BAB I PENDAHULUAN
1.A. Latar Belakang Penelitian Penyekat beta merupakan salah satu terapi medikamentosa pada pasien penyakit jantung koroner (PJK). Penggunaan penyekat beta diindikasikan pada semua pasien pasca infark miokard atau gagal jantung akibat PJK (kelas rekomendasi 1b) oleh European Society of Cardiology (ESC) (Montalescot et al., 2013). Penggunaan penyekat beta pada pasien PJK stabil juga disarankan untuk mengurangi kejadian kardiovaskular mayor (KKM) pada pasien PJK (kelas rekomendasi IIb). Jenis penyekat beta yang disarankan penggunaanya pada pasien dengan PJK adalah metoprolol, bisoprolol, nebivolol dan carvedilol (Montalescot et al., 2013). Bisoprolol termasuk penyekat beta 1 selektif yang masuk dalam rekomendasi ESC untuk diberikan pada pasien PJK. Berdasarkan studi Cardiac Insuficiency Bisoprolol Study II (CIBIS II) penggunaan bisoprolol dapat menurunkan angka kematian dan rehospitalisasi sebesar 34% dan 28%. Studi CIBIS II mendasari rekomendasi ESC untuk penggunaan bisoprolol pada pasien PJK (Montalescot et al., 2013). Penggunaan bisoprolol diduga dapat menyebabkan gangguan fungsi ereksi sebagai efek samping mayor (Baumhakel et al., 2011). Bisoprolol dapat menyebabkan gangguan pelepasan testosteron oleh sel Leydig dikarenakan sel 1
Leydig memiliki reseptor beta 1 yang ikut berperan dalam sekresi testosteron. Testosteron berfungsi untuk stimulasi seksual serta proses inisiasi dari ereksi sehingga gangguan pelepasan testosteron dapat menyebabkan gangguan fungsi ereksi (Fazio et al., 2004) Disfungsi Ereksi (DE) adalah ketidakmampuan yang bersifat rekuren atau menetap untuk mendapatkan atau mempertahankan ereksi dalam rangka mencapai kepuasan dalam hubungan seksual (Feldmann et al., 1994). Diperkirakan bahwa hampir setengah laki-laki yang berusia lebih dari 30 tahun menderita DE dengan berbagai derajat keparahan (Fung et al., 2007). Prevalensi DE meningkat menjadi 85 % pada laki laki usia lebih dari 80 tahun. (Magdy et al.,2001). Aterosklerosis merupakan suatu penyakit sistemik, sehingga cukup beralasan untuk terjadinya aterosklerosis pada pembuluh darah penis dan menyebabkan DE pada pasien PJK. Pada penelitian yang dilakukan oleh Montorsi, angka kejadian DE pada penderita PJK cukup tinggi, berkisar antara 42% sampai dengan 57% (Montorsi et al., 2003). Pemakaian bisoprolol pada penderita PJK diduga dapat meningkatkan prevalensi terjadinya disfungsi ereksi (Baumhakel et al., 2011). Disfungsi ereksi berhubungan erat dengan PJK dimana keduanya berdasarkan pada proses patologis yang sama, yaitu adanya disfungsi endotel (Montorsi et al., 2003). Faktor risiko lain yang berhubungan dengan terjadinya DE adalah proses penuaan, merokok, diabetes mellitus, hiperkolesterolemia, hipertensi, obesitas, gangguan hormonal, riwayat trauma daerah pelvik, medikasi, serta kondisi psikologis ( Hodges et al., 2010).
2
Beberapa faktor yang dihipotesiskan sebagai jalur mekanisme terjadinya DE antara lain faktor psikogenik, neurogenik, endokrinologik, vasogenik dan perubahan anatomis. Gangguan depresi mayor berhubungan dengan penurunan libido, DE dan penurunan aktivitas seksual (Seidman dan Roose, 2000). Hal ini dibuktikan dengan hilangnya kemampuan pembesaran penis saat malam hari yang akan kembali normal setelah penanganan depresi (Steiger et al., 1993). Pada penelitian Massachusetts Male Aging Study, laki-laki dengan depresi memiliki hampir dua kali lipat kecenderungan untuk terjadinya DE derajat sedang maupun DE komplit jika dibandingkan dengan populasi yang tidak menderita depresi (Araujo et al., 1998). Faktor neurogenik sebagai penyebab DE erat hubungannya dengan adanya penyakit lain yang mengganggu anatomis maupun fungsional dari organ pengatur mekanisme ereksi di otak dan spinal. Adanya penyakit parkinson, stroke, encephalitis dan epilepsi lobus temporal dihubungkan dengan peningkatan kejadian DE. Gangguan neurogenik diduga menyebabkan gangguan dalam system parasimpatis yang pada akhirnya menghambat proses ereksi (Tserstvadze et al., 2009). Keadaan lain meliputi trauma kepala maupun spinal. Faktor neurogenik erat kaitannya dengan adanya gangguan pada mekanisme otonomik parasimpatis yang dapat terjadi pada kondisi tersebut (Tserstvadze et al., 2009).
