1
BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Kanker serviks merupakan salah satu keganasan pada wanita yang sering menimbulkan kematian sehingga kanker serviks menjadi hal yang menakutkan bagi kaum wanita. Biasanya pada stadium awal kanker seviks tidak menimbulkan gejala, sehingga penderita sering kali berobat setelah penyakit tersebut mencapai stadium lanjut dengan gejala klinis yang lebih jelas. Ketika kanker tersebut mencapai stadium lanjut maka penanganan pasien menjadi lebih sulit dan prognosisnya menjadi lebih buruk. Kanker serviks masih menjadi penyebab kesakitan dan kematian di seluruh dunia dan merupakan kanker ke-2 terbanyak yang terjadi pada wanita (Volgareva et al., 2004; Skiba et al., 2006). Diperkirakan terdapat 500.000 kasus baru tiap tahun dan sekitar 350 pasien meninggal oleh karena penyakit ini (Skiba et al., 2006); dan lebih dari 190.000 wanita ini berasal dari negara yang sedang berkembang seperti di Amerika Selatan, sub-Saharan Africa dan Far East (Wells et al., 2003; Hwang dan Shroyer, 2006). Berdasarkan data registrasi kanker berbasis patologi pada tahun 2006 di Denpasar, terdapat 250 kasus kanker serviks yang menduduki peringkat pertama kanker terbanyak pada wanita. Pada tahun 2007 terdapat 226 kasus kanker serviks dan merupakan kanker kedua terbanyak pada wanita setelah kanker payudara, dan pada tahun 2008, jumlah
1
2
kasus meningkat menjadi 270 dan menduduki peringkat kedua terbanyak setelah kanker payudara (Susanti, 2006; Susanti, 2007; Susanti, 2008). Faktor penyebab utama kanker serviks adalah infeksi human papillomavirus (HPV) yang ditularkan melalui hubungan seksual (Wells et al., 2003; Tjalma et al., 2005, Nam et al., 2008). Infeksi HPV dideteksi pada seluruh lesi preneoplastik (cervical intraepithelial neoplasia, CIN) maupun neoplastik pada serviks uteri. Cervical intraepithelial neoplasia (CIN) adalah spektrum dari lesi servikal yang mewakili lesi prekursor dari squamous cell carcinoma yang dikategorikan menjadi cervical intraepithelial neoplasia 1 (CIN1), cervical intraepithelial neoplasia 2 (CIN2) dan cervical intraepithelial neoplasia 3 (CIN3) (Wells et al., 2003). Terminologi lesi prekursor/preneoplastik untuk kanker serviks adalah sebagai berikut: klasifikasi yang lama membaginya menjadi 3 yaitu mild dysplasia, moderate dysplasia, severe dysplasia; menurut klasifikasi WHO, dibagi menjadi: CIN1, CIN2, CIN3; sedangkan menurut Bethesda system dibagi menjadi low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL) yang sebanding dengan mild dysplasia/CIN1, high-grade squamous intraepithelial lesion yang sebanding dengan moderate dysplasia/CIN2 dan severe dysplasia/CIN3 (Wright et al., 2011) Tumor pada serviks uteri diklasifikasikan berdasarkan WHO menjadi epithelial tumours, mesenchymal tumours, mixed epithelial and mesechymal tumours,
melanocytic
tumours,
miscellanous
tumours,
lymphoid
and
haematopoietic tumours dan secondary tumours. Tumor epitel yang paling sering adalah Squamous cell carcinoma (SCC), merupakan karsinoma invasif
3
yang melewati membrana basalis yang tersusun atas sel-sel epitel skuamus dengan derajat diferensiasi yang bervariasi (wells et al., 2003). Human papillomavirus berkontribusi dalam perkembangan lesi neoplastik melalui onkoprotein virus yang disebut dengan E6 dan E7. Onkogen E6 dan E7 dari HPV memainkan peran yang penting dalam perbedaan potensial onkogenik masing-masing subtype HPV pada karsinogenesis serviks uteri (Jedpiyawongse et al., 2008). Onkoprotein yang disandikan oleh gen E6 dan E7 memiliki kemampuan mengikat protein pengatur sel host, khususnya produk dari tumor suppressor gene p53 dan protein retinoblastoma (pRB) yang terhipofosforilasi. Perubahan ini menyebabkan degradasi p53 oleh onkoprotein E6 dan inaktifasi fungsi pRB oleh produk gen E7 (Doorbar, 2006; Jedpiyawongse et al., 2008; Khan dan Singer, 2008). Inaktivasi pRB oleh protein E7 dari HPV dapat menyebabkan upregulation P16INK4a pada lesi servikal (Khan dan Singer, 2008). Ekspresi P16INK4a tersebut mencetuskan kontrol feedback negatif terhadap pRB sehingga meningkatkan kadar P16INK4a yang biasanya akan menghambat fosforilasi pRB dan memblok pelepasan elongation 2 factor (E2F) (Andersson et al., 2006; Khan dan Singer, 2008). Meskipun demikian P16INK4a ini tidak dapat menetralkan pelepasan E2F yang diperantarai oleh E7 dari HPV, sehingga terdapat akumulasi yang berlebihan dari protein P16INK4a yang tidak efektif pada sel. Gangguan pengaturan jalur siklus sel pRB-P16INK4a menghasilkan proliferasi sel yang tidak terbatas yang pada akhirnya berkontribusi terhadap transformasi sel ke arah keganasan (Khan dan Singer, 2008).
4
Protein P16INK4a merupakan produk gen dari CDKN2A, suatu protein tumor supressor yang menghambat cyclin-dependent kinase(CDK) 4 dan 6. Protein P16INK4a secara normal bekerja sebagai down regulator proliferasi sel, menjaga ikatan pRB dengan E2F dengan menghambat fosforilasi pRB yang diinduksi oleh CDK, sehingga mencegah aktivasi transkripsi sel (Doorbar, 2006; Anderson et al., 2008; Khan dan Singer, 2008; Nam et al., 2008), tetapi efek penghambatan ini tidak efektif pada konteks proliferasi sel yang diinfeksi oleh high-risk HPV (Anderson et al., 2006). Ekspresi P16INK4a berkaitan dengan derajat displasia serviks uteri, namun terdapat perbedaan data yang berkaitan dengan ekspresi p16INK4a pada lesi CIN dan pada karsinoma serviks uteri, namun sebagian besar penelitian tersebut memberikan kesimpulan yang relatif sama, seperti penelitian yang dilakukan oleh Volgareva dan kawan-kawan bahwa overekspresi P16INK4a adalah typical untuk lesi CIN dan SCC serviks uteri; namun P16INK4a bisa tidak terekspresi pada lesi CIN dan SCC (Volgareva et al., 2004). Penelitian yang dilakukan oleh Dordevic dan Zivkovic menyimpulan bahwa p16 mungkin bisa digunakan sebagai biomarker yang sensitif untuk CIN2/CIN3 (Dordevic dan Zivkovic, 2011). Kim et al.(2011) mengatakan bahwa peningkatan ekspresi P16INK4a berhubungan dengan progresi lesi-lesi servikal (CIN: CIN1, CIN2, CIN3)
sehingga
P16INK4a
bisa
digunakan
sebagai
biomarker
untuk
mendiagnosa perkembangan lesi servikal (CIN) (Kim et al., 2011). Upregulation p16INK4a pada lesi serviks merupakan konsekuensi dari infeksi high-risk HPV (Khan dan Singer, 2008). P16INK4a mungkin bisa
5
dijadikan sebagai biomarker yang sensitif dan spesifik untuk lesi CIN 2/CIN 3 dan invasive cell carcinoma (ICC, terutama SCC) (Lesnikova et al., 2009; Mucuta et al, 2010; Dordevic dan Zvkovic, 2011), dan juga bisa digunakan sebagai marker pengganti untuk infeksi HPV. Jadi analisis imunohistokima ekspresi p16INK4a sangat berguna, karena ekspresinya berhubungan dengan derajat displasia histologi, yang menunjukkan bahwa P16INK4a mungkin memiliki nilai prognostik dan prediktif dalam penatalaksanaan neoplasia serviks uteri (Lesnikova et al., 2009). Interpretasi pulasan P16INK4a dipertimbangkan positif ketika warna coklat terlihat pada nukleus dan sitoplasma. Dua parameter yang dievaluasi adalah persentase sel yang tercat positif dengan P16INK4a dan reaksi intensitasnya. Persentase sel-sel yang tercat positif dievaluasi pada area dengan ekspresi yang tertinggi dan di-grading sebagai berikut: grade 0: negatif, tidak ada sel yang tercat; grade 1: sel yang positif >0-10%; grade 2: sel yang positif >10-50%; grade 3; sel yang positif >50-80%; grade 4: sel yang positif >80%. Reaksi intensitasnya diskor sebagai berikut: 0: negatif; 1: lemah; 2: sedang; 3: kuat (Izadi-Mood et al., 2012). Skor imunohistokimia dibuat dengan mengalikan skor intensitas dan grade. Dari literatur disebutkan bahwa lesi displastik sebagian akan mengalami regresi sebagian akan progresif dan berkembang menjadi kanker tergantung dari derajat displasia, respon imun masing-masing individu dan tipe HPV yang menginfeksi. Para peneliti menyimpulkan bahwa pada CIN1, CIN2, dan CIN3 terjadi regeresi spontan berturut-turut yaitu 57%, 43%, dan 32%. Keadaan
6
persisten terjadi berturut-turut yaitu pada CIN1 32%, CIN2 35%, dan CIN3 56%. Hanya 1% lesi CIN1 dan 5% lesi CIN2 tetapi lebih dari 12% lesi CIN3 yang akan progresif menjadi kanker serviks yang invasif. Jadi ketepatan diagnosis dalam menentukan derajat CIN/derajat displasia akan mempengaruhi penanganan dan prognosis pasien (Wright, 2006). Dalam praktek sehari-hari, di laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah pada kasus-kasus karsinoma serviks uteri terdapat berbagai tingkatan lesi prekursor/pre-malignan yaitu CIN1, CIN2, CIN3 yang menyertai lesi invasif. Sementara pada sampling biopsi hanya sebagian kecil lesi yang terambil, bahkan hanya epitel permukaana saja tanpa stroma jaringan ikat subepitel sehingga belum tentu mendapatkan bagian jaringan yang mengalami perubahan morfologi yang berat yang menunjukkan gambaran displasia maupun proses invasif. Menurut Kalof dan Cooper, penatalaksanaan lesi CIN walaupun tergantung dari banyak faktor termasuk usia pasien, paritas, dan ukuran lesi, tetapi konfirmasi CIN dari pemeriksaan histopatologi juga sangat menentukan tindakan selanjutnya bagi klinis (Kalof dan Cooper, 2007). Penilaian perubahan histomorfologi/diagnosis histologi sering menimbulkan kesulitan dan ketidaksepakatan diantara ahli patologi dengan hanya pewarnaan Hematoxilin dan Eosin (H&E) saja. Hal tersebut di atas sesuai seperti yang dinyatakan oleh Klaes dan kawan-kawan dalam penelitiannya bahwa terdapat ketidaksesuaian dalam interpretasi diagnostik menggunakan pewarnaan H&E khususnya untuk lesi yang low grade, nilai kappanya adalah 0,60; sedangkan dengan menggunakan P16INK4a terdapat kesepakatan yang lebih baik secara
7
signifikan dalam interpretasi derajat displasia serviks uteri, nilai kappanya menjadi 0,91 (Klaes et al., 2002). Horn dan kawan-kawan. juga menyatakan hal yang sama bahwa terdapat peningkatan kesepakatan dalam diagnosis derajat displasia serviks uteri dengan menggunakan p16INK4a yaitu nilai kappanya meningkat dari 0,49 menjadi 0,64 (Horn et al., 2008). Penilaian lesi displastik yang low grade (CIN1), sulit menentukan apakah lesi tersebut akan progresif atau regresi, bila dilihat dengan hanya pewarnaan H&E saja. Menurut Kalof dan Cooper bahwa LSIL (CIN1) bisa memberikan gambaran ekspresi P16INK4a yang lebih tinggi yang mungkin menujukkan lesi yang progresif, namun tidak terekspresinya P16INK4a belum menyingkirkan adanya lesi CIN (Kalof dan Cooper, 2007). Berdasarkan hal tersebut diatas bahwa terdapat kesulitan diagnosis konvensional dalam menentukan berbagai derajat displasia serviks uteri dan kesulitan dalam menentukan lesi yang progresif dengan yang regresi, maka perlu dilakukan penelitian dengan menggunakan pulasan imunohistokimia P16INK4a yang bertujuan untuk mengetahui perbedaan skor ekspresinya pada berbagai derajat displasia (CIN1, CIN2, CIN3) dan SCC serviks uteri, serta membuktikan bahwa skor ekspresi protein P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, CIN3 yang menegaskan proses karsinogenesis karsinoma serviks uteri yang berkaitan dengan infeksi HPV. Nilai pemeriksaan tersebut bermanfaat dalam memberikan informasi tambahan kepada klinisi sehingga penatalaksanaan pasien menjadi lebih tepat dan juga dapat digunakan
8
sebagai salah satu parameter untuk memprediksi perangai biologik lesi CIN serta lebih memudahkan identifikasi lesi CIN1, CIN2, CIN3 pada spesimen histologi.
1.2. Rumusan Masalah 1. Apakah rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN1? 2. Apakah rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN2? 3. Apakah rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN3? 4. Apakah terdapat perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri? 5. Apakah rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, dan CIN3?
1.3 Tujuan Penelitian 1.3.1 Tujuan Umum Untuk mengetahui perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a pada CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri serta membuktikan bahwa rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, CIN3.
9
1.3.2 Tujuan Khusus 1. Untuk mengetahui bahwa rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN1. 2. Untuk mengetahui bahwa rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN2. 3. Untuk mengetahui bahwa rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN3. 4. Untuk mengetahui perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri. 5. Untuk membuktikan bahwa rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, dan CIN3.
1.4 Manfaat Penelitian 1. Memberikan informasi data epidemiologi tentang ekspresi P16INK4a pada berbagai derajat displasia (CIN1, CIN2, CIN3) dan SCC serviks uteri. 2. Memberikan informasi tambahan kepada klinisi sehingga penanganan pasien menjadi lebih tepat sesuai dengan protap RSUP Sanglah Denpasar 3. Mendapatkan metode /tehnik alternatif sehingga lebih memudahkan dalam mendiagnosis berbagai derajat displasia serviks uteri.
