BAB I PENDAHULUAN
A. Latar Belakang Artritis
gout
merupakan
penyakit
peradangan
sendi
yang
disebabkan asam urat berlebih dalam darah (Price and Wilson, 2006). Peradangan sendi pada artritis gout akan menimbulkan serangan nyeri yang hebat pada persendian, bahkan dapat menyebabkan pasien mengalami kesulitan berjalan (Tehupeiory, et al., 2006). Serangan gout yang
berulang
ketidaknyamanan
atau dan
kekambuhan kesulitan
serangan
beraktivitas
akan bagi
menimbulkan pasien
yang
menunjukkan penurunan kualitas hidup (Roddy, et al., 2007). Hingga saat ini gout menjadi salah satu penyakit artikular yang umum ditemukan di masyarakat dengan insidensi dan prevalensi yang semakin meningkat pada dekade terakhir (Choi, et al., 2004a dan Roddy and Doherty, 2010). Insidensi gout lebih tinggi pada laki-laki dibandingkan pada wanita dan meningkat seiring pertambahan usia (Roddy dan Doherty, 2010 dan Smith, et al., 2010). Prevalensi gout yang ditemukan pada laki-laki 4 kali lebih besar dibandingkan wanita, pada usia dibawah 65 tahun (Wallace, et al., 2004). Secara keseluruhan, prevalensi gout bervariasi antara 0.03% – 15.2% dengan persentase kejadian pada lakilaki mencapai 1 – 2% (Smith, et al., 2010). Selama ini, anjuran diet yang disarankan dan banyak diterapkan di masyarakat bagi pasien hiperurisemia dan gout adalah menghindari dan membatasi makanan tinggi purin baik lauk hewani maupun sayuran. Diet tersebut merupakan salah satu manajemen yang dapat dilakukan, tapi 1
2
efektifitas diet tersebut masih harus kembali dikaji. Choi, et al. (2005b) menyajikan persentase dua mekanisme utama penyebab gout yang berkaitan dengan keseimbangan asam urat serum yaitu hanya 10% gout yang disebabkan overproduction atau asupan makanan tinggi purin yang berlebih, sedangkan 90% penyebab gout adalah underexcretion dimana terjadi penurunan pengeluaran sisa metabolisme asam urat. Jika melihat perbedaan persentase tersebut, maka manajemen underexcretion asam urat akan menjadi terapi yang membawa dampak lebih besar dibandingkan memilih terapi dalam bentuk pembatasan asupan purin. Peningkatan konsumsi vitamin C dan produk susu terutama produk susu rendah lemak yang merupakan agen urikosurik telah terbukti mampu menurunkan kadar asam urat serum dengan meningkatkan ekskresi asam urat, sehingga vitamin C dan produk susu dapat menjadi agen proteksi yang berhubungan dengan penurunan risiko dan insidensi gout (Huang, et al., 2005 dan Choi, et al., 2004a dan Choi, et al., 2009). Penelitian tersebut menjadi landasan dalam memilih diet yang dapat bekerja pada mekanisme underexcretion sehingga diharapkan dapat memberikan dampak yang lebih baik. Pada
penelitian
sebelumnya,
telah
dibuktikan
manfaat
suplementasi vitamin C dan produk susu terutama produk susu rendah lemak dalam menurunkan risiko kejadian gout dan menurunkan kadar asam urat serum pada pasien hiperurisemia maupun gout. Tapi belum ditemukan penelitian tentang pengaruh diet tersebut pada kekambuhan serangan gout. Masalah yang selanjutnya timbul dan kemudian diajukan dalam proposal ini yaitu tentang efektifitas vitamin C dan produk susu
3
sebagai agen pencegah kekambuhan serangan pada populasi pasien yang telah didiagnosis dan memiliki riwayat gout artritis. Masalah ini layak untuk diteliti karena akan memberikan manfaat bagi pasien gout yang mengalami kekambuhan atau serangan berulang. Variabel lainnya yang muncul pada penelitian ini adalah air, karena air memiliki fungsi yang dapat dimanfaat dalam manajemen gout yaitu fungsi air sebagai pelarut yang mengangkut sisa metabolisme – asam urat (Almatsier, 2009). Variabel air menjadi penting untuk diteliti karena akan memberikan pilihan terapi yang mudah dan murah bagi pasien gout yang sering mengalami kekambuhan. Penelitian sebelumnya dilakukan di populasi dengan tingkat konsumsi sumber vitamin C serta produk susu yang berbeda dengan populasi di Indonesia sehingga diperlukan adanya penelitian tentang pola konsumsi buah dan sayur sebagai sumber vitamin C dan produk susu, dan efektifitas pola tersebut dalam menurunkan kadar asam urat serum pada pasien gout di Indonesia yang ditunjukkan dengan frekuensi kejadian kekambuhan serangan gout. Penelitian akan dilakukan di Daerah Istimewa Yogyakarta dan Provinsi Bali. Dua lokasi tersebut dipilih sebagai lokasi penelitian karena merupakan kawasan dengan penduduk yang majemuk, memiliki sebaran pasien gout, serta mudah diakses. Pemilihan dua lokasi tersebut diharapkan dapat memenuhi besar minimal subjek penelitian sesuai dengan kriterian inklusi serta eksklusi penelitian.
4
B. Perumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang di atas, maka rumusan masalah pada penelitian ini yaitu “apakah pola konsumsi sumber vitamin C, produk susu, dan air dapat menjadi agen pencegah kekambuhan serangan gout?”.
