BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Peran korporasi semakin dirasakan banyak mempengaruhi sektor-sektor kehidupan manusia di era globalisasi ini. Kehadiran korporasi banyak memberikan arti yang besar bagi dunia dan memberikan kontribusi bagi perkembangan suatu negara, terutama dalam bidang ekonomi, misalnya pemasukan negara dalam bentuk pajak maupun devisa, sehingga dampak korporasi tampak sangat positif. 9 Namun, dampak yang diberikan oleh korporasi tidak selalu merupakan dampak positif melainkan juga terdapat dampak negatif, seperti banyak terjadinya pencemaran serta perusakan lingkungan hidup yang diakibatkan oleh tindakan-tindakan korporasi. Pencemaran dan perusakan lingkungan hidup di Indonesia masih merupakan masalah yang besar, terutama masalah pencemaran lingkungan hidup yang dilakukan oleh korporasi. Pencemaran lingkungan tersebut terjadi dikarenakan kurangnya perhatian korporasi terhadap masalah pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan hidup. Kondisi ini semakin parah apabila Pemerintah tidak melakukan tindakan yang tegas terhadap perusahaan-perusahaan tersebut. Jika kondisi ini terus berlanjut, maka dikhawatirkan lingkungan hidup akan semakin menurun daya
9
Setiyono, Kejahatan Korporasi, Analisis Viktimologi Dan Pertanggungjawaban Korporasi Dalam Hukum Pidana Indonesia, (Malang: Bayumedia Publishing Cet. 2, 2004), hal. 1
Universitas Sumatera Utara
dukungnya dikarenakan pertumbuhan industri lebih diutamakan daripada pelestarian lingkungan. Hessel mengatakan bahwa “pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup meningkat seiring dengan meningkatnya kegiatan pembangunan”. Hal ini sesuai dengan pemikiran Emil Salim yang mengatakan bahwa “penyumbang utama kerusakan lingkungan adalah industri, aktivitas industri telah menghasilkan kotoran limbah ampas industri yang sangat serius mencemarkan lingkungan”. 10 Seringkali demi penghematan investasi dan pengurangan biaya produksi, korporasi tidak mempunyai fasilitas pengolah limbah industri, sehingga limbah atau sisa-sisa dari usaha industri dibuang secara bebas ke dalam sungai. 11 Meningkatnya kegiatan industri beserta dengan perkembangan teknologi di era globalisasi ini juga menyebabkan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan terus meningkat. Hal ini tentu menuntut perlindungan lingkungan hidup untuk mendapat perhatian hukum. 12 Pembangunan dan pertumbuhan ekonomi dunia yang mengarah ke globalisasi memberikan peluang terhadap tumbuhnya korporasi dan perusahaan-perusahaan transnasional. Saat ini, perseroan terbatas merupakan bentuk badan usaha/korporasi yang paling banyak diminati saat ini oleh para pelaku usaha. Hal ini dikarenakan badan usaha berbentuk perseroan terbatas memiliki suatu ciri yang khusus dalam hal pertanggungjawabannya, yaitu pertanggungjawaban yang terbatas dari pemegang 10
Hessel Nogi S. Tangkilisan, Kebijakan Dan Manajemen Lingkungan Hidup, (Yogyakarta: Yayasan Pembaruan Administrasi Publik Indonesia, 2004), hal. 1 11 M.T. Zen, Menuju Kelestarian Lingkungan Hidup,( Jakarta: Sinar Grafika, 1981), hal. 107 12 Alvi Syahrin, Beberapa Isu Hukum Lingkungan Kepidanaan, (Jakarta: PT Sofmedia, 2009), hal. 28
Universitas Sumatera Utara
saham perseroan, yang mengakibatkan pemegang saham tidak perlu bertanggung jawab secara pribadi terhadap hutang-hutang dari perseroan. Secara prinsipil, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu badan hukum hanya badan hukum itu sendiri yang bertanggung jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya. 13 Suatu badan usaha/korporasi dalam kegiatan usahanya dapat juga dipecahpecah menurut penggolongan bisnisnya dikarenakan sudah berkembang besar dan melebarnya bisnis perusahaan tersebut. Pemecahan bisnis tersebut, yang masingmasing akan menjadi perseroan terbatas yang mandiri, memerlukan suatu pengendalian yang masih tersentralisasi dalam batas-batas tertentu. Dengan demikian, pecahan-pecahan perusahaan tersebut dimiliki dan dikomandoi oleh suatu perusahaan yang mandiri pula, bersama-sama dengan dengan perusahaan-perusahaan lain yang mungkin telah terlebih dahulu ada, dengan pemilik yang sama atau minimal ada hubungan khusus. 14 Perusahaan pemilik ini disebut dengan perusahaan induk (holding company/parent company) dan keseluruhan perusahaan tersebut beserta pecahan-pecahan bisnisnya disebut dengan perusahaan grup. Dewasa ini, perusahaan grup menjadi bentuk usaha yang banyak diminati dan dipilih oleh pelaku usaha di Indonesia. Perkembangan terkini menunjukkan bahwa pengaruh perusahaan grup dalam kegiatan usaha di Indonesia semakin kuat. Data dari Pusat Data Bisnis Indonesia (PDBI) tahun 1997 menunjukkan bahwa sebanyak 300 13
Munir Fuady, Hukum Perusahaan Dalam Paradigma Hukum Bisnis, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 1999), hal. 125 14 Ibid, hal. 83
Universitas Sumatera Utara
(tiga ratus) perusahaan grup di Indonesia memiliki 9.766 (sembilan ribu tujuh ratus enam puluh enam) unit bisnis. Memang pasca krisis tahun 1998, jumlah perusahaan grup di Indonesia berkurang dari 200-an (dua ratusan) menjadi tinggal 50-an (lima puluhan), tetapi pengaruh perusahaan grup menjadi makin kuat. Perkembangan perusahaan grup yang semakin meluas ini terjadi tidak hanya di Indonesia saja, melainkan juga terjadi melalui perusahaan-perusahaan multinasional yang melakukan kegiatan bisnisnya di wilayah yurisdiksi yang berbeda. 15 Kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh satu atau beberapa perusahaan anak bisa saja terjadi dalam suatu struktur perusahaan grup. Salah satu contoh kasus pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak yaitu kasus pencemaran lingkungan di sekitar Teluk Buyat yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya, yang merupakan perusahaan anak dari Newmont Mining Corporation yang berbasis di Denver, Colorado, Amerika Serikat. Pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh PT. Newmont Minahasa Raya tersebut menghasilkan dampak timbulnya penyakitpenyakit aneh yang diderita masyarakat di Teluk Buyat. Adakalanya tindakan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan anak tersebut merupakan tindakan yang diharuskan untuk dilakukan oleh perusahaan induk demi memperoleh keuntungan tertentu. Memang sebagaimana diatur UndangUndang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas (selanjutnya disebut