10
BAB II KAJIAN PUSTAKA
2.1 Siklus Sel Pada jaringan dewasa, ukuran proliferasi sel ditentukan oleh kecepatan proliferasi, diferensiasi, dan kematian oleh apoptosis. Apoptosis merupakan proses fisiologi yang diperlukan untuk homeostasis jaringan, namun dapat juga dirangsang oleh berbagai stimuli patologik. Pada jaringan yang normal selalu terdapat keseimbangan homeostasis antara proliferasi stem sel, diferensiasisnya, dan kematian sel-sel yang matur (Kumar et al., 2008). Proliferasi sel sebagian besar dikontrol oleh sinyal (baik terlarut maupun kontak) dari microenvironment yang bisa menstimuli maupun menghambat proliferasi sel. Stimulator proliferasi yang berlebihan atau berkurangnya faktor yang menghambat pertumbuhan menyebabkan pertumbuhan yang berlebihan atau pertumbuhan yang tidak terkontrol sehingga menimbulkan kanker. Mekanisme pertumbuhan yang paling penting adalah perubahan sel-sel yang dalam keadaan istirahat atau quiescent cells ke sel yang berproliferasi dengan membuat sel tersebut memasuki siklus sel (Kumar et al., 2008). Proliferasi sel merupakan siklus pembelahan sel, dimana sel tersebut tumbuh, mereplikasi DNA-nya, dan kemudian membagi menjadi dua sel anak (Garrett,2001). Proses siklus sel ini terbagi menjadi 4 fase yaitu G1(presintesis), S(sintesis DNA), G2(premitosis), M(mitosis) (Garrett, 2001; Kumar et al., 2008). Quiescent cells dalam keadaan fisiologik disebut G0. Jaringan tubuh dibagi 10
11
menjadi tiga kelompok berdasarkan aktifitas proliferasinya, yaitu: 1) jaringan labil yang terus-menerus membelah. Sel-sel ini berproliferasi sepanjang hidupnya untuk menggantikan sel-sel yang rusak. Jaringan ini meliputi sel-sel epitel permukaan seperti epitel squamous bertingkat pada kulit, rongga mulut, vagina dan serviks; mukosa yang melapisi duktus ekskretori kelenjar-kelenjar pada tubuh (seperti salivary gland, pancreas, biliary tract); epitel columnar pada traktus gastrointestinal dan uterus; epitel transisional pada traktus urinarius dan sel-sel pada bone marrow dan jaringan hematopoietik, 2) jaringan stabil (quiescent), secara normal sel ini memiliki kemampuan replikasi yang rendah, namun sel ini bisa mengalami pembelahan yang cepat sebagai respon terhadap stimuli dan mampu untuk membentuk kembali asal jaringannya sehingga dikatakan sel-sel ini berada dalam fase G0 dalam siklus sel tapi dapat distimulasi untuk memasuki G1. Yang termasuk dalam kategori ini yaitu sel-sel parensimal liver, ginjal, pankreas; sel-sel mesensimal seperti fibroblast dan otot polos, sel-sel endotelial vaskular, 3) jaringan permanen yang tidak membelah yaitu sel-sel yang meninggalkan siklus sel dan tidak mengalami pembelahan mitosis pada postnatal kehidupan. Yang termasuk dalam kelompok ini yaitu sel-sel neuron, skeletal, dan otot jantung (Kumar et al., 2008).
2.1.1 Restriction Points dan Checkponts Siklus Sel Restriction points (R) didefinisikan sebagai point tidak kembali lagi pada fase G1, yang diikuti oleh berlanjutnya sel tersebut untuk memasuki siklus sel (Varmeulen, et al., 2003). Restriction points tersebut terjadi antara fase G1
12
pertengahan sampai lanjut yang bertujuan untuk menentukan apakah sel tersebut telah menerima sinyal pertumbuhan yang dibutuhkan sehingga bisa melewati fase G1 menuju fase S, kemudian mereplikasi DNA nya dan dapat melalui siklus pembelahan sel yang lengkap (Garrett, 2001). Jika sel ini tidak menerima sinyal yang cukup, ia tidak bisa melewati restriction points dan kembali ke G0. Restriction points ini berbeda dengan checkpoints dalam hal bahwa R point tidak secara spesifik menentukan apakah genom tersebut utuh. Namun R point ini merupakan kontrol point yang sangant penting untuk mencegah proliferasi sel (Garrett, 2001). Pergerakan masing-masing fase dalam siklus sel dan transisi dari fase satu ke fase selanjutnya diatur pada suatu posisi dalam siklus sel yang disebut dengan checkpoints. Jadi istilah checkpoints itu adalah suatu mekanisme yang menjaga urutan kejadian dalam siklus sel. Atau dengan kata lain checkpoints itu adalah suatu mekanisme sensor di dalam siklus sel yang memonitor lingkungn selular dan menentukan apakah kondisi yang tepat telah terpenuhi sebelum sel tersebut berlanjut melalui siklus pembelahan sel. Jadi fungsi utama checkpoints ini adalah untuk mempertahankan keutuhan integritas genom melalui siklus sel (Garrett, 2001). Sel bisa beristirahat untuk sementara waktu pada checkpoints siklus sel yang bertujuan untuk (i) memperbaiki kerusakan seluler; (ii) menghilangkan sinyal stress eksogen; (iii) menyediakan faktor pertumbuhan yang penting, hormon maupun nutrisi (Pietenpol dan Stewart, 2002). Sebagai respon terhadap kerusakan DNA, checkpoints mengistirahatkan sel untuk memberikan waktu memperbaiki
13
kerusakan DNA. Posisi checkpoints untuk kerusakan DNA yaitu sebelum sel memasuki fase S (G1-S checkpoints) atau setelah replikasi DNA (G2-M checkpoints) dan checkpoints kerusakan DNA selama fase S dan M dan diikuti oleh spindle checkpoints yang diperlukan selama mitosis jika fungsi spindel mitotik tidak terbentuk secara benar (Garrett, 2001; Varmeulen et al.,2003). Banyak stress selular yang mempengaruhi checkpoints dalam siklus sel (hipoksia, nucleotide deprivation dan kerusakan DNA), jalur checkpoints akan dijelaskan selanjutnya pada bahasan transisi G1/S, S, dan transisi G2/M (Garrett, 2001).
Gambar2.1 Siklus sel, restriction points dan checkpoints Dikutip dari Garret, 2001
2.1.2 Kontrol Siklus Pembelahan Sel Mesin molekuler siklus pembelahan sel (faktor yang mengontrol berbagai stadium perkembangan dari fase G ke M) telah diselidiki selama dekade terakhir. Pusat pengaturan perkembangan siklus sel adalah enzym cyclin dependent kinase (CDK) family dari serine/threonine protein kinase (Garrett, 2001; Park dan Lee,
14
2002; Varmeulen et al., 2003). Nama CDK menggambarkan bahwa seluruh aktivitas masing-masing kinase ini bergantung pada hubungannya dengan subunit pengatur yang disebut dengan cyclin (Garrett, 2001). Sampai sekarang terdapat sembilan CDK yang telah diidentifikasi dan dari 9, lima yang aktif pada titik yang spesifik selama siklus sel, yaitu pada fase G1 (CDK4, CDK6 dan CDK2), S (CDK2), G2 dan M (CDK1) (tabel 2.1) (Varmeulen et al., 2003). Level protein CDK stabil selama siklus sel, berbeda dengan protein yang mengaktifkan mereka yaitu cyclin. Kadar protein cyclin meningkat dan menurun selama siklus sel dan secara periodik mengaktifkan CDK (Garrett, 2001; Varmeulen, et al., 2003). Cyclin yang berbeda dibutuhkan oleh siklus sel pada fase yang berbeda. Terdapat tiga tipe cyclin D (cyclin D1, cyclin D2, Cyclin D3) berikatan dengan CDK4 dan CDk6 dan kompleks CDKCyclin D penting untuk memasuki fase G1. Tidak seperti cyclin yang lain, cycln D tidak diekspresikan secara periodik, tetapi disintesis selama ada stimulasi faktor pertumbuhan. Cyclin lain pada fase G1 yaitu cyclin E yang berhubungan dengan CDK2 untuk mengatur perkembangan dari fase G1 ke S. Cyclin A berikatan dengan CDK2 dan kompleks ini dibutuhkan selama fase S. Pada fase G2 lanjut dan awal fase M, kompleks cyclin A dengan CDK1 memajukan sel memasuki fase M. Mitosis diatur oleh kompleks cyclin B dengan CDK1. Enambelas cyclin telah diidentifikasi, namun tidak semuanya berhubungan dengan siklus sel (Park dan Lee, 2002; Varmeulen et al., 2003).
15
Tabel 2.1 Kompleks cyclin-CDK yang aktif pada titik yang spesifik dalam siklus sel CDK Cyclin Aktifitas fase siklus sel CDK4
Cyclin D1, D2, D3
Fase G1
CDK6
Cyclin D1, D2, D3
Fase G1
CDK2
Cyclin E
Fase transisiG1/S
CDK2
Cyclin A
Fase S
CDK1
(cdc2)
Cyclin A
Fase transisi G2/M
CDK1
(cdc2)
Cyclin B
Mitosis
Cyclin H
CAK, fase siklus sel
CDK7
seluruh
Dikutip dari Varmeulen et al., 2003
Peran dari CDK adalah mengontrol perkembangan siklus sel melalui fosforilasi protein yang berfungsi pada stadium siklus sel yang spesifik (Garrett, 2001). Masukknya sel dari satu fase siklus sel ke fase selanjutnya diatur secara ketat oleh kontrol yang bekerja pada transkripsi gen siklin, degradasi siklin dan modifikasi subunit kinase melalui fosforilasi. Sebagai contoh produk dari retinoblastoma tumour suppressor gene (pRb), pRb merupakan kunci pengatur perkembangan G1 dan mempengaruhi 16 tempat potensial fosforilasi CDK. Pada awal G1, pRb ditemukan dalam keadaan terhipofosforilasi dan secara ketat berikatan dan menekan aktifitas E2F family dari faktor transkripsi. Kompleks pRb dengan faktor transkripsi E2F dalam keadaan terhipofosforilasi berikatan dengan DNA, merekrut faktor remodeling kromatin (Histon deacetylases dan histone methyltransferases), dan menghambat transkripsi gen yang menghasilkan produk
16
yang diperlukan untuk siklus sel fase S. Selama fase G1, pRb menjadi terfosforilasi (hiperfosorilasi). Fosforilasi pRb tersebut diawali oleh CDK4 dan CDK6 yang masing-masing berhubungan dengan salah satu subunit cyclin yaitu D1,D2,D3. Kemudian diikuti dengan ekspresi cyclin E yang membentuk kompleks aktif CDK2/cyclin E yang kemudian melanjukan fosforilasi pRb. Hal ini menyebabkan terganggunya interaksi pRb-E2F sehingga terjadi pelepasan E2F yang secara transkripsional aktif, suatu persyaratan yang diperlukan agar sel tersebut bisa melewati restriction point sehingga sel bisa lanjut dari fase G1 ke fase S (Gambar2.2) (Garrett, 2001; Stricker dan Kumar, 2008). Aktifitas CDK akan dinetralkan oleh protein penghambat siklus sel yang disebut dengan CDK inhibitors (CKI) yang berikatan dengan CDK atau kompeks CDK-cyclin dan mengatur aktivitas CDK (Varmeulen et al., 2003), yaitu sebagai rem untuk menghentikan perkembangan siklus sel (Park dan Lee, 2002)(Gb2.2). Dua family CDK inhibitors telah diidentifikasi yaitu INK4 family dan Cip/Kip family (tabel 2.2). INK4 family meliputi p15 (INK4b), p16 (INK4a), p18 (INK4c), p19 (INK4d) yang secara spesifik menginaktifkan G1 CDK (CDK4 dan CDK6). CKI membentuk kompleks yang stabil dengan enzym CDK sebelum berikatan dengan cyclin, mencegah ikatannya dengan cyclin D. Cip/Kip family meliputi p21 (waf1, Cip1), p27 (Cip2), p57 (Kip2) (Garrett, 2001; Pietenpol dan Stewart, 2002; Varmeulen et al., 2003;
Stricker dan Kumar, 2008). Penghambat ini
menginaktifkan kompleks CDK-cyclin, dan kompleks CDK1-cyclin B. P21 juga menghambat sintesis DNA dengan berikatan dan menghambat proliferation cells nuclear antigen (PCNA) (Varmeulen et al., 2003).
17
Gambar 2.2 Skema ilustrasi peran CDK, cyclin dan CDK inhibitors dalam siklus sel Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008
Gambar2.3 Peran RB dalam pengaturan checkpoint G1-S siklus sel Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008
18
Tabel 2.2 Cyclin Dependent Kinase Inhibitors (CKI) berikatan dengan CDK atau kompleks CDK-cyclin dan mengatur aktivitas CDK, p19 (ARF) disandikan oleh lokus INK4, tetapi tidak diketahui aktifitas CKI –nya CKI family
Fungsi
Anggota family
INK4 family
Cip/Kip family
MenginaktifkanG1,
P15
(INK4b)
CDK (CDK4,CDK6)
P16
(INK4a)
P18
(INK4c)
P19
(INK4d)
Menginaktifkan G1, P21 kompleks CDK-Cyclin dan P27 CDK1-cyclin B P57
(Waf1, cip1) (Cip2) (Kip2)
Dikutip dari Varmeulen et al., 2003
Anggota INK4 family yang pertama kali diidentifikasi adalah p16INK4a. P16INK4a merupakan regulator negatif yang spesifik pada siklus proliferasi sel di fase G1. Gen p16INK4a ini tersusun atas tiga axon yang mengkoding protein dengan berat molekul 15,8-kD dari 156 asam amino yang menunjukkan pengulangan struktur motif four-tandem (Tamborini et al., 2008). Fungsinya adalah memblok hubungan antara CDK4/6 dengan cyclin D dan mencegah aktivasi dari aktifitas kinase kompleks CDK4/6/cyclin D. Kompleks CDK4/6cyclin D dapat memfosforilasi protein pRb yang secara serentak akan melepaskan E2F, suatu faktor yang memicu transkripsi gen regulator siklus sel dan progresifitas menuju fase S. Sebaliknya ikatan CDK4 atau 6 dengan protein P16 akan memblok siklus sel pada fase G1. Hubungan fungsional ini disebut sebagai
19
jalur P16INK4a/CDK4/cycD1/RB (Gambar 2.3) (Divani et al., 2008; Khan dan Singer, 2008; Tamborini et al., 2008).
