mendorong ke arah sana. Ini ada plus minusnya. Disolo kegiatan itu diumumkan terkait biayanya yang melibatkan NGO dulu, meskipun sekarang sudah tidak lagi sebab telah dikelola Bappeda sendiri. Sehingga untuk bisa melembagakan hal ini Setuju dibentuk komisi yang terdiri dari pemerintah, ngo dan masyarakat. Strategi awal yang dapat dilakukan adalah pelaksanaan FGD yang mengundang berbagai pemangku kepentingan yaitu kelembagaan lain termasuk daerah. Selama ini keterbatasan pemerintah dapat ditutupi oleh CSO sebab yang bisa mengakses komunitas dan yang sulit dijangkau itu, adalah yang berasal dari komunitas itu sendiri sehingga dibutuhkan keterlibatan dari masyarakat yang ada dalam OMS atau CSO.
Laporan Indept Interview Menkopolhukam (Deputi I Poldagri) Mayjend TNI Yoedhi Swastono Pelaksanaan : Tanggal 5 Oktober 2015 Tempat : Rg. Kerja Deputi I Poldagri ‐
Keberadaan OMS melalui UU No 17 Tahun 2013 merupakan payung utama dalam melakukan kegiatan koordinasi dan pembinaan, termasuk keputusan Mahkamah Konstitusi yang membatalkan beberapa pasal dalam UU No. 17 tersebut.
‐
Pihak Kemendagri telah menjanjikan untuk secepatnya menyelesaikan peraturan pemerintah terkait OMS termasuk kementrian dalam negeri untuk Organisasi Masyarakat Asing(OMA), sehingga 8-9 Oktober 2015 akan ada pembahasan (finalisasi internal) terkait OMA.
‐
“...Koordinasi antar kelembagaan berada pada segitiga kemenhukham, kemendagri dan Kemenlu. Kemendagri yang menangani OMS yang tidak berbadan hukum. Kemenlu yang asing dan terdapat orang Indonesia dan Hukham yang Berbadan hukum. kemenhukham pasca UU 17 Thn 2013 belum merencanakan membuat penyesuaian dengan regulasi baru tersebut...”1
‐
“...OMS bagi konsolidasi demokrasi penting, namun harus dapat menunjukkan Independensinya. Selama ini, OMS di Indonesia itu lebih tunduk kepada pemberi bantuan ketimbang akuntabilitasnya kepada publik. Mestinya harus seimbang. Mestinya terdapat regulasi yang dapat membuat setiap OMS untuk memberikan pertanggungan jawab kepada publik, sementara regulasi yang ada sekarang tidak memberikan kemungkinan itu...”2
‐
DTF tidak memiliki payung hukum, bahkan sangat rentan menghadapi komplain dari masyarakat.3
1
Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam, Mayjend TNI Yoedhi Swastono pada Tanggal 5 Oktober 2015, pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I PoldagriMenkopolhukam, Jakarta 2 Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam, Mayjend TNI Yoedhi Swastono pada Tanggal 5 Oktober 2015, pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I PoldagriMenkopolhukam, Jakarta 3 Indepth Interview dengan Deputi I Poldagri Menkopolhukam, Mayjend TNI Yoedhi Swastono pada Tanggal 5 Oktober 2015, pukul 09.30-11.30 WIB di Rg. Kerja Deputi I PoldagriMenkopolhukam, Jakarta
‐
Hal yang dapat dilakukan untuk dapat menangani/mengkoordinasikan OMS saat ini adalahPola kemitraan dari setiap KL yang ada untuk dapat mengoptimalkan peran dan fungsi OMS termasuk terhadap Pemda.
‐
Himbauan bisa jadi merupakan upaya yang dilakukan untuk mengetuk agar OMS memiliki empati dan tanggung jawab terkait keterbukaan kepada masyarakat.
‐
Keputusan MK sesungguhnya telah melumpuhkan program pembinaan OMS termasuk DTF untuk dapat memiliki badan atau pengelolaan secara nasional dalam mekanisme negara.
Hasil indepth interview (Direktur OMS) Kemendagri 29 September 2015 Pukul; 09.40-11.50 di ruang rapat Dirjen PolPum kemendagri dan Rg Rapat Direktur Kemitraan dan pemberdayaan OMS Kemendagri Model pemberdayaan OMS yang dimiliki kemendagri: Dalam lingkup Kemendagri, terdapat bentuk pemberdyaaan OMS yang dikenal sebagai “kerjasama program” yang diluar institusi Kemendagri dikenal sebagai Bantuan sosial (Bansos) yaitu model dimana OMS melaksanakan kegiatan dan Kemendagri menyiapkan dananya setelah mendapatkan laporan kegiatan. Bentuk program ini ditujukan kepada OMS yang disiapkan perpaket sebesar 40 Juta. Problemn yang dihadapi dengan bantuan tersebut, bahwa besaran kegaiatan dan kelembagaan OMS yang berbeda (ada yang kecil dan besar) yang tidak mungkin diberikan bantuan sekecil itu. Keberadaan program tersebut dimaksudkan untukpelaksanaan kegaiatn pemberdayaan, sosialisasi terkait issu nasional yang dianggap strategis dan aktual. Sumber pembiayaan pusat berbeda dengan di daerah yang dapat dilakukan melalui Bansos dan hibah. Sedangkan di pusat tidak melakukan hal tersebut makanya mekanisme programnya adala kerjasama program. Mestinya dipusat juga terdapat mekanisme hibah sehingga dapat memberikan dukungan kepada OMS seperti untuk kepentingan kegiatan cegah tangkal sebagai bagian dari tindakan preventif. Seperti untuk membiayai OMS yang menjadi sumber informasi bagi kepentingan pusat di daerah. Kegiatan yang ada selama ini hanya untuk pembiayaan pelatihan, seminar, sosialisasi. Dana hibah, Kegiatan untuk kerjasama program tersebut diperoleh dari Dana rutin kementrian berdasarkan pagu indikatif dengan Jumlah yang semakin kecil, termasuk dalam pemberian dukungan bagi OMS diwilayah tertentu dengan nilai paket yang tersedia seperti papua, maka dana 40 Juta itu adalah tidak cukup. Selama ini dari pembiayaan yang dilakukan belum menyentuh ke pemberdayaan OMS melalui pelatihan, mungkin hal ini akan memungkinkan dilakukan jika RPP tentang Ormas sesuai PP 17 tahun 2013 sudah selesai. Kedepan, dikemendagri tidsk dengan bentuk DTF (dana transfers), jadi di kemendagri akan mengupayakan model pemberdayaan CSR dengan kerjasama pemerintah dan OMS. Bentuknya sedang dipikirkan.
Selama ini, pembiayaan dari pemanfaatan CSR maupun trust fund itu belum ada meskipun secara keorganisasian tiap-tiap OMS ada yang menerima. Tetapi mekanisme yang dibutuhkan dengan adanya koordinasi dalam menggerakkan masyarakat sipil itu belum ada. Keterbatasan pemerintah terkait dana, dengan dukunga perusahaan yang dapat membantu OMS dengan mekanisme CSR akan bisa berguna. Minimal dalam konteks demokrasi, sebagaimana yang ada selama ini bahwa ketika masyarakat sudah terberdayakan melalui dana tersebut yang dikelola OMS, maka tidak akan mengganggu iklim ekonomi usaha. Dukunga terhadap OMS yang telah diberdayakan, diharapkan akan dapat menghasilkan program yang akuntabel, yang tentunya akan dilakukan melalui pelatihan sehingga akan dapat diajak kerjasama untuk dibina untuk dapat menjadi bagian dan sumber utama informasi pemerintah langsung dari rakyat. Saat ini Kemendagri sudah ada OMS yang diajak kerjasama untuk hal tersebut. Kondisi OMS indonesia sangat berbeda dengan OMS asing, sebab OMS Indonesia tidak punya uang. Sehingga yang dipikirkan kedepan adalah, sumber pendanaan yang relatif efektif itu dari mana untuk memberdayakan melalui kegiatan usulan yang dibiayai tetapi diharapkan tidak berasal dari dana asing. Saat ini, terdapat 65000 OMS telah tercatatat di Kemendagri yang merupakan sumber kekuatan penting dalam politik Indonesia. Sedangkan paket yang disiapkan hanya 400 paket yang dapat diakses OMS. Dengan biaya yang sekecil itu, maka diluar Jawa jumlah tersebut adalah hal yang rumit untuk diselesaiakan. Ditambah ketidakmampuan untuk mmembuat pembukuan. Misalkan lembaga adat yang diposisikan sama dengan OMS, kesulitan melakukan akuntabilitasnya ketika keberadaan Lembaga adat itu penting untuk penguatan negara sehingga harus dapat dijangkau meskipun sulit dalam model kerjasama program. Keberadaan UU 17, yang menyatakan bahwa pemberdayaan ormas tidak boleh didominasi negara, keberadaan pembatalan pasal tersebut dari Mahkamah Konstitusi relatif menyulitkan pemerintah sehingga pengelolaan OMS membutuhkan dimasukkan peran non pemerintah untuk mendukungnya. Keberadaan dana dari pemerintah melalui kerja sama program/Bansos (bukan sebenarnya). Pemahaman kegiatan ini adalah program yang dimiliki OMS diusulkan ke kemendagri) untuk dapat dibantu pembiayaannya oleh pemerintah melalui paket yang tersedia. Seperti penanggulnaga narkoba, OMS inilah yang melakukanya dimana OMS itu bertindak selaku EO. Permasalahan untuk menghasilkan efektifitas atas kerjasama program yang dilakukan bahwa tidak semua OMS dapat membuat pertanggungjawaban sesuai
stadarisasi berdasarkan laporan keuangan kegiatan. Bentuk kerjasama itu dengan keberadaan standar administrasi yangdipenuhi dan dilakukan verifikasi serta bersedia melaksanakan dgn biaya sendiri dulu(SBU/SPK). Sebagai mekanisme baku yang harus diikuti setiap OMS dengan kemampuan yang beragam ini. Pembiayaan paket dengan nilai 40 jt yang diberikan selama ini hanya dapat mencakup kegiatan sosialisasi dan seminar saja. Pembiayaan tersebut diberikan untuk Program nasional seperti radikalisasi, pilkada dilakukan sosialisasi. Kegiatan yang dilakukan itu merupakan hasil verifikasi dari jumlah ribuan proposal yang masuk ke kemendagri. Program ini saat ini langsung ditangani di diektur pemberdayaan OMS dibawah Pol-pum. Kedepan Dikelembagaan kemendagri, nantinya akan dibuat kelembagaan untuk melakukan verifikasi. Sebab Sistem pengelolaan yang ada saat ini, lebih berbasis kepada pentingnya pertanggungjawaban, dengan model pengelolaan masih menggunakan sistem LS. Selain itu ada upaya untuk meningkatkan model paket/kerjasama terutama dengan menambhakn mekanisme hibah meskipun nilainya tidak sampai Miliaran untuk mendorong kapasitas program dan kelembagaan OMS besar dengan nilai 200-400 juta/program untuk pola hibah untuk yang OMS besar. Intinya pola pemberdayaan OMS itu ditekankan kepada pertanggungjawaban, sebab OMS itu sangat mengharapkan bantuan. Jangankan yang kecil, OMS yang besar itu saja masih meminta. Rancangan PP tentang Ormas yang telah diharmonisasikan nantinya, semua data OMS yang terdapat pada berbagai KL akan terintegrasi di kemendagri. Sehingga kedepannya dapat melakukan pemberdayaan bersama-sama yang saat ini masih sendiri-sendiri sebab setiap KL memiliki program masing-masing. Keberadaan Tim Terpadu antar KL (saat ini sudah dibentuk meskipun belum diformalkan) bertugas ketika ada masalahyang akan dibicarakan bersama-sama terkait pemberdayaan OMS. Pola kerjasama program yang telah ada ini, untuk dapat digunakan dalam menyampaikan program pemerintah lebih cepat, sebagaimana tuntutan Nawa cita yang mengharuskan negara hadir dalam pelayanan masyarakat. Penguatan kapasitan OMS, pemberdayaan SDM yang diharapkan dapat didukung pemerintah meskipun masalah Pembiayaan itu yang menjadi persoalan. Permsalahan di daerah juga ditimbulkan dengan adanya UU 23 tahun 2014 dikatakan pasal 29 ayat 8 bahwa yang bisa dibantu adalah yang berbadan hukum seperti Koni, pramuka dll yg mmbingungkan daerah. Surat ket terdatar adalah merupakan unsur hukum/bukti otentik, kemudian notaris itu mengesahakan badan hukumnya dan ini dikategorikan dan yg dibentuk dgn per UU untuk bisa dibantu.
