1
BAB I PENDAHULUAN 1.1 Latar Belakang Dewasa ini kehidupan sosial dan budaya sehari-hari masyarakat Bali tergantung pada sektor pariwisata, dan dunia pariwisata telah mengubah kondisi Bali, juga pola pikir masyarakat setempat. Bali sebagai tujuan wisata unggulan di Indonesia karena memiliki berbagai potensi kebudayaan. Keunikan budaya Bali dan keindahan alam Bali, juga tampaknya menjadi daya tarik yang paling dominan dalam perkembangan kepariwisataan di Bali (Ardika, 2007: 28). Pengaruh keberhasilan dari dunia pariwisata telah membawa kehidupan sosial dan budaya masyarakat lokal mengalami perubahan yang sangat cepat, menjadikannya
komoditi
utama
dalam
perekonomian
untuk
mencapai
kesejahteraan, meningkatkan devisa negara, bertambahnya pendapatan daerah Bali, dan tanpa disadari telah mempengaruhi sektor kebutuhan lainnya. Pariwisata adalah salah satu fenomena kebudayaan global yang dipandang sebagai suatu sistem, dan pariwisata budaya yang dikembangkan di Bali tampaknya selaras dengan kecenderungan pariwisata global yang terus berkembang mempengaruhi kehidupan ekonomi, sosial dan budaya masyarakat setempat (Ardika, 2007: 29). Globalisasi bukan sekedar hegemoni Barat, globalisasi telah menimbulkan pergulatan antara nilai-nilai budaya lokal dan global yang semakin tinggi intensitasnya. Sistem nilai budaya lokal yang selama ini digunakan sebagai acuan atau panutan oleh masyarakat pendukungnya tidak jarang telah mengalami perubahan karena nilai-nilai budaya global dengan
2
kemajuan teknologi informasi yang semakin mempercepat proses perubahan tersebut. Menurut Leiper pariwisata terdiri atas tiga komponen: (1) wisatawan (tourist), (2) elemen geograpi (geographical elements), dan (3) industri pariwisata (tourism industrial) (Cooper, dkk. dalam Ardika, 2007: 29). Pariwisata sebagai industri yang paling besar dan berkembang tercepat di dunia maka hal ini akan menimbulkan tekanan terhadap lingkungan, sosial dan budaya masyarakat lokal yang biasanya digunakan untuk mendukung pariwisata tersebut. Kawasan pesisir merupakan daerah pertama yang terkena dampak pariwisata sehingga cepat mengalami perubahan akibat gaya pariwisata global. Industri pariwisata di era global cenderung meningkat dan menjadi katalisator dalam pembangunan nasional karena mendukung peningkatan perekonomian masyarakat dan devisa negara. Perkembangan industri pariwisata berpengaruh positif juga dapat berdampak negatif yang perlu diwaspadai oleh masyarakat (Sirtha, 2007: 62). Wisatawan global cenderung mencari pengalaman tentang sesuatu yang otentik atau asli, termasuk benda cagar budaya. Benda cagar budaya merupakan hasil adaptasi manusia terhadap lingkungan yang mempunyai berbagai nilai, baik nilai historis, arkeologis, seni, religius, maupun nilai ekonomis (Wiguna, 2002: 163). Mengingat pentingnya nilai tersebut dan dapat berpengaruh terhadap kehidupan manusia, maka apa pun bentuknya benda cagar budaya itu harus dilestarikan agar terhindar dari bahaya kemusnahan. Perkembangan pariwisata global saat ini merupakan peluang benda cagar budaya sebagai daya tarik wisata budaya yang dikembangkan di Bali, dan telah dirasakan manfaatnya oleh
3
masyarakat, namun, jika pengelolaan dan pemanfaatanya tidak terkendali, industri pariwisata dapat menjadi ancaman yang sangat berbahaya bagi kelestarian nilainilai budaya tersebut (Sirtha, 2007: 62-63). Bali sebagai daerah tujuan wisata memiliki warisan cagar budaya yang relatif banyak yaitu benda/bangunan cagar budaya dari masa klasik Hindu dan Budha. Salah satunya adalah “Pura Petitenget” yang berlokasi di Banjar Batu Belig, di depan pantai Petitenget, berada di Desa Adat Kerobokan, di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Badung. Pura ini memiliki riwayat yang panjang dan unik, pura tua yang dirawat secara baik dan bersih ini selain sebagai tempat persembahyangan, juga sebagai bangunan cagar budaya yang dijaga dan dilestarikan. Pura Petitenget merupakan salah satu pura dang kahyangan yang disucikan. Pura Dang Khayangan merupakan tempat pemujaan terhadap jasa seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan ajaran agama kepada umatnya (Suadnyana, 2010: vi). Pura Dang Kahyangan termasuk dalam klasifikasi pura umum, sebagai pura yang tergolong umum dapat dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut kahyangan jagat. Pura Kahyangan Jagat sesuai arti harafiahnya, adalah pura yang universal atau umum, artinya seluruh umat ciptaan Tuhan sejagat boleh bersembahyang di pura tersebut untuk memohon keselamatan/kerahayuan, kesejahteraan, dan keteduhan jagat semesta (Suadnyana, 2010: vii). Pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata budaya ibarat pisau bermata dua yang mempunyai dua sisi yang berbeda, dapat menimbulkan dampak positif dan dampak negatif. Dampak positif; lestarinya benda cagar budaya, memberikan
4
keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal/setempat. Sedangkan dampak negatif; rusak/hancurnya benda cagar budaya, terjadinya komersialisasi benda cagar budaya (Ardika, 2007: XI). Faktor yang sangat berpengaruh terhadap benda cagar budaya ialah kondisi lingkungan alam dan lingkungan manusia, maka perkembangan industri pariwisata global yang sangat cepat dan tidak terkendali, di dukung kondisi lingkungan semacam ini dapat berpengaruh positif dan negatif terhadap benda cagar budaya tersebut, sekaligus menjadi ancaman yang sangat membahayakan terutama apabila terjadi proses akulturasi antara budaya masyarakat lokal dan budaya wisatawan akibat dari kesalahan pemanfaatan dan pengelolaan pariwisata budaya tersebut (Ardika, 2007: 48). Dalam aspek budaya terjadi komersialisasi nilai budaya dan pergeseran nilai budaya dari sakral menuju profan. Apabila nilai budaya masyarakat telah merosot, maka masyarakat akan kehilangan kepribadiannya. Bahkan kemerosotan nilai budaya masyarakat menyebabkan pengembangan pariwisata budaya akan terancam. Karena luasnya pengaruh globalisasi dalam pariwisata, akan berpengaruh terhadap lingkungan alam dan lingkungan sosial dan budaya, maka kebijakan pembangunan pariwisata seharusnya tidak hanya untuk mendapatkan keuntungan pada aspek ekonomi tetapi juga harus ada upaya pengembangan dan pelestarian lingkungan hidup (tangible) maupun lingkungan sosial dan budaya (intangible) demi terwujudnya lingkungan yang lestari (Sirtha, 2007: 63). Dari hasil penelitian yang ada terkait dengan Pura Petitenget sebelumnya hanya mengungkapkan secara umum tentang keberadaan dan sejarah berdirinya Pura Petitenget yang unik tersebut. Dalam penelitian ini, penulis menemukan
5
adanya pergeseran nilai dan makna, dulu dan sekarang. Pada awal berdirinya, Pura Petitenget merupakan pura yang sakral, penuh dengan “religio-magis” karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, dan penyungsung pura ini selalu menjaga kesucian pura tersebut tetap dalam nilai-nilai kesakralannya sebagai sebuah pura dang kahyangan tempat memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi masyarakat sekitarnya. Saat ini sebagai warisan budaya mengalami pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya. Hal ini dapat dilihat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, yang telah membuat ketertarikan wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke pura tersebut. Secara sadar atau tidak, pada akhirnya membawa berbagai macam persoalan budaya global yang terkait untuk masuk di dalamnya. Persoalan yang ditemukan di lapangan yakni, di daerah sekitar Pura Petitenget saat ini sudah banyak dibangun dan dikelilingi oleh fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana penunjang pariwisata, dan wisatawan yang berkunjung ke dalam Pura Petitenget dapat leluasa masuk hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) dari pura ini, yang seharusnya hanya digunakan sebagai tempat persembahyangan, dan radius kesucian Pura Petitenget, baik di dalam maupun di luar pura, seharusnya tetap terjaga dan terpelihara, tetapi saat ini sudah mengalami perubahan karena dampak dari perkembangan pariwisata Bali. Persoalan-persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal mulanya dibangun, tetapi saat ini telah terjadi profanisasi makna dan nilai asli yang terkandung di dalamnya. Di mana komersialisasi tempat suci dapat
6
mengakibatkan menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci tersebut akibat industri pariwisata Bali. Masyarakat lokal sebagai pewaris dan pemilik budaya seringkali tidak memahami makna yang terkandung di dalam sumber daya budaya yang dimilikinya. Kesakralan suatu pura harus tetap dipelihara dan dijaga untuk keberadaan kesucian pura tersebut. Dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka Pura Petitenget seharusnya tetap sakral (suci), baik di dalam maupun di luar pura itu sendiri, dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, di samping sebagai warisan benda cagar budaya (living monument). Dalam Peraturan Daerah Bali Nomor 16 Tahun 2009 tentang Rencana Tata Ruang Wilayah Propinsi (RTRWP) Bali Tahun 2009 – 2029 yang mengacu kepada Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2007 tentang Radius Kesucian Pura (Sempadan Kesucian Pura) sesuai Bhisama PHDI adalah; 5 (lima) kilometer untuk sepuluh (10) pura berstatus Sad Kahyangan, dan 2 (dua) kilometer untuk puluhan pura berstatus Dang Kahyangan. Dalam radius tersebut tidak dibolehkan membangun apapun, termasuk fasilitas hiburan dan pariwisata. Kemudian dipertegaskan lagi dalam Keputusan Bupati Badung Nomor 637 Tahun 2003 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara menyebutkan : Pasal 9 Kawasan Limitasi merupakan kawasan yang tidak dapat dikembangkan sama sekali yang memiliki ratio tutupan lahan sama dengan 0% sehingga tidak boleh ada bangunan di dalam kawasan ini. Kawasan Limitasi yang ditetapkan adalah :
7
a. Kawasan Suci merupakan kawasan yang dipandang memiliki nilai kesucian oleh umat Hindu di Bali. Kawasan suci diantaranya pantai, campuhan (pertemuan sungai), mata air (beji), catus patha/pempatan agung dan setra/kuburan Hindu. Lokasi kawasan suci tersebut diantaranya di Pantai Canggu dan Pantai dekat Pura Petitenget. b. Kawasan Radius Kesucian Pura berpedoman pada Keputusan PHDI Pusat Nomor 11/Kep/I/PHDIP/1994 tentang Bhisama Kesucian Pura yang terdiri atas Apaneleng Agung (minimal 5 Km dari pura) untuk Sad Kahyangan, Apaneleng Alit (minimal 2 Km dari pura) untuk Dang Kahyangan, dan Apanimpug atau Apanyengker untuk Kahyangan Tiga dan lain-lain. Dalam Pasal 3 (tiga), PERDA Nomor 16 tahun 2009 (RTRWP) Bali tentang Radius Kesucian Pura, tujuan Perda ini menyatakan secara tegas adalah mewujudkan ruang aman, nyaman, produktif, berjatidiri berbudaya Bali, dan berwawasan lingkungan berlandaskan “Tri Hita Karana”, yaitu falsafah hidup masyarakat Bali yang memuat 3 (tiga) unsur yang membangun keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara manusia dengan Tuhan, manusia dengan manusia, dan manusia dengan lingkungan sekitarnya, yang menjadi sumber kedamaian, kesejahteraan, dan kebahagiaan bagi kehidupan manusia. Terkait dengan Perda tersebut di atas, di lapangan ditemukan adanya berbagai persoalan yakni; (1) jaba Pura Petitenget dipakai sebagai areal halaman parkir untuk para wisatawan dan masyarakat sekitarnya, (2) wantilan Pura Petitenget selain digunakan untuk kegiatan masyarakat setempat dalam kaitannya melaksanakan aktivitas upacara keagamaan, juga dapat dimanfaatkan/digunakan oleh masyarakat/kelompok lain untuk kegiatan acara tertentu yang tidak ada hubungannya dengan keagamaan, (3) wisatawan mancanegara dapat dengan leluasa masuk ke Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) dari
8
pura tersebut, (4) daerah di sekitar Pura Petitenget banyak terdapat fasilitas sarana dan prasarana penunjang pariwisata, seperti restoran, café, hotel/penginapan, mini market dan sebagainya. Persoalan- persoalan yang disebutkan di atas merupakan realitas atau kenyataan yang dihadapi sekarang ini, dan proses industrialisasi pariwisata global telah membawa dampak profanisasi yang berpengaruh terhadap keberadaan dan fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci, sehingga dapat mengurangi rasa hikmat umat ketika bersembahyang di dalam melaksanakan ajaran agamanya. Profanisasi budaya menyebabkan terjadinya pergeseran nilai, bentuk dan makna kesucian Pura Petitenget sebagai warisan budaya akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pura Petitenget sebagai warisan budaya tidak lagi sebagai sebuah pura yang disucikan dan disakralkan sebagaimana nilai, makna dan fungsi aslinya pada masa dulu di bangun, tetapi sekarang telah bergeser karena berfungsi menjadi sebuah objek wisata budaya yang dikunjungi oleh wisatawan asing. Wisatawan/pengunjung dengan leluasa bisa masuk hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura yang seharusnya tetap terjaga dan dilestarikan sesuai dengan sejarah keberadaan Pura Petitenget tersebut. Konservasi warisan cagar budaya memang bertujuan baik untuk menjaga keutuhan dan kelestarian Pura Petitenget ini agar tetap terpelihara dan dapat diwariskan kepada generasi penerusnya, namun tidak semua bahan yang digunakan dalam konservasi tersebut menggunakan bahan asli seperti sediakala. Karena pengaruh globalisasi maka pola pikir masyarakat pendukungnya mengalami perubahan, agar tidak cepat rusak maka digunakan material lain yang lebih kuat dan tahan lama. Untuk
9
mempertahankan keaslian material pura ini sebelumnya, sebaiknya menggunakan bahan yang sama dengan bahan aslinya agar tetap terjaga dan lestari sesuai dengan bentuk semula. Pemanfaatan, perencanaan pembangunan dan operasional pariwisata harus bersifat lintas sektoral, terintegrasi, dan melibatkan masyarakat lokal dalam perencanaan, implementasi/pelaksanaan, dan monitoring dari kegiatan pariwisata budaya (Ardika, 2007: 48). Pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya Pura Petitenget dalam dunia pariwisata di rancang sesuai kesepakatan antara pihakpihak terkait demi terjaganya kelestarian dan keberadaan pura tersebut sebagai benda/bangunan cagar budaya. Pemanfaatan dan pengelolaannya tetap melibatkan desa adat setempat sebagai penyungsung pura ini, dan para pemangku desa yang turun temurun sudah melaksanakan kewajibannya di Pura Petitenget. Profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, terjadi karena ketidaktegasan penerapan aturan-aturan adat, lemahnya pengawasan dan pelaksanaan peraturan daerah di lapangan tentang radius kesucian pura, serta perubahan pola pikir dan pandangan masyarakat lokal yang mulai ke arah modern akibat dampak pariwisata global serta kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang. Di mana pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget berdampak pada aspek sosial ekonomi dan sosial budaya, perlahan namun pasti kesakralan pura tersebut mulai terabaikan. Keseluruhan hal di atas berimplikasi kuat menyebabkan terjadinya pergeseran nilai dan makna yang terkandung di dalamnya terhadap
10
fungsi utama atau aslinya, serta religiusitas akan kesucian pura tua tersebut, sesuai dengan riwayat sejarahnya yang panjang dan unik ketika saat pertama dibangun. 1.2 Rumusan Masalah Berdasarkan uraian latar belakang permasalahan di atas, maka permasalahan dalam penelitian ini adalah sebagai berikut. 1. Bagaimanakah bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung? 2. Faktor-faktor apakah yang menyebabkan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung? 3. Bagaimanakah dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung?
1.3 Tujuan Penelitian Tujuan penelitian ini adalah untuk memberi gambaran tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Penelitian ini memiliki tujuan umum dan khusus. 1.3.1 Tujuan Umum Tujuan umum penelitian ini adalah untuk mengetahui secara jelas dan memahami tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pembangunan pariwisata budaya di Bali.
11
1.3.2 Tujuan Khusus Sejalan dengan tiga rumusan masalah penelitian yang telah dikemukakan maka ada tiga tujuan khusus yang ingin dicapai dalam penelitian ini, yakni sebagai berikut: 1. Penelitian ini dilakukan untuk mengetahui profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. 2. Penelitian ini dilakukan untuk mengungkap faktor-faktor penyebab profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. 3. Penelitian ini dilakukan untuk memahami dan menginterpretasi dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. 1.4 Manfaat Penelitian 1.4.1 Manfaat Teoretis Secara teoretis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat sebagai di bawah ini. 1. Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah ilmu pengetahuan berkenan dengan profanisasi pemanfaatan warisan cagar budaya di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. 2.
Hasil penelitian ini dapat menambah referensi tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
12
1.4.2 Manfaat Praktis Secara praktis, hasil penelitian ini dapat bermanfaat dan memberikan pengetahuan serta pemahaman kepada masyarakat setempat terkait profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
13
BAB II KAJIAN PUSTAKA, KONSEP, LANDASAN TEORI DAN MODEL PENELITIAN 2.1 Kajian Pustaka Kajian pustaka memiliki keterkaitan baik secara langsung maupun tidak langsung dengan permasalahan yang diteliti dan hasil-hasil penelitian terdahulu. Kajian pustaka juga diharapkan dapat digunakan untuk menjelaskan bahwa penelitian yang dilakukan penulis saat ini berbeda dalam aspek-aspek tertentu dengan yang telah dikerjakan oleh peneliti sebelumnya. Penelitian tentang obyek warisan budaya dalam dunia kepariwisataan, dalam bidang perencanaan dan pengembangan pariwisata, kebijakan pengembangan pariwisata, dan pengaruh globalisasi terhadap dunia pariwisata sudah pernah dilakukan, namun penelitian tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya sejauh ini belum pernah diteliti. Asmyta Surbakti (2008) dalam disertasi yang Berjudul “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata di Kota Medan: Sebuah Kajian Budaya”. Mengungkapkan bagaimana terjadinya kontra – hegemoni terhadap penghancuran pusaka budaya, keadaan bangunan bersejarah yang sangat memprihatinkan, di tengah semangat upaya pelestarian pusaka budaya dan pengembangan pariwisata di Kota Medan. Pusaka budaya harus tetap dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan atau hilang/punah, dan dapat digunakan sebagai warisan budaya yang dikembangkan menjadi objek pariwisata di kota Medan. Disertasi ini memberi
14
masukan bagaimana pusaka budaya tetap dilestarikan dan dijaga agar tidak terjadi penghacuran, dan masyarakat sebagai pendukung dan penjaga pusaka budaya tidak mengalami pro-kontra, tetapi sama-sama menjaga dan melestarikannya sebagai warisan budaya dan objek pariwisata budaya. Pusaka budaya yang ada di Kota Medan sebagian telah mengalami kerusakan dan tidak terpelihara dengan baik, akibat terjadi
kontra-hegemoni di dalam masyarakatnya. Relevansinya
dalam penelitian ini mempunyai persamaan yang berkaitan dengan
pusaka
budaya yang harus dijaga dan dilestarikan agar tidak terjadi kerusakan atau punah, yang dapat dikembangkan menjadi objek pariwisata budaya. Perbedaannya, di mana Pura Petitenget sebagai pusaka budaya dan objek wisata cagar budaya tetap terjaga dengan baik, dan dilestarikan oleh masyarakat pendukungnya, tetapi sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget mengalami profanisasi pemanfaatan akibat perkembangan industri pariwisata budaya di Bali. Sita Laksmi (2003) dalam Tesis yang berjudul “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat : Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan”. Menjelaskan bagaimana dampak dan makna pengelolaan wisata Tanah Lot berbasis masyarakat dapat memberikan kesejahteraan bagi penduduk setempat dan desa adat, yang justru bertambah kuat dengan kemajuan pariwisata karena dana yang diperoleh dari pengelolaan pariwisata tersebut dapat digunakan untuk pembangunan desa adat. Tesis ini memberi gambaran bagaimana pengelolaan objek wisata budaya memberi kesejahteraan bagi penduduk setempat dalam pariwisata budaya di Bali, dan dana yang diperoleh digunakan untuk kepentingan pembangunan pura dan kepentingan
15
masyarakat di sekitar Tanah Lot. Relevansinya dengan penelitian ini mempunyai persamaan yang berkaitan terhadap bagaimana bentuk pengelolaan dan pemanfaatan wisata budaya dapat memberikan kesejahteraan bagi masyarakat setempat dan Desa Adat. Perbedaannya warisan budaya Pura Petitenget di dalam pengelolaan
dan
pemanfaatannya
telah
mengalami
profanisasi
dalam
pembangunan pariwisata budaya di Bali sebagai akibat dampak dari industri pariwisata global yang berkembang pesat di Desa Adat Kerobokan. Darmiati (2011) dalam tesis yang berjudul “Pura Kebo Edan sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar”. Menjelaskan bagaimana daya tarik wisata budaya terhadap pura tua Kebo Iwo yang ada di Gianyar untuk tetap menjadi objek kunjungan para wisatawan dengan keunikan tersendiri agar tidak terpinggirkan, yang di dukung dengan atraksi pementasan tari Barong calonarang. Keberadaan Pura Kebo Edan sebagai peninggalan cagar budaya kurang di lirik dan diminati oleh industri pariwisata Bali, karena lingkungannya kurang tertata dan bersih, di mana sampah berserakan, serta fasilitas yang tersedia sangat kurang memadai sebagai daerah tujuan wisata di Gianyar. Tesis ini memberi persamaan, sebagai pura tua yang masih terawat, tetap terjaga dan terpelihara, di mana keduanya sebagai objek wisata cagar budaya, untuk tetap dikunjungi oleh wisatawan, agar tidak terpinggirkan. Perbedaannya, bentuk serta cara pengelolaan dan pemanfaatan pada kedua pura tua tersebut sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali yang sangat berbeda. Relevansinya dengan penelitian ini bagaimana Pura Petitenget sebagai pura tua yang berlokasi di Desa Adat
16
Kerobokan, Kuta Utara, tetap menarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga wisatawan bersedia mengunjungi pura tersebut agar tidak terpinggirkan dan tetap menjadi salah satu tujuan utama wisata budaya di kabupaten Badung, namun tidak membawa persoalan ke dalam pengelolaan dan pemanfaatan pura ini sebagai tempat persembahyangan umat Hindu agar tetap terjaga kesuciannya. Tesis Aniek Purniti (2008) yang berjudul “Pengelolaan Candi Gunung Kawi Tampaksiring di Kabupaten Gianyar sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata Budaya”. Memberi masukan dan gambaran bagaimana bentuk pengelolaan Candi Gunung Kawi Tampaksiring sebagai objek wisata dan daya tariknya sebagai wisata budaya di Gianyar tetap dipertahankan nilai dan ciri-cirinya yang khas dalam kaitannya dengan kegiatan kepariwisataan, dan di dalam pengelolaannya lebih mengedepankan peran masyarakat setempat, sehingga dampak yang dihadapinya sebagai objek dan daya tarik wisata budaya diupayakan agar tidak melanggar konsep pelestariannya dalam pengawasan dan pengelolaan Dinas Pariwisata kabupaten Gianyar. Persamaannya dengan penelitian ini adalah samasama sebagai objek wisata cagar budaya yang tetap terjaga, terpelihara dan dilestarikan, mempunyai daya tarik sebagai tempat tujuan wisata budaya yang ada di Bali. Perbedaanya, bentuk pemanfaatan dan pengelolaan ke dua pura tersebut sebagai objek dan daya tarik wisata budaya dalam pembangunan pariwisata Bali yang berbeda. Pura Petitenget dalam pemanfaatan dan pengelolaannya di serahkan kepada pengempon pura itu sendiri, panitia pengelolaan pura, dan masyarakat di sekitar Pura Petitenget, agar tetap terjaga kesakralan/kesuciannya.
17
Relevansinya dengan penelitian ini memberi masukan bagaimana pemanfaatan dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata dan daya tarik wisata budaya dalam pembangunan pariwisata Bali, untuk tetap terjaga kelestarian dan kesuciannya sebagai pura dang kahyangan dalam industri pariwisata budaya di Bali. Ardika (2007) dalam buku Pusaka Budaya dan Pariwisata, memberi rujukan pengetahuan dan menjelaskan bagaimana pusaka budaya yang diantaranya berbentuk tinggalan-tinggalan arkeologis dapat dimanfaatkan untuk kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali. Buku ini juga mengungkapkan; (1) warisan Budaya, kekayaan tradisi dan budaya lokal merupakan potensi yang dapat dikembangkan sebagai objek dan daya tarik wisata, (2) semakin banyak jumlah wisata yang berkunjung ke suatu daerah maka dampak kultural yang ditimbulkan terhadap masyarakat lokal dan objek wisata bersangkutan juga akan semakin besar, (3) masyarakat sebagai salah satu stakeholder yang harus dilibatkan dalam pemanfaatan dan pengelolaan sumber daya budaya yang terdapat di daerah atau wilayah mereka. Relevansinya dalam penelitian ini, rujukan buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang bagaimana pengelolaan dan pemanfaatan warisan cagar budaya, faktor-faktor penyebab akibat adanya pariwisata budaya, dan bagaimana dampak dari pariwisata global yang terus berkembang pesat terhadap pengembangan pariwisata budaya di Bali. I Putu Anom, dkk. (2010) dalam buku Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global, memberi rujukan pengetahuan dan memaparkan
18
bagaimana sebuah diskursus pembangunan pariwisata berkelanjutan dengan mengambil latar belakang pariwisata Bali sebagai suatu model pembelajaran. Pariwisata Bali yang selama ini dianggap sebagai pembawa kesejahteraan dan nama besar bagi Bali. Pariwisata yang kepadanya segala harapan masa depan masyarakat Bali ditumpukan dalam segala sektor kehidupan, juga membawa dampak negatif yang tidak kecil; degradasi lingkungan, hilangnya ruang-ruang publik, pudarnya identitas dan kejatidirian manusia Bali, ketimpangan kemakmuran antar wilayah, disharmoni sosial, mulai hilangnya kesakralan area pura sebagai tempat suci, dan masih banyak persoalan lain yang timbul akibat adanya pembangunan pariwisata Bali. Beragam aspek pengembangan pariwisata Bali diuraikan di dalam buku ini yang di bahas dan disimpulkan dalam belasan tulisan yang dimuat di dalam buku ini. Relevansinya dalam penelitian ini, rujukan buku ini memberi pengetahuan dan masukan tentang masalah-masalah dampak pengembangan pariwisata budaya di Bali yang dianggap memberi kesejahteraan dalam segala sektor kehidupan masyarakat Bali, tetapi juga membawa dampak negatif yang tidak kecil bagi lingkungan alam dan budaya Bali itu sendiri. Dari hasil-hasil penelitian di atas, terlihat perbedaan secara substansial dengan penelitin ini, adalah objek kajian, yakni objek wisata cagar budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Di samping itu, penelitian ini menjadi berbeda dengan penelitian-penelitian sebelumnya karena berkaitan dengan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
19
2.2 Konsep Konsep merupakan unsur-unsur pokok dari suatu pengertian, definisi, dan/atau batasan secara singkat dari sekelompok fakta atau gejala/merupakan definisi dari apa saja yang perlu di amati di dalam proses pelaksanaan penelitian. Ada beberapa konsep yang dipakai dalam penelitian ini. Konsep-konsep tersebut adalah konsep profanisasi pemanfaatan, warisan budaya, Pura Petitenget, dan Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. 2.2.1 Profanisasi Pemanfaatan Profanisasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) adalah mengadung kata sifat yang berarti (1) tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan; lawan sakral, (2) tidak kudus (tidak suci) karena tercemar, kotor, dan sebagainya; tidak suci lagi, (3) tidak termasuk yang kudus (suci); bersifat duniawi (Alwi, 2001: 897). Dari pengertian di atas, profanisasi yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah tidak bersangkutan dengan agama atau tujuan keagamaan, tidak suci lagi karena sifat keduniawiaan yang masuk. Dari pengertian di atas profanisasi yang dimaksudkan di sini adalah menjadikan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak bersangkutan dengan tujuan keagamaan sehingga mendatangkan sumber pendapatan bagi masyarakat sekitarnya. Awalnya merupakan pura yang disucikan, sekarang menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat keduniawiaan yang masuk di dalam pura tersebut. Kata pemanfaatan mempunyai arti/definisi sebagai berikut (1) proses, cara perbuatan memanfaatkan, (2) proses melakukan kegiatan tertentu dengan
20
memanfaatkan sumber daya alam dan sumber daya manusia untuk pembangunan, (3) proses kegiatan memanfaatkan sumber daya yang ada (sumber daya; alam, manusia dan budaya) dalam bentuk barang (goods) dan jasa (service) guna mendatangkan pendapatan (income) bagi masyarakat (Ali, 2012: 22). Dari pengertian di atas dapat disimpulkan bahwa pemanfaatan adalah cara kegiatan atau perbuatan dalam memanfaatkan sumber daya budaya dan sumber daya manusia dalam bentuk barang dan jasa guna mendatangkan pendapatan bagi masyarakat. Pemanfaatan yang dimaksudkan di dalam penelitian ini adalah pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai sumber daya manusia guna mendatangkan pendapatan untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali. Konsep profanisasi pemanfaatan yang dimaksudkan dalam penelitian ini adalah menjadikan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang tidak bersangkutan dengan tujuan keagamaan, di mana pada awalnya merupakan pura yang disucikan, saat ini menjadi tidak suci lagi akibat adanya sifat-sifat keduniawiaan yang masuk di dalamnya, sebagai akibat atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya yang dimanfaatkan oleh masyarakat lokal sebagai sumber daya daya manusia, guna mendatangkan pendapatan untuk peningkatan kesejahteraan bagi masyarakat di sekitarnya dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.
21
2.2.2 Warisan Budaya Pengertian tentang warisan budaya adalah warisan peninggalan masa lalu yang diwariskan dari generasi yang satu kepada generasi yang lain, yang tetap dilestarikan, dilindungi, dihargai dan dijaga kepemilikannya (Ardika, 2007: 19). Ada banyak warisan budaya di Indonesia, namun istilah culrural heritage lebih mengarah kepada pengertian warisan budaya fisik (arsitektur) yakni“cagar budaya” sehingga aspek kultural dalam nonfisik terabaikan. Harus ditegaskan di sini, bahwa warisan budaya yang dimaksudkan adalah apa yang diwariskan dari kehidupan masa sebelumnya (masa lalu) yang berhubungan dengan peninggalan monumen/bangunan. Warisan budaya dapat digolongkan atas yang tangible (dapat disentuh; monumen/bangunan) dan yang intangible (tidak dapat disentuh; seperti musik, tari) juga abstrak (konsep-konsep) (Ardika, 2007: X). Di antara warisan budaya yang tangible ada yang berupa monumen, artinya karya unggul manusia yang patut dihargai selamanya. Dalam hal ini diadakan pembedaan antara apa yang disebut living monument ( monumen “hidup”) dan dead monument ( monumen “mati”). Definisi dari “hidup” itu adalah masih berfungsi seperti semula dibuat, dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya, contoh Pura Besakih, Pura Kebo Iwo, Pura Petitenget, dan sebagainya. Ada pun yang didefinisikan sebagai “mati” adalah monumen yang bersangkutan sudah atau pernah tak berfungsi lagi sebagaimana seperti fungsi semula ketika diciptakan, yang pernah ditinggalkan oleh pembuat dan pengguna awalnya, contoh Candi Borobudur, Candi Prambanan, Candi Penataran dan sebagainya.