2.1.3 G1/S Checkpoint Respon primer sel normal terhadap kerusakan DNA yang disebabkan oleh double strand breaks in DNA (DSBs) adalah aktivasi jalur selular yang menginduksi siklus sel beristirahat pada transisi G1/S, sehingga sel dengan kerusakan DNA yang berat tidak akan memasuki fase S. Pemeliharaan checkpoint siklus sel pada transisi G1/S bergantung pada produk tumour suppressor gene TP53. Gen ini bermutasi dan terhapus pada lebih dari setengah kasus dari seluruh kanker sporadik menghasilkan perubahan genetik pada TP53 yang merupakan defek paling sering pada kanker manusia. Produk dari gen TP53 yaitu protein p53 berperan sebagai “Guardian of the genome”. Protein p53 menjalankan fungsinya dengan bekerja sebagai penerima sinyal stress (termasuk kerusakan DNA) yang menyebabkan aktivasi dan akumulasi protein p53 pada sel (Garrett, 2001). P53 menstimulasi transkripsi gen yang berbeda yaitu p21, Mdm2, dan Bax. P21 yang merupakan Cip/Kip family, berikatan dengan kompleks CDK2/cyclin E menyebabkan siklus sel beristirahat pada transisi G1/S dan mencegah replikasi DNA yang rusak (Garrett, 2001; Pietenpol dan Stewart, 2002; Varmeulen et al., 2003). Mdm2 memainkan peran yang penting dalam regulasi p53; dimana Mdm2 berikatan dengan p53 sehingga menghambat aktifitas transkripsi p53 melalui degradasi proteolitik yang diperantarai oleh ubiquitin melalui negative feedback loop (Garrett,2001; Varmeulen et al.,2003) . Pada kasus kerusakan DNA yang
20
berat, p53 menginduksi kematian sel melalui aktivasi gen yang terlibat dalam sinyal apoptosis (contohnya: Bax dan Fas) (Gambar2.4) (Varmeulen et al.,2003; Stricker dan Kumar, 2008). Protein kinase lain yang mengenal kerusakan DNA yaitu AtaxiaTelangiectasia-Mutated (ATM) dan rad3 related (ATR). Kinase-kinase ini memfosforilasi p53 sebagai respon terhadap kerusakan DNA menghasilkan p21 yang menghambat siklus sel pada checkpoints G1/S. Sel yang kekurangan ATM menunjukkan berkurangnya respon terhadap agen genotoksik yang menyebabkan kerusakan DNA, menimbulkan defek pada checkpoint siklus sel (Garret, 2001; Varmeulen et al., 2003). Defek pada komponen utama checkpoint pada siklus sel merupakan penyebab utama ketidakstabilan genetik pada sel kanker (tabel 2.3) (Stricker dan Kumar, 2008). Tabel 2.3.Komponen checkpoint siklus sel Checkpoint siklus sel
Fungsi/Perubahan yang terjadi
P53
Perubahan pada tumor suppressor gene yang paling sering terjadi pada kanker, menyebabkan siklus sel beristirahat dan apoptosis, peran utamanya melalui p21 yang menyebabkan siklus sel beristirahat; apoptosis disebabkan oleh induksi transkripsi gen pro apoptotik seperti BAX. Kadar p53 diregulasi secara negatif oleh Mdm2. P53 diperlukan untuk checkpoint transisi G1/S dan komponen utama dalam checkpoint transisi G2/M.
ATM (Ataxia Telangiectasia Mutated)
Diaktifkan oleh mekanisme yang sensitif terhadap double-stranded DNA breaks. Menghantarkan sinyal untuk mengistirahatkan siklus sel setelah kerusakan DNA. Bekerja melalui p53 pada checkpoint G1/S. Pada checkpoint G2/M ia bekerja melalui mekanisme yang bergantung p53 dan melalui inaktivasi fosfatase CDC25, yang mengganggu kompleks CyclinB-CDK1.
Dikutip dari Srticker dan Kumar, 2008
21
Gambar2.4. Peran p53 dalam mempertahankan integritas genom. Aktifasi normal p53 oleh agen yang merusak DNA atau oleh karena hipoksia akan menyebabkan siklus sel
beristirahat pada pase G1 dan menginduksi DNA repair, melaui
upreguation cyclin-dependent kinase inhibitor CDKN1A (p21) dan the GADD45 genes. Repair DNA yang sukses memberikan kesempatan sel untuk melalui siklus sel; jika DNA repair gagal, p53 memicu apoptosis atau senescence. Pada sel yang kehilangan p53 atau mutasi pada p53 kerusakan DNA tidak dapat menginduksi sel beristirahat atau memperbaiki DNA, dan secara genetik proliferasi sel-sel yang rusak dapat menimbulkan transformasi keganasan.
B, p53 memerantai gene
repression melalui aktifasi transkripsi miRNAs. p53 mengaktifkan transkripsi mir34 family of miRNAs. mir34s menekan translasi baik gen proliferasi seperti cyclins, dan gen anti-apoptotic, seperti BCL2. Penekanan gen-gen ini dapat memicu quiescence or senescence sama seperti apoptosis. Dikutip dari Stricker dan Kumar, 2008
22
2.1.4 Fase S Mekanisme checkpoint kerusakan DNA pada fase S belum dimengerti dengan baik (Varmeulen et al., 2003). Kerusakan DNA selama fase S tidak melibatkan checkpoint siklus sel. Setelah terpapar oleh agen yang merusak DNA, kecepatan sintesis DNA melambat, namun tidak terdapat istirahat siklus sel yang lengkap seperti yang telah digambarkan pada checkpoint G1/S sebelumnya. Terdapat replikasi yang melambat dan fase S memanjang, hal ini menjelaskan bahwa checkpoint kerusakan DNA pada fase S tidak secara nyata menghentikan replikasi untuk memperbaiki DNA secara lengkap, tetapi akan melambatkan replikasinya bila telah terjadi kerusakan DNA (Garrett, 2001). Semenjak terpapar radiasi ion, menyebabkan meningkatnya kadar p21 dan penghambatan CDK, hal tersebut menunjukkan bahwa p21 mungkin juga berperan dalam checkpoint fase S. Yang mendukung pernyataan ini adalah bahwa p21 dapat melambatkan replikasi DNA dengan menghambat aktifitas CDK. Namun ada juga yang mengatakan bahwa p21 tidak esensial untuk fungsi checkpoint pada fase S (Garrett, 2001).
2.1.5 G2/M Kerusakan DNA setelah replikasi masih bisa diperbaiki selama chromatids belum terpisah. Checkpoints pada G2/M memonitor komplit tidaknya replikasi DNA dan mengecek apkah sel tersebut aman untuk mengawali mitosis dan memisahkan sister chromatids. Checkpoints ini penting, terutama pada sel yang terpapar radiasi ion. Kerusakan sel oleh karena radiasi ion mengaktifkan
23
checkpoints G2/M dan mengistirahatkan sel pada fase G2. Defek pada checkpoints ini meningkatkan abnormalitas kromosom. Untuk bisa berfungsi sebagaimana mestinya, checkpoints siklus sel membutuhkan sensor kerusakan DNA, signal transducers dan molekul efektor. Sensor dan transducers kerusakan DNA serupa pada checkpoints G1/S dan G2/M, yaitu sebagai sensor adalah protein Rad dan ATM, dan sebagai transducers- nya adalah CHK kinase families. Beristirahatnya siklus sel pada G2/M melibatkan mekanisme baik yang bergantung maupun yang tidak bergantung pada P53. Defek pada komponen checkpoints siklus sel merupakan penyebab utama ketidakstabilan genetik pada sel kanker (Stricker dan Kumar, 2008).
2.2 Karsinoma Servik Uteri dan Human Papillomavirus Infeksi human papillomavirus (HPV) merupakan penyakit menular seksual yang paling sering terjadi baik pada wanita maupun pria di seluruh dunia, dan lebih dari 80% populasi terinfeksi selama masa hidupnya (Park dan Lee, 2002; Burd, 2003). Sebagian besar kasus (75%) infeksi bersifat asimtomatik dan pada kasus yang jarang, infeksi yang persisten dapat menyebabkan transformasi malignansi pada epitel serviks. Waktu yang diperlukan dari semenjak awal infeksi sampai
lesi
pre-malignan/displasia/preneoplastik/cervical
intraepithelial
neoplasia dan akhirnya keganasan adalah sekitar 10-15 tahun (Park dan Lee, 2002). Cervical intraepithelial neoplasia adalah spektrum dari lesi servikal yang mewakili lesi prekursor dari squamous cell carcinoma yang dikategorikan menjadi cervical intraepithelial neoplasia 1 (CIN1), cervical intraepithelial
24
neoplasia 2 (CIN2) dan cervical intraepithelial neoplasia 3 (CIN3)/carcinoma in situ(CIS) (Wells et al., 2003). Terminologi lesi prekursor/preneoplastik untuk kanker serviks adalah sebagai berikut: klasifikasi yang lama membaginya menjadi 3 yaitu mild dysplasia, moderate dysplasia, severe dysplasia; menurut klasifikasi WHO, dibagi menjadi: CIN1, CIN2, CIN3; sedangkan menurut Bethesd system dibagi menjadi low-grade squamous intraepithelial lesion (LSIL) yang
sebanding
dengan
mild
dysplasia/CIN1,
high-grade
squamous
intraepithelial lesion yang sebanding dengan moderate dysplasia/CIN2 dan severe dysplasia/CIN3 , seperti yang diperlihatkan pada tabel 2.4 (Wright et al., 2011). Tabel 2.4 Klasifikasi Lesi Serviks Uteri Klasifikasi lama
Klasifikasi WHO
Bethesda system
Mild dysplasia
CIN1
LSIL
Moderate dysplaisa
CIN2
HSIL
Severe dysplasia
CIN3
HSIL
Dikutip dari Wright et al., 2011 Tumor pada serviks uteri diklasifikasikan berdasarkan WHO menjadi epithelial tumours, mesenchymal tumours, mixed epithelial and mesechymal tumours,
melanocytic
tumours,
haematopoietic tumours dan
miscellanous
secondary tumours.
tumours,
lymphoid
and
Tumor epitel yang paling
sering adalah Squamous cell carcinoma, merupakan invasif karsinoma yang melewati membrana basalis yang tersusun atas sel-sel epitel skuamus dengan
25
derajat diferensiasi yang bervariasi. Gambaran morfologi secara makroskopis dapat berupa eksofitik atau fungating, ulserasi dan infiltratif. Berdasarkan gambaran keratinizing,
mikroskopisnya/histopatologi, non-keratinzing,
basaloid,
SCC
diklasifikasikan
verrucous,
warty,
menjadi papillary,
lymphoepithelioma-like, squamotransitional cell (wells et al., 2003).
2.2.1 Human Papillomavirus Human papillomavirus merupakan virus DNA yang kecil dengan closed circular simple double-stranded, noneveloped (Park dan Lee, 2002; Paavonen, 2007). Genom dari HPV ini berukuran kecil (8kb) dan menyandikan 8 gen. Gengen ini menyandikan 6 protein awal non struktural (Early gene: E1, E2, E4, E5, E6, E7) yang berhubungan dengan pengaturan replikasi DNA dan proliferasi sel,dan 2 protein struktural atau paling akhir (Late gene: L1, L2) yang berhubungan dengan pembentukan viral capsid (Gambar2.5) (Paavonen, 2007; Thomison et al., 2008; Stanley, 2010). Masing-masing fungsinya bisa dilihat pada tabel 2.5.
Gambar2.5 Genom HPV, ORI, origin of replication; pRb retinoblastoma protein; URR, upstream regulatory region. Dikutip dari Stanley, 2010.
26
Tabel.2.5 Peran gen HPV Gen HPV
Kategori fungsi
Peran utama
E1
Replikasi
Menjaga episomal Up-regulation dari replikasi genom
Replikasi, transkripsi
Menjaga episomal
Replikasi, transkripsi
Produksi L2
E5
Replikasi, transkripsi, transformasi
Stimulasi reseptor faktor pertumbuhan host
E6
Replikasi, transformasi
Up-regulates siklus sel
E2
E4
Menekan E6 dan E7
Mengganggu filamen sitokertin
Down-regulates p53, bak, bax Up-regulates telomerase
E7
Replikasi, transformasi
Up-regulates siklus sel Down-regulates pRb Up-regulates p21 dan p27
L1
Viral assembly
Mayor capsid protein
L2
Viral assembly
Minor capsid protein
Dikutip dari Thomison et al., 2008 Protein E1 terlibat dalam pemeliharaan genom dan replikasi. Protein E2 merupakan protein transregulatory yang mempengaruhi transkrispsi dan replikasi DNA virus. Pada HPV tipe high-risk, E2 berperan sebagai repressor utama untuk promoter gen E6 dan E7. Protein-protein ini bekerja sama untuk mempertahankan genom virus didalam bentuk episomalnya sendiri di dalam sel, sama seperti proliferasi sel basal dari sel yang terinfeksi. Ekspresi E4 diperlukan untuk
27
produksi protein L2, 1 dari 2 protein struktural kapsid. E4 juga mengganggu sitokeratin sitoplasmik menyebabkan kondensasi tonofilamen pada sel bagian perifer dan menghasilkan perinuclear cytoplasmic clearing (koilosit). Gangguan ini memfasilitasi pelepasan partikel virus dari permukaan sel-sel epitel skuamous. E4 mungkin juga berperan dalam supporting amplifikasi genom viral (Stanley, 2010). Protein onkogenik E5,E6, E7, semuanya terlibat dalam transformasi selular. E5 merupakan protein kecil yang berikatan dengan protein membran host dan reseptor faktor pertumbuhan, termasuk epidermal growth factor receptor (EGFR), platelet-drive growth factor β receptor (PDGF), dan colony stimulating factor1 receptor, yang diperlukan untuk amplifikasi genom viral. Juga terdapat bukti bahwa E5 membantu mencegah apoptosis sel setelah kerusakan DNA. E5 juga memfasilitasi penghindaran sel-sel yang terinfeksi dari system imun melalui down-regulation
molekul mayor histocompatibility complex class I (Stanley,
2010). Peran protein E6 dan E7 akan dibahas selanjutnya pada proses karsinogenesis kanker serviks. Berdasarkan hubungannya dengan kanker serviks, HPVdibagi menjadi kelompok high-risk HPV (16, 18, 31, 33, 35, 39, 45, 51, 52, 56, 58, 59, 68, 73, dan 82), probable high-risk HPV (26, 53, dan 66), low-risk HPV (6, 11, 40, 42, 43, 44, 54, 61, 70, 72, 81, CP6 108) (Park dan Lee, 2002; Pavonen, 2007). Tipe HR-HPV yang terbanyak di Bali dan Jakarta adalah HPV52 dan merupakan terbanyak kedua setelah HPV18 di Tasikmalaya. HPV 52 lebih sering ditemukan pada kanker serviks di Asia dibandingkan dengan benua lain di seluruh dunia (Vet
28
et al., 2008). Salah satu perbedaan utama antara high-risk dan low-risk adalah berdasarkan kemampuan integrasinya ke dalam genom. Kira-kira 1% tipe highrisk HPV dan hanya 0,1% tipe low-risk HPV yang akan berkembang menjadi kanker serviks. Tujuh puluh dua persen (72%) HPV 16 berintegrasi pada seluruh kanker serviks yang invasif. Temuan tidak adanya integrasi HPV 16 pada beberapa karsinoma menunjukkan bahwa integrasi tidak selalu diperlukan untuk perkembangan keganasan, tetapi tidak menyingkirkan pentingnya integrasi HPV pada inisiasi kanker serviks. Hipotesisnya, bahwa setelah perkembangan karsinoma, clone yang abnormal dapat kehilangan DNA viral. HPV 18, menunjukkan integrasi 100% (Park dan Lee, 2002).
2.2.2 Mekanisme Infeksi HPV Siklus replikasi HPV diperkirakan dimulai dari masuknya virus kedalam sel pada lapisan stratum germinativum (lapisan basal) epitelium. Masuknya virus HPV ke lapisan basal memerlukan abrasi ringan atau mikrotrauma pada epitel genital yang terjadi pada saat aktivitas seksual (Burd, 2003; Paavonen, 2007; Stanley, 2010). Awalnya HPV berikatan dengan membrana basalis yang terpapar melalui reseptor primer pada L1 sebelum berikatan dan memasuki keratinosit, mungkin keratinosit bermigrasi sepanjang membrana basalis untuk mereepitelisasi luka-luka kecil. Epitel metaplasia lebih tipis dan lebih fragil, sehingga lebih mudah mengalami proses perlukaan dan memudahkan terjadinya infeksi HPV (Stanley, 2010).