Monopoli negara,tuan Untuk meghindari kess bahwa Negara melakukan dominasi, maka pemerintah akan melakukan kegiatan sendiri dan tidak hanya melakukan pembiayaan bantuan. Kegiatan yang nantinya akan dilakukan adalah sebagai bagian dari pemberdyaan ttg pengelolaa organisasi, kepemimpinan OMS. Dalam pandangan kemendagri bahwa semestinya, bantuan itu dapat berkelanjutan (apakah triwulan) sebab sangat penting bagi wilayah-wilayah tertentu untuk intens adanya kegiatan pembinaan seperti di daerah konflik tidak bisa tahunan sebab dinamika berkembang terus. Pembiayaan untuk dukungan pemberdayaan OMS sebagaimana mekanisme yg sudah ada hanya menggunakan dana negar dan bukan bersal dari hibah. Mungkin untuk luar negeri dilakukan oleh Kemenlu. Harapan program ini bahwa OMS itu untuk adanya penguatan negara dan tidak sebalinya merongrong dalam pengertian menghambat fungsi-fungsi negara. Optimalisasi fungsi CSR sedang dipikirkan kemendagri terkait pola kerjasama dengan pengusaha, sedangkan untuk dari asing tidak untuk pembiayaan OMS untuk penguatan OMS terutama pembiayaan konsolidasi demokrasi di rakyat, sebab menurut pdnangan kemendagri semua hibah itu punya kepentingan yang berbeda dengan tujuan pengembangan wawasan kebangsaan, integrasi nasional, pendidikan politik dan demokrasi Indonesia. Ketiadaan mekanisme pendaftaran yang dihapuskan melalui keputusan MK dianggap akan jadi problem, Dalam konteks pengamanan negara maka segalanya menjadi penting. Sehingga negara harus paham berapa kekuatan OMS disetiap wilayah. Mengapa harus terdaftar agar diketahui pemerintah sehingga dapat dibantu. Regulasi mendukung DTF kedepan Regulasi terkait RPP Ormas saat ini sudah dilakukan harmonisasi, yang diharapkan telah selesai 2015. Untuk menjelaskan terkait UU 23 thn 2014 tentang pemerintahan daerah terkait OMS yang dapat dibantu, teah diterbitkan surat edaran mendagri untuk mengisi kekosongan terkait kategori SKT itu apa saja yang dimaksud yang dapat dibantu. Harus ada luwes untuk pembiayaan bantuan kepada mitra program dengan OMS, jadi ada indikator kegiatan besar,dan menengah kecil serta eskalasi yang dihadapinya. Prioritas-untuk DTF
OMS adalah mitra pemerintah, mestinya besar tetapi selama ini semakin kecil dari 2014; 1400 paket; 2015, 550 ;2016=200. Setiap tahun temanya berganti/tematik tahunan. Seperti Bagaimana peran masyarakat, bagaimana mengantisipasi masyarakat, dll. Yang dilakukan di desa. Yang dilakukan selama ini, masih seputar seminar, sosialisasi melalui pembinaan remaja melalui seni dan kebudayaan. Sistem pagu indikator yang dikelola oleh tiap bidang. Secara ekonomis maka mekanisme ini akan langsung menyentuh ekonomi mikro di desa. Efektifitas program Pemerintah juga melakukan pendampingan program yang dilakukan OMS. Sehingga yang perlu dilakukan terkait DTF yaitu penyempurnaan aturan untuk dapat dirancang. Kegiatan ini selama ini positf dengan mendekatkan kepada masyarakat. Konsep Permen yang banyak diakoodasi menjadi UU 17 thn 2013 saat ini telah menempatkan UU saat ini lebih detail. Kelembagaan DTF itu sebenarnya bisa bebas/otonom, mekipun pemerintah tidak bisa melepaskan tanggung jawab dari OMS sehingga hars terus digalang sehingga bisa mandiri dan meningkatkan SDM yang belum dilakukan pemerintah. OMS ini adalah garda terdepan dalam menjaga negara. Keberadaan Lembaga apapun yang akan mengelolaan mereka adalah lembaga yang melakukan bagaimana mengayomi masyarakat, dengan kedudukan OMS itu mitra dan bukan bawahan sehingga bersifat kemitraan. DTF itu tidak perlu diformalkan, sehingga OMS itu dibiarkan saja untuk beragam sesuai dengan dinamiknya. Belum adanya lembaga yang menjadi leading sektor yang bertugas menjadi penghimpuna dana (dengan pola lama). Mungkin kedepan dapat dibentuk Dewan OMS nantinya yang akan bertugas mengkkoordinasikan penghubung antara OMS-swasta-pemerintah. Pembiayaan trust fund juga dapat melalui dep. Keuangan juga bisa dilakukan, yang sebenarnya selama ini sudah ada sumber dana seperi itu, hanya belum dimanfaatkan saja. Intinya jangan tanggung2 melakukan pemberdyaan kepada OMS. sedangka bagaimana bentuknya jika OMS ini sdh mampu dan mandiri maka akan dapat dilakukan lebih modern. Terkait DTF, bagi kemendagri sebagai sebuah spirit yang nantinya menjadi satu wadah dengan OMS itu sebagai ujung tombaknya, sehingga pemberdayaan OMS perlu didukung terus sebagai mitra
Wawancara Cut Farah Mutia(16 Oktober 2015)di Kota Banda Aceh Politisi Partai Aceh Pengelolaan OMS di Aceh Selama ini sangat tidak membantu, sebab tergantung dengan donor. Berhubungan dengan pemerintah itu cso tidak mau karena administrasi yang ditetapkan oleh pemerintah itu menyuitkan. Pengelolaan dana dari pemerintah itu cso tidak ada otonomi untuk mngelonya sehingga cso jadi event organiser, padahal cso yang membuat program dan buat pertanggung jawaban dan uangnya di pegang pemerintah/kesbangpol. Fungsi pemerintah harusnya kontrol saja. Kendala lain ketika kememdagri buat pernyataan terkait hibah dan sosial itu sulit untuk diambil sehinggamenjadi kendala. Setuju tidak terlalu over tetapi jangan juga terlalu sempit, sebab mestinya ada kegiatan yang seperti ini karena kecilnya sehingga diabaikan sebab ternyata diabaikan. Evaluasinya tidak ada, sebab setelah memebrikan bantuan hanya mengecek, saja. Dan laporan pertanggungjawbaan selesai. Program itu harusnya berkelanjutan, sebab jika programnya itu bagus sekali saja dibantu seterusnya masyarakat yang biayai. Setelah tsunami, masyarakat diajarkan meminta baik oleh donor maupun pemerintah, sehingga untuk gotong royong sekarang sudah tidak mau. Kegiatan CSO itu saat ii untuk menggalang masyarakat ditanyakan biayanya berapa. Gubernur sekarang sudah tidak menerima dana bantuan sosial, tetapi gubernur didemo. Dana hibah dan sosial tidak diberikan sembarangan, selama dinas tidak mengontrol. Disini 1 orang bisa buat 3-4 Proposal, karena pemerintah tidak kontrol atau tidak care sehingga bukan semata proyek. Pasca tsunami masyarakat hanya menunggu dari pemerintah meskipun masyarakat ada lahan, selama ini sulit idtangani oleh pusat sebab jadi domain daerah. Uu desa dapat dipakai untuk partisipasi masyarakat, jadi dari situ dapat diguakan untuk memperkuat melalui pelatihan2. Pengatan2 itu dimulai dari bawah bukan dari atas, sehingga program itu di desa. Ketidakmampuan OMS Kendala masyarakat tidak bisa akuntabel, ini yang harus dituntaskan sehingga mereka lebih kuat. Dibidang ekonomi mereka tidak buat tetapi di politik dilakukan. Misalkan diparpol bisa sedangkan diekonomi itu tidak ada yang tidak dipikirkan. Ketersediaan sumber daya Tidak banyak OMS yang mampu melakukan secara berkesinambungan karena (hidup mati) bulan ini ada besok ga ada sebab semua bekerja sesuai proyek atau buat organisasi untuk ambil anggaran tahun ini dan tahun depan buat lagi. Apalagi sejak adanya aturan tidak boleh berkelanjutan harus ada jeda setahun. Akibatnya buat organisasi banyak2.
Pikiran masyarakat itu by proyek bukan untuk kemandirian lagi. Kteregantungan organisasi itu tdk maju sebab tidak ada sumber dana sendiri, jadi hjagan tergantung pemerintah dan donor. Misalkan mestinya ada dana saving dari usahanya. DTF sebagai lembaga garansi, penyaluran dana dll. Ini perlu tetpi jika proses admnya sulit maka tidak perlu. Kesbangpol itumestinya begitu tetapi ternyata eksklusif yang dibantu hanya organisasi yang sudahlama seperti PMII, PII, HMI jika ada afiliasi dengan kandidat ddl tidak akan dapat. Yang bagus dibuat itu untuk terkait ekonomi jangan terkait politik. Pencairan dana sekarang itu hanya jika ada seminar politik, pemberdayaan saja sedangkan untuk bidang ekonomi tidak ada. Organisasi tidak berbadan hukum di aceh disebut kelompok, misalkan sekampung 5 tau 10 orang dan tidak bisa perorangan. Mekanisme dukungan OMS di daerah Pelembagaannya agar jagan jadi lambat. Kenapa tidak buat langsung ke kabupaten sehingga yang ada hanya tim saja yang mengelola langsung baik ke pusat maupun ke OMS. Harus terdapat kemudahan dalam pengelolaan organisasi tersebut agar bisa lebih sederhana jenjangnya dan murah. Terdapat beberapa organisasi besar(untuk penelitian dan pengkajain) yang tidak punya basis ke desa yang punya mekanisme akuntabilitas yang terkontrol baik. Plusx, tidak semua orang bisa buat organisasi sebaba ditunut ada kejujuran, hari ini karena bay projek tidak ada kejujuran. Akuntabilitas itu akan lebih baik dgn adanya DTF sebab akan memaksa masyarakat untuk belajar jika mereka buat. Ada Kalabahu yang dibuat LBH hilang sekarang, karen ada kasus sehingga hilang padaha masyarakat tahu ada dananya. Masyarakat tidak percaya lagi kepada lembaga atas. Seperti antara pusat dan daerah, dengan adanya otonomi setiap org daerah merasa jkt enak saja tetapi sekarag menjadi lebih terbatas. Mekanisme pengawasan bisa menggunakan instrumen IT Organisasi DTF bisa digunakan sampai kelevel bawah sebab masy sudah melek teknlogi Masyarakat itu sudah melek teknologi dengan penggunaan sosial media yang baik sebab setiap kelompok itubanyak yg menggunakan anak mahasiswa dalam kelompok tersebut. Bagaimana dana bisa berkelanjutan, mandiri dan bertanggungjawab. Masyarakat aceh sudah pintar semenjak NGO asing datang. Peran pemerintah daerah
Pemda tidak usah dilibatkan sebab makin dilibatkan urusan tambah panjang, pemda memetik hasil saja dari perkembangan yang diperolehnya. Bupati juga sekarang ribut sebab desa berdikari dengan dananya sendiri, sehingga kebutuhan desa atas kabupaten tidak ada lagi. Sbab imbasnya pada dana. Artinya kabupaten itu mau membuat pembangunan apa lagi. Setiap lembaga yang dibangun, peluang negara u menghabiskan uang itu supaya dipangkas. Terdapat program rumah duafa (indegenius), ada juga bantu anak sekolah, zakat di aceh besar dan kota banda aceh yang baik pengelolaannya. Pengumpulannya baik, dengan issu agama masyarakat cepat mengumpulkan dan percaya kepada baitul mal. Dinas Syariat Islam Dan Mal itu dipublikasikan dimedia, diinternet dipublikasikan yang diinforkan secara luas. Masyarakat menjadi percaya dengan mekanisme tersebut. Efektifitas Selama ini program yang ada efektif. Ada program duafa di pemerintah tidak ketat dan selektif seperti dana zakat. Makanya banyak yang komplain dan rusuh. Org yang bikin rumah duafa itu sudah bayar yang diambil oleh pengelolanya. Camat itu dulu berbaur dengan masyarakat, sekarag camat itu birokratis dan tidak berinteraksi dengan masyarakat. Yang dulu ke warung kopi bicara dengan masyarakat sehingga tau apa yang harus dilakukan. OMS itu akan membangun sendiri jika ada kerusakan yang sudah ditinggalkan oleh negara (presiden-kechiq) termasuk organisais mahasiswa.
