BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang Masalah Kesastraan Mesir modern mengangkat tema-tema tentang perjuangan, liberalisasi, emansipasi, revolusi, pemberontakan, maupun tentang keterasingan, dengan menggunakan berbagai sudut pandang ataupun ideologi sebagai alat dalam penyaluran karyanya untuk mengkritisi kehidupan sosial masyarakat. Pertentangan antara sekuler dan religius dalam melihat kebudayaan beserta solusi yang menyertainya mempunyai sejarah yang panjang di bumi Mesir. Sementara itu, hubungan yang kurang harmonis antara pemerintah yang berkuasa dengan kelompok Ikhwanul Muslimin juga mempunyai sejarah yang panjang dan terus berlangsung hingga dewasa ini. Hubungan yang terkadang memanas, kemudian sedikit mencair dan kemudian kembali ke tingkat yang memprihatinkan antara pemerintah yang notabene berseberangan pendapat maupun ideologi dengan Ikhwanul Muslimin terus berlangsung dan menjadi bagian yang tak terpisahkan di bumi Mesir modern. Jika balik ke belakang untuk melihat akar dari lahirnya Ikhwanul Muslimin di Mesir, di satu sisi disebabkan karena penjajahan Inggris dengan segala konsekuensinya di bumi Mesir, sebab, keberadaan penjajah menjadi pemicu sentimen keagamaan bagi rakyat Mesir dalam mendorong mereka untuk melakukan perlawanan terhadap segala sesuatu yang berasal dari penjajah. Di sisi yang lain, kebanyakan dari partai-partai politik sebelum terbentuknya Ikhwanul muslimin di Mesir membawa pemikiran sekuler Barat, sedangkan hukum syari’at Islam mereka
1
2
nafikan, kalaupun diberlakukannya hukum syari’at Islam, hanya berkisar hukum tentang keluarga, seperti hukum pernikahan dan perceraian. Berasal dari latar belakang di atas, terbentuklah Ikhwanul muslimin di Mesir, dakwah yang metode penyampaiannya berbeda dengan pola-pola yang ada sebelumnya sehingga dakwah ini banyak menarik simpati dari berbagai kalangan masyarakat, karena dakwah Ikhwanul muslimin tidak hanya terpaku di masjidmasjid, melainkan juga di kafe-kafe, maupun kedai-kedai, kemudian waktu yang dipakai untuk sekali menyampaikan dakwah pada satu tempat seminimal mungkin, karena masyarakat akan cepat bosan jika terlalu lama. Dalam waktu yang relatif singkat, Ikhwanul Muslimin banyak mendapat dukungan dari berbagai kalangan masyarakat Mesir. Mula-mula gerakan ini menekankan pentingnya pembangunan sosial, pendidikan, dan moral kaum muslim, jadi merupakan suatu usaha reformasi dari yang sudah lama dirintis tokoh-tokoh seperti Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Tetapi sistem organisasi yang diterapkan oleh Hasan alBanna sedemikian praktis dan modern sehingga Ikhwanul Muslimin merupakan organisasi yang secara konkret mencoba merealisasikan pikiran-pikiran pembaharuan Jamaluddin al-Afgani, Muhammad Abduh, dan Rasyid Ridha. Dan dalam pertumbuhan selanjutnya Ikhwanul Muslimin menjadi tidak saja sebagai gerakan sosial dan pendidikan, tetapi juga kekuatan sosial-politik yang selalu diperhitungkan baik sebelum maupun sesudah revolusi Mesir 1952 (M. Amin Rais, 1990: 75). Pengaruh Ikhwanul Muslimin bukan hanya
sebatas Mesir, karena
nasionalisme yang dibangun oleh organisasi ini bukan nasionalisme dalam artian
3