3
I.B. Masalah Penelitian Sel Leydig memiliki reseptor katekolamin yang berfungsi untuk mengatur pelepasan hormon testosteron. Reseptor katekolamin di dalam sel leydig terdiri dari 25 % reseptor β1 dan 75 % reseptor β2 sehingga hambatan pada reseptor tersebut oleh bisoprolol mengakibatkan gangguan fungsi pelepasan hormon testosteron yang pada akhirnya menimbulkan gangguan fungsi seksual (Boydak et al., 2005). Bisoprolol termasuk ke dalam penyekat β1 selektif sehingga diduga bisoprolol masih mensupresi pelepasan hormon testosteron oleh sel Leydig. Beberapa penelitian yang dimulai sejak dekade 1980 menunjukkan hasil yang berbeda-beda dalam penggunaan penyekat beta baik selektif maupun nonselektif yang mempengaruhi fungsi ereksi. Pada studi-studi tersebut, DE bukan merupakan tujuan utama dari penelitian, hanya berdasarkan pada laporan pasien (Baumhakel et al., 2011). Bisoprolol merupakan senyawa penyekat beta 1 selektif yang memiliki efek samping terhadap pelepasan hormon testosteron oleh sel Leydig. Hingga saat ini penelitian tentang efek samping penggunaan bisoprolol terhadap DE terutama pada pasien PJK stabil belum banyak dilakukan. 1.C. Pertanyaan Penelitian Pertanyaan yang muncul berdasarkan perumusan masalah sebelumnya yaitu adakah pengaruh terapi bisoprolol terhadap risiko terjadinya DE pada penderita PJK stabil.
4
I.D. Tujuan Penelitian Penelitian ini bertujuan untuk menilai pengaruh terapi bisoprolol terhadap risiko terjadinya DE pada penderita PJK stabil. I.E. Keaslian Penelitian Penelitian tentang efek samping pemberian bisoprolol terhadap risiko terjadinya DE pada pasien PJK belum banyak dilakukan sebelumnya. Sebagian besar penelitian mengenai efek samping pemberian bisoprolol dan penyekat beta lainnya dilakukan pada pasien hipertensi. Suatu studi klinis acak terandomisasi dilakukan terhadap 13 pasien hipertensi untuk menilai respon terapi bisoprolol sebagai antihipertensi. Pada penelitian tersebut disfungsi ereksi turut dianalisis sebagai keluaran sekunder. Bisoprolol tidak memiliki efek samping yang signikan terhadap disfungsi ereksi yang dinilai dengan penurunan skor IIEF antara kelompok dengan bisoprolol dan tanpa bisoprolol ( 5.7% vs 6.13% ; p= 0.57) (Broekman et al., 1992). Suatu studi cross sectional meneliti tentang prevalensi kejadian disfungsi ereksi diakibatkan penggunaan berbagai macam penyekat beta dan salah satunya adalah bisoprolol. Prevalensi kejadian disfungsi ereksi akibat penggunaan bisoprolol tersebut dilaporkan sekitar 31-35%. Terdapat perbedaan signifikan antara skor IIEF pada penggunaan bisoprolol dibandingkan dengan nebivolol (21 vs 25; p < 0,01) (Cordero et al., 2010). Montorsi et al melakukan suatu studi kasus kontrol retrospektif di tahun 2003 pada pasien PJK dengan DE. Prevalensi kejadian DE pada PJK dilaporkan sebesar 67% . Pada penelitian tersebut terdapat perbedaan signifikan pemakaian 5
peyekat beta pada kelompok multi vessel dibandingkan single vessel PJK ( 48.5 % vs 20 % ; p<0,001). Pada tahun 2007 dilakukan studi acak terandomisasi terhadap 50 pasien dengan hipertensi yang bertujuan untuk menilai perbandingan efek antihipertensi dari metoprolol dan nebivolol. Studi tersebut juga menganalisis efek metoprolol dan nebivolol terhadap fungsi ereksi dengan mengamati efek pemberian kedua jenis penyekat beta tersebut. Penilaian fungsi ereksi terebut dilakukan dengan kousioner International Index of Erectille Function (IIEF) selama 6 bulan. Metoprolol terbukti memiliki efek penurunan skor IIEF yang signifikan secara statistik dibandingkan dengan nebivolol ( 10.3 % vs 3.1 %; p<0,05) (Brixius et al., 2007). Studi klinis acak terandomisasi ganda tentang perbandingan efek penyekat beta selektif lain (atenolol) dengan angiotensin receptor blocker (ARB) terhadap 107 pasien hipertensi, dilakukan selama 3-6 bulan pada tahun 2002. Atenolol menurunkan rerata frekuensi hubungan seksual (6 kali/bulan menjadi 4.2 kali/bulan; p<0,01) dan kadar testosteron (18.2 nmol menjadi 13.8 nmol; p<0,01) secara signifikan sedangkan valsatan tidak menyebabkan penurunan frekuensi hubungan seksual (5.8 kali /bulan menjadi 7.04 kali / bulan; p=0.058) (Fogari et al., 2002). Penelitian
kohort
mengenai
pemberian
berbagai
macam
terapi
medikamentosa terhadap 2510 pasien hipertensi dan disfungsi ereksi dilakukan pada tahun 2006. Resiko relatif (RR) terjadinya DE pada pasien yang mendapat terapi medikamentosa seperti penyekat beta (RR 1.97; 95 % CI 0,9-3,2) , penyekat kanal kalsium (RR 1,6; 95% CI 1-2,4) dan diuretik (RR 1,3; 95 % CI 0,7-2,4) 6
lebih tinggi dibandingkan dengan yang mendapat ACE I (RR 0,9; 95 % CI 0,6-1,9) (Shiri et al., 2007). I.F. Manfaat Penelitian Penelitian ini diharapkan dapat menambah wawasan pengetahuan mengenai pengaruh pemberian bisoprolol terhadap resiko terjadinya DE pada penderita PJK stabil dalam bidang keilmuan dan pelayanan kesehatan. Hasil penelitian ini diharapkan dapat membantu memberikan pertimbangan terapi bisoprolol pada pasien PJK terutama terhadap risiko DE.
7
8