C. Tujuan Penelitian a. Tujuan Umum Penelitian Mengetahui efektifitas pola konsumsi sumber vitamin C, produk susu, dan air pada pasien gout terkait dengan kekambuhan serangan gout pada populasi penelitian.
b. Tujuan Khusus Penelitian 1.
Mengetahui kebiasaan konsumsi sumber vitamin C, produk susu, dan air pada pasien gout.
2.
Mengkaji korelasi dan menentukan arah hubungan kebiasan konsumsi sumber vitamin C pada pasien gout berkaitan dengan frekuensi kekambuhan.
3.
Mengkaji korelasi dan menentukan arah hubungan kebiasan konsumsi susu dan produk susu pada pasien gout berkaitan dengan frekuensi kekambuhan.
4.
Mengkaji korelasi dan menentukan arah hubungan kebiasan konsumsi air pada pasien gout berkaitan dengan frekuensi kekambuhan.
5
D. Manfaat Penelitian Hasil penelitian ini diharapkan dapat bermanfaat untuk: 1. Memberikan pemahaman bagi peneliti mengenai hubungan pola konsumsi sumber vitamin C, produk susu, dan air dengan kekambuhan serangan gout pada populasi penelitian serta arah hubungan yang ditimbulkan. 2. Memberikan suatu clinical evidence based bagi tenaga kesehatan untuk diaplikasikan sebagai penangan dan manajemen pada pasien gout. 3. Memberikan informasi bagi masyarakat luas dalam menerapkan pola makan yang baik terutama pada kelompok risiko tinggi gout.
E. Keaslian Penelitian 1.
Choi, Hyon K., Atkinson, K., Karlson, E.W., Willet, W., Curhan, G. 2004a. Purine-Rich Food, Dairy and Protein Intake, and the Risk of Gout in Men. The New England Journal of Medicine; 350:1093-1103. Penelitian ini menggunakan rancangan Cohort longitudinal selama lebih dari 12 tahun pada 47150 subjek laki-laki tanpa riwayat gout. Peneliti melakukan penilaian hubungan antara faktor risiko diet dengan kasus baru kejadian gout. Peneliti menggunakan kuesioner untuk memastikan kriteria gout dan kuesioner food-frequency digunakan untuk menilai diet setiap empat tahun. Penelitian yang akan dilakukan selanjutnya memiliki variabel bebas yang sama dengan penelitian sebelumnya yaitu faktor diet tapi pada penelitian yang akan dilakukan telah ditentukkan diet yang spesifik yaitu pola
6
konsumsi sumber vitamin C, produk susu, dan adanya penambahan variabel berupa konsumsi air. Perbedaan lainnya ada di variabel terikat, dimana penelitian yang akan dilakukan selanjutnya tidak akan melihat pengaruh diet sebagai faktor risiko kasus baru gout, tapi pengaruh pola konsumsi pada frekuensi kekambuhan serangan gout.
2.
Choi, Hyon K., Gao, Xiang., and Curhan, Gary Curhan. 2009. Vitamin C Intake and the Risk of Gout in Men – A Prospective Study. Arch Intern Med. 2009 March 9; 169(5): 502–507. Penelitian ini menggunakan rancangan Cohort Prospective Study selama 20 tahun pada
46994
subjek
laki-laki
tanpa
riwayat
gout.
Peneliti
menggunakan kuesioner untuk memastikan kriteria gout dan kuesioner tervalidasi untuk menilai asupan vitamin C. Penelitian yang akan dilakukan selanjutnya tidak hanya menilai asupan vitamin C, tapi juga produk susu dan air. Selain itu, penelitian yang akan dilakukan memilih variabel terikat frekuensi kekambuhan serangan gout. Jadi, penelitian sebelumnya fokus pada area pencegahan gout sedangkan penelitian yang akan dilakukan memilih fokus area pencegahan kekambuhan serangan gout.
3.
Huang, Han-Yao., Appel, LawrenceJ., Choi, Michael J., Gelber, Allan C., Charleston, J., Norkus, Edward P., and Miller III, Edgar R. 2005. The Effects of Vitamin C Supplementation on Serum Concentration of Uric Acid. American Collece of Rheumatology Vol. 52, No. 6, June 2005, pp 1843 – 1847. Penelitian ini menggunakan rancangan
7
Randomized Controlled Trial dengan double-blinded placebo– controlled pada 184 orang bukan perokok. Penelitian ini bertujuan untuk membuktikan efek suplementasi vitamin C dalam menurunkan konsentrasi asam urat serum. Persamaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini yaitu topik penelitian sedangkan perbedaannya ada pada variabel bebas, variabel terikat, karena penelitian
yang
akan
dilakukan
spesifik
melihat
pengaruh
suplementasi vitamin C pada frekuensi kekambuhan serangan gout. Perbedaan lainnya yaitu rancangan penelitian yang berbeda antara penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini.
4.
Gao, X., Curhan, G., Forman, J.P., Ascherio, A., Choi, Hyon K. 2008. Vitamin C Intake and Serum Uric Acid Concentration in Men. J Rheumatol. 2008 September; 35(9): 1853 – 1858. Penelitian ini bertujuan mengkaji hubungan vitamin C dan serum asam urat pada populasi studi yaitu 1387 orang laki-laki tanpa hipertensi dan BMI < 30 kg/m2. Persamaan penelitian yang akan dilakukan dengan penelitian ini yaitu topik penelitian dan variabel bebas asupan vitamin C, sedangkan perbedaannya ada pada variabel terikat dan populasi penelitian.