29
Integrin α6 dikatakan sebagai reseptor sel epitel untuk HPV 6, tetapi tidak diperlukan untuk perlekatan dengan HPV 11 atau HPV 33, 41, 55. HPV 16 dan HPV 33, dan seperti virus lainnya, melekat pada sel host melalui heparan sulfate permukaan sel (Burd, 2003; Paavonen, 2007). Reseptor sekunder atau stabilizing proteoglycans juga terlibat dalam pelekatan HPV. Faktor selular yang diperlukan untuk pengambilan virion tidak diketahui. Sekali virus tersebut berada di dalam sel host, DNA virus bereplikasi seperti diferensiasi sel basal dan berkembang ke epitel permukaan. Pada lapisan basal replikasi virus dikatakan tidak produktif dan virus berdiri sendiri sebagai episome dengan jumlah copy yang rendah dengan menggunakan mesin replikasi DNA host untuk mensintesis DNA nya sendiri ratarata sekali per-siklus sel (Burd, 2003).
2.2.3 Siklus Infeksius HPV Virus menginfeksi sel basal primitif, dengan jumlah copy yang rendah; pada saat setelah infeksi terdapat lingkaran replikasi DNA virus, yang memperbanyak jumlah copy virus menjadi sekitar 50-100 copies per sel. Sel yang terinfeksi kemudian meninggalkan kompartemen primitive stem cell ini dan memasuki bagian proliferasi epitelium. Terdapat fase plasmid atau penjagaan episomal, dimana ekspresi gen virus sangat minimal, khususnya ekspresi onkogen E6 dan E7 dibawah kontrol yang sangat ketat sehingga transcripts mRNA E6/E7 hampir tidak bisa dideteksi (Stanley,2010). Ketika keratinosit yang terinfeksi memasuki kompartemen diferensiasi, meninggalkan siklus sel, terdapat upregulation yang sangat besar dari ekspresi
30
seluruh gen virus dengan ekpsresi yang berlebihan dari early genes E6 dan E7. Terjadi replikasi DNA virus, dengan amplifikasi jumlah copy virus sedikitnya 1000 copies per sel, terakhir dihasilkan protein pelapis L1 dan L2 dan pengumpulan virus inveksius. Siklus infeksius ini membutuhkan waktu kira-kira 2-3 minggu in vivo, sama dengan waktu yang diperlukan untuk keratinosit basal untuk bergerak ke atas epitelium dan berdiferensiasi (Gambar2.6) (Stanley, 2010).
Gambar2.6 Siklus infeksius high-risk HPV. HPV hanya menginfeksi dan bereplikasi pada sel epitel squamous yang berdifersensiasi penuh. Virus menginfeksi keratinosit pertamakali pada lapisan basal epitel serviks dengan sedikit mikrotrauma, contohnya abrasi epithelium yang meng-exposes membrane basalis dan sel basal. Lingkaran replikasi DNA virus terjadi, meningkatkan jumlah copy genom virus sampai mencapai 50-100 copy, dan jumlah copy ini dipertahankan pada sel yang sedang membelah. Selama sel tersebut membelah, high-risk HPV mengontrol ekspresi protein viral dengan sangat ketat dan protein E6 dan E7 diekspresikan dengan kadar yang sangat rendah. Ketika sel host berhenti membelah dan memulai diferensiasi menjadi keratinosit matur, hal ini memberikan sinyal pada virus untuk mengaktifkan seluruh gennya untuk meningkatkan ribuan genom viral. Pada lapisan epitelium superfisial, protein L1
31
dan L2 diekspresikan dan ribuan genom virus encapsidated dan partikel virus yang infeksius terkumpul. Dikutip dari Stanley, 2010 Papillomavirus menyandikan hanya sedikit enzym replikasi DNA yaitu protein E1 dan protein E2 untuk replikasi dan transkripsi, replikasi secara total bergantung pada mesin sintetik DNA selular. Permasalahannya adalah virus tersebut memerlukan faktor replikasi dan polymerase DNA selular yang hanya tersedia pada sel yang sedang membelah, tetapi replikasi virus terjadi pada sel yang tidak sedang membelah. Untuk memcahkan masalah ini, HPV menyandikan protein yang dalam konteks siklus hidup virus, mengaktifkan kembali sintesis DNA seluler pada sel yang tidak bersiklus, menghambat apoptosis, dan memperlambat program diferensiasi keratinosit yang terinfeksi, menghasilkan lingkungan yang mengijinkan untuk replikasi DNA viral. Namun secara detil bagaimana hal ini dicapai belum dimengerti secara sempurna. Pusat gen virus untuk fungsi ini adalah E6 dan E7, namun sayangnya, hasil dari peran protein E6 dan E7 pada replikasi hig-risk HPV menyebabkan deregulation kontrol pertumbuhan pada sel yang terinfeksi sehingga terjadi transformasi keganasan (Stanley, 2010).
2.2.4 Natural History dari Infeksi HPV Genital Infeksi HPV sering terjadi pada wanita dan pria muda yang aktif secara seksual. Sebagian besar infeksi transien subklinis, dan
secara kolposkopi
perkembangan lesi bisa dideteksi, biasanya lesi menunjukkan low-grade CIN. Sebagian besar infeksi HPV dan low-grade CIN bisa disembuhkan oleh karena perkembangan cell-mediated immunity (CMI) yang biasanya disertai dengan
32
seroconversion dan antibody terhadap protein pelapis utama L1. Sebagian kecil wanita (10-15%) tidak memiliki respon imun (CMI) yang baik, sehingga mereka tetap memiliki HPV DNA-positive dengan infeksi viral yang persisten. Kelompok wanita ini, secara persisten terinfeksi dengan high-risk HPV, sehingga memiliki resiko untuk berkembang menjadi high-grade intraepithelial disease dan karsinoma serviks yang invasif (Gambar2.7) (Stanley, 2010).
Gambar2.7 Natural history dari infeksi HPV genital. Masa inkubasi infeksi HPV yaitu 3 minggu sampai 8 bulan atau
lebih. Sebagian besar individu yang
terinfeksi, dalam waktu kira-kira 2-3 bulan
berkembang menjadi kutil pada
genital. 10-30% pasien akan regresi spontan dalam waktu 3 bulan. Hal ini berhubungan dengan respon cell-mediated immune yang tepat. Setelah regresi, infeksi subklinis mungkin persisten selama hidup, infeksi dengan hihg-risk HPV (HrHPV), seperti tipe 16 dan 18, mengikuti pola low-risk HPV (LrHPV) tipe 6 dan 11, tetapi
untuk membersihkannya memerlukan waktu 12-18 bulan.
Sayangnya, lesi yang persisten ini berhubungan dengan CIN2/3 dan SCC. CMI: cell-mediated immunity; CIN, cervical intraepithelial neoplasia Dikutip dari Stanley, 20
33
2.2.5 Patogenesis Molekular Kanker Serviks Uteri Bukti epidemiologi dengan jelas menunjukkkan bahwa infeksi HPV merupakan penyebab CIN (semua grade) dan SCC. Infeksi dengan high-risk HPV merupakan faktor resiko utama berkembangnya squamous cell carcinoma maupun adenokarsinoma serviks uteri, meskipun infeski high-risk HPV sendiri tidak cukup untuk menimbulkan terjadinya kanker. Lesi prekursor CIN diklasifikasikan secara histologi dan membentuk suatu spektrum grading atipia histologi yang jelas dengan tingkatan dimana mereka kehilangan maturasi sitoplasmik serta atipia inti. Di Eropa, dikenal 3 grade CIN: CIN1, ringan; CIN2, sedang; CIN3, berat. CIN1 berhubungan dengan tipe high- dan low-risk HPV, meskipun tipe yang high-risk lebih dominan. Sebagian besar lesi CIN1 mempertahankan virus sebagai suatu episome, mendukung siklus replikasi virus yang lengkap dan ekpsresi gen viral khususnya E6 dan E7 diatur secara ketat. Late genes diekpresikan, dan partikel virus terkumpul dan dilepaskan (Stanley, 2010). Cervical intraepithelial neoplasia 2/3 secara eksklusif berhubungan dengan tipe high-risk HPV. High-grade CIN tidak mendukung siklus infeksius viral yang lengkap. Ekspresi late genes tidak ada atau secara signifikan berkurang, urutan DNA virus mungkin berintegrasi dengan genom host. Pada CIN3 seluruh ketebalan epitelium ditempati oleh sel-sel yang berproliferasi dengan maturasi sitoplasmik yang minimal, terdapat abnormalitas nuklear seperti pleomorfism dan hiperkromasia serta banyak terdapat gambaran mitosis yang atipik. Gambaran atipia histologik dan sitologik menunjukkan aneuploidy kromosom (jumlah
34
kromosom yang abnormal) dan ketidaktsabilan genetik, yang merupakan karakteristik dari CIN3, dan SCC (Stanley, 2010). Bagaimanakah infeksi high-risk HPV dapat memfasilitasi perubahan yang dramatik ini? Pada lesi servikal yang disebabkan oleh HPV, peningkatan proliferasi sel epitel suprabasal dianggap sebagai akibat dari ekspresi onkogen viral yaitu E6 dan E7. Kemampuan E6 dan E7 untuk mendorong sel memasuki fase S juga penting, bersama-sama dengan E1 dan E2 untuk replikasi episome viral diatas lapisan basal. Sel-sel suprabasal secara normal keluar dari siklus sel dan memulai proses diferensiasi akhir dengan tujuan untuk menghasilkan barier protektif. Pada keratinosit yang terinfeksi HPV, tidak terdapat penghambatan perkembangan siklus sel dan tidak terjadi diferensiasi akhir yang normal (Doorbar, 2006). Produk gen E7 dari HPV berikatan dengan bentuk hipofosforilasi pRb (protein retinoblastoma). Ikatan ini mengganggu kompleks pRB dengan faktor transkripsi E2F, menghasilkan pembebasan E2F yang menyebabkan transkripsi gen yang diperlukan oleh sel untuk memasuki fase S siklus sel,dan sel tidak bergantung pada ada atau tidaknya faktor pertumbuhan eksternal untuk memulai siklus sel (Gambar 2.8). Selanjutnya produk gen E7 juga behubungan dengan mitotically interactive protein selular seperti cyclin E (Burd, 2003; Doorbar, 2006). E7 juga berhubungan dengan protein lain yang terlibat dalam proliferasi sel, termasuk histone diacetylases, komponen dari kompleks transkripsi dan cyclin-dependent kinase inhibitors p21 dan p27. Selama infeksi natural,
35
kemampuan E7 untuk mendorong proliferasi sel dihambat tergantung dari level CDK inhibitor p21 dan p27 (Gambar2.8) (Doorbar, 2006).
Gambar 2.8 Stimulasi perkembangan siklus sel oleh tipe high-risk HPV. Dikutip dari Doorbar, 2006. Kadar yang tinggi dari p21 dan p27 pada keratinosit yang berdiferensiasi dapat membentuk kompleks inaktif dengan E7 dan cyclin E/CDK di dalam sel. Tampaknya kemampuan E7 untuk mendorong sel melalui mitosis pada epitel yang berdiferensiasi mungkin terbatas pada sel yang mengekspresikan p21 dan p27 dalam kadar yang tinggi dan dapat menghambat perkembangan siklus sel. Pada keadaan ekspresi E7 yang tingggi dengan kadar yang rendah dari p21 dan p27 dapat mendorong perkembangan siklus sel (Doorbar, 2006). Peran utama E6 berhubungan dengan p53. E6 akan berikatan, menginaktifkan dan mendegradasi p53 melalui jalur ubiquitination, dan juga mendegradasi protein Bak (Park dan Lee, 2002; Doorbar, 2006). Akibatnya aktifitas normal p53 yang
36
memerintahkan fase G1 untuk beristirahat, apoptosis, dan memperbaiki DNA ditiadakan (Burd, 2003). Peran umum E6 adalah sebagai protein anti-apoptotik, berhubungan dengan Bak dan Bax. Peran E6 merupakan kunci yang signifikan dalam perkembangan kanker serviks, dimana respon sel terhadap kerusakan DNA tidak berjalan efektif dan terjadi akumulasi mutasi sekunder yang terus berlanjut tanpa melalui proses checkpoint (Doorbar, 2006).
2.3
Interaksi HPV dengan P16INK4a Protein p16 (p16INK4a), merupakan produk gen dari CDKN2A, suatu tumor
suppressor protein yang menghambat cyclin-dependent kinase 4 dan 6. Protein P16INK4a ini secara normal bekerja sebagai down-regulator proliferasi sel, menjaga ikatan pRb dengan E2F dengan menghambat fosforilasi pRb yang diinduksi oleh CDK, sehingga mencegah aktivasi transkripsi sel (Anderson et al., 2006; Kumar et al., 2008; Khan dan Singer, 2008; Nam et al., 2008), tetapi efek penghambatan ini tidak efektif pada konteks proliferasi sel yang diinfeksi oleh high-risk HPV (Anderson et al., 2006). Inaktivasi pRb oleh protein E7 dari HPV dapat menyebabkan upregulation p16INK4a pada lesi servikal (Khan dan Singer, 2008). Ekspresi p16INK4a tersebut mencetuskan kontrol feedback negatif terhadap protein pRb yang secara normal akan menghambat fosforilasi pRb dan memblok pelepasan E2F (Anderson et al., 2006; Khan dan Singer,
2008). Namun P16INK4a ini tidak dapat
mentralkan pelepasan E2F yang diperantarai oleh E7 dari HPV, sehingga terdapat akumulasi yang berlebihan dari protein P16INK4a yang tidak efektif pada sel.
37
Gangguan pengaturan jalur siklus sel pRb—P16INK4a menghasilkan proliferasi sel yang tak terbatas, yang pada akhirnya berkontribusi terhadap transformasi sel kearah keganasan (Khan dan Singer, 2008). Pada jaringan servik yang normal, menunjukkan bahwa seluruh sel epitel, sel-sel metaplastik, endoservikal, bagian yang reaktif dan inflamasi tidak mengekspresikan P16INK4a (Khan dan Singer, 2008; Lesnikova et al., 2009). Ekspresi P16INK4a ini tidak bisa deksi pada seluruh bagian yang normal yang berdekatan dengan lesi CIN (Khan dan Singer, 2008; Dordevic dan Zivkovic, 2011). Meskipun demikian overekspresi P16INK4a yang jelas bisa dilihat pada lesi serviks premalignant maupun yang malignant (sel yang displastik/ sel neoplastik) (Khan dan Singer, 2008; Lesnikova et al., 2009). Sejumlah penelitian yang baru melaporkan bahwa terdapat peningkatan yang signifikan dari ekspresi P16INK4a pada epitel skuamus yang displastik maupun sel glandular servikal baik pada pada potongan jaringan maupun pada smear serviks. Pada potongan biopsi serviks, P16INK4a dapat mengidentifikasi dysplasia squamous maupun lesi glandular dengan sensitifitas 99,9% dan spesifisitas 100% (Khan dan Singer, 2008; Mucuta et al., 2010). Menurut Dordevic dan Zivkovic menyatakan bahwa, terdapat perbedaan data ekspresi p16INK4a pada lesi CIN maupun SCC Berdasarkan data tersebut dikatakan bahwa, pada lesi CIN1 ekspresi p16INK4a adalah berkisar dari 0-100%, pada lesi CIN 2/CIN 3 sekitar 45-100% dan 93-100% pada SCC (Dordevic dan Zivkovic, 2011).