15
Sulistiowati, Aspek Hukum Dan Realitas Bisnis Perusahaan Grup Di Indonesia, (Jakarta: Penerbit Erlangga, 2010), hal. 2
Universitas Sumatera Utara
UUPT) ataupun peraturan perundang-undangan lain bahwa aspek hukum dalam perusahaan grup masih mempertahankan pengakuan yuridis terhadap status badan hukum induk dan perusahaan anak sebagai subjek hukum mandiri 16, yang sama-sama dapat melakukan perbuatan hukum sendiri. Namun demikian, bukan berarti bahwa perusahaan induk tidak dapat bertanggungjawab terhadap tindakan yang dilakukan perusahaan anaknya, walaupun perusahaan induk dan perusahaan anak tersebut merupakan suatu entitas atau badan hukum mandiri yang terpisah. Untuk dapat membebankan pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak di Indonesia, dapat dilakukan dengan menerapkan doktrin piercing the corporate veil. Penerapan doktrin piercing the corporate veil ini bertujuan agar tidak terjadi penyalahgunaan wewenang perusahaan induk terhadap aktivitas perusahaan anaknya. Selain itu, tujuan lainnya adalah agar pembebanan pertanggungjawaban atas suatu tindakan pencemaran dan/atau lingkungan hidup dapat dikenakan terhadap pihak yang memang benar-benar bertanggungjawab, dalam hal ini yaitu perusahaan induk yang bersangkutan. Pertanggungjawaban yang dibebankan kepada perusahaan induk dapat berupa pertanggungjawaban perdata, pidana maupun administrasi, tergantung pada sejauh apa tindakan yang dilakukan dan efeknya terhadap lingkungan hidup. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2009 tentang Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup (selanjutnya disebut UUPPLH) pada dasarnya telah 16
Ibid, hal. 5
Universitas Sumatera Utara
memuat tentang hak dan kewajiban setiap warga negara dalam hal pengelolaan lingkungan hidup. UUPPLH telah memuat asas dan prinsip-prinsip pokok pencegahan dan penanggulangan pencemaran lingkungan. UUPPLH di dalamnya juga terdapat beberapa pasal yang mengatur hal-hal mengenai tanggung jawab mutlak pencemar lingkungan, hak masyarakat dan organisasi lingkungan hidup untuk mengajukan gugatan dan dapat dipidananya suatu korporasi, badan hukum, perseroan perserikatan, yayasan atau organisasi lain bila terbukti melakukan pencemaran lingkungan. Pembebanan pertanggungjawaban pidana pada korporasi atas tindak pidana yang dilakukan oleh seseorang dapat diterapkan apabila dipenuhi semua unsur-unsur atau syarat-syarat berikut: 17 1. Tindak pidana tersebut (baik dalam bentuk commision maupun ommision) dilakukan atau diperintahkan oleh personil korporasi yang di dalam struktur organisasi korporasi memiliki posisi sebagai directing mind dari korporasi, yaitu personil yang memiliki posisi sebagai penentu kebijakan korporasi atau memiliki kewenangan sah untuk melakukan atau tidak melakukan perbuatan yang mengikat korporasi tanpa harus mendapat persetujuan dari atasannya. Pertanggungjawaban korporasi hanya dapat diberlakukan dalam hal tindak pidana: a. Dilakukan oleh pengurus, yaitu mereka yang menurut anggaran dasar secara formal menjalankan pengurusan korporasi, dan/atau b. Dilakukan oleh mereka yang sekalipun menurut anggaran dasar korporasi bukan pengurus, tetapi secara resmi memiliki kewenangan untuk melakukan perbuatan yang mengikat korporasi secara hukum berdasarkan: 1) Pengangkatan oleh pengurus untuk memangku suatu jabatan dengan pemberian kewenangan untuk mengambil keputusan sendiri dalam batas ruang lingkup tugas dan kewajiban yang melekat pada jabatannya itu untuk melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi, atau 17
Sutan Remy Sjahdeini, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi, (Jakarta: PT Grafiti Pers, 2007), hal 117 – 124.
Universitas Sumatera Utara
2.
3.
4.
5.
2) Pemberian kuasa oleh pengurus atau oleh mereka sebagaimana disebut di atas untuk dapat melakukan perbuatan yang secara hukum mengikat korporasi. c. Diperintahkan oleh mereka yang tersebut dalam huruf ‘a’ dan ‘b’ di atas, agar dilakukan oleh orang lain. Tindak pidana yang dilakukan dalam rangka maksud dan tujuan korporasi. Kegiatan tersebut berupa kegiatan intra vires yaitu kegiatan yang sesuai dengan maksud dan tujuan yang ditentukan dalam anggaran dasarnya. Tindak pidana yang dilakukan oleh pelaku atau atas perintah pemberi perintah dalam rangka tugasnya dalam korporasi. Artinya, apabila tindak pidana itu tidak berkaitan dengan tugas pelaku atau tugas pemberi perintah di dalam korporasi tersebut, sehingga karena itu personil tidak berwenang melakukan perbuatan yang mengikat korporasi, maka korporasi tidak dapat diharuskan untuk memikul pertanggungjawaban pidana. Tindak pidana tersebut dilakukan dengan maksud memberikan manfaat bagi korporasi. Manfaat dapat berupa keuntungan finansial atau non finansial atau dapat menghindarkan/mengurangi kerugian finansial maupun non finansial bagi korporasi. Pelaku atau pemberi perintah tidak memiliki alasan pembenar atau alasan pemaaf untuk dibebaskan dari pertanggungjawaban pidana. Pertanggungjawaban pidana perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau
kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak dapat dilakukan dengan menerapkan doktrin vicarious liability. Menurut doktrin tanggung jawab pengganti (vicarious liability), seseorang dimungkinkan untuk harus bertanggung jawab terhadap perbuatan orang lain. 18 Jika doktrin ini diterapkan pada korporasi, maka korporasi dimungkinkan harus bertanggung jawab atas perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh para pegawainya, kuasanya atau mandatarisnya, atau siapa saja yang bertanggung jawab kepada korporasi tersebut. 19 Singkatnya, apapun yang dilakukan seorang manajer ataupun majikan melalui agennya, hal ini sama dengan dia 18