Negara yang dibentuk berdasarkan kolonialisasi Barat, akan tetapi nasionalisme yang berdasarkan Islam, sehingga mereka memperjuangkan hak-hak dan kebebasan masyarakat Muslim di manapun. Berdasarkan nasionalisme tersebut, Ikhwanul Muslimin diterima dan membuka cabangnya di berbagai wilayah Islam seperti di Syiria, Palestina, Yordania, maupun wilayah-wilayah lainnya yang terkadang tidak langsung menamakan gerakannya dengan nama Ikhwanul Muslimin, akan tetapi ideologi dan pola yang mereka pakai mengikuti pola dan ideologi Ikhwanul Muslimin. Karena pengaruh Ikhwanul Muslimin yang sangat signifikan dalam dunia Islam seperti yang dijelaskan di atas, maka akan sangat logis jika pihak-pihak yang berseberangan ideologi dan merasa terancam dengan keberadaannya berusaha untuk membumihanguskannya, khususnya di Mesir yang merupakan akar dan pusat dari gerakan tersebut. Akar dan ideologi Ikhwanul Muslimin yang sangat konsern terhadap ajaran Islam dan menganggap Islam adalah solusi terbaik terhadap segala kompleksitas permasalahan manusia, tentu berseberangan dan berlawanan dengan paham sekuler yang menginginkan adanya pemisahan antara agama dan bukan agama di dalam setiap aktivitas manusia. Paham sekuler di Mesir menghendaki jika agama hanya menyangkut hubungan manusia dengan Tuhan, sedangkan Ikhwanul Muslimin menghendaki jika agama bukan hanya menyangkut ritual ibadah antara makhluk (ciptaan) dengan sang Khalik (Pencipta), akan tetapi agama adalah pedoman hidup manusia di bumi dan jalan terbaik menuju akhirat. Najib Kailani merupakan seorang novelis dari kalangan Ikhwanul Muslimin; sebuah organisasi yang mempunyai pandangan jika Islam adalah solusi dalam
4
mengatasi segala permasalahan manusia. Tema-tema yang diangkat dalam karyanya menceritakan tentang kompleksitas permasalahan umat Islam dalam kehidupan modern, sehingga melekat julukan baginya sebagai sastrawan Islam. Julukan sastrawan Islam yang melekat pada diri Najib Kailani bukan tanpa alasan. Julukan itu melekat padanya karena dia sering mengangkat problematika umat Islam di seluruh dunia, bukan hanya berkisar seputar Mesir; seperti ketika dalam karyanya yang menceritakan tentang Indonesia pada tahun 1965 dalam novelnya yang berjudul A’dzrou Jakarta (Gadis Jakarta), yang menceritakan tentang partai komunis di Indonesia yang berseberangan politik dan ideologi dengan partai Masyumi, tidak ada yang menyangkal jika ada kedekatan ideologi antara Ikhwanul Muslimin dengan partai Masyumi di Indonesia ketika itu, atau dalam novelnya yang berjudul Layali Turkistan (Malam-malam di Turkistan), yang menceritakan tentang terlupakannya Turkistan oleh orang-orang Islam karena tidak adanya nama wilayah tersebut dalam peta dunia. Memang, wilayah Turkistan sekarang bernama Xinjiang, salah satu Provinsi di China yang etnisnya disebut Uighur. Fenomena-fenomena umat Islam yang diangkat oleh Najib Kailani dalam karyanya
sehingga
melekat
julukan
sebagai
sastrawan
Islam
merupakan
kepeduliannya yang mendalam terhadap Islam dan umat Islam sendiri yang tak dibatasi oleh ruang lingkup Negara, akan tetapi dalam ruang lingkup yang lebih luas, yakni dunia Islam. Adapun dari beragam permasalahan yang diangkat dalam karyakaryanya yang menggambarkan umat Islam dewasa ini, novel al-Rajul al-Ladzi Amana yang diangkat dalam penelitian ini mempunyai ciri khusus, karena yang menjadi titik fokusnya adalah umat Islam sendiri yang tidak mendalami ajaran
5