22
Sebagaimana diketahui pemerintahan Indonesia baru pada tahun 1992 memiliki Undang-Undang Nomer 5 tahun 1992 tentang Benda Cagar Budaya (UUBCB). Undang-Undang ini selanjutnya mengalami revisi pada tahun 1997, dan pada tahun 2010 direvisi menjadi Undang-undang Benda Cagar Budaya. Konvensi PBB mengenai pusaka budaya dunia terkait dengan perlindungan budaya dan pusaka budaya (United Nations World Heritage Convention Concerning Proctecting of the World Cultural Natural Heritage) menjelaskan cakupan pusaka budaya sebagai berikut: (1) monumen (monuments), (2) kelompok bangunan (group of buildings), dan (3) situs (sites) (Ardika, 2007 : 79). Pemanfaatan cagar budaya sebagai pariwisata budaya (cultural tourism) cenderung untuk mendapatkan pengalaman budaya baru yang berbeda dengan budaya masa lalu. Sebagai sebuah ciri industri pariwisata postmodern maka faktor masyarakat menjadi sangat penting, karena secara umum mereka adalah pemilik, pendukung, dan pelaku kebudayaan. Pemanfaatan pusaka budaya buatan manusia (built heritage) dalam industri pariwisata, seperti bangunan cagar budaya mencakup konteks budaya (cultural contexts) dan konteks alamiah (natural contexts) (Nuryanti, dalam Surbakti, 2008: 32). Dengan demikian konsep bangunan cagar budaya Pura Petitenget sebagai warisan budaya adalah merupakan warisan peninggalan masa lalu berupa monumen atau bangunan yang diwariskan dari generasi satu ke generasi lain, untuk tetap dilestarikan dan dijaga kepemilikannya, di mana Pura Petitenget sebagai buatan manusia, merupakan salah satu bentuk yang masuk dalam kategori konteks budaya, dan Pura Petitenget merupakan living monument, artinya masih
23
berfungsi seperti semula dibuat, dan tetap digunakan sebagaimana fungsi awalnya hingga sekarang. Di mana pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya dalam industri pariwisata budaya mengalami komersialisasi budaya sehingga terjadi profanisasi makna dan nilainya atas keberadaan dan fungsi utamanya, karena dijadikannya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya akibat dampak dari pengembangan pariwisata budaya di Bali. 2.2.3 Pura Petitenget Pura Petitenget terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Pura Petitenget merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad XV, merupakan salah satu pura dang kahyangan yang berada di Kabupaten Badung. Pura Petitenget di-empon (pangemong/disungsung) oleh 49 banjar adat dan 1 (satu) subak se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung. Upacara keagamaan (odalan/piodalan) yang berlangsung di Pura Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari) yakni, pada hari Buda Wage Merakih, dengan puncak upacara (odalan/piodalan) selama empat hari, di mana satu hari sebagai persiapan upacara keagamaan dan tiga hari sebagai puncak upacara keagamaan (Sudiani, 1990: 17). Keberadaan Pura Petitenget sesuai dengan riwayat sejarahnya, mempunyai hubungan dengan perjalanan suci sang pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh), yang berarti keberadaan Pura Petitenget di sini sebagai pura “dang kahyangan” yakni, merupakan tempat pemujaan terhadap jasa seorang pandita atau guru suci yang telah memberikan
24
ajaran agamanya kepada umat. Sebagai pura dang kahyangan, berarti Pura Petitenget termasuk dalam klasifikasi pura umum, artinya sebagai pura yang tergolong umum dipuja oleh seluruh umat Hindu sehingga sering disebut dengan kahyangan jagat (Sudiani, 1990: 14). Konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali berdasarkan konsep “Tri Mandala”, di mana Tri berarti tiga, Mandala berarti wilayah, jadi Tri Mandala adalah tiga wilayah/daerah yang dimiliki oleh setiap pura sebagai tempat suci. Konsep Tri Mandala tersebut adalah membagi wilayah/daerah pura menjadi tiga bagian halaman yakni, untuk halaman luar (jaba sisi) disebut dengan Nista Mandala, untuk halaman jaba tengah disebut dengan Madya Mandala, dan untuk halaman suci (jeroan) disebut dengan Utama Mandala. Antara mandala yang satu dengan mandala yang lain dibatasi oleh tembok atau pintu masuk yang khas. Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura melambangkan bhurloka yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Bhuwarloka, di mana jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah dibersihkan /disucikan. Swarloka, di mana jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa (Sumber:
http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/.
Tanggal 6 maret 2013). Berdasarkan konsepsi pura di atas maka konsep Pura Petitenget dalam penelitian ini, sebagaimana konsep pura di Bali sebagai tempat suci pada
25
umumnya, maka bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep Tri Mandala tersebut. Memasuki areal Pura Petitenget, pamedek melewati jalan di sebelah selatan pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Pada halaman terluar (jaba) Pura Petitenget yang disebut Nista Mandala atau jaba sisi yang masih menjadi satu kesatuan dengan Pura Petitenget berdiri wantilan pura yang cukup besar dan bersih. Untuk memasuki halaman Pura Petitenget, pamedek melewati Candi Bentar, yaitu merupakan pintu masuk, batas wilayah antara jaba sisi (Nista Mandala) dengan areal luar, juga merupakan pintu masuk yang menentukan batas wilayah memasuki halaman tengah (jaba tengah) Pura Petitenget yang disebut dengan Madya Mandala, di mana pamedek mesti melewati Apit Surang dengan menaiki beberapa anak tangga. Untuk bisa sampai ke bagian halaman tersuci (Jeroan) Pura Petitenget yang disebut dengan Utama Mandala, pamedek mesti melewati Apit Surang. Masing-masing pura memiliki Apit Surang yang menghadap ke barat. Sementara itu, untuk menuju ke halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget, pamedek melewati Kori Agung dengan tiga (3) pintu, yaitu pintu utama di tengah, dengan dua pintu di samping kiri dan di samping kanan. Sebagai pura dang kahyangan, pada halaman Utama Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan utama yakni, pelinggih Gedong Petitenget, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci Dhang Hyang Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan peti pecanangan sang guru suci (Sudiani, 1990: 18-20).
26
Pura Petitenget berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung yang berdiri sendiri dalam sebuah areal, di mana Pura Petitenget berada di sebelah utara, sedangkan Pura Masceti-Ulun Tanjung berdiri di sebelah selatan. Kedua pura ini tampak asri dan bersih, serta terawat dengan sangat baik, di depan halaman terluar (jaba) Pura Petitenget ditumbuhi pepohonan yang cukup rimbun dan sejuk dengan keindahan pemandangan pantai Petitenget dengan pasirnya yang berwarna putih kemilau yang menghadap ke arah Barat. 2.2.4
Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung Desa Adat Kerobokan adalah sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah
kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai luas wilayah adalah 3,386 km², dengan kode wilayah Kelurahan/Desa 51.03.06.1002. Secara astronomis terletak pada 8038’44.2” LS – 115009’42.3” BT. Secara geografis Kecamatan Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta dan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar sampai berombak (pantai) (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012). Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod.
27
Di mana masing-masing Kelurahan di bawah pimpinan seorang Lurah, yaitu; 1) Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan Lurah I Made Adyana, S.STP. 2) Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah I Gusti Made Kaler Sudana,SH. 3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE (Profil Kecamatan Kuta Utara 2011). Secara geografis Desa Adat Kerobokan, berbatasan di sebelah utara dengan Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Adat Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padangsambian, dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa Adat Tandeg. Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan (49) Banjar Adat dan satu (1) Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima belas Banjar Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar. Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi sesuai dengan Awig-awig Desa Adat. Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa Adat, tetapi tetap di bawah koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian Swadharma (kewajiban) dan Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar dan aman. Sesuai dengan Visi dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kuta Utara (Profil Kecamatan Kuta Utara 2011). Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana, yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari
parhyangan
(lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan
28
alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur tersebut dan diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir-bathin. Wilayah Desa Adat Kerobokan ini, terdapat sebuah pura yang sangat terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di depan pantai Petitenget menghada ke Barat, merupakan warisan budaya masyarakat desa Adat Kerobokan yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik. Konsep pemanfaatan Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yang dimaksudkan di sini adalah memanfaatkan sumber daya budaya lokal yang berasal dari masyarakat Desa Adat Kerobokan itu sendiri sebagai pemilik pusaka budaya lokal tersebut guna mendatangkan keuntungan ekonomi, dengan memberi penambahan pendapatan bagi masyarakat setempat, dan membuka lapangan pekerjaan baru, sehingga mampu meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya, sehingga menggeser fungsi utama atau aslinya sebagai tempat suci yang difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya akibat dampak pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan di sini adalah berpegang pada pembangunan pariwisata budaya berkelanjutan dengan tetap
29
mempertahankan jati diri sebagai masyarakat Bali, yang bertujuan mewujudkan keseimbangan dan keharmonisan hubungan antara kesejahteraan masyarakat, pengembangan pelestarian lingkungan alam dan sosial budaya.
Selain
berpengaruh positif juga akan membawa dampak negatif yang ditimbulkan karena adanya perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, hal ini yang perlu diwaspadai oleh masyarakat setempat, juga oleh masyarakat Bali. 2.3 Landasan Teori Pada hakikatnya, teori adalah rumusan yang berisikan prinsip umum, membuat asumsi, meramalkan serta menjelaskan suatu gejala atau masalah yang untuk sebagian atau keseluruhan telah dibuktikan kebenarannya (Nazir, 1998: 21). Dalam penelitian ini, penulis menggunakan beberapa teori untuk membedah masalah penelitian agar diperoleh data yang bisa dipertanggungjawabkan secara keilmuan, yakni profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu (1) teori praktik, (2) teori dekonstruksi, dan (3) teori komodifikasi. 2.3.1 Teori Praktik Pierre Felix Bourdieu yang lahir pada 1 Agustus 1930 dan meninggal pada 23 Januari 2002, merupakan salah seorang pemikir Perancis paling terkemuka di penghujung abad ke 20. Bourdieu dikenal sebagai seorang sosiolog, antropolog, juga ahli filsuf. Bourdieu dalam teori praktik (practice) sosial dengan persamaan: (Habitus x Modal) + Ranah = Praktik. Teori Praktik merupakan gagasan pemikiran Bourdieu sebagai produk dari relasi habitus, sebagai produk sejarah,
30
dan ranah yang juga produk sejarah, yang mana dalam ranah ada pertaruhan, kekuatan-kekuatan serta orang yang banyak memiliki modal, serta orang yang tidak memiliki modal. Modal merupakan sebuah konsentrasi dari kekuatan, sesuatu kekuatan spesifik yang beroperasi dalam ranah (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: xxi). Secara sederhana, habitus bisa diartikan sebagai kebiasaan-kebiasaan, tetapi Bourdieu (dalam Haryatmoko, 2003: 9) menyatakan bahwa habitus merupakan keterampilan yang menjadi tindakan praktis (tidak harus selalu disadari) yang kemudian diterjemahkan menjadi suatu kemampuan yang kelihatannya alamiah dan berkembang dalam lingkungan sosial tertentu. Habitus mengacu pada sekumpulan disposisi yang tercipta dan terformulasi melalui kombinasi srtuktur obyektif dan sejarah personal. Disposisi diperoleh dalam berbagai posisi sosial yang berada dalam suatu ranah, dan mengimplikasikan suatu penyesuaian yang subyektif terhadap posisi itu (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 13-14). Konsepsi ranah yang dipergunakan Bourdieu hendaknya tidak dipandang sebagai ranah yang berpagar di sekelilingnya, melainkan sebagai ranah kekuatan. Hal ini dikarenakan adanya tuntutan untuk melihat ranah tersebut sebagai dinamis, suatu ranah di mana beragam potensi eksis (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 9-10). Ranah selalu didefinisikan oleh sistem relasi objektif kekuasaan yang terdapat di antara posisi sosial yang berkorespondensi dengan sistem relasi objektif yang terdapat di antara titik-titik simbolik.
31
Modal menurut Bourdieu merupakan hubungan sosial yang artinya suatu energi sosial hanya ada dan membuahkan hasil-hasil dalam arena perjuangan di mana ia memproduksi dan diproduksi. Setiap kepemilikan yang terkait dengan kelas menerima nilainya dan efektivitasnya dari hukum-hukum khas setiap arena dalam praktik artinya dalam suatu arena khusus, semua disposisi dan kepemilikan objektif, kekayaan ekonomi atau budaya (Haryatmoko, 2003: 11). Sejalan dengan sifat adaptif dan strategi adaptasi manusia dengan lingkungan sekitarnya, terkait dengan konsep hasrat, Bourdieu mengemukakan secara singkat penekanan “keterlibatan si subyek” dalam proses konstruksi budaya. Bourdieu mencoba menjelaskan hal ini dengan mengatakan bahwa di antara manusia dengan kebudayaannya terdapat suatu proses interaksi terus menerus, di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbolsimbol budaya demi “kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu secara situasional. Usaha-usaha manusia untuk mengkonstruksikan simbol atau nilai budaya oleh Bourdieu disebut “praktik”. Bagi Bourdieu, seluruh praktik memiliki sisi ekonomi jika praktik-praktik itu melibatkan benda-benda (material ataupun simbolik) yang ‘merepresentasikan dirinya sebagai sesuatu yang jarang dan layak dicari’ (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 19). Dalam teori praktik ini, ditunjukkan bahwa bagaimana nilai-nilai budaya dipengaruhi oleh pengalaman-pengalaman manusia dalam kehidupan sehari-hari, bukan semata-mata nilai-nilai budaya itu terbentuk dengan sendirinya dan mempengaruhi perilaku manusia. Atau dengan kata lain, bahwa ada hubungan timbal-balik secara terus menerus antara perilaku yang dipengaruhi sistem simbol
32
dan sebaliknya sistem simbol di produksi oleh pelaku berdasarkan kepentingankepentingan situasional. Hubungan timbal-balik itu oleh Bourdieu disebut sebagai “struktur obyektif” yang mencakup juga kebudayaan sebagai sistem konsepsi yang diwariskan maupun direproduksi atas dasar kepentingan-kepentingan situasional. Implikasi utama dari konsep kebudayaan seperti ini, bahwa simbolsimbol atau nilai-nilai yang terkandung dalam kebudayaan senantiasa bersifat cair, dinamis dan sementara, karena keberadaannya tergantung praktik para pelakunya yang mempunyai kepentingan tertentu. Implikasi lain, bahwa suatu kebudayaan hanya dapat terwujud dalam kaitannya dengan “subyek” yang melalui praktiknya; dan salah satu praktik yang unik karena secara langsung mengkonstruksi kebudayaan adalah “wacana” (discourse). Wacana merupakan bentuk penuturan verbal yang berkaitan erat dengan kepentingan si penutur, berbeda dari “teks” yang merupakan penuturan verbal yang telah lepas dari posisi si penutur (Bourdieu, dalam Harker dkk. 2009: 20). Dengan konsep hasrat, praktik, dan wacana memberi peluang yang seluasluasnya bagi manusia bahwa secara realistis apa saja bisa terjadi dalam kehidupan ini. Teori ini dipakai untuk memahami dan menjelaskan di mana manusia mencoba mengolah dan mengkonstruksikan simbol-simbol budaya demi “kepentingannya” dalam kondisi sosial, ekonomi, dan politik tertentu secara situasional. Dalam konteks penelitian ini teori praktik menjawab bahwa hasrat, praktik, dan wacana yang terjadi dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget sebagai pendukung
33
kebudayaan lokal dan kepentingannya dapat terjadi perubahan setiap saat karena situasional yang dinamis akibat industri pariwisata global yang membawa dampak realistis terhadap warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan dalam perkembangan pariwisata budaya Bali. Teori praktik dalam penelitian ini akan membedah variabel bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali. 2.3.2 Teori Dekonstruksi Jacques Derrida adalah pendiri Teori Dekonstruksi. Dia adalah seorang filsuf kontemporer yang lahir pada 15 Juli 1930 dan meninggal pada 8 Oktober 2004. karya Derrida yang memiliki dampak besar dan mempengaruhi ilmu sosial adalah teori dekonstruksi. Dekonstruksi adalah sebuah bentuk kritik yang didasarkan pada pembacaan secara hati-hati. Dekonstruksi adalah politis, ia begitu kuat mengganggu cara-cara standar memahami dunia, apa yang mungkin telah terima begitu saja, dengan adanya dekonstruksi, kini harus dipertimbangkan kembali. Paham pasca-srtukturalisme sering juga disebut pengkajian dekonstruksi, yakni sebuah ragam penelitian sastra yang tidak begitu memperhatikan struktur. Artinya memahami karya sastra boleh dari sisi apa saja. Paham ini begitu bebas, tak terikat struktur, di antara peneliti sastra ada yang menyebut posmodernisme. Istilah ini sebagai kontras paham struktural yang masih terkategorikan modern (Endraswara, 2008: 167). Jadi kajian pasca-struktural maupun dekonstruksi boleh
34
disebut juga postmodern, postmodern berarti sebagai pijar penelitian yang selangkah lebih maju dari modernitas. Selain teks dalam pandangan dekonstruksi akan selalu menghadirkan banyak makna, sehingga teks tersebut sangat kompleks. Jaringan-jaringan makna dalam teks juga bisa rumit yang memungkinkan pembaca berspekulasi makna. Makna tidak tunggal, melainkan bersifat plural, makna bukan mati (tetap) melainkan hidup dan berkembang, maka dekonstruksi membiarkan teks itu dan menantang segala kemungkinan. Kajian dekonstruksi sastra akan selalu tak percaya pada arti bahasa. Kalau struktural lebih mengandalkan bahasa teks, dimungkinkan akan menemui jalan buntu, karena tak setiap bahasa dapat dikembalikan ke kenyataan. Itulah sebabnya keluar dari srtuktur dan mencoba menghubungkan dengan teks-teks dan bahkan konteks lain, diharapkan lebih memadai. Inilah yang dilakukan oleh kaum dekonstruktif yang ingin selalu ada kebaharuan pemahaman sastra. Dalam kaitan ini, Barthes (1983: 119) memberikan tahapan penelitian dekonstruksi sebagai berikut; (1) Mendasarkan semua unsur (struktur) yang terdapat pada teks dan meletakkan semua unsur tersebut pada kedudukan yang sama. Setiap unsur dipahami secara terpisah. Dengan demikian, tidak satu pun dianggap tidak penting atau tidak mempunyai peranan. (2) Unsur-unsur yang telah dipahami dihubungkan dengan unsur yang lainnya dalam upaya untuk mengetahui apakah unsur-unsur tersebut merupakan satu jaringan, baik jaringan antarsemua unsur (jaringan X) atau merupakan satu jaringan dengan unsur lain (jaringan X dan Y). Berdasarkan tahapan tersebut, memang tidak tertutup kemungkinan sebuah teks
35
sastra dipahami berdasarkan teks lain. Teks sastra dipahami tidak lewat struktur, melainkan melalui kode-kode lain di luar teks. Dalam kaitan ini, membaca karya sastra adalah kegiatan yang paradoks. Maksudnya, pembaca boleh menciptakan kembali dunia ciptaan, dunia rekaan, dan menjadikannya sesuatu yang akhirnya mudah dikenal. Hal yang aneh, menyimpang, dan mengejutkan dalam teks dinaturalisasikan dan dikembalikan ke dalam dunia yang mudah dikenali. Menurut Derrida, mendekonstruksi suatu oposisi adalah membalikkan suatu hierarki. Akan tetapi, aktivitas itu baru tahap pertama. Pada tahap berikutnya, pembalikan harus dilakukan terhadap sistem keseluruhan yang di dalamnya oposisi itu menjadi bagian-bagiannya. Hanya dengan syarat itulah dekonstruksi dapat memberikan alat untuk menembus lapangan oposisi-oposisi yang dikritiknya yang juga merupakan lapangan kekuatan-kekuatan nondiskursif. Praktik dekonstruksi bekerja dalam batas-batas sistem tertentu tetapi dengan tujuan menghancurkan, melakukan subversi (Aminuddin, 2002: 165). Menurut Derrida (dalam Aminuddin, 2002: 170) dekonstruksi merupakan Inventive or nothing. Dekonstruksi juga bukan merupakan prosedur metodelogi karena dekonstruksi hanya membuka jalan dalam aktivitas berpikir dan penandaan dalam proses penjejakan jaringan makna guna membentuk pemahaman. Bagi Derrida, dekonstruksi juga merupakan writing, dalam arti bukan hanya mengacu pada writing sebagai informasi, melainkan juga sebagai proses penyusunan pengertian, pemahaman, dan pembentukan posisi yang berlangsung secara terus-menerus dalam aktivitas berpikir.
36
Secara tegas dapat dipahami bahwa teori dekonstruksi dalam penelitian ini untuk memandang sebuah fenomena budaya yang dapat bermakna banyak (tidak tunggal), dan selalu dalam proses (tidak pernah final) yang terjadi pada kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Teori dekonstruksi juga akan membawa pada hal-hal yang selama ini kurang diperhatikan dalam kehidupan di sekitar masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan membuka aktivitas berpikir masyarakat setempat, sebagai akibat adanya pengembangan industri pariwisata budaya di Bali. Dalam konteks penelitian ini, teori dekonstruksi dengan di dukung teori yang lain, digunakan untuk mengetahui variabel faktor-faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali. 2.3.3 Teori Komodifikasi Teori komodifikasi merupakan salah satu teori aliran Neo-Marxisme terpenting pada abad ke 20. Teori ini muncul sebagai hasil reaksi pemikiran para eksponen Neo-Marxisme, terhadap pemikiran Marx dan dan Marxisme-Ortodoks tentang
berbagai
problem
kebudayaan.
Marx
dan
Marxisme-Ortodoks
berpandangan bahwa problem kebudayaan bukan berasal dari dalam dirinya sendiri, tetapi muncul sebagai akibat dari adanya bias material hubungan produksi dalam kegiatan ekonomi (Sutrisno, 2005: 26). Bertolak dari pandangan Marx dan Marxisme-Ortodoks tersebut, maka para pemikir Neo-Marxisme kemudian melakukan kritik dan mengembangkannya dalam satu pandangan baru, dengan penekanan bahwa masalah kebudayaan yang
37
timbul bukan semata-mata karena bias material hubungan prodiksi dalam kegiatan ekonomi, tetapi disebabkan oleh bias seluruh aspek kehidupan manusia (Sutrisno, 2005: 28). Melalui karyanya History and Class Conciousness (1922), Georg Lukacs (1885-1971)
merupakan
menguraikan
bahwa
salah
satu
kapitalisme
dari
mengusai
para
pemikir
seluruh
Neo-Marxisme,
dimensi
kehidupan
masyarakat, sehingga interaksi dalam kehidupan masyarakat selalu ditandai oleh pemiskinan makna hidup yang autentik. Kebebasan untuk mengaktualkan dimensi kemanusiaan dalam masyarakat sebagai ciri autentik kehidupan masyarakat, yang mampu memaknai kebebasan dirinya, kemudian digantikan oleh adanya aktivitas pertukaran nilai uang yang secara objektif dapat menimbulkan keterasingan hidup, dan proses ini yang oleh Lukas disebut sebagai komodifikasi (Sutrisno, 2005: 28). Komodifikasi adalah proses menjadikan sesuatu yang sebelumnya bukan komoditi, sehingga kini menjadi komoditi (commodity). Sedangkan komoditi adalah segala sesuatu yang di produksi dan dipertukarkan dengan sesuatu yang lain, biasanya uang, dalam rangka memperoleh nilai lebih atau keuntungan (Piliang, 2004: 21). Komodifikasi tidak hanya berkutat kepada barang-barang yang terlihat, tetapi merambat pada bidang kebudayaan. Hal ini seperti yang dikatakan oleh Piliang, bahwa kapitalisme global telah memangsa apa saja, artinya menjadikan komoditi apa saja, mulai dari hiburan, olahraga, pendidikan, informasi, kesehatan, hingga kebugaraan, kepribadian, penampilan; mulai dari tubuh, pikiran, kekuasaan, hingga ilusi, halusinasi dan fantasi, demi
38
keberlangsungan perputaran kapital, dan demi menggelembungnya kapital (Piliang, 2004: 140). Piliang juga mengatakan bahwa peralihan dari masyarakat industri menuju masyarakat posindustri telah mempengaruhi bagaimana makna-makna diamati dalam objek-objek seni dan dikomunikasikan lewat media (massa). Objek-objek seni dalam kebudayaan posmodern merupakan bagian dari kebudayaan materi masyarakat global/mutakhir. Sekali objek-objek diproduksi dan dikonsumsi akan menjadi produk sosial masyarakat yaitu produk yang digunakan untuk mengkomunikasikan, menyampaikan makna-makna dan kepentingan-kepentingan sosial yang ada di belakangnya (Piliang, 2004: 62-63). Teori komodifikasi adalah suatu proses produksi komoditas yang tidak hanya dalam lingkup ekonomi sempit, tetapi juga bergerak ke lingkup yang lebih luas, yakni, produksi, distribusi dan konsumsi. Dalam penelitian ini teori komodifikasi digunakan sebagai teori pendukung teori-teori di atas untuk menganalisa bagaimana bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Teori ini juga digunakan untuk mengungkap dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung.
39
2.4 Model Penelitian Model penelitian profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dapat digambarkan sebagai berikut.
Budaya Global
Budaya Tradisional Pura Petitenget
- Sakral - Ritual - Tradisi
Profanisasi Pemanfaatan Warisan Budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung
Bentuk Profanisasi
Faktor-faktor yang Menyebabkan Profanisasi
Gambar 2.1 Model Penelitian
Keterangan Garis: : Hubungan pengaruh searah : Hubungan dua arah/saling mempengaruhi : Dari umum ke khusus
- Ekonomi - Teknologi - Informasi - Komunikasi - Transportasi
Dampak dan Makna Profanisasi
40
Penjelasan Model Penelitian : Dalam model penelitian ini, tampak bahwa profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, telah terjadi pada pura ini sebagai akibat dari pembangunan pariwisata budaya di Bali. Sesuai dengan sejarah pendiriannya, Pura Petitenget pada awal di bangun merupakan pura yang disucikan (sakral), mempunyai nilai dan makna keagamaan dalam religiusitas, yang merupakan budaya tradisional yang berkembang pada waktu itu, saat ini mengalami pergeseran makna dan nilainya dikarenakan adanya budaya global yang masuk ke dalamnya, ditandai dengan pergerakan manusia, ekonomi (uang), teknologi, dan komersialisasi (media). Fenomena
ini
menunjukkan
adanya
tarik
menarik
atau
saling
mempengaruhi antara budaya tradisional dengan budaya global, di mana Pura Petitenget yang semula sakral telah bergeser fungsinya menjadi profan karena perubahan nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, karena difungsikannya sebagai objek wisata cagar budaya akibat dampak dari pembangunan pariwisata budaya di Bali. Suatu fenomena yang menarik untuk diteliti, oleh karena itu, dalam penelitian ini, peneliti akan menelaah bagaimana bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, faktor-faktor apa yang menyebabkan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, bagaimana dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
41
BAB III METODE PENELITIAN 3.1 Rancangan Penelitian Penelitian ini merupakan penelitian kajian budaya, tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Merupakan sebuah penelitian dengan menggunakan metode kualitatif, yakni penelitian yang menghasilkan data deskriptif, baik data tertulis maupun lisan dari orang-orang dan perilaku yang dapat diamati, oleh karena penekanannya pada uraian detail, maka penelitian kualitatif oleh Bogdan dan Taylor disebut riset interpretasi (Moleong, 1994: 3). 3.2 Lokasi Penelitian Lokasi penelitian ini dilaksanakan di Pura Petitenget yang terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Lokasi Pura Petitenget ini berjarak sekitar 10 (sepuluh) kilometer barat daya Kota Denpasar, di tempuh dengan waktu kurang lebih 20 menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah barat daya, berbelok ke selatan menuju ke Kuta Utara, kemudian ke arah utara menuju ke selatan menyusuri jalan raya Seminyak – Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke arah barat daya ke pantai Petitenget, karena lokasi pura ini tepat berada di depan pantai Petitenget berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung, berdiri dalam sebuah areal.
42
Pemilihan Pura Petitenget sebagai lokasi penelitian karena pura ini merupakan warisan budaya yang dilestarikan juga berfungsi sebagai objek wisata budaya. Sebagai objek wisata cagar budaya Pura Petitenget terletak di daerah pariwisata Desa Adat Kerobokan, Kuta Utara, yang banyak mendapat pengaruh globalisasi dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali, dan kehidupan ekonomi masyarakat di sekitarnya sebagian besar bergantung pada sektor pariwisata, sehingga membawa dampak dan makna atas keberadaan pura tua tersebut, baik di dalam pura itu sendiri maupun di luar Pura Petitenget tersebut dalam perkembangan industri pariwisata Bali pada umumnya dan di Desa Adat Kerobokan pada khususnya yang terus berkembang pesat. 3.3 Jenis dan Sumber Data 3.3.1 Jenis Data Penelitian ini menggunakan metode kualitatif, dengan menggunakan analisis deskriptif kualitatif, yaitu penelitian tentang data dari subjek penelitian yang dikumpulkan dan dinyatakan dalam bentuk kata-kata dan gambar. Pengumpulan data dengan menggunakan teknik wawancara, observasi dan studi kepustakaan. 3.3.2 Sumber Data Menurut Moleong (1994), sumber data dapat dibedakan menjadi dua yaitu sumber data langsung (primer), dan sumber data tidak langsung (sekunder). Sumber data langsung (primer) dalam penelitian ini, yaitu data yang diperoleh langsung dari objek penelitian berupa hasil observasi di lapangan serta dari
43
informan. Di sini peneliti melalui wawancara dan observasi yang mendalam, mendapat data primer yang akurat berkaitan dengan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget. Sumber data tidak langsung (sekunder) dalam penelitian ini adalah data yang diperoleh tidak secara langsung dari objek penelitian
yang
diperoleh
dari
jurnal,
makalah,
hasil-hasil
penelitian,
perpustakaan, dan instansi pemerintah. 3.4 Teknik Penentuan Informan Penentuan informan dilakukan secara purposive sampling yaitu pemilihan informan berdasarkan pertimbangan tertentu sesuai dengan kapasitas informan dalam memberikan informasi agar tujuan penelitian tercapai, yakni informan dipilih yang memiliki pengetahuan tentang penelitian ini. Informan dalam penelitian ini adalah orang-orang yang memiliki banyak pengetahuan tentang objek penelitian, seperti pemangku Pura Petitenget, tokoh masyarakat Desa Adat Kerobokan, dan masyarakat setempat di Desa Adat Kerobokan yang menjadi subjek yang diteliti. Jumlah informan dalam penelitian ini dihentikan apabila terjadi pengulangan jawaban atau kejenuhan jawaban atas pertanyaan yang sama, sehingga tidak terdapat informan baru lagi (Moleong, 1994: 15). 3.5 Instrumen Penelitian Dalam penelitian kualitatif peneliti merupakan instrumen utama. Peneliti di sini sebagai perencana, pengumpul data, analisis, penafsir data dan pelapor hasil penelitian. Dalam hal ini, peneliti harus terjun langsung ke lapangan untuk memperoleh data tersebut. Pengumpulan data dapat diperoleh dengan wawancara
44
maupun pengamatan langsung. Untuk itu perlu adanya instrumen untuk menunjang kegiatan tersebut. Menurut Nawawi (1995: 69) dalam pengumpulan data diperlukan alat instrumen yang tepat agar data yang berhubungan dengan masalah dan tujuan penelitian dapat dikumpulkan secara lengkap. Instrumen penunjang tersebut misalnya pedoman wawancara, kamera, alat perekam suara, dan alat tulis. 3.6 Teknik Pengumpulan Data Teknik pengumpulan data adalah suatu cara yang digunakan untuk mendapatkan data tertentu dengan menggunakan teknik tertentu. Data yang dikumpulkan dihimpun secara sistematis dan terencana, agar tujuan tercapai dengan baik. Untuk mendapatkan data maka dalam penelitian ini digunakan beberapa teknik pengumpulan data. 3.6.1 Teknik Observasi Observasi dapat diartikan sebagai pengamatan dan pencatatan dengan sistematik (Nazir, 1988: 212). Pengumpulan data dengan metode observasi yakni pengumpulan data dilakukan dengan mengamati secara langsung ke objek penelitian dengan cermat dan dibarengi dengan pencatatan hal-hal yang dianggap penting untuk memperkuat akurasi data. Pengamatan dilakukan di lokasi Pura Petitenget, yang terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung.
45
3.6.2 Teknik wawancara Wawancara adalah teknik pengumpulan data yang digunakan peneliti untuk mendapatkan keterangan-keterangan lisan melalui percakapan dan berhadapan muka dengan orang yang dapat memberikan keterangan pada peneliti (Mardalis, 1999: 64). Wawancara dilakukan dengan beberapa informan yang dirancang oleh peneliti dengan pertimbangan-pertimbangan atau tujuan tertentu. Ada sejumlah informan yang direncanakan untuk diwawancarai, dan syarat-syarat informan yang bersangkutan adalah sebagai berikut. (1) Orang yang menguasai masalah yang berkaitan dengan penelitian ini. (2) Orang yang mudah ditemui dan dihubungi dan bersedia sebagai informan. Dalam kaitannya dengan penelitian ini wawancara dilakukan dengan pamangku Pura Petitenget, tokoh masyarakat Desa Adat Kerobokan, dan masyarakat sekitar Desa Adat Kerobokan. 3.6.3 Studi Dokumen dan Kepustakaan Selain observasi dan wawancara, peneliti juga melakukan studi dokumen dan kepustakaan. Dalam penelitian ini studi dokumen dan kepustakaan mutlak diperlukan dalam tahap pengumpulan data. Penelitian ini menggunakan studi dokumen dilakukan untuk pengumpulan data yang bersumber dari arsip dan dokumen yang ada hubungannya dengan penelitian ini, seperti buku, majalah, jurnal, surat kabar, arsip-arsip, peraturan-peraturan, maupun dokumen pribadi lainnya sebagai pendukung terhadap penelitian ini. Cara ini dilakukan dengan mencari, memahami, kemudian mencatat data yang relevan sebab dokumen serikali mencakup hal-hal yang sifatnya khusus, yang sulit ditangkap melalui observasi langsung (Nawawi, 1995: 180).
46
Studi kepustakaan dilakukan oleh peneliti untuk mencari data yang berisi tentang hal-hal yang berkaitan dengan pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam pembangunan pariwisata budaya Bali yang bisa didapatkan dari informan atau dari hasil pencarian di tempat lain, di kantor desa, instansi pemerintah, perpustakaan, maupun yang dimiliki oleh informan dan pribadi. Melalui teknik ini dapat diperoleh data yang terkait dengan permasalahan dalam penelitian ini. 3.7 Teknik Analisis Data Analisis data dalam penelitian ini merupakan tahapan yang sangat penting. Analisis data dalam penelitian kualitatif dilakukan terus menerus sepanjang proses penelitian berlangsung, dilakukan secara deskriptif, kualitatif, dan interpretatif.