38
Sensitifitas ekspresi p16INK4a dalam mendeteksi lesi CIN 2/ CIN 3 dan SCC adalah tinggi (75% untuk CIN 2/CIN 3 dan 100% untuk SCC). Sebaliknya sensitifitas ekspresi p16INK4a dalam mendeteksi CIN 1 adalah rendah (7%). Spesifisitas ekspresi p16INK4a untuk lesi CIN 1, CIN 2/CIN 3 dan SCC adalah berturut-turut 8%, 61%, 75% (Dordevic dan Zivkovic, 2011). Sebagian besar CIN 1, dan sebagian besar kasus-kasus CIN2 dan CIN3 diharapkan regresi secara spontan. Pada beberapa kasus, grade dysplasia akan tetap stabil persisten. Maka, hanya beberapa persen wanita dengan lesi CIN1 dan CIN2 dan hanya sedikit lebih besar wanita dengan CIN3 jika tidak mendapatkan terapi yang tepat dapat berkembang menjadi kanker yang invasif (tabel.2.6) (Wrght, 2006; Lesnikova et al., 2009). Hal ini menekankan kebutuhan akan biomarker prediktif yang dapat mengidentifikasi bahwa wanita dengan displasia servikal ringan mungkin memiliki resiko untuk berkembang menjadi high-grade CIN atau karsinoma (Lesnikova et al., 2009) Tabel 2.6 Ringkasan riwayat alami lesi CIN Regresi
Persisten Berkembang
Berkembang
menjadi CIS
menjadi invasi
CIN 1
57%
32%
11%
1%
CIN 2
43%
35%
22%
5%
CIN 3
32%
56%
>12%
Dikutip dari Wright, 2006
Dapat disimpulkan bahwa upregulation p16INK4a pada lesi serviks merupakan konsekuensi dari infeksi high-risk HPV (Khan dan Singer, 2008). P16INK4a
39
mungkin bisa dijadikan sebagai biomarker yang sensitif dan spesifik untuk lesi CIN 2/CIN 3 dan ICC (Lesnikova et al., 2009; Mucuta et al, 2010; Dordevic dan Zvkovic, 2011), dan juga bisa digunakan sebagai marker pengganti untuk infeksi HPV. Jadi analisis immunohistokima ekspresi p16INK4a sangat berguna, di mana ekspresinya berhubungan dengan derajat dispasia hitologi, yang menunjukkan bahwa p16INK4a mungkin memiliki nilai prognostik dan prediktif dalam penatalaksanaan neoplasia serviks uteri (Lesnikova et al., 2009).
2.4 Interpretasi Pulasan P16INK4a Reaksi dipertimbangkan positif ketika warna coklat terlihat pada nukleus dan sitoplasma. Dua parameter yang dievaluasi adalah persentase sel yang tercat positif dengan P16INK4a dan reaksi intensitasnya. Persentase sel-sel yang tercat positif dievaluasi pada area dengan ekspresi yang tertinggi (“hot spot”) dan digrading sebagai berikut: grade (0): negatif, tidak ada sel yang tercat; grade (1): sel yang positif >0-10%; grade (2): sel yang positif >10-50%; grade (3); sel yang positif >50-80%; grade (4): sel yang positif >80%. Reaksi intensitasnya diskor sebagai berikut: (0): negatif; (1): lemah; (2): sedang; (3): kuat (Izadi-Mood, et al., 2012).
40
BAB III KERANGKA PIKIR DAN KONSEP PENELITIAN
3.1 Kerangka Pikir Kanker merupakan suatu penyakit dimana terjadi disregulasi siklus sel normal. Siklus sel diatur oleh berbagai macam gen dan protein dalam serial peristiwa yang saling berhubungan. Terdapat empat kelompok gen pengatur yang mempengaruhi siklus sel tersebut yaitu protooncogene, tumor suppressor gene, gen yang mengatur apoptosis, dan gen yang terlibat dalam repair DNA. Tumor suppressor gene merupakan gen yang berfungsi untuk menjaga sel supaya tidak berubah menjadi kanker. Ketika gen ini bermutasi akan menyebabkan fungsinya berkurang atau hilang, sehingga sel itu akan berkembang menjadi kanker, dan biasanya akan berkombinasi dengan perubahan genetik yang lain. P16INK4a adalah protein hasil dari tumor suppressor gene yang merupakan CDK-4inhibitor. P16INK4a dihasilkan oleh gen INK4a yang terletak di kromosom 9 dan secara spesifik berikatan dengan kompleks siklin D-CDK4/6 untuk mengontrol siklus sel pada interfase G1/S. P16INK4a berintegrasi dengan pRB untuk mengontrol siklus sel pada fase transisis G1-S. Pada lesi servikal displastik dan karsinoma epitel invasif yang berkaitan dengan infeksi high risk – HPV, terdapat inaktivasi fungsi pRB oleh protein E7 HPV.
40
Gangguan jalur
41
RB/E2F oleh HPV ini menyebabkan perubahan mayor pada ekspresi gen selular. Salah satu efek yang paling kuat adalah upregulasi dari P16INK4a, yang biasanya menghambat fosforilasi RB sehingga memblok pelepasan E2F. Meskipun demikian P16INK4a tidak dapat melawan pelepasan E2F yang diperantarai oleh protein E7 dari HPV sehingga di dalam sel terdapat akumulasi yang berlebihan dari P16INK4a yang tidak efektif. Gangguan jalur pengaturan siklus sel P16INK4a--RB mengakibatkan proliferasi sel yang tak terkendali dan pada akhirnya dapat menimbulkan perubahan keganasan pada sel epitel yang disebut dengan SCC. Squamos cell carcinoma merupakan keganasan yang paling sering terjadi pada serviks yang berkaitan dengan infeksi HPV. Infeksi HR-HPV dapat menimbulkan perubahan pada epitel serviks mulai dari lesi preneoplastik sampai keganasan. Pemeriksaan imunohistokimia P16INK4a dapat menunjukkan ekspresi protein pada lesi preneoplastik /displasia (CIN1, CIN2, CIN3) sampai SCC serviks uteri. Ekspresi P16INK4a yang lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, CIN3 dapat membuktikan peranan P16INK4a pada karsinogenesis karsinoma serviks uteri. Hasil penlitian ini juga dapat memberikan informasi tambahan kepada klinisi berkaitan dengan penanganan pasien yang lebih tepat sesuai dengan protap RSUP Sanglah,
Denpasar serta ekspresi P16INK4a dapat digunakan sebagai
salah satu parameter untuk memprediksi perangai biologik
lesi CIN dan
memudahkan identifikasi lesi CIN1, CIN2, CIN3 pada spesimen histologi.
42
3.2 Konsep Penelitian
Infeksi high risk HPV
Protein E7 dari HPV Tumor suppressor genes
Overekspresi P16INK4a
CIN1
pRB
Protein E6 dari HPV HPHPVHPV E2F
P53
Proliferasi sel tidak terkendali
CIN2
CIN3
SCC
Keterangan: Ekspresi P16INK4a semakin meningkat pada lesi CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri. Gambar 3.1 Bagan Konsep Penelitian
43
3.3 Hipotesis 1. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN1. 2. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN2. 3. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN3. 4. Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a pada CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri. 5. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, dan CIN3.
44
BAB IV METODE PENELITIAN
4.1 Rancangan penelitian Penelitian ini merupakan penelitian dengan menggunakan metode analitik observasional potong lintang, studi pendahuluan (preliminary study).
4.2 Tempat dan Waktu Penelitian Penelitian dilakukan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar dan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Sardjito, Yogyakarta dari 25 Maret 2013 – 15 Juli 2013.
4.3 Populasi dan Sampel Penelitian 4.3.1 Populasi Populasi penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi pada Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar.
44
45
4.3.2 Sampel Sampel penelitian adalah semua bahan biopsi dari blok parafin penderita CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi di Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi dari tanggal 1 Januari 2011 – 30 Juni 2013. 4.3.3 Jumlah Sampel Besar sampel minimal yang dibutuhkan dalam penelitian ini dihitung berdasarkan rumus (Madiyono, 2002):
(Zα + Zβ )S n1 = n 2 = 2 ( X 1 − X 2)
2
Keterangan: n
= Besar sampel pada masing-masing kelompok.
Zα
= nilai Z untuk nilai α tertentu (α = 0,05, Zα = 1,96 )
Zβ
= nilai Z untuk power (1-ß ) ( ß = 0,20; Zß = 0,842 untuk power 80%)
S
= Standar deviasi didapatkan dari prelimary study 1,06
X1-X2
= Perbedaan/selisih bermakna= 0,48
skor
ekspresi
P16INK4a
yang
dianggap
46
Jadi dari perhitungan dengan menggunakan rumus tersebut didapatkan besar sampel penelitian sebesar 38 untuk masing-masing kelompok. 4.4 Kriteria Inklusi dan Eksklusi 4.4.1 Kriteria Inklusi Sampel didiagnosis sebagai CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri 4.4.2 Kriteria Eksklusi 1. Kasus dengan diagnosis histopatologik belum pasti (misalnya meragukan antara CIN3 dengan squamous metaplasia, atau proses reaktif karena inflamasi) atau masih ada diagnosis banding. 2. Sediaan banyak nekrosis atau perdarahan. 3. Blok parafin rusak atau jamuran.
4.5 Identifikasi Variabel Penelitian Variabel dalam penelitian ini terdiri dari 2 variabel yaitu: I.
Varibel tergantung : P16INK4a.
II.
Varibel bebas: CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri.
47
4.6 Definisi Operasional Variabel 1. Cervical Intraepithelial Neoplasia 1 (CIN1) adalah gambaran CIN yang interpretasi histomorfologinya dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 menunjukkan karaktersitik: a. Terdapat sedikit abnormalitas nuklear. b. Terdapat maturasi sampai duapertiga bagian atas dari ketebalan epitel. c. Sel-sel superfisial menunjukkan gambaran atipia yang bervariasi tetapi ringan, termasuk efek sitopatik virus (koilositosis). d. Gambaran mitosis sedikit pada sepertiga basal tetapi bentuk yang abnormal jarang. Jika tidak terdapat gambaran seperti tersebut diatas, maka tidak dikelompokkan kedalam CIN1. 2. Cervical Intraepithelial Neoplasia 2 (CIN2) adalah gambaran CIN yang interpretasi histomorfologinya dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 menunjukkan karaktersitik :
48
a. Atipia nuklear jelas baik pada bagian atas maupun bagian bawah lapisan epitel b. Terdapat maturasi pada setengah bagian atas dari ketebalan epitel. c. Gambaran mitosis pada umumnya terbatas duapertiga bagian basal epitel. Bentuk mitosis yang abnormal dapat terlihat. Jika tidak terdapat gambaran seperti tersebut diatas, maka tidak dikelompokkan kedalam CIN2. 3. Cervical Intraepithelial Neoplasia 3 (CIN3) adalah gambaran CIN yang interpretasi histomorfologinya dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 menunjukkan karaktersitik: a. Abnormalitas nuklear terlihat sangat jelas pada sebagian besar atau seluruh ketebalan epitel. b. Maturasi (termasuk keratinisasi pada bagian permukaan) mungkin ada atau terbatas pada sepertiga superfisial epitel. c. Gambaran mitosis banyak dan dapat ditemukan pada semua level epitelium serta bentuk mitosis yang abnormal sering terlihat.
49
Jika tidak terdapat gambaran seperti tersebut diatas, maka tidak dikelompokkan kedalam CIN3. 4. Squamous cell carcinoma (SCC) serviks uteri adalah suatu karsinoma invasif (sudah melewati membrana basalis, infiltratif diantara stroma jaringan ikat) yang tersusun dari sel-sel epitel skuamus. Interpretasi histomorfologi ini dilihat dengan pulasan Hematoksilin dan Eosin (H&E), menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21. 5. Ekspresi P16INK4a adalah ekspresi protein P16INK4a yang terpulas imunohistokimia dengan menggunakan antibodi monoklonal kelinci dari Abcam, secara semikuantitatif, diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 pada satu lapang pandang dengan pembesaran dari 40 kali sampai 400 kali. Penilaian ekspresi P16INK4a dibuat dengan mengevaluasi dua parameter yaitu persentase sel-sel yang tercat positif dengan P16INK4a dan intensitasnya. Persentase dari sel-sel yang tercat positif di-grading sebagai berikut: grade 0: bila tidak ada sel yang tercat, grade 1: bila > 0 – 10% sel yang tercat, grade 2 : bila > 1050% sel yang tercat, grade 3: bila >50-80% sel yang tercat, grade 4: bila >80% sel yang tercat. Reaksi intensitasnya diskor sebagai berikut: 0: bila negatif, 1: bila intensitas warna lemah, 2: bila intensitas warna sedang, 3: bila intensitas warna
kuat. Kemudian dibuat skor ekspresi
imunohistokimia P16INK4a dengan mengalikan grading dan skor intensitas. Nilai skor ekspresi dari 0 sampai 12. Pemeriksaan imunohistokimia P16INK4a dikerjakan di laboratorium imunohistokimia
50
bagian Patologi Anatomi FK Universitas Gajah Mada/RSUP Sardjito Yogyakarta. 4.7 Prosedur Penelitian 1. Sediaan preparat dari penderita yang didiagnosis sebagai CIN1, CIN2, CIN3 maupun SCC serviks uteri yang diperiksa secara histopatologi dari 1 Januari 2011 sampai 30 Juni 2013 di Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar, dikumpulkan dan dilihat apakah memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi. 2. Preparat hasil pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai nomor-nomor di atas dikumpulkan dan dievaluasi ulang dengan menilai semua parameter patologik yaitu CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri. Preparat yang sulit dievaluasi dilkukan potong ulang blok dan dipulas dengan pulasan rutin menggunakan Harris’s hematoksilin dan eosin. Prosedur Pulasan Hematoksilin dan Eosin sesuai dengan prosedur pulasan Hematoksilin dan Eosin yang rutin dikerjakan di Bagian/SMF Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar: a. Potong blok parafin mengunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan ketebalan 4 µm, kemudian ditempelkan pada gelas obyek merk Sail Brand dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm.