agamanya, jika karya-karyanya yang lain mengangkat ketertindasan umat Islam dalam kehidupannya, baik itu oleh penjajahan asing, penguasa negaranya, maupun benturan antar golongan dari sesama Islam sendiri dalam suatu negara. Perihal yang tidak dapat disangkal oleh umat Islam dewasa ini adalah sangat minimnya pemahaman umat Islam terhadap ajaran Islam, sehingga umat Islam seakan berjalan dengan jalan yang berbeda dengan Islam, padahal hakikat ajaran Islam adalah sebagai petunjuk dan rambu-rambu bagi umat Islam dalam segala aktivitasnya. Iryan, tokoh yang awalnya digambarkan sebagai seorang Eropa yang non-muslim, yang merasa terasing dengan kehidupan di tempatnya, kemudian menetap di Dubai dan menjalin hubungan dengan seorang penari yang bernama Syams. Tokoh Syams yang cantik jelita yang dengan kecantikannya itu dapat memikat setiap mata lelaki yang melihatnya, kemudian memilih Iryan sebagai kekasihnya. Iryan sangat mencintai Syams, begitu juga sebaliknya, akan tetapi Iryan tidak dapat memperistri Syams, karena Syams menolak menikah dengan lelaki yang berbeda keyakinan dan memberikan syarat kepada Iryan untuk memeluk Islam jika ia memang ingin menikahinya. Syarat yang diajukan oleh Syams diterima oleh Iryan, kemudian ia memilih untuk mempelajari dan mendalami Islam terlebih dahulu sebelum memeluknya, karena sesuatu yang akan ia jalani harus ia yakini terlebih dahulu. Setelah Iryan mempelajari dan meyakini Islam sebagai agamanya, ternyata ia tidak melihat Islam ada dalam diri seorang Syams. Sungguh sebuah ironi, karena Islam adalah syarat yang diminta oleh Syams supaya Iryan bisa menikah dengannya, akan tetapi setelah Iryan meyakini islam, ia tidak melihat adanya Islam dalam diri Syams. Iryan pun akhirnya memilih untuk tidak menikah dengan Syams, dengan
6
alasan ia ingin mencari wanita yang benar-benar hidup dengan melaksanakan ajaran dan aturan-aturan Islam. Syams di mata Iryan hanya mengenal agama sebatas kulit luarnya saja atau menganggap agama sebagai warisan dari leluhurnya, sedangkan wanita yang ia inginkan untuk menjadi pendamping hidupnya adalah wanita yang secara totalitas menerapkan syari’at Islam dalam hidupnya. Fenomena Ikhwanul Muslimin dalam sejarah Mesir modern menarik untuk diteliti lebih lanjut, karena sangat signifikannya pengaruh kelompok ini dalam kehidupan masyarakat Mesir. Goldmann (1977: 19) mengatakan, bahwa karya sastra yang besar adalah ekspresi dari pandangan dunia. Pandangan dunia tidak lahir secara tiba-tiba, karena ia merupakan hasil dari produk interaksi antara subjek kolektif dengan situasi yang ada di sekitarnya. Maka, sebagai sebuah pandangan kolektif, pandangan dunia seperti apakah yang diekspresikan dalam novel ini yang perlu untuk diketahui lebih lanjut.
1.2 Rumusan Masalah Dari uraian dalam latar belakang di atas, melahirkan tiga permasalahan yang akan dijawab dalam penelitian ini. Adapun permasalahan tersebut jika dirumuskan dalam bentuk pertanyaan akan menjadi sebagai berikut : 1. Bagaimana struktur novel Al-Rajul Al-ladzi Amana? 2. Pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh struktur novel tersebut? 3. Bagaimana keterkaitannya dengan Ikhwanul Muslimin?
7
1.3 Tujuan Penelitian Seiring dengan permasalahan yang dijabarkan dalam rumusan masalah di atas, tujuan dari penelitian ini adalah sebagai berikut: 1. Mengetahui struktur novel al-Rajul al-Ladzi Amana. 2. Mengetahui pandangan dunia apa yang diekspresikan oleh struktur novel tersebut. 3. Bagaimana keterkaitannya dengan kelompok Ikhwanul Muslimin. Adapun tujuan lain dari penelitian ini adalah untuk memberikan pemahaman dan informasi tentang kesusasteraan Arab pada umumnya, khususnya novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya Najib Kailany. Dengan penelitian ini diharapkan dapat memberikan tambahan pengetahuan tentang kesusasteraan Arab di indonesia, khususnya mengenai kesusasteraan yang berhubungan dengan kondisi umat Islam dan problematika yang menyertainya dalam kehidupan modern. Hal ini disebabkan minimnya perhatian terhadap pembahasan mengenai tema keislaman dalam kesusasteraan Arab.