Analisis
data
dilakukan
mulai
dari
perumusan
masalah,
pengumpulan data, dan pasca pengumpulan data. Kemudian melakukan reduksi data dengan cara membuat rangkuman yang inti prosesnya dan pertanyaanpertanyaannya yang perlu dijaga sehingga tetap berada di dalamnya (Moleong, 1994: 190). Dengan adanya perumusan masalah maka peneliti telah melakukan analisis terhadap permasalahan tersebut dalam berbagai prespektif teori dan teknik yang digunakan. Berdasarkan hal tersebut maka peneliti akan melakukan proses pengumpulan data dan analisis data sepanjang rangkaian kegiatan penelitian dan dituangkan dalam hasil penelitian. Jadi teknik analisis data dalam penelitian ini adalah melakukan penyederhanaan data yang terkumpul, yang selanjutnya diolah,
47
ditafsirkan, dan melakukan pemaknaan terhadap data yang telah terkumpul tersebut, kemudian disajikan secara sistematis. 3.8 Teknik Penyajian Hasil Penelitian Kegiatan yang paling akhir dalam penelitian ini adalah penyajian hasil penelitian. Penyajian hasil penelitian dilakukan secara informal dan formal. Teknik penyajian secara informal adalah cara penyajian hasil penelitian dengan mempergunakan kata-kata atau kalimat verbal sebagai sarananya, dengan memakai ragam bahasa ilmiah. Ciri ragam bahasa ilmiah adalah objektif, tidak emotif, lugas dan komunikatif. Sementara itu secara formal penyajian hasil penelitian berupa tabel, peta, gambar atau foto yang disesuaikan dengan kepentingan dan proporsi yang diperlukan.
48
BAB IV GAMBARAN UMUM WILAYAH PENELITIAN DAN PURA PETITENGET 4.1 Desa Adat Kerobokan 4.1.1 Letak Geografi Desa Adat Kerobokan juga sebuah Kelurahan, masuk ke dalam wilayah kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kecamatan Kuta Utara mempunyai luas wilayah adalah 3,386 km², dengan jumlah penduduk mencapai 62.508 jiwa, dengan kode wilayah Kelurahan/Desa 51.03.06.1002. Secara geografis Kecamatan Kuta Utara mempunyai batas-batas sebagai berikut: Sebelah Utara berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Sebelah Timur berbatasan dengan Kecamatan Denpasar Barat. Sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta dan Samudra Indonesia. Sebelah Barat berbatasan dengan Kecamatan Mengwi. Kecamatan Kuta Utara berbentuk wilayah (daratan) datar sampai berombak (pantai), secara astronomis terletak pada 8038’44.2”
LS – 115009’42.3” BT,
dengan curah hujan rata-rata 1.618 mm/tahun, dan jumlah hari dengan curah hujan yang terbanyak 91 hari, dengan suhu rata-rata tertinggi 330C dan terendah 280C. Dengan luas daerah/wilayah tanah sawah 1.497 ha. dan tanah kering 1.751 ha. Di mana kepadatan penduduk mencapai 1.890 km/jiwa, serta jumlah Kepala Keluarga (KK) sebanyak 15.543 KK dengan mayoritas penduduk beragama Hindu (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012). Terbentuknya Kecamatan Kuta Utara bermula saat ketika masih menjadi bagian dari wilayah Kecamatan Kuta. Pada waktu itu Kecamatan Kuta termasuk
49
wilayah Kabupaten Badung yang memiliki sumber daya alam dan sumber daya manusia maupun kelembagaan yang ditunjang sarana dan prasarana yang ada, serta cukup mendukung dalam rangka program pembangunan. Letak secara geografis Kecamatan Kuta, merupakan daerah dataran rendah berada pada ketinggian kurang dari 100 meter di atas permukaan laut. Terletak 16 km dari ibukota Kabupaten dan 13 km dari ibukota Provinsi Bali, dengan luas wilayah saat itu 17,52 km2 (sebelum pemekaran dan penambahan wilayah) dan memiliki batas-batas wilayah sebagai berikut; di sebelah Utara berbatasan dengan: Kecamatan Kuta Utara, di sebelah Timur berbatasan dengan Kota Denpasar, di sebelah Selatan berbatasan dengan Kecamatan Kuta Selatan, dan di sebelah Barat berbatasan dengan Samudera Indonesia. Secara administratif wilayah Kecamatan Kuta dibagi menjadi 5 Kelurahan, 27 Lingkungan dan 6 Desa adat. Kelima kelurahan tersebut yaitu; Kelurahan Kedonganan, Kelurahan Tuban, Kelurahan Kuta, Kelurahan Legian, dan Kelurahan Seminyak. Pemerintahan Kecamatan Kuta, dimulai pada zaman Pemerintahan Hindia Belanda, wilayah (Kabupaten) Badung terdiri dari 5 Kedistrikan yang masingmasing Distrik di perintah oleh seorang “Punggawa” (Camat) dan seorang “Manca” (Sekretaris). Adapun kelima Kedistrikan tersebut adalah sebagai beriku: 1) Distrik Denpasar, 2) Distrik Kesiman, 3) Distrik Kuta, 4) Distrik Abiansemal, dan 5) Distrik Mengwi. Kedistrikan Kuta mempunyai wilayah bawahan yang disebut wilayah Keprebekelan yaitu setingkat dengan Desa/Kelurahan yang di perintah atau di pimpin oleh seorang Prebekel atau Kepala Desa, dengan wilayah bawahan disebut
50
Banjar Dinas, yang dikepalai oleh seorang Kelian Dinas. Wilayah Keprebekelan pada jaman Kedistrikan Kuta, yaitu; 1) Keprebekelan Dalung, 2) Keprebekelan Canggu, 3) Keprebekelan Kerobokan, 4) Keprebekelan Kuta, 5) Keprebekelan Tuban, 6) Keprebekelan Jimbaran, 7) Keprebekelan Pecatu, 8) Keprebekelan Ungasan, 9) Keprebekelan Bualu, dan 10) Keprebekelan Tanjung Benoa. Dalam perkembangan pemerintahan selanjutnya wilayah Keprebekelan ini mengalami penciutan atau penggabungan hingga menjadi 9 wilayah Keprebekelan yang kemudian disebut Desa, yaitu; 1) Prebekelan/Desa Dalung dengan 16 Banjar dinas, 2) Prebekelan/Desa Canggu dengan 18 Banjar Dinas, 3) Prebekelan/Desa Kerobokan dengan 25 Banjar Dinas, 4) Prebekelan/Desa Kuta dengan 12 Banjar Dinas, 5) Prebekelan/Desa Tuban dengan 9 Banjar Dinas, 6) Prebekelan/Desa Jimbaran dengan 10 Banjar Dinas, 7) Prebekelan/Desa Pecatu dengan 3 Banjar Dinas, 8) Prebekelan/Desa Ungasan dengan 4 Banjar Dinas, 9) Prebekelan/Desa Benoa dengan 14 Banjar Dinas. Selanjutnya Kedistrikan Kuta yang kemudian dikenal dengan Kecamatan Kuta terdiri dari 9 Desa dengan 111 Banjar Dinas. Sejak pergantian kepala wilayah Kecamatan dari Punggawa menjadi Camat, sebutan Manca digantikan dengan sebutan Sekretaris Kecamatan (Sekwilcam), dan sejalan dengan perkembangan pemerintahan sejak tahun 1991 berdasarkan Surat Keputusan Menteri Dalam Negeri Nomor 140-502, tertanggal 22 September 1980, tentang Penetapan Desa menjadi Kelurahan, maka Kecamatan Kuta dimekarkan lagi atau dibagi menjadi 4 Desa dan 5 Kelurahan, yaitu; 1) Desa Dalung, 2) Desa Canggu,
51
3) Desa Pecatu, 4) Desa Unggasan, 5) Kelurahan Kuta, 6) Kelurahan Kerobokan, 7) Kelurahan Jimbaran, 8) Kelurahan Tuban, dan 9) Kelurahan Benoa. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di Kabupaten daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan yang ada di Kecamatan Kuta dimekarkan lagi sebagai berikut: 1) Kelurahan Kerobokan, menjadi: Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan Kaja, dan -Kelurahan Kerobokan Kelod. 2) Kelurahan Kuta, menjadi: -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Seminyak, dan -Kelurahan Legian. 3) Kelurahan Benoa, menjadi: -Kelurahan Benoa, dan Kelurahan Tanjung Benoa. Pada tahun 1999, berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 350 Tahun 1999, Tertanggal 31 Juli 1999, di mana Kecamatan Kuta dimekarkan lagi menjadi 1(satu) Kecamatan dan 2 (dua) Kecamatan Pembantu. 1(satu) Kecamatan tersebut yaitu: Kecamatan Kuta, yang meliputi: -Kelurahan Seminyak, -Kelurahan Legian, -Kelurahan Kuta, -Kelurahan Tuban, -Kelurahan Kedonganan. Sementara 2 (dua) Kecamatan Pembantu tersebut meliputi sebagai berikut: 1) Kecamatan Pembantu Kuta Utara, meliputi : -Kelurahan Kerobokan, -Kelurahan Kerobokan Kaja, -Kelurahan Kerobokan Kelod, -Desa Dalung, -Desa Canggu, dan -Desa Tibubeneng. 2) Kecamatan Pembantu Kuta Selatan, meliputi: -Kelurahan Benoa, Kelurahan Tanjung Benoa, -Kelurahan Jimbaran, -Desa Ungasan, -Desa Kutuh, dan
-Desa
Pecatu
(Profile
Kecamatan
Kuta
Utara
http://www.badungkab.go.id Tanggal, 16 April 2013, 12:06).
tahun
2012
dan
52
Secara garis besar, Kecamatan Kuta Utara mewilayahi atau menaungi enam (6) Kelurahan/Desa, yaitu; 1) Desa Tibubeneng, 2) Desa Canggu, 3) Desa Dalung, 4) Kelurahan Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 6) Kelurahan Kerobokan Kelod. (Lihat Tabel 4.1). Tabel 4.1. Luas Wilayah Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara Luas Wilayah Kepadatan No Desa / Kelurahan (Km2) (Km2) 1
Desa Tibubeneng
6,50
1.510
2
Desa Canggu
5,23
1.022
3
Desa Dalung
6,15
2.951
4
Kelurahan Kerobokan Kaja
5,30
2.498
5
Kelurahan Kerobokan
5,42
1.464
6
Kelurahan Kerobokan Kelod
5,26
1.522
Per
Sumber: Kecamatan Kuta Utara dalam Angka 2011. Berdasarkan Surat Keputusan Gubernur Bali No. 643 Tahun 1997, tentang Penetapan Kelurahan-kelurahan definitive sebagai Pemecahan Kelurahan di Kabupaten Daerah Tingkat II Badung, maka Kelurahan Kerobokan yang ada di Kecamatan Kuta Utara dimekarkan lagi menjadi sebagai berikut: 1) Kelurahan Kerobokan Kaja, 2) Kelurahan Kerobokan, dan 3) Kelurahan Kerobokan Kelod. Kecamatan Kuta Utara sebagai induk Pemerintahan Desa /Kelurahan di bawah pimpinan Dra. A.A. Putu Yuyun Hanura Eny, M.Si sebagai Camat Kuta Utara yang mewilayahi tiga Desa dan tiga Kelurahan. Tiga Desa tersebut yakni; 1) Desa Tibubeneng, di bawah pimpinan Kepala Desa I Gede Suharja, SH. 2) Desa Canggu, di bawah pimpinan Kepala Desa I Nyoman Mustiada, 3) Desa Dalung, di bawah pimpinan Kepala Desa Drh. I Nyoman Triasa. Sementara tiga
53
Kelurahan tersebut, yaitu; 1) Kelurahan Kerobokan Kaja di bawah pimpinan Lurah I Made Adyana, S.STP. 2) Kelurahan Kerobokan di bawah pimpinan Lurah I Gusti Made Kaler Sudana,SH. 3) Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kecamatan Kuta Utara juga mewilayahi 88 Lingkungan/Dusun yang masing-masing di bawah pimpinan seorang Kepala Lingkungan (Kelian) (Profil Kecamatan Kuta Utara 2011). (Lihat Tabel 4.2). Tabel 4.2 Desa / Kelurahan di Kecamatan Kuta Utara Jumlah Banjar Dinas No Desa / Kelurahan Nama Perbekel/Lurah /Lingkungan 1 Desa Tibubeneng
13
I Gede Suharja, SH
2 Desa Canggu
7
I Nyoman Mustiada
3 Desa Dalung
23
Drh. I Nyoman Triasa
4 Kelurahan Kerobokan Kaja
23
I Made Adnyana, STP
5 Kelurahan Kerobokan
10
I Gst. Made Kaler Sudana, SH
6 Kelurahan
12
I Made Wistawan, SE
Kerobokan Kelod Jumlah
88
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011. Desa Adat Kerobokan memiliki empat puluh sembilan Banjar Adat dan satu Subak Desa. Dari ke-empat puluh sembilan Banjar Adat, lima belas Banjar Adat di antaranya berada di wilayah kedinasan Kota Denpasar. (lihat Tablel 4.3).
54
Tabel 4.3 Desa Adat, Jumlah Banjar Adat dan Kelian Desa Adat di Kecamatan Kuta Utara Tahun 2011 Jumlah No Desa Adat Kelian Desa Adat Banjar Adat 1
Kerobokan
49
A.A. Putu Sutarja
2
Tandeg
2
Drs. I Nyoman Punia
3
Berawa
1
I Wayan Warsa
4
Padonan
7
Drs. I Wayan Jigra
5
Canggu
7
Drs. I Wayan Suamba
6
Dalung
10
I Made Parmita S.Ag.
7
Padang Luwih
6
I Gusti Ketut Suparta, SPd.
8
Tuka
1
I Wayan Dana
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011. Secara geografis Desa Adat Kerobokan berbatasan di sebelah utara dengan Banjar Adat Padang Luwih, di sebelah selatan berbatasan dengan Desa Adat Seminyak, di sebelah timur berdampingan dengan Desa Adat Padang-sambian, dan di sebelah barat, bersebelahan dengan Desa Adat Padonan dan Desa Adat Tandeg. Secara keseluruhan, masing-masing Banjar Adat diberikan otonomi sesuai dengan Awig-awig Desa Adat. Awig-awig merupakan hukum adat berupa peraturan atau undang-undang yang disusun atau ditetapkan oleh seluruh anggota masyarakat desa, banjar, dan subak, tentang aturan tata kehidupan masyarakat di bidang agama, budaya, dan sosial-ekonomi di Bali (Alwi, dkk. 2001: 80). Walaupun diberikan otonomi sesuai Awig-awig Desa Adat, tetapi tetap di bawah koordinasi Desa Adat Kerobokan, dengan demikian Swadharma (kewajiban) dan Swadikara (hak) tetap berjalan dengan baik, lancar dan aman. Sesuai dengan Visi
55
dan Misi yang diemban oleh Desa Adat kerobokan yang merupakan bagian dari wilayah Kecamatan Kuta Utara. Visi dan Misi tersebut adalah; Visinya: Terwujudnya pelayanan prima berdasarkan Tri Hita Karana di Kecamatan Kuta Utara. Dimana dengan Misinya: (1) Peningkatan sumber daya manusia serta sarana dan prasarana kerja. (2) Mewujudkan kepastian hukum. (3) Menciptakan ketentraman dan ketertiban masyarakat, dan (4) Peningkatan partisipasi masyarakat (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2011). Dengan Tugas Pokok adalah sebagai berikut; Melaksanakan kewenangan pemerintah yang dilimpahkan oleh Bupati untuk menangani sebagian urusan otonomi daerah. Dengan Fungsi Pokok adalah: -Mengkoordinasikan kegiatan pemberdayaan masyarakat. -Mengkoordinasikan upaya penyelenggaraan ketenteraman dan ketertiban umum. -Mengkoordinasikan penerapan dan penegakan peraturan perundang-undangan. -Mengkoordinasikan pemeliharaa prasarana dan fasilitas pelayanan umum. -Mengkoordinasikan penyelenggaraan kegiatan pemerintahan di tingkat Kecamatan. -Membina penyelenggaraan pemerintah desa dan/atau kelurahan. -Melaksanakan pelayanan masyarakat yang menjadi ruang lingkup tugasnya dan/atau yang belum dapat dilaksanakan pemerintah Desa atau Kelurahan (Profile Kecamatan Kuta Utara tahun 2011). Sementara itu, kelurahan Kerobokan Kelod merupakan sebuah kelurahan yang berada di wilayah Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung. Kelurahan Kerobokan Kelod adalah wilayah lokasi berdirinya Pura Petitenget. Kelurahan Kerobokan Kelod merupakan kelurahan paling selatan di wilayah Kecamatan Kuta Utara. Secara geografis Kelurahan Kerobokan Kelod terletak di wilayah
56
dataran rendah dengan ketinggian 0 - 100 meter di atas permukaan laut. Dengan batas-batas perbatasan Kelurahan Kerobokan kelod sebagai berikut. Di Utara berbatasan dengan Kelurahan Kerobokan. Di Timur berbatasan dengan Kota Madya Denpasar. Di Selatan berbatasan dengan Kelurahan Seminyak. Sementara di Barat berbatasan dengan Samudera Hindia. Secara administratif Kelurahan Kerobokan Kelod di bawah pimpinan Lurah I Made Wistawan, SE. Kelurahan Kerobokan Kelod mempunyai 12 Banjar Dinas/Lingkungan yang masing-masing di bawah pimpinan seorang Kepala Lingkungan (Kelian). (Lihat Tabel 4.4). Tabel 4.4 Banjar Dinas / Lingkungan NO Nama Lingkungan / Banjar
Kepala Lingkungan / Kelian
Kelurahan Kerobokan Kelod 1
Lingkungan Pengipian
I Made Budiyasa
2
Lingkungan Umasari
I Ketut Suardika
3
Lingkungan Taman
I Nyoman Sunarka, SE
4
Lingkungan Dukuh Sari
I Ketut Suamba
5
Lingkungan Batu Belig
I Made Sudika
Lingkungan 6
Pengubengan Kangin
I Gusti Putu Sukawijaya
7
Lingkungan Semer
I Wayan Winata
8
Lingkungan Kuwum
I Nyoman Gede Trisaka, SE
9
Lingkungan Pengubengan Kauh
I Nengah Suwirya
10
Lingkungan Merthanadi
I Gusti Putu Sujendra
11
Lingkungan Umalas Kangin
I Made Suarka, SH, SE
12
Lingkungan Umalas Kauh
I Made Karpa
Sumber: Profil Kecamatan Kuta Utara 2011.
57
Kehidupan secara sosial ekonomi, Keluruhan Kerobokan Kelod ini sebagian besar masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata sehingga banyak menyerap berbagai tenaga kerja. Di mana perkembangan industri pariwisata di wilayah Kelurahan Kerobokan Kelod sangat pesat bila dibandingkan dengan wilayah lainnya di Desa Adat Kerobokan, sehingga banyak menarik minat pencari tenaga kerja dan terjadinya arus urbanisasi, akibatnya banyak penduduk pendatang melebihi penduduk asli (krama uwed). Hal ini disebabkan karena lapangan pekerjaan yang tersedia pada industri pariwisata di wilayah ini cukup memadai, karena banyaknya pembangunan fasilitas-fasilitas sarana dan prasarana pariwisata di daerah sekitarnya. Secara tata letaknya, Kelurahan Kerobokan Kelod di bagian sebelah pesisir Barat dari Kelurahan ini terdapat dua pantai yang sangat indah, yaitu pantai Batu Belig dan pantai Petitenget. Pantai Batu Belig adalah sebuah pantai yang landai dan berpasir putih dengan ombak yang kecil sehingga nyaman dan aman sebagai tempat bermain anak-anak dan berjalan kaki menyusuri pantai. Pantai ini memang tidak begitu terkenal seperti pantai Kuta, sehingga tidak begitu banyak pengunjung yang datang, tetapi pantai Batu Belig tidak kalah indahnya ketika melihat matahari terbenam di ufuk Barat dari pantai ini saat senja hari. Sedangkan pantai Petitenget merupakan pantai yang cukup terkenal di mata masyarakat Desa Adat Kerobokan dan wisatawan mancanegara. Pantai Petitenget mempunyai pemandangan yang sangat indah mempesona dan berada pada garis pantai yang sama dengan pantai Legian dan dan Kuta. Pantai Petitenget memiliki pasir yang berwarna putih eksotis berkilauan dengan kuantitas sinar matahari
58
yang tinggi sepanjang hari sehingga membuat para wisatawan menyukainya untuk berjemur dan berenang. Gelombak ombaknya yang besar sangat cocok digunakan sebagai tempat olah raga surfing/selancar. Pantai Petitenget pada sore hari sangat ramai dikunjungi masyarakat dan wisatawan untuk menikmati indahnya panorama matahari terbenam (sunset). Wilayah kelurahan Kerobokan Kelod ini, di Banjar Batu Belig, terdapat sebuah pura yang sangat terkenal yakni “Pura Petitenget”. Pura ini berdiri di depan pantai Petitenget menghadap ke Barat, merupakan warisan budaya yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya sehingga banyak dikunjungi masyarakat dan wisatawan mancanegara. Pura Petitenget merupakan salah satu pura “Dang Kahyangan” sebagai tempat persembahyangan umat Hindu di Bali yang terletak di Kabupaten Badung. Pura Petitenget ini mempunyai tempat tersendiri bagi masyarakat (pamedek) sebagai tempat suci sesuai dengan riwayat sejarah berdirinya pura ini yang panjang dan unik. Konsekuensi terhadap kondisi dan hal-hal di atas, akan membuat wisatawan mancanegara maupun domestik akan mengunjungi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya. Selain itu tentu akan mengundang setiap orang dan wisatawan mancanegara untuk datang ke wilayah Kelurahan Kerobokan Kelod, dan kedatangan mereka dengan membawa berbagai kepentingan dalam berbagai aspek kehidupan. 4.1.2 Penduduk Penduduk atau warga masyarakat desa merupakan salah satu sumber daya atau modal untuk menggerakkan roda pembangunan di Desa Adat Kerobokan
59
khususnya, dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Namun jika kuantitas dan kualitas dari sumber daya manusia ini tidak dikelola dan diarahkan secara tepat dan sungguh-sungguh akan dapat menjadi beban sekaligus menjadi penghambat pembangunan. Pengendalian kuantitas dan kualitas sumber daya manusia di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, telah dilaksanakan secara mandiri dan terarah maupun melalui pola pembinaan untuk menciptakan kondisi masyarakat yang mandiri dan sejahterah dalam segala bidang, dimana Desa Adat kerobokan merupakan salah satu tempat tujuan daerah wisata yang sangat populer di dalam masyarakat Kecamatan Kuta Utara. Untuk mengetahui perkembangan penduduk Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, berdasarkan registrasi/pendataan kependudukan Kecamatan Kuta Utara pada tahun 2012 memiliki jumlah penduduk 63.993 jiwa, di mana jumlah laki-laki sebanyak 32.027 orang, dan jumlah perempuan sebanyak 31.966 orang, dengan kepadatan penduduk 1.890 km/jiwa. Keseluruhan dalam penyebaran penduduk yang merata di segala tempat, dengan jumlah Kepala Keluarga 15.543 KK. Di mana penduduk Kewarganegaraan Indonesia sebanyak 63.992 orang, dan Kewarganegaraan Asing sebanyak 1 (satu) orang (Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012). Dalam pengelolaan masalah penduduk di wilayah Kuta Utara pada umumnya dan Desa Adat Kerobokan khususnya, tetap pada koridor atau aturan kependudukan yang ada sesuai dengan kebijakan yang sudah disepakati bersama. Di masing-masing Banjar, ada Awig-Awig Adat yang mengikat krama uwed/asli dan krama tamiu/pendatang. Di mana krama tamiu/pendatang yang sudah
60
memiliki rumah, bisa masuk sampai pada tingkat Banjar “Suka-Duka”. Mereka tidak sampai diharuskan/dipaksakan masuk Banjar Desa Adat, sebab, mereka juga sudah masuk Banjar Desa Adat di rumah atau tempat asalnya/kelahirannya. Dengan masuk Banjar Suka-Duka, mereka akan otomatis mendapat suaran kulkul (kentongan)
jika
tertimpa
pancabaya/masalah/petaka
seperti
pencurian,
perampokan, kebakaran, layu sekar dan sebagainya. Peraturan untuk penduduk pendatang (krama tamiu) diharuskan mempunyai identitas KIPS (Kartu Identitas Penduduk Sementara). Dalam setiap operasi penertiban itu tentu mengikut sertakan unsur-unsur dari Desa Adat setempat, seperti pecalang dan prajuru desa. Operasi penertiban ini penting agar tidak sampai ada warga yang tanpa identitas, untuk menjaga keamanan masyarakat setempat. Penduduk pendatang (krama tamiu) juga banyak menetap di daerah Kerobokan. 4.1.3 Mata Pencaharian Sebagai daerah yang wilayahnya cukup luas, maka penduduknya tergolong banyak dengan berbagai macam mata pencaharian. Mata pencaharian sebagian besar masyarakat Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara adalah bergerak di bidang pertanian, perdagangan, perikanan, industri, pemerintahan, dan jasa, sebagai mata pencaharian utamanya. Sektor pariwisata merupakan sektor yang paling diunggulkan dan mendapat perhatian utama dari masyarakat KerobokanSeminyak, Kecamatan Kuta Utara, dan sektor pariwisata memberikan kontsribusi yang paling besar terhadap perekonomian dan pendapatan masyarakat setempat, serta pendapatan daerah terkait. Penyerapan tenaga kerja yang sangat besar dalam
61
sektor pariwisata menyebabkan sebagian besar masyarakatnya bekerja dalam industri pariwisata, baik yang berhubungan langsung dengan segala aktivitas pariwisata maupun dalam bidang sarana dan prasana yang tersedia sebagai penunjang sektor pariwisata tersebut. Berdasarkan registrasi/pendataan Kecamatan Kuta Utara tahun 2012, jumlah perusahaan/usaha industri (besar dan Sedang) sebanyak 91 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebesar 6.779 orang, industri kecil sebanyak 479 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebesar 3.014 orang, dan Industri rumah tangga sebanyak 408 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebesar 1265 orang. Terdapat perhotelan/losmen/penginapan sebanyak 288 buah, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 1.481 orang, rumah makan/warung makan sebanyak 202 buah, dengan jumlah tenaga kerja mencapai 1.064 orang. Di bidang perdagangan/ wirausaha terdapat sebanyak 8.335 buah, dengan menyerap tenaga kerja sebanyak 9.979 orang. Di bidang angkutan/travel terdapat sebanyak 536 buah, dengan jumlah tenaga kerja sebanyak 701 orang. Di bidang wiraswasta terdapat sebanyak 114 buah, dengan penyerapan tenaga kerja sebesar 426 orang (Monografi Kecamatan Kuta Utara tahun 2012). Dari data di atas dapat disimpulkan bahwa sektor pariwisata memegang peranan yang sangat penting terhadap pereokonomian masyarakat Kerobokan khususnya dan Kecamatan Kuta Utara pada umumnya. Masyarakat di Kelurahan kerobokan-Seminyak, Kuta Utara, ikut berperan aktif dalam industri pariwisata, hal tersebut merupakan nilai penting dan pokok dalam peningkatan kesejahteraan perekonomian dan pendapatan bagi masyarakat setempat, sehingga dengan penuh
62
kesadaran mereka turut serta ikut mengembangkan industri pariwisata yang terus berkembang di wilayah tersebut. 4.1.4 Agama Masyarakat
Desa
Adat
Kerobokan sebagian besar dari jumlah
penduduknya sekitar 90 persen beragama Hindu, dan sisanya 10 persen beragama lain, seperti Islam, Kristen, dan Budha, mereka hidup saling berdampingan satu sama lainnya, menghormati perbedaan agama diantara mereka sesuai dengan penerapan
dan
aturan
desa
yang
berlaku
dan
dipatuhi.
Berdasarkan
registrasi/pendataan yang ada di Kecamatan Kuta Utara, penduduk
yang
beragama Hindu sebanyak 45.965 orang, beragama Islam sebanyak 9.955 orang, beragama Kristen Katolik sebanyak 3.185 orang, Kristen Protestan sebanyak 4.124 orang dan beragama Budha sebanyak 764 orang. Sebagai daerah yang memiliki wilayah yang luas, dan sebagian besar masyarakatnya beragama Hindu, di mana pura sebagai tempat persembahyangan bersama, dan juga menjadi milik bersama masyarakat Desa Kerobokan. Sebagaimana yang disampaikan oleh informan A.A Putu Sutarja, sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa
Desa Adat
Kerobokan hanya mempunyai satu Pura Puseh dan satu Pura Desa, serta memiliki delapan Pura Dalem Kahyangan. Kedelapan Pura Dalem itu adalah; Pura Dalem Robokan, Pura Dalam Teges, Pura Dalam Umaduwi, Pura Dalem Kayuaya, Pura Dalem Dukuh, Pura Dalem Banjar Anyar, Pura Dalem Desa, dan Pura Dalem Kerobokan. Sedangkan untuk Pura Puseh dan Pura Desa merupakan pengempon/penyungsung dari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan.
63
Karena hanya memiliki satu Pura Desa dan Satu Pura Puseh, di samping krama atau masyarakat Desa Adat Kerobokan cukup banyak, maka pada saat upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Puseh dan di Pura Desa yang hanya berlangsung selama tiga hari, persembahyangan diatur secara bergilir dengan sistem prani, yakni setiap krama Banjar Adat bergiliran menghaturkan persembahyangan selama upacara keagamaan (odalan/piodalan) berlangsung, sehingga dalam tiga hari semua masyarakat Desa Adat Kerobokan sudah merata mendapatkan persembahyangan bersama di Pura Puseh dan Pura Desa tersebut. Hal ini dilakukan agar persembahyangan berjalan lancar, baik dan aman, mengantisipasi agar warga masyarakat yang ingin melakukan persembahyangan tidak serempak berdatangan ke Pura Puseh dan Pura Desa pada saat adanya upacara keagamaan (odalan/piodalan). 4.1.5 Kehidupan Sosial Budaya Kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan dipengaruhi oleh unsur-unsur agama Hindu, yakni menjunjung tinggi konsep Tri Hita karana, yang berarti “tiga penyebab kesejahteraan”, (Tri = tiga, Hita = sejahterah, dan Karana = sebab) yaitu mencakup tiga unsur utama lingkungan, yang terdiri dari parhyangan (lingkungan spiritual), pawongan (lingkungan sosial), dan palemahan (lingkungan alamiah). Ketiga unsur tersebut merupakan satu kesatuan yang tidak terpisahkan, yaitu hubungan yang harmonis dan seimbang antar ketiga unsur tersebut dan diyakini akan membawa manfaat bagi kesejahteraan hidup manusia lahir dan bathin. Desa Adat Kerobokan dengan wilayahnya yang luas, dalam aspek palemahan (hubungan manusia dengan lingkungan alamiah) juga tidak
64
luput dari persoalan klasik yang terjadi saat ini akibat industri pariwisata, yakni adanya alih fungsi lahan tanah pertanian ke nonpertanian. Hal tersebut sesuai dengan yang disampaikan oleh informan A.A. Putu Sutarja sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa hampir 70 persen lahan persawahan di desa ini sudah beralih fungsi, yang semula sebagai salah satu daerah penghasil padi di Kabupaten Badung, kini sudah tidak lagi dan telah terjadi perubahan dratis, dari delapan subak yang ada sebelumnya, hanya tersisa dua subak yang masih bertahan, yakni Subak Tegal dan Subak Kedapan, kedua subak tersebut masih berfungsi, walaupun saat ini hanya mampu berproduksi 50 persen dari lahan pertanian yang ada. Subak adalah suatu sistem pengairan teratur dalam hal pengaturan air untuk penataan irigasi sawah dalam kehidupan pertanian masyarakat Bali (Alwi, 2001: 1094). Subak merupakan budaya lokal rakyat Bali tentang sistem pembagian/penataan air yang diwariskan secara turun temurun hingga sekarang. Wilayah Kerobokan sebagai Desa Adat yang berada di daerah perkotaan, yang mengalami perkembang pesat dalam industri pariwisata, serta banyaknya penduduk pendatang yang masuk, sehingga membawa berbagai macam persoalan serta pola kehidupan sosial budaya global yang masuk ke dalam kehidupan masyarakatnya. Dengan adanya kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang, pergaulan antar masyarakat lokal dengan pendatang dan wisatawan, terjadinya perubahan sistem perekonomian dari pertanian ke pariwisata akibat pengembangan industri pariwisata Bali, serta hubungan perdagangan global akibat kecanggihan transportasi, semakin mempercepat
65
terjadinya proses interaksi sosial budaya serta perubahan pandangan dan pola pikir dalam perilaku kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan. 4.1.6 Kesenian Kehidupan berkesenian masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan masih tetap berlangsung hingga saat ini dan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai seni dan budaya peninggalan nenek moyang yang diwariskan dari generasi ke generasi,
walaupun kehidupan mereka
sebagian besar menggantungkan
perekonomian dalam industri pariwisata. Masyarakat Desa Adat Kerobokan juga memiliki kesenian sakral yang masih tetap dipertahankan dan dipertunjukan pada saat-saat tertentu, yaitu pada saat upacara keagamaan di Pura Desa, Pura Puseh, dan Pura Dalem, termasuk ketika odalan/piodalan di Pura Petitenget. Seni sakral yang dipertunjukkan di sini merupakan seni tarian yang selalu mengiringi kegiatan upacara keagamaan dengan seni tari yang bersifat ritual, seni tarian sakral tersebut adalah Tari Rejang dan Tari Baris Tekok Jago. Berdasarkan dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja (48 tahun) sebagai Bendesa Desa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Tari Rejang merupakan tarian yang bersifat sakral bagi masyarakat Desa Adat Kerobokan, karena hanya dipertunjukkan atau pentaskan di dalam pura pada saat adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Dalem, Pura Desa, Pura Puseh maupun Pura Petitenget. Sedangkan tari Baris Tekok Jago merupakan tarian sakral asli yang berasal dari Desa Adat Kerobokan, di mana hanya bisa ditarikan atau dibawakan oleh masyarakat dari Banjar Adat Jambe (Keluruhan Kerobokan Kaja), serta merupakan satu-satunya tarian sakral Baris
66
yang ada di Kabupaten Badung. Tari Baris Tekok Jago mempunyai makna filosofis yang menggambarkan ketika seorang atma atau roh pergi menuju surga dengan penuh pengharapan. Tari Baris Tekok Jago juga merupakan tarian pemujaan kepada Sang Pencipta untuk memohon hujan ketika musim kering atau paceklik melanda Desa Adat Kerobokan. Selain kesenian sakral di atas, kehidupan berkesenian masyarakat Desa Adat Kerobokan terhadap seni daerah Bali juga sangat berkembang, terutama di dalam bidang seni kerawitan, seni gamelan, seni tari, seni pahat dan lukis, seni wayang dan hias, seni mejejaitan dan kerajinan, hal ini dapat dilihat dari banyaknya sanggar-sanggar seni yang dimiliki, yang selalu mengiringi kegiatan keagamaan dan kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan, mulai dari seni yang bersifat ritual maupun seni yang bersifat menghibur, terutama seni gamelan dan tarian yang mampu memberikan daya tarik sekaligus kesejukan bathin bagi setiap masyarakat di sekitarnya termasuk kepada wisatawan. 4.2 Pura Petitenget 4.2.1 Lokasi Lokasi penelitian ini dilakukan di Pura Petitenget yang terletak di Banjar Batu Belig, Kelurahan Kerobokan Kelod, Kecamatan Kuta Utara, Kabupaten Badung, Propinsi Bali. Untuk mencapai Pura Petitenget sangat mudah karena berada di daerah pariwisata Desa Adat Kerobokan, lokasi Pura Petitenget ini berjarak sekitar 10 (sepuluh) kilometer Barat Daya Kota Denpasar, di tempuh dengan waktu kurang lebih 20 menit. Dari arah Kota Denpasar ke arah Barat Daya, berbelok ke Selatan menuju ke Kuta Utara, kemudian ke arah Utara menuju
67
ke Selatan menyusuri jalan raya Seminyak-Kuta Utara. Selanjutnya menuju ke arah Barat Daya ke pantai Petitenget. Lokasi keberadaan Pura Petitenget ini tepat berada di depan pantai Petitenget, dan Pura Petitenget juga berdampingan dengan Pura Masceti-Ulun Tanjung yang berdiri sendiri dalam sebuah areal. Pura Petitenget merupakan salah satu pura tua yang ada di Bali, di bangun pada abad XV, yang berhubungan dengan perjalanan suci Dang Hyang Nirartha dan merupakan salah satu pura dang kahyangan di Bali yang berada di Kabupaten Badung. (Lihat Gambar 4.1).