John C. Coffe Jr, Corporate criminal Liability, dalam Sanford H Kadish (ED), Encyclopedia of Crime and Justice, Volume 1, (New York: The Free Press., 1983), terjemahan Barda Nawawi Arief, UNDIP, Semarang, hal. 130. 19 Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84-97
Universitas Sumatera Utara
melakukannya sendiri. Atau dengan kata lain, hukum memandang bahwa tindakan agen ataupun karyawan merupakan tindakan yang dilakukan oleh kepala atau majikan, dan bahwa pengetahuan agen atau karyawan merupakan pengetahuan dari kepala atau majikan. 20 Hal inilah yang mendasari bahwa perusahaan induk dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana atas tindak pidana lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anaknya. Pasal 116 ayat (2) UUPPLH di dalamnya terdapat “doktrin vicarious liability”. Berdasarkan doktrin vicarious liability ini, pelaku usaha dapat dituntut bertanggungjawab atas perbuatannya, termasuk perbuatan orang lain tetapi masih di dalam lingkungan aktivitas usahanya atau akibat yang bersumber dari aktivitasnya yang dapat merugikan orang lain. Menurut Pasal 116 ayat (2) UUPPLH, pihak perusahaan yang memberi perintah atau yang bertindak sebagai pemimpin, memiliki kapasitas
pertanggungjawaban
untuk
dipidana. 21Apabila
dikaitkan
dengan
perusahaan grup, maka berdasarkan doktrin vicarious liability, pimpinan perusahaan grup (perusahaan induk) atau siapa saja yang memberi tugas atau perintah bertanggungjawab atas perbuatan yang dilakukan oleh bawahan atau karyawannya, termasuk perusahaan anaknya. Tanggung jawab ini diperluas hingga mencakup perbuatan-perbuatan yang dilakukan oleh orang-orang berdasarkan hubungan kerja maupun hubungan lain. Dengan demikian, siapa saja yang bekerja dan dalam
20
Eli Lederman, Models for Imposing Corporate Criminal Liability: From Adaptation and Imitation Toward Aggregation and the Search for Self-Identity, Buffalo Criminal Law Review Vol. 4:641-708, hal. 652 21 Alvi Syahrin, I, Op. Cit., hal. 46
Universitas Sumatera Utara
hubungan apa saja pekerjaan itu dilakukan, selama hal tersebut dilakukan dalam hubungannya dengan perusahaan grup, menjadi tanggung jawab perusahaan induk. 22 Perumusan ketentuan pidana lingkungan hidup sebagaimana diatur dalam UUPPLH, mencantumkan unsur sengaja atau kealpaan/kelalaian. Dicantumkannya unsur sengaja atau kealpaan, maka dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban pidana dalam UUPPLH menganut prinsip pertanggungjawaban berdasarkan kesalahan (liability based on fault). Artinya, UUPPLH menganut asas kesalahan atau culpabilitas. 23 Korporasi sebagai suatu subyek hukum yang semu, pertanggungjawabannya dapat berasal dari perundang-undangan atau ketentuan umum lainnya, dari tindakan atau kelalaian para direktur, pekerja atau agennya. Meski demikian, tidak dapat dikatakan bahwa pertanggungjawaban seorang direktur atau agen itu sepenuhnya dapat langsung dilimpahkan pada korporasinya, karena secara umum harus ditemukan terlebih dahulu pelanggaran dari peraturan tertentu oleh korporasi barulah dipertanyakan siapa yang melakukan kesalahan atau kelalaian tersebut untuk dimintakan pertanggungjawaban. 24 Begitu pula halnya dengan pertanggungjawaban pidana terhadap perusahaan induk. Apabila melihat kepada kasus-kasus lingkungan di negara lain, misalnya di Amerika Serikat, sudah ada pengaturan bahwa perusahaan induk dapat bertanggung 22
Alvi Syahrin, Ketentuan Pidana dalam UU No. 32 Tahun 2009 tentang PPLH, (Jakarta: PT Sofmedia, 2011), hal. 80-81 23 Muhammad Topan, Kejahatan Korporasi di Bidang Lingkungan Hidup, (Bandung: Nusa Media, 2009), hal. 116 24 Alvi Syahrin, I, Op. Cit., hal. 41
Universitas Sumatera Utara
jawab terhadap tindakan pencemaran lingkungan yang dilakukan oleh perusahaan anak. Ketentuan yang diberlakukan di Amerika salah satunya yaitu Comprehensive Environmental Response, Compensation and Liability Act 1986 (CERCLA) yang berkaitan dengan masalah lingkungan hidup. Di Indonesia sendiri belum ada ketentuan yang secara tegas mengatur tentang pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap tindakan perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, baik dalam UUPT maupun di dalam UUPPLH. Hal inilah yang mengakibatkan masih sukarnya dilakukan penegakan hukuman terhadap perusahaan induk yang menjadi “otak” terjadinya tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anaknya.
B. Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut di atas, maka rumusan masalah di dalam penulisan tesis ini yaitu sebagai berikut: 1.
Bagaimana hubungan hukum antara perusahaan induk dengan perusahaan anak dalam perusahaan grup?
2.
Bagaimanakah tanggung jawab perdata perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak?
3.
Bagaimana konsep pertanggungjawaban pidana perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup?
Universitas Sumatera Utara
C. Tujuan Penelitian Terkait dengan judul dan permasalahan yang dikemukakan dalam penelitian ini, maka tujuan penelitian ini yaitu sebagai berikut: 1. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai hubungan hukum antara perusahaan induk dengan perusahaan anak dalam perusahaan grup. 2. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai tanggung jawab perdata perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak . 3. Untuk mengetahui dan menjelaskan mengenai konsep pertanggungjawaban pidana perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup Selain itu, penelitian tesis ini dilakukan dalam ruang lingkup yang terbatas hanya kepada badan usaha yang berbentuk badan hukum, khususnya perseroan terbatas, dan tujuan penelitian hanya berkisar kepada perusahaan induk dan perusahaan anak yang memiliki hubungan hukum dan adanya fakta pengendalian di dalamnya. Dengan demikian, hubungan permitraan dan hubungan kerja yang tidak memiliki fakta pengendalian tidak dimasukkan dalam penelitian tesis ini.