Wawancara dengan Akbaruddin (Kompip Solo) 27 November 2015
Di Eropa dan negara-negara maju itu, hampir semua punya Trust Fund, Indonesia belum punya lembaga pendanaan, sementara hal ini sangat politis strategis sehingga negara tidak hanya bekerja di ruang formal politis, seperti keberadaan Ausaid, Usaid. Keberadaan ide demokrasi sebagai issu resisten membutuhkan pelapisan dari bawah yang diharapkan akan dapat melahirkan aktif citizen yang bisa tumbuh diakar rumput untuk tidak hanya tumbuh tetapi juga kreatif. Hal ini bisa terjadi jika diberi kesempatan. Contoh Seperti : Pergeseran nasib pengamen dari jalan, bis, ketika diberi kesempatan akhirnya dia dapat mengamen di hotel berbintang, ini karena diberi kesempatan. Imajinasi untuk dapat menjadi lebih baik dimiliki setiap orang termasuk OMS/CSO yang mengembangkan segala sesuatu selalu mampu memikirkan yang terbaik bagi dirinya. Model Ford bisa menjadi sebuah model dengan tahapan-tahapannya yang secara sederhana diawali dari trust dan akuntabilitas tidak perlu rigid dulu sebab subyaektifitas akan selalu ada pada setiap keadaan. Mekanisme subyektifitas itu selalu ada. Ada kelompok masyarakat punya program punya kreatifitas kemudian memperpanjang uang yang ada untuk dapat digunakan lagi untuk hal lain. Model ford merupakan kreatifitas yang berpihak kepada orang kecil. Dalam manjemen di trus fund Ford, kita bisamengefisienkan: seperti untuk pembiayaan kegiatan yang bisa di hotel tetapi bisa dilaksanakan di kantor dengan harga yang sama. Klo modelnya usaid itu dilarang. Hal ini ada plus minusnya seperti Tukang becak yang aktif rapat di hotel jadinya lebih aktif di forum daripada narik becak, sebelum selesai acara sudah pada pamit karena disorientasi mendapatkan dana dari kegiatan bukan lagi memanfaatkan ruang pulik bagi kebaikan entitas komunitansya. Demokrasi dan kesejahteraan itu dapat seiring, pranata sebenarnya tidak dibutuhkan dimasyarakat miskin. Ketika orang miskin dan kaya dekat maka bisa bicara demokrasi. Empowering CSO dengan membentuk kelompok voicing tidaklah cukup. Mestinya ada rezim yang diperjuangkan untuk membangu masyarakat yang ingin diperjuangkan.konteks Solo ketika kebijakan yang dilihat maka semua akan kelihatan baik tetapi jika didalamai hal ini bisa berdampak luas ketika semua tercapai yaitu masyarakat pintar, sehat tetapi tidak memiliki potensi pengembangan ekonomi maka mereka akan diserap dalam perkembangan kota yang jika disolo dipengaruhi oleh iklim kota jasa perhotelan dan masyarakatnya yang sehat dan pintar itu akan hanya menjadi budak bagi kapitalisme yang sedang berkembang. Pasar hidup itu butuh tahunan sedangkan masyarakat itu butuh hidup harian dan membutuhkan ruang ekonomi yang lebih cepat. Sehingga kebijakan yang ada
sekarang sama dengan cara pandang perbudakan yang membutuhkan orang sehat dan kuat untuk bisa bekerja secara baik. Pekerja sosial itu dinamis dan kontemporer, setelah ada proyek sehingga karakternya labil, Solo CSO banyak tetapi tidak banyak yang mandiri self sustend sehingga berpengaruh jangka pendek, ketika koneksi donor pergi, maka Separuh atau 90% aktifis yang ada membangun usahanya sendiri, sehingga yang yang mengawal selanjutnya tidak ada Ketika aktor dan problem baru yang lebih dinamis baru bermunculan. Subsidi adalah peluang bagi masyarakat untuk bisa lebih merasakan kenyamanan ketika belum tercipta pemerataan. Ketika negara dapat menjamin akan kehidupan masyarakat maka semestinya korupsi akan berkurang, sehingga keberadaan rezim yang memikirkan kesinambungan kesejahteraan masyarakat penting. Yang rentan itu usia menjelang produktif dan usia setelah pasca produktif. Terjadinya sistem rekruitmen yang serba nyogok. Akan membahayakan masyarakat ke masa depan. Akademisi berdedikasi sangat penting menjadi pendiscourse issu DTF sehingga dapat menjadi opini yang luas dimasyarakat dan secara politik bermanfaat menekan kelembagaan negara yang tidak seide dan berpeluang menghambat upaya program pelembagaan ini. sayangnya banyak yang menjadi akademisi tukang yang dipesan untuk bekerja baru bekerja. Sekarang itu, banyak pengajaran diajarkan sebagai mentalitas tukang. DTF itu akan berguna, sebab jika terdapat dana cukup dan CSO ada kesempatan berkumpul dan belajar maka membuat harapan. Target indikatf kompip bukan seperti pelembagaan2 tetapi hanya dinamika politik lokal yang awalnya tidak ada protes jadi protes, hearing dll. Lama kelamaan kepikiran untuk melembagkan dibuat aturan setelah ada membosankan dirubah lagi. Seperti dengan debat pilkada dulunya dimita harus ada sekarang tinggal formalitas saja. Dulu ada “kapal demos” yang merupakan wadah dimana ada 13 lembaga didalamnya, juga terdapat berbagai forum kesehatan, pelayanan, ada Tim 21 gabungan dari(2000-2001) yang melahirkan musrenbang di solo dan menjadi inisiatif di musrenbang nasional. SOMPIS yang merupakan klompok marginal yang dibangun dari USAID, FORD dll, forum pelembagaan penggunaan air PAM untuk transparansi pelanggan untk layanan. Semua kegiatan ini Umumnya bentuk pendanaan dari donor dan juga Pemerintah. Lembaga ini kemudian tidak jelas meskipun masih tetap ada selama belum membubarkan diri termasuk INREST, LESKAP, Gita Pertiwi (membentuk KOMPIP yang kemudian mandiri) matinya organisasi karena estafet kepemimpijan tidak lancar terutama support dana. Solo merupakan kota kecil sehingga jarak itu sangat dekat, antara pemerintah dan masyarakat dekat, sehingga relatif lebih bisa membangun budaya demokrasi secara baik yang tentunya akan berbeda dengan daerah lain. Bahwa begitu banyak
ide dari CSO yang diserap oleh pemerintah seperti era Jokowi yang mengambil ide-ide terbaik dari CSO membawa banyak perubaha di kota Solo. Preposisi menjadi penting untuk kebutuhannya sehingga mampu menjelaskan tentang program ini. Yang dibutuhkan menciptakan momentum, prosesnya memang harus lebih spartan dan terus menerus sebab berbeda dengan issu lintas iman, terorisme dll, ini ada bentuknya. DTF tentuya hadir karena masyarakat yang tidak teredukasi secara baik dalam politik. Meskipun realitasnya ketika aktifitas masyarakat sipil yang semakin melek kenyataannya untuk hadir di TPS malah semakin berkurang. Idenya harus dibayangkan bahwa ketika ada 20 LSM di papua yang didukung, maka 10 tahun lagi akan ada kemajuan yang bisa dicapai dan ada tokoh-tokoh baru yang muncul. Demokrasi membutuhkan “aktif citizen” yang lebih banyak yang bisa membayangkan masyarakat seperti apa yang diinginkan masyarakat lokal untuk terjadinya konsolidasi demokrasi. Keberadaan aktif citizen akan membuat negosiasi itu berproses dan tidak secara otomatis yang bisa berdampak kepada kerusuhan. Dinegara maju trusfund berkorelasi dengan market, demokrasi juga dengan market. Trus fund akan melahirkan opportunity munculnya dan terbangunnya sekolah kewargaan dengan sensitifitas responsibilitas karena adanya proses belajar dari masyarakat (kesehatan, pendidikan dll) yang bermuara di politik. Yang intinya kesadaran. Riset ini membutuhkan kewenangan atau pengaruh (popularitas) sebagai branding yang dibutuhkan untuk menjadi diskursus yang dapat memandu DTF bisa bekerja (figuritas) yang dapat menjadikannya sebagai issu DTF sebagai mainstream.