1.4 Tinjauan Pustaka Najib Kailani merupakan salah satu sastrawan yang besar di dunia Arab, sehingga banyak para peneliti menggunakan karyanya sebagai objek penelitian mereka. Salah satu karya Najib Kailani yang telah diteliti sebelumnya adalah novel al-Rajul al-Ladzi Amana ini. Beberapa di antaranya adalah sebagai berikut. Mir’atur Rohmah dalam skripsinya yang berjudul Balaghah fi Tasybih fi alRiwayah al-Rajul al-Ladzi Amana li Najib al-Kailani Dirasah Tahliliyah Arkan al-
8
Tasybih (2008). Pembahasan dalam skripsi
ini hanya mengenai tasybih
(perumpamaan) yang ada dalam novel al-rajul al-ladzi amana dengan menggunakan pendekatan rukun-rukun tasybih. Secara konvensional, tasybih merupakan bagian dari ilmu balaghah mengenai pengungkapan suatu lafadz dengan cara menyerupakan sesuatu dengan sesuatu yang lain berdasarkan sifat, jenis, atau bentuk yang sama antara keduanya. Dalam khazanah bahasa Arab, tasybih termasuk dalam penggunaan gaya bahasa yang tinggi. Secara umum, penggunaan gaya bahasa tasybih bertujuan untuk menjelaskan lawan bicara keadaan seseorang atau sesuatu yang dibicarakan, baik itu memujinya, menjelekkannya, ataupun menyebut keunggulannya. Skripsi ini hanya melihat indikasi pemakaian rukun-rukun tasybih dengan tujuan-tujuan yang menyertainya dalam novel al-rajul al-ladzi amana, sehingga yang menjadi titik fokus dalam penelitiannya hanya mengenai bahasa yang mengandung tasybih yang terdapat dalam kalimat-kalimat yang ada dalam cerita novel ini. Eni Kurnia Wati dalam skripsinya yang berjudul Shurah al-Mar’ah fi Riwayah alRajul al-Ladzi Amana li Najib al-Kailani Dirasah Naqdiyah Adabiyah Nisa’iyah (2009), karena penelitian ini menggunakan pendekatan kritik sastra feminis, sehingga yang menjadi titik fokus dalam pembahasannya hanya berkisar tentang pengidentifikasian tokoh-tokoh perempuan yang ada dalam novel, kemudian dicari kedudukannya dalam masyarakat beserta tujuan hidup dari tokoh-tokoh perempuan tersebut. Berdasarkan penelitian yang telah dilakukan di atas, tidak ada yang menyangkut permasalahan pandangan dunia yang berasal dari kelompok atau kelas pengarangnya. Padahal, pemahaman yang koheren terhadap sebuah karya sastra
9
dapat dicapai dengan menganalisis pandangan dunia yang disampaikan dari karya tersebut. Dengan menganalisis pandangan dunia yang ada di dalam karya sastra, maka akan dapat ditemukan kejelasan hubungan antara karya sastra dengan kehidupan masyarakat, karena pandangan dunialah yang menghubungkan antara karya sastra dengan kehidupan realitas masyarakat.