D. Manfaat Penelitian Diharapkan penelitian ini dapat memberikan manfaat baik yang bersifat praktis maupun teoretis.
Universitas Sumatera Utara
Dari segi teoretis, hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan kontribusi pemikiran serta pemahaman dan pandangan baru serta dapat menjadi bahan kajian lebih lanjut untuk melahirkan konsep-konsep ilmiah yang ada. Dengan penelitian ini juga diharapkan dapat memperkaya pemahaman akademisi di bidang ilmu hukum, khususnya hukum lingkungan dan hukum bisnis. Manfaat dari segi praktis, diharapkan penelitian dapat memberikan sumbangan
pemikiran
pertanggungjawaban
bagi
pembuat
korporasi
dalam
kebijakan kaitannya
dalam
memformulasikan
pertanggungjawaban
suatu
perusahaan induk. Bagi para aparat penegak hukum diharapkan penelitian ini dapat menjadi bahan masukan dalam menentukan kebijakan serta langkah-langkah penanganan
dan
penyelesaian
perkara-perkara
yang
berkaitan
dengan
pertanggungjawaban korporasi. Dengan demikian manfaat penelitian ini, yaitu: 1. Diketahuinya mengenai hubungan hukum antara perusahaan induk dengan perusahaan anak dalam perusahaan grup. 2. Diketahuinya tanggung jawab perdata perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak . 3. Diketahuinya konsep pertanggungjawaban pidana perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara
E. Keaslian Penelitian Berdasarkan pengamatan dan penelusuran kepustakaan yang dilakukan di perpustakaan
Universitas
Sumatera
Utara,
bahwa
penelitian
mengenai
“Pertanggungjawaban Perusahaan Induk terhadap Perusahaan Anak Dalam Hal Terjadinya Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup” sejauh ini belum pernah dilakukan. Beberapa penelitian yang sebelumnya dilakukan oleh mahasiswa terdahulu yang berkaitan dengan perusahaan induk dan perusahaan anak, antara lain: 1. Sofwan Tambunan, Analisis Terhadap Hubungan Antara Perusahaan Induk Dengan Anak Perusahaan (Studi Kasus PTPN IV Persero Dengan PT. Pamina Adolina). 2. Irma Atika Rangkuti, Hak Istimewa Dalam Perjanjian Pemberian Garansi Oleh Induk Perusahaan Terhadap Anak Perusahaan Dalam Kepailitan. Walaupun telah ada beberapa penelitian sebelumnya yang dilakukan berkaitan dengan perusahaan induk dan perusahaan anak, namun aspek yang dibahas berbeda. Penelitian ini berfokus kepada pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Oleh karena aspek yang dibahas berbeda, yakni mengenai pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup, maka penelitian ini dapat dikategorikan sebagai penelitian yang baru dan keasliannya dapat dipertanggungjawabkan, karena dilakukan dengan nuansa keilmuan, kejujuran, rasional, objektif, terbuka dan dapat dipertanggungjawabkan secara keilmuan akademis. Penelitian tesis ini dapat
Universitas Sumatera Utara
dipertanggungjawabkan sepenuhnya apabila di kemudian hari ternyata penelitian tesis ini adalah perbuatan plagiat.
F. Kerangka Teori dan Konsep 1.
Kerangka Teori Teori yang akan digunakan di dalam penelitian tesis ini adalah teori badan
hukum, yang menjadi dasar hukum bagi adanya eksistensi dari suatu badan hukum korporasi, khususnya di dalam penelitian tesis ini yakni untuk menjelaskan hubungan hukum antara perusahaan induk dengan perusahaan anak. Setelah mengetahui bagaimana hubungan hukum tersebut, maka doktrin tanggung jawab pengganti (vicarious liability) dapat dipakai di dalam menetapkan pertanggungjawaban pidana perusahaan induk terhadap tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak. Korporasi sebagai suatu badan hukum (rechtpersoon) merupakan subjek hukum, yakni pendukung hak dan kewajiban selain manusia (natuurlijkpersoon). Menurut E. Utrecht, badan hukum (rechtpersoon) adalah badan yang menurut hukum berkuasa (berwenang) menjadi pendukung hak, dan selanjutnya dijelaskan bahwa badan hukum itu adalah setiap pendukung hak yang tidak berjiwa, atau lebih tepat yang bukan manusia. 25 Selain itu, R. Subekti mengatakan badan hukum pada pokoknya adalah suatu badan atau perkumpulan yang dapat memiliki hak-hak dan
25
Chidir Ali, Badan Hukum, (Bandung: Penerbit Alumni, 1999), hal. 18
Universitas Sumatera Utara
melakukan perbuatan seperti seorang manusia, serta memiliki kekayaan sendiri, dapat digugat atau menggugat di depan hakim. 26 Ada beberapa teori badan hukum yang dipergunakan dalam ilmu hukum dan perundang-undangan, yurisprudensi serta doktrin untuk pembenaran atau memberi dasar hukum baik bagi adanya maupun kepribadian hukum (rechtspersoonlijkheid) badan hukum dalam sejarah perkembangan badan hukum saat ini. 27 Teori organ yang dikemukakan oleh sarjana Jerman yang bernama Otto von Gierke (1841-1921) menyatakan bahwa badan hukum itu seperti manusia, menjadi penjelmaan yang benar-benar dalam pergaulan hukum. Badan hukum itu menjadi suatu “verband personlichkeit”, yaitu suatu badan yang membentuk kehendaknya dengan perantara alat-alat atau organ-organ badan tersebut, misalnya anggotaanggotanya atau
pengurusnya seperti manusia yang mengucapkan kehendaknya
dengan perantara mulutnya atau dengan perantara tangannya jika kehendak itu ditulis di atas kertas. Apa yang diputuskan oleh organ-organ badan tersebut adalah kehendak dari badan hukum. 28 Selanjutnya, menurut teori organ, badan hukum bukanlah suatu hal yang abstrak, tetapi benar-benar ada. Badan hukum bukanlah suatu kekayaan (hak) yang tidak bersubjek, tetapi badan hukum itu merupakan suatu organisme yang riil, yang hidup dan bekerja seperti manusia biasa. Tujuan badan hukum menjadi kolektivitas, 26
Mulhadi, Hukum Perusahaan – Bentuk-Bentuk Badan Usaha Di Indonesia, (Bogor: Penerbit Ghalia Indonesia, 2010), hal. 74 27 Chidir Ali, Op. Cit., hal. 31 28 C. S. T. Kansil, Pengantar Ilmu Hukum Dan Tata Hukum Indonesia, (Jakarta: Balai Pustaka, 1986), hal. 32
Universitas Sumatera Utara
