1
BAB I PENDAHULUAN
1.1
Latar Belakang
Psoriasis merupakan penyakit inflamasi kulit bersifat kronis residif dengan patogenesis yang masih belum dapat dijelaskan dengan pasti hingga saat ini. Pasien dapat mengalami keluhan gatal, nyeri, dan atau penyakit kuku serta artritis yang berhubungan dengan psoriasis. Morbiditas penyakit yang cukup tinggi menimbulkan efek psikososial bagi pasien. Pasien psoriasis juga sering mendapat stigma dari masyarakat akibat kondisi kulitnya yang selanjutnya dapat mengakibatkan rendahnya kepercayaan diri dan kesulitan dalam pergaulan serta mencari pekerjaan. Kondisi demikian selain dapat menyebabkan masalah psikososial, juga dapat menimbulkan masalah sosioekonomi dan menganggu kualitas hidup pasien. Psoriasis ditandai dengan plak eritema yang ditutupi oleh skuama tebal berwarna putih keperakan. Di bawah skuama, tampak kulit eritema yang homogen, mengkilap dan tampak bintik-bintik perdarahan akibat pelebaran kapiler (tanda Auspitz). Umumnya lesi psoriasis terdistribusi secara simetris dengan predileksi terutama pada daerah siku, lutut, kulit kepala, lumbosakral, bokong, dan genitalia (Gudjonsson dan Elder, 2012). Prevalensi psoriasis bervariasi pada setiap populasi, dari 0,1% hingga 11,8%. Insiden psoriasis di Amerika Serikat mencapai 2,2% hingga 2,6%, sedangkan insiden psoriasis di Asia termasuk rendah yakni sekitar 0,4%
2
(Gudjonsson dan Elder, 2012). Data dari beberapa rumah sakit di Indonesia dari tahun 2003-2006 menunjukkan insiden psoriasis rata-rata mencapai 96 kasus atau 0,4% dari 22.070 kunjungan kasus baru (Sugito, 2008). Penelitian di RSUP Dr. Kariadi terdapat 138 kasus psoriasis (0,73%) selama kurun waktu 3 tahun (19982000). Selama rentang waktu 2003-2007 di tempat yang sama terdapat 198 kasus (0,97%) (Budiastuti dkk., 2009). Sebuah penelitian yang dilakukan di RSUP H. Adam Malik Medan, berdasarkan data yang diperoleh dari rekam medis selama periode Januari – Desember 2010, dari total 3.230 orang yang berobat ke Poliklinik Kulit dan Kelamin, 34 pasien (1,05%) diantaranya merupakan pasien psoriasis. Dari jumlah tersebut 16 pasien (47,1%) berjenis kelamin laki-laki dan 18 (52,9%) berjenis kelamin perempuan (Natali, 2013). Distribusi psoriasis seimbang antara laki-laki dan perempuan, dan paling sering muncul pertama kali antara usia 15-25 tahun (Kuchekar dkk., 2011). Puncak terjadinya psoriasis biasanya pada usia 30-39 dan 60-69 tahun (Parisi dkk., 2013). Patogenesis psoriasis bersifat kompleks, dan belum dipahami sepenuhnya. Psoriasis dikaitkan dengan faktor genetik, defek imunitas, hormon, dan faktor lingkungan. Hiperproliferasi keratinosit dan diferensiasi abnormal, infiltrasi limfosit disertai dengan perubahan vaskularisasi di dermis merupakan gambaran patologis khas pada psoriasis. Limfosit T, sitokin, dan kemokin berperan penting pada psoriasis (Krueger dan Ellis, 2005). Faktor hormonal saat ini banyak dikaitkan dengan patogenesis terjadinya psoriasis. (Keen dan Hassan, 2014). Psoriasis dilaporkan semakin parah pada saat terjadi perubahan hormonal. Saat kehamilan, psoriasis cenderung stabil pada sebagian besar pasien psoriasis, namun
3
cenderung memburuk selama periode awal postpartum yang menggambarkan kondisi hiperprolaktinemia yang berhubungan dengan menyusui. (Murase dkk., 2005; Keen dan Hassan, 2014). Salah satu hormon yang terlibat dalam patogenesis psoriasis adalah prolaktin. Prolaktin merupakan suatu hormon yang terutama dihasilkan oleh hipofisis anterior, meskipun dapat juga dihasilkan di luar hipofisis. Terdapat hipotesis bahwa prolaktin dapat memodulasi sistem imunitas kulit dan mungkin terlibat dalam patogenesis psoriasis. Reseptor prolaktin fungsional terdeteksi pada keratinosit epidermal dan prolaktin dapat meningkatkan proliferasi keratinosit pada penelitian in vitro (Azizzadeh dkk., 2009; Kanda dkk., 2013). Sistem imunitas dan neuroendokrin saling berhubungan erat dan berkomunikasi dua arah. Hubungan antara prolaktin dan sistem imunitas telah ditunjukkan dalam dua dekade terakhir yang membuka cakrawala dalam bidang imunoendokrinologi. Prolaktin tidak hanya disekresi oleh kelenjar hipofisis anterior namun juga pada lokasi di luar hipofisis seperti sel imun. Reseptor prolaktin dapat ditemukan pada banyak jenis sel, seperti monosit dan limfosit (Jara dkk., 2011). Oleh karena itu, selain fungsi utama prolaktin yakni dalam mengatur pertumbuhan dan diferensiasi kelanjar mamae dan ovarium, prolaktin juga
berperan
penting
dalam
respon
imun
alamiah
dan
adaptif.