1.5 Landasan Teori Karya sastra merupakan sebuah struktur, karena karya sastra memiliki unsurunsur atau susunan yang bersistem; antara unsur yang satu dengan unsur yang lainnya terdapat hubungan timbal balik yang saling berkaitan. Kemudian, karya sastra tidaklah hadir dari sebuah kekosongan dan tanpa konteks yang mengitarinya. Dalam artian, karya sastra tidak akan hadir secara tiba-tiba tanpa adanya peristiwa bersejarah atau keadaan sosial suatu masyarakat tertentu yang di dalamnya pengarang hidup sebagai anggota dari masyarakat tersebut. Oleh karena itu, seorang sastrawan tidak bisa terhindarkan dari konvensi sastra yang telah ada sebelumnya dan juga tidak dapat terlepas dari latar sosial budaya masyarakat (Goldmann, 1977). Strukturalisme genetik berusaha menemukan kesejajaran struktural antara struktur karya sastra dengan struktur masyarakat, sedangkan kesejajaran antara keduanya tidak bersifat langsung. Dalam artian, struktur karya sastra tidak sejajar dengan struktur masyarakat, melainkan sejajar dengan pandangan dunia yang tumbuh dan berkembang dalam masyarakat itu, kemudian pandangan dunia itulah yang berhubungan langsung dengan struktur masyarakat yang memilikinya (Faruk, 2010: 64-65). Kesejajaran itulah yang dinamakan homologi dalam strukturalisme
10
genetik. Karena kondisi struktural dalam suatu masyarakat dapat membuat suatu kelas yang ada dalam posisi tertentu untuk membuahkan dan mengembangkan suatu pandangan dunia tertentu. Pandangan dunia (Goldmann, 1977: 17) tidak lain daripada kompleks menyeluruh dari gagasan-gagasan, aspirasi-aspirasi, dan perasaan-perasaan yang menghubungkan secara bersama-sama anggota suatu kelompok sosial tertentu dengan yang mempertentangkannya dari kelompok sosial yang lain. Dengan demikian, pandangan dunia bagi strukturalisme genetik, tidak hanya seperangkat gagasan abstrak dari suatu kelas tertentu mengenai kehidupan manusia dan dunia tempat manusia itu berada, melainkan bisa juga semacam cara atau gaya hidup yang dapat mempersatukan anggota satu dengan anggota lainnya dalam suatu kelas yang sama dan membedakannya dengan anggota-anggota dari kelas sosial ataupun sosial yang lain. Sebagai suatu kesadaran kolektif, pandangan dunia itu berkembang sebagai hasil dari situasi sosial dan ekonomik tertentu yang dihadapi oleh subjek kolektif yang memilikinya (Goldmann, 1977: 18). Pandangan dunia tidak lahir secara tibatiba, karena ia merupakan hasil dari interaksi antara subjek kolektif dengan situasi yang ada di sekitarnya. Transformasi mentalitas yang lama secara bertahap dan perlahan-lahan diperlukan supaya terbangunnya mentalitas yang baru dan teratasinya mentalitas yang lama itu (Goldmann, 1981: 112). Goldmann
menyimpulkan
bahwa
studi
ilmiah
terhadap
fakta-fakta
kemanusiaan, baik itu sosial, ekonomi, politik atau budaya melibatkan usaha untuk menerangkan proses-proses itu melalui pembongkaran terhadap keseimbangan yang
11
telah mereka hancurkan dan mengarah ke arah mana mereka bergerak (Goldmann, 1975: 156). Fungsi menurut Goldmann selalu berada pada tataran tidak disadari, sedangkan struktur berada pada tataran yang disadari (Goldmann, 1981: 40). Pada dasarnya, seorang pengarang menyuarakan pandangan dunia suatu kelompok sosial (transindividual subject), pandangan tersebut bukanlah suatu realitas, melainkan sesuatu yang hanya dapat dinyatakan secara imajinatif dan konseptual dalam bentuk karya sastra besar (Goldmann, 1977: 9). Karya sastra menurut Goldmann merupakan ekspresi pandangan dunia secara imajiner, untuk merealisasikan pandangan dunianya itu ke dalam karya sastra pengarang menciptakan semesta tokoh-tokoh, objek-objek, dan relasi-relasi secara imajinatif. Adapun yang menjadi pusat perhatian Goldmann adalah relasi antara tokoh dengan tokoh lainnya serta antara tokoh dengan objek yang ada di sekitarnya. Peran tokoh dalam teori strukturalisme genetik sangat penting, karena melalui tokoh itulah pesan disisipkan oleh seorang pengarang sebagai subjek transindividual. Dalam konteks strukturalisme genetik, konsep struktur karya sastra berbeda dari konsep struktur yang umum dikenal (Faruk, 2005: 17). Karya sastra yang sering menjadi bahan penelitian Goldmann adalah novel. Menurutnya novel merupakan the story of a degraded search, a search for authentic values in a world itself degraded, but at an otherwise advanced level according to a different mode (Goldmann, 1975: 1). The novel form seems to me, in effect, to be the transposition on the literary plane of everyday life in the individualistic society created by market production.