terlepas dari individu, yakni badan hukum tersebut merupakan suatu verband personlichkeit yang memiliki kehendak (gesamwille). Berfungsinya badan hukum disamakan dengan fungsi manusianya. Artinya, badan hukum tidak berbeda dengan manusia. Karena itu dapat disimpulkan bahwa tiap-tiap perkumpulan orang adalah badan hukum. 29 Dari teori organ ini kemudian timbul suatu teori yang merupakan penghalusan dari teori organ tersebut, yakni teori kenyataan yuridis (Juridische Realiteitsleer). Teori ini dikemukakan oleh sarjana Belanda, E. M. Meijers dan dianut oleh Paul Scholten. Menurut Meijers, badan hukum itu merupakan suatu realitas konkrit, riil, walaupun tidak dapat diraba, bukam khayal, tetapi suatu kenyataan yuridis. Meijers menyebut teori ini sebagai teori kenyataan yang sederhana (eenvoudige), dikarenakan teori ini menekankan bahwa hendaknya dalam mempersamakan badan hukum dengan manusia itu terbatas sampai pada bidang hukum saja. Dengan demikian, menurut teori kenyataan yuridis, badan hukum adalah wujud yang riil, sama riilnya dengan manusia dan lain-lain perikatan (verbintenis). Ini semua riil menurut hukum. 30 Badan hukum sebagai gejala kemasyarakatan adalah suatu gejala yang riil, merupakan fakta benar-benar, dalam pergaulan hukum, walaupun tidak berwujud manusia atau benda yang dibuat dari besi, kayu, dan sebagainya. Yang menjadi penting dalam pergaulan hukum ialah bahwa badan hukum mempunyai kekayaan
29 30
Ibid, hal. 33 Chidir Ali, Op. Cit., hal. 35
Universitas Sumatera Utara
yang sama sekali terpisah dari kekayaan anggotanya, yaitu dalam hal badan hukum itu merupakan suatu perusahaan/korporasi. 31 Perseroan terbatas merupakan contoh dari manusia buatan (artificial person) atau badan hukum (legal entity). Meskipun perseroan bukan manusia secara alamiah, badan hukum itu bisa bertindak sendiri melakukan perbuatan-perbuatan hukum yang diperlukan. 32 Perseroan terbatas sebagai makhluk atau subjek hukum artifisial disahkan oleh negara menjadi badan hukum memang tetap tidak bisa dilihat dan tidak dapat diraba. Namun demikian, hukum atau undang-undang memberikan kepadanya untuk menikmati semua hak yang dapat dimiliki dan dinikmati manusia atau person alamiah. Perseroan memiliki kebangsaan, tempat kedudukan di negara mana perseroan berada, perseroan mempunyai hak untuk diperlakukan dan dilindungi dengan cara yang sama dengan proses yang dibenarkan hukum. 33 Sebagai sebuah badan hukum, perseroan terbatas telah memenuhi unsur-unsur sebagai suatu badan hukum sebagaimana diatur dalam UUPT, yakni: 34 1. Memiliki pengurus dan organisasi teratur 2. Dapat melakukan perbuatan hukum (rechtshandeling) dalam hubunganhubungan hukum (rechtsbetrekking), termasuk dalam hal ini dapat digugat dan menggugat di depan pengadilan. 3. Mempunyai harta kekayaan sendiri. 4. Mempunyai hak dan kewajiban . 5. Memiliki tujuan sendiri.
31 32
Ibid, hal. 18-19 I. G. Rai Widjaya, Hukum Perusahaan Perseroan Terbatas, (Jakarta: Kesaint Blanc, 2005),
hal. 7 33 34
M. Yahya Harahap, Hukum Perseroan Terbatas, (Jakarta: Sinar Grafika, 2009), hal. 72 Mulhadi, Op. Cit., hal. 83
Universitas Sumatera Utara
Suatu perseroan terbatas, eksistensinya riil sebagai subjek hukum yang terpisah (separate legal entity) dan bebas (independent) dari pemiliknya atau pemegang sahamnya maupun dari pengurus dalam hal ini direksi perseroan terbatas. Secara terpisah dan independen perseroan terbatas melalui pengurus dapat melakukan perbuatan hukum, seperti melakukan kegiatan untuk dan atas nama perseroan terbatas membuat perjanjian, transaksi, menjual aset dan menggugat atau digugat serta dapat hidup dan bernapas sebagaimana layaknya manusia selama jangka waktu berdirinya yang ditetapkan dalam anggaran dasar belum berakhir. Walau perseroan terbatas tidak bisa dipenjarakan, akan tetapi dapat menjadi subjek perdata maupun tuntutan pidana dalam bentuk hukuman “denda”. Utang perseroan terbatas menjadi tanggung jawab mandiri dan kewajiban perseroan terbatas, dalam kedudukan dan kapasitasnya sebagai badan hukum atau entitas yang terpisah (separate entity) dan independen dari tanggung jawab pemegang saham. 35 Perseroan terbatas adalah subjek hukum yang berstatus badan hukum yang salah satu karakteristiknya adalah tanggung jawab terbatas (limited liability) bagi para pemegang saham, anggota direksi dan komisaris. Dalam hal ini, setiap perbuatan yang dilakukan oleh suatu perseroan terbatas sebagai badan hukum, hanya badan hukum itu sendiri yang bertanggung jawab. Para pemegang saham tidak bertanggung jawab, kecuali sebatas nilai saham yang dimasukkannya. Namun, dalam hal-hal tertentu terdapat pengecualian terhadap berlakunya tanggung jawab terbatas tersebut apabila terbukti terjadi hal-hal sebagai berikut: 35
M. Yahya Harahap, Op. Cit., hal. 37-38
Universitas Sumatera Utara
a. Persyaratan Perseroan sebagai badan hukum belum atau tidak terpenuhi; b. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung dengan itikad buruk memanfaatkan Perseroan untuk kepentingan pribadi; c. Pemegang saham yang bersangkutan terlibat dalam perbuatan melawan hukum yang dilakukan oleh Perseroan; atau d. Pemegang saham yang bersangkutan baik langsung maupun tidak langsung secara melawan hukum menggunakan kekayaan Perseroan, yang mengakibatkan kekayaan Perseroan menjadi tidak cukup untuk melunasi utang Perseroan. 36
Pengecualian berlakunya doktrin keterbatasan tanggung jawab pemegang saham tersebut dalam hukum perusahaan disebut dengan doktrin piercing the corporate veil. Dalam Black’s Law Dictionary, piercing the corporate veil adalah “the judicial act of imposing personal liability on otherwise immune corporate officers, directors, and shareholders for the corporation’s wrongful act”. 37 Berdasarkan pengertian tersebut, dapat diketahui bahwa piercing the corporate veil merupakan tindakan hukum untuk memaksakan pertanggungjawaban pribadi yang mengenyampingkan kekebalan pejabat perusahaan, direksi, dan pemegang saham atas kesalahan korporasi. Peraturan hukum di Indonesia yang mempunyai hubungan dengan doktrin piercing the corporate veil yaitu peraturan-peraturan mengenai hukum perusahaan, antara lain dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUHPerdata), Kitab
36
Pasal 3 ayat (2) Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007 tentang Perseroan Terbatas Henry Campbell Black, Black Law Dictionary, 8th Edition, (St. Paul Minn: West Publishing Co., 2004), hal. 1184 37
Universitas Sumatera Utara
Undang-Undang Hukum Dagang (KUHD), dan UUPT. Doktrin “piercing the corporate veil” yang diadopsi dalam UUPT selain Pasal 3 ayat (2), yaitu dalam: 38 1.