Gambar 4.1 Pahatan Nama Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih) Berpandangan dengan konsep pura sebagai tempat suci pada umumnya di Bali, maka struktur atau bentuk areal Pura Petitenget juga berdasarkan atas konsep pura Tri Mandala, yakni terbagi atas tiga bagian halaman, yaitu jaba pura (halaman luar), jaba tengah (halaman tengah), dan jeroan (halaman dalam). Pembagian atas tiga halaman tersebut mempunyai dasar pemikiran filosofis agama Hindu, yaitu pura dianggap sebagai simbol makrokosmos yang melambangkan tiga tingkatan dunia, yaitu Bhurloka, di mana jaba pura melambangkan bhurloka
68
yaitu dunia bawah tempat kehidupan manusia. Bhuwarloka, di mana jaba tengah melambangkan bhuwarloka yaitu dunia tengah tempat kehidupan manusia yang sudah disucikan. Dan Swarloka, di mana jeroan melambangkan swarloka yaitu dunia atas tempat kehidupan para Dewa. Memasuki areal Pura Petitenget mesti melewati jalan di sebelah selatan pura dan keluar melalui jalan di sebelah utara pura. Di halaman terluar atau Nista Mandala (jaba) Pura Petitenget berdiri sebuah wantilan yang cukup besar dan bersih, biasa digunakan sebagai tempat aktivitas yang berhubungan dengan segala kegiatan di pura ini, berupa kesenian profan yang bersifat hiburan, yaitu seni balih-balihan. (Lihat Gambar No.4.2).
Gambar 4.2 Wantilan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih) Sebelum memasuki Pura Petitenget mesti melewati Apit Surang (Candi Bentar) dengan menaiki beberapa anak tangga sebagai pemisah antara jaba sisi (Nista Mandala) dengan jaba tengah (Madya Mandala). (Lihat Gambar 4.3).
69
Gambar 4.3 Halaman Depan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih) Memasuki halaman Madya Mandala (jaba tengah) Pura Petitenget dari arah barat dengan pintu utamanya Candi Bentar (Apit Surang). Pada Madya Mandala Pura Petitenget ini terdapat bangunan Perantenan (dapur) dan Balai Wantilan yang berfungsi sebagai tempat menyiapkan segala keperluan upakara dalam rangka upacara (pujawali) pura, serta bangunan Balai Gong yang berfungsi sebagai tempat untuk memainkan gamelan/gong saat upacara keagamaan (odalan/ piodalan) untuk kesenian yang bersifat profan (seni Bebali) seperti, Balaganjur, dan Wayang kulit. Di Madya Mandala ini, di bagian sudut timur halaman terdapat pelinggih Padma Ratu Ayu, pelinggih Sedan Gede Tedung Jagat dan pelinggih Sedan Lingsir sebagai tempat untuk memohon kesembuhan. (Lihat Gambar 4.4).
Gambar 4.4 Beberapa Pelinggih di Madya Mandala Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
70
Sementara untuk bisa sampai ke Utama Mandala pura (Jeroan) mesti melewati Kori Agung, yakni merupakan pintu masuk dan batas wilayah antara jaba tengah (Madya Mandala) dengan jeroan (Utama Mandala), dengan tiga pintu, yaitu pintu utama di tengah, dengan dua pintu lagi di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Lihat Gambar 4.5).
Gambar 4.5 Kori Agung di Madya Mandala Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih) Memasuki Halaman Utama Mandala (jeroan) Pura Petitenget terdapat bangunan Balai Gong, yang berfungsi sebagai tempat untuk memainkan gamelan saat upacara keagamaan (odalan/piodalan) pura yang bersifat sakral (seni Wali) seperti, tari Rejang, tari Baris, tari Saron dan Gambang. Bangunan Balai Upakara, yang berfungsi sebagai tempat untuk meletakkan sesaji (banten) upakara dan menghaturkan sesaji (banten) oleh pendeta/pedanda saat berlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan), dan Balai Penyimpenan, yang berfungsi sebagai tempat penyimpanan alat-alat upacara keagamaan pura. Pada Utama Mandala Pura Petitenget ini, terdapat pelinggih Naga Gombang, pelinggih Padmasari, Padmasana, pelinggih Meru Tumpang Tiga, yang merupakan linggih Ida Luhuring Dalem Solo, pelinggih Majapahit, yang merupakan linggih Ida Dalem Majapahit, pelinggih Sad Pada dan Catu. Pelinggih yang paling utama di pura ini
71
adalah pelinggih “Gedong Petitenget” yang merupakan tempat berstananya Dhang Hyang Dwijendra, juga sebagai tempat penyimpanan peti pecanangan sang pendeta suci tersebut. (Lihat Gambar 4.6 dan Gambar 4.7).
Gambar 4.6 Beberapa Pelinggih di Utama Mandala Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 4.7 Pelinggih Gedong Petitenget di Utama Mandala (Dokumentasi: Budiasih) 4.2.2
Sejarah Pura Petitenget sebagai pura dang kahyangan mempersilahkan umat
Hindu untuk tidak ragu-ragu dalam melakukan persembahyangan di pura ini, karena sebagai pura dang kahyangan merupakan tempat suci untuk menghormati jasa sang guru suci. Sebagai bentuk penghormatan maka dibuatkan tempat
72
pemujaan terhadap jasa sang guru suci dalam perannya sebagai Dang Guru atas dasar ajaran agama Hindu yang disebut “Rsi Rna”. Di mana makna sejarah berdirinya pura dang kahyangan berdasarkan dari ajaran Rsi Rna tersebut, yakni sebagai wujud rasa bakti umat yang tulus, sehingga mendirikan tempat suci untuk memuja sang guru suci atas jasanya yang telah mengajarkan ajaran agama, dan bentuk rasa terimakasih umat itu diwujudkan atas pendirian pura dang kahyangan, dan pura dang kahyangan tersebut didirikan di ashram atau tempat di mana sang guru melakukan yoga semadi/bertapa. Berdasarkan hal tersebut maka hendaknya umat menghormati orang suci sebagai guru suci atau dang guru yang telah berjasa memberi dan mengajarkan ajaran agama, dan sebagaimana halnya umat beragama Hindu mewujudkan rasa baktinya kepada Tuhan, para Dewa dan para leluhur.(Sumber:http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/ Pemujaan+terhadap+Guru+Suci Tanggal 6 juli 2013). Sesuai dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Putu Sutarja (48 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan sejarah berdirinya Pura Petitenget bermula ketika seorang pendeta suci yang bernama Dang Hyang Dwijendra dalam perjalanan sucinya meninggalkan Pura Serangan menuju ke arah Selatan. Dalam perjalanan suci itu, akhirnya beliau tiba di sebuah tempat yang kemudian saat ini dikenal sebagai daerah yang bernama Desa Adat Kerobokan. Sebelum melanjutkan perjalanan sucinya menuju Pura Uluwatu, Dhang Hyang Dwijendra menyempatkan diri bercengkerama dengan Ida Batara Masceti di sekitar daerah Petitenget, lokasi Pura Petitenget saat ini. Di tempat ini, ketika Dhang Hyang Dwijendra dan Ida Batara Masceti sedang asyik
73
bercakap-cakap membicarakan tentang hal-hal yang berhubungan dengan keagamaan, tanpa sengaja percapakan beliau di dengar oleh Bhuto Ijo dan sang pendeta melihat kehadiran Bhuto Ijo (raksasa yang memiliki wajah sangat menakutkan dalam mitologi Bali) yang bersembunyi di balik semak dan hutan. Mengetahui hal itu, Bhuto Ijo dipanggil oleh sang pendeta dan menanyakan maksud dan tujuannya menampakkan diri di hadapan beliau, kemudian Bhuto Ijo menjelaskan dan memohon kepada pendeta Dhang Hyang Dwijendra untuk membiarkan dirinya menempati/mendiami daerah tersebut sebagai tempat tinggalnya, yang akhirnya dikabulkan oleh sang pendeta. Sebelum sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra meninggalkan daerah Kerobokan, beliau memberi mandat/tugas kepada Bhuto Ijo, di mana beliau menitipkan sebuah kotak sebagai tempat menyimpan sirihnya yang berbentuk seperti sebuah peti. Kemudian sang pendeta berpesan dan meminta kepada Bhuto Ijo untuk menjaganya dengan baik peti pecanangannya sampai beliau kembali dari tempat pertapaannya yakni, di Pura Uluwatu. Namun, ketika sang pendeta belum menyelesaikan pertapaannya, beliau di datangi utusan warga Kerobokan yakni kelian kerobokan dan tokoh masyarakat setempat untuk mendengarkan laporan dari warga Kerobokan tersebut. Di mana menceritakan bahwa ada sebidang tanah di wilayah Kerobokan (daerah Petitenget saat ini) yang terbilang angker, siapa saja yang memasuki daerah tersebut akan terkena sakit/penyakit. Dikatakannya bahwa suatu ketika ada anggota masyarakat yang memasuki daerah itu dengan tujuan mencari kayu bakar, memetik dedaunan dan sebagainya, namun anehnya, setelah pulang dari daerah itu orang tersebut langsung jatuh
74
sakit. Kejadian tersebut sering terjadi berulangkali, dan cerita itu menjadi tersebar di masyarakat kerobokan sehingga membuat masyarakat merasa takut memasuki wilayah tersebut. Rupanya oleh masyarakat setempat tidak ada yang mengetahui bahwa itu daerah yang angker, karena memang dijaga oleh mahkluk gaib Bhuto Ijo yang dengan setia menjaga peti pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra sekaligus menjaga wilayah itu sehingga menjadi angker (tenget). Akhirnya kelian kerobokan bersama tokoh masyarakat menemui pendeta Dhang Hyang Dwijendra di Uluwatu untuk memohon petunjuk beliau. Sang pendeta suci memberitahukan kepada utusan warga kerobokan bahwa wilayah tersebut memang dijaga oleh mahluk gaib yang bernama Bhuto Ijo, yang telah diberi mandat oleh beliau untuk menjaga peti pecanangannya yang dititipkan kepadanya. Oleh sang pendeta diberi petunjuk agar makhluk gaib itu tidak lagi mengganggu atau mengusik ketenangan masyarakat sekitarnya ketika memasuki daerah angker itu. Beliau berpesan untuk melakukan dan memberi persembahan kepada Bhuto Ijo berupa Lelaban setiap Tilem Kawulu, masarana sampi selem batu, lengkap dengan ajeng-ajengan cacahan. Sedangkan pada Purnama Kasangan dihaturkan upakara Lelaban Penangluk Merana, masarana sampi biyang, belang kebangsapi yang sudah beranak, ada tompel dibalik paha atau lengannya. Semua hal tersebut mesti dilakukan supaya palemahan (tanaman pertanian) tidak diserang hama penyakit. Sang pendeta suci juga meminta kepada masyarakat Kerobokan dan sekitarnya untuk membangun sebuah tempat suci sebagai tempat persembahyangan, dan oleh masyarakat setempat dibangunlah sebuat tempat suci di daerah itu sesuai dengan perintah sang pendeta. Setelah
75
dilakukan persembahan kepada Bhuto Ijo sesuai dengan pesan sang pendeta, kemudian didirikanlah tempat suci oleh masyarakat setempat, maka di daerah sekitarnya menjadi aman, tidak mendapat gangguan lagi seperti sebelumnya, penduduk setempat ketika memasuki wilayah yang dijaga oleh Bhuto Ijo tidak lagi mengalami sakit/penyakit seperti kejadian sebelumnya. Akhirnya lokasi di mana berdirinya tempat suci tersebut oleh masyarakat setempat didirikanlah sebuah pura yang berhubungan dengan perjalanan suci sang pendeta Dang Hyang Nirartha atau Dang Hyang Dwijendra (Pedanda Sakti Wawu Rauh), pura itu oleh masyarakat setempat dinamakan “Pura Petitenget”, yang berasal dari dua kata yakni, peti memiliki arti peti yang sesungguhnya, dan tenget yang berarti angker. Jadi “Petitenget” secara harafiah berarti peti yang angker. Semenjak Pura Petitenget berdiri, wilayah sekitarnya menjadi aman dan tenteram, serta tidak ada gangguan atau hal-hal yang menimbulkan sakit, dan masyarakat setempat leluasa untuk masuk ke daerah Petitenget dengan rasa aman hingga sekarang ini. Peti Pecanangan sang pendeta suci Dhang Hyang Dwijendra yang dijaga oleh Bhuto Ijo oleh masyarakat setempat dibuatkan dan diletakkan pada sebuah bangunan yang diwujudkan dalam bentuk bangunan pelinggih “Gedong Petitenget”, yaitu sebagai tempat berstananya sang guru suci Dhang Hyang Dwijendra, di mana pelinggih ini juga sebagai tempat penyimpanan peti. 4.2.3 Penyungsung Secara umum istilah penyungsung sesungguhnya memiliki arti yang sama dengan pangempon atau pangemong, karena sama-sama berkaitan dengan umat dan pura, yang berkewajiban menjalankan perintah agama dalam melaksanakan
76
sembah sujud bakti kehadapan Tuhan di dalam pura sebagai tempat suci bagi umat Hindu untuk berhubungan dengan Sang Pencipta melalui persembahyangan ataupun persembahan. Penyungsung berasal dari kata “sungsung” yang berarti junjung, menjunjung atau memuliakan Sang Pencipta ketika bersembahyang di dalam pura. Sedangkan istilah pangempon atau pangemong berasal dari kata “empon” atau “emong” yang mengandung arti mengayomi atau melindungi. Jadi pengertian penyungsung, pangempon atau pangemong maknanya lebih tertuju kepada umat Hindu yang memuliakan Sang Pencipta dalam menjalankan ajaran agamanya dengan melakukan persembahyangan atau persembahan di dalam pura, dan lebih terkait dengan memberi pengayoman dan perlindungan terhadap keberadaan suatu pura. Dalam konteks pengayoman dan perlindungan, tidak saja secara fisik, melainkan juga dalam finansial dan terselenggaranya keseluruhan kegiatan-kegiatan upacara yadnya atau pujawali yang di selenggarakan di pura. (Sumber:http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-danpengemong.html?m=1). Sebagaimana yang dituturkan oleh Bendesa Adat Kerobokan A. A. Putu Sutarja (48 tahun) dan Pemangku Pemucuk Pura Petitenget Jero Mangku Made Widra (62 tahun) pada tanggal 5 Mei 2013, mengatakan bahwa Pura Petitenget diempon (pangemong/disungsung) oleh empat puluh sembilan (49) Banjar Adat dan satu (1) Subak Adat Se-Desa Adat Kerobokan, Kabupaten Badung. Ke-empat puluh sembilan Banjar Adat Se-Desa Adat Kerobokan tersebut yakni; Banjar Batuculung, Banjar Babakan, Banjar Beluran, Banjar Batu Bidak, Banjar Jambe, Banjar Gadon, Banjar Petingan, Banjar Silayukti, Banjar Gede, Banjar Tegeh,
77
Banjar Kancil, Banjar Kesambi, Banjar Muding Kaja, Banjar Muding Tengah, Banjar Muding Kelod, Banjar Muding Mekar, Banjar Campuan, Banjar Padang, Banjar Peliatan, Banjar Anyar Kaja, Banjar Anyar Kelod, Banjar Kuwum, Banjar Dukuh Sari, Banjar Semer, Banjar Uma Alas Kangin, Banjar Uma Alas Kauh, Banjar Uma Sari, Banjar Batu Belig, Banjar Batu Belig Kangin, Banjar Taman, Banjar Taman Mertanadi, Banjar Basangkasa, Banjar Pengubengan Kauh, Banjar Pengubengan Kangin, Banjar Pengipian, Banjar Padangsumbu Kelod, Banjar Padangsumbu Kaja, Banjar Padangsumbu Tengah, Banjar Umadui, Banjar Jabapura, Banjar Batubolong, Banjar Tegallantang Kaja, Banjar Tegalalantang Kelod, Banjar Tegalbuah, Banjar Abasan, Banjar Teges, Banjar Lepang, Banjar Tegehsari, Banjar Robokan, dan Banjar Umaklungkung. Begitu banyak penyungsung (pangemong) Pura Petitenget dari masyarakat desa Adat Kerobokan, maka oleh panitia penyelenggara upacara keagamaan pura ini diberlakukan sistem prani, yakni setiap banjar adat se-Desa Adat Kerobokan yang akan melakukan persembahyang di Pura Petitenget mesti bergantian di dalam menghaturkan persembahan sesaji (banten) dan persembahyangan, baik perseorangan maupun bersama keluarga, akan disesuaikan dengan waktu yang sudah ditentukan dan disepakati bersama. Hal ini dilakukan agar terwujudnya ketertiban dan keteraturan, serta kenyamanan bagi umat yang bersembahyang, sehingga menghindari terjadinya kesemberawutan atau ketidakberaturan pada saat persembahyangan umat selama proses berlangsungsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget.
78
4.2.4 Upacara Upacara keagamaan (odalan/piodalan) adalah
upacara pemujaan ke
hadapan Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dengan segala manifestasinya lewat sarana pemerajan, pura, dan kahyangan pada saat hari–hari tertentu. Upacara odalan/piodalan bisa juga bermakna hari ulang tahun bagi pura, atau wedal, yang berarti keluar, turun atau dilinggakannya, dalam hal ini Sang Hyang Widhi dengan segala manifestasinya menurut hari yang telah ditetapkan untuk pemerajan, pura, dan kahyangan yang bersangkutan. Odalan/piodalan bisa juga disebut pertitayan, petoyan dan pujawali. Upacara keagamaan (odalan/ piodalan) termasuk dalam upacara keagamaan Dewa Yadnya, yakni bermakna upacara korban atau persembahan suci yang tulus ikhlas sebagai rasa bakti kepada Sang Hyang Widhi Wasa (Tuhan Yang Maha Esa) dan seluruh manifestasi-Nya. Dalam
pelaksanaan
upacara
keagamaan
(odalan/piodalan)
umat
Hindu
berpedoman kepada ajaran Catur Marga, makna Catur Marga adalah empat jalan untuk
mencapai
kesempurnaan
hidup
lahir
dan
bathin
(Sumber:
htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm). Berdasarkan konsepsi upacara keagamaan (odalan/piodalan) di atas, maka Upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sesuai dengan ajaran agama Hindu, di mana upacara dilaksanakan dengan cara menghaturkan persembahan berupa upakara, dengan perlengkapan upacara berbentuk sesajian kepada kepada Hyang Widhi dengan pengharapan memohon keselamatan dan kesejahteraan bagi semua makhluk. Adapun upacara keagamaan (pujawali) yang dilaksanakan di Pura Petitenget menurut Jero Mangku Made Widra (62 tahun)
79
sebagai Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yang diwawancarai pada tanggal 5 Mei 2013. Mengatakan bahwa upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget jatuhnya setiap enam bulan sekali (210 hari), yakni, pada hari Buda Wage Merakih, dengan puncak upacara odalan/piodalan selama empat hari, di mana satu hari sebagai hari persiapan upacara keagamaan dengan melakukan upacara pembersihan dengan menghaturkan upakara banten Nyepuh, yang bermakna mengembalikan kesucian Pura Petitenget, dan tiga hari sebagai puncak odalan/piodalan Pura Petitenget. Berdasarkan tuturan yang disampaikan oleh informan Jero Mangku Made Widra sebagai Pemangku Pemucuk Pura Petitenget, mengatakan bahwa upacara keagamaan (odalan/piodalan) di
Pura
Petitenget
rutin diperingati
dan
dilaksanakan sesuai dengan waktu tertentu. Upacara keagamaan tersebut di bagi menjadi tiga (3) tahapan upacara keagamaan. Adapun ketiga tahapan upacara keagamaan
(odalan/piodalan)
tersebut
adalah
sebagai
berikut.
Pertama,
Odalan/piodalan Pujawali Agung, yang jatuh setiap enam bulan sekali yakni, pada hari Buda Wage Merakih, disertai dengan upakara banten Pragembal. Kedua, Odalan/piodalan Catur Rbah, atau disebut dengan upacara Panca Wali Krama, yang datangnya setiap lima tahun sekali. Upacara keagamaan ini disebut dengan upacara Pedudusan Alit, disertai dengan upakara banten Mebangkit Pragembal. Ketiga, Odalan/piodalan Catur Muka, yang datangnya setiap sepuluh tahun sekali, disebut dengan upacara Karya Agung, disertai dengan upakara banten Nyatur Rbah.
80
BAB V BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG 5.1 Pemanfaatan Jeroan dan Jaba Tengah Pura Petitenget Sebagai Objek Wisata Budaya Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget sebagai benda cagar budaya, sehingga mempengaruhi perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan warisan budaya tersebut ke dalam bentuk nilai ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya ini. Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah memberi nilai ekonomi untuk penambahan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat setempat serta para pengelola/pengurus pura ini. Unsur kekayaan sumber daya budaya lokal yang dilestarikan dan dimiliki oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan tersebut dikomersialkan untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali, sehingga memberi peluang bagi wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget. Dengan adanya tujuan atau sasaran yang ingin dicapai dari kebijakan pariwisata
81
budaya Bali, serta adanya praktik-praktik kapitalisme telah mendorong terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali. Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di sini adalah pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya telah membuat rasa ketertarikan wisatawan mancanegara maupun domestik untuk berkunjung ke pura ini akibat komersialisasi tempat suci. Secara sadar atau tidak, pada akhirnya membawa berbagai macam persoalan budaya global yang terkait untuk masuk di dalamnya, sehingga mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget sebagai tempat suci. Dengan diijinkannya wisatawan mancanegara yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura ini, yang seharusnya hanya sebagai tempat persembahyangan umat. Kondisi tersebut mengakibatkan kesucian Pura Petitenget tidak lagi menjadi sakral sesuai dengan riwayat sejarahnya atas keberadaan pura ini ketika pertama kali di bangun, yang seharusnya tetap terjaga dan terpelihara, tetapi saat ini mengalami perubahan nilai dan maknanya sebagai tempat suci, semenjak pemanfaatannya sebagai objek wisata budaya, akhirnya bergeser ke nilai profan karena berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Hal ini menyebabkan kesucian Pura Petitenget tidak lagi penuh kereligiusan tetapi bersifat keduniawiaan akibat budaya global yang masuk di dalamnya, sebagai akibat perkembangan industri pariwisata Bali. Persoalan di atas telah menyebabkan kesakralan Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali tidak lagi sebagaimana pada awal mulanya di
82
bangun, tetapi telah terjadi profanisasi atas nilai utamanya sebagai tempat suci akibat pemanfaatannya yang difungsikan sebagai objek wisata budaya dalam industri pariwisata Bali. Di mana komersialisasi tempat suci dapat mengakibatkan menurunnya nilai-nilai religiusitas/kesakralan tempat suci
tersebut karena
memfungsikannya sebagai daya tarik objek wisata budaya, dan masyarakat lokal sebagai pewaris dan pemilik pusaka budaya ini seringkali tidak memahami makna yang terkandung di dalam sumber daya budaya yang dimilikinya. Kesakralan suatu pura harus tetap terpelihara dan terjaga untuk keberadaan kesucian pura tersebut, dengan adanya konsepsi tentang kesucian pura yang harus terjaga dan terpelihara kesakralannya, baik di dalam maupun di luar pura, maka Pura Petitenget harus tetap sakral (suci), baik di dalam maupun di luar pura itu sendiri, dan sebagai tempat suci bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, di samping sebagai warisan benda cagar budaya (living monument). Komersialisasi bangunan suci/pura sebagai objek wisata budaya sejalan dengan pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kedatangan wisatawan mancanegara yang sengaja mengunjungi Pura Petitenget, dan melihat-lihat keadaan pura ini hingga leluasa masuk ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget telah mengakibatkan pura ini kehilangan hakekat kesuciannya sebagai tempat suci akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk ke dalamnya yang berimplikasi dengan budaya global, yaitu sebagai benda yang dikomersialkan, sebagai objek wisata cagar budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali. Masuknya wisatawan mancanegara hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) Pura
83
Petitenget tanpa sadar telah membawa budaya global yang modernis untuk masuk ke budaya lokal yang tradisionalis, dalam konteks ini, di mana budaya global yang modernis dengan bercirikan etika berpakaian (busana atas) yang bebas terbuka tidak sesuai dengan budaya lokal yang tradisionalis dengan ciri berpakaian yang rapi dan bersih sesuai kaidah dan norma berbusana ke pura sebagai tempat suci. (Lihat Gambar 5.1, Gambar 5.2 dan Gambar 5.3).
Gambar 5.1 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.2 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.3 Umat Hindu/Pamedek di Jeroan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
84
Sementara budaya global dengan ideologi individualis kebebasannya, bisa saja tidak mengenal aturan kotor kain (haid) tentang hal-hal mengenai memasuki suatu tempat suci, dalam hal ini pura. Berbeda dengan budaya lokal sebagai umat beragama yang mengenal aturan kotor kain (haid), tidak mengijinkan seorang (wanita) yang menstruasi/nifas, memasuki pura sebagai tempat suci karena aturan norma/adat. Budaya global dengan kebebasan berekspresi ketika menyentuh unsur kebudayaan tradisional yang unik dan khas, akan melibatkan kecanggihan media teknologi saat wisatawan mancanegara memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk merekam segala objek yang diamatinya dengan segala simbolsimbol, ikon-ikon seni dan budaya, dan keagamaan yang terkandung di dalamnya, menjadi keunikan yang khas. Menyebabkan wisatawan mancanegara berkeinginan untuk mempelajari, melihat cara hidup dan budaya bangsa lain, tanpa sadar masyarakat lokal telah membuka pintu lebar-lebar atas kebudayaan asing/global untuk berbaur dan masuk di dalamnya, yakni saat wisatawan memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk merekam, melihat keadaan di sekelilingnya sehingga menciptakan bentuk ruang profan akan hal tersebut. (Lihat Gambar 5.4).
Foto 5.4 Wisatawan Mancanegara di Jeroan Pura Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
85
Secara bersamaan pada waktu dan tempat yang sama, memungkinkan wisatawan mancanegara yang berkunjung, akan bertemu dengan pamedek/umat Hindu yang sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, dengan kata lain, dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan persembahyangan umat di dalam pura. Kondisional ini disebabkan karena perubahan fungsi asli Pura Petitenget sebagai tempat suci, semenjak difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan dalam konteks pariwisata budaya Bali. Sehingga telah mengubah religiusitas nilai utama atau asli pura ini sebagai tempat suci yang bersifat sakral telah bergeser menjadi ruang profan akibat sifat-sifat keduniawiaan yang masuk di dalamnya. Konsekuensi terhadap hal-hal di atas, disebabkan pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya dalam industri pariwisata Bali telah mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pura ini. Secara sadar atau tidak, masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini telah menciptakan bentuk ruang profan yang beradaptasi dengan praktik kapitalis atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga menggeser bentuk ruang sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci, dengan mengubah fungsi aslinya. Terkait dengan hal-hal di atas, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya dapat dilihat sebagai berikut: “...wisatawan mancanegara maupun domestik boleh masuk ke dalam pura, dan diijinkan melihat ke semua halaman pura, termasuk ke jeroan pura, tetapi mesti mengikuti syarat sesuai dengan aturan yang terpasang di papan pengumuman. Berpakaian sopan, tidak sedang kotor kain (haid) dan menjaga kesopanan selama di jeroan pura, tetapi kami tidak mengetahui apakah mereka memahaminya...” (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
86
Ungkapan di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun), yang juga merupakan tokoh masyarakat setempat. Hasil wawancara dapat dilihat dalam kutipan penuturannya sebagai berikut: “...terkait dengan diijinkannya para wisatawan memasuki semua halaman pura, termasuk ke jeroan pura, karena mereka ingin melihat keadaan pura secara keseluruhan. Selain itu kami selalu menjelaskan aturan yang berlaku ketika mereka akan memasuki pura. Kami tidak mengetahui apakah wisatawan itu memahami tentang sedang kotor kain (haid) atau tidak, karena budaya asing mereka yang berbeda...” (Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013). Hal yang sama dituturkan oleh Jero Mangku Mangku Made Widra (62 tahun), sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) dan Jero Mangku Ni Ketut Netri (40 tahun) sebagai Pemangku Pengayah Pura Petitenget, yang sedang bertugas di Pura Petitenget ketika diwawancarai. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut: “Para wisatawan boleh masuk hingga ke jeroan pura, dengan syarat berpakaian sopan dengan memakai kain dan selendang yang sudah disediakan oleh panitia pengelola, berperilaku sopan ketika berada di dalam pura, dan tidak sedang kotor kain (haid) atau nifas, kami tidak mengetahui keadaan mereka yang sebenarnya ketika memasuki pura. Beberapa wisatawan ada juga yang bersembahyang di sini memohon kesembuhan, saat mereka ke Bali lagi, pasti akan mampir kembali...” (Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013). Melihat tuturan dari para informan di atas menunjukan bahwa peraturan yang terpasang di papan pengumuman di halaman depan Pura Petitenget sudah diterapkan oleh pihak pengelola Pura Petitenget semaksimal mungkin, namun ada hal-hal yang tidak bisa dihindari, yaitu masuknya budaya asing yang terkait di dalamnya, yang di bawa oleh wisatawan mancanegara ketika mengunjungi Pura Petitenget, yang dengan leluasa memasuki areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Budaya global yang modernis dengan kebebasan berekspresinya di segala aspek
87
kehidupan telah menyentuh ranah budaya lokal yang tradisonalis sehingga mengubah pola pikir masyarakat setempat ke arah modern dengan pola ideologi ekonomi untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya yang berimplikasi dengan budaya kapitalis untuk mendatangkan pendapatan dengan dalil pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya ini serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Hal ini merupakan konsekuensi logis atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan sebagai akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Dari pengamatan di lapangan, juga ditemukan situasi pada saat yang sama antara pamedek yang akan melakukan persembahyangan di Pura Petitenget dan wisatawan mancanegara yang ingin melihat ke halaman tersuci (jeroan) pura ini, secara bersamaan bisa datang dalam waktu yang sama. Pada saat pamedek yang sedang bersembahyang di jeroan Pura Petitenget, wisatawan mancanegara yang kebetulan berada di halaman jeroan pura, bisa menyaksikannya dengan leluasa karena berada pada waktu dan tempat yang sama, sehingga dapat menyebabkan rasa ketidaknyamanan bagi umat yang sedang bersembahyang di halaman tersuci (jeroan) Pura petitenget. Kondisi tersebut telah mengakibatkan kesakralan Pura Petitenget dalam fungsi utamanya sebagai tempat suci dapat menurun atau kehilangan hakekat nilai kesuciannya akibat budaya global yang masuk ke dalamnya sebagai bentuk adaptif sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan mancanegara akibat komersialisasi tempat suci dalam industri pariwisata Bali. Berorientasi akan hal-hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara,
88
Badung, adalah memberikan kebebasan kepada wisatawan mancanegara maupun domestik yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa dapat memasuki Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah fungsi aslinya Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam menjalankan ajaran agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena dikomersialkan menjadi objek wisata cagar budaya akibat dampak pembangunan pariwisata budaya di Bali. Kebijakan pariwisata budaya yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sejalan dengan perubahan sosial budaya masyarakat Desa Adat kerobokan, serta terbukanya akses luar telah mempengaruhi pandangan dan pola pikir masyarakat setempat selaras dengan situasional masyarakat lokal yang berusaha melestarikan tinggalan warisan budaya yang dimilikinya dengan tetap mempertahankan nilai-nilai kesakralannya. Namun di sisi lain, adanya keinginan perubahan sosial ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya telah membuat masyarakat Desa Adat kerobokan memanfaatkan sumber daya budaya mereka menjadi objek dan daya tarik wisata budaya yang dikomersialkan dalam pembangunan pariwisata budaya Bali. Profanisasi telah mengakibatkan kesucian Pura Petitenget dalam fungsi utamanya sebagai tempat suci telah menurun atau kehilangan hakekat nilai-nilai kesakralannya akibat bentuk adaptif budaya global yang masuk di dalamnya. Sebagai bentuk sifat keduniawaan yang dibawa oleh wisatawan mancanegara karena adanya komersialisasi tempat suci, dalam konteks ini Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam perkembangan industri pariwisata Bali telah mengalami kehilangan statusnya dahulu sebagai pura yang penuh dengan
89
religiusitas karena riwayat sejarahnya saat pertama di bangun, namun sekarang telah bergeser menjadi profan semenjak dikomersialkan menjadi objek wisata budaya. Hal ini ditandai dengan kedatangan wisatawan mancanegara yang mengunjungi Pura Petitenget, dengan leluasa bisa masuk hingga ke halaman tersucinya (jeroan) pura, yang akhirnya menciptakan nilai suatu kebudayaan lokal menjadi sebuah benda atau objek berharga yang bisa diperlihatkan atau dijual kepada wisatawan mancanegara melalui jalur pariwisata budaya di Bali. 5.2 Pemanfaatan Wantilan Pura Petitenget Sebagai Tempat Kegiatan Sosial Bagi Masyarakat Umum Industri pariwisata di era globalisasi saat ini dengan di dukung oleh otonomi daerah menyebabkan fenomena tersendiri bagi masyarakat pendukung pariwisata, hal itu menunjukkan bahwa tingkat kemampuan masyarakat daerah dalam berperan aktif mengembangkan sektor pariwisata cukup besar karena perkembangan industri pariwisata Bali. Kecenderungan fenomena ini terlihat dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Salah satu wujud kreativitas dalam pelestarian dan pengembangan potensial aspek kebudayaaan lokal yang dimilikinya adalah pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pariwisata budaya di Bali. Adanya perubahan pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan tinggalan pusaka budaya tersebut ke dalam bentuk nilai ekonomi praktis atas pemanfaatan Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya, yang mana merupakan unsur kesatuan dari bagian daerah/wilayah kompleks Pura Petitenget adalah pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang berada di halaman terluar pura
90
ini yang disebut dengan Nista Mandala atau jaba sisi/jaba luar dari Pura Petitenget tersebut. (Lihat Gambar 5.5).