51
b. Deparafinisasi dengan dicelupkan pada xilol sebanyak 4 kali masingmasing celupan selama 5 menit. c. Hidrasi dengan akohol bertingkat dengan konsentrasi menurun mengunakan alkohol 95%, alkohol 80%, alkohol 75% dan alkohol 50%, masing-masing celupan selama 2 menit. d. Masukkan ke air selama 10 menit. e. Celupkan ke cat utama yaitu Harris’s hematoksilin selama 10 menit. f. Cuci dengan air selama 10 menit. g. Lihat dibawah mikroskop, inti sel akan terlihat biru terang sedangkan sitoplasma tidak berwarna. h. Celupkan pada cat pembanding eosin 1% selama 0,5-1 menit. i. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat dengan konsentrasi meningkat mengunakan alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95% dan alkohol absolut, masing-masing celupan selama 2 menit. j. Penjernihan dengan xilol sebanyak 4 kali celupan, lama masingmasing celupan selama 5 menit. k. Tutup dengan cover glass. 3. Memilih preparat yang digunakan sebagai dasar untuk mencari blok parafin. Preparat yang dipilih untuk pemeriksaaan imunohistokimia
52
P16INK4a adalah preparat yang paling banyak mengandung bagian tumor dengan sedikit atau tidak ada area nekrosis maupun perdarahan. 4. Preparat yang dipilih kemudian dicari blok parafinnya. 5. Blok parafin dipotong setebal 4 µm dengan mikrotom untuk pulasan imunohistokimia. 6. Melakukan pulasan imunohistokimia P16INK4a dengan menggunakan antibodi monoklonal P16INK4a dari Abcam, dengan pengenceran 1:100, menggunakan metode ABC. Sel yang dinyatakan terpulas positif adalah sel yang terpulas coklat pada nukleus dan sitoplasma, diamati dengan menggunakan mikroskop cahaya binokuler Olympus CX21 pada lapang pandang dengan pembesaran 40 kali sampai 400 kali. Penilaian ekspresi P16INK4a dibuat dengan mengevaluasi dua parameter yaitu persentase sel-sel yang tercat positif dengan P16INK4a dan intensitasnya. Persentase dari sel-sel yang tercat positif di-grading sebagai berikut: grade 0: tidak ada sel yang tercat, grade 1: > 0 – 10% sel yang tercat, grade 2: > 10-50% sel yang tercat, grade 3: >50-80% sel yang tercat, grade 4: >80% sel yang tercat. Intensitas pewarnaan dievaluasi secara subjektif, diskor sebagai berikut: 0: negatif, 1: lemah, 2: sedang, 3: kuat; sedangkan skor ekspresi P16INK4a dibuat dengan mengalikan grading dengan skor intensitas. Prosedur Pulasan Imunohistokimia P16INK4a: a. Potong blok parafin menggunakan mikrotom Leica 2125 RM dengan ketebalam 4 µm, kemudian direkatkan pada gelas obyek yang telah
53
dilapisi dengan poly-L-lysine, merk Sigma, dengan ukuran lebar 1 inchi, panjang 3 inchi dan tebal 1,2 mm. b. Inkubasi dalam inkubator dengan suhu 37o C selama 1 malam. c. Deparafinisasi dengan xilol, preparat dicelupkan ke dalam xilol sebanyak 3 kali, masing-masing celupan selama 3 menit. d. Rehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol absolut 2 kali, alkohol 95%, alkohol 80%, dan alkohol 70%, masing-masing selama 3 menit. e. Cuci dengan aquadest selama 10 menit. f. Teteskan H2O2 dalam methanol 3% sampai menutupi seluruh permukaan jaringan selama 15 menit. g. Cuci dengan aquadest selama 10 menit. h. Cuci dengan PBS (phosphate buffer saline) sebanyak 2 kali, masingmasing selama 10 menit. i. Rendam dengan buffer sitrat 0,01 M, pH 6,0. Kemudian panaskan di dalam oven microwave selama 15 menit, mula-mula dengan pemanasan tinggi (80oC) sampai tepat mendidih kemudian dengan pemanasan sedang (50oC) selama 5 menit. j. Dinginkan pada suhu kamar. k. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit.
54
l. Teteskan 100µl selama 10 menit. m. Teteskan 100 µl antibodi primer menggunakan antibodi monoklonal P16INK4a dari Dako yang telah diencerkan (pengenceran 1:100) selama 30 menit pada suhu kamar atau semalam pada suhu 40C. n. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. o. Teteskan Biotinylated Anti Polyvalent selama 10 menit. p. Cuci dengan buffer saline (BS) sebanyak 2 kali, masing-masing 10 menit. q. Teteskan Streptavidin Peroxidase selama 10 menit. r. Cuci dengan PBS sebanyak 2 kali, masing-masing selama 10 menit. s. Teteskan dengan reagen DAB selama 10 menit. t. Cuci dengan air mengalir. u. Counterstain dengan Mayer Hematoksilin selama 2 menit. v. Cuci dengan air mengalir. w. Dehidrasi dengan alkohol bertingkat terdiri dari alkohol 70%, alkohol 80%, alkohol 95%, dan alkohol absolut 2 kali, masing-masing selama 3 menit. x. Celupkan ke dalam xilol sebanyak 3 kali, masing-masing selama 3 menit.
55
y. Tutup dengan cover glass. 7. Pemeriksaan pulasan imunohistokimia P16INK4a dilakukan oleh peneliti dan seorang ahli Patologi Anatomi (dokter spesialis Patologi Anatomi). 8. Blok parafin yang sudah selesai diproses dikembalikan ke Laboratorium Patologi Anatomi Swasta, Denpasar dan Laboratorium Patologi Anatomi FK UNUD/RSUP Sanglah, Denpasar. 9. Pencatatan dan pengumpulan data. 10. Analisis data.
4.8 Analisis Data Karakteristik sampel disajikan secara deskriptif, dengan menggunakan narasi, grafik dan tabel. Perbedaan ekspresi P16INK4a antara CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC seviks uteri diuji dengan analisis bivariant Kruskal Wallis. Tingkat kemaknaan (α) pada p<0,05. Presisi data ditentukan dengan nilai IK 95%.
56
4.9 Skema Alur Penelitian
Mencari nomor sediaan CIN1, CIN2, CIN3 dan SCC serviks uteri dari tanggal 1 Januari 2011 sampai 30 Juni 2013
Pengumpulan sediaan pulasan HE
Seleksi, rediagnosis sediaan mikroskopis yang memenuhi kriteria inklusi dan eksklusi
Memilih preparat sebagai dasar untuk memilih blok parafin untuk pulasan P16INK4a Mencari dan mengumpulkan blok parafin
Blok parafin dipotong 4 µm
Pengecatan imunohistokimia P16INK4a
Pemeriksaan hasil pulasan P16INK4a
Pencatatan dan pengumpulan data
Analisis statistik Gambar 4.1 Skema Alur Penelitian
57
BAB V HASIL PENELITIAN
5.1 Karakteristik Subjek Penelitian Laporan awal penelitian ini disampaikan dengan jumlah sampel sebanyak 60, yang terdiri dari 10 sampel CIN1, 10 sampel CIN2, 10 sampel CIN3, dan 30 sampel SCC serviks uteri. Subjek penelitian dipilih secara conssecutive sampling dari blok parafin pasien yang memeriksakan sampel biopsi jaringan serviks ke laboratorium Patologi Anatomi swasta dan laboratorium Patologi Anatomi RSUP Sanglah/Denpasar dan diperiksa secara histopatologi selama periode januari 2011 sampai Juni 2013, kemudian dilakukan pemeriksaan imunohistokimia dengan P16INK4a. Berdasarkan diagnosis didapatkan sampel CIN1 sebanyak 10 kasus (16,7%), CIN2 sebanyak 10 kasus (16,7%), CIN3 sebanyak 10 kasus (16,7%), dan SCC serviks uteri sebanyak 30 kasus (50%) (Tabel 5.1). Sedangkan pada pemeriksaan grade ekspresi P16INK4a didapatkan sebagai berikut: grade (0) 1 kasus (1,7%), grade (1) 4 kasus (6,7%), grade (2) 12 kasus (20%), grade (3) 13 kasus (21,7%) dan grade (4) 30 kasus (50%) (Tabel 5.1). Pemeriksaan intensitas ekspresi P16INK4a dari 60 sampel menunjukkan berturut-turut 1(1,7%) negatif (tidak terpulas), 13 (21,7%) terpulas dengan intensitas lemah, 17 (28,3%) terpulas dengan intensitas sedang, 29 (40,3%) terpulas dengan intensitas kuat (Tabel 5.1). Rentang umur pasien pada penelitian ini cukup bervariasi yaitu dari usia 24 tahun sampai 72 tahun dengan jumlah terbanyak pada rentang usia 40-49 tahun 57
58
(Grafik 5.1). Distribusi umur terbanyak berturut-turut pada kasus CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri yaitu dekade 4, 5, 5, 6 (Grafik 5.2). Rata-rata usia pasien 46 ±12 tahun (Tabel 5.1). Tabel 5.1 Karakteristik Subyek Penelitian Karakteristik
Jumlah
Umur (tahun)
46±12
Diagnosis: CIN1
10 (16,7%)
CIN2
10 (16,7%)
CIN3
10 (16,7%)
SCC serviks uteri
30 (50,0%)
Grade (0) 0%
1 (1,7%)
(1) >0-10%
4 (6,7%)
(2) >10-50%
12 (20%)
(3) >50-80%
13 (21,7%)
(4) >80%
30 (50,0%)
Intensitas (0) Negatif
1 (1,7%)
(1) Lemah
13 (21,7%)
(2) Sedang
17 (28,3%)
(3) Kuat
29 (40,3%)
59
Gambar 5.1 Grafik Distribusi kasus berdasarkan kelompok umur.
Dekade Gambar 5.2 Grafik Distribusi Umur Berdasarkan Diagnosis Histopatologi.
60
Pada Tabel 5.2 ditunjukkan bahwa rerata umur kelompok CIN1 37,7±4,67; CIN2 45,7±10,83 ; CIN3 43,1±7,09, dan SCC serviks uteri 50,03±13,23.
Tabel 5.2 Distribusi rerata umur (tahun) pada kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri Kelompok
Rerata Umur±SD (tahun)
CIN1
37,7±4,67
CIN2
45,7±10,83
CIN3
43,1±7,09
SCC
50,03±13,23
5.2 Perbedaan Skor ekspresi P16INK4a antara kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri Untuk mengetahui perbedaan ekspresi P16INK4a pada kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri digunakan uji non parametrik yaitu uji Kruskal Wallis. Hasil analisis kemaknaan disajikan pada Tabel 5.3. Tabel 5.3 menunjukkan bahwa terjadi peningkatan rerata skor ekspresi P16INK4a yang semakin meningkat dari CIN1, CIN2, CIN3 sampai SCC serviks uteri berturut-turut 1,6±0,8 vs 4,8±1,6 vs 8,8±2,4 vs 10,2±3,0; dan beda rerata antara CIN1 dengan CIN2 -3,2; CIN2 dengan CIN3 -4,0; CIN3 dengan SCC serviks uteri -1,4. Antara CIN1 dengan CIN2 berbeda secara bermakna dimana nilai p= 0,001 (p<0,05). Antara CIN2 dengan CIN3 berbeda secara bermakna di mana nilai p=0,003 (p<0,05). Antara CIN3 dengan SCC serviks uteri tidak berbeda secara bermakna di mana nilai P=0,596. Dengan uji Kruskal Wallis
61
didapatkan bahwa nilai X2 = 36,65 ; df= 3 dengan nilai p<0,001. Ini menunjukkan bahwa ke empat kelompok tersebut nilai rerata skor ekspresi P16INK4a berbeda secara bermakna.
Tabel 5.3 Perbedaan skor ekspresi P16INK4a antara kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks Uteri Kelompok
Rerata ±SD
CIN1
1,6±0,8
CIN2
CIN3
SCC
4,8±1,6
8,8±2,4
10,2±3,0
Min-Maks 0,0
2,0
4,0
1,0
Beda rerata
CI beda rerata
Nilai p
-3,2
-5,0 sd -1,3
0,001
-4,0
-6,8 sd -1,2
0,003
-1,4
-4,2 sd 1,3
0,596
3,0
6,0
12,0
12,0
Uji One Way Anova antar kelompok F=36,38; df=3; p<0,001 Uji Kruskal Wallis antar kelompok Chi=36,65 df=3; p<0,001
Pada Tabel 5.3 juga memperlihatkan nilai skor minimum dan maksimum dari hasil pulasan P16INK4a. Pada kasus CIN1, terdapat sebuah kasus dengan skor 0, dan skor maksimumnya 3. Skor 3 didapatkan dengan mengalikan grade pada kasus tersebut adalah 3 (>50-80% sel yang terpulas) dan intensitasnya 1 (lemah) (Kasus M1234/2012) (Gambar 5.3). Kasus CIN2 nilai skor maksimumnya adalah 6. Skor 6 didapatkan dari mengalikan grade pada kasus tersebut adalah 3 (>5080% sel yang terpulas) dan intensitasnya 2 (sedang) (Kasus M777/2012) (Gambar 5.4). Kasus CIN3 dan SCC sama-sama memiliki skor tertinggi yaitu 12 yang didapatkan dengan mengalikan grade 4 (>80% sel yang terpulas) dan intensitas 3
62
(kuat) pada kasus M2302/2012 untuk CIN3 dan kasus M2172/2012 untuk SCC (Gambar 5.5 dan Gambar 5.6).
Gambar 5.3 Kasus M1234/2012 Pulasan Imunohistokimia P16INK4a pada CIN1 dengan skor ekspresi 3.
Gambar 5.4 Kasus M777/2012 Pulasan imunohistokimia P16INK4a pada CIN2 dengan skor ekspresi 6.
63
Gambar 5.5 Kasus M2302/2012 Pulasan imunohistokimia P16INK4a pada CIN3 dengan skor ekspresi 12.
Gambar 5.6 Kasus M2172/2012 Pulasan Imunohistokimia P16INK4a pada SCC Serviks Uteri dengan skor ekspresi 12.
64
BAB VI PEMBAHASAN
6.1 Distribusi Kasus Berdasarkan Data Klinis Umur Pasien Pada penelitian ini rerata umur pasien adalah 46±12 tahun, dengan rentang umur yang cukup bervariasi yaitu dari usia 24 tahun sampai72 tahun dan jumlah terbanyak pada rentang umur 40-49 tahun. Pada kasus CIN1, umur penderita terbanyak terjadi pada dekade 4, sedangkan pada CIN2 dan CIN3, umur penderita terbanyak terjadi pada dekade 5, sedangkan untuk SCC serviks uteri terbanyak I terjadi pada dekade 6, terbanyak ke II pada dekade 7. Jadi pada penelitian ini umur pasien pada kasus CIN1, CIN2, CIN3 terjadi pada usia yang lebih tua dibandingkan dengan data dari Kaiser Northern California, dimana CIN1 terjadi pada remaja usia 15 dan 19 tahun; hanya 1% terjadi pada usia 25-40 tahun dan lebih rendah lagi pada usia di atas 40 tahun. CIN2 dan CIN3 terjadi pada usia lebih muda yaitu dibawah usia 25-29 tahun (Wright et al., 2011). Perbedaan ini mungkin disebabkan karena di dunia barat prilaku budaya free sex sudah dimulai sejak usia dini, sedangkan di dunia timur prilaku free sex dikalangan remaja masih ditabukan dan masih adanya budaya bahwa hubungan sex hanya boleh dilakukan bila seseorang telah menikah. Umur pasien untuk kasus SCC serviks uteri pada penelitian ini tidak jauh berbeda dengan umur pasien kanker serviks invasif yang dilaporkan di U.S. Survellance Epidemiology and End Results (SEER) yang menyatakan bahwa kejadian kanker serviks meningkat pada usia 40 tahun sampai 65 tahun dan sedikit menurun diatas usia 65 tahun (Wright et al., 2011).
64
65
Dari hasil uji statistik pada penelitian ini rerata umur pasien pada kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri berbeda yaitu makin tinggi derajat displasia sampai ke SCC maka usia pasien semakin tua. Hal ini hampir sama dengan kasus di dunia barat bahwa usia mulai terjadi CIN1 lebih muda kemudian seiring dengan meningkatnya grade dysplasia sampai SCC maka usia pasien semakin tua, walaupun onset terjadinya CIN1, CIN2, CIN3 lebih muda dibandingkan dengan kasus pada penelitian ini.