Pasal 104, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan direksi dalam hal kepailitan yang terjadi karena kesalahan atau kelalaian Direksi
2.
Pasal 115, tentang pengecualian tanggung jawab terbatas dewan komisaris dalam hal terjadi kepailitan karena kesalahan atau kelalaian dewan komisaris melakukan pengawasan terhadap pengurusan perseroan. Doktrin piercing the corporate veil juga dapat diterapkan pada perusahaan
dalam grup usaha dalam kaitannya dengan hubungan antara perusahaan induk dengan perusahaan anak. Perusahaan induk dapat dikenakan pertanggungjawaban atas tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anaknya dengan menerapkan doktrin piercing the corporate veil. Posisi perusahaan induk dalam hal ini sangatlah penting. Apabila terbukti suatu perusahaan induk memegang kontrol pada tindakan operasional perusahaan anak maka dianggap perusahaan induk tersebut juga bertanggung jawab atas aktivitas perusahaan. Berkaitan dengan pencemaran lingkungan, maka partisipasi perusahaan induk dinilai dari sejauh mana kontrol perusahaan induk terhadap kebijakan pengelolaan dan pembuangan limbah yang dilakukan perusahaan anak. 39
38
Shanti Rachmadsyah, Hukum Online: Hukum Perusahaan, dalam http://hukumonline.com/klinik/detail/lt4bf2cc7d1817b, diakses tanggal 17 Januari 2013 39 Paramita Prananingtyas, Piercing The Corporate Veil In Environmental Law Cases, A Comparation Of America And Indonesian Law, hal. 6 dalam http://eprints.undip.ac.id/20847/, diakses tanggal 17 Desember 2012
Universitas Sumatera Utara
Banyak pengadilan di negara-negara common law, terutama di Inggris dan Amerika Serikat, yang menetapkan doktrin piercing the corporate veil untuk perusahaan dalam kelompok usaha dengan memberlakukan prinsip hubungan “agency” di antara perusahaan-perusahaan dalam 1 (satu) kelompok usaha. Demikian juga sering kali (tetapi tidak selamanya) suatu perusahaan dianggap sebagai “agen” perusahaan holding-nya (perusahaan induk). 40 Korporasi dapat dikenakan pertanggungjawaban pidana berdasarkan doktrin vicarious liability dalam hal pertanggungjawaban pidana. Istilah “vicarious liability” oleh Black diartikan sebagai indirect legal responsibility, for example, the liability of an employer for the acts of an employers, or principal for torts and contracts of an agent 41
(pertanggungjawaban
hukum
secara
tidak
langsung,
misalnya,
pertanggungjawaban majikan untuk tindakan karyawan, atau atasan untuk ganti rugi dan kontrak dari agen). Pembentukan model doktrin atau ajaran vicarious liability diambil dari hukum perdata yang diterapkan ke dalam hukum pidana. Ajaran ini mengatur tentang perbuatan melawan hukum berdasarkan doctrine of respondeat superior. Menurut doctrine of respondeat superior terdapat hubungan antara master dan servant atau antara principal dan agent, berlaku maxim yang berbunyi qui facit per alium facit per
40
Munir Fuady, Doktrin-doktrin Modern Dalam Corporate Law dan Eksistensinya Dalam Hukum Indonesia, (Bandung: PT. Citra Aditya Bakti, 2002), hal. 16 41 Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 934
Universitas Sumatera Utara
se. Menurut maxim tersebut, seorang yang berbuat melalui orang lain dianggap dia sendiri yang melakukan perbuatan itu. 42 Di Amerika Serikat, terdapat suatu doktrin respondeat superior yang berlaku di tingkat federal maupun di negara-negara bagian. Doktrin ini yang memberikan dasar bagi korporasi untuk bertanggung jawab atas tindakan agen-agennya atau karyawannya (tidak peduli apa posisi agen atau pegawai tersebut dalam hirarki korporasi dan apa jenis pelanggarannya). Namun, terdapat syarat yang harus dipenuhi yaitu: 43 1. Agen tersebut bertindak dalam ruang lingkup pekerjaannya, memiliki kewenangan untuk bertindak untuk korporasi yang berkaitan dengan bisnis korporasi tertentu yang telah dilakukan secara tercela dan merupakan kejahatan pidana; 2. Agen tersebut bertindak, setidaknya sebagian dari tujuannya untuk memajukan kepentingan bisnis korporasi tersebut. Seiring waktu berlalu, selain dua syarat yang telah disebutkan di atas, pengadilan Amerika menambahkan syarat yang ketiga, yaitu tindak-tindak pidana tersebut disetujui, ditoleransikan atau disahkan oleh managemen korporasi. Syarat ini membuat
doktrin
ini
semakin
mirip
dengan
doktrin
direct
liability. 44
Pertanggungjawaban ini dilekatkan kepada korporasi dan berlaku dalam kasus perdata maupun pidana, dan tidak memandang apakah agennya hanya karyawan biasa atau pejabat korporasi tingkat tinggi. 45
42
Sutan Remy Sjahdeini, Op. Cit., hal. 84 - 97 Eli Lederman, Op. Cit., hal. 654-655; 44 Ibid, hal. 655 45 Vikramaditya S. Khanna, Corporate Crime Legislation: A Political Economic Analysis, (Boston University School of Law, Working Paper No. 03-04, 2003), hal. 5 43
Universitas Sumatera Utara