Gambar 5.5 Wantila Pura Petitenget di Nista Mandala (Dokumentasi: Budiasih) Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan bersih, yang terletak di halaman terluar atau Nista Mandala (jaba) pura, selain digunakan untuk hal-hal yang biasa berhubungan dengan segala aktivitas atau kegiatan di pura ini ketika adanya upacara keagamaan (odalan/piodalan) berupa kesenian profan yang bersifat hiburan, menghibur masyarakat, seperti seni balih-balihan, contohnya; Joged Bumbung, Gong Kebyar, Rindik, Geguntangan dan sebagainya, juga dapat dimanfaatkan oleh masyarakat umum di sekitarnya, maupun oleh masyarakat/ kelompok dari luar wilayah Desa Adat kerobokan yang tidak berhubungan dengan kegiatan keagamaan di pura tersebut. Keberadaan dan kondisi wantilan Pura Petitenget yang cukup besar dan terlihat bersih, serta berada tepat di depan pantai Petitenget yang indah dan selalu ramai dikunjungi masyarakat sekitarnya dan wisatawan mancanegara, telah menjadi perhatian tersendiri dan mempunyai daya tarik untuk dimanfaatkan baik oleh masyarakat umum setempat maupun oleh masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat kerobokan. Daya tarik lokasi wantilan Pura Petitenget dengan
91
pemandangan pantai Petitenget yang berpasir putih dan indah menjadi pesona tersendiri bagi masyarakat umum untuk memanfaatkan/menggunakan wantilan pura ini untuk kegiatan atau aktivitas yang bersifat sosial (Lihat Gambar 5.6).
Gambar 5.6 Lokasi Wantilan Pura Petitenget di Nista Mandala (Dokumentasi: Budiasih) Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum sekitarnya maupun masyarakat/kelompok dari luar wilayah Desa Adat Kerobokan, biasanya tidak ada hubungannya dengan aktivitas/kegiatan keagamaan di pura ini, dan penggunaannya hanya sebentar. Kondisi di mana memang tidak ada upacara keagamaan (pujawali) di pura ini, diijinkan oleh pengurus/pengelola Pura Petitenget sesuai dengan kesepakatan bersama antara panitia pengelola Pura Petitenget dengan masyarakat setempat. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget untuk kegiatan sosial oleh masyarakat umum di sekitarnya maupun masyarakat/ kelompok dari luar Desa Adat kerobokan diperbolehkan, dengan kompensasi dalam bentuk dana punia secara sukarela/keikhlasan kepada pihak pengelola Pura Petitenget. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget biasanya hanya sebentar dan tidak berlangsung lama, dan hanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, seperti kegiatan yang bersifat sosial dan membutuhkan tempat yang agak luas dan lebar, di
92
samping itu karena lokasi atau letaknya di depan pantai Petitenget dengan pemandangan pantai yang mempesona. Terkait dengan hal di atas, sesuai dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut: “...masyarakat Desa Adat Kerobokan maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan dapat menggunakan wantilan Pura Petitenget untuk kegiatan atau acara yang bersifat sosial, tetapi dengan syarat berdana punia untuk kepentingan pura, dan biasanya hanya sekali-kali digunakan oleh masyarakat umum...” (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013). Pendapat di atas serupa dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat dilihat dalam kutipan berikut: “...masyarakat Desa Adat kerobokan maupun masyarakat/ kelompok dari luar Kerobokan boleh menggunakan wantilan Pura Petitenget untuk kegiatan yang bersifat sosial, dengan syarat adanya pemberian dana punia, tidak ditentukan nominalnya, hanya bersifat keikhlasan, walaupun jarang digunakan oleh masyarakat umum...” (Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013). Hal senada juga dituturkan oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun) sebagai Pemangku Pemucuk (Utama) Pura Petitenget. Hasil wawancaranya dapat dilihat dari kutipan berikut: “...siapa saja bisa menggunakan wantilan Pura Petitenget, asalkan bersifat sosial, dengan persyaratan berdana punia untuk kepentingan pura, dan tidak ditentukan berapa pun besarnya, keikhlasannya saja, hal ini tidak sering digunakan oleh masyarakat umum”. (Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013). Dari penuturan ketiga informan di atas tersebut, menunjukkan telah terjadi profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan,
93
yaitu profanisasi atas pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum maupun masyarakat/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan, di luar dari kegiatan keagamaan yang berhubungan dengan Pura petitenget. Kondisi tersebut bertujuan kepada hal-hal yang bersifat ekonomi praktis dengan menekankan dalil demi pelestarian warisan budaya ini , di mana dengan melepaskan nilai gunanya sebagai wantilan pura yang biasa digunakan untuk aktivitas yang berhubungan dengan upacara keagamaan (pujawali) saat sedang berlangsung di Pura Petitenget, dan digantikan dengan nilai tukar yang mendatangkan nilai ekonomis praktis demi pelestariannya serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berorientasi atas hal tersebut, maka bentuk profanisasi pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya budaya lokal dengan pemikiran modern dan praktis dengan motif ekonomi, di mana fungsi asli penggunaan wantilan Pura Petitenget telah terjadi perubahan fungsi menjadi profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget ketika digunakan oleh masyarakat umum untuk kegiatan yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai ekonomi praktis dengan dalil untuk beaya pemeliharaan pura dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Hal itu terjadi sebagai akibat proses globalisasi yang tidak bisa dihindari yang masuk ke dalam ranah kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam industri pariwisata Bali.
94
5.3 Pemanfaatan Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan Peranan pariwisata sangat besar terhadap kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan, di mana sebagian besar perekonomian masyarakatnya bertumpu pada sektor pariwisata di wilayah tersebut. Keberadaan Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya mempunyai nilai ekonomis atas pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya ini dalam perkembangan industri pariwisata Bali. Di samping itu lokasi berdirinya Pura Petitenget yang terletak di depan pantai Petitenget, selain sebagai tempat upacara melasti (pembersihan) bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, juga sebagai tempat rekreasi dengan memanfaatkan keindahan pantai Petitenget yang berpasir putih berkilau yang menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara. Lokasi Pura Petitenget yang strategis itu semakin menambah terkenalnya keberadaan pura tua ini di mata masyarakat umum dan wisatawan mancanegara ketika memasuki daerah pariwisata di wilayah Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Petitenget. Di tunjang oleh sarana dan fasilitas yang tersedia bagi sektor pariwisata di wilayah ini, serta di dukung dengan keterbukaan dan penerimaan masyarakat yang positif atas perkembangan pariwisata di daerah tersebut semakin menumbuh kembangkan kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan. Bertitik tolak dari kondisi di atas, masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget memanfaatkan sumber daya budaya lokal Pura Petitenget terutama pemanfaatan atas halaman Nista Mandala (jaba) Pura Petitenget ini yang merupakan satu kesatuan dari
95
wilayah/daerah kompleks Pura Petitenget untuk kepentingan pariwisata di daerah Petitenget pada khususnya dan di Desa Adat Kerobokan pada umumnya. Pemanfaatan halaman terluar (jaba) Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bermotor akan dikenakan ketika tidak ada aktivitas/kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget, berlaku bagi semua masyarakat dan wisatawan asing yang menggunakan kendaraan bermotor ketika memasuki daerah/pantai Petitenget, baik yang akan masuk ke pantai Petitenget maupun yang keluar dari daerah Petitenget, maka dikenakan restribusi parkir yang besarnya sudah ditentukan oleh pihak pengelola Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai halaman parkir kendaraan bermotor. Apabila ada kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget maka tidak dikenakan beaya parkir kendaraan khusus bagi masyarakat setempat atau pamedek yang akan bersembahyang ke Pura Petritenget selama odalan/piodalan berlangsung. Hal ini merupakan unsur nyata bahwa kawasan Pura Petitenget sebagai tempat suci masih ada ruang sakral yang dijalankan masyarakat setempat atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget yang berkaitan dengan kegiatan keagamaan. Untuk pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir, maka beaya restribusi parkir kendaraan yang dikenakan adalah untuk kendaraan roda dua sebesar Rp.1000,- untuk kendaraan roda empat sebesar Rp.3000,- serta untuk kendaraan besar seperti bis dan truk sebesar Rp.5000,- (Lihat Gambar 5.7 dan Gambar 5.8).
96
Gambar 5.7 Memasuki Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan. (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.8 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan. (Dokumentasi: Budiasih) Atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan, serta adanya pemasukan dari restribusi parkir yang didapatkan atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai tempat parkir bagi para wisatawan mancanegara maupun masyarakat umum di sekitarnya ketika memasuki kawasan/pantai Petitenget, baik untuk kegiatan pariwisata maupun untuk kegiatan sehari-hari. Kecuali saat adanya aktivitas/kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget tidak dipungut beaya parkir, khusus bagi masyarakat/pamedek yang bersembahyang. Keseluruhan hasil yang didapatkan atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai lahan parkir dimasukan ke dalam Kas pengelola Pura Petitenget Desa Adat Kerobokan. (Lihat Gambar 5.9, Gambar 5.10, Gambar 5.1).
97
Gambar 5.9 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Kendaraan. (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.10 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Mobil. (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 5.11 Jaba Pura Petitenget Sebagai Areal Parkir Motor. (Dokumentasi: Budiasih) Hasil pemasukan restribusi parkir yang diperoleh atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan secara keseluruhan digunakan sepenuhnya untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget. Seperti, untuk beaya
98
renovasi/perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak, maupun untuk segala keperluan pura, upacara sehari-hari atau bulanan di pura, juga pada saat upacara keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget, baik itu setiap enam bulan (210 hari) sekali, lima tahun dan sepuluh tahun sekali. Keseluruhan beaya yang dikeluarkan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget di atas, diambil dari pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bermotor, juga pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, serta sumbangan/ dana punia (sesari) dari pamedek dan para wisatawan ketika mengunjungi Pura Petitenget. Di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya untuk keperluan/kepentingan Pura Petitenget seperti hal-hal yang disebutkan di atas, bahkan ketika adanya upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan Pura Puseh masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya, karena sudah ditanggung/diambilkan dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget. Sesuai dengan hal-hal tersebut di atas, hal ini terkait dengan apa yang dituturkan oleh informan A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget. Hasil kutipan wawancaranya sebagai berikut: “...masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik renovasi maupun untuk kebutuhan sehari-hari dan upacara piodalan di Pura Petitenget, bahkan untuk keperluan upacara piodalan bagi Pura Desa dan Pura Puseh, karena kebutuhan tersebut diambilkan dari Kas pengelolaan Pura Petitenget atas pemanfaatan dari jaba pura sebagai tempat parkir, wantilan pura, sumbangan dari masyarakat dan wisatawan”. (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013). Pendapat di atas senada dengan apa yang disampaikan oleh Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun). Hasil wawancaranya dapat dilihat dalam kutipan berikut:
99
“...dana yang masuk atas pemanfaatan jaba pura, wantilan pura, serta sumbangan (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dipakai untuk keperluan Pura Petitenget seharihari/bulanan, untuk upacara keagamaan (odalan/piodalan) dan yang terkait di dalamnya, serta untuk upacara keagamaan di Pura Desa dan Pura Puseh, dana pengeluarannya di ambil dari Kas pengelolaan Pura Petitenget. Masyarakat tidak mengeluarkan beaya...” (Wawancara, Minggu, 5 Mei 2013). Dari tuturan di atas sama dengan apa yang disampaikan oleh seorang masyarakat Desa Adat Kerobokan I Wayan Janoka (48 tahun). Hasil wawancara tersebut dapat dilihat dari kutipan penuturannya sebagai berikut: “Semenjak adanya pemasukan ke Kas pengelola Pura Petitenget dari wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, pemanfaatan jaba pura sebagai areal parkir, sebagai masyarakat Desa Adat Kerobokan, saya tidak mengeluarkan beaya saat upacara keagamaan (pujawali) di Pura Petitenget, bahkan untuk di Pura Desa dan Pura Puseh, karena ditanggung oleh pihak panitia pengelolaan Pura Petitenget”. (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013). Dari penuturan para informan di atas, menunjukan telah terjadi profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan. Setiap dana/uang yang masuk, secara keseluruhan digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, yakni untuk beaya renovasi bangunan/pelinggih pura yang rusak, untuk segala keperluan pura, baik sehari-hari/bulanan, upacara keagamaan (odalan/piodalan) Pura Petitenget serta yang terkait di dalamnya. Hal tersebut membuat masyarakat Desa Adat Kerobokan tidak mengeluarkan beaya bagi segala keperluan/kepentingan Pura Petitenget, bahkan juga saat ada upacara keagamaan (pujawali) di Pura Desa dan Pura Puseh, karena ditanggung dari Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget. Berorientasi atas hal-hal di atas, maka bentuk profanisasi warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah
100
wujud nyata atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi masyarakat setempat dengan memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya sebagai sumber kegiatan ekonomi untuk penambahan pendapatan demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya. Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, dalam hal ini jaba Pura Petitenget dimanfaatkan sebagai areal parkir kendaraan, telah digeser menjadi ruang profan yang menjadi perubahan nilai ruang ekonomis, akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang motif ekonomi untuk pemberdayaan dan pelestarian warisan budaya ini, serta meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan. Hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat setempat sejalan dengan ideologi ekonomi dan polapola kapitalisme dengan memanfaatkan modal sumber daya budayanya guna mendapatkan nilai material akibat perkembangan industri pariwisata Bali. Secara pasti dapat disimpulkan, bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah menjadikan sumber kebudayaan lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kerobokan menjadi benda wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa memasuki Pura Petitenget hingga ke areal halaman tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah
101
fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci umat dalam menjalankan ajaran agamanya telah bergeser menjadi bentuk ruang profan karena dikomersialkan menjadi objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya Bali. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum yang dapat digunakan untuk kegiatan di luar keagamaan, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya dan sosial ekonomi masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme sehingga terjadi perubahan pola pikir masyarakat setempat dalam memanfaatkan sumber daya budayanya dengan pemikiran yang modernis dan praktis dengan motif ekonomi. Di mana telah mengubah fungsi asli/utama penggunaan wantilan Pura Petitenget menjadi ruang profan dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar akibat pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum untuk aktivitas yang bersifat sosial yang mendatangkan nilai ekonomis dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget, dan penambahan pendapatan bagi kepentingan Pura Petitenget demi meningkatkan taraf kesejahteraan bagi para pengurus pura dan masyarakat di sekitarnya. Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis yang menguntungkan bagi masyarakat setempat dengan memanfaatkan warisan budaya yang dimilikinya sebagai sumber penghasilan ekonomi demi kelangsungan pemeliharaan dan terjaganya warisan budaya tersebut, selain untuk penambahan pendapatan dan peningkatan kesejahteraan bagi para pengelola pura dan masyarakat di sekitarnya. Di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, dalam hal ini
102
jaba Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan, yang menjadi nilai ruang ekonomis akibat perubahan pola pikir masyarakat setempat dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, sehingga menghasilkan kondisi nilai ruang motif ekonomi demi pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya ini, serta untuk meningkatkan kesejahteraan kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan. Hal itu bersamaan dengan masuknya praktik-praktik kapitalisme dengan motif ekonomi yang berimplikasi dengan bentuk adaptif budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat Desa Adat kerobokan akibat pengaruh industri pariwisata global sehingga terjebak ke dalam ruang realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan mengubah fungsi asli/utamanya menjadi objek wisata budaya dengan ideologi ekonomi yang menghasilkan nilai uang untuk beaya pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya lokal tersebut, serta penambahan pendapatan demi meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Perkembangan industri pariwisata Bali yang pesat telah membawa kapitalisme masuk ke dalam aspek kebudayaan masyarakat Desa Adat kerobokan, dan profanisasi warisan budaya Pura Petitenget terjadi karena komersialisasi yang memperlakukan sumber daya budaya lokal ini menjadi unsur nilai ekonomis yang menghasilkan uang sehingga mengesampingkan nilai-nilai religiusitas utama Pura Petitenget sebagai tempat suci. Hal ini terjadi karena adanya kesempatan dan peluang, sehingga masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan itu termotivasi dan melahirkan bentuk kreativitas yang bercirikan praktik kapitalisme di bidang
103
ekonomi. Di mana secara situasional dengan hasrat dan praktik memberi peluang yang seluas-luasnya bagi masyarakat Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, untuk merepresentasikan “kepentingannya” ke dalam motif sosial ekonomi dengan mengkonstruksikan simbol-simbol kebudayaan yang dimilikinya demi nilai pakai yang menghasilkan uang karena situasional yang dinamis akibat perkembangan industri pariwisata global yang membawa dampak realistis terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali.
104
BAB VI FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG
6.1 Daya Tarik Pura Petitenget Sebagai Daya Tarik Wisata Cagar Budaya Paradigma berpikir masyarakat lokal sebagai pendukung kebudayaan dan pemilik nilai budaya lokal, akibat perkembangan ilmu pengetahuan dan teknologi, didukung dengan industri pariwisata global yang mendunia mengalami sangat pragmatis dan berinteraksi terhadap perubahan lingkungannya, sehingga konsepsi tentang nilai-nilai kesucian pura bergeser dan menjadi terfokus pada nilai-nilai materialistik, di mana religiusitas pura mengalami perubahan nilai secara dramatis (Pujaastawa, 2008: 406). Terkait dengan konsep di atas, serta kenyataan yang ditemui di lapangan, pengaruh pariwisata dalam aspek nilai ekonomi dengan memanfaatkan sumber daya budaya masyarakat lokal, dalam hal ini Pura Petitenget, di mana keberadaan warisan budaya ini menjadi daya tarik tersendiri sebagai sumber daya budaya lokal dan sajian utama bagi industri pariwisata Bali. Keberlangsungan faktor daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya di Desa Adat Kerobokan merupakan faktor utama, dan sebagai benda komoditi yang dipublikasikan dan dikomersialkan bagi pengembangan pariwisata budaya di Bali untuk mendapatkan keuntungan nilai material ekonomi sesuai dengan kebutuhan masa sekarang tanpa mengesampingkan aspek nilai budayanya. Namun menjadi sebuah proses dinamis mengikuti perkembangan zaman akibat industri pariwisata
105
global untuk memenuhi keinginan dan kebutuhan masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan dan aspirasi masyarakat pendukung pariwisata. Semua kebudayaan pasti mengalami perubahan akibat perkembangan zaman, begitu juga dengan budaya Bali, dalam hal ini Pura Petitenget sebagai warisan budaya. Secara sadar atau tidak, perubahan sumber daya budaya ini mengalami pergeseran nilai karena difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya yang mendatangkan nilai material ekonomis, di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai pemilik sumber daya budaya ini mengalami perubahan pola pikir akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala bidang sehingga mengalami metamorfosis dalam segala aspek sosial kehidupan mereka sebagai akibat perkembangan industri pariwisata dunia. Di mana naluri materialistik untuk memanfaatkan sumber daya budaya lokal ini menjadi suatu benda komoditi yang kemudian dikomersialisasikan, telah menyebabkan terjadinya faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura petitenget di Desa Adat Kerobokan. Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang mempunyai nilai arkelogis yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya atas pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya menjadi faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi atas keberadaan warisan budaya ini sebagai akibat perkembangan industri pariwisata budaya di Bali. Di mana faktor yang menjadi nilai simbol kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci kehilangan hakikat nilainya karena difungsikan sebagai benda objek wisata budaya akibat komersialisasi bangunan suci/pura. Aspek komersialisasi tersebut yang menyebabkan terjadinya profanisasi terhadap Pura Petitenget karena menjadi barang komoditi yang mengkondisikan
106
kehilangan nilai kesakralannya. Hal tersebut merupakan suatu konsekuensi logis dari kapitalisasi industri pariwisata Bali, lewat dunia pariwisata kekuatan kapitalis global merambah pada segala aspek kehidupan sosial budaya masyarakat lokal. Sebagai sumber daya budaya lokal yang bernilai arkeologis, sebagai pura tua, maka Pura Petitenget mempunyai daya tarik tersendiri sebagai daya tarik wisata budaya, sehingga menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan. Hal ini merupakan faktor yang berasal dari dalam Pura Petitenget, karena menjadi daya tarik wisata cagar budaya akibat pemanfataannya sebagai objek wisata budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali, dengan unsur-unsur ideologi ekonomi yang masuk di dalamnya. Unsur faktor daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya menyebabkan terjadinya profanisasi adalah; 1) faktor untuk kepentingan/ keperluan Pura Petitenget, 2) faktor untuk penambahan pendapatan bagi pengelola dan pengurus Pura Petitenget, serta 3) faktor untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Faktor daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata budaya yang menjadi dominansi profanisasi atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang dikomersialkan. Secara perlahan tapi pasti, tradisi kesakralan/kesucian Pura Petitenget ini mulai diabaikan, yang digantikan dengan mementingkan aspek nilai ekonomis sehingga menggeser aspek nilai tradisionalis dengan memfungsikannya sebagai benda objek daya tarik wisata budaya untuk wisatawan mancanegara. Terkait dengan kondisi dan unsur faktor tersebut, dapat dilihat dari hasil
107
wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget yaitu Jero Mangku Made Widra (62 tahun). Kutipan penuturannya sebagai berikut: “...setiap dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura petitenget digunakan bagi kepentingan/keperluan pura, perbaikan bangunan pura yang rusak, keperluan sehari-hari/bulanan pura, upacara keagamaan (odalan/piodalan) setiap enam bulan, lima tahun, dan sepuluh tahun, maupun upakara pecaruan melasti ke laut. Selain itu dana digunakan untuk keperluan honorarium bagi pengelola/pengurus Pura Petitenget sesuai dengan kesepakatan yang sudah ditentukan...” (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Melihat dari pendapat di atas, sejalan dengan apa yang dipaparkan oleh A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget, kutipan penuturannya sebagai berikut: “...dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, sebagian besar digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik kebutuhan sehari-hari/bulanan pura, kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) secara keseluruhan yang berkaitan dengan Pura Petitenget, dan perbaikan bangunan/pelinggih pura yang rusak. Dana juga untuk keperluan para pengelola/pengurus Pura Petitenget yang pembagiannya sudah diatur sesuai kesepakatan bersama...” (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013). Hal serupa juga disampaikan Bendesa Adat Kerobokan, Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun), kutipan penuturannya sebagai berikut: “...uang yang terkumpul masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, semua dana untuk keperluan/kebutuhan Pura Petitenget, kebutuhan sehari-hari/bulanan pura, bagi upacara keagamaan (odalan/piodalan) pura, dan perbaikan bangunan/pelinggih yang rusak atau direnovasi. Dana juga digunakan untuk honor para pengelola/pengurus pura, sesuai dengan kesepakatan yang ada selama ini...” (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Dari penuturan ketiga informan di atas memberikan gambaran bahwa faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya di Desa Adat Kerobokan, merupakan faktor daya tarik internal Pura
108
Petitenget sebagai sumber daya budaya lokal yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Demi kepentingan unsur ekonomi untuk penambahan pendapatan dan pemasukan sehingga menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya ini oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan motif ekonomi, guna mendatangkan nilai uang untuk beaya pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, dipergunakan untuk pembiayaan sarana fisik (renovasi) dan nonfisik (honorarium). Dana digunakan bagi kepentingan/keperluan Pura Petitenget, baik perbaikan/renovasi bangunan/pelinggih pura yang rusak atau harus direnovasi, kebutuhan sehari-hari atau bulanan pura (pembiayaan sesaji, air, listrik dan sebagainya), dan kebutuhan upacara keagamaan (pujawali) di Pura Petitenget. Kemudian untuk kepentingan pengelola/pengurus Pura Petitenget (honorarium) bagi kebutuhan ekonominya sehingga mempunyai pendapatan cukup dan berkelanjutan setiap bulannya. Selain untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, khususnya di sekitarnya Pura Petitenget, yang sebelumnya merupakan masyarakat petani tradisional kini beralih ke sektor pariwisata yang memang menjadi andalan utama perekonomian masyarakat setempat akibat pengembangan industri pariwisata Bali. Pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya menjadi faktor dominan terjadinya profanisasi warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam perkembangan pariwisata budaya di Bali, karena telah mendorong kreativitas masyarakat Desa Adat kerobokan dengan alasan pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya lokal yang dimilikinya yang beradaptasi dengan ideologi
109
ekonomi. Adanya kebutuhan ekonomi serta praktik-praktik kapitalis dalam era globalisasi menyebabkan masyarakat lokal berpikir dinamis untuk beaya pemeliharaan dan pelestarian sumber daya budaya lokal ini, selain juga untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat di sekitarnya. Sesungguhnya secara tidak langsung telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan fakta nyata terjadinya komersialisasi aspek kebudayaan karena sudah mengubah fungsi asli Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi benda komoditi guna mendatangkan nilai motif ekonomi di dalamnya. Di mana pola kapitalisme berperan karena kebutuhan beaya untuk pelestarian atas pemanfaatannya sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. 6.2 Perkembangan Industri Pariwisata dengan Semakin Terkenalnya Pantai di sekitar Pura Petitenget Industri pariwisata pada awalnya lebih di pandang sebagai suatu kegiatan ekonomi, dan tujuan utama pengembangan pariwisata adalah untuk mendapatkan keuntungan material/ekonomi, baik bagi masyarakat daerah/negara. Sumbangan sektor pariwisata terhadap pendapatan daerah Bali terus meningkat tiap tahunnya bahkan mengungguli sektor-sektor-sektor lainnya. Tidak berlebihan apabila industri pariwisata dimasukkan ke dalam bidang ekonomi yang pembangunannya dapat meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat (Anom, dkk. 2010: 189). Faktor perkembangan industri pariwisata Bali telah membawa masyarakat Desa Adat kerobokan mengalami perubahan dalam segala kegiatan sosial ekonominya, maka kehadiran dunia pariwisata telah mengangkat kesejahteraan masyarakat di sekitarnya sehingga mengalami perubahan struktural perkonomian
110
yang cukup signifikan dari masyarakat tradisional pertanian beralih ke masyarakat pendukung sektor kepariwisataan semenjak wilayah Desa Adat Kerobokan menjadi daerah pengembangan industri pariwisata di Kabupaten Badung. Industri pariwisata Bali pertama-tama adalah pengembangan dari ekonomi moneter, yang memasarkan pemandangan alam dan hasil budaya manusia, mengubah kawasankawasan
dan
masyarakat-masyarakat
dunia
menjadi
produk
pariwisata.
Keberadaan budaya Bali yang menjadi sajian utama bagi pariwisata harus dijaga kelestariannya, karena budaya adalah sesuatu yang membuat pulau Bali begitu diminati oleh wisatawan mancanegara di samping keindahan alam yang dimilikinya. Namun di balik memasarkan dunia pariwisata ini sesungguhnya berlangsung proses lain, yang menyangkut jati diri bangsa, budaya lokal dan makna-makna baru, serta inti kebudayaan itu sendiri (Picard, 2006: 9). Pengaruh perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan dengan di dukung oleh keindahan pemandangan alam pantainya yang terkenal, seperti pantai Petitenget, hal ini terjadi karena kegiatan industri pariwisata di daerah itu terus berkembang dengan di tunjang oleh sarana fasilitas di sektor pariwisata, serta bersamaan masuknya aktivitas pariwisata global ke ranah kebudayaan masyarakat lokal, dan fenomena inilah yang menggeser secara perlahan namun pasti ke dalam struktur kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat. Terkait dengan hal-hal di atas, faktor perkembangan industri pariwisata Bali menjadi faktor eksternal yang telah memberikan konstribusi nilai ekonomis besar terhadap pemasukan daerah terkait atas devisa yang masuk, juga pemasukan nilai ekonomi yang tinggi terhadap kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan,
111
khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, yang hampir sebagian besar kehidupan sosial ekonomi masyarakatnya bertumpu pada dunia pariwisata. Selain itu didukung oleh keindahan alam pantainya yang terkenal menjadi salah satu daya tarik bagi wisatawan mancanegara untuk berdatangan ke daerah Petitenget akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kerobokan. Hal-hal tersebut dikuatkan oleh penuturan seorang informan, I Made Wistawan, SE (40 tahun) selaku Lurah Kerobokan Kelod. Hasil petikan wawancaranya sebagai berikut: “...masyarakat di wilayah Desa Adat Kerobokan, terutama di daerah Kerobokan Kelod, sebagian besar kehidupan sosial ekonominya berasal dari sektor pariwisata. Masyarakat memanfaatkan apa yang mereka miliki untuk berwirausaha/berbisnis di dunia pariwisata. Hal yang berhubungan dengan sektor pariwisata pasti mendatangkan nilai ekonomis bagi peningkatan pendapatan dan kesejahteraan kehidupan masyarakat sekitarnya. Kehidupan mereka yang tadinya petani tradisional kini beralih ke sektor pariwisata, karena regenerasi anak-anak mereka yang lebih memilih bekerja di dunia pariwisata...” (Wawancara, Jumat 10 Mei 2013). Pendapat senada juga disampaikan oleh seorang masyarakat setempat I Made Adnyana Putra (35 tahun) selaku wiraswastawan, memilih berwirausaha dengan membuka usaha jasa laundry dan toko keperluan sehari-hari. Hasil petikan wawancaranya dituturkan sebagai berikut: “Saya sebagai generasi muda dan masyarakat yang tinggal di daerah Petitenget, dengan adanya perkembangan industri pariwisata lebih memilih berwiraswasta, karena lebih menjanjikan di bidang ekonomi. Pendapatan dalam berbisnis di sektor pariwisata lebih besar peluangnya. Sebagian besar masyarakat di sini banyak yang bekerja di dunia pariwisata. Kunjungan wisatawan mancanegara ke daerah Petitenget telah membawa perubahan pola pikir kami ke arah yang modern, karena adanya interaksi dengan dunia internasional, selain di dukung oleh kemajuan teknologi”. (Wawancara, Jumat 10 Mei 2013).