6.2 Ekspresi P16INK4a Pada penelitian ini kami memeriksa 60 sampel yang terdiri-dari 10 sampel CIN1, 10 sampel CIN2, 10 sampel CIN3, dan 30 sampel SCC serviks uteri. Setelah dilakukan pemeriksaan immunohistokimia dengan P16INK4a dan uji statistk didapatkan bahwa terdapat perbedaan rerata skor ekspresi P16INk4a yang bermakna pada empat kelompok tersebut (CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri), dimana nilai p<0,001. Dari data diketahui bahwa terjadi peningkatan rerata skor ekspresi P16INK4a dari CIN1 ke CIN2, dari CIN2 ke CIN3 , dan dari CIN3 ke SCC serviks uteri, walaupun antara CIN3 dan SCC tidak berbeda secara bermakna. Hasil tersebut yang menunjukkan adanya perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a yang bermakna antara kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri dan terjadi peningkatan rerata skor ekpsresi P16INK4a dari CIN1 ke CIN2, dari CIN2 ke CIN3, dan dari CIN3 ke SCC serviks uteri, didukung oleh beberapa penelitian yang menggunakan beberapa biomarker sebagai standar obyektif dalam
66
mendiagnosis biopsi servikal, salah satunya dengan menggunakan P16INK4a, mendapatkan hasil bahwa meningkatnya intensitas pulasan imunohistokimia P16INK4a berhubungan dengan meningkatnya derajat CIN (Galgano et al., 2010). Secara statistik terdapat perbedaan ekspresi P16INK4a pada lesi serviks uteri (CIN) dan terdapat korelasi yang kuat antara level ekspresi P16INK4a dengan grade CIN (Karcheva et al., 2007).
Demikian juga dengan penelitian yang
dilakukan oleh Nam et al. (2008), didapatkan hasil bahwa ekspresi P16INK4a berhubungan positif dengan derajat CIN, jadi semakin tinggi grade dari CIN maka ekspresi P16INK4a semakin tinggi (Nam et al., 2008). Penelitian lain yang juga mendukung hasil penelitian ini adalah penelitian yang dilakukan oleh Lesnikova et al. (2009) didapatkan hasil bahwa peningkatan skor ekspresi P16INK4a sejalan dengan peningkatan grade dari CIN, atau dengan kata lain ekspresi P16INK4a berkaitan dengan grade CIN yang mengesankan bahwa P16INK4a mungkin memiliki nilai prognostik dan prediktif dalam penatalaksanaan neoplasia serviks uteri (Lesnikova et al., 2009). Ekspresi P16Ink4a berkorelasi baik dengan meningkatnya grade dari CIN, jadi terdapat hubungan linier antara meningkatnya grade CIN dan ekspresi P16INK4a (Tan et al., 2010; Haltas et al. (2012), dalam penelitiannya menyatakan bahwa ekspresi P16INK4a lebih tinggi secara signifikan pada CIN2 dan CIN3 dibandingkan dengan CIN1. Terdapat perbedaan yang signifikan secara statistik dalam perbandingan positifitas pengecatan P16INK4a diantara CIN1, CIN2/CIN3 dan SCC (Dordevic dan Zivkovic, 2011; Haltas et al., 2012).
67
Persamaan hasil yang didapat dari penelitian ini dengan penelitian yang lain yang telah dilakukan mungkin disebabkan karena secara teori proses karsinogenesis karsinoma serviks uteri sebagian besar berkaitan dengan infeksi persisten dengan HR-HPV, dan tipe HR-HPV manapun memiliki protein onkogen dengan kekuatan yang sama dalam menimbulkan perubahan lesi pre-malignan sampai malignansi pada epitel serviks dan tidak bergantung pada ras dari wanita yang terinfeksi, sehingga perubahan-perubahan morfologi yang bisa dilihat secara histopatologi dengan pewarnaan H&E maupun ekspresi protein molekular yang bisa diidentifikasi seperti P16INK4a dengan pulasan imunohistokimia adalah sama. Faktor resiko lain yang berkaitan dengan terjadinya malignansi pada serviks uteri adalah merokok, jumlah pasangan seksual yang banyak, melakukan hubungan seksual pada usia dini (kurang dari 16 tahun), penyakit menular seksual yang lain seperti Herpes simplex virus, Chlamidya Trachomatis, kehamilan pada usia muda, paritas yang tinggi, sosial ekonomi yang rendah, HIV, keadaan immunosupression dengan penyebab apapun, defisiensi vitamin, dan kontrasepsi oral yang digunakan (Wright et al., 2011); faktor resiko tersebut pada penelitian ini tidak diteliti. Sebagian dari faktor resiko tersebut belum diketahui dengan jelas role-nya dalam menimbulkan kanker serviks, sebagian masih kontroversi (Wright et al., 2011). Pada penelitian ini didapatkan terjadi peningkatan rerata skor ekspresi P16INK4a dari CIN1 ke CIN2, dari CIN2 ke CIN3, dan dari CIN3 ke SCC serviks uteri. Hal ini berkaitan dengan siklus infeksius papillomavirus dan perubahanperubahan morfologi maupun molecular yang ditimbulkan oleh HR-HPV tersebut.
68
Sebagian besar lesi CIN1 mempertahankan virus sebagai episom, yang mendukung siklus replikasi virus yang komplit dan gen virus terekspresi, khususnya E6 dan E7 yang diatur secara ketat. Late genes-pun terekspresi, partikel virus terkumpul dan terlepas (Stanley, 2010). Pada lesi CIN1 ini berarti ekspresi protein E6 dan E7 masih relatif sedikit karena diatur secara ketat tidak berlebihan, sehingga pRB yang terikatpun lebih sedikit dan efek dari pengikatan tersebut berpengaruh terhadap diaktifkannya protein penghambat siklus sel yaitu P16INK4a dihasilkan juga relatif sedikit sesuai kebutuhan. Pada CIN1 atipia inti terjadi pada sepertiga ketebalan epitel (Wells et al., 2003; Doorbar, 2006; Wright et al., 2011), sehingga P16INK4a juga terekspresi pada sepertiga ketebalan epitel namun dengan grade dan intensitas yang lemah, seperti yang didapatkan pada penelitian ini. Cervical Intraepithelial Neoplasia 2/Cervical Intraepithelial Neoplasia 3 berhubungan secara eksklusif dengan tipe HR-HPV. Pada umumnya karena defek pada diferensiasi selular yang menandai lesi-lesi ini, high grade CIN tidak menyokong siklus infeksius virus yang komplit. Ekspresi Late gene berkurang dan hilang secara signifikan, urutan DNA virus mungkin berintegrasi ke dalam genome host, dan ekspresi onkogen E6 dan E7 ditata ulang dan diproduksi secara berlebihan (Doorbar, 2006; Stanley, 2010). Hal ini berkaitan kembali dengan pengikatan pRB dengan E7 yang berdampak terhadap aktivasi protein inhibitor siklus sel yaitu P16INK4a yang juga diproduksi semakin banyak dengan semakin banyaknya sel epitel yang terinfeksi disertai dengan integrasi DNA virus ke genome host, sehingga pada CIN2, hanya 2/3 sel-sel epitel yang mengalami
69
displasia/atipia inti, maka P16INK4a juga terekspresi pada 2/3 ketebalan epitel sehingga skor ekspresinyapun meningkat dibandingkan dengan CIN1. Pada CIN3 seluruh ketebalan epitel dipenuhi oleh sel-sel yang proliferatif dimana maturasi sitoplasmik minimal. Perubahan morfologi sel ditandai dengan abnormalitas nuklear seperti pleomorfik dan hiperkromatik serta mitosis abnormal banyak ditemukan (Wells et al., 2003; Stanley, 2010). Semakin banyak sel yang terinfeksi HR-HPV dengan integrasi DNA virus ke genome host (DNA host) merupakan bagian yang krtits dalam perkembangan karsinogenesis serviks, melalui gangguan terhadap open reading frame E1/E2 dari genom HPV dan selanjutnya E2 kehilangan kemampuannya untuk mengontrol pengaturan ekspresi oncogen E6 dan E7sehingga produksi E6 dan E7 yang berlebihan, menginaktifkan protein P53 dan pRb dari host, menghasilkan proliferasi sel tak terkendali dan cellular imortalisation, yang memungkinkan untuk transformasi ke CIN3 dengan potensi menjadi progresif kearah karsinoma invasif (Kalof dan Cooper, 2007); maka protein P16INK4a yang diproduksi juga semakin banyak yang terdeteksi pada seluruh ketebalan epitel dengan intesitas kuat sehingga menghasilkan skor yang lebih tinggi dibandingkan dengan CIN1 maupun CIN2 seperti yang didapatkan pada penelitian ini. Skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC mungkin juga disebabkan karena pada SCC sudah lebih banyak terjadi ketidakstabilan genetik serta aneuploidy kromosom seperti yang ditulis oleh Stanley (2010) bahwa cervical intraepithelial neoplasia dan SCC ditandai dengan atipia sitologik dan histologik yang lebih berat yang mencerminkan aneuploidy kromosom (jumlah kromosom
70
yang abnormal) dan ketidakstabilan genetik. Lesi yang secara genetik tidak stabil mampu berkembang dan progresif oleh karena meningkatnya kemungkinan terjadinya mutasi lebih lanjut pada gen host yang menyebakan karsinoma (Stanley, 2010), walaupun belum ada yang meneliti keterkaitan aneuploidi kromosom dengan ekspresi P16INK4a. Dari hasil penelitian ini tidak terdapat perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a yang bermakna antara antara CIN3 dengan SCC serviks uteri, dimana nilai p = 0,596 (p>0,05). Hal ini sama dengan penelitian yang dilakukan oleh beberapa peneliti yang mendapatkan hasil bahwa perbandingan ekspresi P16INK4a antara high grade CIN (CIN3) dan SCC secara statistik tidak signifikan (Wang et al., 2005; Cheah et al., 2012). Karcheva et al.(2007) juga mendapatkan bahwa hampir 100% lesi high grade (CIN3) dan SCC menunjukkan level yang tinggi dari ekspresi P16INK4a (Karcheva, 2007). Hal ini mungkin disebabkan karena pada lesi CIN3 dan SCC merupakan hasil dari progresifitas lesi CIN1 maupun CIN2 dimana pada saat perkembangan lesi menjadi yang lebih berat (tinggi) sudah melibatkan banyak faktor bukan hanya karena infeksi HPV saja yang menyebabkan jumlah kromosom abnormal, ketidakstabilan genetik, mutasi yang lebih banyak dan tambahan-tambahan perubahan genetik selular lainnya, serta penataan ulang ekspresi gen viral (teruama onkogen E6 dan E7), tetapi mungkin juga melibatkan faktor yang lain seperti host itu sendiri maupun lingkungan (Stanley, 2010). Kami mengasumsikan bahwa tidak terdapatnya perbedaan yang signifikan ekpsresi P16INK4a antara CIN3 dengan SCC serviks uteri pada penelitian ini oleh karena baik pada CIN3 maupun SCC serviks uteri
71
terjadi produksi yang berlebihan onkoprotein E7 serta faktor lainnya yang terkait dengan perubahan molekuler selular lainnya yang berhubungan dengan karsinogenesis karsinoma serviks uteri, walaupun belum ada penelitian yang mencari keterkaitan secara molekuler bagaimana terjadinya peningkatan ekspresi P16INK4a dengan protein molekular lainnya pada CIN3 dan SCC serviks uteri dan belum ada penelitian yang secara jelas mencari atau menjelaskan secara gamblang mengapa ekspresi P16INK4a tidak berbeda pada CIN3 dan SCC serviks uteri. Tidak terdapatnya perbedaan yang bermakana secara statistik ekspresi P16INK4a antara CIN3 dan SCC serviks uteri yang didapat pada penelitian ini mungkin juga disebabkan karena masalah teknis seperti: (1) subjektifitas peneliti dalam menginterpretasikan hasil pulasan P16INK4a; (2) besar sampel yang digunakan pada penelitian ini kurang banyak; (3) antibody clone yang digunakan berbeda dengan peneliti lain (peneliti menggunakan rabbit monoclonal (EPR1473) to CDKN2A/p16INK4a); (4) standar kriteria yang digunakan dalam penilaian skoring imunoekspresi P16INK4a berbeda-beda pada tiap peneliti, belum ada standar bagaimana menginterpretasikan pulasan imunohistokimia P16INK4a. Pemeriksaan imunohistokimia P16INK4a pada 10 kasus CIN1, kami menemukan hanya 1 kasus yang skor ekspresinya 0. Hal ini mungkin disebabkan oleh karena kami salah menginterpretasikan biopsi serviks yang normal sebagai CIN1, seperti yang dinyatakan oleh beberapa peneliti bahwa penilaian histologik CIN sangat rumit diantara observer. Persoalan yang paling sering adalah kesulitan
72
membedakan antara yang normal dengan CIN dari berbagai grade, sehingga sering timbul kesalahan dalam mengklasifikasikan biopsi serviks yang normal sebagai CIN1 (Klaes et al., 2002; Horn et al., 2008; Galgano et al., 2010). Kemungkinan yang lain adalah kasus tersebut merupakan CIN1 yang diinduksi oleh infeksi low risk HPV (LR-HPV). Lesi serviks yang low grade (CIN1) bisa disebabkan oleh infeksi LR-HPV dan high risk HPV (HR-HPV) dan sulit dibedakan secara histopatologi, namun dengan pemeriksaan imunohistokimia P16INK4a CIN1 yang diinduksi oleh infeksi LR-HPV menunjukkan ekspresi P16INK4a yang negatif. Jika CIN1 memiliki skor ekspresi yang lebih tinggi maka kasus tersebut memiliki kecendrungan untuk berkembang menjadi lesi high grade. Jadi pulasan imunohistokimia P16INK4a sangat berguna pada kasus-kasus CIN1 yang mungkin mengandung LR-HPV atau HR-HPV, sehingga kita dapat memperkirakan apakah lesi tersebut akan berkembang menjadi CIN2, CIN3, sampai kanker bila atau regresi (Jedpiyawongse et al., 2008). Andersson et al. (2006) dalam penelitiannya tentang hubungan ekspresi P16INK4a dengan histopatologi dan viral load dari tipe high risk HPV pada lesi neoplastik servikal, menjelaskan bahwa tidak terdapatnya ekspresi P16INK4a pada beberapa lesi yang positif dengan HR-HPV mungkin lesi tersebut akan mengalami proses regresif (Andersson et al., 2006). Izadi-Mood et al. (2012) juga menyatakan bahwa P16INK4a sangat berguna tidak hanya dalam membedakan epitel yang normal dengan lesi high grade, tetapi juga dapat memperkirakan bahwa lesi low grade dengan ekspresi P16INK4a yang tinggi mengesankan meningkatnya resiko untuk berkembang menjadi kanker oleh karena bersatunya
73
genomik dari onkogenik HPV (Izadi-Mood et al., 2012); namun belum ada cara yang betul-betul dapat dipercaya untuk memprediksi apakah lesi CIN tersebut akan berkembang menjadi kanker yang invasif, atau apakah akan tetap stabil atau regresi menjadi normal (Andersson et al., 2006). Kemungkinan yang lain adalah lesi CIN1 tersebut mungkin memang CIN1 namun tidak mengekspresikan P16INK4a, karena seperti pada penelitian yang dilakukan oleh Volgareva et al. (2004), mendapatkan hasil bahwa ekspresi P16INK4a yang negatif baik pada CIN maupun karsinoma bisa ada walaupun hasil pemeriksaan PCR-nya positif mengandung HR-HPV, sehingga tidak adanya sel yang terpulas dengan P16INK4a dari berbagai sampel lesi servikal tidak dipakai sebagai alasan yang cukup untuk mengeksklusi pasien dari kelompok higrisk (Volgareva et al., 2004); tetapi belum ada penjelasan mengapa pada kasus dengan lesi CIN dan SCC yang mengandung HR-HPV namun lesi tersebut tidak mengekspresikan P16INK4a. Pada kasus di penelitian ini, peneliti juga belum bisa mengeksklusi 1 kasus ini dari kelompok CIN1, mungkin diperlukan pemeriksaan dengan PCR untuk mengetahui apakah lesi tersebut mengandung HPV atau tidak. Jadi hasil utama dalam penelitian ini adalah terdapat perbedaan yang bermakna dari rerata skor ekspresi P16INK4a pada kelompok CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri dengan nilai p<0,001 (P<0,05) dan rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, dan CIN3. Hasil penelitian ini tidak berbeda dengan penelitian-penelitian lain yang pernah dikerjakan. Hal tersebut membuktikan dan mempertegas proses karsinogenesis kanker serviks uteri yang disebabkan oleh HR-HPV.