Doktrin vicarious liability yang memakai prinsip “respondeat superior” sebagai dasarnya masih mempertahankan fitur-fitur dari prinsip tersebut, yaitu menetapkan suatu pertanggungjawaban hukum terhadap seseorang atas perbuatan salah yang dilakukan oleh orang lain (the legal responsibility of one person for the wrongful acts of another).46 Pertanggungjawaban ini terjadi misalnya dalam hal perbuatanperbuatan yang dilakukan oleh orang lain dalam ruang lingkup pekerjaan atau jabatannya. Dengan demikian, walaupun seseorang tidak melakukan sendiri suatu tindak pidana dan tidak mempunyai kesalahan dalam arti yang biasa, ia masih tetap dapat dipertanggungjawabkan. 47 Pemilik korporasi dan karyawan merupakan dua entitas yang berbeda dan mandiri di dalam hukum, dan hanya salah satu dari dua entitas tersebut, yakni pemilik korporasi atau agen yang memang terlibat dalam tindakan atau pemikiran tersebut. Tetapi, berdasarkan pertimbangan dari kebijakan hukum yang berakar dari asosiasi dan hubungan atasan-bawahan yang ada di antara mereka, suatu pemikiran fiktif dapat dibentuk. Tindakan dan pemikiran dari salah seorang individual yang mengikuti perintah dari orang lain, merupakan tindakan atau pemikiran dari pemberi perintah itu sendiri. Pemikiran fiktif ini kemudian membentuk hukum bahwa
46
Barda Nawawi Arief, Perbandingan Hukum Pidana, (Jakarta: Raja Grafindo Persada, 1998), hal. 33. Lihat juga Romli Atmasasmita, Perbandingan Hukum Pidana, (Bandung: Mandar Maju, 1996), hal. 79: Persamaan antara strict liability dan vicarious liability tidak mensyaratkan adanya mens rea (unsur kesalahan). Perbedaannya, pada strict liability crimes pertanggungjawaban pidana bersifat langsung dikenakan pada pelakunya, sedangkan pada vicarious liability, pertanggungjawaban pidana bersifat tidak langsung. 47 Henny Darmayanti, Pertanggungjawaban Pidana Korporasi Terhadap Tindak Pidana Lingkungan Hidup, Tesis Program Magister Ilmu Hukum Kajian Sistem Peradilan Pidana (Semarang:Universitas Diponegoro, 2002), hal. 11
Universitas Sumatera Utara
tindakan dari seseorang akan mengikat orang lain. 48 Hal ini jugalah yang berlaku dalam hubungan antara perusahaan induk dan perusahaan anak, di mana walaupun mereka merupakan dua entitas yang berbeda dan mandiri, namun dikarenakan adanya hubungan asosiasi dan hubungan afiliasi yang ada di antara mereka, maka tindakan dari perusahaan anak akan dapat mengikat perusahaan induknya, seperti dapat dikenakannya pertanggungjawaban pidana. Perusahaan induk dapat dimintakan pertanggungjawaban pidana atas tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak dalam hal pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup dengan dasar bahwa tindak pidana tersebut tidak hanya dilakukan oleh perusahaan anak, tetapi perusahaan induk juga turut serta dalam terjadinya tindak pidana lingkungan tersebut. Hal ini dikarenakan perusahaan induk, yang juga merupakan pemegang saham dalam bisnis
perusahaan
anak
keputusan/kebijakan terhadap
dan
dapat
mempengaruhi
kegiatan perusahaan anak,
dibuatnya
suatu
dalam praktiknya
kurang/tidak melakukan dan/atau mengupayakan kebijakan atau tindak pengamanan dalam rangka mencegah dilakukannya tindak terlarang berupa tindak pidana pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup. Hal ini dapat diartikan bahwa perusahaan induk itu menerima terjadinya tindakan terlarang tersebut, sehingga perusahaan induk dapat dinyatakan bertanggung jawab atas kejadian tersebut.
48
Eli Lederman, Op. Cit., hal. 652-653
Universitas Sumatera Utara
2.
Konsep Beberapa kerangka konseptual dipandang perlu agar terdapat persamaan
persepsi dalam membaca dan memahami penulisan di dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut: a.
Perusahaan induk (parent corporation), yaitu pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-perusahaan anak dalam suatu kesatuan ekonomi. 49 Dalam Black’s Law Dictionary, parent corporation diartikan sebagai a corporation that has a controlling interest in another corporation through ownership of more than one-half the voting stock. 50
b.
Perusahaan anak (subsidiary corporation), yaitu perseroan yang mempunyai hubungan khusus dengan perseroan lainnya yang terjadi karena lebih dari lima puluh persen sahamnya dimiliki oleh perusahaan induknya; lebih dari lima puluh persen suara dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dikuasai oleh perusahaan induknya; dan atau kontrol atas jalannya perseroan, pengangkatan, dan pemberhentian direksi dan komisaris sangat dipengaruhi oleh perusahaan induknya. 51 Dalam Black’s Law Dictionary, subsidiary corporation adalah a corporation in which a parent corporation has a controlling share. 52 Berdasarkan definisi tersebut, maka dapat diketahui bahwa
49
Sulistiowati, Op. Cit., hal. 24 Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 367 51 Sulistiowati, Op. Cit., hal. 35. Lihat juga Memori Penjelasan Pasal 29 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1995 tentang Perseroan Terbatas (UUPT sebelum Undang-Undang Nomor 40 Tahun 2007). 52 Henry Campbell Black, Op. Cit., hal. 368 50
Universitas Sumatera Utara
perusahaan anak atau subsidiary merupakan sebuah perusahaan dimana perusahaan induk memiliki saham pengendali. c.
Perusahaan grup, yaitu susunan induk dan anak-perusahaan anak yang berbadan hukum mandiri yang saling terkait erat sehingga perusahaan induk memiliki kewenangan untuk menjadi pimpinan sentral yang mengendalikan dan mengoordinasikan anak-perusahaan anak bagi tercapainya tujuan kolektif perusahaan grup sebagai kesatuan ekonomi. 53
d.
Hubungan hukum, yaitu hubungan yang terjadi antara subyek hukum yang satu dengan subyek hukum lainnya dan/atau antara subyek hukum dengan obyek hukum yang terjadi dalam masyarakat dimana hubungan tersebut diatur oleh hukum dan karenanya terdapat hak dan kewajiban diantara pihak-pihak dalam hubungan hukum. 54
e.