112
Dari penuturan kedua informan tersebut di atas menunjukkan adanya faktor perubahan pandangan dan pola pikir masyarakat setempat terhadap perkembangan industri pariwisata Bali. Pemahaman masyarakat Desa Adat Kerobokan yang semula tradisional berubah ke arah global karena pengaruh modernisasi yang memasuki kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat akibat perkembangan industri pariwisata internasional. Nilai motif ekonomi tinggi yang ditimbulkan oleh pengaruh industri pariwisata Bali telah memberikan nilai spesifik dan positif dalam pemikiran masyarakat lokal sehingga mendominasi aspek kehidupan ekonominya untuk penambahan pendapatan, meningkatkan kesejahteraan dan ketersediaan lapangan pekerjaan. Pada akhirnya mempengaruhi tatanan kehidupan sosial budaya masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan tersebut, namun di balik itu, tanpa sadar mulai terjadi proses penurunan nilai sosial budaya sehingga mempengaruhi aspek kebudayaan masyarakat setempat. Pariwisata Bali sejalan dengan industri pariwisata global ketika perangkatperangkat dan pelaku-pelakunya menjamah langsung suatu masyarakat akibat pengaruh budaya global, maka yang ditimbulkan berbagai faktor masalah yang dihadapi masyarakat pendukung dunia pariwisata. Kajian tentang akibat budaya dari pengembangan pariwisata dalam suatu masyarakat ini sering terjebak oleh suatu pendekatan normatif, para peneliti berulangkali sekadar mempertanyakan, apakah kebudayaan asli rusak atau terlindungi, telah tercemar atau sebaliknya diperkuat oleh pariwisata (Picard, 2006: 9). Berpandangan terhadap hal di atas, singkatnya perkembangan industri pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan
113
dengan di dukung oleh keindahan alam pemandangan pantai di daerah sekitarnya menjadi faktor kekuatan eksternal yang telah memberi nilai ekonomi kongkrit dalam kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Secara sadar atau tidak, faktor perkembangan industri pariwisata di wilayah ini telah memberikan aktivitas nilai ekonomis secara signifikan ke arah yang lebih progresif, yakni dimanfaatkan untuk meningkatkan pertumbuhan ekonomi dan pendapatan masyarakat setempat, mendukung dan menciptakan lapangan pekerjaan baru, memperoleh devisa asing dan motif-motif ekonomi lainnya, selain itu menimbulkan berbagai faktor masalah yang muncul dari konsekuensi nyata bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk dikunjungi wisatawan mancanegara akibat pengembangan industri pariwisata global di wilayah tersebut. Menyadari hal-hal di atas, maka faktor perkembangan industri pariwisata dengan di dukung keindahan alam pantai di sekitarnya sehingga menjadi daya tarik untuk dikunjungi wisatawan mancanegara menjadi faktor dominan di bidang ekonomi dalam meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, hal ini merupakan salah satu faktor yang mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan. Faktor pemanfaatan warisan budaya ini berfungsi satu arah yang memposisikan Pura Petitenget sebagai obyetivikasi aspek kebudayaan untuk kepentingan nilai ekonomi, demi pemeliharaan dan pelestarian sember daya budaya tersebut, selain itu meningkatkan pendapatan dan
114
pemasukan bagi kesejahteraan masyarakat setempat dalam perkembangan industri pariwisata Bali. Sederhananya dapat diimplementasikan secara nyata dalam pengembangan industri pariwisata budaya Bali yang mempromosikan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek komoditi yang mendatangkan nilai ekonomis bagi pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini dengan disertai minat wisatawan yang ingin mengetahui warisan budaya tersebut. Masyarakat Desa adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget berharap dengan adanya industri pariwisata yang berkembang pesat di wilayahnya akan berpihak kepada kesejahteraan ekonomi penduduk setempat, serta mampu memberikan manfaat bagi pelestarian sumber daya budaya yang dimilikinya dengan di dukung oleh lingkungan pemandangan alam pantai yang indah di daerah sekitar Petitenget, sehingga secara merata dan berkelanjutan dapat bermanfaat tanpa menghilangkan religiusitas kebudayaan masyarakat lokal ini. Nilai estetika yang dimiliki oleh sumber daya budaya Pura Petitenget itu seringkali menjadi faktor penyebab terjadinya komersialisasi bangunan suci, di mana proses komersialisasi terjadi ketika pura ini menjadi benda komiditi yang dipromosikan untuk mendatangkan motif ekonomi sehingga menarik wisatawan mancanegara berdatangan ke Pura Petitenget. Hal itu terjadi karena perkembangan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan menyebabkan seringnya para wisatawan asing mengunjungi Pura Petitenget karena berada di daerah pariwisata Kuta Utara. Selain itu, Pura Petitenget ini berlokasi di depan pantai Petitenget yang indah dan terkenal di mata wisatawan mancanegara, dan wisatawan asing sering menikmati pemandangan pantai Petitenget yang indah dengan matahari
115
tenggelam di sore harinya. Perlahan namun pasti, di dukung kemajuan teknologi di segala bidang, maka proses komersialisasi warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan berlangsung terus menerus sebagai objek wisata cagar budaya di Kabupaten Badung. Ditunjang sarana fasilitas sektor pariwisata yang semakin berkembang pesat di daerah sekitar Pura Petitenget telah memberi akses ruang faktor eksternal makin terbuka, sehingga memberi peluang lebih besar terjadinya faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai akibat adanya komersialisasi tempat suci yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. (Lihat Gambar 6.1, Gambar 6.2, dan Gambar 6.3).
Gambar 6.1 Suasana di Sekitar Pantai Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
Gambar 6.2 Restoran di Depan Pantai Petitenget (Dokumentasi: Budiasih)
116
Gambar 6.3 Panorama Matahari Terbenan/Sunset di Pantai Petitenget (Dokumentasi: Budiasih) 6.3 Kebutuhan Ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget Masyarakat sebagai salah satu komponen pendukung pariwisata juga harus dilibatkan dan mendapatkan keuntungan dari pariwisata, jangan sampai hanya dapat dinikmati oleh kapitalis sebagai pemilik modal tanpa dapat dinikmati oleh masyarakat, tetapi masyarakat lokal sebagai pemilik sumber daya budaya dan pelaku kegiatan aktivitas pariwisata itu berlangsung harus juga menikmati keuntungan atas industri pariwisata dengan cara memaksimalkan proporsi pendapatan ekonomi yang dikelola secara lokal beserta keuntungan-keuntungan lainnya pada masyarakat lokal untuk peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat (Ardika, 2007: 120). Berdasarkan hasil penelitian di lapangan menunjukkan bahwa salah satu faktor yang menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah memberi kebebasan masyarakat lokal untuk mengembangkan aset warisan budaya berupa peninggalan monumen, dalam hal ini Pura Petitenget itu sendiri. Selain berfungsi sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar
117
budaya dengan daya tariknya sebagai daya tarik wisata budaya yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk berkunjung ke Pura Petitenget sebagai akibat pengaruh industri pariwisata global. Adanya faktor-faktor nilai ekonomis selalu mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat yang berusaha memperbaiki kehidupan sosial ekonomi untuk meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di daerah sekitar Pura Petitenget. Terjadinya kesempatan ruang dan waktu, yang berkorelasi dengan pengembangan pariwisata budaya berkelanjutan di Bali, yang bertumpu pada tiga landasan pokok, yaitu berkualitas (quality), berkelanjutan (continuity), dan berkesinambungan (balancy),
akan melahirkan motivasi
dan
kreativitas
masyarakat lokal sebagai pemilik kebudayaan untuk mempromosikan tinggalan pusaka budaya sebagai suatu komoditi, yang memberikan keuntungan ekonomi kepada masyarakat lokal (Ardika, 2007: 50). Berorientasi pada konsepsi di atas, berkaitan juga dengan pendapat yang disampaikan oleh pengurus Pura Petitenget tentang kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan warisan budaya Pura Petitenget adalah untuk beaya pemeliharaan pura dan meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat. Berdasarkan hasil wawancara dengan informan Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget Jero Mangku Made Widra (62 tahun), hasil petikan wawancaranya sebagai berikut: “...setiap dana yang masuk untuk keperluan Pura Petitenget, dan pengurus/pengayah pura (para jero mangku) yang bergilir menjaga keseharian di dalam Pura Petitenget, tetap diperhatikan dan diberi tunjangan sesuai dengan kesepakatan yang disepakati bersama oleh semua pihak dengan pengurus/panitia pengelola Pura Petitenget ini. Bila ada sisa dana akan dimasukan kembali ke kas atau ditabung untuk penggunaan selanjutnya”. (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013).
118
Hal senada sama dengan apa yang disampaikan oleh dua orang Pemangku Pengayah (pemangku yang bertugas setiap hari) yang lagi bertugas di Pura Petitenget saat diwawancarai, yaitu Mangku Ni Wayan Sumartini (42 tahun) dan Mangku I Putu Ngarta (40 tahun), mereka mengatakan pendapat yang sama dengan apa yang disampaikan oleh Pemangku Pemucuk atau Pemangku Gede (utama) Pura Petitenget. Hasil kutipan penuturan mereka sebagai berikut: “Keuangan yang masuk, baik dana punia (sesari), pemanfaatan jaba dan wantilan Pura Petitenget, keseluruhannya dimasukkan ke dalam kas panitia pengelolaan Pura Petitenget, kemudian dirinci/dihitung sesuai dengan semua kebutuhan yang dikeluarkan untuk segala kepentingan Pura Petitenget dan para pengurusnya, serta panitia pengelolanya. Bila ada kelebihannya,tetap dimasukan ke kas panitia dan ditabung untuk digunakan pada kebutuhan selanjutnya”. (Wawancara, Minggu, 12 Mei 2013). Melihat dari penuturan di atas, serupa dengan apa yang disampaikan oleh Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan dan I Nyoman Sunarka (40 tahun) sebagai Kelian Adat Kerobokan Kelod. Hasil kutipan penuturan mereka sebagai berikut: “...semua keuangan yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, digunakan untuk kepentingan/keperluan Pura Petitenget, untuk para pengurus/pengelola pura. Dana yang dikeluarkan sesuai dengan seluruh kebutuhan yang ada, sesuai juga dengan kesepakatan yang sudah ditentukan. Bila ada sisa dana akan dikembalikan ke Kas panitia dan ditabung, digunakan untuk keperluan selanjutnya...” (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Dari tuturan beberapa nara sumber di atas, dapat disimpulkan bahwa faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan sumber daya budaya Pura Petitenget ini telah menyebabkan profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu untuk pelestarian dan kepentingan Pura Petitenget. Seperti beaya pemeliharaan atas warisan budaya
119
ini agar tetap terjaga dan terlestarikan. Di samping untuk penambahan pendapatan dengan memberi nilai ekonomis bagi para pengelola/pengurus Pura Petitenget, juga demi meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya atas pemanfaatan dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali. Melihat hal-hal di atas, dan hasil dari beberapa wawancara yang dilakukan dengan beberapa pihak terkait, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali, telah membuka ruang dan peluang pura ini berfungsi sebagai benda komoditi, sehingga sekat Pura Petitenget sebagai tempat suci yang bersifat “ritual-magis” akhirnya menjadi kepentingan ekonomi praktis untuk memperoleh keuntungan ekonomi dalam bentuk nilai uang. Apabila harapan untuk meningkatkan mutu hidup dan memperbaiki pendapatan ekonomi, menjadi inspirasi masyarakat lokal untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup dengan memanfaatkan potensi internal yang bersumber dari masyarakat itu sendiri, maka memberikan keuntungan tersendiri bagi masyarakat setempat, khususnya di sekitar Pura Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam pembangunan pariwisata Bali. Perkembangan industri pariwisata Bali dengan kebijakan-kebijakan institusi formal yang lebih mementingkan manfaat-manfaat nilai ekonomi, di mana unsur-unsur palemahan (lingkungan alamiah), seperti gunung, hutan, sawah, sungai, danau, pantai dan kawasan suci pura, yang dianggap sakral/suci sekalipun, kini terusik dan ternoda oleh keserahkahan naluri bisnis pariwisata, di mana kearifan-kearifan budaya lokal yang telah diwariskan turun-temurun,
120
sekarang mulai terabaikan atas nama peningkatan kesejahteraan masyarakat sekitarnya (Pujaastawa, 2008: 418). Berorientasi pada nilai ekonomi untuk meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, maka faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget dengan daya tariknya sebagai warisan budaya lokal atas pemanfaatannya yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali menjadi faktor relevansi dalam wewenang aktivitas masyarakat Desa Adat kerobokan untuk memanfaatkan kemampuan mereka sendiri dalam mengelola sumber daya budaya lokal yang dimilikinya demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya tersebut serta penambahan pendapatan demi meningkatkan ekonomi dan taraf kesejahteraan. Selaku pemeran utama, masyarakat lokal Desa Adat Kerobokan ikut terlibat secara langsung atau tidak langsung dalam membuat keputusan-keputusan dan melakukan kontrol-kontrol kebijakan yang mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi, meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat, baik bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta membuka lapangan pekerjaan baru. Maka pengelolaan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat kerobokan dalam pembangunan pariwisata budaya di Bali dilakukan secara optimal oleh masyarakat lokal untuk memberikan ruang bagi kegiatan keseharian masyarakat setempat sebagai pemilik kebudayaan lokal tersebut sehingga menghasilkan motif ekonomi praktis untuk kebutuhan pengelolaan Pura Petitenget sebagai sumber daya budaya demi pelestariannya serta mendatangkan peningkatan kesejahteraan dalam
121
kehidupan sosial ekonomi masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di lingkungan sekitar Pura Petitenget. komersialisasi sering menjadi isu utama dalam pemanfaatan dan pengelolaan pura sebagai daya tarik wisata, selain dijadikannya tempat suci, juga berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya. Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi kebudayaan dalam industri pariwisata budaya di Bali, karena berubahnya atau bertambahnya fungsi kesenian atau monumen/objek cagar budaya tersebut (Ardika, 2007: 52). Berorientasi dari konsepsi di atas, hal serupa juga dialami Pura Petitenget sebagai warisan budaya, selain fungsi utamanya sebagai tempat suci, juga difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya demi kepentingan pariwisata budaya di Bali. Terkait dengan hal-hal di atas sesuai dengan apa yang disampaikan oleh A.A. Ngurah Putra (70 tahun) sebagai Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget dan Anak Agung Putu Sutarja (45 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan, mengatakan bahwa faktor komersialisasi Pura Petitenget sebagai objek wisata budaya telah mendatangkan banyak wisatawan mancanegara mengunjungi pura ini dan memberikan nilai ekonomis tinggi atas pemanfaatan dan penggunaan keseluruhan kompleks Pura Petitenget dalam perkembangan industri pariwisata Bali. Kondisi ini diciptakan karena dana bantuan dari pemerintah maupun instansi terkait sangat minim untuk pembiayaan atas pemeliharaan dan pelestarian bagi warisan budaya lokal ini, menyebabkan masyarakat setempat dengan pemikiran modern yang berorientasi logika kapitalis memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya guna mendatangkan nilai motif ekonomi. Faktor ini menunjukkan bahwa walaupun terlibat langsung dalam
122
aktivitas kepariwisataan di wilayahnya, masyarakat lokal menyadari sepenuhnya bahwa proses komersialisasi akan memunculkan faktor-faktor yang akan dapat mengancam budaya lokal yang dimilikinya. Untuk mengantisipasi hal-hal tersebut secara sadar masyarakat Desa Adat kerobokan memanfaatkan warisan budaya Pura Petitenget ini yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya untuk menghasilkan nilai ekonomis akibat dari komersialisasi tempat suci ini untuk beaya pemeliharaan demi pelestarian sumber daya budaya ini, hal itu merupakan konsekuensi logis akibat perkembangan industri pariwisata di wilayah Kuta Utara. Adanya faktor demi pelestarian dan meningkatkan kesejahteraan di sini, berfungsi sebagai penambahan pendapatan dana pemeliharaan, juga kesejahteraan para pengurus/pengelola Pura Petitenget. Di mana segala bentuk keuangan yang masuk, seperti sumbangan sukarela dari wisatawan/pengunjung, iuran-iuran pura, saricanang (sesari), pemasukan atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir bagi masyarakat dan wisatawan mancanegara. Kemudian sumbangan dari kegiatan sosial bila ada yang menggunakan wantilan pura. Keseluruhan hal di atas, uang yang masuk selalu digunakan untuk kebutuhan Pura Petitenget dengan segala keperluan pura ini. Misalnya; pemugaran/konservasi bangunan/pelinggih jika ada kerusakan/diperbaiki, untuk upacara keagamaan yang berhubungan dengan odalan hari raya, piodalan pura, dan berbagai kebutuhan upacara, bantuan/ honorarium untuk pengelola/pengurus pura setiap bulan, di samping kesejahteraan masyarakat secara keselurahan atas pemanfaatan dan pengelolaan warisan budaya Pura Petitenget yang di fungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali.
123
Pengaruh faktor Kebutuhan ekonomi dalam Pengelolaan Pura Petitenget di atas, terkait juga dengan kenyataan di lapangan, bahwa faktor profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, lebih di pandang sebagai kegiatan motif ekonomi, yang mendatangkan nilai uang untuk penambahan pendapatan beaya pelestarian warisan budaya ini, memberi peningkatan kesejahteraan masyarakat setempat dengan meningkatkan kualitas hidup komunitas lokal, yang semula sederhana tradisional dalam kehidupan sosial ekonomi, saat ini mulai mengikuti arus perkembangan pariwisata global yang mengubah pola pikir serta perilaku masyarakat setempat ke arah modern, karena keterlibatan masyarakat di dalam perencanaan dan manajemen di daerah wisata Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget. Sehingga menimbulkan rasa aman, memuaskan, serta dapat memenuhi harapan pengunjung atau wisatawan. Selain tetap menjaga unsur kebudayaan lokal agar tetap terjaga dan terlestarikan, yakni warisan budaya Pura Petitenget. Di samping juga memberi kesejahteraan bagi para pengelola/ pengurus Pura Petitenget, dengan harapan semua masyarakat Desa Adat Kerobokan dapat disejahterahkan dalam keterlibatan mereka di bidang industri pariwisata Bali yang berkembang pesat.
124
BAB VII DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET DI DESA ADAT KEROBOKAN, KECAMATAN KUTA UTARA, BADUNG
Dampak pariwisata merupakan dampak wilayah yang berpengaruh terhadap masyarakat lokal dalam segala aspek kehidupannya, yang dapat pula melahirkan makna-makna baru yang tersirat di dalamnya. Pariwisata merupakan kegiatan yang secara langsung menyentuh dan melibatkan masyarakat setempat. Bahkan pariwisata dikatakan mempunyai energi dobrak yang luar biasa, yang mampu membuat masyarakat setempat mengalami metamorfose dalam berbagai aspeknya (Pitana, dkk. 2005: 109). Terkait atas hal tersebut, maka dampak dan makna profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yang difungsikan sebagai daya tarik wisata cagar budaya tentu akan membawa dampak dan makna dalam seluruh aspek kehidupan sosial dan budaya masyarakat Desa Adat Kerobokan atas pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. 7.1 Dampak Profanisasi 7.1.1 Dampak
Ekonomi
Terjadi
Penambahan
Pendapatan
Untuk
Pembiayaan Pura Harus diakui bahwa dunia pariwisata memberikan dampak positif pada keuntungan ekonomi. Bentuk keuntungan perekonomian selalu lebih penting daripada kebudayaan dan religiusitas. Di sertai perubahan pola pikir masyarakat mulai ke arah modern akibat kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi di segala
125
bidang, dan logika kapitalis menjadi unsur pelengkap dari perkembangan industri pariwisata global (Anom, dkk. 2010: 194). Dalam kerangka idealnya, masyarakat Desa Adat Kerobokan berharap dengan model pembangunan pariwisata budaya di Bali, khususnya perkembangan pariwisata di wilayah Kerobokan, diharapkan untuk lebih berpihak kepada kesejahteraan ekonomi masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya di daerah Petitenget, sebagai pemilik aspek kebudayaan lokal atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam pembangunan pariwisata budaya Bali. Bila di lihat dari target di atas, dari sisi ekonomi, telah membawa dampak yang mempengaruhi terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Dampak ekonomi yang dirasakan akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini adalah memberikan pemasukan ekonomi tinggi berupa sejumlah nilai uang yang masuk ke dalam Kas panitia pengelolaan Pura Petitenget sebagai usaha nyata penambahan penghasilan untuk beaya pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya Pura Petitenget atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal parkir kendaraan bagi masyarakat dan wisatawan. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum bila ada yang menggunakannya, serta sumbangan masyarakat dan wisatawan dalam bentuk dana punia (sesari) ketika mengunjungi Pura Petitenget. Ideologi kapitalis dengan motif ekonomi telah mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat sehingga melibatkan diri secara langsung dalam mengelola warisan budayanya dengan dalil demi pelestarian sumber daya budaya Pura Petitenget, serta
126
meningkatnya taraf hidup perekonomian masyarakat setempat sebagai akibat perkembangan industri pariwisata global. Peran masyarakat setempat yang melibatkan diri pada sektor pariwisata, dengan munculnya berbagai macam bidang usaha/bisnis yang dijalankan oleh masyarakat lokal di daerah sekitar Pura Petitenget, hal ini merupakan bentuk usaha untuk meningkatkan taraf ekonomi dan kesejahteraan hidup mereka. Motivasi motif ekonomi demi pelestarian dan pemberdayaan sumber daya budaya lokal Pura Petitenget, serta meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan masyarakat inilah yang akhirnya menciptakan kemandirian perekonomian yang dibentuk oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan memanfaatkan aspek kebudayaan yang dimilikinya. Potensi budaya yang dimiliki Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya telah mendatangkan nilai ekonomi tinggi, yaitu memberikan sumber pendapatan devisa daerah terkait, sumber pembiayaan atas pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya lokal ini, juga untuk meningkatkan kesejahteraan pengurus/pengelola pura, memberikan peluang usaha kerja bagi masyarakat sekitarnya di sektor pariwisata, serta meningkatkan taraf hidup masyarakat sekitarnya menjadi lebih baik. Dampak ekonomi telah mempengaruhi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, akibat potensi budaya yang dimilikinya. Di mana kegiatan kebutuhan ekonomi tidak bisa dihindari karena potensi budaya Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang difungsikan menjadi benda daya tarik wisata cagar budaya yang mendatangkan nilai ekonomi praktis akibat komersialisasi bangunan suci/pura dalam pariwisata
127
budaya di Bali. Sehingga menyebabkan keluar dari fungsi utamanya sebagai tempat suci, tetapi diciptakan menjadi nilai jual untuk menarik wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya. Dari hasil pengamatan di lapangan, ditemukan bahwa dampak ekonomi mendominansi atas pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya terhadap pemanfaatan dari keseluruhan kompleks Pura Petitenget, adalah untuk kepentingan pelestarian dan pemeliharaan Pura Petitenget itu sendiri, untuk penambahan pendapatan bagi pengurus/pengelola Pura Petitenget sehingga dapat meningkatkan taraf hidup perekonomian masyarakat setempat. Hal ini dapat dilihat dari hasil wawancara dengan Pemangku Pemucuk (utama) Jero Mangku Made Widra (62 tahun). Petikan hasil wawancara tersebut sebagai berikut: ”...semua dana yang masuk ke Kas pengelolaan pura lebih diutamakan untuk kepentingan Pura Petitenget, kemudian untuk pembagian honorarium yang dikeluarkan dari Kas pengelolaan Pura Petitenget sesuai dengan kesepakatan bersama, pembagiannya sesuai dengan fungsinya masing-masing, baik untuk pengayah pura dan pengelola pura, sehingga pendapatan dan kesejahteraan merata bagi para pemangku dan pihak pengelola Pura Petitenget”. (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Hal senada juga disampaikan oleh Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget A.A. Ngurah Putra (70 tahun). Sesuai dengan penuturannya, petikan hasil wawancara tersebut sebagai berikut: ”...pembagian dana yang masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget sesuai dengan kesepakatan bersama dari awal pembentukan panitia pengelolaan Pura Petitenget tersebut. Semua dana digunakan untuk keperluan dan kepentingan pura. Kemudian dana pembagian bagi pengayah pura dan pengelola pura, sehingga pendapatan dan kesejahteraan dapat dirasakan merata bagi para pemangku dan panitia pengelola Pura Petitenget ini”. (Wawancara, Selasa, 7 Mei 2013).
128
Dari penuturan kedua informan di atas, menunjukkan bahwa dampak ekonomi menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya untuk mendatangkan sumber ekonomi praktis berupa nilai uang demi pelestarian sumber daya budaya lokal ini, serta penambahan pendapatan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget, juga masyarakat di sekitarnya. Hal ini dapat dilihat dari setiap dana yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai halaman parkir kendaraan untuk setiap kendaraan yang masuk ke daerah sekitar Pura Petitenget bagi masyarakat umum dan wisatawan. Adanya pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum/kelompok dari luar Desa Adat Kerobokan dengan kompensasi berdana-punia bila ada yang menggunakannya, serta sumbangan atau dana punia (sesari) dari masyarakat dan wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, akan menambah pemasukan bagi Kas pengelolaan Pura Petitenget atas pemanfaatan warisan budaya lokal ini akibat perkembangan industri pariwisata Bali. Dampak ekonomi menjadi dominan yang dirasakan oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, yakni sebagai sumber ekonomi praktis yang mendatangkan nilai uang sebagai bentuk pola-pola kapitalis yang mempengaruhi kehidupan sosial ekonomi masyarakat lokal demi pelestarian, pemeliharaan dan pemberdayaan warisan budaya Pura Petitenget yang harus tetap terjaga dan terlestarikan. Di samping meningkatkan kesejahteraan perekonomian
129
masyarakat setempat, terbukanya lapangan pekerjaan baru di sektor pariwisata, serta peluang berbisnis yang berhubungan dengan dunia pariwisata global. Hal ini terjadi karena adanya interaksi penduduk lokal dengan wisatawan mancanegara lewat transaksi perdagangan internasional dan pertukaran mata uang sehingga berdampak terhadap penerimaan pajak dan pendapatan daerah terkait, semua itu sejalan dengan aktivitas masyarakat yang secara perekonomian bertumpu pada sektor pariwisata. Dominansi dampak ekonomi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya memberikan akses ruang motif ekonomi dengan logika kapitalis berupa nilai uang yang menjadi unsur pelengkap dari kegiatan ekonomi yang dominan ditimbulkan atas pemanfaatan sumber daya budaya lokal tersebut sebagai akibat perkembangan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan. Bentuk keuntungan ekonomi selalu lebih penting daripada kebudayaan dan religiusitas sehingga mempengaruhi pola pikir masyarakat setempat ke dalam kehidupan sosial budayanya, akibatnya religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci bergeser ke ruang profan karena berfungsi sebagai objek wisata budaya akibat komersialisasi tempat suci. Perkembangan industri pariwisata global telah menciptakan kreativitas masyarakat lokal ke arah pemikiran modern untuk memanfaatkan sumber daya budaya yang dimilikinya demi mendatangkan motif nilai ekonomi sebagai akibat pengaruh industri pariwisata Bali yang berimplikasi dengan budaya global.
130
7.1.2 Dampak Lingkungan Dilakukan Pengembangan Sarana Atau Fasilitas Kepariwisataan Kebijakan pembangunan pariwisata Bali dewasa ini diharapkan mampu memberi manfaat bagi pelestarian budaya dan lingkungan secara merata dan berkelanjutan, tanpa merusak sumber daya budaya serta lingkungan ekologi disekitarnya. Namun dalam kenyataannya manfaat-manfaat ekonomi yang diperoleh dari sektor pariwisata masih kerap dibarengi oleh berbagai masalah sosial budaya bahkan juga masalah lingkungan alam (Pujaastawa, dkk. 2008:24). Pengembangan pariwisata Bali yang semakin tidak terkendali telah memaksa masyarakat lokal mengikuti arus perubahan dan dampak yang terjadi, di mana fenomena pengembangan dan pembangunan sarana dan prasarana penunjang fasilitas dunia kepariwisataan telah mempengaruhi keselurahan aspek kehidupan sosial masyarakat setempat, serta pendukung dan pelaku pariwisata dengan menggunakan kecanggihan teknologi dan berbagai peralatan mesin yang mengkonsumsi energi dan sumber daya dalam jumlah yang tinggi, sekaligus mengakibatkan kerusakan lingkungan alam sekitarnya yang disertai pencemaran lingkungan dan polusi. Seiring perkembangan zaman dan perkembangan industri pariwisata Bali, telah mengubah pola kehidupan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Tuntutan kebutuhan yang semakin banyak dan beragam telah membuat masyarakat setempat semakin mengutamakan pendekatan-pendekatan bersifat ideologi ekonomi. Akibatnya pembangunan kawasan-kawasan komersial demi pariwisata tidak terelakkan dan menyebabkan
131
terjadinya alih fungsi lahan pertanian. Perubahan itu semakin parah dipicu tumbuhnya pariwisata budaya di Bali, sehingga berdampak pada perkembangan pariwisata dan lingkungan di wilayah Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung tersebut. Selain menjanjikan pekerjaan atau mata pencaharian baru bagi masyarakat lokal, juga membutuhkan sarana dan prasarana fisik penunjang sektor kepariwisataan, baik sebagai jawaban atas kontribusi industri pariwisata di wilayah Desa Adat kerobokan, khususnya di sekitar Pura petitenget, juga bagi masyarakat Bali dan pendatang yang mencari penghidupan di wilayah tersebut. Tidak dapat dimungkiri bahwa ketika suatu wilayah, dalam hal ini Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, ketika dikembangkan menjadi kawasan pariwisata, proses yang tidak dapat dihindarkan adalah perubahan atas lingkungan alam di sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan, yakni adanya aktivitas dan kegiatan pengembangan sarana dan prasarana fasilitas pariwisata seperti pembangunan hotel, penginapan, villa, restoran, café, rumah makan, mini market, fasilitas olah-raga, dan sebagainya, serta berbagai bidang usaha atau bisnis yang berhubungan dengan dunia kepariwisataan. Di topang oleh teknologi maju yang digunakan di sekitar Desa Adat kerobokan, khususnya daerah disekitar Pura Petitenget, telah mengubah lingkungan setempat hingga melampaui batas-batas daya dukungnya. Misalnya; pembuatan kolam renang, padang golf, pengambilan air tanah yang sangat berlebihan akibat konsumsi tinggi, pembuangan limbah dari pembangunan sarana fasilitas pariwisata, dan polusi yang terjadi akibat penggunaan teknologi. Di samping pesatnya penggunaan transportasi darat yang menghubungkan satu tempat ke tempat
132
lainnya, menyebabkan kerusakan lingkungan alam sebagai sumber pendukung sektor kepariwisataan. Di sisi lain, rendahnya kesadaran dan pengetahuan masyarakat setempat tentang arti pentingnya lingkungan hidup bagi kelangsungan kehidupannya kelak, telah menyebabkan mereka bertindak tanpa menghiraukan dampaknya ke depan. Meningkatnya minat masyarakat Desa Adat Kerobokan dalam hal kualitas hidup yang semakin modern, menyiratkan asumsi bahwa kebutuhan akan lahan untuk pembangunan berbagai fasilitas fisik akomodasi pariwisata, baik yang berskala besar maupun kecil harus ditingkatkan demi pertumbuhan ekonomi sehingga mendatangkan devisa daerah terkait, meningkatkan pendapatan dan kesejahteraan kehidupan ekonomi masyarakat sekitarnya. Sejalan dengan hal itu, masyarakat lupa bahwa pembangunan fasilitas penunjang pariwisata yang begitu pesat kerap menjadi ancaman bagi lahan-lahan pertanian yang merupakan sumber produksi ekonomi rakyat (petani), yang pada akhirnya cepat atau lambat akan terkikis dan habis. Selain itu dikuatirkan akan terus berpindah tangan ke pemilik modal/kapital, akibatnya akan ada banyak petani setempat kehilangan mata pencaharian pokoknya, dan sudah tentu akan berdampak negatif pada lingkungan alam di wilayah Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget. Selain itu akan berdampak pula terhadap perubahan struktur demografi dan ekologi lingkungan alam di sekitarnya. Di samping hal di atas, juga terjadinya polusi udara dan kemacetan arus lalu lintas akibat frekwensi penggunaan kendaraan bermotor yang tinggi, disebabkan unsur pemusatan wilayah pariwisata dalam hal ini, terfokus pada wilayah Kerobokan dan Petitenget.
133
7.1.3. Dampak Sosial Ada Perubahan Pola Pikir dan Mata Pencaharian Dampak pariwisata terhadap kehidupan sosial masyarakat lokal seringkali tidak segera dirasakan dan diketahui, karena pariwisata itu sendiri bersifat kompleks dan saling berkaitan. Implisitas konflik yang demikian itu cenderung di simpan di dalam benak masyarakat sehingga menunggu waktu yang tepat atas pemunculannya ke permukaan, akibatnya dampak sosial yang muncul lebih dari satu jenis dan bersifat kompleks juga (Anom, dkk. 2010: 197). Bersandar pada pedoman ini, dampak sosial dari pengaruh budaya global yang terbawa oleh pergaulan antarbangsa melalui kegiatan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget, tanpa disadari telah mempengaruhi pola pikir dan karakter/perilaku serta emosional masyarakat lokal akan perubahan yang terjadi di ranah kehidupannya, baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial masyarakat setempat, hal itu disebabkan perubahan pandangan ke arah yang modernis. Dampak sosial atas perubahan tersebut antara lain: 1) Adanya perubahan pola pikir dan karakter masyarakat setempat karena munculnya kreativitas semangat dalam berwirausaha di sektor kepariwisataan. 2) Perubahan struktur pekerjaan utama masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget, dari petani tradisional beralih ke sektor pariwisata karena menjadi wilayah pengembangan industri pariwisata Bali, selain itu semakin terbatasnya lahan pertanian akibat alih fungsi lahan. 3) Berkembangnya pola hidup konsumtif masyarakat lokal karena perubahan pemikiran ke arah modern. 4) Terjadinya perpindahan atau pertambahan penduduk pendatang baru dari luar
134
daerah Bali, akibatnya akan semakin terdesaknya penduduk lokal Bali, juga dalam SDM. Dampak sosial terhadap profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adanya perubahan pola pikir masyarakat Desa Adat Kerobokan yang semakin modern dan ikut berpartisipasi aktif terlibat dalam sektor kepariwisataan di wilayahnya. Masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata akibatnya terjadi perubahan mata pencaharian, serta alih fungsi lahan pertanian karena pengembangan dan pembangunan sarana fisik fasilitas kepariwisataan. Masyarakat lokal semakin semangat dalam berwirausaha dengan membuka rumah makan, restoran, café, penginapan, laundry, mini market, dan sebagainya. Masyarakat setempat mulai memanfaatkan pekarangan halaman rumah mereka untuk disewakan atau dipakai sendiri sebagai tempat usaha/bisnis sehingga menambah penghasilan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup. Semakin bertambahnya fasilitas akomodasi kepariwisataan di wilayah Desa Adat kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, semakin mempermudah akses masuknya wisatawan ke daerah ini, sehingga peluang Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya semakin populer dan sering dikunjungi wisatawan mancanegara. Masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini mulai berpikir dinamis dan modern karena kesempatan dan peluang yang terbentuk semakin berkembang sehingga melahirkan kreativitas dan motivasi untuk memanfaatkan dan mendayagunakan sumber daya budaya lokal untuk memacu pertumbuhan ekonomi masyarakat setempat dalam menyambut industri pariwisata global.