Wawancara dengan Hikmat Hardono (Direktur Gerakan Indonesia Mengajar dan Staf Ahli Kemendikbud) (15 Oktober 2015) Pkl. 14-00-16.00 di Kantor Kemendikbud RI Model Trus Fund: Dalam konteks pengelolaan Gerakan Indonesia Mengajar (IM) telah mengembangkan model TF. Mestiya negara itu harus efektif(normatif), sebalikanya CSOlah yang mestinya bertanggung jawab menggalang orang termasuk pendanaan untuk mereka. IM sendiri mengembangkan model iuran publik yang dulunya mengandalkan corporasi meskipun masih berlangsung hingga kini, tetapi lebih sedikit sebab sekarang telah mengandalkan donasi(iuran perorangan . 1800 iuran (personal philantropis ) yang membayar 50-1juta melaui virtual account, kartu kredit dll.(hal ini merupakan keadaan yang dianggap canggih bagi CSO di indonesia). Pengembangan account itu sejak tahun 2012(model kampanye) Merupakan hal yang baik terkait pengembangan potensi yang besar yang berasal dari masyarakat. Orang hanya membayangkan jika mengembangkan kehidupan sosial apat dana darii mana CSO hanya dapat dibayangkan dapat mendapatkan dana dari donor dan CSR ini sangat kecil. Selama ini IM telah bekerja tetapi itu kecuil (setahun 100-200M) yang jika dibandingkan dengan dana publik sangat kecil. Benchmark 1,7% dr GDP di Amerika, yang jika digunakan 1% potensi u di Indonesia jumlahnya. dari 80T dari potensi philantropis Indonesia dan ini baru 10% yg terkelola. Ini bukan hanya uang tetapi engagemen yang selalu dilupakan oleh cso. CSO kita tumbuh dibawah komando oleh donasi asing, sehingga ketika kita tumbuh maka donasi menarik diri sehingga kita menjadi jatuh dan bubar. (membayarngkan kita dihidupi terus oleh donor asing). Model yang baik untuk dapat dicontoh adalah yang ada di Indonesia mengajar (IM) dan Indonesia corruption watch (ICW). Partner ICW itu sebelum efektif seperti saat ini, telah membangun jaringan yang sampai kini 2/3 jaringan itu mati, karena mengandalkan donor. Sedangkan IM melihat potensi kelas menengah untuk dapat menjadi peluang pembiayaan itu besar, hanya kita masih tertatih dalam membangun model CSO trus fund yang baik. Pengalaman IM, TF itu tumbuh dan berkembangnya organisasi karena dikelola dalam jangka panjang, sehingga tidak percaya crowd funding yang dipercaya
organisasi funding bukan pendekatan proyek, hal ini menempatkan menjadi iuran yang dibangun dari komitmen yang bersifat jangka panjang. Keadaan Dikemendikbud. Model2 trus fund yang konsisten adalah dengan manajemen berbasis sekolah yang didasari UU sisdiknas yang menekankan pada ” entitas prilaku” yang diterjemahkan sebagai ekosistem. Atau dianggapa sebagai entity yang terdiri dari berbagai aktor: murid, guru, orang tua dll. Negara mengirim kapasitas tertentu kepada sekolah sehingga bisa mengelola secara mandiri disekolah tersebut. Konsep berbasis pendidikan itu yang menjadi dasar tentang bagaimana mengelola pijakan dan partisiasi masyarakat dalam dunia pendidikan. Cara berpikirlah yang mengilhami dokumen yang disebut sebagai kerangka strategis dikemendibud, ada renstra, rpjmn dan renstra kementrian dan RKP dengan logika matrik kementrian sebagai kerangka strategis sebagai dokumen yang tidak masuk dalam hirarki perencanaan tetapi jadi panduan untuk bekerja dalam menerjemahkan. Visi bicara pelaku dan ekosistem yang berkarakter. Pa Ananto Staf Ahli Kemendikbud. Indonesi mengajar sebagian pendanaan publik melalui perorangan. Endowment dan setiap orang ada personal account setiap orang mendaftar dapat personal dan dapat virtual account sehingga dapat mereview. Ini sebagai bagian akuntabilitas. Mengapa donasi dibatasi 1 juta untuk setiap donatur perbulan karena engagement program IM itu adalah personal sebab citizen/civic. Meskipun saat ini masih menggunakan kehadiran sponsor besar, tetapi rencana kemasa depan hal itu akan dapat diggeserkan. Demikian juga untuk institusi/korporasi dilakukan pembatasan maksimal donasi kepada IM adalah 20 juta. Sumber pendanaan dari CSR itu sangat beribet sebaga Jika mendapat sumbangan besar untuk menggunakan CSR, pertama harus dirayu untuk meminta uang yang bukan punyanya yang akan digunakan untuk urusan yang bukan untuk kita.
Kita lebih memiliki dignity jika iuran sebab tidak ada perasaan menipu, bahkan percaya diri. Sehingga membicarakan sumbangan itu tidak pede untuk pengembangan sosial lebih pede dapat grand dari donor. Semua cso wajar untuk memenuhi laporan keuangan badan hukum dll. Tantangan dengan CSR itu: 1. CSR dipahami untuk urusan marketing/branding sehingga tidak genuine mis menyumbang 100 juta iklan 500 juta Problem dengan pemberdayaan jika mengirim guru dengan hingar bingar dengan pembiayaan perusahaan akan menimbulkan relasi yang berbeda sebab memunculkan transaksional dan imbalnya resiprokal mestinya jaringan. 2. Transfer uang, OMS sibuk dengan transfer uang. Di IM tidak boleh ada transfer uang atau terima/menyalurkan uang sehingga harus buat pelatihan mandiri. IM bisa leverage 3X lipat untuk menggalang value dengan 2/3 dana dari masyarakat, sehingga harus keras hati. Jalan sendiri. Kritik CSO, jika ada kegiatan yang banyak dilakukan adalah sibuk bikin kegiatan backdrop untuk pertanggung jawban ketimbang melaksanakan kualitas kegiatan yang lebih subtansi. Bahkan masuk kedalam urusan subtansi/ independensinya terganggu. Kerangka strategis, 1. ekosistem gotong royong, topik yang harus dibincangkan dan dudukkan itu terkait pendanaan pendidikan. Jebakan di daerah dan tempat lain mengembangkan jargon pendidikan gratis yang malah menisbikan partisipasi masyarakat. Padahal masyarakat jadi dependen thd negara. UU sisdiknas percaya MBS dan partisipasi masyarakat bahkan pengembangan guru tidak diletakkan pada pengembangan neara. Itu jadi tanggung jawab dirinya sendiri. Misalkan u koputer sore les komputer. Pnerjemahan nawacita/RPJMN, konsep bansos di kemendibud, Bansos itu selama bisa dikelola secara baik benchmark IM terkait dana yang dapat diperoleh dari penggalangan dana masyarakat. Dana bansos itu secara ideal terdiri dari : rezim UU pendidikan dengan rezim UU keuangan(bantuan barang/jasa yang diserahkan untuk keadaan sosial kepada yang lain karena bencana dll). Dikemndikbud diberikan kepada sekolah dikelola oleh sekolah diberikan secara cash. Bansos itu sebagai realisasi sekolah yang rusak
yang dikelola sekolah dan komite sekolah sebagai pengawas/auditornya yang dikelola secara gotong royong.(semangatnya partisipasi) benchmark 1:3. 1. Bantuan itu harus bentuk kontraktual/proyek; 2 ada perusahaan dll Konsep ini yang sedang diusahakan meskipun, prakteknya sudah dilaksanakan yang jadi hambatan adalah masalah administrasi. DTF sebgai agregator menjadi banyak syarat yang harus dipenuhi, sebab DTF dibayangkan sebagai MDTF seperti aceh dll. Mestinya masyarakat itu diajak terlibat dalam modul agregator yang sama penting masyarakat memilih denga menu yang banyak tentang bagaimana dia terlibat. Sehingga negara mestinya jadi fasilitator jika mau membayarkan mestinya bayar pake pajak. Orng yang tidak mau terlibat dalam dnasi publik IM bukankarena dia jadi beban yang kolain, bisa saj a korban ssi kapasitasnya dan keikhlasannya. Yang diperlukan peran negara itu membangun kapasitas setiap CSO dan mendorong untuk setiap cso punya menu yang banyak untuk dipilih oleh CSO. Memberikan pilihan ssi background orang tsb, puas sebagai makhluk Tuhan dan sebagai warga negara (ide gotong rotong). Membayar 100 rupiah bukan kemudian melepaskan diri. Bansos diberbagai tempat ada kasus, secara keseluruhan bahwa partisipasi masyarakat itu besar sekali. Pendidikan itu melibatkan partisipasi masyarakat yang luas.(kasus IM didaerah) rumahnya dipake, perahunya digunakan dan itu semuanya tidak tercatat. Tidak semua yang menyumbang itu tidak tercatat, dan harus dibayar negara maka bangkrut negara untuk membayarkannya. Batasan dana? IM itu membantu dan tidak menerima dana dari negara, karena urusan CSO itu menggalang orang. Pemerintah itu mengeksekusi kebijakan. Di CSO asumsinya selalu menggalang kegiatan padahal itu kedua. Jika IM itu terima dana dari negara dan donor asing maka voluteer itu akan menawar(kekuatan .
Formalisasi trust akan menyebabkan listed company sehingga harus register, inisiatip sosial banyak, jangan kita tidak pede untuk mengatakan kita trustteble sebab tidak teregistrasi yang didik oleh rezim donor sejak tahun 1970an yang memang wajar sebab ada badan hukum yang diimnta. Trustteble platform itu mestinya tidak formal Yang penting tidak membatsi model atau kreasi, ditik ekstrim formal itu laopran, diaudit dll sedangkan ujung lainnya informal(standarnya beragam/semua kreasi itu memungkinkan misalkan dengan model akuntabilitas yang tidak menyulitkan). Jika negara gagal memfasilitasi itu “crowdfunding” maka semakin beragam. Malah jika negara tidak memfasilitas maka itu terlambat bahkan jika tidak terlambat yang penting tidak menghambat. (negara menfasilitas atau tidak menghambat sebab publik akan menyediakan sendiri). Ananto(Staf Ahli Kemendikbud) Kredit barang, graming bank di pakistan oleh Muh. Yunus, yang memberikan siapapun yang membutuhkan. Kredit yang dilakukan itu lunas padahal dengan logika bank itu ditolak. Akuntabilitas, trust itu sudah tidak percaya dimana ada pre. On dan post audit saking tidak dipercaya. Mestinya ini digeser ke apload saja hasilnya(sistem pencatatan). Cost enter to market maka akan terikat banyak hal sebab untuk itu akan kena pajak akibatnya mendorong orang chatting. Secara konten “ekosistem”, Prilaku dikembangkan dengan mendekati semuanya. Sehingga yang diakses bukan hanya kurikulum oleh semua perilaku, Wajib Upacara,dll ada push dan ada pull. Ketidaksetaraan kapasitas lembaga CSO: Cso itu bukan NGO seperti pengertian stephan arena: kebun yang sehat yang diupayakan, sehingga apapun yang akan dilakukan disitu akan subur. Negara harus dapat menciptakan, Hukum ekologi itu harus beragam jika satu diserang hama Trusttable society. Jadi bukan fund yang diorganisasi tetapi mekanisme Trust yang dikembangkan. Banyak organisasi yg tidak punya kapasitas, Standarnya tidak dibat dengan standar secara formal. Hal yang lebih diutamakan adalah mekanisme untuk masuk daftar dengan menggunakan sistem yang mudah diakses.
Mesin yang menjadi motor pendorongnya yang dikembangkan. DTF itu penting untuk membentuk Trust Mechanisme, banyak kelembagaan yang sudah mempraktekkan seperti: Indonesia Mengajar ada model pengelolaan donaturnya yang jangan-jangan CSO lain tidak butuh serumit itu. Sehingga negara semestinya memfasilitasi itu (DTF harus dapat memfasilitasi keterbatasan pada OMS dan sehingga mampu mendorong potensi CSO yang beragam pada masyarakat). Bawaan negara itu mengatur.....sehingga sulit berkaselerasi dengan CSO yang lebih berkienginan untuk independen dan bebas. Pembiayaan dari swasta melalui CSR itu bagi IM tidak penting, hanya 1 Triliun saat ini potensi yang dapat diperoleh dari CSR. Sedangkan jika dibandingkan dengan kekuatan untuk phylantropi personal (donasi) yang bersumber dari masyarakat yang dapat digunakan bagi menggerakan masyarakat sipil jika optimal digarap adalah 80 T.