74
BAB VII SIMPULAN DAN SARAN
7.1 Simpulan 1. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN1. 2. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN2. 3. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri daripada CIN3. 4. Terdapat perbedaan rerata skor ekspresi P16INK4a yang bermakna antara CIN1, CIN2, CIN3, dan SCC serviks uteri. 5. Rerata skor ekspresi P16INK4a lebih tinggi pada SCC serviks uteri dibandingkan dengan CIN1, CIN2, dan CIN3.
7.2 Saran 1. Perlu dilakukan penelitian lebih lanjut tentang tipe genotype HPV (apakah LR-HPV atau HR-HPV) pada lesi CIN1 dengan pemeriksaan PCR. 2. Perlu dilakukan kombinasi pemeriksaan P16INK4a dengan genotype HPV apakah yang LR-HPV atau HR-HPV untuk melihat apakah lesi tersebut akan progresif atau regresi, sehingga penatalaksanaan pasien menjadi lebih tepat.
74
75
3. Perlu dibuat kesepakatan tentang keseragaman dalam penilaian ekpsresi P16INK4a terutama pada lesi CIN sampai kanker invasif, oleh karena ekspresi P16INK4a bisa digunakan sebagai biomarker untuk menilai progresifitas lesi CIN. 4. Mungkin pemeriksaan konvensional dengan pulasan H&E masih merupakan gold standar untuk membedakan CIN3 dengan SCC serviks uteri. 5. Dalam kaitannya dengan penatalaksanaan pasien, P16INK4a bisa digunakan untuk mengurangi kesalahan dalam interpretasi antara CIN1 dengan serviks yang normal.
76
DAFTAR PUSTAKA
Andersson S., Wangsa D., Flores-Staino C., Safari H., Mints M., Hjerpe A., Hagmar B., Johansson B. 2006. Expression of p16INK4a in relation to histopatology and viral load of ‘high risk’ HPV types in cervical neoplastic lesions. European Journal of Cancer, 42: 2815-2820. Burd E.M. 2003. Human papillomavirus and cervical cancer. Clinical Microbiology Riviews, 16(1): 1-17. Cheah P-L., Looi L-M., Teoh K-H., Mun K-S., Nazarina A.R. 2012. P16INK4a is a useful marker human papillomavirus integration allowing risk stratification for cervical malignancies. Asian Pacific J Cancer Prev, 13: 469-472. Divani S., Vardout A., Alexopoulou V. 2008. Immunocytochemical detection of p16INK4a protein for the identification of patients at risk of cervical cancer. Acta Oncology, 16(1-2): 3-4. Doorbar J. 2006. Molecular biology of human papillomavirus infection and cervical cancer. Clinical science, 110: 525-541. Dordevic B., Zivkovic N. 2011. Evaluation of p16INK4a protein as biomarker for cervical intraepithelial neoplasia and squamous cell carcinoma of uterine cervix. Acta Medica Medianae, 50(2): 29-33. Galgano M., Castle P., Atkins K., Brix W., Nassau S., Stoler M. 2010. Using biomarkers as objevtive standars in the diagnosis of cervical biopsies. Am J Surg Pathol, 34: 1077-1087. Garrett M.D. 2001. Cell cycle control and cancer. Current scince, 81(5): 515-522. Horn L-C., Reichert A., Oster A., Arndal S.F.,Trunk M.J.,Ridder R., Rassmussen O.F., Bjelkenkrantz K., Christiansen P., Eck M., Lorey T., Skovlund V.R., Ruediger T., Schneider V., Schmidt D. 2008. Immunostaining for p16INK4a used as conjunctive tool improves interobserver agreement of the histologic diagnosis of cervical intraepithelial neoplasia. Am J Surg Pathol, 32(4): 502-512. Haltas H., Bayrak R., Yenidunya S., Yildrim U. 2012. The immunohistochemical detection of P16INK4a and capsid proteinon cell block sections from residual papspin liquid based gynecology cytology specimen as a diagnostic and prognostic tool. European Review for Medical and Pharmacological Sciences, 16: 1588-1595.
76
77
Hwang S.J., Shroyer K.R. 2012. Biomarker of cervical dysplasia and carcinoma. Journal of Oncology, 2012: 1-9. Izadi-Mood N., Asadi K., Shojaei H., Sarmadi S., Ahmadi S.A.,Sani S., Chelavi L.H. 2012. Potential diagnostic value of p16INK4a expression in premalignant and malignant cervical lesion. Journal of Research in Medical Science, 17(5): 428-433. Jedpiyawongse A. Homcha-em P., Karalak A., Srivatanakul P. 2008. Immunohistochemical ovrexpression of p16INK4a protein associated with cervical cancer in Thailand. Asian Pacific Journal of Canecr Prevention, 9: 625-630. Kalof A.N., Cooper K. 2007. Our approach to squamous intraepithelial lesions of the uterine cervix. J Clin Pathol, 60(5): 449-455. Karcheva M., Popovska S., Nachev R. 2007. Immunohistochemical investigation of P16INK4a expression in carcinomas and high grade cervical lesions. Journal of IMAB-annual proceeding (Scientific Papers) 1: 22-24. Khan A., Singer A.2008. Biomarkers in cervical precancer management: the new frontiers. Future oncology, 4: 515-425. Kim SS., Cho HY., Kang S., Kim HB., Park SH. 2011. Is the expression of p16INK4a and galectin-3 correlated withdesease progression of cervical neoplasia? Korean J Obstet Gynecol, 54(4): 192-198. Klaes R., Benner A., Friedrich T., Ridder R., Herrington S., Jenkins D., Kurman R.J., Schmidt D., Stoler M., Doeberitz M.V.K. 2002. P16INK4a immunohistochemistry improves interobserver agreement in diagnosis of cervical intraepithelial neoplasia. Am J Surg Pathol, 2(11): 1389-1398. Kumar F., Abbas A.K., Fausto N., Aster J.C. 2008. Tissue renewal, regeneration,and repair. Robbins and cotran pathologic basis of disease. Eight edition. Philadelphia. Saunders Elsevier. p. 80-82. Lesnikova I., Lidang M., Dutoit S.H., Koch J. 2009. P16 as a diagnostic marker of cervical neoplasia: a tissue microarray study of 796 archival specimens. Diagnosic Pathology, 4(22): 1-7 Mucuta D., Cralut D., Pop T., Lazar E. 2010. The possible role of p16, e-chaderin and BCL-2 expresion in prognosis of cervical precancerous lesions. Journal of experimental medical & surgical research, 17(3): 200-204.
78
Nam E.J., Kim J.W., Hong J.W., Jang H.S. Lee S.Y., Jang S.Y., Lee S.Y., Jang S.Y., Lee D.W., Kim S.W., Kim J.H., Kim Y.T., Kim S., Kim J.W. 2008. Expresion of the p16INK4a and Ki-67 in relation to the grade of cervical intraepithelial neoplasia and high-risk human papillomavirus infection. J gynecol oncol, 19(3): 162-168. Paavonen J. 2007. Human papillomavirus infection and the development of cervical cancer and related genital neoplasias. International journal of infectious disease, 11(supplement 2): 53-59. Park M.T., Lee S.J. 2002. Cell cycle and cancer. Journal of biochemistry and molecular biology, 36(1): 60-65. Pietenpol J.A., Stewart Z.A. 2002. Cell cycle checkpoint signaling: cell cycle arrest versus apoptosis. Toxicology, 181-182: 475-481. Skiba D., Mehlhorn G., Fasching P.A., Beckmann M.W., Ackermann S., 2006. Prognostic significance of serum antibodies to HPV-16 L1 virus like particles in patients with invasive cervical cancer. Anticancer research, 26: 4921-4926. Stanley M. 2010. Pathology and epidemiology of HPV infection in females. Gynecology oncology, 117: S5-S10. Stricker T.P., Kumar V. 2008. Neoplasia. In: Kumar F., Abbas A.K., Fausto N., Aster J.C. 2008. Robbins and cotran pathologic basis of disease. 8th. Philadelphia: Saunders Elsevier. p. 284-292. Susanti I. 2006. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia Tahun 2006 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia. Susanti I. 2007. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia Tahun 2007 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia. Susanti I. 2008. Registrasi Kanker di Denpasar. Dalam: Kanker di Indonesia Tahun 2008 Data Histopatologik. Direktorat Jendral Pelayanan Medik Departemen Kesehatan RI, Badan Registrasi Kanker Perhimpunan Dokter Spesialis Patologi Indonesia, Yayasan Kanker Indonesia.
79
Tamborini E., Perrone F., Frattini M., Negri T., Aiello A., Gloghini A. 2008. In: Bronchud M.H., Foote M.A., Giaccone G., Olopade O., Workman P., editors. Principles of molecular oncology. Third edition. Totowa, New jersey: Humana. p. 54-56. Tan G.C., Norlatifah S., Sharifah N.A., Razmin G., Shiran M.S., Hatta A.Z., PaulNg H.O. 2010. Immunohistochemical study of p16INK4a and survivin expressions in cervical squamous neoplasm. Indian journal of phatology and microbiology, 53(1): 1-6 Thomison J., Thomas L.K., Shroyer K.R. 2008. Human papillomavirus: molecular and cytology/histology aspects related to cervical intraepithelial neoplasia and carcinoma. Human pathology, 39: 154-166. Tjalma W.A.A., Van Waes T.R., Van Den Eiden L.E.M., Bogers J.J.P.M. 2005. Role of human papillomavirus in the carcinogenesis of squamous cell carcinoma and adenocarcinoma of the cervix. Best practice & research clinical obstetric and gynecology, 19(40): 469-483. Varmeulen K., Van Bockstaele D.R., Berneman Z.N. 2003. The cell cycle: a review of regulation, deregulation and therapeutic targets in cancer. Cell prolif., 36: 132-149. Vet J.N.I., de Boer M.A., van den Akker B.E.W.M., Siregar S., Budiningsih S., Tyasmorowati D., Moestikaningsih, Cornain S., Peters A.A.W., Fleuren G.J. 2008. Prevalence of human papillomavirus in Indonesia a populationbased study in three regions. British Journal of Cancer, 99(I); 214-218. Volgareva G., Zavalishina L., Andreeva Y., Frank G., Krutikova E., Golovina D., Bliev A., Spitkovsky D., Ermilova V., Kisseljov F. 2004. Protein p16INK4a as a marker of dysplastic and neoplastic alteration in cervical epithelial cells. BMC cancer, 4(58): 1-10. Wang J., Zheng B., Nokelainen K., Angstrom T., Lindstrom M., Wallin K. 2005. P16INK4a and p14ARF expression pattern by immunohistochemistry in human papillomavirus-related cervical neoplasia. Modern Pathology, 18: 629-637. Wells M., Ostor A.G., Crum C.P., Franceschi S., Tommasino M. 2003. Epithelial tumours. In: Tavassoli F.A., Devilee P., editors. WHO: Pathology and genetics tumours of the breast and female genital organ. Lyon: IARC. p. 262-264. Wright T.C. 2006. Pathology of HPV infection at cytology and histologic level: basis for a 2-tiered morphologic classification system. International journal of gynecology and obstetric, 94(supplement 1): S22-S31.
80
Wright T.C., Ronnett B.M., Kurman R.J., Ferenczy A. 2011. Precancerous lesions of the cervix. In: Kurman R.J., Ellenson L.H., Ronnett B.M., editors. Blaustein’s Pathology of The Female Genital Tract.Sisxth edition. New York: Springer. p. 197.
81
Lampiran 1
82
Lampiran 2
83
Lampiran 3 Data Sampel Penelitian dan Hasil Pemeriksaan Imunohistokimia P16INK4a No 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15 16 17 18 19 20 21 22 23 24 25 26 27 28 29 30 31 32 33 34 35 36 37
No Sediaan M3131/12 M2814/12 M2526/12 M2373/12 M1814/12 M1234/12 M283/12 M3130/12 M1068/12 M955/12 M2884/12 M1244/12 M2828/12 M1687/12 M913/12 M283/12 M897/12 M777/12 M741/12 M1408/12 M2302/12 M3084/12 M2515/12 M2469/12 M562/12 M1113/12 M1529/12 M2841/11 M2847/12 2505PP13 M3152/12 M2716/12 M2412/12 M2160/12 M2172/12 M1945/12 M1911/12
Umur 43 44 41 28 35 36 35 37 38 40 46 65 46 59 44 35 45 45 26 46 45 40 33 40 54 43 47 51 32 46 28 78 54 39 60 58 35
Diagnosis CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN1 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN2 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 CIN3 SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC
Grade 0 2 2 2 2 3 1 1 1 2 2 2 2 2 2 3 3 3 3 3 3 3 3 4 4 3 3 4 3 3 4 4 4 1 4 4 2
Intensitas 0 1 1 1 1 1 1 1 1 1 2 1 2 1 3 2 2 2 2 2 3 2 3 2 2 3 3 2 3 3 3 3 3 1 3 2 1
Skor 0 2 2 2 2 3 1 1 1 2 4 2 4 2 6 6 6 6 6 6 9 6 9 8 8 9 9 8 9 9 12 12 12 1 12 8 2
84
38 39 40 41 42 43 44 45 46 47 48 49 50 51 52 53 54 55 56 57 58 59 60
M1874/12 M1839/12 M1570/12 M150/12 M1567/11 M1501/11 M492/11 M197/11 M120/11 1740PP12 1799PP12 1864PP12 1973PP12 2013PP12 2170PP12 2201PP12 2497PP12 2584PP12 2782PP12 2797PP12 3103PP12 3582PP12 4248PP12
61 61 40 39 24 60 42 34 51 37 54 60 64 30 49 50 57 62 54 58 50 40 72
SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC SCC
4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4 4
3 3 3 2 3 3 3 3 3 3 3 2 3 3 2 3 2 3 2 2 3 2 3
12 12 12 8 12 12 12 12 12 12 12 8 12 12 8 12 8 12 8 8 12 8 12
85
Lampiran 4 Hasil Analisis Statistik
86
87
88
89