135
7.1.4. Dampak Budaya Terjadi Komersialisasi Bangunan Suci Konsekuensi logis bagi suatu daerah yang secara sengaja membuka diri untuk pariwisata, adalah masuknya berbagai pengaruh kebudayaan asing ke dalam lingkungan kebudayaan tuan rumah. Pengaruh kebudayaan asing akan terasa kian meningkat ketika industri pariwisata menuntut adanya fasilitas-fasilitas dan layanan internasional dengan standar internasional, ini berarti masuknya unsurunsur budaya global yang tidak bisa dihindarkan sebagai akibat kontak lintas budaya antara tuan rumah dengan wisatawan dan kelompok pendatang pencari kerja (Pujaastawa, dkk. 2008: 31). Melihat dari pandangan ini, dapat dikatakan bahwa perkembangan pariwisata di Desa Adat kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget sebagai daerah baru yang membuka diri terhadap industri pariwisata Bali, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk, seperti; terjadinya tukar-menukar kebudayaan antara wisatawan dengan masyarakat setempat. Contohnya, wisatawan mancanegara dapat lebih banyak mengenal kebudayaan masyarakat lokal serta lingkungan budaya yang lain, sedangkan penduduk lokal juga dapat mengetahui tempat-tempat lain dari cerita wisatawan. Dampak budaya yang terjadi dalam pembangunan pariwisata Bali, adalah menimbulkan adanya kegairahan penggalian, pemeliharaan, dan pengembangan aspek-aspek kebudayaan lokal akan tetap terpelihara dan lestari (sustainable). Tentu saja hal tersebut memberikan efek ganda yaitu bertambahnya pendapatan masyarakat setempat dari kegiatan ini sebagai konsumsi bagi wisatawan karena sumber daya budaya tersebut dianggap sebagai objek wisata budaya dengan daya tarik tersendiri, selain itu dapat menjaga kelestarian aspek-aspek kebudayaan dan
136
warisan budaya itu sendiri. Berpandangan terhadap hal ini, dampak budaya atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni adanya kegairahan masyarakat Desa Adat Kerobokan untuk menggali potensi sumber daya budaya lokal yang dimilikinya, memelihara dan mengembangkan Pura Petitenget sebagai warisan budaya yang diwariskan secara turun-temurun, serta mendayagunakannya sebagai daya tarik wisata cagar budaya agar tetap terjaga, terpelihara dan terlestarikan, sehingga semakin menarik dan dikunjungi wisatawan mancanegara. Selain itu juga memberikan penambahan pendapatan untuk pelestarian dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat setempat sebagai akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Semakin banyak jumlah wisatawan yang berkunjung ke suatu daerah maka dampak kultural/budaya yang ditimbulkannya terhadap masyarakat lokal dan objek wisata bersangkutan juga akan semakin besar (Ardika, 2007: 104). Berorientasi pada hal tersebut, maka dampak budaya terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni di sini terlihat jelas terjadinya proses penurunan kualitas nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan suci/pura, dalam hal ini Pura Petitenget, yang difungsikan sebagai daya tarik wisata cagar budaya untuk wisatawan. Selain itu adanya interaksi masyarakat lokal dengan wisatawan mancanegara yang sering mengunjungi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya, di mana wisatawan asing dengan leluasa bisa
137
masuk hingga ke halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget untuk mengenal lebih dekat sumber daya budaya lokal ini. Ada hal-hal yang harus diperhitungkan, karena apabila suatu pura sebagai tempat suci dijadikan sebagai obyek wisata cagar budaya, dalam konteks ini Pura Petitenget itu sendiri, maka bisa menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilainilai kesakralan/religiusitas tempat suci tersebut akibat pengembangan pariwisata budaya. Kemungkinan bisa saja terjadi, kedatangan penduduk lokal atau pamedek yang bersembahyang ke Pura Petitenget, bertemu dengan wisatawan mancanegara yang berkunjung ke pura ini, yang secara bersamaan masuk ke dalam jeroan Pura Petitenget. Ketika hal itu terjadi kemungkinan dapat membuat penduduk lokal atau pamedek yang sedang bersembahyang di dalam Pura Petitenget menjadi tidak konsentrasi atau kurang nyaman. Hal ini merupakan dampak budaya yang terjadi, sehingga mengakibatkan menurunya nilai kebudayaan lokal tersebut karena komersialisasi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya sehingga mengakibatkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat kerobokan dalam konteks pariwisata budaya, karena telah mengubah nilai utamanya sebagai tempat suci, bergeser menjadi objek wisata budaya yang dikomoditikan dan dikomersialkan sehingga dikonsumsikan bagi wisatawan mancanegara. Di mana masyarakat lokal ingin menyuguhkan sesuatu yang diinginkan wisatawan, disadari atau tidak, masyarakat lokal sebagai pemilik warisan budaya ini sudah terlalu mengkomersialkan atau mengeksploitasikan sumber daya budaya yang dimilikinya. Sehingga tanpa sadar, mereka telah mengurangi dan mengubah sesuatu yang khas dari kebudayaan itu sendiri, bahkan
138
menggeser atau menurunkan nilai dari sumber daya budaya tersebut, yakni Pura Petitenget itu sendiri, yang seharusnya tetap terjaga, terlestari dan terpelihara baik agar tetap bernilai religius atau sakral akhirnya bergeser menjadi ruang profan. 7.2 Makna Profanisasi 7.2.1 Makna Kesucian Pura Pandangan tentang makna kesucian Pura sebagai tempat suci yang sakral adalah bermakna sebagai tempat suci yang memiliki unsur-unsur kesucian serta dapat menggetarkan kesucian Sang Hyang Atman yang bersemayam di dalam jiwa setiap individu. Di samping berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kesucian umat manusia secara individu, yang berfungsi untuk mengkomunikasikan Sang Hyang Atma yang ada pada diri manusia dengan Tuhan Yang Maha Esa sebagai sumbernya. Pura sebagai tempat suci juga dapat difungsikan sebagai sarana untuk meningkatkan kualitas kesucian umat manusia sebagai manusia sosial. Pura sebagai tempat suci berfungsi sebagai sarana untuk meningkatkan berbagai macam keterampilan umat manusia, dan sebagai tempat untuk melaksanakan upacara-upacara keagamaan yang bersifat ritual dan ritus. Kesucian Pura tidak hanya perlu dijaga pada saat adanya upacara-upacara keagamaan (pujawali) saja, melainkan setiap hari, kesucian pura sebagai tempat dan ruang suci harus tetap terjaga, baik oleh para Jero Mangku yang bersangkutan perlu memperhatikannya dengan seksama, maupun juga oleh masyarakat lokal sebagai pengempon atau penyungsungnya. Jika terjadi sesuatu yang melanggar akan kesucian pura tersebut, maka perlu segera diadakan upacara pembersihan atau penyucian dengan melaksanakan upakara pecaruan penyucian.
139
Dalam kaitannya dengan fungsi pura sebagai tempat atau ruang suci, hal ini berdasarkan pada falsafah ruang dari ajaran Tat Twam Asi dalam agama Hindu, Tat Twam Asi berarti “itu adalah aku”. Inti ajaran Tat Twam Asi adalah menjaga keharmonisan dalam kehidupan terhadap segala bentuk ciptaan Tuhan, termasuk dunia ini. Ajaran Tat Twam Asi mengandung makna konsep ruang dalam keseimbangan kosmos (balance cosmologi), dalam hal ini ruang makro (Bhuwana Agung) senantiasa harus seimbang dengan ruang mikro (Bhuwana Alit). Di dalam makrokosmos, terdapat tiga struktur ruang secara vertikal yang dianalogikan sebagai tiga dunia (Tri Bhuwana). Struktur ruang Tri Bhuwana atau Tri Loka ini terdiri dari; Bumi dan alam lingkungannya sebagai “alam paling bawah” disebut Bhur loka, “alam tengah” adalah alam roh-roh suci disebut Bhuwah loka, dan “alam atas” adalah alam para Dewa disebut Swah loka (MenujuPencerahan.http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologipura.html. Tanggal 11 May 2013). Dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan” karya Mircea Eliade, Eliade mendiskripsikan dua macam perbedaan mendasar dari ruang pengalaman manusia, antara; manusia tradisional dan manusia modern. Di mana manusia tradisional atau homo religius selalu terbuka untuk memandang dunia sebagai pengalaman ruang yang sakral, manusia religius mendapatkan dalam dirinya kesucian yang sama dengan yang dia temukan di dalam dunia kosmos. Sedangkan manusia modern tertutup bagi pengalaman-pengalaman yang bersifat sakral, di mana manusia profan atau manusia non-religius mendapatkan bahwa segala sesuatu telah didesakralisasi atau diprofanisasi, artinya; akan merusak sekaligus
140
juga memiskinkan karena semua tindakan dan kejadian telah tercabut dari signifikansi spiritualnya. Manusia tradisional seringkali mengekspresikan pertentangan ini sebagai ruang dunia nyata melawan (versus) ruang tidak nyata, artinya manusia tradisional berusaha sebisa mungkin untuk hidup dalam ruang yang sakral agar sepenuhnya dapat menghempaskan dan menyempurnakan dirinya dalam realitas. Menurut Eliade, yang sakral diketahui oleh manusia tradisional karena mereka memanifestasikan dirinya secara berbeda dari dunia profan. Tempat dan ruang sakral menjadi kiblat atau acuan utama bagi ruang lainnya. Di mana manusia mendiami sebuah dunia tengah (midland), diantara dunia-luar yang kacau, yang diperbaharui lagi oleh praktik-praktik duniawi, dan dunia-dalam yang sakral, penuh dengan ritual sakral/ritus. Dalam hal ini ritual mengambil tempat dalam ruang sakral ini, di mana tempat dan ruang suci menjadi satu-satunyanya penghubung dan cara partisipasi masuk ke dalam kosmos yang sakral ketika berupaya menghidupkan dan menyegarkan kembali dari dunia profan. Selanjutnya Eliade mengaitkan “waktu sakral” dengan mitologi, di mana waktu sakral adalah waktu perayaan, yang membutuhkan tempat dan ruang suci, adalah kembali kepada waktu mistis, kembali kepada permulaan, manakala segalanya nampak lebih “nyata” daripada keadaan sekarang, dan waktu sakral digerakkan kembali dengan menjadikannya baru kembali. Sedangkan “waktu profan” adalah linear atau sejajar, di mana manusia modern cenderung merasa dan melihat bahwa semua ruang dan tempat adalah sama, manusia modern selalu memandang waktu profan adalah keseluruhan hidupnya, dan ketika mereka meninggal atau
141
meninggalkan dunia ini hidupnya juga ikut binasa atau mati (Sumber: http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakraldan-profan-karya-mercia-eliade/ Tanggal 3 Maret 2013). Berorientasi terhadap hal-hal di atas, maka makna Pura Petitenget dalam konteks sebagai tempat suci, dalam arti luas mempunyai makna kegunaannya sebagai tempat suci, sarana pemujaan bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya, bersifat nuansa kosmologi yang dilandasi pandangan pentingnya hubungan antar manusia dengan sang pencipta (parhyangan), merupakan ekspresi dari hubungan manusia dengan lingkungan spiritual yang sekaligus merupakan refleksi dari hakikat manusia sebagai homo religius, yakni makhluk yang memiliki keyakinan akan adanya kekuasaan adikodrati atau super natural, sebagai salah satu upaya untuk mencapai kesejahteraan hidup bathiniah. Maka manusia senantiasa berusaha untuk menjaga interaksi yang harmonis dengan lingkungan spiritualnya, dalam hal ini fungsi Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang suci, sebagai sarana penghubung antara dunia kosmos dengan dunia manusia. Namun ketika makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, dimasukan ke dalam konteks nilai dan makna sebagai suatu benda komoditas yang bersifat lebih kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi nilai dan makna religius sebagai tempat dan ruang suci pemujaan semakin dipinggirkan, lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran penilaian industri dan jasa demi kepuasan para wisatawan. Akibatnya terjadi pergeseran nilai dan makna kesucian Pura Petitenget ini dari fungsi asli atau utamanya sebagai tempat suci yang disakralkan, tetapi bergeser menjadi benda
142
yang dikomersialisasikan. Di mana fungsinya sebagai warisan budaya diposisikan sebagai objek wisata yang menarik minat wisatawan mancanegara untuk mengunjunginya sebagai objek wisata cagar budaya, sehingga terjadi proses eksploitasi kultural, yang dapat mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian atau religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali sehingga mengalami pergeseran nilai dan makna, yang berfungsi menjadi tempat dan ruang profan. Perubahan pada dimensi nilai, ruang dan makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, dalam konteks pariwisata budaya di Bali, di sini terletak pada perubahan fungsi utamanya sebagai tempat dan ruang suci pemujaan dalam makna penuh religiusitas bergeser menjadi benda komoditi sebagai objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan. Di mana kehidupan industri dan jasa dalam kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim relatif yang bersifat ke pemikiran rasional dan modern secara keseluruhan terhadap pandangan atas kegunaan asli atau utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual, di mana merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis” karena riwayat sejarahnya yang panjang dan unik, ke perubahan yang bersifat ke arah yang lebih ke pemikiran universal modern dan ekonomis, yang pada akhirnya membawa berbagai macam persoalan budaya global yang masuk ke dalamnya, dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya. Hal tersebut telah menyebabkan terjadinya perubahan nilai dan makna kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci dengan memberi nilai dan makna yang memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif
143
penggalian, pemeliharaan dan pemberdayagunaan atas tinggalan pusaka budaya tersebut untuk menghasilkan dana sebagai bentuk upaya pelestarian sumber daya budaya ini. Tanpa melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam konteks pariwisata budaya sehingga bersenyalemen terjadinya profanisasi akibat kesalahan atau kelemahan dalam perencanaan dan pengawasan pelaksanaan kebijakan publik, serta terjadinya eksploitasi kultural/budaya untuk kepentingan industri pariwisata budaya di wilayah Desa Adat kerobokan khususnya. 7.2.2 Makna Ritual Makna ritual yang dimaksudkan di sini, mempunyai konotasi ruang lingkup yang bersifat nilai dalam kereligiusan atau ritus, yang didasarkan atas hubungan dan tempat dalam situasi perbuatan sebagai lambang atau peristiwa terhadap lingkungan tertentu di dalam melaksanakan upacara keagamaan. Makna ritual selalu berkaitan dengan kereligiusan atau ritual (ritus) upacara keagamaan, bagaimana masyarakat melaksanakan dan menjalankan ritual-ritual upacara keagamaan, dan aspek kepercayaan kepada kekuatan kosmologi alam dan keajaiban di luar dari diri manusia. Mircea Eliade (1907-1986) dalam buku fenomenal “Sakral dan Profan” menjelaskan, bagaimana bentuk sakralitas alam dan agama kosmik selalu mengungkapkan sesuatu di luar dirinya, tidak semata-mata alami namun dunia adalah simbolis atau transparen; antara dunia dewa-dewa yang bersinar terang melalui dunianya, dan alam raya dilihat sebagai sebuah semesta yang tertata dan memanifestasikan modalitas yang berlainan dari yang sakral. Bagaimana upacara penyucian memungkinkan manusia tradisional yang religius untuk hidup dalam
144
eksistensi yang terbuka, ini berarti manusia tradisional mengarungi kehidupannya dalam dua dunia. Di mana manusia hidup dalam dunia kesehariannya, yaitu kehidupan duniawi yang profan, namun juga berbagi hidup di luar dari dunia hidupnya sehari-hari, yakni kehidupan kosmos atau dewa-dewa dari dunia yang sakral. Dunia yang ganda ini, yakni, dunia dari kehidupan manusia sehari-hari, dan dunia kehidupan kosmis ini secara tepat terekspresikan dalam pengalaman manusia tradisional itu sendiri dan tempat tinggal mereka sebagai mikrokosmos atau semesta kecil. Manusia tradisional menyucikan hidupnya dengan serangkaian ritual-ritual atau upacara keagamaan yang bersifat ritus sebagai bentuk ekspresi dirinya menuju ruang dan waktu dari yang profan menuju ke ruang dan waktu yang sakral (ataupun sebaliknya), atas hilangnya pengalaman-pengalaman spiritual yang dirasakan manusia sebagai akibat dari kehidupan modernisme yang dihadapi
dan
dilaluinya
terhadap
kehidupan
sehari-hari
(Sumber:
http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membaca-nalar-studi-agama-sakraldan-profan-karya-mercia-eliade/). Agama, adat, dan seni-budaya di Bali mempunyai hubungan yang sangat erat dan tidak dapat dipisahkan dari kehidupan sehari-hari dalam upacara keagamaan masyarakat Bali. “Pura” sebagai tempat suci pemujaan bagi umat Hindu dalam menjalankan ajaran agamanya juga tidak terlepas dari pengaruh tersebut. Berbagai bentuk upacara keagamaan atau ritual yang berhubungan dengan “piodalan” (upacara ritual keagamaan) di pura selalu dilakukan di dalam pura sebagai tempat pemujaan dan permohonan. Makna ritual dalam upacara keagamaan bagi umat Hindu adalah rangkaian tindakan atau perbuatan yang
145
terkait dengan aturan-aturan tertentu menurut adat atau agama. Dalam suatu upacara yang terkait dengan aturan adat dan agama, seperti upacara ritual (ritus), sembahyang, upacara kurban, persembahan, dan lain-lain, selalu dilaksanakan di tempat suci atau pura. Ritual selalu dimaknai sebagai suatu nilai yang bersifat ritus atau yang berkenaan dengan hal-hal yang bersifat religius, misalnya, tarian suci keagamaan yang hanya dipentaskan di dalam pura sebagai bentuk gerakan pemujaan kepada Sang Pencipta, contohnya; tarian wali, Sanghyang Dedari. Sedangkan makna ritual “pura” sebagai tempat suci, yakni sebagai tempat sarana mempersembahkan upacara keagamaan dan upacara penyucian dengan segala bentuk simbol-simbolnya yang bersifat ritus penuh dengan makna kereligiusan sebagai bentuk rasa syukur umat kepada Sang Pencipta. Upacara keagamaan dalam agama Hindu, khususnya upacara piodalan di pura, pada tiap hari raya piodalan tempat-tempat suci dan pada hari-hari tertentu, orang-orang mengadakan upacara persembahyangan yang disertai pula dengan upacara banten dan upacara penyucian, persembahyangan ini ada yang dilakukan sendiri-sendiri dan ada pula yang dilakukan secara bersama-sama. Ritual di dalam pura ini merupakan kepercayaan kepada kesakralan sesuatu dan menuntut hal-hal yang “sakral” diperlakukan secara khusus yang tidak dapat dipahami secara ekonomi dan rasional, seperti cara perlakuan terhadap sesuatu yang di”sakral”kan di dalam pura, segala sesuatu yang dihubungkan atau disangkutkan dengan kesucian lahir dan bathin antara manusia dengan Sang Pencipta, memusatkan perhatian pada penyembahan pujaan-pujaan yang menjadi tempat kesatuan antara dunia ilahi dan dunia manusiawi, sebagai tempat penghubung dalam
146
mempersembahkan upacara kurban keagamaan yang bersifat ritus. Makna upacara keagamaan atau ritual yang dilaksanakan di dalam pura, baik saat piodalan maupun pada hari-hari tertentu yang berhubungan dengan hari raya umat Hindu, bukan hanya suatu persembahan, tetapi juga suatu bentuk penyucian diri, yaitu suatu perpindahan dari yang profan kepada yang sakral, yang mengubah bentuk nilai dan makna upacara kurban yang dipersembahkan maupun orang yang mempersembahkannya. Melalui upacara ritual kurban yang bersifat ritus itulah komunikasi berlangsung antara yang sakral dan yang profan di bangun, atau sebaliknya antara yang profan menuju ke yang sakral, yang juga merupakan suatu tindakan penghormatan kepada Sang Pencipta dengan persembahan peribadahan upacara ritual (Sumber: http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dankebaktian.html. Tanggal 6 April 2013). Berorientasi terhadap hal-hal tersebut, makna profanisasi atas pemanfaatan Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di mana “makna ritual” mengambil alih secara filosofis atas keberadaan Pura Petitenget yang berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya, dibersihkan kembali dengan bentuk upacara ritual penyucian yang bersifat ritus. Ketika ruang dan waktu Pura Petitenget berfungsi sebagai tempat suci bergeser yaitu saat Pura Petitenget difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya untuk wisatawan asing karena komersialisasi tempat suci, dan menjadi nilai ekonomis demi pelestarian dan pemeliharaan pusaka budaya ini, serta meningkatkan taraf kesejahteraan masyarakat setempat. Dalam hal ini, maka makna sakral bergeser ke profan, dan proses profanisasi berjalan seiring waktu, saat ruang Pura Petitenget dibentuk dan
147
difungsikan sebagai warisan budaya yang diberdayakan dan dilestarikan sebagai objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali. Sedangkan waktu dan ruang Pura Petitenget berfungsi kembali ke makna utama aslinya sebagai tempat suci, ketika adanya aktivitas dan kegiatan upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget sedang berlangsung. Di sini kembali “makna ritual” menjadi filosofis yang dihubungkan atau disangkutkan dengan upacara-upacara ritual keagamaan yang bersifat ritus untuk penyucian diri dalam bentuk upacara kurban atau upakara pecaruan penyucian untuk menyucikan kembali Pura Petitenget menuju ke fungsi utamanya sebagai tempat/ruang suci untuk melaksanakan upacara ritual, maka akan menjadi “sakral”, mempunyai makna mengembalikan lagi kesakralan Pura Petitenget ke bentuk awal/semula sesuai dengan bentuk aslinya sebagai tempat suci umat dalam menjalankan ajarannya. Berpandangan terhadap hal tersebut, sesuai dengan apa yang dituturkan oleh Jero Mangku Made Widra (62 tahun) sebagai Pemangku Pemucuk (utama) Pura Petitenget, petikan wawancaranya adalah sebagai berikut: “...mengembalikan kesucian Pura Petitenget sebagai tempat suci, yaitu saat berlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) di pura, maka diadakan upacara penyucian dengan banten upakara pecaruan. Upacara penyucian ini dilakukan sehari sebelum puncak piodalan pura, hal itu dimaksudkan untuk mengembalikan makna kesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya sebagai tempat suci. Apabila kegiatan upacara keagamaan (pujawali) telah selesai, maka kembali wisatawan bisa mengunjungi pura”. (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Hal yang sama juga disampaikan oleh Anak Agung Putu Sutarja (42 tahun) sebagai Bendesa Adat Kerobokan, petikan wawancaranya sebagai berikut: “...untuk mengembalikan kesucian Pura Petitenget, yakni saat berlangsungnya upacara keagamaan (odalan/piodalan) di Pura Petitenget, wajib dilakukan upacara pembersihan, yaitu upacara
148
penyucian dengan banten upakara pecaruan. Upacara dilaksanakan sehari sebelum puncak upacara piodalan pura. Hal ini bertujuan mengembalikan makna kesucian pura secara niskala dan sekala. Ketika upacara piodalan di pura telah selesai, dipersilahkan kembali para wisatawan untuk berkunjung ke Pura Petitenget”. (Wawancara, Minggu 5 Mei 2013). Ungkapan dari kedua informan di atas, memberikan gambaran bahwa makna yang sakral terjadi pada saat adanya upacara ritual keagamaan (odalan/ piodalan) yang berlangsung di dalam Pura Petitenget, dengan melakukan upacara ritual yang bersifat ritus, penuh dengan makna kesakralan, yang hanya bisa dilaksanakan dan dilakukan oleh masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai manusia religius dalam berhubungan dengan dunia kosmologi dengan Sang Pencipta. Tampak di sini “makna ritual” adalah dalam bentuk upacara penyucian yang dilaksanakan di Pura Petitenget, yakni ketika berlangsungnya upacara keagamaan (pujawali) yang bersifat ritus dengan mempersembahkan upacara ritual penyucian diri berupa banten upakara pecaruan sebagai simbol filosofis untuk mengembalikan kembali makna kesucian Pura Petitenget ke fungsi awalnya sebagai tempat/ruang suci sarana pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Di sini upacara “ritual”, mempunyai arti dan makna filosofis sebagai penghubung untuk suatu upacara persembahan suci, sebagai bentuk penyucian diri untuk membersihkan dan mengembalikan fungsi Pura Petitenget sebagai tempat suci agar kembali ke fungsi awalnya sebagai tempat ruang pemujaan ke hadapan Tuhan Yang Maha Esa. Hal ini bermakna sebagai suatu perpindahan dari yang profan kepada yang sakral, agar mereka kembali memanifestasikan dirinya secara berbeda dari keadaan sebelumnya. Sementara makna yang profan terjadi ketika tidak ada aktivitas atau tidak berlangsungnya kegiatan upacara keagamaan
149
(odalan/piodalan) yang bersifat ritual di dalam Pura Petitenget, maka kembali dunia profan dengan motif nilai ekonomi berperan di sini, dengan memfungsikan kembali Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya untuk mendapatkan nilai material untuk penambahan pendapatan pemeliharaan demi pelestarian pusaka budaya ini, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat sekitarnya tanpa menghilangkan makna asli dari fungsi Pura Petitenget sebagai tempat suci umat. Orang-orang Bali tahu dengan jelas batas antara yang sakral dengan yang profan, batas antara apa yang dapat dijual dan apa yang harus dilindungi sekuat tenaga, hal tersebut sesuai pendapat Maurer (Maurer, dalam Picard, 2006: 179). Berorientasi dari pemikiran ini maka dapat dikatakan bagaimana masyarakat Bali memisahkan antara yang sakral dengan yang profan, bagaimana mengetahui batas mana yang boleh di“profan”kan dan batas bagian mana yang harus tetap di”sakral”kan dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali. Kehidupan masyarakat Bali yang memeluk budaya kolektivis, budaya di mana melakukan sesuatu secara bersama-sama (gotong-royong), bertemu dan berinteraksi dengan wisatawan mancanegara yang membawa budaya global atau individualis, artinya budaya di mana melakukan sesuatu secara sendiri, atau dapat juga di sebut budaya religius berhadapan dengan budaya modernis, atau homo religioustus bertemu dengan homo economicus. Perpaduan antara homo religioustus dari masyarakat tradisional Bali dan homo economicus dari wisatawan mancanegara telah menghasilkan atau menciptakan dua dunia yang berbeda bagi orang Bali, yakni, dunia tradisi/tradisional dan dunia modern/internasional, atau biasa dikatakan sebagai dunia yang sakral dan dunia yang profan.
150
Demikian juga terhadap pemanfaatan dan pengelolaan Pura Petitenget sebagai warisan budaya di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, di mana masyarakat Desa Adat Kerobokan sebagai pemilik pusaka budaya ini tahu dengan jelas dan pasti batas mana yang harus tetap di”sakral”kan dengan budaya kolektivis atau budaya religiusnya untuk tetap mempertahankan dunia tradisionalnya, yaitu ketika berlangsungnya upacara ritual keagamaan saat odalan/piodalan di Pura Petitenget, maka kembali fungsi pura sebagai tempat suci menjadi otoritas mutlak yang berperan di sini, dengan tidak diperbolehkannya pengunjung/wisatawan mancanegara memasuki areal Pura Petitenget selama berlangsungnya prosesi ritual upacara keagamaan di pura ini. Begitu juga halnya batas mana yang boleh di”profan”kan dengan memberi ruang dan waktu bagi budaya modernis untuk wisatawan mancanegara dengan dalil motif ekonomi, yaitu ketika kegiatan ritual upacara keagamaan di dalam Pura Petitenget telah selesai dari keseluruhan prosesi ritual upacara keagamaan, maka kembali Pura Petitenget berfungsi menjadi objek wisata cagar budaya yang dikomersialkan dengan segala aturan yang sudah ditetapkan. 7.2.3 Makna Susila/Etika Makna susila/etika merupakan hal-hal tentang yang baik dan yang buruk, tentang hak dan kewajiban moral atau akhlak (Alwi, 2001: 309). Sehubungan dengan pengertian tersebut, maka makna susila/etika dalam hal ini, bagaimana menjaga hubungan yang baik dan harmonis antara dunia agama dan budaya dengan dunia pariwisata, sehingga tetap terjaganya kesucian pura agar terpelihara dengan baik, saling memberi pengertian, dan menumbuhkan toleransi terhadap
151
norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan agama dan adat istiadat setempat. Makna susila/etika dalam agama Hindu merupakan kerangka dasar yang memegang peranan penting bagi tatanan kehidupan manusia sehari-hari, realitas hidup bagi seseorang dalam berkomunikasi dengan lingkungannya. Makna susila/ etika adalah acuan penting dalam berperilaku secara individu dan bermasyarakat, bagaimana seseorang menempatkan dirinya dalam berperilaku sesuai dengan tempatnya, bagaimana berperilaku melaksanakan dan menjalani rasa cinta kasih pada diri sendiri maupun menghargai orang lain. Kata “susila” berasal dari dua suku kata, yaitu; “su” yang berarti baik, indah dan harmonis. Sementara “sila” yang berarti perilaku atau tata laku. Jadi susila adalah tingkah laku manusia yang baik, yang terpancar sebagai cerminan objektif kalbu dalam mengadakan hubungan dengan lingkungannya. Berpandangan dari pengertian di atas, maka pengertian makna “susila/etika” menurut pandangan agama Hindu merupakan nilai-nilai serta norma-norma moral dalam berperilaku yang menjadi pegangan seseorang atau suatu kelompok masyarakat dalam mengatur tingkah laku timbal balik yang selaras dan harmonis antara sesama manusia dengan alam semesta (lingkungan) yang berdasarkan atas korban suci (yadnya) keikhlasan dan kasih sayang. Dalam hal ini pengertian makna susila/etika dirumuskan sebagai suatu sistem nilai yang bisa berfungsi baik dalam kehidupan manusia perseorangan maupun
pada
taraf
kehidupan
sosial
bermasyarakat
http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/ Tanggal 8 Mei 2013).
(Sumber:
152
Tujuan dari makna susila/etika di dalam agama Hindu dilihat dari konteks ketika manusia menyatukan diri dengan Sang Pencipta adalah untuk menyadari keberadaan diri yang sebenarnya, sehingga kesadaran akan diri sejati sebagai manusia untuk menginsyafkan dan menyadarkan akan adanya “Brahman” (Sang Hyang Widhi Wasa) yang kekal sebagai tujuan utama dari penjelmaan “Atman” dengan badan manusia ke dunia ini, dan tempat untuk menyatukan secara filosofis dan kosmologis atas keberadaan tersebut adalah ketika manusia berkonsentrasi memusatkan pikiran menyatukan diri dengan Sang Pencipta saat bersembahyang di tempat dan ruang suci, dalam hal ini adalah “pura” sebagai tempat suci pemujaan tersebut. Selanjutnya, makna susila/etika diarahkan untuk tujuan-tujuan yang positif, serta bermanfaat, dengan simbol-simbol yang diciptakan oleh manusia dan digunakan secara bersama-sama, teratur, rapi, dan bersih. Salah satu simbol dari makna susila/etika itu yakni dalam tata cara berbusana yang sopan dan pantas, rapi dan bersih, sesuai dengan kaidah adat dan norma agama Hindu, ketika manusia menghubungkan diri kehadapan Sang Pencipta di dalam pura sebagai sarana tempat suci saat mengorientasikan diri manusia dan berinteraksi kepada lingkungan yang bersih dan suci, ataupun memasuki pura sebagai tempat/ruang suci, maka hal ini berfungsi sebagai makna susila/etika, baik dalam berpakaian, berperilaku, dan berbicara yang sopan dan pantas sesuai dengan adat istiadat masyarakat tradisional yang religius. Kaitanya dalam dunia pariwisata dengan makna susila/etika berbusana yang sopan dan pantas, rapi dan bersih dalam adat dan agama Hindu, adalah perbedaan pandangan dan pola pikir masyarakat negara maju atau
153
masyarakat wisatawan yang berbeda dengan masyarakat lokal atau masyarakat tradisional tentang makna susila/etika dalam berpakaian ketika memasuki pura sebagai tempat/ruang suci, dan waktu berinteraksi dengan Sang Pencipta saat bersembahyang di dalam pura, ada aturan yang harus dipatuhi oleh masyarakat tradisional. Atas hal itu, para wisatawan mancanegara yang mengunjungi Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya, telah membawa budaya globalnya untuk masuk di dalamnya, dengan pola berpakaian wisatawan yang bebas dan tidak sesuai aturan norma dan adat masyarakat tradisional, menjadi salah satu dampak terjadinya penurunan nilai terhadap makna susila/etika tentang tata cara berbusana yang baik dan sopan ketika memasuki Pura Petitenget sebagai tempat/ ruang suci. Hal ini telah menyebabkan terjadinya profanisasi atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, badung, dalam industri pariwisata Bali. Sesuai dengan yang ditemukan di lapangan, Budaya global yang di bawa oleh wisatawan mancanegara, karena keterbatasan waktu yang dimilikinya ketika mengunjungi objek wisata cagar budaya Pura Petitenget telah mempengaruhi nilai dan makna susila/etika yang baik dan sopan akan moralitas mengenai berbusana ketika memasuki pura sebagai tempat suci. Tatanan cara berpakaian wisatawan mancanegara, khususnya wanita, ketika mengunjungi Pura Petitenget hingga memasuki halaman tersuci (jeroan) Pura Petitenget sebagian besar lebih mengarah pada pola berpakaian yang modernis, dengan busana atas yang sedikit terbuka, sehingga memberi kesan menonjolkan keseksian atau memperlihatkan bentuk tubuh, hal ini tidak sesuai dengan norma susila/etika yang baik dalam berbusana
154
ke pura sebagai tempat suci. Di sadari atau tidak, hal tersebut telah menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kesucian Pura Petitenget dalam nilai dan makna susila/etika berbusana yang tidak mencirikan budaya tradisional, apalagi para wisatawan tersebut dengan leluasa bisa masuk hingga sampai ke areal tersuci (jeroan) Pura Petitenget. Memandang terhadap hal tersebut, pihak pengelola Pura Petitenget telah berusaha untuk meminimalisasikan dengan menjelaskan aturan dan larangan sesuai dengan yang tertulis di papan pengumuman di halaman luar/ depan (jaba) Pura Petitenget, namun tidak dapat menolak keinginan wisatawan untuk mengunjungi dan memasuki Pura Petitenget dengan pola berbusana wisatawan mancanegara yang modernis tersebut. Hal ini merupakan konsekuensi nyata yang harus dihadapi akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata budaya Bali, sehingga menyebabkan terjadinya penurunan kualitas kesakralan Pura Petitenget dalam nilai dan makna susila/etika tentang tata cara berperilaku dalam berbusana yang baik dan sopan ketika memasuki pura sebagai tempat/ruang suci. 7.2.4 Makna Kesejahteraan Makna kesejahteraan yang dimaksudkan di sini adalah menunjukkan kepada kesejahteraan sosial kehidupan manusia, yaitu tercukupinya segala kebutuhan material dan non-material. Dalam istilah umum, kesejahteraan menunjuk kepada “keadaan yang baik”, kondisi manusia di mana orang-orangnya dalam keadaan makmur, dalam keadaan sehat dan damai, dalam hal ini kesejahteraan berhubungan dengan hal-hal atau keadaan sejahtera, keamanan, keselamatan, kemakmuran, dan ketenteraman (Alwi, 2001: 1011). Dalam
155
ekonomi, kesejahteraan dihubungkan dengan keuntungan benda atau materi yang menghasilkan nilai uang. Kesejahteraan memiliki arti khusus secara ekonomi kesejahteraan, yakni dalam istilah fungsi kesejahteraan sosial, yang menunjukkan keterjangkauan pelayanan untuk memenuhi kebutuhan masyarakat, yang dimaksud dengan kesejahteraan sebagai sebuah keadaan adalah kesejahteraan yang meliputi jasmaniah dan rohaniah, yang memberi kesempatan untuk memperkembangkan seluruh kemampuan dan untuk meningkatkan kesejahteraan sesuai dengan kebutuhan-kebutuhan dan keperluan keluarga dan masyarakat, yang mencerminkan bahwa manusia adalah makhluk sosial yang harus saling membantu agar menciptakan suasana yang harmonis dan sejahtera. Berpandangan terhadap hal di atas, tidak berlebihan apabila perkembangan pariwisata di Desa Adat kerobokan dimasukkan ke dalam makna kesejahteraan dengan kaidah ekonomi untuk mencapai target meningkatkan kesejahteraan masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget. Makna kesejahteraan dalam hal ini berkaitan dengan kebahagiaan lahir dan bathin dalam arti luas, sejauhmana masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget, serta para pengurus/pengelola Pura Petitenget, mengalami dan merasakan makna kesejahteraan itu di dalam kehidupan sosial ekonominya. Bagaimana proses kehidupan mereka mengalami suatu perubahan dalam konteks sejahtera, dari yang kehidupan sederhana menuju kepada perbaikan yang lebih baik dari kehidupan sebelumnya. Kesejahteraan yang dimaksudkan di sini tidak hanya di ukur dari faktor fisik semata melainkan juga di ukur dari faktor kejiwaan.