12
There is a rigorous homology between the literary form of the novel... and the everyday relation between man and commodities in general, and by extension between man and other man, in a market society. In other words, the novel form is refresentative of everyday life, specifically of life in an individualistic, market-driven society”. (bentuk novel—menurut saya—adalah transposisi dari kehidupan sosial ke dalam struktur literer yang dikonstruksi oleh individu pengarang dalam sebuah masyarakat ekonomi. Terdapat homologi yang jelas antara bentuk literer novel dengan kehidupan ekonomi dan juga tidak dapat dijelaskan juga adalah perbedaannya dengan individu lainnya. Dengan kata lain, bentuk novel adalah struktur yang mewakili kehidupan sehari-hari, khususnya suatu individu, yang digerakkan oleh suatu kehidupan ekonomi.) Syarat yang dikemukakan Goldmann untuk memenuhi konsepnya tersebut adalah karya yang akan dianalisis haruslah karya yang besar. Dalam menjelaskan konsep karya besar tersebut, Damono (1979: 45) menegaskan bahwa karya sastra yang besar adalah karya sastra yang memiliki ciri kepaduan internal yang menyebabkannya mampu mengekspresikan kondisi manusia yang universal dan sadar. Dan Goldmann menyiratkan bahwa, hanya karya sastra besar yang berbau sosiologis dan filsafat saja yang pantas ditelaah. Sebagai fakta kemanusiaan, karya sastra memiliki struktur yang berarti (Goldmann, 1970: 583). Oleh karena itu, Goldmann beranggapan adanya homologi antara struktur sastra dengan struktur mental kelompok sosial tertentu atau masyarakat (Goldmann, 1977: 159).
13
Dalam hipotesisnya sebagaimana yang telah dikemukakan sebelumnya, Goldmann mencoba mendapatkan makna dalam arti menemukan pandangan dunia (world view) yang dikemukakan oleh pengarang melalui karyanya (Goldmann, 1975: 156). Kemudian Goldmann menyebutkan bahwa semua aktivitas manusia didasarkan pada usaha memberikan makna sebagai respon terhadap situasi khusus dalam konteks menciptakan keseimbangan antara kegiatan masyarakat dan lingkungannya (Goldmann, 1975: 165). Oleh karena itu, manusia selalu mempunyai kecenderungan perilaku yang bersifat alami karena manusia berusaha untuk beradaptasi dengan alam dan lingkungan sekitarnya yang merupakan suatu proses hubungan timbal balik atau hubungan dialektik (Goldmann, 1981: 40). Dasar hipotesis Goldmann adalah, semua perilaku manusia mengarah pada hubungan rasionalitas, maksudnya perilaku manusia selalu merupakan respon terhadap lingkungannya. Kemudian, bahwa kelompok sosial tertentu mempunyai tendensi atau kecenderungan untuk menciptakan pola tertentu yang berbeda dari pola yang sudah ada, dan bahwa perilaku manusia adalah usaha yang dilakukan secara tetap menuju transendensi, yaitu aktivitas, transformasi, dan kualitas kegiatan dari semua aksi sosial dan sejarah (Goldmann, 1973: 115-118). Hal inilah yang disebut oleh Goldmann sebagai fakta-fakta kemanusiaan. Fakta kemanusiaan dapat dibedakan menjadi dua yaitu, fakta individual dan fakta sosial. Fakta sosial mempunyai peranan di dalam sejarah, sedangkan fakta individual sebaliknya. Revolusi sosial, politik, ekonomi, dan karya-karya kultural yang besar merupakan fakta sosial (historis) yang hanya mungkin diciptakan oleh subjek trans-individual (Goldmann, 1981: 97).