Wawancara dengan Joko (ketua Pattiro) dan Zulkarnain (jerami Solo) Jam 14.00-17.30 WIB Tanggal, 27 November 2015 Pelembagaan Organisasi Masyarakat Sipil(Demokrasi) LSM plat merah lahir sebagaimana CSO pasca reformasi, yang dibentuk eksekutif sendiri untuk menangkap proyek di pemerintahan. Keberadaan CSO plat merah tersebut diharapkan akan terseleksi secara alamiah, pada kenyataannya tidak terbukti. Pasca perginya donor ke timur Indonesia, maka NGO yang hanya mengandalkan donor itu hilang termasuk meninggalkan kegiatan pendampingannya kepada masyarakat sehingga kegiatan spesifik dilakukan sendiri oleh masyarakat yang lama kelamaan juga hilang. Pasca ketiadaan donor maka sebagian CSO yang awalnya menghindari bekerja dalam proyek-proyek pemerintah kemudian terlibat sebagai mekanisme survive atas kondisi yang ada. Hal itu meskipun bagi sebagian CSO adalah bertentangan dengan etika dan watak CSO. Hubungan kelembagaan CSO dan pemerintah di Solo telah berjalan secara baik, meskipun masih terdapat beberapa yang masih kaku dan canggung. Meskipun awalnya terjadi berhadap-hadapan vis a vis, kemudian menjadi lebih cair karena keberadaan kepemimpinan politik yang lebih berani. Institusi pemerintah kemudian memberikan ruang kepada CSO untuk membantu sinergitas program yang dapat sesuai dengan kebutuhan masyarakat. Meskipun di Solo terdapat mekanisme pembiayaan hibah sbelum 2015 pasca dikeluarkannya UU 23 tahuh 2014, yang dapat digunakan oleh CSO namun tidak semua CSO mau menggunakannya. Hal ini dikarenakan masih adanya mekanisme terselubung “persen” yang digunakan dalam mekanisme tersebut. Yang banyak dilakukan adalah CSO menjadi mitra strategis pemerintah baik selaku tenaga profesional dalam implmenetasi programprogram tertentu. Bahkan hal ini dilakukan baik secara kelembagaan maupun secara personal dari para aktifis CSO. Engagement masyarakat terhadap kinerja CSO sangat baik ditandai dengan banyaknya dukungan masyarakat atas kerja-kerja CSO dari perencanaan kampung sampai kepada mempengaruhi kebijakan keuangan untuk berpihak kepada masyarakat yang membutuhkan. aspek akuntabilitas dan kinerja pengembangan demokrasi lembaga donor telah memberikan penguatan kapasitas kepada banyak CSO di Solo meskipun dengan bentuk yang berbeda-beda. Namun esensi pertanggungjawaban telah diketahui, hanya yang sulit dimiliki adalah bagaimana setiap lembaga mendapatkan kepercayaan atau mandat baik darimasyarakat maupun dari pemerintah untuk melakukan suatu pendampingan maupun pengawalan kerja-kerja profesional. Pengembangan demokrasi bagi CSO memandang 2 cara pandang bahwa ada yang berpikiran masuk dan terlibat sebagai upaya pengembangan demokrasi yang lebih efektif ketimbang hanya sebagai penggongong semata, sebaliknya ada yang berapndangan bahwa diluar menjadikanmereka menjadi dapat berbuat yang lebih banyak dan bergunabagi masyarakat. Misalkan ada TKPKD harus masuk
sehingga ada tim ad hoc yang di solo sekitar 5 tahun sehingga di TKPKD sekarang keangotaannya ada 50% pemerintah 50% PT dan masyarakatan, di 2 tahun pertama itu kerjanya dalam forum itu berkelahi saja sebab ada image yang dilakukan pemerintah diprotes oleh NGO. Tetapi kemudian seiring jalan berubah. Hal ini dianggap lebih efektif, meskipun dianggap kurang efektif terkait independensi meskipun hal itu terkait dengan kapasitas dan tantangan regulasi. Perkembangan pendampingan CSO hingga kini ketika engage kepada mereka berhasil, malah sebaliknya CSO kewalahan melayani kebutuhan lembaga pemerintah dan masyarakat. Mereka memberikan input yang banyak sekali. Ini berbahaya sebab ada ketergantungan sehingga CSO harus hati2 untuk tidak terjebak. Bahwa sebagai kekuatan kritis harus dapat melihat kanal yang sesuai dengan perjuangan. Tantangan dan Hambatan Pengembangan model transparansi yang diinginkan mekanisme donor, mengharuskan CSO harus merubah bentuk kerja. Sekarang program mengedepankan kepada instituasional spot, honor staf harus standar lebih tinggi sehingga harus buka-bukaan dengan donor, ini menarik. Pola kedua, fundrising dengan membangun pusat2 pendidikan (jasa) sebab ada fee dari jasa ini baik dari pemerintah maupun CSO lain. Ini ide2 kreatif sebab sustainabilitinya baik, dengan jasa pendidikan maka akan membangun jaringan. Pengembangan jaringan sebagai entitas yang saling menopang terkait keterbatasan lembaga yang tidak memiliki tenaga lapanagan tetapi punya sumber daya pemikirsehingga dibutuhkan membangun jaringan karena adanya mekanisme pendidikan itu. NGO seperti ini lebih bisa bertahan Kekeuatan membangun dan memelihara jaringan akan memiliki kekuatan besar. CSO Yang tidak bisa menjaga jaringan kebawahnya akan mati seperti juga terjadi banyak di solo banyak mati. Ketika kebijakan donor mengarah kepada penguatan government CSO melupakan pengorganisasin dibawah, dan ketika beririsan dengan pemerintah konsekuensi di ajak untuk memikirkan perubahan untuk masyarakat CSO lemah pada best practice dan issu lapangan sehingga terjebak pada kerja2 asumsi tanpa landasan pengalaman dibawah. Jaringan dibawah jadi penting untuk dapat memiliki landasan atas temuan dilapangan. Banyak proposal CSO ketika masuk ke donor maka bahasa proposalnya terbawa konsep-konsep yang dipengaruhi bahasa pemerintah sehingga tidak kritis sama sekali. Pemanfaatan pembiayaan CSR itu diangap sebagai sebuah strategi gerakan ketika donor sudah tidak memberikan dukungan sehingga untuk dapat melakukan advokasi. Tantangan idealisme menjadi sangat penting bagi aktifis CSO yang selama ini mudah tergoda. Fungsi CSO itu pengawasan, sehingga harus mengembagkan instrumen, bagaimana mengajukan konsep2 pengentasan kemiskinan sehingga anggarannya itu pro poor. Dilakukan dengan berbagai cara dengan bappeda atau walikota dll. Asumsi birokrasi, pendataan itu mahal sehingga NGO harus merebut kepercayaan ini dengan menunjukkan hasil kerja, sehingga pemerintah mau melakukan yang secara tidak nlangsung membawa
aktivis NGO kemudian dibayar secara profesional dan bukan sebagai pelaksana program tetapi sebagai sparring partner saja. Relevansi DTF Terdapat informasi yang terbatas dan cenderung keliru terkait keberadaan rencana DTF dikalangan CSO yang berasumsi bahwa rogram DTF akan menyiapkan anggaran kepada CSO dan menjadi wadah tunggal CSO di Indonesia untuk mendapatkan dana untuk pembiayaan program. Asumsi yang dimiliki bahwa DTF akan menumpulkan semua donor yang masuk ke Indonesia kemudian dilakukan saringan dan verifikasi kepada CSO yang dapat memperoleh dana tersebut. Mestinya CSO itu sebaiknya lebih hidup dari engagemen masyarakatnya sehingga tidak hanya terbatasa untuk pendampingan saat ada donor yang membiayai. Hal ini juga seharusnya dilakukan pasca program itu untuk mendukung masyarakat sebagai produsen yang tidak dapat mengelola produknya untuk dapat diterima dengan berbagai pemangku kepentingan lain, termasuk dalam perjuangan merebut pembiayaan publik bagi mereka. Kasus PNPM yang membangun berbasis fisik dan tidak mampu mengengage masyarakat untuk memahami hal yang penting bagi diri mereka adalah contoh buruk. Demikian juga CSO yang senantiasa mengharapkan donor untuk bisa membiayai mereka yang kadang menjadi “Tuhan” bagi mereka. Peran negara terhadap keberadaan CSO lebih urgen dalam menyiapkan informasi terkait pembiayaan yang dapat diakses ketimbang menyiapkan anggaran untuk melakukan pembiayaan kepada setiap CSO yang ada meskipun dimaksudkan untuk pemberdayaan. Umumnya kecendrungan program seperti itu, hanya akan menempatkan kreatifitas birokrasi untuk dapat memainkan program yang dapat menguntugkan dirinya. Kasus pembiayaan melalui hibah yang dilakukan dengan sistem tahu sama tau yang ada, merupakan salah satu bentuk yang masih ada termasuk di Solo. Seyogyanya disusulkan untuk membiarkan setiap lembaga bertarung sendiri, sedangkan Pemerintah menyiapkan saja sumber atau potensi pembiayaandan atau menjadi outlet terkait potensi yang dapat diakses dan setiap lembaga dapat mengakses secara langsung. Negara janganlah membiayai CSO, yang dibiayai adalah program usulan masyarakat sipil. Jika CSO yang dibiayai akan melahirkan negosiasi. Hal ini berbeda jika terdapat seleksi baik, sehingga dapat menjadi terobosan yang akan menghilangkan mekanisme sunat menyunat dengan sekian persen, bahkan ada dana bansos yang belum turun anggarannya sudah bayar dulu di depan. sinergitas pengembangan DTF bagi daerah. Keberadaan DTF akan memungkinnkan Kelompok masyarakat secara luas yang punya ide kreatif dapat eksis. Keberadaan program seperti yang telah berjalan di Solo dalam relevan dan sinergis dengan kegiatan ini yaitu Konsep seperti DPK (daftar program kelurahan) unggulan, dimana setiap kelurahan yang memiliki ide besar(kreatif dan inovasi) mengajukan usulan untuk program tersebut dapat dibiayai. Demikian juga dengan program DTRK (dwan tata ruang kampung) membayar kompetisi penataan kampung semua orang memasukkan ide untuk dapat dibiayai.
Membangun demos, melalui pendampingan dimana semua kegiatan diswadayakan oleh masyarakat, karena Kepentingan mreka itu tidak berdaya sehingga harus diberdayakan, swadaya memang sangat minim tapi jika sudah berhasil dapat menjadi potensial aktor. RPJMdes itu banyak kopi paste, harusnya ada metodologis untuk pembuatan perencanaan partispasi. Sekarang itu tidak terkoneksi antara program jangka panjang. Sekarang ketika ada anggaran jelas mereka tergagap2, kekuatan pendampingan desa itu mestinya masuk. Disadari atau tidak 15 tahun masyarakat dilakukan pendekatan dengan pembangunan fisik. Fenomena Aceh itu kegagalan ketika semua dinilai dengan uang. Birokrasi hanya berbicara pada serapan anggaran dan bukan pada keberlanjutan rencana yang akan dilakukan tahun depan. Disinilah CSO harusnya bisa masuk. Harus terdapat Konsolidasi antar kelembagaan negara, dinas dan institusi negara lainnya terkait perencanaan yang menjadi tujuan pembangunan yang melalui Bappenas maupun Bappeda. Selama ini semua KL dan SKPD jalan sesuakanya sesuai cara berikirnya masing-masing
Wawancra dengan TITI _perludem Tanggal 7 Oktober 2015, Pukul: 14.50-16.30 WIB Bakul Cofee, Jakarta Relevansi DTF DTF sangat penting untuk didukung agar menjadikesempatan bagi OMS dapat bekerja bagi demokrasi dan konsolidasi demokrasi. Keputusan MK bukan kewajiaban negara untuk menyiapkan pembiayaan tetapi negara juga tidak dilarang. Penelitian untuk sub kodifikasi UU pemilu salah satunya untuk pembiayaan OMS untuk pendidikan politik yang mana parpol tidak dapat diunggulkan, sehingga OMS bisa diharapkan untuk mendapatkan pembiayaan terkait pendidikan politik. Umumnya Stering commitee (SC) kodifikasi UU Pemilu (fasilitasi Perludem) itu tidak setuju pembiayaan tersebut sebab terkait independensi OMS. Sementara kondisi yang dihadapi kurang diletakkan terkait apakah ini terkait masyarakat keterbatasan OMS ataukah karena independensi/netralitas, akuntabilitas. Sehingga cara pandang mereka seolah2 untuk OMS menjadi penyeimbang itu harus ada upaya berbeda/ berhadapan dengan negara. Sehingga semestinya mindset itu yang harus dirubah. Ada kecendrungan setiap orang memahami bahwa OMS itu tidak bisa beririsan yang sama dengan negara. Model yang telah ada Keberadaan UU perlindungan hukum yang memiliki kebersamaan hak orang dalam hukum dan pemerintahan bisa mendapatkan payung hukum teryata bisa dan saat ini sudah banyak dimanfaatkan untuk advokasi. Apa karena disektor swasta ada kewajiban di CSR sedangkan sektor publik lainnya tidak bisa seperti untuk issu demokrasi. Keberadaan CSR merupakan bagaimana peran swasta tidak meninggalkan peran sosial, sedangkan untuk negara KL menjalankan tugas tersebut. Kemenlu/kementerian juga melakukan pendidikan politik, pendidikan pemilih yang sebenarnya merupakan bagian dari kegiatan OMS. Elaborasi program di OMS untuk dapat mengelola organisasinya tidaklah mudah. Sebab yang mengelola OMS itu bukan orang yang tidak memiliki kapasitas hanya karena minat yang diinginkan itu tidak terwadahi oleh instrumen formal, sehingga melahirkan alternatif. Sebagai contoh dalam pemilu 2004 donor meninggalkan
Indonesia, akibatnya Pemilu Indonesia terpuruk, terutama itu sangat terlihat dalam pemilu 2009. Untuk isu anti korupsi, sehingga memungkinkan mekanisme fundrising. Mekanisme donor itu tidak langsung dari donor tetapi dari pihak ketiga yang menjadi kontraktor/implementatot yang dimainkan oleh berbagai lembaga. Misalkan Ausaid(TAF) selalau ada penhubung yang menghubungkan dengan donor. Pola pendanaan hanya mungkinkan dapat sesuai kontrak dan tidak terdapat yang disebut pengelolaan organisasi (manajemen fee) dimana pengrus kemudian mengaturnya dengan mekanisme tertentu agar dapat menghidupkan lembaga. Issu lingkungan dan korupsi itu dampaknya jelas, sehingga dapat membangkitkan jiwa humanisme. Berbeda dengan issu demokrasi politik yang tidak jelas outputnya. Sehingga mekanisme fundrising itu lebih mudah meskipun juga tidak gampang. Akibatnya ada lembaga yang membuka unit usaha sehingga sangat sulit menjaga keberlanjutan organisasi yang bisa tumbang kapan saja. Untuk itu, terkait netralitas hal itu bisa di ukur dengan mekanisme tertentu seperti transparansi, akuntabel. Sekarang akuntabilitas lembaga jauh lebih sulit sebab jhraus membayar akuntan. Realitas Pengelolaan Perludem/OMS Perludem 2014 dapat mengelola 15-20 M itu dalam periode pemilu, (dalam ukuran lembaga besar dalam demokrasi dan pemilu). Jika dibandingkan dengan lembaga lain yang jaringannya tidak ada ke internasonal yang memiliki program, visi baik dan kapasitas baik. Contoh perkembangan pemilu 1999-2014 sebagai bukti kongkrit. Skema donor juga tidak bersahabat PSI (memberikan dana dengan skim 10 tahun) yang memberikan dana besar tetapi untuk lembaga-lembaga tertentu saja. Kondisi geografis, keberagaman luas wilayah memang menjadi sangat sulit dalam pengelolaan konsolidasi demokrasi sehingga harus melibatkan banyak pihak terutama OMS sehingga DTF menjadi sangat urgen. Dana-dana dikementrian itu banyak yang salah dalam sebab dikelola melalui cara2 yang tidak akuntabel, plat merah, transparansinya diragukan bahkan cenderung dilakukan secara kekerabatan. Akibatanya setiap OMS yang dapat dari negara dimaknai negatif. Misalkan dana 4o juta/paket apakah tujuannya tercapai yang kemudian hanya menyasar kelompok itu saja. Dan ini menjadi seolah jualan/bisnis kelompok itu saja.