156
Perkembangan industri pariwisata di Desa Adat Kerobokan, khususnya di sekitar Pura Petitenget menjadikan penduduk lokal mulai mengubah lahan pertanian mereka ke arah sektor pariwisata, sehingga terjadi pengurangan tanah pertanian akibat alih fungsi lahan ke bentuk bangunan fisik sarana fasilitas kepariwisataan, adanya penjualan tanah lahan pertanian dan tidak berfungsinya sistem subak (pengairan) di lingkungan sekitarnya. Di mana penduduk lokal mulai mengembangkan modal yang mereka miliki ke bidang sektor pariwisata, tetapi mereka kehilangan lahan pertanian sebagai penghasilan dan pekerjaan utama mereka. Selain itu adanya persaingan dalam modal yang besar dengan kapitalis dari luar Bali menyebabkan penduduk lokal tidak mampu bersaing, bahkan hanya dijadikan unsur pelengkap di industri pariwisata yang sulit dibendung akibat persaingan global. Di samping itu, juga mulai terlihat dan terbentuknya pola pikir masyarakat setempat yang terpengaruh membiasakan penggunaan logika kapitalis yang berorientasi pada keuntungan ekonomi, bahwa modal dan angka-angka dalam bentuk keuntungan selalu lebih penting daripada bentuk kebudayaan dan religiusitas. Melihat dari kondisi ini, sesuai dengan apa yang disampaikan oleh I Made Wistawan, SE (44 tahun) sebagai Lurah Kerobokan Kelod. Adapun hasil petikan dari wawancaranya sebagai berikut: “...perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan, telah mengubah pola pikir masyarakat beralih profesi ke sektor pariwisata. Sebagian petani mulai mengubah lahan pertanian mereka ke dalam bentuk bangunan fisik sebagai pendukung fasilitas pariwisata yang mendatangkan keuntungan lebih besar bila dibandingkan menjadi petani. Selain itu sistem subak mulai tidak berfungsi normal lagi. menyebabkan banyak petani menjual sebagian lahan pertaniannya. Uang yang milikinya dijadikan modal usaha di sektor pariwisata, dengan harapan akan memberikan peningkatan pendapatan dan kesejahteraan hidup, namun jika tidak mampu mengelola dengan
157
baik, mereka harus bersaing dengan kapitalis pemiliki modal besar dan para pendatang yang mencari kerja di wilayah Kerobokan”. (wawancara, Jumat 10 Mei 2013). Pendapat yang senada juga dituturkan oleh I Made Gede Yasa (35 tahun) seorang masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata. Adapun hasil kutipan dari wawancaranya sebagai berikut: “Perkembangan pariwisata di Desa Adat Kerobokan sangat pesat. Sebagai masyarakat yang bekerja di sektor pariwisata, saya merasakan adanya peningkatan perekonomian. Banyaknya sarana fasilitas fisik kepariwisataan memudahkan kami mendapatkan penambahan pendapatan, walaupun harus bersaing dan bekerja keras untuk meraih hasil yang lebih baik”. (wawancara, Jumat 10 Mei 2013). Dari tuturan kedua informan tersebut dapat disimpulkan bahwa makna kesejahteraan yang dimaksudkan, adalah dalam bentuk modal/kapital untuk berwirausaha di sektor pariwisata guna mendatangkan penambahan penghasilan untuk meningkatkan taraf kesejahteraan hidup secara ekonomi, selain itu harus menghadapi persaingan dari luar Bali akibat kemajuan industri pariwisata global. Makna kesejahteraan menyebabkan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yaitu dengan kedatangan para wisatawan mancanegara ke wilayah Desa Adat Kerobokan, dari sisi ekonomi, memberi penambahan pendapatan atas keterlibatan masyarakat setempat dalam berwirausaha di sektor pariwisata sehingga dapat meningkatkan taraf hidup dan kesejahteraan masyarakat lokal menjadi lebih baik. Akibat komersialisasi tempat suci Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini yang mendatangkan nilai ekonomi praktis atas
158
pemanfaatannya dalam konteks pariwisata budaya, yang bergandengan dengan budaya kapitalisme akibat industri pariwisata global yang masuk ke ranah kehidupan sosial ekonomi masyarakat setempat, hal ini dapat dilihat dengan adanya kunjungan wisatawan mancanegara ke Pura Petitenget, telah memberi dampak nilai ekonomi tinggi untuk peningkatan kesejahteraan bagi para pengurus dan pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di sekitarnya. Motif ideologi ekonomi selalu memberi nilai lebih ke dalam makna kesejahteraan secara umum, kondisi ini dapat di lihat dari setiap dana yang masuk, baik atas pemanfaatan jaba Pura Petitenget yang digunakan sebagai areal parkir kendaraan, kemudian pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum dengan kompensasi berdana punia, serta sumbangan (sesari) dari wisatawan dan masyarakat yang mengunjungi Pura Petitenget. Keseluruhan dana itu masuk ke Kas pengelolaan Pura Petitenget, dipergunakan bagi kepentingan/pemeliharaan Pura Petitenget, serta memberi penambahan pendapatan bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget. Namun di balik semua dampak positif yang dirasakan dari makna kesejahteraan itu, tidak semua masyarakat di sekitarnya dapat menikmati makna kesejahteraan hidup atas perkembangan pariwisata di wilayah Desa Adat Kerobokan, khususnya di daerah sekitar Pura Petitenget. Hal ini dapat dilihat dari adanya alih fungsi lahan pertanian ke sektor pariwisata, yang mengakibatkan banyaknya petani kehilangan pekerjaan utamanya sebagai petani, kemudian adanya persaingan dalam tenaga kerja dan SDM di sektor pariwisata, sehingga menyebabkan terjadinya arus urbanisasi yang kian meningkat, serta masyarakat
159
harus menghadapi persaingan dengan kapitalis/pemilik modal besar yang berasal dari luar Bali akibat perkembangan industri pariwisata global. Refleksi Sudah waktunya industri pariwisata Bali memberikan tanggung jawab moral dalam menjawab persoalan-persoalan aspek kebudayaan saat ini, terutama dampak dan faktor terjadinya profanisasi terhadap bangunan/monumen tinggalan pusaka budaya masyarakat lokal. Dalam konteks ini peran pemerintah daerah Bali sebagai pemegang kebijakan politik, masyarakat Bali sebagai pemilik sumber daya budaya lokal, para pelaku pariwisata sebagai pendukung industri pariwisata Bali, dan para pemodal/kapitalis sebagai pemain dalam industri pariwisata global. Semua komponen tersebut agar bersama-sama dapat memberikan kontribusi berarti terhadap dunia kepariwisataan, khususnya kepada kebudayaan Bali. Saat ini profanisasi sudah merambah hampir ke segala aspek-aspek kebudayaan Bali, salah satunya tempat-tempat suci. Adanya pengaruh arus budaya global yang berimplikasi dengan praktik-praktik budaya kapitalisme, telah menyebabkan terjadinya profanisasi terhadap bangunan suci/pura. Hal ini secara sadar atau tidak, telah menyentuh langsung makna-makna aspek kebudayaan lokal tersebut sebagai akibat peranannya di dalam dunia pariwisata Bali. Pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget yang difungsikan sebagai objek wisata cagar budaya di Desa Adat Kerobokan telah mengalami profanisasi sebagai bentuk adaptif budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga menggeser nilai dan makna aslinya sebagai tempat suci, yang dipromosikan dan dikomersialkan sebagai benda komoditi dengan motif ideologi ekonomi untuk mendatangkan nilai
160
ekonomi praktis demi pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal ini, serta meningkatkan kesejahteraan masyarakat setempat atas pemanfaatannya sebagai daya tarik wisata cagar budaya. Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya di Bali, adalah menjadikan sumber daya budaya yang dimiliki masyarakat lokal ini menjadi objek wisata budaya yang mempunyai daya tarik sebagai objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa bisa memasuki Pura Petitenget hingga ke areal tersuci (jeroan) pura ini. Kondisi ini telah mengubah fungsi utama Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi ruang profan semenjak difungsikan menjadi objek wisata cagar budaya akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Adanya pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum, tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat lokal yang berimplikasi dengan praktik-praktik kapitalisme dalam memanfaatkan sumber daya budayanya dengan motif ekonomi, dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar. Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, telah bergeser menjadi ruang profan dengan nilai ruang ekonomis akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat tradisional menuju masyarakat modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global ke ranah kehidupan sosial ekonomi dan sosial budaya masyarakat setempat sebagai bentuk
161
adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam ruang realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci akhirnya bergeser menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan mengubah fungsi utama atau aslinya, menjadi objek wisata cagar budaya dengan ideologi ekonomi yang menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan demi pelestarian dan pemeliharaan sumber daya budaya lokal tersebut, juga untuk meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat sekitarnya. Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya yang mempunyai nilai arkelogis karena pura ini di bangun sekitar abad XV dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Kemudian adanya perkembangan industri pariwisata dengan semakin terkenalnya pantai di sekitar Pura Petitenget, serta faktor Kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget untuk penambahan pendapatan demi pelestarian Pura Petitenget agar tetap terjaga dan terpelihara, selain untuk meningkatkan ekonomi dan kesejahteraan masyarakat setempat merupakan faktor yang mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam pariwisata budaya Bali. Secara tidak langsung telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna mendatangkan nilai motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-nilai kesakralan/religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci akibat berfungsi sebagai objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya Bali.
162
Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, untuk mendatangkan sumber ekonomi praktis demi penambahan pendapatan untuk pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya Pura Petitenget, dan meningkatkan kesejahteraan bagi para pengurus/pengelola Pura Petitenget serta masyarakat di sekitarnya. Kemudian dampak lingkungan yang ditimbulkan, adanya aktivitas pengembangan sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan setempat hingga melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak Sosial, yakni perubahan pola pikir dan mata pencaharian masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata, karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke bentuk bangunan fisik penunjang kepariwisataan. Sementara dampak budaya, terjadinya penurunan kualitas nilai kebudayaan masyarakat lokal akibat komersialisasi bangunan suci yang berfungsi sebagai objek wisata budaya, dalam hal ini Pura Petitenget, di mana telah menggeser fungsi utama/asli Pura Petitenget sebagai tempat suci dengan memfungsikannya sebagai objek wisata cagar budaya dalam pengembangan pariwisata budaya di Bali. Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/ etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, mengalami pergeseran makna ketika berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang bersifat lebih kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi nilai dan makna religius Pura Petitenget sebagai tempat dan ruang suci pemujaan semakin dipinggirkan. Lebih dari itu proses profanisasi mulai
163
terjadi dengan ukuran penilaian industri dan jasa demi kepuasan wisatawan akibat budaya global yang masuk di dalamnya, sehingga terjadi proses eksploitasi kultural/budaya yang mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pariwisata budaya di Bali. Hal ini merupakan suatu konsekuensi logis yang harus dihadapi akibat pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai objek wisata cagar budaya dalam industri pariwisata Bali. Di mana kehidupan industri dan jasa dalam kapitalisme dunia pariwisata Bali telah memberi iklim relatif yang bersifat rasional secara keseluruhan terhadap pandangan atas kegunaan utamanya, sehingga bergeser dari simbol konstruktif spritual, di mana merupakan pura yang bersifat sakral, penuh dengan “religio-magis” karena riwayat sejarahnya yang unik, ke perubahan yang bersifat ke arah yang lebih universal dan ekonomis, dengan ditandainya komersialisasi tempat suci Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya. Hal ini menyebabkan terjadinya perubahan makna kesucian Pura Petitenget dengan memberi nilai dan makna yang memenuhi fungsi ekonomi praktis ke dalam dimensi ekspresif penggalian, pemeliharaan,
pemberdayagunaan
atas
sumber
daya
budaya
ini
untuk
menghasilkan dana sebagai bentuk pelestarian sumber daya budaya tersebut, tanpa melihat fungsi aslinya sebagai tempat suci tetapi lebih ke dalam konteks pariwisata budaya untuk kepentingan industri pariwisata Bali, khususnya di wilayah Desa Adat kerobokan.
164
BAB VIII SIMPULAN DAN SARAN 8.1 Simpulan Adanya pengaruh budaya global yang mendominasi industri pariwisata Bali sebagai akibat dari kemajuan ilmu pengetahuan, teknologi, informasi, komunikasi dan transportasi, yang mempunyai kekuatan saling mempengaruhi satu sama lainnya sehingga berimplikasi pada segala aspek kehidupan masyarakat Desa Adat kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget. Bentuk pengaruh budaya global itu telah mempengaruhi keberadaan Pura Petitenget sebagai warisan budaya sehingga mempengaruhi perubahan pola pikir masyarakat setempat untuk memanfaatkan sumber daya budaya tersebut ke dalam bentuk nilai ekonomis atas pemanfaatannya sebagai daya tarik objek wisata cagar budaya. Bentuk profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, adalah menjadikan sumber daya budaya lokal yang dimiliki masyarakat Desa Adat Kerobokan dengan memfungsikannya menjadi objek wisata cagar budaya. Di mana memberikan kebebasan kepada wisatawan yang berkunjung ke Pura Petitenget, dengan leluasa memasuki Pura Petitenget hingga ke halaman tersuci (jeroan) pura. Kondisi ini telah mengubah fungsi utama Pura Petitenget akibat adanya komersialisasi tempat suci, sehingga menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke bentuk nilai ruang profan akibat pengembangan pariwisata budaya di Bali. Pemanfaatan wantilan Pura Petitenget bagi masyarakat umum tidak terlepas dari pengaruh budaya global yang masuk ke ranah kehidupan sosial budaya masyarakat lokal yang berimplikasi
165
dengan praktik-praktik kapitalisme dalam memanfaatkan sumber daya budayanya dengan motif ekonomi, dengan menggeser nilai gunanya dan digantikan menjadi nilai tukar. Adanya pemanfaatan jaba Pura Petitenget sebagai areal halaman parkir kendaraan yang mendatangkan nilai ekonomi praktis, di mana konsepsi nilai ruang dari radius kesucian Pura Petitenget, telah digeser menjadi ruang profan dengan nilai ruang ekonomis akibat perubahan pola pikir, dari masyarakat tradisional ke masyarakat modern, hal ini bersamaan dengan masuknya pola-pola budaya global sebagai bentuk adaptif budaya asing sehingga terjebak ke dalam ruang realitas modernisasi yang menimbulkan pergeseran bentuk nilai dan ruang sakral Pura Petitenget sebagai tempat suci menjadi bentuk nilai dan ruang profan dengan mengubah fungsi aslinya menjadi objek wisata cagar budaya dengan ideologi ekonomi sehingga menghasilkan uang untuk penambahan pendapatan demi pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, serta meningkatkan kesejahteraan sosial ekonomi masyarakat di sekitarnya. Faktor pengaruh daya tarik Pura Petitenget sebagai daya tarik wisata cagar budaya, faktor perkembangan industri pariwisata dengan semakin terkenalnya pantai di sekitar Pura Petitenget, faktor kebutuhan ekonomi dalam pengelolaan Pura Petitenget untuk pelestarian sumber daya budaya ini merupakan faktor yang mendominasi terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung. Secara tidak langsung telah menggeser nilai sakral Pura Petitenget ke nilai profan. Hal Ini merupakan fakta terjadinya komersialisasi tempat suci menjadi benda komoditi guna
166
mendatangkan nilai motif ekonomi, sehingga menyebabkan menurunnya atau hilangnya nilai-nilai religiusitas tempat suci ini akibat industri pariwisata Bali. Dampak ekonomi merupakan dampak dominan terjadinya profanisasi pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, yakni mendatangkan sumber ekonomi praktis dengan dalil pelestarian dan pemeliharaan warisan budaya ini, juga meningkatkan kesejahteraan para pengurus/pengelola Pura Petitenget, serta masyarakat di sekitarnya. Dampak lingkungan yang ditimbulkan adanya aktivitas pengembangan sarana fasilitas kepariwisataan, telah mengubah lingkungan setempat hingga melampaui batas-batas daya dukungnya. Dampak sosial, adanya perubahan pola pikir dan mata pencaharian, masyarakat lokal yang semula petani, kini ikut berperan aktif di sektor pariwisata karena adanya alih fungsi lahan pertanian ke bentuk bangunan fisik. Sementara dampak budaya, terjadinya proses penurunan kualitas nilai-nilai kebudayaan, karena adanya komersialisasi bangunan suci Pura Petitenget itu sendiri dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Makna Pura Petitenget sebagai tempat suci, makna ritual, makna susila/ etika, dan makna kesejahteraan atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan mengalami pergeseran makna akibat budaya global yang masuk di dalamnya. Merupakan suatu konsekuensi logis ketika Pura Petitenget berfungsi sebagai suatu benda komoditas objek wisata budaya yang bersifat lebih kepemikiran rasional modern ke arah kehidupan ekonomi praktis, maka eksistensi makna dan nilai religius sebagai tempat suci pemujaan semakin dipinggirkan, lebih dari itu proses profanisasi mulai terjadi dengan ukuran penilaian industri dan
167
jasa demi kepuasan wisatawan, sehingga terjadi proses eksploitasi kultural yang mengakibatkan menurunnya nilai-nilai kesucian/religiusitas Pura Petitenget sebagai tempat suci untuk kepentingan pengembangan pariwisata budaya di Bali. 8.2 Saran Berdasarkan fakta dan data di lapangan yang telah dikemukan di atas, maka ada beberapa hal yang mesti menjadi perhatian bersama atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan, Kecamatan Kuta Utara, Badung, dalam konteks pariwisata budaya. Melalui penelitian ini ada beberapa saran dari peneliti kepada pihak-pihak yang terkait sebagai berikut untuk: 1. Pemerintah daerah setempat dan pelaku pariwisata, untuk lebih memperhatikan aspek-aspek sosial dan budaya atas pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget di Desa Adat Kerobokan sebagai objek wisata cagar budaya. Untuk bersama-sama menjaga hubungan antara dunia agama dan budaya dengan dunia pariwisata, agar tetap terjaga kesucian pura, dalam hal ini Pura Petitenget, terlestarikan dan terpelihara dengan baik. Adanya saling memberi pengertian dan menumbuhkan toleransi terhadap norma adat dan budaya masyarakat lokal, serta tidak melanggar larangan atau aturan yang sudah ditetapkan. 2. Masyarakat Desa Adat Kerobokan, khususnya masyarakat di sekitar Pura Petitenget perlu melakukan komunikasi yang baik dan berkelanjutan dengan pemerintah daerah atau pihak-pihak tertentu sehingga jaminan pelestarian dan pemeliharaan terhadap warisan budaya Pura Petitenget dalam konteks pariwisata budaya di Bali dapat memberi manfaat dan
168
berguna bagi masyarakat setempat sebagai pemilik pusaka budaya lokal ini, sehingga tetap dapat diwariskan kepada generasi penerusnya. 3. Peneliti lain, perlu adanya penelitian yang lebih mendalam secara
menyeluruh dan terfokus tentang profanisasi pemanfaatan warisan budaya terhadap bangunan suci/pura sebagai objek wisata cagar budaya dalam konteks pariwisata budaya di Bali. Sehingga perlu ditemukan strategi yang tepat dan terarah akan pelestarian tinggalan pusaka budaya tersebut untuk tetap terpelihara dan sakral tanpa mengurangi fungsi aslinya, serta nilai dan makna kesucian atas bangunan suci/pura yang ada di Bali dalam pengembangan pariwisata budaya Bali.
169
DAFTAR PUSTAKA
Ali, Helmy. 2012. Pemanfaatan Sumber Daya Budaya sebagai Atraksi Wisata dalam Pembangunan Pariwisata. Widyaiswara Madya BKPP Aceh: http//www.bkpp.acehprov.go.id/simpegbrr/artikel.com. Alwi, Hasan. Dkk. 2001. Kamus Besar Bahasa Indonesia (Cetakan Pertama Edisi III). Jakarta: Balai Pustaka. Aminuddin. 2002. Pengantar Apresiasi Karya Sastra. Malang: Sinar Baru. Anom, I Putu. Dkk. 2010. Pariwisata Berkelanjutan dalam Pusaran Krisis Global. Udayan University Press: Denpasar-Bali. Ardika, I Wayan. 2007. Pusaka Budaya dan Pariwisata. Pustaka Larasan: Denpasar-Bali. Baker, Chris. 2005. Cultural Studies, Teori dan Praktik. Cetakan Pertama. Yogyakarta: Bentang Pustaka. Barthers, Roland. 1983. Mythologies. New York: Hill and Wang. Bourdieu, Pierre Felix. 2009. (Habitus X Modal) + Ranah = Praktik. (terjemahan). Editor: Harker, Richard. Mahar, Cheelan dan Wikes, Chris. Yogyakarta: Jalasutra. Darmiati, Ni Made. 2011. “Pura Kebo Edan Sebagai Daya Tarik Wisata Budaya di Desa Pejeng Kecamatan Tampaksiring Kabupaten Gianyar”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Edkins, Jenny and Williams, Nick Vaughan. 2010. Teori-Teori Kritis Menantang Pandangan Utama Studi Politik Internasional. Edisi Indonesia. Yogyakarta: Pustaka Baca. Eliade. sakral dan profan.http://imronfauzi.wordpress.com/2009/07/16/membacanalar-studi-agama-sakral-dan-profan-karya-mercia-eliade/. Endraswara, Suwardi. 2008. Metodelogi Penelitian Sastra; Epistimologi, Model, Teori, dan Aplikasi. Yogyakarta: Media Presindo. Giddens, Anthony. 2004. Runaway World: Bagaimana Globalisasi Merombak Kehidupan Kita. (Terjemahan) Jakarta: Gramedia. Haryatmoko, 2003. Landasan Teoritis Gerakan Sosial Menurut Bourdieu, Menyingkap Kepalsuan Budaya Penguasa. Jakarta: Gramedia.
170
htpp://www.babadbali.com/piodalan/piodalan.htm. http://www.badungkab.go.id www.badungkab.go.id. http://hardisanatana.blogspot.com/2013/05/kosmologi-pura.html. http://history1978.wordpress.com/pengetahuan-candi/pura-di-bali/. http://makalah85.blogspot.com/2008/12/upacara-dan-kebaktian.html. http://sitidharma.org/menjaga-kesucian-pura/ http://suryadistira.blogspot.com/2008/07/pemedek-penyungsung-danpengemong.html?m=1). http://www.network54.com/forum/78267/message/1011745902/Pemujaan+terhad ap+Guru+Suci Jaya, Sapta Ida Bagus. 2012. “Penerapan Ilmu Pengetahuan Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 11 Tahun 2010 Tentang Cagar Budaya dalam Perlindungan Situs Arkeologi”. Jurusan Arkeologi, Fakultas Sastra Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Keputusan Bupati Badung Nomor : 637 Tahun 2003 Tentang Rencana Detail Tata Ruang Kecamatan Kuta Utara. Laksmi, Sita A. A. Rai. 2003. “Pengelolaan Pariwisata Berbasis Masyarakat: Studi Objek Wisata Tanah Lot di Desa Beraban Kecamatan Kediri Kabupaten Tabanan”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Lubis, Akhyar Yusuf. 2006. Dekonstruksi Epistemologi Modern. Pusataka Indonesia Satu: Jakarta. Moleong, Lexy J. 1994. Metedologi Penelitian Kualitatif. Bandung: Remaja Rosdakarya. Monografi Kecamatan Kuta Utara Tahun 2012. Nawawi, Hadari dan Martini Hadari. 1995. Instrument Penelitian Bidang Sosial. Yogyakarta: Gajah Mada University Press. Nazir, Moh. 1998. Metode Penelitian. Cetakan Ketiga. Jakarta: Ghalia. Norris, Chistopher. 2003. Membongkar teori dekonstruksi jacques derrida. Yogyakarta: Ar-Ruzz.
171
Peratutran Daerah Propinsi Bali (PERDA) Nomor No.16 Tahun 2009 Tentang Rencana Umum Tata Ruang (RUTR) Daerah Propinsi Bali. Picard, Michel. 2006. Bali: Pariwisata Budaya dan Budaya Pariwisata (Terjemahan). Jakarta: Kepustakaan Populer Gramedia. Piliang, Yasraf Amir. 2004. Dunia yang Dilipat. Yogyakarta: Jalasutra. Pitana Dan Gayatri. 2005. Sosiologi Pariwisata: Kajian Sosiologis Terhadap Struktur, Sistem dan Dampak-Dampak Pariwisata. Yogyakarta : Andi Offiset. Profil Kecamatan Kuta Utara tahun 2011. Pujaastawa, I.B.G. 2008. Trihita Karana: Kearifan Lokal dengan Nilai-Nilai Universal. Dalam Pujaastawa,I.B.G. (Ed),2008.Wawasan Budaya untuk Pembangunan. Pp: 403-419. Jogyakarta: Pusat studi Pariwisata UGM. Pujaastawa, Wirawan dan Adhika. 2008. Pariwisata Terpadu; Alternatif Model Pengembangan Pariwisata Bali tengah. Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Purniti, Aniek Ni Komang. 2008. “Pengelolaan Candi Gunung Kawi Tampaksiring di Kabupaten Gianyar Sebagai Objek dan Daya Tarik Wisata Budaya”. Tesis, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Sirtha, I Nyoman. 2007. Pembangunan Pariwisata Berkelanjutan dengan Perspektif Sosial Budaya. Dalam 45 Tahun Universitas Udayana. UNUD: Denpasar-Bali. Suadnyana, I Wayan. 2011. Sejarah Perjalanan Danghyang Nirartha di Bali (1451 – 1520). Paramitha: Surabaya. Sudiani, Ni Nyoman. 1990. “Kekunoan Pura Petitenget dalam Kajian Arkeologi”. Skripsi, Jurusan Arkeologi: Denpasar-Bali. Surbakti, Asmyta. 2008. “Pusaka Budaya dan Pengembangan Pariwisata di Kota Medan: Sebuah Kajian Budaya”. Disertasi, Program Pascasarjana Universitas Udayana: Denpasar-Bali. Sutrisno. Dkk. 2005. Teori-teori Kebudayaan. Yogyakarta: Kanisius. Tim Penyusun Bali Post, 2010. Mengenal Pura Sad Kahyangan dan Kahyangan Jagat. Pustaka Bali Post: Denpasar-Bali.
172
PEDOMAN WAWANCARA A. GAMBARAN UMUM LOKASI PENELITIAN 1. Bagaimanakah sejarah berdirinya Pura Petitenget? 2. Bagaimanakah bentuk awal atau asli dari Pura Petitenget? 3. Bagaimanakah pelaksanaan upacara keagamaan di Pura Petitenget? 4. Kapan Pura Petitenget mulai di pugar/konservasi? 5. Kapan Pura Petitenget mulai menjadi cagar budaya?
B. BENTUK PROFANISASI PEMANFAATAN WARISAN BUDAYA PURA PETITENGET 1. Bagaimana bentuk pengelolaan Pura Petitenget sekarang ini? 2. Bagaimana Pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya saat ini? 3. Bagaimana perubahan Pura Petitenget setelah menjadi objek wisata cagar budaya dan banyak wisatawan yang berkunjung ke dalam pura? 4. Perubahan apa saja yang terjadi dalam pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya? 5. Bagaimana pendapat Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan warisan budaya Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya?
C. FAKTOR-FAKTOR YANG MENYEBABKAN PEMANFAATAN PURA PETITENGET
PROFANISASI
1. Sejauh mana keadaan dan perkembangan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya di daerah Kuta Utara dan Kabupaten badung? 2. Sejauh mana situasi dan perubahan Pura Petitenget dengan ada perkembangan pariwisata disekitar daerah Petitenget? 3. Sejauh mana manfaat dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya bagi masyarakat setempat? 4. Perubahan apa saja yang terjadi dengan adanya wisatawan mancanegara berkunjung ke dalam Pura Petitenget?
173
5. Mengapa para wisatawan mancanegara leluasa bebas masuk ke dalam areal tersuci Pura Petitenget?
D. DAMPAK DAN MAKNA PROFANISASI PEMANFAATAN PURA PETITENGET 1. Bagaimana kehidupan masyarakat sekitar Pura Petitenget dengan adanya perkembangan pariwisata Bali? 2. Bagaimana penerimaan masyarakat setempat dengan adanya pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya? 3. Apa dampak yang ditimbulkan dengan adanya pemanfaatan Pura Petitenget sebagai warisan budaya di daerah Petitenget? 4. Bagaimana pengaruh pariwisata terhadap pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya? 5. Makna apa yang didapatkan dari pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya? 6. Bagaimana pendapak Bapak/Ibu dengan adanya pemanfaatan Pura Petitenget sebagai objek wisata cagar budaya yang dikunjungi wisatawan?
174
DAFTAR INFORMAN 1. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Mangku Made Widra (L) 62 tahun SMA Pemangku Pemucuk (Utama) Pura Petitenget Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
2. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ni Wayan Sumartini (P) 42 tahun SMA Pemangku Pura Petitenget Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
3. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Putu Ngarta (L) 40 tahun SMA Pemangku Pura Petitenget Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
4. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ni Ketut Netri (P) 40 tahun SMA Pemangku Pura Petitenget Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
5. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Made Badra (L) 70 tahun SMA Pemangku Pura Petitenget Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
6. Nama Umur Pekerjaan Pendidikan Alamat
: : : : :
Wayan Sari (P) 70 tahun Pemangku Pura Petitenget SMA Br. Taman, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
7. Nama Umur
: I Putu Parmana, S.STP. M.M. (L) : 46 tahun
175
Pendidikan Pekerjaan Alamat
: Sarjana : PNS : Br. Kerobokan, Kuta Utara
8. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ade Indriana, SE. (P) 46 tahun Sarjana PNS Jln. Gunung Andakasa Gang Walet 3 No. 2 Denpasar
9. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Wayan Janoka. (L) 48 tahun SMA PNS Br. Anyar Kelod, Kerobokan, Kuta Utara
10. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Made Wistawan, SE. (L) 44 tahun Sarjana Lurah Kerobokan Kelod, Kuta Utara Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
11. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ni Made Suranadi, S.Sos. (L) 51 tahun Sarjana PNS Br. Pemedilan, Denpasar
12. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Ni Nyoman Rasmini (P) 48 tahun SMA PNS Br. Padangsambian, Denpasar
13. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Gusti Putu Sujata (L) 55 tahun SMA PNS Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
176
14. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Anak Agung Putu Sutarja (L) 45 tahun SMA Bendesa Adat Kerobokan Br. Gadon Kerobokan Kelod, Kuta Utara
15. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Nyoman Sunarka (L) 40 tahun SMA Kelian Adat Kerobokan Kelod Br. Taman Kerobokan Kelod, Kuta Utara
16. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
A.A. Ngurah Putra (L) 70 tahun SMA Ketua Panitia Pengelola Pura Petitenget Br. Kerobokan – Seminyak, Kuta Utara
17. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Odah Surya (P) 60 tahun SMA Petani Br. Umalas, Kerobokan Kelod, Kuta Utara
18. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
I Made Adnyana Putra (L) 35 tahun Diploma Wiraswasta Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara
19. Nama Umur Pendidikan Pekerjaan Alamat
: : : : :
Made Gede Yasa (L) 35 tahun Diploma Swasta Br. Batu Belig, Petitenget, Kuta Utara