14
Pandangan dunia (world view) merupakan hal yang memediasi antara karya sastra dengan subjek tersebut (Goldmann, 1977b: 17). Bagi Goldmann (1977b: 9), karya sastra dapat dipandang tidak hanya sebagai sekedar refleksi sebuah kenyataan dan kesadaran suatu kelompok atau secara kolektif tertentu, melainkan lebih sebagai puncak dari kecenderungan pemikiran-pemikiran individu yang memiliki koherensi dengan struktur mental suatu kelompok. Kemudian, hubungan antara ideologi kolektif dengan penciptaan karya oleh individu, maupun juga dalam kreasi filosofis dan teologis tidaklah terletak pada kesamaan atau kesejajaran isi secara arbitrer (hubungan isi secara langsung), melainkan berkorespondensi melalui kualitas hubungan yang bersifat struktural. Selanjutnya, karya sastra berhubungan dengan struktur mental kelompok sosial tertentu (coherent mental structure) yang dapat diperluas melalui hubungan individu dengan kelompok melalui sebuah pandangan dunia. Lalu, kesadaran kolektif (collective consciousness) bukan merupakan realitas utama atau realitas yang otonom, subjek kolektif yang berkolaborasi dalam pikiran individu dengan struktur mental kelompok. Pandangan dunia bersifat historis dan merupakan hasil dari situasi sosial dan ekonomi tertentu (Goldmann, 1981: 112). Pandangan dunia ini bukanlah kesadaran yang nyata, melainkan kesadaran yang mungkin (possible consciousness) yang hanya ada dalam imajinasi pengarangnya (Goldmann, 1981: 66). Kesadaran yang mungkin adalah kesadaran yang menyatakan suatu kecenderungan kelompok ke arah suatu koherensi menyeluruh, perspektif yang koheren dan terpadu mengenai hubungan manusia dengan sesamanya dan dengan alam semesta (Goldmann, 1981: 111).
15
1.6 Hipotesis Hipotesis dari penelitian ini adalah sebagai berikut, novel al-Rajul al-Ladzi Amana adalah karya sastra yang besar karena berisi pandangan dunia penulisnya yang merupakan perwakilan dari pandangan dunia kolektifnya. Sebagai karya sastra yang besar, novel ini memiliki gambaran-gambaran mengenai manusia, dunia, cinta, Tuhan, dan kehidupan yang saling berhubungan satu sama lain dalam suatu struktur yang koheren. Struktur dalam novel ini sejajar atau homolog dengan pandangan dunia yang diekspresikan dalam novel ini.
1.7 Metode Penelitian Objek material penelitian ini adalah novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya Najib Kailani. Adapun objek formal dari penelitian ini adalah struktur novel al-Rajul al-Ladzi Amana dan pandangan dunia yang tersirat dalam novel tersebut. Setelah menentukan objek material dan objek formal dari penelitian ini, maka tahapan selanjutnya adalah membaca novel al-Rajul al-Ladzi Amana dan mengumpulkan data-data yang berkaitan dengan penelitian ini. Data utama adalah kutipan-kutipan yang terdapat dalam novel al-Rajul al-Ladzi Amana, dan sumber data tambahan berupa buku-buku tentang filsafat Islam, kehidupan sosial, ekonomi dan keagamaan masyarakat Mesir khususnya yang berkaitan dengan Ikhwanul Muslimin ketika novel ini ditulis. Dalam sebuah penelitian harus dipilih metode dan langkah-langkah yang tepat sesuai dengan karakteristik objek kajiannya. Berkaitan dengan strukturalisme genetik, Goldmann merumuskan dasar metode telaahnya sebagai berikut, pertama,
16
penelitian terhadap karya sastra dilihat sebagai suatu kesatuan. Kedua, karya sastra yang dianalisis hanyalah karya yang mempunyai nilai sastra yang mengandung tegangan antara keragaman dan kesatuan dalam suatu keseluruhan yang padat (a coherent whole). Ketiga, jika kesatuan telah ditemukan, maka kemudian yang dianalisis adalah hubungannya dengan latar belakang sosial. Sifat dari hubungan tersebut yang berhubungan dengan latar belakang sosial adalah unsur kesatuan, dan latar belakang yang dimaksud adalah pandangan dunia suatu kelompok sosial yang dilahirkan oleh pengarang sehingga hal tersebut dapat dikonkretkan (Goldmann, 1977). Adapun metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode dialektik, yaitu metode yang beranggapan bahwa sebuah karya sastra merupakan satu kesatuan yang bulat seperti sebuah lingkaran dan koheren. Satu kesatuan yang bulat antara unsur-unsurnya yang saling mendukung satu sama lainnya sesuai dengan proporsinya masing-masing. Prinsip dasar dari metode dialektik yang membuatnya berhubungan dengan masalah koherensi adalah pengetahuannya mengenai fakta kemanusiaan yang akan tetap abstrak apabila tidak dibuat konkret dengan cara mengintegrasikannya ke dalam keseluruhan (Goldmann, 1964: 7). Sejalan dengan itu, metode dialektik mengembangkan
dua
pasangan
konsep,
yaitu
“keseluruhan-bagian”
dan
“pemahaman-penjelasan” (Faruk, 2005: 20). Proses ini menjadi semacam gerak terus menerus dari keseluruhan ke bagian dan dari bagian kembali lagi ke keseluruhan (Goldmann, 1977: 5-7). Dengan menggunakan metode seperti ini, maka akan terlihat adanya kesatuan antara struktur dan bagian yang pada akhirnya makna akan dapat dipahami secara koheren.