Filosofi awal harus kuat denga merujuk pada trend global yang telah dijalankan negara-neara dunia, asumsi negara itu adalah keberpihakan terhadap kepentingan masyarakat. Bukan dari pemerintah, eksekutif /legislatif. Jadi pendanaan negara untuk OMS. Kondisi degradasi masyarakat sipil dalam konteks pemilu bisa menjadi contoh yang semakin merosot, sedangkan kemasa depan kita akan menghadapi pemilu serentak 2019 dan selanjutnya setiap 3 tahun kita akan memiliki pemilu dan ini merupakan praktek yang banyak dilaksanakan. Pemilu presiden Indonesia itu idenya berasals dari cetro tetapi bagaimana cetro hari ini yang sudah hilang. Sehingga banyak ditentukan instrumen global. Sehingga oms yang melakukan mobilisasi dana di global tidak melakukan penyaluran program. Contoh perludem sejak 2010 dapat stabil, tetapi itu arena person bukan karena sistem. Karena kebetulan orangnya dapat mengelola secara baik untuk keadaan seperti saat ini. Bagaimana dengan KIPP, JPPR dll sebab kedepan nantinya hanya ada paguyuban, entitas sebagai assosiasi saja kemasa depan. Dalam evalausi meskipun Perludem sudah mempunyai skema hingga berbagai KSI (knowledge sector initiatieve) tetapi itu sampai kapan. Bagaimana setelah 10 tahun. DTF itu memiliki tim/ divisi penilai yang berisi orang-orang profesional/anggota panel yang direkrut untuk memberikan penilaian yang merupakan orang yang memahami urgensi DTF. Seperti KPU dalam pengertian yang sederhana yang memahami tujuan organisasi masyarakat sipil yang membentuk SOP cara, akuntabilitas, audit, pelaporan dll. Sebaiknya dilakukan permanen untuk periode tertentu agar dapat memberikan kesempatan untuk melakukan perbaikan dan egenerasi. Organisasi ini juga melakukan penguatan kelembagaan kepada organisasi yang lebih kecil. Saat ini, semua dana yang dikelola OMS sesungguhnya juga diawasi terkait penggunaan dana tersebut. Meskipun dengan mekanisme berbeda dengan kelembagaan negara. Nawacita bisa menjadi sandaran dari keberadaan DTF. Konsensus yang diberikan dengan LBH mendapatkan dana pendampingan pemilu melalui UU serta Parpol yang mendapatkan dana dari masyarakat apakah mampu menjangkau semua masyarakat yang ditetapkan oleh UU. Terus mengapa untuk urusan demokrasi penting untuk mendapatkan penguatan. Saat ini berapapun dana yang diberikan kepada partai tidak akan cukup.
OMS dengan pendanaan cukup baik, dapat melakukan kegiatan di tempat yang mahal namun juga terdapat yang buat acara yang ditempat seadanya. Pertemuan stokeholders yang menempatkan filosofi untuk DTF terkait perbedaan pandangan terkait keberadaannya. Realitas bahwa mekanisme seperti ini sudah ada seperti contoh keberhasilannya seperti di BRR dan mekanisme lainnya. Contoh IFES selain dapat dari AUSAID juga dapat dari pemerintah Canada dll, sehingga yang mesti diposisikan adalah keberadaan jangka panjang. Seperti pengelolaan REDD++ dan berbagai praktek yang jadi bestpractice mesti dapat dielaborasi sebagai acuan DTF. Indonesia sedang berjuang mengkonsolidasikan demokrasi, sehingga kedepan belum ada yang dapat meprediksi akan seperti apa yang akan dihadapi. Untuk itu, dengan tantangan yang makina dinamis dan berat dengan negara demokratis terbesar di dunia maka DTF merupakan tawaran terbaik yang dapat disiapkan oleh mekanisme negara kepada pengelolaan demokrasi. Keberadaan donor yang tidak merata menjadi problem terkait bagaimana OMS dapat menjalankan dukungan konsolidasi demokrasi. Sementara ide DTF adalah memberikan kesempatan Sumber dana dari donor yang dikhawatirkan itu DTF akan jadi broker, tetapi bukankah selama ini banyaknya dana yang diperoleh juga berasal dari broker dan tidak ada yang langsung. Keberadaan payung hukum yang dibutuhkan saat ini adalah bisa menjadi dasar legalitas, sehingga dengan keadaan politik indonesia yang ada saat ini, kebutuhan DTF jauh lebih penting untuk dapat mendorong atau memfasilitasi masyaraat sipil dalam berkontribusi dalam demokrasi. Sedangkan penyusunan regulasi secara lebih kuat dapat menjadi target antara atau kedepannya.
Wawancara dengan Yan dan Yon (Anggota DPRD Prov. Papua Barat/ Fraksi Otsus Papua) Tanggal 30 Oktober 2015, Pukul 14.00-17.20 WIT ‐
‐
‐
‐
‐
‐
Tentang OMS ada yang terdaftar ada yang tidak, yang terdaftar pun secara administratif memiliki badan hukum yang kadang dilapangan ada suratnya saja tetapi tidak eksis. Jutru Yang selama ini banyak eksis di masyarakat itu yang tidak berbadan hukum tidak terdaftar tetapi sangat banyak eksis dan menentukan kearifan lokal dalam mendukung masyarakat terutama kearifan lokal. Keterlibatan OMS adat dalam pemerintahan, Khusus untuk papua barat pergub 16 thn 2014 dibagi 3 wilayah cluster/dapil. Jika dalam parpol ada 5 dapil, maka dalam cluster adat ada 3 cluster yaitu : Pertama, cluster 1 monowari raya(monokwari, selatan dan pegunungan arfak), Kedua Sorong Raya, Kota Sorong, Kab. Sorong, Sorong Selatan dan Maybrath , Tambrauw dan Raja Ampat, Ketiga Kuri Wamesa(Teluk Wondama, Kaimana, Bintuni, fak fak). Dasar yang digunakan dalam pembagian cluster sesuai perintah uu otsus adalah kebiasaan yang dianut, dilaksanakan dan diyakini masyarakat sehingga diambil menjadi kebiasaan yaitu kebiasaan atau adat dalam memberikan mas kawin. Monokwari Raya bayar mas kawin menggunakan senjata (hal ini kemudian ditakuti milter padahal itu kearifan lokal). Sorong Raya bayar mas kawin dengan Kain Timur, Kuriwamesa bayar mas kawin dengan piring2 besar. Ketiga hal tersebut hanya berlaku diwilayah atau cluster itu saja sehingga tidak dikenal oleh cluster lain. Berdasarkan hal itulah cluster adat dibagi menjadi cluster 1 ada 3 kursi, cluster 2 ada 5 kursi dan cluster 3 ada 3 kursi dari 11 kursi untuk Otsus Papua. Tokoh2 adat yang tidak terdaftar sebenarnya yang selama ini sangat menentukan kebijakan di wilayah itu, sebab dipapua dikenal terdapat 2 Dewan adat yaitu Dewan adat Papua (DAP) dan ELEMA (lembaga masyarakat adat) kemudian Eleme ini terbagi 2 yaitu Eleme Nusantara dan elema adat. Eleme nusantara tunjukan jakarta melalui mekanisme mendaftar dan berbadan hukum Sedangkan elema adat diangkat melalui acara musyawarah adat yang sangatmeriah pad setiap cluster. Pengelolaan demokrasi yang menonjol dilakukan oleh masyarakat asli papua terutama melalui mekanisme kepartaian (terserap kedalam partai). Dipartai itu untuk memperjuangkan hak2 dasar orang2 papua belum sepenuhnya memnuhi rasa keadilan, belummemnuhi kesejahteraan masyarakat papua juga termasuk hukum dan HAM. Kasusu2 pelanggaran
‐ ‐
‐
‐ ‐
‐
‐ ‐
‐
‐
HAM di papua dan papua barat berheti pada kasus penyidikan sehingga meninggalkan pertanyaann buruk dari generasi ke generasi. Banyak masalaha yang berkembang dan menimbulkan kesan buruk. Dan cerita ini berkelanjutan sehingga masalah ham itu menuntut sampai kini merdeka. Yang pro merdeka itu ada 42 kelompok/faksi yang masih menyuarakan kemerdekaan meskiun berbeda2 didalam dan diluar negeri. Keberadaan faksi otonomi khusus merpakan keterwakilan masyarakat adat yang tidak untuk memperjuangkn kemerdekaan sebagiaman faksi2 itu, melainkan bagaimana ketiga cluster masyarakat adat itu dapat menikmati hasil pembangunan yang mensejahterakan. Kesejahteraan yang dimaksud adalah pendidikan yang memadai dari sd-pt, sarana pelayanan kesehatan memadai dari kampung –provinsi, tersedia nya pelayanan publik lain seperti jalan jembatan, listri air bersih dll. Hari ini indeks kesulitan geografi di papua barat bahwa ada 1567 kampung 750 kampung tidak ada SD. Dari 175 distrik 34 distrik tidak ada SMP. Ini menunjukkan Ada pembodohon thd orang papua, ada orang tidak sekolah di 750 kampung yang tidak tersentuh sekolah, bahkan yang tersetuh saja tidak ada guru. Bahkan ada anak murid yang lulus tidak tahu baca. Bahkan mungkin yang kerja soal itu gurunya dikota (sehingga bisa lulus 100%). Disini terlihat bahwa keadilan di papua masih sangat jauh, pendidikan untuk orang kota yang selalu dinjadikanukuran sementara umumnya orang papua itu ada dikampung jadi mestinya ukuran keberhasilan itu dikampung yang isinya orang papua lebih banyak. OMS lainnya selain masayarakat adat yang tak kalah pentingnya adalah Gereja. Gereja memainkan peran penting peran dinselatan fak2, sorong, timika (katolik). Diwilayah utara papaua sorong monokwari dst (GKI/proyestan 59 tahun) tetap 100 tahun kebelakang masuk lewat zending. Disebelah selatan misi katolik. Peran gereja sangat besar gereja kristen injili ditanah papua (GKI), dalam kearifan ini mesti mendengar suara gereja kristen katolik dan protestan dan diwilayah tengah sudah mix antara GKI dan protestan dengan denominasi kristen lainnya(tolikara dan skitar pegunungan). Digereja, manajemen keuangannya ada ruang pengumumuman yang terbuka kepada umat setiap minggu hal ini tidak ada dalam pemerintahan dimana2. Tidak ada unsur korupsi, baik ditingkat anak2, pemuda, ibu dan bapak. Setiap ibadah itu ada derma dimana keuangan itu diumumnkan setiap minggu dan setiap akhir tahun diumumkan berapa orang lahir dan berapa orang mati.