Lingkungan hidup, yaitu kesatuan ruang dengan semua benda, daya, keadaan, dan mahluk hidup, termasuk manusia dan perilakunya, yang mempengaruhi alam itu sendiri, kelangsungan perikehidupan, dan kesejahteraan manusia serta mahluk hidup lain. 55
f.
Pencemaran lingkungan hidup adalah masuk atau dimasukkannya makhluk hidup, zat, energi, dan/atau komponen lain ke dalam lingkungan hidup oleh
53
Sulistiowati, Op. Cit., hal. 23 Hubungan Hukum, dikutip dari http://statushukum.com/hubungan-hukum.html, diakses tanggal 28 Juni 2013 55 Pasal 1 angka 1 UUPPLH 54
Universitas Sumatera Utara
kegiatan manusia sehingga melampaui baku mutu lingkungan hidup yang telah ditetapkan. 56 g.
Kerusakan lingkungan hidup adalah tindakan orang yang menimbulkan perubahan langsung atau tidak langsung terhadap sifat fisik, kimia, dan/atau hayati lingkungan hidup sehingga melampaui kriteria baku kerusakan lingkungan hidup. 57
h.
Tanggung jawab perdata adalah kewajiban kepada orang, yang karena perbuatannya telah menimbulkan kerugian, untuk mengganti kerugian yang telah ditimbulkannya terhadap orang lain. 58
i.
Pertanggungjawaban pidana adalah pertanggungjawaban setiap orang terhadap tindak pidana yang dilakukannya. 59
G.
Metode Penelitian
1.
Spesifikasi Penelitian Jenis penelitian yang dilakukan dalam penelitian ini adalah penelitian hukum
normatif. Metode penelitian normatif adalah suatu prosedur penelitian ilmiah untuk menemukan kebenaran berdasarkan logika keilmuan hukum dari sisi normatifnya. 60 Penelitian hukum normatif adalah penelitian hukum yang meletakkan hukum sebagai
56
Pasal 1 angka 14 UUPPLH Pasal 1 angka 16 UUPPLH 58 Sanditia Gumilang, Tanggung Jawab Hukum Perdata, dikutip dari http://id.scribd.com/doc/101397356/Tanggung-Jawab-Hukum-Perdata, diakses tanggal 28 Juni 2013 59 Muhammad Topan, Op. Cit., hal. 115 60 Johnny Ibrahim, Teori & Metodologi Penelitian Hukum Normatif, (Malang: Bayumedia Publishing, 2011), hal. 57 57
Universitas Sumatera Utara
sebuah bangunan sistem norma mengenai asas-asas, norma, kaidah dari peraturan perundang-undangan, putusan pengadilan, perjanjian serta doktrin (ajaran). 61 Sifat penelitian ini adalah deskriptif analisis. Pendekatan yang digunakan yaitu pendekatan yuridis terhadap undang-undang dan pendekatan konsep. 62 Penelitian ini dilakukan dengan mengolah dan menggunakan bahan hukum yang berkaitan dengan masalah “Pertanggungjawaban Perusahaan induk Terhadap Perusahaan anak Dalam Hal Terjadinya Pencemaran Dan/Atau Kerusakan Lingkungan Hidup”.
2.
Sumber Bahan Hukum Penelitian ini didasarkan pada bahan hukum yang bersumber dari tulisan-
tulisan yang berkaitan dengan tesis ini. Adapun sumber bahan hukum yang dimaksud diperoleh dari: a.
Bahan hukum primer, yaitu berbagai dokumen peraturan nasional yang tertulis, yang terdiri dari: peraturan perundang-undangan, risalah resmi, dan dokumen resmi negara yang terkait dengan pelanggaran korporasi terutama pelanggaran terhadap tindakan pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup serta bentuk tanggung jawab yang harus diberikan oleh perusahaan induk dan asasasas yang diterapkan dalam pertanggungjawaban tersebut. Dalam penelitian ini di antaranya adalah UUPT dan UUPPLH.
61
Mukti Fajar ND dan Yulianto Achmad, Dualisme Penelitian Hukum Normatif & Empiris, (Yogyakarta: Pustaka Pelajar, 2010), hal. 34 62 Bandingkan dengan Johnny Ibrahim, Op. Cit., hal. 302 dan Mukti Fajar ND dan Yulianto Acmad, Op. Cit., hal. 185.
Universitas Sumatera Utara
b.
Bahan hukum sekunder, yaitu bahan-bahan yang dapat digunakan untuk menganalisa dan memahami bahan hukum primer yang ada, seperti buku-buku, jurnal-jurnal hukum, hasil-hasil penelitian, karya tulis ilmiah, beberapa sumber dari internet yang berkaitan dengan penelitian tesis ini.
c.
Bahan hukum tersier atau bahan hukum penunjang yang mencakup bahan yang memberi petunjuk-petunjuk maupun penjelasan terhadap hukum primer dan sekunder, serta bahan-bahan primer, sekunder dan tersier (penunjang) di luar bidang hukum, misalnya kamus hukum yang dipergunakan untuk melengkapi atau menunjang data penelitian.
3.
Teknik Pengumpulan Bahan Hukum Teknik pengumpulan bahan hukum pada penelitian ini menggunakan teknik
penelitian kepustakaan (library research). Teknik penelitian kepustakaan dilakukan dengan mengumpulkan bahan hukum melalui studi kepustakaan terhadap undangundang, literatur-literatur, serta tulisan-tulisan para pakar hukum yang berkaitan dengan penelitian ini. Bahan hukum tersebut dikumpulkan dan dicatat menjadi kutipan langsung, ikhtisar dan analisis. Bahan hukum diperoleh dengan cara menginventarisasi semua undang-undang serta dokumen-dokumen lainnya yang berkaitan dengan pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup yang dilakukan oleh perusahaan anak.
Universitas Sumatera Utara
4.
Analisis Bahan Hukum Bahan hukum yang telah diperoleh selanjutnya akan disusun dan dianalisis
secara kualitatif, yakni dengan cara pemilihan teori-teori, asas-asas, norma-norma, doktrin, dan pasal-pasal di dalam undang-undang yang relevan dengan permasalahan. Selanjutnya bahan hukum yang ada diuraikan dan dianalisis sedemikian rupa sesuai dengan permasalahan yang dibahas sehingga dapat disajikan dalam penulisan yang lebih sistematis guna menjawab permasalahan yang telah dirumuskan mengenai pertanggungjawaban perusahaan induk terhadap perusahaan anak dalam hal terjadinya pencemaran dan/atau kerusakan lingkungan hidup.
Universitas Sumatera Utara