Hiperprolaktinemia dilaporkan terjadi pada beberapa kondisi autoimun seperti lupus eritematosus sistemik (LES), artritis reumatoid, sklerosis sistemik, psoriasis, diabetes melitus tipe 1, penyakit Addison dan penyakit tiroid autoimun. Prolaktin
4
dapat meningkatkan sintesis interferon-γ (IFN-γ) dan interleukin-2 (IL-2) oleh limfosit Thelper 1 (Th1) (De Bellis dkk., 2005). Sejumlah penelitian menunjukkan terdapat peningkatan kadar prolaktin serum pada pasien psoriasis dibandingkan dengan populasi normal. Penelitian pertama yang dilakukan oleh Giasuddin dkk. (1998) melaporkan terdapat peningkatan kadar prolaktin yang signifikan pada pasien psoriasis dibandingkan dengan pasien dermatitis atopik dan subjek normal. Hasil yang sama juga dilaporkan oleh beberapa penelitian berikutnya (Giasuddin dkk., 1998). Kato dkk. (2012) melaporkan kadar prolaktin serum lebih tinggi secara signifikan pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kontrol dan terdapat penurunan kadar prolaktin setelah pengobatan. Korelasi positif yang signifikan juga ditemukan antara kadar prolaktin serum dan derajat keparahan psoriasis sebelum dan sesudah pengobatan (Kato dkk., 2012). Keen dan Hassan juga melaporkan kadar prolaktin serum lebih tinggi pada pasien psoriasis dibandingkan dengan kelompok kontrol (Keen dan Hassan, 2014). Gorpelioglu dkk. (2008) meneliti kadar prolaktin pada 39 pasien dengan psoriasis dan membandingkannya dengan 36 orang kontrol. Pada penelitian ini tidak ditemukan perbedaan yang signifikan pada kadar prolaktin serum antara pasien dan kontrol serta tidak ditemukan korelasi antara skor Psoriasis Area and Severity Index (PASI) dan kadar prolaktin (Gorpelioglu dkk., 2008). Adanya bukti peranan prolaktin pada patogenesis psoriasis dapat menjadi salah satu sasaran terapi. Terdapat laporan mengenai perburukan psoriasis pada
5
kondisi prolaktinoma dan pemberian terapi dengan bromokriptin dapat memperbaiki lesi psoriasis (Sanchez dan Umbert, 2000). Berdasarkan paparan tersebut di atas, dapat disimpulkan bahwa penelitian mengenai kadar prolaktin pada penderita psoriasis dan hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis masih kontroversi. Oleh karena adanya perbedaan tersebut, perlu dilakukan penelitian mengenai kadar prolaktin dan hubungannya dengan derajat keparahan psoriasis.
1.2
Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang tersebut, maka dapat dirumuskan masalah sebagai berikut: 1. Apakah kadar prolaktin plasma pada subyek psoriasis vulgaris lebih tinggi dibandingkan dengan subyek bukan psoriasis vulgaris? 2. Apakah terdapat korelasi positif antara kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris?
1.3
Tujuan Penelitian
1.3.1 Tujuan Umum Mengetahui hubungan antara kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan pada subyek psoriasis vulgaris. 1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui adanya perbedaan kadar prolaktin plasma antara subyek psoriasis vulgaris dengan subyek bukan psoriasis vulgaris.
6
2. Untuk mengetahui adanya korelasi positif antara kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan psoriasis pada subyek psoriasis vulgaris.
1.4
Manfaat Penelitian
1.4.1
Manfaat Teoritis Dapat menjelaskan tentang peran prolaktin plasma yang dihubungkan dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris dan peran prolaktin dalam patogenesis psoriasis vulgaris.
1.4.2
Manfaat Praktis Dengan mengetahui korelasi kadar prolaktin plasma dengan derajat keparahan psoriasis vulgaris, maka kadar prolaktin plasma dapat digunakan sebagai bahan pertimbangan untuk menilai derajat keparahan psoriasis vulgaris.