Yon ‐
Bantuan yang datang dari pemerintah kepada gereja setelah melalui pemeriksaan KPK itu tidak ditemukan penyimpangan.
Yan ‐
‐
‐
‐ ‐
‐ ‐
‐
‐ ‐
Otsus ada karena ada tuntutan merdeka, sehingga ada 100 orang papaua menghadap habibie minta merdeka sehingga diberikanlah otsus, dalam implementasinya jauh dari isi UU itu sendiri. Ada UU 21 yang sudah diubah dengan UU 35 ttg UU otsus dalam pasal2nya dalam penjabarannya untuk bisa mengukur kearifan lokal kehidupan orang papua dilihat dari perdasus. Mestinya harus ada PP. Sekarang ini perdasus ini tidak ada sebab yanga ada hanya perdasus pendanaan dan pergub untuk 21 januari 2015, dilantik, hak politik diangkat itu dikebiri oleh partai politik. Sehinggalmbat diangkat sedangkat untuk pembagian wilayah di papua itu berguru kepada papua barat. Posisi UU otsus itu khusus lex specialis lex deregat dalam konteks papua tetapi kenyataannya tidak terjadi. Termasuk untuk pilkada serentak masyarakat papaua maunya yang orang asli papua, sekarang sedang ada di kemendagri untuk pilgub dan pilkada meskipun terlambat tetapi sudah berjalan sampai 95% berjalan untuk perdasus pilkada, yang kedua, bahwa uang telah banyak yang ducurahkan sejak 2002 tetapi tidak ada dasar regulasinya. Disini menunjukkan dana otsus tidak sesuai peruntukannya, dana otsus untuk pendidikan digunakan bikin jalan, pagar kantor. Otsus itu kontrak dengan orang asli papaua sehingga harusnya langsung ke subyek hukumnya yang orang asli papua. Jadi papaun yang dibelanjakan harus diperuntukan untuk orang papua dan akn berakhir 2021. Nanti yang akan ditanya terlait keberhasilannya adalah orang papua terkait pendidikan. Kesehatan sehingga jika 1, 2, 3 orang maka dapat dibayangkan posisi orang Papua di 2021 dari latarbelakang otsus lahir yaitu berada di persimpangan jalan. Aakah lurus, belok kiri atau kanan atau diam ditempat, merdeka, referendum atau terus. Ini merupakan tanggung jawab fraksi otsus sehingga atsus itu harus lakukan secara serius, Dana otsus itu harus dikawal dan dilabel, jika dananaya berasal dari dana otsus maka harus ditulis supaya kelihatan.
‐
‐ ‐ ‐
‐
‐
‐
‐
Jika dibandingkan dengan dana 1% dari freeport untuk 7 anak suka di papua sekarang sudah menghasilkan 25 pilot orang asli papua pertanyaannya otsus dapat apa, Sekarang inah yang diperjuangkan sehingga tidak ada lagi orang papua yang tidak tau baca huruf dan mati karena tidak adanya pengobatan. Otsus ini adalah perekat bangsa sehingga mestinya atidak ada yang membuat perekat ini tidak berfungsi. Sekarang fraksi otsus dihambat oleh parpol, untuk memperjuangkan perdasus pikada yang menghambat orang asli papua dari orang asli papua itu sendiri. Kekuatan politik di papua barat ada 56 kursi dimana pemenbagnya demokrat 9 kursi, golkar 9 kursi dan lainnya sisianya fraksi otsus 11 sementara di perintah UU yang terbanyak. Untuk penguasaan wilayah meskipun mereka berbuata bagaimana harus melalui cluster yaitu orang adat. Melalui hal inilah penguatan2 lembaga masyarakat adat dan dewan adat papua ini perlu diberikan penguatan dalam berbagai bidang termasuk insentif bagi mereka. Sebab apapun yang terjadi merekalah yang akan tampil . demikian juga bagi gereja adala insentif sebab untuk masuk kewilayah tertentu sebab jika sesuatu masalah yang ditagani endeta akan mudah diselesaiakan. Perdasus 16 tahun 2013 dan pergub no. 6 tahun 2014, proses pemilihan itu diambl melalui musyawarah adat kemudian mengajukan jago2nya yang dilakukan melalui gelar “tikar adat” diwiayah cluster masing2 sebab didalam cluster itu ada sub2 lagi. Kemudian diajukan ke pansel yang dibentuk oleh gubernur yang didalamnya mewakili elemen. Kemudian berkas tersebut diserahkan kepada MRP untuk mendapatkan legitimasi terkait verifikasi adat sebab di MRP itu ada keterwakilan adat, agama dan perempuan. Seteah diseleksi terkait keaslian dilakukan pleno kemudian berkas tersebut dikirm ke Tim seleksi yang berfungsi sebagai KPU dalam UU Otsus yang terdiri dari 5 keterwakilan yaitu DPRD menunjuk akademisi, Gubernur diwkili kesbangpol, kejaksaan tinggi menunjuk kejari, MRP menunjuk salah satu keterwakilan adat/kepala suku, Kapolda menunjuk dirintelkam. Berkas tersebut mengadakan seleksi administrasi, seelski akademik yaitu (tes tulis, makalah dan uji makalah). Dari hasil ilah diperoleh rangking setiap cluster sehingga ditentukan 22 ssi UU yang dipilih 11 oleh Gubernur dan dikirim ke mendagri yang juga melakukan verifikasi ulang. (prosesnya 3 bulan yaitu september-november). Dlam setahun ini dapat dilihat dari parpol itu, subtansi persoalan ada tetapi tidak peka.
‐
‐ ‐
‐ ‐ ‐
Proses rekruitmen itu terbuka sehingga dapat langsung dilihat sebab nilainya dan rangking langsug diumumkan sehingga ketika ada hasilnya tidak ada yang protes. Dana khusus untuk orang asli papaua itu menjadi hak orang tersebut sebab yang lainnya sudah mendpatkan dana dari dana lainnya. Terkait pilkada di papua 98% orang yang maju adalah anak papua yang maju, ini menunjukkan keberhasilan sosialisasi kepada masyarakat nusantara bahwa ada pemaknaan yang luas dari masyarakat non papua. Ini berbeda dengan di Papua 70 itu masyarakat nusantara yang ikut dan hanya 30% yang asli ini karena DPRD tidak memperjuangkan. Yon Untuk orang papua itu pemimpin dimanapun semua dihasilkan melalui gereja yang kemudian tampil dimana2, atau “output” kepemimpinan sebagai kearifan lokal yang menghasilkan berbagai potensi.
Yon ‐ ‐
‐
‐
‐ ‐
Gubernur dari Gerindra, DPRD dari Demokrat. Fraksi otsus ini dikontrol oleh masyarakat dan yang menghasilkan tim sel, makanya penerimaan masyarakat itu jauh lebih meriah daripada para pejabat sebab tidak memperjuangakn titipan apapuan. Sebab apapun yang diinginkan masyarakat adat itu diwadahi dan dilanjutkan. Jumlah fraksi otsus yang 11 itu kurang bila dilihat dari jumlah wilayah yang hampir 1 wilayah ada 1 snggota sehingga jika terdapat hambatan maka ini sangat menghambat kerja. Untuk jumlah ideal itu ada 20 mungkin menjadi lebih baik untuk dapat bekerja terutama terkait indek kesulitan geografis. Kedua, ada tabrakan UU di parpol pake gunakan UU 23 otsus pake 21 sehingga UU ini selalu bertabrakan. Kemudian parpol itu lihat tidak ada PP untuk otsus, sehingga menjadi hambatan sehinggga tidak ada tata kelola penggunaan dana otsus (hanya pergub). Bulan november moga2 bisa lahir perdasus tata kelola penggunaan dana otsus dan pertangungjawabannya dan juga bisa lahir perdasus tentang pilkada yang orang papua juga ada perdasus untuk bagi hasil minyak gas. Untuk memperjuangkan di DPRD itu yang dari parpol tidak setuju bahkan berkelahi. Dari parpol berjuang untuk mempertahankan status quo dan juga kurang baca buku sehingga disaranakan kepada sekwan dan kemendagri agar buku otsus itu dibagi agar orangmengerti. Sudah ada 45 T yang dikucurkan sejak 2002 yang di papua Barat sejak 2009.9sesuai FGD di BPK). Ada 2 typikal yang ada saat ini yaitu insidentl (musiman) karena ada yang mau diperjuangkan sehingga jika sudah tercapai bubar. Juga ada yang
‐ ‐
‐
‐ ‐
‐
‐
‐
‐
‐
terdaftar. Persolannya adalah saat ini bantuannya yang bersifat keuangan untuk pembinaan ini untuk yang terdaftar saja sedangkan yang tidak terdaftar tidak ada. Hal ini baik untuk program maupun untuk pembinaan. Sebagai contoh untuk koperasi bisa dibantu sedangkan masyarakat tidak mau repot mengurs 14 form yang ada sehingga tidak tersentuh. Materi tentang otsus itu dimintakan saat ini untuk dijelaskan dikampus bahakn dimintakan untuk dapat menjadi mata kuliah muatan lokal yang didorong oleh gubernur, kampus. Dalam bedah renstra dinas pendidikan itu 2016 papua barat bebas buta huruf tetapi faktanya di teluk wondama disana ada angka buta huruf dikelas awal 1-3 46%, kemudian 1765 kampus 750 kampung tidak ada SD. Sehingga renstra bidang pendidikan itu tidak akan tercapai. Sehingga butuh kebijakan lain untuk itu terutama untuk 20% dana pendidikan dan 15% dana kesehatan bagi masyarakat asli papua. Penelitain itu menggunakan indikator membaca kata, membaca kata dan mengerti; Terdapat pendampinag oleh OMS/NGO terutama oleh gereja dan kepala suku diberdayakan padahal selama ini jika ada masalah mereka yang didepan. Mereka membutuhkan insentif bahkan rumah agar mereka dapat hidp lebih baik. Di Kab. Teluk Wandama ada KAWAL (Komunitas Anak Wondama Abdi Lingkungan) di Teluk Wondama ada 750 orang yang menjadi kader. Sehingga ada kekuatan untuk menentukan disana dan kelompok ini dibiayai oleh Yan. Kelompok ini dibentuk pasca bencana banjir wasior bahan diuknakan untuk memadamkan api yang saat ini ada di 9 titik di wandama. Selain itu juga terdapat kelompok lain. Namun daru semua kelompok itu yangkuat adalah gereja meskipun juga ada karang taruana ada pemuda kampung disamping yang lama2 seperti AMPI dll. DTF ini baik untuk bisa mendukung ormas lainnya, mengapa parpol itu banyak yang korupsi karena tidak ada dana. Dengan adanya dana maka hal ini sudah tidak akan dilakukan demikian juga dengan untuk OMS. Program ini juga akan berguna Untuk ketahanan sipil society yang baik, selanjutnya secara bertahap akan dibicarakan terkait kesatuan masyarakat ditingkat kampung akan diisi/diberdayakan agar tidak kosong/berpikir disintegratif, sebab jika diandaikan dengan mobil dengan bensinnya maka DTF ini menjadi sangat penting untuk mendorong. Makna demokrasi itu akan memperkuatkan masyarakat sipil sebab kedepan dengan hal seperti ini akan bisa mengimbangi parpol bahkan bisa jadi jika parpol menjauhi masyarakat tidak akan dipercaya masyarakat.