17
Yang dimaksud Goldmann dengan pemahaman adalah usaha untuk mendeskripsikan struktur objek yang diteliti, dan penjelasan adalah usaha penggabungan sebuah struktur ke dalam sebuah struktur yang lebih besar yang di dalamnya struktur tersebut hanya merupakan bagian (Goldmann dalam Faruk, 1988: 106). Menurut Goldmann (1964: 5), sudut pandang dialektik mengukuhkan perihal tidak pernah adanya titik awal yang secara mutlak shahih, tidak adanya persoalan yang secara final dan pasti terpecahkan. Oleh sebab itu, dalam sudut pandang tersebut pikiran tidak pernah bergerak seperti garis lurus. Setiap fakta atau gagasan individual mempunyai arti hanya jika ditempatkan dalam keseluruhan. Sebaliknya, keseluruhan hanya dapat dipahami dengan pengetahuan yang bertambah mengenai fakta-fakta parsial atau tidak menyeluruh yang membangun keseluruhan itu. Karena keseluruhan tidak dapat dipahami tanpa bagian dan bagian juga tidak dapat dimengerti tanpa keseluruhan, proses pencapaian pengetahuan dengan metode dialektik menjadi semacam gerak yang melingkar terus-menerus, tanpa diketahui tempat dan titik yang menjadi pangkal atau ujungnya (Faruk, 2005: 20). Pemakaian metode dialektik yang tidak mengenal titik awal dan titik akhir dalam penelitian ini sebagai berikut. Pertama, teks dibuat menjadi dua bagian yang saling beroposisi (antara yang dianggap otentik dan yang dianggap terdegradasi), kemudian mencari pandangan dunia yang tersirat dalam teks tersebut. Pandangan dunia yang diasumsikan di sini bukan pandangan dunia pengarang sebagai individu, akan tetapi pandangan dunia suatu kelas atau kelompok tertentu dalam suatu masyarakat. Setelah memahami dengan detail dari pandangan dunia suatu kelas yang
18
dimaksudkan, kemudian mencari fenomena sosial, ekonomi, politik maupun ideologis suatu kelas itu serta menentukan apa yang menjadi karakteristik, tujuan, maupun ideologi dari kelompok tersebut. Pandangan dunia yang telah ditemukan sebelumnya merupakan sebuah ekspresi dari kelas tertentu
terhadap kehidupan
sosial, ekonomi dan pemikiran yang ada pada periode tertentu dalam suatu sejarah masyarakat. Kemudian, pandangan dunia yang telah ditemukan tersebut dicocokkan dengan struktur novel yang telah dibuat dalam kelompok-kelompok yang saling beroposisi. Sehingga terlihatlah kesejajaran di antara struktur novel dan struktur masyarakat lewat pandangan dunia.
1.8 Sistematika Penyajian Dalam penelitian ini, urutan penyajian disusun sebagai berikut. Bab pertama merupakan pendahuluan yang berisi tentang latar belakang masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, tinjauan pustaka, landasan teori, hipotesis, metode pengumpulan dan analisis data, dan terakhir sistematika penyajian. Bab kedua merupakan analisis struktur dari Novel al-Rajul al-Ladzi Amana karya Najib Kailany. Bab ketiga merupakan analisis terhadap pandangan dunia dari novel alRajul al-Ladzi Amana. Bab keempat merupakan bab penutup yang berisikan tentang kesimpulan dari penelitian ini, dan diakhiri dengan daftar pustaka.