‐ ‐ ‐
‐
‐
‐
‐
‐
‐ ‐
Binasket (komunitas suku) yang menjadi pelembagaan masyarakat suku2. Tanggung jawab negara adalah untuk memfasilitasi masyarakat. Ada program dari belanda untuk program Polmas yang merupakan kerjasama dengan POLRI yang dilakukan melalui MOU. Sehingga juga dilakukan MOU dengan masyarakat adat. (masyarakat adat-NegaraDonor) untuk keamanan masyarakat sipil. 10 bulan di DPRD itu lain janji lain fakta, hanya kerja proyek, SPPD jalan yang fraksi otsus hampir semua permasalahan diarahkan kepada Fraksi inidengan langsung masuk. (Yon). Fraksi lain sudah tidak ada sehingga fraksi otsus menginventarisir permaslahan tersebut. Fraksi otsus gunakan kekuatan mahasiswa, adat untuk merubah dan membatalkan keputusan yang tidak berpihak kepada masyarakat seperti surat mendagri untuk ketua DPRD Papua barat yang dari ambon yang datang karena konflik ambon ditolak karena bukan asli papua. Masyarakat mendemo, surat ini kemudian berubah meskipun kesulitannya yah ditanggung fraksi otsus yang menanggung makan dan minum serta bisa. Hal ini ditentukan oleh masyarakat adat yang didukung oleh forkompimda untuk dirubah yang mestinya diputuskan melalui PTUN ini langsung diselesaikan. Ini menunjukkan Kontrol masyarakat itu langsung kepada fraksi otsus sebagai bentuk keterbukaan termasuk dari para pejabat forkopimda memberikan masukan dan dukungan. Fraksi ini juga membuat pakta integritas menjadi janji plus. Yaitu setiap anggota yang agak melenceng selalu diingatkan sebab jika tidak akan dikembalikan ke cluster. Yang dihadapi di DPRD adalah Parpol tersebut adalah berpikiran bahwa mereka duduk di kursi tersebut karena mengeluarkan dana yang besar hingga milyaran sehingga yang dipikirannya hanya mencari proyek saja. Mengumpulkan anggota DPRD itu, mudah saja jika diundang terkait SPPD atau hendak mengajukan kunjungan ke dinas tertentu. Informan Yan Yotemi (Ketua Fraksi Otsus, Cluster III Kuri Wamesa) 1989-1993 dari Uncen FKIP Yonadap Trogea (Anggota Fraksi Otsus dai Cluster II / Sorong Raya)
Wawancara Jumat, Tanggal 16 10 2015 pukul; 10.00-11.50 WIB Peneliti Aceh: Rizki Ekspektasi keberadaan DTF? Terhadap OMS Model pelembagaan yang terpetakan adalah yang sudah digunakan oleh mekanisme pendampingan lingkungan, HAM dll.(Elsam, kontras). Program BRR dll yang masuk ke Aceh merusak masyarakat sipil. Gerakan yang memberikan resistensi untuk referendum dan penuntasan kasus HAM sudah muncul secara organik sebelum adanya Tsunami yang diprakarasi oleh berbagai lembaga seperti (Semur, SIRA dll) dan kemunculan organisasi seperti ini meskipun disusupi militer sedikit. Perjanjian damai dan Masuknya dana asing membuat lembaga lokal tumbuh dengan support dana besar2an. Liga inong aceh, sekolah pendidikan demokrasi yang dikelola M. Nur juli seorang negosiator GAM di Helsinki mantan ketua BRA yang kedua. Yang kemudian karena tidak berafiliasi kepada PA (partai Aceh) ditendang. Pergerakan yang terhimpun menjadi NGO dilatih diberi dana disatu sisi memberikan fasilitas dan kesmepatan kepada aktifis untuk dapat jejeraning dan dana tetapi juga disatu sisi pola yang sekarng kelihatan ketika dana habis, tidak ada OMS yang tumbuh secara baik. Cara Pengelolaan OMS di Aceh Keberadaan CMI (yang diketuai oleh Marty Ahtisari), kemudian ada Antony Reid NUS dan akademisi dari Luar Negeri seperti adanya Internation For Aceh yang berjejaring dengan Amanesty Internasional, AUSAID dengan program LOgika, USAID dengan demokrasi, datang dengan memperkenalkan keragaman issu-issu demokrasi(Kesetaran gender, HAM, lingkungan dll) . Hal tersebut membuat gap dengan elit CSO, elit2 intelektual barudengan masyarakat yang dibinanya. Pasca penanganan dan rekontruksi Aceh, masyarakat mengalami kekagetan budaya, ketika ada banyak dana dan tuntutan untuk menghabiskannya atas nama efektifitas dan efesiensi dengan tantangannya adalah minimnya kapasitas dan kompetensi yang melaksanakannya. Salah seorang tokoh Aceh yaitu Samsyidar mengemukakan bahwa kapasitas itu masih sangat jadi permasalahan, sebab tidak disertai kapasitas yang sesungguhnya tidak dapat dibangun secara instan.
Konsep-konsep yang dibangun atau dibawah oleh kelembagaan yang membangun masyarakat sipil Aceh era rekonstruksi Aceh, banyak tidak dapat diserap oleh masyarakat. Semestinya konsep tersebut harus dapat disesuaikan dulu atau direduksi sesuai kondisi lokal Aceh untuk tidak mendapatkan resistensi dari masyarakat. Meskipun konsep yang dibawah dalam konsepsi demokrasi merupakan hal baik. Meskipun ini sebenarnya merusak struktur budaya masyarakat, contohnya dimasa rekonstruksi NGO asing membayar masyarakat untuk membersihkan daerahnya sendiri sehingga merusak sendi-sendi masyarakat. Masyarakat diberikan pelajaran tentang keputusan demokrasi cara mengatur keuangan, cara perempuan untuk mengatur gampong tetapi setelah Pengajaran demokrasi itu mencerabut masyarakat dari kultur CMI di aceh 10 tahun, tentang partisipasi perempuan tidak ada yang progresif dimana konteks sosial politiknya tidak terbangun. PA membangun kekuatan di aceh tidak dengan cara demokrasi tetapi komando yang dikendalikan Mualim yang wagub dengan menguasai perusahaan2 lokal. Pelembagaan CSO Pelembagaan CSO di Aceh sangat tergantung donor. Kelembagaan CSO Tidak bisa otonom aau indenpeden dari elit lokal. Kaibtanya lembaga CSO sulit mengkritisi karena berafiliasi dengan kekuatan politik lokal yaitu partai aceh (PA) dengan membawa kepentingan elit lokal tertentu.Paguyuban mahasiswa dibiayai dengan dana aspirasi melalui dana aspirasi, semua aspirasi akan ditantangan balik. Kapasitas dan menjemen internal, pola kepemimpinan di OMS itu regenarisnya sangat minim, snagat tergantung dengan koordinatornya ketuanya (NGO) ada. Setidaknya ada kontestasinya dan kapasitasnya serta dinamiknya yang diaceh jika dia itu lagi-itu lagi, proses regeranisnya da gap, akuntabilitas terbatas, AJAR menyalurkan dana (support partner) Capaian yang diperoleh OMS di Aceh sangat mengecewakan, sebab banyak dana yang diberikan untuk kegiatan yang sama sekali tidak bermutu.(100 juta untuk bikin peringatan yang isinya pidato, makan2). Ada pola relasi terkait pengelolaan korban HAM aceh yang politisir terhadap korban dengan mobilisasi untuk tujuan tertentu oleh CSO. Ini sebagai pola relasi yang dibangun. Terdapat korban yang bisa mengorganisir diri, tetapi mobilisasi, politisasi. Korban konflik itu harus bicara tentang patron. Bicara demokrasi harus bersentuhan dengan korban konfllik yang juga terkait patron
Kesadaran berdemokrasi tidak cukup ketika tidak independen dengan tidak adanya demokratis dari elitnya yang tergantung dari donor asing. Terbatasa dengan pendanaa sehingga banyak kegiatan yang by project. Sistem yang tidak dibangun membuat lingkungan tidak kondusif untuk mengembangkan, sehingga banyak aktifis aceh yang bergeser ke Jakarta. Mekanismenya dan simpulnya dipegang kelompok tertentu. Model Aceh harus melakukan apa? Potensi lain yang bisa menjadi pilihan: Korban konflik, mendukung dan kerja bersama dengan korban untuk kasus pulau buru, timur, ambon, jogya dll dimulai dengan mengindentifikasi persoalan dengan kemampuan mereka sendiri secara partisipatif. Proyek di aceh itu umumnya dari atas ke bawah meskipun dikemukakan dari bawah ke atas, Musrembang itu tidak ada. Jadi perlu untuk mengidentifikasi diri, apa mereka buat analisa sosial untuk kepentingan dirinya sendiri.(case: untuk pemberdayaan untuk petani pala, merek minta buat koperasi tetapi tidak punya kemampuan mengelolanya sehingga minta dana pelatihan pengelolaan). Yang harus dihindarai Terjebak dalam kerangka jargon, pemenuhan sarana dan prasarana semestinya dibongkar adalah cara mengidentifikasi dan menganalisis sosail permasalahan mereka sendiri. Jika tidak, akan menghabiskan dana saja. Cara melihat permasalahan mereka itu tidak dapat merumuskan secara efektif. Prasyarat untuk memiliki model kelembagaan yaitu cara mengorganisir diri adalah penting. OMS itu dicipta untuk engorganisir diri untuk saling merespon aktif. Mereka pressiasi pemerintah ketika issu tentang akses layanan sosial(korban pelanggaran HAM di palu karena ada perwalkot ttg korban itu mendapatkan hak layanan langsung) artinya mensupport dalam layanan khusus untuk mengakses layanan kesehatan. Orang kuat menjadi penting dalam menggerakkan aceh. Sulit mengharapakan program yang berusia 5 tahunan, Tsunami 2005 hingga kini (2015) karena mekanismenya by project, penddikan demokrasi berisisan dengan project itu sebab bertentangan terkait godaan dana yang disalurkan. Terdapat organisasi2 yang masih bekerja seperti RPUK Aceh (Syamsidar) menangani perempuan korban konflik aceh, LBIH APIK yang aktif mengadvokasi kasus HAM tetapi mereka tetap berkomitmen. Aceh Institute yang berisi akademisi, Roys dengan Forum LSM tidak menjadi NGO. Komitmen kolektif sulit karena diantara mereka ada faksi sehingga CSO menjadi terbelah.
Keberadaan Pusat-pusat studi dikampus dengan segala macam lembaga yang ada, lebih kepada peneliti siapa yang datang sehingga lebih kepada menumbuhkan diskusi atau diskursus saja.